Bab 1: Aroma Seblak di Jalan BKR
Udara sore di Kota Tasikmalaya pada tahun 2010 terasa begitu khas, dipenuhi campuran aroma rempah basah, suara knalpot motor yang membelah jalan, dan bisik-bisik ramah dari para pejalan kaki. Namun, bagi Fonita, aroma paling dominan adalah aroma kencur, bawang putih, dan cabai yang telah dihaluskan, yang setiap sore ia tumis di atas wajan baja. Di sudut perempatan Jalan BKR, tepat di bawah rindangnya pohon mangga yang sesekali menjatuhkan daun keringnya, berdiri kokoh gerobak kecil milik Fonita. Gerobak itu sederhana, dicat dengan warna hijau muda yang cerah dan dihiasi spanduk kecil bertuliskan tangan: "Seblak Khas Neng Foni". Fonita, dengan cekatan, melayani setiap pelanggan yang datang. Tangan lentiknya sigap mengaduk kerupuk, makaroni, mi, dan aneka topping lain di wajan panas.Fonita, seorang gadis berusia dua puluh dua tahun, bukan hanya mahir meracik seblak, tapi juga memiliki aura yang menyejukkan. Hijab panjang berwarna pastel selalu menutupi kepalanya dengan rapi. Ia ramah, seringkali membalas senyum pelanggan dengan senyum yang sama tulusnya, tapi selalu ada batasan yang ia jaga. Interaksi dengan pelanggan laki-laki selalu ia pertahankan dengan profesional. Ia akan bertanya pesanan, menjawab pertanyaan seputar menu, dan mengucapkan terima kasih saat pembayaran, tanpa ada obrolan pribadi yang berlebihan.
Salah satu pelanggan setianya adalah seorang bapak-bapak yang bekerja di kantor pos di seberang jalan. "Neng Foni, seblakmu ini memang pedasnya menagih! Bikin melek!" ucapnya sambil mengusap keringat di dahi. Fonita terkekeh pelan.
"Alhamdulillah, Bapak. Jangan lupa minum air putih yang banyak, ya!" Rutinitas itu berjalan seperti irama. Dari terbit fajar saat ia berbelanja ke pasar, hingga terbenam matahari saat ia membereskan gerobaknya. Semua dilakukan dengan semangat dan keikhlasan. Ia sadar, gerobak seblak ini adalah satu-satunya tumpuan harapan. Bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk membantu ekonomi keluarganya.
Malam itu, setelah gerobak sepi dan hanya menyisakan Fonita sendiri yang sedang membersihkan perkakas, ia menatap langit Tasikmalaya yang gelap, ditaburi bintang-bintang yang berkilauan. Ia merenungkan banyak hal. Bukan hanya tentang bagaimana meningkatkan rasa seblaknya atau menambah menu baru, tetapi juga tentang masa depannya. Ia pernah mendengar, di era yang semakin modern ini, banyak wanita yang berani "menerima apa adanya" pasangannya. Namun, bagi Fonita, prinsip itu terasa hampa. Ia tidak hanya ingin diterima apa adanya, dengan segala kekurangan yang ia miliki. Ia ingin menjadi lebih baik, menjadi wanita sholehah, dan ia butuh pasangan yang bukan hanya menerima, tapi juga mendukungnya dalam perjalanan itu. Doanya sederhana, tapi penuh makna: ia ingin menemukan seorang imam yang bukan hanya mencintai dirinya, tapi juga mencintai jalannya menuju Surga. Ia menghela napas, lalu tersenyum tipis. Ia tahu, perjalanan itu tidak akan mudah. Namun, ia yakin, Allah akan memberikan yang terbaik pada waktu yang tepat. Sambil mengunci gerobaknya, ia berbisik dalam hati, "InsyaAllah, Neng Foni akan selalu berusaha menjadi versi terbaik dari diri Neng Foni."
Bab 2: Senyum di Balik GerobakSatu minggu setelah malam renungan itu, rutinitas Fonita kembali seperti biasa. Gerobak seblaknya selalu ramai, terutama saat jam-jam pulang kuliah. Mahasiswa dari berbagai universitas di Tasikmalaya sering mampir untuk menikmati pedasnya seblak racikannya. Di antara pelanggan-pelanggan itu, ada satu wajah yang mulai familiar. "Seblak pedas level tiga, Neng. Kerupuknya jangan lupa dibanyakin, ya." Suara itu terdengar ramah dan penuh senyum. Fonita mendongak, melihat seorang pemuda dengan ransel yang digantungkan di satu bahu. Rambutnya rapi, wajahnya bersih, dan ia terlihat sangat antusias. Nama pemuda itu, seperti yang ia sering dengar dari teman-temannya, adalah Rizky. Mahasiswa teknik yang sering membeli seblak.Fonita tersenyum sopan. "Siap, Kang Rizky. Tunggu sebentar, ya." Rizky tidak seperti pelanggan lainnya yang hanya menunggu di samping gerobak. Ia sering mencoba memancing obrolan. "Sore-sore gini jualan sendirian, Neng?" tanyanya sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya. "Iya, Kang. Sudah biasa," jawab Fonita singkat, sambil fokus pada wajan di depannya. Rizky tidak kehabisan akal. "Hebat, ya. Zaman sekarang susah lho cari perempuan yang mau mandiri kayak gini. Kebanyakan maunya terima beres," pujinya. Fonita hanya tersenyum. Pujian itu terasa hambar baginya. Bukannya tidak menghargai, tapi ia tahu, pujian itu hanya kata-kata. Ia lebih menghargai pujian yang tulus dari Allah atas usahanya mencari rezeki yang halal.Seiring berjalannya waktu, interaksi Rizky dan Fonita semakin intens. Rizky mulai sering datang, bukan hanya untuk membeli seblak, tetapi juga untuk sekadar duduk dan mengobrol. Ia sering menawarkan bantuan, seperti mengangkat galon air atau membersihkan meja kecil di samping gerobak. "Sini, Neng, biar saya bantu. Berat, kan?" ucap Rizky suatu sore, mencoba meraih galon yang hendak diangkat Fonita. "Tidak usah, Kang. Terima kasih. Saya bisa sendiri," jawab Fonita cepat, sambil menggeser galon menjauh. Ia merasa tidak nyaman dengan kedekatan fisik yang ditawarkan Rizky.Suatu hari, Rizky datang membawa buku-buku. "Neng, ini buku-buku referensi teknik. Saya kira, Neng juga suka membaca, kan?" tanyanya, mencoba mencari celah untuk masuk lebih dalam ke kehidupan Fonita. Fonita mengambil buku itu dengan sopan. "Terima kasih, Kang. Tapi saya jarang punya waktu luang untuk membaca buku lain selain buku tentang resep," jawabnya, sambil tertawa pelan. Ia mengembalikan buku itu dengan hati-hati. Fonita mengagumi semangat Rizky untuk mengenalnya, tapi ia merasa ada yang salah. Rizky terus mencoba mendekat secara fisik dan emosional, namun tidak pernah benar-benar mencari tahu tentang prinsip-prinsip yang ia pegang teguh. Rizky memuji kemandiriannya, senyumnya, dan ketenangannya, tapi tidak pernah bertanya tentang imannya, tentang cita-citanya menjadi wanita sholehah, atau tentang keinginannya untuk membangun keluarga yang berlandaskan agama. Pujian Rizky terasa dangkal, seolah ia hanya melihat luarnya saja. Fonita menyadari, Rizky hanya ingin menerima dirinya "apa adanya" sebagai penjual seblak yang manis dan mandiri. Ia tidak melihat lebih jauh, tidak melihat potensi untuk tumbuh dan berkembang bersama.Fonita tahu, ia harus memasang batasan yang lebih jelas sebelum semuanya melangkah terlalu jauh. Ia tidak ingin terjebak dalam hubungan yang hanya berlandaskan pujian kosong.Bab 3: Kata-Kata Manis dan BatasanSore-sore berikutnya, Rizky kembali. Kali ini ia tidak datang sendiri, melainkan bersama dua temannya. Ia tersenyum lebar, terlihat bangga memperkenalkan Fonita kepada mereka. "Ini seblak yang paling enak di Tasik, seblak buatan Neng Foni," katanya. Fonita hanya tersenyum ramah dan menyapa teman-teman Rizky dengan sopan. Ia merasa canggung. Ia tidak terbiasa dijadikan pusat perhatian, apalagi dalam konteks seperti ini. Selama ini, ia hanya ingin menjadi penjual seblak, tidak lebih.Rizky, dengan kepercayaan diri yang semakin tinggi, kembali melancarkan rayuan-rayuan manisnya. "Neng Foni itu paket lengkap. Cantik, mandiri, sholehah lagi. Siapa sih yang nggak mau diterima apa adanya sama yang kayak gini?" pujinya, sambil melirik teman-temannya yang mengangguk setuju. Pujian itu, yang tadinya terasa hambar, kini mulai terasa mengganggu. Kata "diterima apa adanya" yang diucapkan Rizky seolah hanya merujuk pada kelebihan fisiknya dan kemandiriannya. Ia tidak menyinggung sama sekali tentang perjuangan Fonita untuk menjaga diri, tentang niatnya untuk terus belajar agama, atau tentang mimpinya untuk membangun keluarga yang diridhai Allah.Di momen yang lain, Rizky mencoba lagi. "Neng Foni, kamu tahu nggak, kamu itu beda. Aku nyaman banget kalau ngobrol sama kamu. Nggak perlu jaim, bisa jadi diri sendiri." Fonita membalasnya dengan tenang. "Saya memang seperti ini, Kang. Setiap orang punya prinsipnya masing-masing, dan ini adalah prinsip saya. Saya berusaha untuk selalu menjaga diri, dalam perkataan maupun perbuatan," jelas Fonita, berusaha memberi kode halus. Namun, Rizky sepertinya tidak menangkap sinyal itu. Ia justru melanjutkan dengan tawa kecil, "Iya, itu yang bikin kamu istimewa. Pokoknya, aku terima kamu apa adanya." Kata-kata itu membuat Fonita menahan napas. "Apa adanya?" pikirnya. "Rizky bahkan tidak tahu siapa 'aku' yang sesungguhnya. Ia hanya melihat kulit luar, gerobak seblak, dan senyumku. Ia tidak melihat tujuanku."Rasa tidak nyaman itu semakin besar. Fonita sadar, jika ia tidak bertindak, interaksi ini akan berlanjut dan mungkin akan menyakitkan bagi salah satu dari mereka. Ia harus lebih tegas, tanpa harus bersikap kasar. Ia tidak ingin Rizky merasa dipermainkan atau salah paham, tapi ia juga tidak ingin prinsipnya dilanggar. "Kang Rizky," Fonita memulai dengan suara yang lembut namun tegas, "Saya menghargai niat baik Kang Rizky. Tapi, saya pikir kita harus lebih jujur. 'Diterima apa adanya' itu maknanya sangat dalam. Bukan sekadar menerima penampilan atau pekerjaan. Tapi juga menerima prinsip, nilai, dan perjalanan spiritual seseorang. Dan saya, saya ingin bertumbuh. Saya tidak ingin hanya menetap. Saya ingin terus menjadi pribadi yang lebih baik. Dan saya butuh seseorang yang juga memiliki keinginan yang sama." Rizky terdiam. Ekspresi wajahnya berubah. Ia tidak menyangka Fonita akan memberikan respons seperti itu. Ia hanya ingin memuji, tidak lebih. Tapi Fonita telah membuka percakapan yang lebih dalam, yang menyentuh hati dan keyakinan.Bab 4: Tangan yang TerhindarHening sejenak. Rizky menatap Fonita dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada kebingungan, sedikit kekecewaan, tapi juga rasa hormat yang muncul di matanya. Ia tidak terbiasa dengan percakapan sedalam ini. Fonita, yang juga merasa canggung, kembali fokus pada pesanan di depannya. Ia mengambil sisa uang kembalian dan memberikannya kepada Rizky, sambil berusaha tersenyum. "Totalnya Rp 15.000, Kang. Ini kembaliannya," kata Fonita, tangannya terulur. Rizky mengambil uang itu. Namun, bukannya segera pergi, ia justru melangkah sedikit lebih dekat. "Neng Fonita, saya minta maaf kalau ucapan saya tadi salah. Saya cuma... maksud saya, saya suka kamu apa adanya. Dan saya bersedia jadi bagian dari perjalanan itu," ucapnya, mencoba meyakinkan Fonita. Saat berbicara, ia tiba-tiba mengangkat tangannya, seolah ingin menggenggam tangan Fonita.Refleks, Fonita menarik tangannya dengan cepat dan mundur selangkah. Gerakan itu terjadi begitu saja, tanpa ia sadari. Ia merasa kaget dengan tindakan Rizky. Fonita segera meletakkan kedua tangannya di balik gerobak, seolah ingin menegaskan batasan yang tidak bisa ia langgar. Ia merasa jantungnya berdebar kencang. "Maaf, Kang Rizky," Fonita berbisik, suaranya terdengar lembut namun penuh penyesalan. "Bukan salah Kang Rizky. Tapi saya... saya harus menjaga diri. Saya tidak bisa bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahram saya. Saya harap Kang Rizky mengerti."Rizky terdiam. Tangan yang tadi terulur kini kembali ke sisinya dengan canggung. Ia menyadari kesalahannya. Ia tahu Fonita adalah gadis yang menjaga diri, tetapi ia tidak pernah menyangka prinsip itu berlaku sedalam ini. Rasa malu dan sedikit kekecewaan jelas terlihat di wajahnya. "Saya mengerti," jawabnya lirih, "Maafkan saya, Neng. Saya... saya tidak bermaksud begitu." Setelah itu, ia tidak berkata apa-apa lagi. Dengan langkah yang terasa berat, Rizky pamit dan bergegas pergi. Ia tidak menoleh ke belakang, bahkan tidak menyentuh seblak yang sudah Fonita siapkan. Seblak itu tetap di gerobak, perlahan mendingin, seperti hubungan yang baru saja mencoba tumbuh namun harus berakhir sebelum dimulai.Fonita menatap punggung Rizky yang semakin menjauh. Ada rasa sedih di hatinya. Ia tidak ingin menyakiti Rizky, tapi ia juga tidak bisa mengkompromikan prinsipnya. Baginya, batasan fisik adalah salah satu pondasi keimanan yang harus ia jaga. Ia tidak bisa membangun hubungan di atas fondasi yang rapuh. Ia menyadari, percobaannya untuk berkompromi dengan kata-kata manis Rizky telah gagal. Ia butuh seseorang yang benar-benar memahami dan menghargai nilai-nilai yang ia yakini, tanpa harus ia jelaskan. Seseorang yang tidak hanya mau menerima, tapi juga mau menjaga.Bab 5: Doa di Atas SajadahMalam itu, setelah seluruh gerobak seblak bersih dan tertutup rapat, Fonita tidak langsung pulang. Ia melangkah ke dalam rumahnya yang sederhana, melewati ruang tamu, dan menuju kamarnya. Ia tidak menceritakan kejadian sore itu kepada ibunya, tidak ingin membuat sang ibu khawatir. Namun, ia tidak bisa memendam perasaannya sendiri. Ia butuh tempat berkeluh kesah yang paling tulus. Di kamarnya yang hanya berisi sebuah kasur lipat dan lemari kayu, Fonita membentangkan sajadah. Ia mengambil wudu dengan khusyuk. Air wudu yang membasahi wajahnya terasa menenangkan, seolah menghapus kegelisahan yang ia rasakan. Dalam keheningan malam, ia berdiri menghadap kiblat, siap untuk berbincang dengan Rabb-nya.Salat Isya' ia tunaikan dengan sepenuh hati, namun ia tahu ada yang kurang. Ada ganjalan yang harus ia ceritakan. Setelah salam, ia tidak buru-buru melipat sajadah. Ia menengadahkan kedua tangannya, memohon ampunan dan petunjuk. "Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba merasa sedih karena mungkin telah menyakiti hati Rizky. Hamba tidak bermaksud begitu. Hamba hanya berusaha menjaga batasan yang telah Engkau tetapkan," bisiknya pelan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia melanjutkan doanya, meluapkan seluruh isi hatinya. Ia ceritakan tentang betapa ia merasa Rizky hanya melihat luarnya saja. Ia sampaikan kegundahannya tentang konsep "diterima apa adanya" yang terasa dangkal. Ia tahu, dalam hidup, ia ingin terus bertumbuh, menjadi pribadi yang lebih baik, lebih taat, dan lebih dekat dengan-Nya. Dan ia butuh pasangan yang tidak hanya mau menerima masa kini, tapi juga mau membersamai perjalanan masa depan. "Ya Allah, hamba tidak ingin hanya sekadar diterima. Hamba ingin menemukan seseorang yang bisa bertumbuh dan berkembang bersama hamba. Seseorang yang mau mendukung hamba menjadi versi terbaik dari diri hamba. Seseorang yang juga memiliki niat yang sama," bisiknya lagi, air mata akhirnya menetes membasahi pipi.Setelah lama berdoa, Fonita merasa sedikit lebih lega. Ia melipat sajadahnya, dan duduk bersandar di dinding. Saat itulah, sang ibu, yang ternyata diam-diam mengamati dari luar kamar, masuk. "Kenapa, Nak? Ada masalah?" tanya ibunya lembut, sambil mengusap pundak Fonita. Fonita tak bisa lagi menahan tangisnya. Ia memeluk ibunya dan menceritakan semuanya. Mulai dari Rizky yang sering datang, pujian-pujiannya, hingga kejadian sore itu di mana ia harus menjaga batasan. Ibunya mendengarkan dengan sabar. Setelah Fonita selesai bercerita, sang ibu tersenyum tulus. "Fonita anak Ibu yang hebat. Kamu melakukan hal yang benar, Nak. Mencari jodoh itu bukan seperti memilih baju di toko, yang mana kita hanya melihat model dan ukurannya saat ini. Tapi kita harus melihat bahannya, jahitannya, dan bagaimana baju itu bisa bertahan lama. Bagaimana ia akan menemani kita dalam setiap langkah, setiap hujan dan badai," ujar ibunya, memberikan perumpamaan yang indah. "Kamu benar. 'Diterima apa adanya' itu memang penting, tapi itu baru permulaan. Setelah itu, yang lebih penting adalah 'bertumbuh bersama'. Ibu yakin, Allah akan memberikan yang terbaik untukmu. Orang yang tidak hanya melihat siapa kamu hari ini, tapi juga siapa kamu kelak. Orang yang akan menjadi partner sejatimu, baik di dunia maupun di akhirat." Kata-kata ibunya bagaikan balsam. Fonita mengangguk, menyeka air matanya, dan ia merasa seolah hatinya kembali pulih. Ia merumuskan kembali premis hidupnya, bukan hanya dalam doa, tapi juga dalam hatinya. Ia tidak akan lagi berkompromi dengan prinsipnya, dan ia akan menunggu, dengan sabar, janji Allah yang pasti.Bab 6: Bimbingan dari Masjid AgungSetelah kejadian dengan Rizky, Fonita memutuskan untuk benar-benar fokus pada dirinya. Ia tidak lagi terbebani dengan ekspektasi orang lain, atau pun mencari pengakuan dari siapa pun. Gerobak seblaknya tetap ramai, namun ia menjaga jarak yang lebih tegas. Ia tidak lagi melayani obrolan personal dari pelanggan pria, kecuali jika itu terkait dengan pesanan. Fonita sadar, untuk menjadi versi terbaik dari dirinya, ia harus menambah ilmu. Maka, setiap malam Jumat, ia mulai rutin mendatangi kajian yang diadakan di Masjid Agung Tasikmalaya. Kajian itu diisi oleh seorang ustadz yang berwibawa, seringkali membahas tentang fikih muamalah, akhlak, dan pentingnya mencari rezeki yang halal. Fonita merasa hatinya semakin tenang dan pikirannya semakin terbuka.Di salah satu kajian, ia bertemu dengan seorang pemuda yang wajahnya terasa asing namun menyejukkan. Namanya Arif, seorang arsitek muda yang juga aktif dalam kegiatan dakwah. Arif tidak banyak bicara. Ia lebih sering duduk di sudut masjid, menyimak setiap perkataan ustadz dengan saksama, dan sesekali mencatat di buku kecilnya. Interaksi pertama mereka terjadi saat kajian selesai. Fonita, yang sedang membereskan mukena, tak sengaja menjatuhkan buku catatan kecilnya. Arif, yang kebetulan lewat, melihatnya. Ia tidak langsung mengambil buku itu dengan tangannya. Dengan sopan, ia melangkah maju, mendorong buku itu dengan ujung kakinya hingga dekat dengan Fonita. "Maaf, Ukhti," ucapnya pelan, tanpa menatap langsung ke wajah Fonita, "Bukunya jatuh." Fonita terkesima. Ia baru saja akan mengambil buku itu, namun Arif sudah bergegas pergi, tanpa menunggu ucapan terima kasih. Sikap Arif begitu berbeda. Ia menjaga pandangannya, tidak mencoba mencari kesempatan untuk berbicara lebih jauh, dan bahkan menghindari sentuhan secara tidak langsung.Minggu-minggu berikutnya, Fonita sering melihat Arif di kajian yang sama. Obrolan mereka pun terjadi, namun bukan obrolan yang santai seperti dengan Rizky. Mereka berbicara dalam konteks kegiatan masjid, atau saling bertanya tentang pemahaman materi kajian. Suatu hari, setelah kajian selesai, Fonita dan beberapa teman wanita lainnya sedang mendiskusikan rencana untuk mengumpulkan donasi bagi anak yatim. Arif, yang kebetulan mendengarkan dari kejauhan, menghampiri mereka. "Maaf, ukhti. Saya tidak bermaksud lancang," ujarnya, menundukkan pandangannya. "Tadi saya mendengar rencana donasi. Jika berkenan, kami dari komunitas Arsitek Mengabdi juga ingin ikut berpartisipasi. Kami bisa bantu membuat desain sederhana untuk renovasi panti asuhan, atau sekadar membuat proposal yang lebih terstruktur." Ajakan Arif terasa begitu tulus. Tidak ada kata-kata manis atau pujian yang dilontarkan. Yang ada hanyalah niat baik dan keinginan untuk berbuat lebih baik. Fonita merasakan sesuatu yang berbeda. Arif tidak memandang dirinya sebagai sosok yang harus dirayu, melainkan sebagai partner dalam kebaikan. Ia melihat Fonita sebagai individu yang memiliki potensi untuk tumbuh, bukan hanya secara materi, tetapi juga secara spiritual. Fonita tahu, inilah jenis hubungan yang ia doakan selama ini. Hubungan yang dibangun di atas pondasi keimanan dan keinginan untuk sama-sama menjadi lebih baik.Bab 7: Obrolan tentang Mimpi dan IlmuSejak pertemuan di masjid itu, Fonita dan Arif mulai terhubung dalam konteks yang berbeda. Bukan lagi tentang seblak atau pujian manis, melainkan tentang mimpi dan ilmu. Komunitas Fonita yang mengurus donasi untuk anak yatim akhirnya berkolaborasi dengan komunitas Arsitek Mengabdi yang digerakkan Arif. Interaksi mereka terjadi melalui pesan singkat, atau sesekali dalam rapat kecil yang selalu diadakan di area masjid dan dihadiri oleh anggota komunitas lainnya."Ukhti Fonita, saya sudah buatkan sketsa sederhana untuk renovasi panti asuhan," tulis Arif dalam pesan WhatsApp. "Bagaimana menurut antum? Saya fokuskan pada sirkulasi udara dan pencahayaan alami, biar anak-anak nyaman belajarnya." Fonita membaca pesan itu sambil tersenyum. Ia merasa takjub dengan pemikiran Arif. Ia tidak hanya menawarkan bantuan, tapi juga memikirkan detail-detail kecil yang begitu mendalam.Suatu hari, setelah rapat komunitas, Fonita dan Arif tanpa sengaja berjalan berdampingan menuju pintu keluar masjid, dengan jarak yang tetap terjaga. Fonita memberanikan diri untuk memulai obrolan di luar konteks komunitas. "Terima kasih banyak, Kang Arif, atas bantuannya. Desainnya bagus sekali," ujar Fonita. "Sama-sama, Ukhti. Itu sudah menjadi kewajiban kami, bisa bermanfaat untuk sesama," jawab Arif dengan rendah hati. "Ngomong-ngomong, saya suka lihat semangat Ukhti dalam berdagang. Jarang sekali ada yang begitu gigih dan menjaga batasan seperti Ukhti." Pujian dari Arif terasa berbeda. Ia tidak memuji kecantikannya, melainkan semangat dan ketaatannya. Fonita merasa hatinya hangat. "Itu sudah menjadi prinsip saya, Kang. Berdagang juga bagian dari ibadah, jadi harus dilakukan dengan benar."Arif mengangguk setuju. "Betul. Dan menurut saya, bisnis Ukhti punya potensi besar. Apalagi seblak Ukhti sudah terkenal. Kalau saja gerobak itu bisa dikembangkan jadi kedai kecil, saya yakin akan lebih banyak pelanggan yang datang." Fonita terkejut. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Selama ini, gerobak seblak sudah cukup baginya. Tapi mendengar ide dari seorang arsitek membuat pikirannya terbuka. "Saya... tidak tahu harus mulai dari mana, Kang. Modal juga terbatas," jawab Fonita jujur. "Mulai dari mimpi, Ukhti. Dan doa," kata Arif sambil tersenyum. "Setelah itu, kita bisa buat rencana kecil-kecilan. Saya bisa bantu buatkan sketsa desain dan perkiraan biayanya. Mungkin tidak akan langsung jadi, tapi setidaknya kita punya tujuan." Fonita terdiam, mencerna setiap perkataan Arif. Obrolan mereka tidak hanya membahas urusan dunia, tapi juga menyentuh impian dan bagaimana mewujudkannya. Rizky hanya membicarakan tentang seberapa ia menerima Fonita, tapi Arif, tanpa banyak bicara, telah menunjukkan bagaimana ia bisa menjadi partner untuk bertumbuh dan berkembang. Ia tidak hanya menerima Fonita sebagai penjual seblak, tetapi melihat potensi tersembunyi dan menawarkan bantuannya untuk mewujudkannya. Fonita menyadari, inilah cinta dalam bentuk yang paling mulia: cinta yang mengajak untuk menjadi pribadi yang lebih baik.Bab 8: Seblak, Arsitektur, dan AkhlakBeberapa hari setelah obrolan di masjid, Fonita menerima sebuah file PDF dari Arif. Bukan tentang panti asuhan, melainkan sebuah proposal sederhana untuk "Seblak Khas Neng Foni". Di dalamnya terdapat sketsa denah kedai, ilustrasi visual, hingga perkiraan biaya kasar. Fonita tertegun. Arif tidak hanya sekadar bicara, ia benar-benar mewujudkannya. Proposal itu ia pelajari dengan saksama di gerobak seblaknya yang sedang sepi. Desainnya sederhana, modern, namun tetap mengutamakan kenyamanan. Arif merancang kedai kecil dengan area duduk yang nyaman, ventilasi yang baik, dan bahkan memasukkan ide area salat kecil untuk pelanggan muslim. Yang paling menyentuh hati Fonita, Arif menyematkan tulisan "Barakah" di salah satu sudut desain. "Arif... dia melihat lebih dari sekadar seblak," batin Fonita.Rizky dulu hanya melihat gerobak seblak sebagai bagian dari pesona Fonita, sebuah hal yang membuatnya "unik". Ia memuji seblak itu sebagai pelengkap dari keseluruhan "paket lengkap" yang ia lihat. Namun, Arif melihat gerobak seblak itu sebagai sebuah pondasi, sebuah potensi yang bisa dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih besar, tidak hanya secara bisnis, tapi juga dalam hal kebermanfaatan. Fonita teringat kembali pada interaksi dengan Rizky. Rizky selalu mencoba melontarkan rayuan tentang "menerima apa adanya". Seolah-olah, Fonita harus puas dengan kondisinya saat ini, dengan gerobak seblak yang kecil. Ia tidak mengajak Fonita untuk melangkah maju, untuk bermimpi lebih tinggi. Sebaliknya, Arif, tanpa banyak kata, langsung menunjukkan bentuk nyata dari dukungannya untuk Fonita agar bisa bertumbuh."Semoga ini bisa jadi referensi buat Ukhti. Kalau ada yang mau diubah, bilang saja," pesan Arif yang menyertai file itu. Bantuan Arif bukan sekadar profesionalitasnya sebagai arsitek. Ada akhlak yang luhur di balik setiap tindakannya. Ia tidak menuntut imbalan, tidak mencoba mendekat secara personal, dan selalu menjaga interaksi mereka tetap berada dalam koridor yang syar'i. Ia melihat Fonita sebagai seorang muslimah yang berjuang dan layak didukung, bukan sebagai objek yang harus digombali. Fonita menyadari satu hal. Cinta yang sejati itu bukan hanya tentang menerima kekurangan, tapi juga tentang menumbuhkan kelebihan. Cinta yang sejati adalah tentang melihat potensi dalam diri seseorang dan membantu mereka untuk berkembang. Itu adalah cinta yang akan membawa pasangan menuju kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Di gerobak seblaknya, Fonita tersenyum sendiri. Ia tidak lagi memikirkan Rizky. Pikirannya kini dipenuhi dengan ide-ide dari Arif. Ia mulai membayangkan kedai seblaknya yang baru. Di antara wajan panas dan aroma kencur, ia tidak lagi merasa sendirian. Ia merasa ada seseorang, meskipun hanya melalui interaksi yang terbatas, yang telah menjadi partner baginya untuk "bertumbuh".Bab 9: Kesadaran Jati DiriBerbekal sketsa dan proposal dari Arif, Fonita mulai menabung dengan lebih giat. Ia tidak lagi hanya berjualan seblak, tetapi juga menerima pesanan nasi boks untuk acara-acara kecil di sekitar lingkungannya. Setiap rupiah yang ia kumpulkan, terasa lebih bermakna. Tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk mewujudkan mimpi yang kini terasa begitu nyata. Interaksinya dengan Arif terus berlanjut, tetapi hanya seputar urusan komunitas dan sesekali membahas perkembangan rencana kedai seblaknya. Arif tidak pernah bertanya tentang hal-hal personal, tidak pernah memancing obrolan di luar batas, dan tidak pernah sekalipun memuji fisiknya. Namun, justru itulah yang membuat Fonita merasa dihargai secara utuh. Arif menghargainya bukan karena penampilannya, melainkan karena kerja keras, kegigihan, dan niatnya yang tulus.Suatu sore, saat gerobaknya sepi, Fonita merenung. Ia mengambil buku catatan kecilnya dan menuliskan perbedaan yang ia rasakan antara Rizky dan Arif. Perenungan itu menguatkan kesadaran Fonita. Rizky hanya melihat ia sebagai "sesuatu" yang bisa dimiliki. Ia menawarkan hubungan yang statis, di mana Fonita harus merasa cukup dengan dirinya yang sekarang. Sebaliknya, Arif, dengan sikapnya yang tenang, telah menunjukkan padanya bahwa sebuah hubungan haruslah dinamis. Ia harus menjadi sebuah tim yang saling mendukung, bukan hanya dalam menghadapi masalah, tetapi juga dalam meraih mimpi dan mencapai ketaatan yang lebih tinggi. Fonita tersenyum sendiri. Ia tahu, ia telah menemukan jawaban atas doanya. Arif adalah sosok yang ia cari. Ia tidak hanya menerima Fonita dengan segala keterbatasan, tetapi juga bersedia menjadi partner untuk "bertumbuh". Hubungan yang mereka jalani, meski belum terikat secara resmi, terasa lebih bermakna dan berlandaskan iman. Ia tidak lagi merasa sedih tentang kejadian dengan Rizky, karena ia tahu, Allah telah menjauhkan yang tidak tepat untuknya, dan mendekatkan seseorang yang akan menjadi jembatan baginya untuk menjadi pribadi yang lebih baik."Ternyata, kebahagiaan itu bukan tentang menemukan seseorang yang mau menerimamu apa adanya," batin Fonita. "Tapi tentang menemukan seseorang yang melihat potensimu, dan mau membantumu menjadi versi terbaik dari dirimu."Bab 10: Lamaran yang Tak TerdugaBeberapa minggu berlalu. Komunikasi antara Fonita dan Arif tetap terjaga, namun tiba-tiba, Arif menghilang. Tidak ada lagi pesan yang datang. Ia tidak terlihat di kajian rutin malam Jumat. Fonita merasa khawatir, namun juga berusaha berbaik sangka. Mungkin Arif sedang sibuk dengan pekerjaannya sebagai arsitek. Meskipun begitu, ia tidak bisa menampik rasa cemas yang mulai menggerogoti hatinya. "Mungkin ini hanya perasaanku saja," batin Fonita. "Mungkin dia bukan sosok yang tepat. Mungkin Allah punya rencana lain." Ia kembali fokus pada gerobak seblaknya. Ia terus menabung, berharap suatu hari nanti bisa mewujudkan impiannya, sendirian sekalipun. Ia sudah berjanji pada dirinya, ia tidak akan lagi menggantungkan kebahagiaannya pada kehadiran orang lain. Ia akan terus bertumbuh meski tanpa partner.Suatu sore, saat ia sedang membersihkan gerobak, sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan rumahnya. Fonita terkejut. Dari mobil itu, turunlah seorang bapak-bapak paruh baya yang berwibawa, seorang ibu yang terlihat anggun, dan di belakang mereka, Fonita melihat wajah yang sangat ia kenali: Arif. Jantung Fonita berdebar kencang. Ia segera masuk ke dalam rumah. Ibunya, yang kebetulan sedang berada di halaman, menyambut para tamu dengan bingung. Setelah dipersilakan masuk, bapak-bapak itu memperkenalkan diri. "Assalamu'alaikum, Ibu. Saya Bapak Harun, dan ini istri saya, Ibu Sarah," ucap bapak itu ramah. "Kami datang bersama putra kami, Arif. Sebetulnya sudah lama kami ingin datang, tapi Arif ini tidak enak hati karena menunggu sampai ia merasa pantas."Fonita, yang kini sudah duduk di sebelah ibunya, semakin bingung. Ia melirik Arif yang kini menunduk, tidak berani menatapnya. Raut wajah Arif tidak seperti biasanya. Ia terlihat canggung dan malu-malu. Ibu Fonita, yang sudah mulai menangkap maksud kedatangan mereka, tersenyum hangat. "Ada keperluan apa, Bapak dan Ibu?" tanyanya lembut. Bapak Harun tersenyum, lalu menatap Fonita. "Kedatangan kami adalah untuk menyampaikan niat baik kami, Ibu. Kami ingin melamar putri Ibu, Fonita, untuk putra kami, Arif," ucapnya dengan suara yang tegas namun penuh kehangatan. Fonita terkesiap. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Matanya berkaca-kaca. Jadi, ini alasan Arif menghilang? Ia tidak menghilang, melainkan sedang mempersiapkan diri untuk datang dengan cara yang terhormat. Ia tidak ingin mengumbar janji atau kata-kata manis, melainkan datang dengan niat tulus yang diperlihatkan melalui perbuatan."Arif menceritakan semuanya pada kami, Nak Fonita," sambung Ibu Sarah. "Ia bilang, ia menemukan sosok yang bukan hanya cantik di luar, tapi juga kuat imannya. Ia ingin menjadi partner untuk bertumbuh bersamamu, bukan sekadar menerima apa adanya. Ia juga bilang, ia ingin kau jadi bagian dari dirinya, yang menemani ia terus bertumbuh dan menjadi lebih baik." Fonita menunduk, air mata haru jatuh membasahi pipinya. Ia menoleh ke arah ibunya yang tersenyum tulus, seolah mengatakan, "Ini jawaban dari doamu." Ia kini tahu, menunggu bukanlah hal yang sia-sia. Allah tidak pernah tidur, dan setiap doa akan selalu didengar, serta dijawab dengan cara yang paling indah. Fonita akhirnya menemukan apa yang ia cari. Ia tidak hanya menemukan seseorang yang "menerima apa adanya", tapi juga seseorang yang ingin "bertumbuh bersama."Bab 11: Proses Menuju HalalSuasana sore itu, yang tadinya dipenuhi kekhawatiran Fonita, kini berubah menjadi hangat. Setelah lamaran resmi diterima, kedua keluarga duduk bersama. Pembicaraan mereka mengalir lancar, dari rencana pernikahan hingga visi keluarga yang Islami. Fonita dan Arif duduk di sisi yang berbeda, namun hati mereka terhubung oleh niat yang sama. "Arif menceritakan banyak hal pada kami. Tentang kegigihan Fonita dalam berdagang dan menjaga diri," ujar Ibu Sarah, menatap Fonita dengan penuh kasih. "Kami merasa, tidak ada yang lebih baik selain menyegerakan pernikahan ini agar kalian bisa saling menjaga dan bertumbuh bersama." Fonita tersipu malu. Ia melirik Arif yang kini masih menunduk. Ia merasa sangat terharu. Ternyata, selama ini, Arif tidak hanya melihat dari jauh, tetapi juga memperhatikan dan menghargai setiap langkah yang ia ambil. Ia tidak hanya ingin memiliki Fonita, tetapi juga ingin menjadi bagian dari perjalanan Fonita.Proses taaruf mereka pun dimulai. Tidak ada lagi pertemuan tersembunyi atau obrolan yang tidak penting. Mereka berbicara melalui perantara orang tua, atau dalam pertemuan yang selalu didampingi oleh wali. Topik pembicaraan mereka pun jauh dari sekadar rayuan. Mereka membahas tentang visi dan misi rumah tangga, tentang cara mendidik anak-anak kelak, tentang bagaimana mereka akan saling mendukung dalam ketaatan, dan tentang impian untuk membangun kedai seblak yang tidak hanya menghasilkan uang, tetapi juga membawa keberkahan. Arif dengan jujur menceritakan perjuangannya sebagai arsitek muda, dan bagaimana ia ingin terus berkarya untuk kemaslahatan umat. Fonita juga terbuka tentang mimpinya untuk terus mengembangkan bisnisnya, agar bisa membantu keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Mereka menemukan bahwa mimpi-mimpi mereka saling beririsan, saling melengkapi.Satu sore, saat kedua keluarga sedang berdiskusi, Fonita dan Arif diberi kesempatan untuk berbincang berdua, di ruang yang terpisah namun tetap dalam pengawasan. "Maaf, Fonita," ujar Arif, suaranya pelan. "Beberapa minggu lalu saya sengaja menjauh. Saya ingin menunjukkan pada diri saya dan keluarga saya, bahwa saya datang bukan hanya dengan janji, tapi dengan bukti." Fonita tersenyum. "Saya tahu, Kang. Saya percaya. Dan saya merasa, apa yang Kang Arif lakukan itu jauh lebih berarti daripada ribuan kata-kata manis." "Saya ingin kita berdua tidak hanya menjadi sepasang suami istri, tapi juga partner. Partner dalam meraih kebaikan, partner dalam belajar agama, partner dalam membangun keluarga yang sakinah, partner dalam bertumbuh dan menjadi versi terbaik dari diri kita masing-masing," ucap Arif tulus. Fonita menunduk, air mata haru kembali menetes. Itulah kalimat yang selama ini ia harapkan, kalimat yang menjadi jawaban dari doanya. Ia tidak hanya akan diterima "apa adanya", tetapi juga akan didukung untuk "bertumbuh". "InsyaAllah, Kang Arif," jawab Fonita, "Saya juga ingin begitu."Bab 12: Akad di Bawah Langit TasikmalayaUdara pagi di Tasikmalaya terasa lebih sejuk dari biasanya. Langit biru membentang tanpa awan, seolah turut merestui sebuah ikatan suci. Di ruang tamu rumah Fonita yang sederhana, segala persiapan telah matang. Bunga melati putih tersebar, aroma wangi dari dupa menguar lembut, dan wajah-wajah keluarga terlihat penuh kebahagiaan. Fonita, mengenakan kebaya putih sederhana dengan hijab yang menjuntai menutupi dada, terlihat begitu anggun. Jantungnya berdebar kencang. Hari ini, ia akan mengucapkan janji suci, bukan dengan seseorang yang hanya sekadar menerima, melainkan dengan seseorang yang telah menunjukkan niat tulus untuk bertumbuh bersamanya.Di sisi lain ruangan, Arif duduk di depan penghulu. Wajahnya terlihat tegang, namun penuh kepastian. Di tangannya, ia memegang tangan ayah Fonita, siap untuk mengucapkan janji yang akan mengikat dua jiwa. "Ananda Muhammad Arif bin Bapak Harun, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya, Fonita binti Bapak Fajar, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan Al-Qur'an, dibayar tunai." Dengan satu tarikan napas, Arif menjawab lantang, "Saya terima nikah dan kawinnya Fonita binti Bapak Fajar, dengan mas kawin tersebut, tunai!" Satu napas yang diucapkan dengan lantang itu, mengikat dua hati dalam sebuah ikatan suci yang diridhai Allah. Seluruh tamu yang hadir mengucapkan "Alhamdulillah," mengiringi kebahagiaan yang membuncah.Setelah doa selesai, Arif dipersilakan untuk menghampiri Fonita. Dengan hati-hati, ia melangkah maju. Ia melihat Fonita yang masih menunduk, air mata haru membasahi pipinya. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, Arif mengangkat tangannya, bukan untuk menyentuh, melainkan untuk menggenggam tangan Fonita, kini sebagai suaminya yang sah. Sentuhan itu terasa berbeda. Bukan sentuhan yang canggung seperti yang ia rasakan dari Rizky, tetapi sentuhan yang penuh dengan kasih sayang dan rasa syukur. Fonita mendongok, menatap mata Arif yang juga berkaca-kaca. Di mata Arif, ia tidak lagi melihat pujian kosong atau rayuan dangkal. Ia melihat ketulusan, rasa hormat, dan janji untuk saling menjaga.Setelah itu, Fonita berbisik, "Kang Arif..." Arif tersenyum. "Sekarang saya adalah suamimu, Fonita. Kamu bisa memanggil saya 'Mas'," bisiknya. Fonita tersenyum, pipinya merona. Ia teringat kembali pada masa-masa ia menjaga diri, menolak sentuhan, dan menanti seseorang yang tidak hanya "menerima apa adanya". Kini, di hadapannya, ada seorang pria yang telah membuktikan bahwa cinta sejati bukanlah tentang menerima kekurangan, tetapi tentang menumbuhkan kelebihan bersama-sama. Mereka kini akan berjalan beriringan, tidak hanya untuk membangun kedai seblak yang lebih besar, tetapi juga untuk membangun keluarga yang penuh berkah. Dan di bawah langit Tasikmalaya yang cerah, Fonita tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Perjalanan untuk menjadi versi terbaik dari dirinya, bersama dengan partner sejati yang telah Allah kirimkan.Bab 13: Langkah Pertama di Gerobak BerduaHari-hari berlalu begitu cepat. Dua minggu setelah akad nikah, kehidupan Fonita dan Arif berubah drastis. Rumah sederhana Fonita yang dulunya sunyi, kini dipenuhi tawa dan perbincangan hangat. Mereka memulai hari dengan salat Subuh berjamaah, dilanjutkan dengan sarapan sederhana yang disiapkan Fonita, dan diakhiri dengan obrolan ringan tentang rencana hari itu. "Ini saya sudah hitung perkiraan biaya untuk renovasi kedai kita, Fonita," ujar Arif suatu pagi, sambil menyerahkan sebuah buku catatan. Ia kini tidak lagi memanggil Fonita dengan "Ukhti," melainkan dengan sebutan yang lebih akrab, "Fonita," atau sesekali "Sayang." "Alhamdulillah, Mas," jawab Fonita, tersenyum. "Seblak hari ini akan lebih enak dari biasanya, sebagai ucapan terima kasih." Arif hanya tertawa. Ia tidak hanya terlibat dalam perencanaan, tetapi juga dalam operasional harian. Ia kini menjadi manajer keuangan dadakan untuk usaha seblak Fonita. Ia membantu mencatat pemasukan dan pengeluaran, mengelola persediaan, dan merencanakan strategi pemasaran sederhana. Gerobak yang tadinya hanya diurus Fonita, kini menjadi "gerobak berdua".Suatu sore, saat pelanggan ramai, Fonita sibuk meracik bumbu, sementara Arif sigap melayani pelanggan dan mencatat pesanan. Wajahnya yang dulu selalu terlihat serius di kajian, kini tampak berseri-seri saat ia tersenyum kepada pelanggan. "Seblak pedas level 5 satu, Kang!" teriak seorang pelanggan. "Siap, Kang! Fonita, pedas level 5!" balas Arif kepada istrinya. Fonita terkekeh. "Siap, Mas!" Di tengah kesibukan itu, Fonita melirik Arif. Ia melihat suaminya yang tidak segan untuk membantu, yang tidak merasa gengsi untuk terlibat dalam usaha seblak. Ia teringat kembali pada Rizky, yang hanya bisa memuji. Arif, sebaliknya, menunjukkan cintanya melalui perbuatan. Ia tidak hanya menerima "apa adanya", tetapi ia terjun langsung, menjadi bagian dari "perjalanan" Fonita.Malam harinya, setelah gerobak bersih dan ditutup, mereka duduk di teras. Langit Tasikmalaya bertabur bintang, sama seperti malam di mana Fonita merenung dan berdoa. "Mas," ucap Fonita, memulai percakapan. "Teringat dulu, saya pernah berdoa semoga menemukan seseorang yang bisa 'bertumbuh' bersama. Saya tidak menyangka Allah menjawabnya dengan begitu indah." Arif memegang tangan Fonita dengan lembut, kini tanpa ragu. "Fonita, kamu adalah jawaban dari doaku. Saya tidak hanya ingin mencari istri, tapi juga mencari teman seperjuangan di dunia dan di akhirat. Saya ingin kita saling mendukung, saling mengingatkan, dan saling membantu agar menjadi versi terbaik dari diri kita masing-masing." Fonita tersenyum, air mata haru menggenang di matanya. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Arif. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Perjalanan yang tidak akan mudah, namun dengan seorang partner yang ingin bertumbuh bersama, ia yakin, jalan menuju kebaikan akan selalu terbuka lebar.Bab 14: Dua Belas Purnama yang TergenapSatu tahun telah berlalu. Dua belas purnama telah berganti. Gerobak seblak Fonita kini tidak lagi berada di pinggir Jalan BKR. Di sudut gang yang tidak jauh dari gerobak lamanya, berdiri sebuah kedai kecil yang sederhana namun nyaman. Desainnya persis seperti yang Arif rencanakan. Ada sebuah papan nama kecil yang elegan bertuliskan: "Seblak Barakah". Kedai itu tidak pernah sepi. Selain seblak, Fonita juga menambah menu baru seperti cireng bumbu rujak dan cilok goang. Arif, yang kini bekerja di sebuah kantor arsitek, selalu menyempatkan diri untuk membantu Fonita di sore hari. Ia tidak lagi sekadar membantu, tetapi menjadi partner sejati.Suatu sore yang cerah, seorang pelanggan yang wajahnya familiar datang. Itu Rizky. Ia terlihat lebih dewasa, dengan pakaian yang rapi, namun ada sorot kekecewaan di matanya saat melihat Fonita dan Arif yang kini bekerja bersama. "Seblaknya masih enak, Neng. Tapi kok sekarang yang layanin sudah beda?" tanya Rizky, berusaha tersenyum. Fonita tersenyum lembut. "Ini suami saya, Kang Rizky. Dialah yang bantu saya mewujudkan mimpi ini." Rizky terdiam. Ia menatap Arif, lalu menatap Fonita. Ia melihat aura kebahagiaan yang tulus terpancar dari wajah Fonita. Ia menyadari, "diterima apa adanya" yang ia tawarkan dulu terasa begitu dangkal. Fonita tidak hanya diterima, tetapi juga didukung untuk menjadi lebih baik. Rizky sadar, ia tidak bisa memberikan apa yang Arif berikan: dukungan untuk bertumbuh.Setelah Rizky pergi, Arif menatap Fonita. Ia tahu siapa Rizky. Ia tahu masa lalu Fonita. Namun, ia tidak cemburu. Ia hanya bersyukur. "Fonita," ucapnya sambil menggenggam tangan Fonita, "Lihatlah, dari gerobak kecil, kita bisa membangun ini. Ini adalah bukti bahwa kita bisa bertumbuh bersama." Fonita mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Mas, semua ini berkat doa-doa dan dukunganmu. Kamu tidak hanya menerima saya apa adanya, tapi kamu juga membantu saya menjadi versi terbaik dari diri saya." Arif tersenyum, "Dan kamu adalah partner terbaikku, Fonita. Kamu adalah jawabanku untuk menjadi yang terbaik bagi-Nya." Mereka saling menatap. Di antara aroma seblak yang khas, tawa pelanggan yang riang, dan langit sore Tasikmalaya yang jingga, Fonita tahu, ia telah menemukan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang bukan hanya datang dari seorang pasangan, tetapi dari perjalanan spiritual untuk saling mendukung dan saling menguatkan. Dua belas purnama telah tergenapi. Dan dengan bismillah, mereka siap menyongsong purnama-purnama selanjutnya, dengan janji untuk terus bertumbuh bersama.Bab 15: Berkah dan Bayi PertamaTiga tahun telah berlalu sejak kedai Seblak Barakah dibuka. Kedai kecil itu kini tidak lagi sepi. Dengan sentuhan arsitektur dari Arif dan rasa seblak yang khas dari Fonita, tempat itu menjadi salah satu tujuan kuliner favorit di Tasikmalaya. Para pelanggan tidak hanya datang untuk seblak, tetapi juga untuk menikmati suasana yang nyaman dan Islami. Namun, bukan hanya kedai yang mengalami pertumbuhan. Fonita dan Arif juga. Kini, mereka tidak lagi hanya berdua. Di tengah malam, tangisan bayi memecah keheningan. Sebuah suara yang jauh lebih merdu dari apa pun. Anak pertama mereka lahir, seorang putri yang diberi nama Hilya, yang berarti 'perhiasan'.Kehidupan mereka semakin berwarna. Fonita tidak lagi menghabiskan seluruh waktunya di kedai. Beberapa karyawan kini membantunya, memungkinkannya untuk menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, mengurus Hilya. Arif, meski sibuk dengan proyek-proyek arsitekturnya, selalu menyempatkan diri untuk ikut andil dalam mengurus putri mereka. Ia tidak merasa gengsi untuk menggendong Hilya atau mengganti popok. Baginya, itu adalah bentuk ibadah dan cinta. Suatu sore, saat Hilya tertidur pulas di pangkuan Arif, Fonita duduk di sampingnya. Ia memandang suaminya yang terlihat begitu tulus dan penuh kasih sayang. "Mas," panggil Fonita lembut. Arif mendongak, tersenyum. "Kenapa, Sayang?" "Saya masih tidak percaya, dari sebuah gerobak seblak, kita bisa sampai di titik ini. Kita punya kedai yang berkah, dan sekarang... kita punya Hilya."Arif mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Ini semua karena kita. Kamu tidak hanya menerima saya apa adanya, tapi kamu juga percaya bahwa kita bisa menjadi lebih baik. Dan saya... saya tidak hanya menerima kamu, tapi saya melihat potensi luar biasa dalam dirimu. Saya ingin jadi partner yang membantumu menjadi versi terbaik dari dirimu." Fonita tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia melihat kembali ke belakang, saat ia masih gadis penjual seblak yang menolak sentuhan. Ia teringat akan Rizky, yang hanya bisa memuji apa yang ia lihat di permukaan. Dan kini, ia memiliki Arif, seorang pria yang tidak hanya melihat apa yang sudah ada, tetapi juga melihat apa yang bisa ia capai. "Dulu, saya pikir kebahagiaan itu tentang menemukan seseorang yang mau menerima saya," bisik Fonita. "Ternyata, kebahagiaan itu adalah tentang menemukan seseorang yang bisa bertumbuh bersama. Bersamamu, Mas, saya merasa tidak hanya diterima, tapi juga disempurnakan." Arif menoleh, tersenyum tulus. Ia mencium kening Fonita dengan penuh cinta. "Sempurna itu hanya milik Allah, Sayang. Kita hanya saling menyempurnakan. InsyaAllah, hingga ke Jannah." Mereka duduk berdua di teras rumah mereka, ditemani oleh Hilya yang pulas dalam buaian kasih sayang. Aroma seblak dari kedai masih tercium, namun kini aromanya terasa jauh lebih manis. Aromanya adalah aroma berkah, aroma keluarga yang utuh, aroma cinta yang tumbuh dari niat tulus untuk saling menyempurnakan.Bab 16: Jejak Kebaikan dan Impian BaruWaktu terus bergulir. Hilya, putri pertama Fonita dan Arif, kini sudah genap lima tahun. Kedai Seblak Barakah semakin berkembang pesat, bahkan kini memiliki cabang kedua yang dikelola oleh adik Fonita. Kehidupan Fonita tidak lagi hanya berputar pada wajan dan rempah. Bersama Arif, ia mulai fokus pada kegiatan sosial. Keuntungan dari kedai mereka tidak hanya digunakan untuk kebutuhan keluarga, tetapi juga disisihkan untuk membangun sebuah panti asuhan kecil, persis seperti mimpi yang pernah mereka bicarakan dulu. Panti asuhan itu berdiri kokoh di pinggir kota, dinamai "Panti Asuhan Seblak Barakah". Arif merancang bangunannya dengan penuh cinta, memastikan setiap sudutnya nyaman dan penuh cahaya. Sementara Fonita, dengan keahliannya, sering kali memasak untuk anak-anak panti, memastikan mereka selalu mendapatkan makanan yang lezat dan bergizi.Suatu sore, saat Fonita sedang duduk di teras panti, ia teringat pada Rizky. Ia tidak tahu kabar Rizky, namun ia berharap Rizky juga menemukan jalannya. Ia tidak lagi menyimpan dendam, justru rasa syukur yang melimpah. Pengalaman itu telah membawanya pada Arif, pada kebahagiaan sejati, dan pada jejak-jejak kebaikan yang kini bisa mereka ukir bersama. Arif datang, memeluknya dari belakang. "Melamun, Sayang?" bisiknya. "Tidak, Mas. Hanya bersyukur," jawab Fonita, tersenyum. "Dulu, saya hanya berpikir 'bertumbuh' itu dalam konteks pribadi. Tapi sekarang, kita bertumbuh bersama dan kita juga bisa membantu orang lain untuk bertumbuh." Arif mengecup lembut kening Fonita. "Itulah indahnya, Sayang. Cinta sejati itu tidak hanya membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik, tapi juga membuat kita berdua bisa bermanfaat untuk orang lain. Kita adalah tim." Fonita membalikkan badannya, menatap suaminya. "Apa impian kita selanjutnya, Mas?" tanyanya, penuh semangat. "Impian selanjutnya? Kita akan terus bertumbuh, Sayang. Bersama Hilya, dan insyaAllah, bersama anak-anak kita yang lain. Kita akan menjadi keluarga yang tidak pernah berhenti belajar, tidak pernah berhenti berbagi, dan tidak pernah berhenti mencintai karena Allah," jawab Arif, senyumnya begitu tulus dan meneduhkan.Di bawah langit Tasikmalaya yang cerah, mereka berdua menatap masa depan. Kisah mereka dimulai dari sebuah gerobak seblak yang sederhana, namun tumbuh menjadi sebuah perjalanan hidup yang penuh berkah. Kisah ini adalah bukti, bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya tentang menemukan seseorang yang mau menerima kita, tetapi tentang menemukan seseorang yang bisa bertumbuh dan berkembang bersama kita, hingga ke surga-Nya.

%20(2).png)