Bab 4: Kunci Pintu yang Terkunci
Setelah insiden Damar, sebuah rasa dingin menetap di hati Rio. Itu adalah luka yang berbeda dari kehilangan uang atau energi. Kehilangan uang bisa diganti. Kelelahan bisa diatasi dengan istirahat. Tapi kepercayaan dan gagasan, yang telah dicuri dan dijual, terasa seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Rio mulai menarik diri, menjadi lebih waspada terhadap pesan atau panggilan yang datang dari orang-orang yang ia kenal. Ia mulai membatasi interaksi, sering beralasan sibuk, meskipun sebenarnya ia hanya ingin sendiri.
Pekan itu, ia menerima undangan acara peresmian sebuah galeri seni baru. Ini adalah undangan yang ia dapatkan berkat kenalannya di industri kreatif. Rio tidak terlalu tertarik dengan acara sosial, tapi ia pikir ini bisa menjadi kesempatan untuk mengalihkan pikirannya dan mungkin bertemu orang-orang baru yang lebih tulus. Ia sudah mengenakan pakaian formalnya ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Kevin.
Kevin adalah teman yang berbeda dari Adrian, Sarah, atau Damar. Ia adalah seorang yang karismatik, selalu tampil prima, dan memiliki kemampuan untuk membuat siapa pun merasa istimewa di hadapannya. Ia tidak pernah terang-terangan meminta uang atau curhat. Sebaliknya, ia selalu menawarkan pertemanan yang terlihat menyenangkan, tapi di balik itu, ia selalu meminta bantuan dalam bentuk akses dan koneksi.
Yo, lagi di mana? Tahu nggak sih, gue lagi di dekat galeri seni 'Artspace', mau masuk tapi nggak ada undangan. Lo kenal sama pemiliknya, kan? Nggak enak banget nih, padahal penting banget buat networking.
Rio menghela napas. Ia ingat pernah membawa Kevin ke beberapa acara kecil sebelumnya, dan setiap kali itu terjadi, Kevin akan menempel padanya seperti perangko sampai ia bertemu dengan orang yang ia targetkan. Setelahnya, Kevin akan meninggalkan Rio tanpa kata-kata, menghilang ke keramaian seolah-olah Rio tidak pernah ada. Rio sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi menjadi "pembuka pintu" bagi orang lain.
Namun, pesan Kevin kali ini terdengar sangat mendesak. Ada sedikit nada keputusasaan di dalamnya, yang membuat hati Rio yang terlalu baik kembali luluh. Ia membayangkan Kevin berdiri sendirian di depan pintu galeri, malu karena tidak bisa masuk. Ia juga merasa bahwa menolak akan membuatnya terlihat buruk, setelah ia berjanji pada dirinya sendiri untuk bertemu dengan orang baru.
Rio menekan tombol panggil. "Lo masih di sana, Kev?"
"Masih, Yo! Aduh, untung lo telepon. Kirain lo nggak mau bantu lagi," jawab Kevin, suaranya dipenuhi kelegaan.
Rio merasa sedikit tersentuh. "Nggak gitu, kok. Lo tunggu di sana. Gue samperin."
Rio berjalan menuju pintu masuk dan menemukan Kevin sedang berdiri canggung di pinggir. Ketika melihat Rio, wajah Kevin langsung berseri-seri. Ia tersenyum, menampilkan lesung pipitnya yang memukau. "Thanks banget, Yo. Lo emang penyelamat banget, sumpah."
Rio hanya mengangguk. Ia mendekati penjaga pintu dan menunjukkan undangan ganda yang ia miliki. Begitu mereka masuk, Kevin langsung mengubah sikapnya. Matanya memindai ruangan, mencari wajah-wajah penting yang bisa ia temui. Ia tidak peduli dengan karya seni yang dipajang. Tujuannya hanya satu: bertemu orang.
Kevin langsung menarik Rio ke sudut ruangan, di mana seorang kurator terkenal sedang mengobrol dengan beberapa kolektor seni. "Kenalin gue ke dia," bisik Kevin, matanya memancarkan ambisi yang tulus. Rio, yang tidak terlalu nyaman berada di tengah keramaian, merasa ditarik-tarik seperti boneka. Ia mengalah, memperkenalkan Kevin kepada kenalannya, dan setelahnya, seperti yang sudah-sudah, Kevin meninggalkannya.
Kevin menghilang ke dalam kerumunan, tertawa dan berbincang dengan orang-orang penting yang baru saja ia kenal berkat Rio. Rio berdiri sendirian di dekat sebuah lukisan, memegang segelas anggur yang belum sempat ia sentuh. Ia memperhatikan Kevin dari jauh, melihatnya berpura-pura tahu tentang seni, tertawa pada lelucon yang ia sendiri tidak mengerti.
Tiba-tiba, seorang kenalan Rio menghampirinya. "Rio, lo sama Kevin, ya? Dia lumayan ambisius juga, ya. Tadi dia bilang dia yang bawa lo ke sini. Dia bilang lo kenalannya, tapi dia yang ngasih tahu tentang galeri ini."
Kata-kata itu bagaikan tamparan keras di wajah Rio. Rio hanya bisa tersenyum masam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia menyadari, Kevin tidak hanya memanfaatkan koneksinya, tetapi juga mencuri kreditnya. Kevin memutarbalikkan cerita, membuat Rio tampak seperti pengikut, padahal Rio-lah yang membukakan pintu.
Rio tidak bisa lagi berpura-pura. Adrian, Sarah, Damar, dan kini Kevin. Semuanya datang hanya untuk mengambil. Rio bukan lagi teman bagi mereka; ia adalah alat, sebuah sumber daya yang bisa digunakan kapan saja, kemudian dibuang begitu saja. Ia merasa kosong, sendirian, di tengah keramaian.
Malam itu, Rio pulang lebih awal. Ia berjalan di trotoar yang basah, menatap bayangan dirinya yang terpantul di genangan air. Ia melihat sosok yang lelah, sendirian, dan dipenuhi oleh keraguan. Apakah ia yang salah? Apakah ia terlalu naif? Ataukah memang semua pertemanan di dunia ini hanya sebatas transaksi?
Ia tahu, ada satu hal lagi yang harus ia hadapi. Sebuah konfrontasi yang tak terelakkan yang akan menentukan apakah ia akan tetap menjadi pintu yang terbuka untuk semua orang, atau apakah ia akan belajar untuk menguncinya.
