Bab 20: Gema di Kota Lama
"Kamu tidak bisa selamanya bersembunyi di rumah ini, Ren. Matahari tidak akan membunuhmu."
Suara Maya memecah keheningan pagi di ruang kerjaku yang kini mulai terasa seperti sebuah sel. Aku menatapnya dari balik meja gambarku, tempat aku menghabiskan tiga hari terakhir hanya untuk menyempurnakan sketsa atap sebuah rumah yang bahkan belum tentu akan dibangun. Pekerjaan telah menjadi bentengku, tetapi Maya, dengan pragmatismenya yang tak kenal lelah, terus-menerus mencoba merobohkannya.
"Aku harus bertemu dengan pemasok kayu di kota lama," lanjutnya, seolah tidak peduli dengan tatapan memelas yang kuberikan. "Dan kamu ikut. Kamu yang merancang strukturnya, kamu yang harus memastikan materialnya sesuai. Aku tidak mau disalahkan jika nanti atapnya ambruk."
"Aku bisa telepon," kataku, sebuah perlawanan yang lemah.
"Tidak," balasnya tegas. "Kamu akan datang, melihat kayunya dengan matamu sendiri, menyentuhnya dengan tanganmu sendiri, dan berbicara dengan manusia lain selain aku. Anggap saja ini terapi lapangan. Pukul sepuluh. Jangan terlambat." Ia tidak menunggu jawabanku, hanya berbalik dan pergi, meninggalkan gema perintahnya di udara.
Keluar dari rumah terasa seperti meninggalkan kulitku sendiri. Udara luar terasa terlalu tajam, cahaya matahari terlalu terang, dan suara-suara kota—klakson mobil, deru motor, teriakan pedagang kaki lima—terasa seperti serangan terhadap indraku yang telah lama tertidur. Saat mobil Maya melaju, aku menatap ke luar jendela, melihat dunia yang terus berputar tanpaku. Semuanya terlihat sama, tetapi tidak ada yang terasa sama lagi. Kota ini, yang dulu terasa seperti taman bermain kami, kini terasa seperti medan perang yang dipenuhi ranjau kenangan.
Kami memarkir mobil di dekat area kampus lama kami, sebuah area yang sengaja kuhindari bahkan dalam pikiranku. Jalanan tua itu masih sama, dinaungi pohon-pohon angsana yang rindang. Deretan toko buku bekas dan kafe-kafe kecil masih berjejer dengan setia, seolah waktu tidak pernah berlalu.
"Tunggu di sini sebentar," kata Maya, menunjuk sebuah kafe kecil di seberang jalan. "Aku akan bertemu Pak Tirtayasa di gudangnya, di ujung jalan sana. Lima belas menit."
Ia meninggalkanku sendirian di trotoar. Aku merasa terekspos, rentan. Aku tidak mau masuk ke kafe itu. Kafe itu adalah tempat kami. Tempat di mana aku pertama kali memberanikan diri menggenggam tangan Difrina di bawah meja, jantungku berdebar begitu kencang hingga aku yakin ia bisa mendengarnya.
Sebagai gantinya, aku berjalan pelan menyusuri trotoar, tanganku dimasukkan ke dalam saku celana. Setiap langkah terasa berat. Mataku memindai setiap sudut jalan, dan hantu-hantu masa lalu mulai menampakkan diri.
Di sana, di depan toko buku "Pustaka Abadi", aku teringat bagaimana Difrina melompat-lompat kecil dengan gembira saat menemukan edisi langka novel favoritnya. Ia memeluk buku itu ke dadanya seolah itu adalah harta karun paling berharga di dunia. Matanya berbinar saat ia menatapku. "Terima kasih sudah menemaniku mencarinya, Mas," katanya. Saat itu, aku merasa seperti raja dunia, hanya karena berhasil membuatnya bahagia dengan sebuah buku tua.
Kini, pertanyaan pahit itu muncul di benakku: Apakah saat itu ia sudah merasa bosan? Apakah binar di matanya itu tulus, atau hanya sebuah pertunjukan yang indah?
Aku terus berjalan, dan mataku tertuju pada sebuah bangku taman yang kosong di bawah pohon flamboyan. Kenangan lain menghantamku, lebih kuat dari sebelumnya. Suatu sore, setelah seharian lelah bekerja, kami duduk di bangku itu, berbagi sebungkus es potong. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku, mengeluh tentang dosennya yang menyebalkan. Aku hanya mendengarkan, sesekali tertawa, mengusap kepalanya dengan lembut. Keheningan di antara kami terasa begitu nyaman, begitu penuh. Saat itu, aku benar-benar percaya bahwa kami akan duduk seperti ini selamanya, menua bersama di bawah pohon yang sama.
Apakah aku sebegitu butanya? pikirku, rasa sakit yang analitis mulai menggantikan duka yang murni. Aku mencoba memutar kembali ingatanku, mencari petunjuk, retakan kecil yang mungkin kulewatkan. Apakah ada jeda yang terlalu lama dalam jawabannya? Apakah senyumnya pernah terasa dipaksakan? Aku menyiksa diriku sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab.
Aku berhenti di depan sebuah galeri seni kecil. Kami pernah masuk ke sana, berlindung dari hujan yang turun tiba-tiba. Di dalam, kami menatap sebuah lukisan abstrak yang besar, penuh dengan warna-warna cerah yang kacau. "Lukisan ini seperti apa, Mas?" tanyanya. Aku, yang tidak mengerti seni, menjawab sekenanya, "Seperti perasaan senang yang meledak-ledak." Ia tertawa, tawa yang renyah dan lepas. "Menurutku, ini seperti perasaan rindu," katanya.
Saat itu, aku tidak mengerti maksudnya. Kini, kata-katanya terasa seperti sebuah ramalan yang mengerikan. Mungkin, bahkan saat ia duduk di sampingku, ia sudah merindukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak bisa kuberikan.
"Ren?"
Suara Maya menyentakkanku dari lamunan. Ia sudah berdiri di sampingku, membawa aroma serbuk kayu dari gudang pemasok. "Sudah selesai. Bagaimana? Menemukan sesuatu yang menarik?"
"Hanya kenangan," jawabku lirih.
Ia menatapku sejenak, matanya yang tajam seolah bisa melihat semua hantu yang baru saja menari-nari di kepalaku. Ia tidak menawarkan simpati. "Tempat ini hanya tempat, Rendra," katanya, suaranya pragmatis seperti biasa. "Kenangan itu ada di kepalamu, bukan di batu-batu trotoar ini. Kamu bisa memilih untuk terus disiksa olehnya, atau kamu bisa memilih untuk berjalan melewatinya."
"Aku tidak tahu caranya," aku mengaku, merasa lelah.
"Dengan terus berjalan," katanya sederhana. "Ayo. Aku lapar. Kita cari makan."
Ia mulai berjalan, memaksaku untuk mengikutinya. Kami berjalan dalam diam. Saat kami melewati bangku taman yang tadi kulihat, kini bangku itu telah terisi. Sepasang mahasiswa muda duduk di sana, tertawa lepas sambil berbagi minuman dari satu gelas. Sang pria merangkul bahu wanitanya, dan sang wanita menyandarkan kepalanya dengan nyaman. Mereka adalah cerminan dari kami, beberapa tahun yang lalu.
Melihat mereka seharusnya terasa menyakitkan. Dan memang terasa sakit. Tetapi, ada sesuatu yang lain. Aku tidak lagi hanya melihat kebahagiaan mereka dan meratapi kehilanganku. Aku melihat mereka, dan aku melihat diriku sendiri. Aku melihat seorang pria yang naif, yang begitu yakin akan keabadian sebuah momen, tidak menyadari betapa rapuhnya kebahagiaan itu.
Aku mulai menerima. Bukan memaafkan. Bukan melupakan. Tetapi menerima. Menerima bahwa apa yang kumiliki dulu memang indah, tetapi juga ilusi. Menerima bahwa aku telah dibutakan oleh cintaku sendiri. Menerima bahwa ia telah pergi, dan aku masih di sini.
Dalam perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Maya sepertinya mengerti, ia tidak memaksaku berbicara. Ia hanya menyalakan radio, membiarkan alunan musik mengisi keheningan di antara kami.
Saat kami tiba di depan rumahku, aku tidak langsung turun. Aku menatap rumah itu, rumah yang telah menjadi saksiku hancur dan perlahan bangkit.
"Terima kasih, May," kataku, suaraku terdengar lebih mantap dari sebelumnya.
Ia menoleh, sedikit terkejut. "Untuk apa? Menyeretmu keluar dari gua pertapaanmu?"
"Untuk itu juga," kataku. "Dan karena tidak membiarkanku tenggelam."
Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang langka dan tulus. "Itulah gunanya jangkar, kan?"
Malam itu, setelah Maya pergi, aku tidak langsung masuk ke ruang kerja. Aku berjalan ke taman belakang. Aku menatap tunas mawar baru yang kini telah memiliki beberapa helai daun kecil. Aku berjongkok, menyentuh tanah yang lembap di sekitarnya. Semuanya terlihat sama, tetapi tidak ada yang terasa sama lagi. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa itu bukan hal yang buruk. Itu hanyalah sebuah kenyataan. Dan aku, entah bagaimana, harus belajar untuk hidup di dalamnya.
Bab 21: Goresan di Permukaan Sempurna
"Hanya teman-teman terdekat," kata Adrian beberapa hari sebelumnya, saat ia memberitahuku tentang acara makan malam kecil yang akan ia adakan di apartemen. "Hanya Ben dan Sarah. Kamu akan suka mereka."
Aku seharusnya tahu bahwa "teman-teman terdekat" di dunianya memiliki arti yang berbeda. Itu bukan berarti kehangatan dan tawa lepas seperti saat aku dan Rendra mengundang Maya untuk makan malam dengan menu seadanya. Di sini, "terdekat" berarti mereka adalah orang-orang yang paling dipercaya Adrian untuk menjaga fasad kesempurnaan, orang-orang yang paling mahir memainkan permainan sosial yang kejam ini.
Malam itu, apartemen yang biasanya terasa kosong dan sunyi, kini diisi oleh alunan musik jazz yang lebih pelan dan percakapan yang dipenuhi tawa sopan. Aku telah menghabiskan sore hari mencoba resep canapé dari internet, sebuah upaya lain untuk menyumbangkan sesuatu dari diriku ke dalam dunia yang terasa begitu artifisial ini. Hasilnya tidak buruk, tetapi saat katering profesional datang dengan nampan-nampan perak berisi hidangan yang terlihat seperti karya seni, canapé-ku yang sederhana tampak menyedihkan. Adrian, dengan senyum tipis, memintaku untuk menyimpannya "untuk nanti", sebuah penolakan halus yang terasa seperti tamparan.
Ben dan Sarah tiba dengan presisi waktu yang sempurna. Ben adalah seorang bankir investasi dengan rambut yang disisir ke belakang dan senyum yang tidak pernah mencapai matanya. Sarah, istrinya, adalah perwujudan kesempurnaan yang dingin; setiap helai rambutnya tertata, gaunnya tampak seperti baru keluar dari butik, dan ia menatapku dengan tatapan seorang entomolog yang sedang mengamati spesimen baru yang menarik.
"Jadi, ini dia Difrina," kata Sarah, suaranya semanis madu tetapi matanya setajam es. "Adrian banyak sekali bercerita tentangmu."
"Semoga yang baik-baik saja," jawabku, mencoba terdengar ringan.
"Tentu saja," balasnya, senyumnya sedikit melebar. "Dia bilang kamu punya bakat... domestik yang luar biasa. Jarang sekali menemukan yang seperti itu sekarang."
Sebuah pujian yang disamarkan sebagai hinaan. Aku merasa direduksi menjadi seorang pengurus rumah tangga yang kebetulan berpenampilan menarik. Adrian, yang berdiri di sampingku, hanya tertawa seolah itu adalah lelucon paling lucu. "Dia memang punya banyak bakat tersembunyi," katanya, merangkul pinggangku.
Kami duduk di ruang tengah yang menghadap ke pemandangan kota. Percakapan mereka melompat dari satu topik mewah ke topik lainnya: lelang seni di Hong Kong, vila yang baru mereka beli di Como, masalah mencari sekolah internasional yang tepat untuk anak-anak mereka. Aku hanya bisa duduk diam, merasa seperti sedang mendengarkan siaran dari planet lain. Setiap kali aku mencoba masuk ke dalam percakapan, aku merasa seperti baru saja mengucapkan omong kosong.
"Kami berencana berlibur ke Jepang musim semi nanti," kata Ben, sambil memutar-mutar gelas berisi anggur merah. "Melihat bunga sakura."
"Oh, aku pernah lihat festival bunga di dekat kampung halamanku," kataku, mencoba mencari koneksi. "Memang indah sekali saat semuanya mekar."
Keheningan canggung menyelimuti kami sejenak. Sarah menatapku dengan ekspresi geli yang berusaha ia sembunyikan. "Festival bunga di kampung? Manis sekali," katanya. "Pasti... sangat otentik." Kata "otentik" itu ia ucapkan seolah itu adalah sinonim dari "terbelakang".
Adrian tertawa, menepuk lenganku. "Difrina ini romantis orangnya. Dia masih melihat keindahan dalam hal-hal kecil. Berbeda dengan kita yang sudah sinis, ya kan, Ben?"
Ia tidak membelaku. Ia justru menjadikanku bahan lelucon, seorang gadis naif yang lucu di tengah-tengah mereka yang sudah "tercerahkan". Aku merasa pipiku memanas, tetapi aku memaksakan seulas senyum.
Makan malam disajikan di meja makan panjang yang terbuat dari marmer. Semuanya terasa seperti sebuah pertunjukan. Adrian duduk di kepala meja, memainkan perannya sebagai tuan rumah yang sempurna. Ia berbicara tentang tren pasar global, tentang politik, tentang investasi terbarunya. Aku merasa seperti sedang menontonnya di televisi.
"Jadi, Difrina, apa kesibukanmu sebelum bertemu Adrian?" tanya Ben, tatapannya tajam dan menyelidik.
Aku menelan sepotong ikan salmon yang terasa seperti abu di mulutku. "Saya... saya dulu membantu suami saya," kataku, lalu cepat-cepat meralat, "mantan suami saya. Dia seorang arsitek."
"Arsitek?" ulang Sarah, alisnya terangkat. "Menarik. Proyeknya apa saja? Gedung perkantoran? Hotel?"
"Tidak," jawabku pelan, merasa semakin kecil. "Dia lebih banyak merancang rumah tinggal. Rumah-rumah kecil yang... nyaman."
"Oh," kata Sarah. Hanya satu kata, tetapi sarat dengan makna. Oh, jadi hanya arsitek rendahan.
Adrian sepertinya merasakan ketidaknyamananku, tetapi alih-alih membantuku, ia justru membuatnya lebih buruk. "Rendra itu seniman sejati," katanya, nadanya terdengar seperti sedang menceritakan sebuah dongeng yang menyedihkan. "Dia lebih peduli pada keindahan daripada keuntungan. Pria yang baik, tapi terlalu idealis untuk dunia ini."
Ia sedang merangkum Rendra, mereduksi semua kerja keras dan integritasnya menjadi sebuah kelemahan yang menyedihkan, hanya untuk membuat dirinya sendiri terlihat lebih superior. Dan ia melakukannya tepat di depanku. Rasa mual yang hebat menyerangku.
Puncak dari malam penyiksaan itu datang saat hidangan penutup disajikan. Adrian, dalam suasana hatinya yang baik, memutuskan untuk menceritakan sebuah "anekdot lucu" tentangku.
"Kalian tidak akan percaya ini," mulainya, semua mata tertuju padanya. "Saat pertama kali Difrina datang ke apartemen ini, ia terkejut melihat mesin cuci yang juga berfungsi sebagai pengering. Dia bilang, di rumahnya dulu, dia masih menjemur pakaian di halaman belakang. Bisa kalian bayangkan?"
Ben dan Sarah tertawa. Bukan tawa yang hangat, melainkan tawa yang merendahkan, tawa orang-orang yang merasa superior karena terlahir di dunia yang berbeda.
Aku hanya bisa duduk membeku di kursiku, senyum terpaku di wajahku, sementara di dalam, duniaku hancur berkeping-keping. Ia tidak hanya menghinaku. Ia telah mengambil sebuah kenangan sederhana—kenangan tentangku dan Rendra yang tertawa bersama saat menjemur pakaian di bawah sinar matahari—dan mengubahnya menjadi bahan lelucon untuk teman-teman kayanya. Ia telah meludahi masa laluku, meludahi satu-satunya hal tulus yang pernah kumiliki.
Setelah mereka pulang, keheningan di apartemen terasa memekakkan. Aku tidak langsung bergerak dari meja makan. Aku hanya menatap sisa-sisa makanan mahal di piringku.
Adrian berjalan ke arahku, meletakkan tangannya di bahuku. "Malam yang menyenangkan, kan?"
Aku menepis tangannya. "Jangan sentuh aku," desisku, suaraku bergetar karena amarah yang kutahan.
Ia tampak terkejut. "Ada apa lagi sekarang?"
"Kenapa kamu melakukan itu?" tanyaku, akhirnya menatap matanya. "Kenapa kamu merendahkanku di depan teman-temanmu?"
Ia menghela napas, ekspresinya berubah dari terkejut menjadi jengkel. "Merendahkanmu? Aku hanya bercanda, Difrina. Kamu terlalu sensitif. Itulah cara kami berinteraksi. Kamu harus belajar untuk tidak memasukkan semuanya ke dalam hati."
"Itu bukan lelucon, Adrian! Itu hidupku! Kamu mengambil sesuatu yang pribadi dan menjadikannya bahan tertawaan!"
"Oh, ayolah," katanya, nadanya kini dingin dan tak sabar. "Berhentilah bersikap seperti korban. Kamu mau masuk ke duniaku, kan? Kalau begitu, belajarlah aturannya. Di sini, latar belakangmu yang 'sederhana' itu memang lucu. Terima saja."
Saat itulah aku sadar sepenuhnya. Aku bukan pasangannya. Aku bukan partnernya. Aku adalah proyeknya. Mainan barunya. Sesuatu yang bisa ia bentuk, ia poles, dan jika perlu, ia rendahkan untuk mengangkat citranya sendiri.
Aku bangkit, berjalan menjauh darinya, menuju jendela kaca raksasa itu. Aku menatap ke bawah, ke arah kota yang berkilauan. Aku teringat Rendra. Aku teringat kebaikannya yang tanpa syarat, rasa hormatnya yang tulus. Aku teringat bagaimana ia akan marah jika ada orang yang mencoba merendahkanku.
Penyesalan itu datang dengan kekuatan penuh, begitu kuat hingga membuatku sesak napas. Aku telah menukar cinta sejati dengan ilusi yang berkilauan. Aku telah meninggalkan seorang pria yang menganggapku sebagai dunianya, demi seorang pria yang menganggapku sebagai hiasan di dunianya.
Aku terjebak. Aku tidak punya uang. Aku tidak punya teman di kota ini. Aku telah membakar jembatan ke masa laluku. Aku berdiri di puncak dunia, di dalam sangkar emasku, dan aku belum pernah merasa lebih miskin dan lebih terkurung seumur hidupku.
Bab 22: Jalan Buntu
Setelah mereka pulang, keheningan di apartemen terasa memekakkan. Aku tidak langsung bergerak dari meja makan. Aku hanya menatap sisa-sisa makanan mahal di piringku, makanan yang terasa seperti abu di mulutku. Gema tawa mereka yang merendahkan masih terngiang di telingaku, berputar-putar di dalam kepalaku seperti kaset rusak.
Adrian berjalan ke arahku, meletakkan tangannya di bahuku. "Malam yang menyenangkan, kan?"
Aku menepis tangannya. "Jangan sentuh aku," desisku, suaraku bergetar karena amarah yang kutahan.
Ia tampak terkejut. "Ada apa lagi sekarang?"
"Kenapa kamu melakukan itu?" tanyaku, akhirnya menatap matanya. "Kenapa kamu merendahkanku di depan teman-temanmu?"
Ia menghela napas, ekspresinya berubah dari terkejut menjadi jengkel. "Merendahkanmu? Aku hanya bercanda, Difrina. Kamu terlalu sensitif. Itulah cara kami berinteraksi. Kamu harus belajar untuk tidak memasukkan semuanya ke dalam hati."
"Itu bukan lelucon, Adrian! Itu hidupku! Kamu mengambil sesuatu yang pribadi dan menjadikannya bahan tertawaan!"
"Oh, ayolah," katanya, nadanya kini dingin dan tak sabar. "Berhentilah bersikap seperti korban. Kamu mau masuk ke duniaku, kan? Kalau begitu, belajarlah aturannya. Di sini, latar belakangmu yang 'sederhana' itu memang lucu. Terima saja."
Saat itulah aku sadar sepenuhnya. Aku bukan pasangannya. Aku bukan partnernya. Aku adalah proyeknya. Mainan barunya. Sesuatu yang bisa ia bentuk, ia poles, dan jika perlu, ia rendahkan untuk mengangkat citranya sendiri.
Aku bangkit, berjalan menjauh darinya, menuju jendela kaca raksasa itu. Aku menatap ke bawah, ke arah kota yang berkilauan. Aku teringat Rendra. Aku teringat kebaikannya yang tanpa syarat, rasa hormatnya yang tulus. Aku teringat bagaimana ia akan marah jika ada orang yang mencoba merendahkanku.
Penyesalan itu datang dengan kekuatan penuh, begitu kuat hingga membuatku sesak napas. Aku telah menukar cinta sejati dengan ilusi yang berkilauan. Aku telah meninggalkan seorang pria yang menganggapku sebagai dunianya, demi seorang pria yang menganggapku sebagai hiasan di dunianya.
Aku terjebak. Aku tidak punya uang. Aku tidak punya teman di kota ini. Aku telah membakar jembatan ke masa laluku. Aku berdiri di puncak dunia, di dalam sangkar emasku, dan aku belum pernah merasa lebih miskin dan lebih terkurung seumur hidupku.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku berbaring diam di ranjang raksasa yang dingin, sementara Adrian tidur nyenyak di sampingku, napasnya yang teratur terdengar seperti ejekan bagi kekacauan di dalam diriku. Setiap penghinaan, setiap tawa yang merendahkan, setiap tatapan sinis dari teman-temannya berputar kembali di benakku. Aku memutar kembali kata-kata Adrian, “belajarlah aturannya.” Aturan main di dunianya adalah aku harus rela menjadi objek, menjadi bahan lelucon, menjadi pajangan yang tidak punya suara.
Keputusasaan terasa seperti selimut tebal yang menyesakkan. Aku merasa terperangkap di lantai 50 gedung ini, terputus dari dunia, terputus dari diriku sendiri. Apa yang harus kulakukan? Kembali pada Rendra? Tidak. Harga diriku yang tersisa melarangnya. Bagaimana aku bisa kembali pada pria yang telah kukhianati, hanya karena pilihanku yang baru ternyata lebih buruk?
Saat fajar mulai menyingsing, mewarnai langit Jakarta dengan semburat ungu dan oranye yang pucat, sebuah ketenangan yang aneh menyelimutiku. Ketenangan yang lahir dari keputusasaan total. Jika aku tidak bisa kembali, maka aku harus maju. Tapi tidak di sini. Tidak sebagai boneka Adrian.
Aku bangkit dari tempat tidur dengan gerakan sepelan mungkin, agar tidak membangunkannya. Aku berjalan tanpa suara menuju walk-in closet yang luasnya hampir setara dengan ruang tengah di rumah Rendra. Cahaya sensorik menyala secara otomatis, menerangi deretan gaun, tas, dan sepatu yang tak terhitung jumlahnya. Semua ini adalah properti Adrian. Hadiah-hadiah yang ia berikan bukan karena cinta, melainkan untuk membentukku sesuai citranya.
Tanganku menyusuri deretan gaun sutra dan kasmir. Aku mengambil sebuah gaun berwarna biru safir yang ia belikan untuk acara amal tempo hari. Aku ingat harganya, angka yang membuatku mual saat itu. Aku melipatnya dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam sebuah tas belanja kertas yang tersimpan di sudut lemari. Lalu aku mengambil sepasang sepatu hak tinggi dan sebuah tas tangan kecil yang serasi. Aku tidak mengambil perhiasan. Itu terlalu berisiko.
Langkahku selanjutnya adalah ke meja rias. Di sana, di dalam laci, Adrian biasa menyimpan uang tunai untuk keperluan mendadak. Aku membukanya. Ada beberapa gepok uang ratusan ribu rupiah. Jantungku berdebar kencang. Ini terasa seperti pencurian. Tapi bukankah ia telah mencuri lebih banyak dariku? Ia telah mencuri harga diriku, kebebasanku. Aku mengambil dua gepok, tidak berani mengambil lebih. Jumlahnya mungkin cukup untuk bertahan hidup selama beberapa minggu.
Langkah terakhir adalah yang paling penting. Aku duduk di depan laptop Adrian yang selalu menyala di ruang kerjanya. Aku harus memeriksa status keuanganku. Ia pernah membuatkanku rekening bank atas namaku, mentransfer sejumlah uang sebagai "uang saku bulanan". Aku membuka situs bank, memasukkan nama pengguna dan kata sandi yang kuhafal.
Saldonya besar. Cukup untuk membuatku tergiur sejenak. Tapi kemudian aku melihat riwayat transaksi. Setiap pengeluaran, sekecil apa pun, tercatat di sana. Dan ada notifikasi email yang terhubung ke alamat email Adrian untuk setiap transaksi di atas satu juta rupiah. Ini bukan rekeningku. Ini adalah rantai digital. Sebuah cara lain baginya untuk mengawasiku.
Aku tidak bisa menggunakan uang ini. Aku harus mengandalkan uang tunai yang kuambil.
Saat itulah sebuah kenangan muncul. Rendra, duduk di meja makan kami yang sederhana, membantuku mengisi formulir pembukaan rekening bank pertamaku. "Ini uangmu, Difrina," katanya saat itu, menyerahkan buku tabungan. "Hasil kerjamu membantuku di proyek kecil itu. Gunakan sesukamu. Aku tidak akan pernah bertanya." Kebebasan dan rasa hormat dalam kata-katanya terasa begitu kontras dengan kendali dingin Adrian. Kenangan itu tidak lagi terasa menyakitkan. Kenangan itu menjadi bahan bakar.
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus pergi. Tapi tidak dengan gegabah. Adrian akan pergi untuk perjalanan bisnis ke Singapura pagi ini. Itu adalah kesempatanku.
Aku kembali ke kamar tidur. Adrian sudah mulai bergerak. Aku cepat-cepat berbaring kembali, berpura-pura tertidur. Aku bisa merasakan ia bangkit, bergerak di dalam ruangan, bersiap-siap. Aku menahan napas, setiap gerakannya terdengar seperti ancaman.
Setelah ia selesai mandi, ia mendekati sisi ranjangku. Aku bisa merasakan kehadirannya yang menjulang.
"Aku berangkat," katanya, suaranya datar. "Aku akan kembali lusa. Ada beberapa lembar uang di atas meja rias untukmu. Jangan keluar dari apartemen kecuali benar-benar perlu."
Ia tidak mengecupku. Ia tidak mengucapkan selamat tinggal yang hangat. Hanya perintah dan transaksi.
Aku menunggu hingga mendengar suara pintu depan tertutup. Aku menunggu sepuluh menit lagi, untuk memastikan ia benar-benar telah pergi. Lalu, aku bangkit.
Tekadku kini sekeras baja. Rasa takut masih ada, melumpuhkan di bagian belakang leherku, tetapi tekadku lebih besar. Aku berjalan kembali ke walk-in closet. Aku tidak mengambil koper. Itu akan terlalu mencurigakan. Aku hanya mengambil tas belanja kertas berisi gaun dan sepatu yang telah kusiapkan. Aku mengenakan pakaianku yang paling sederhana yang kubawa dari rumah Rendra—sebuah blus dan celana panjang biasa.
Aku berjalan melewati ruang tengah, melewati semua kemewahan yang dulu begitu memukauku. Kini, semuanya terlihat seperti properti panggung yang hampa. Aku tidak menoleh ke belakang.
Di depan pintu, aku berhenti sejenak. Aku melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisku—hadiah dari Adrian—dan meletakkannya di atas meja konsol di dekat pintu. Aku tidak akan membawa apa pun miliknya.
Saat aku membuka pintu dan melangkah keluar ke koridor yang sunyi, aku tidak merasa seperti sedang melarikan diri. Aku merasa seperti sedang merebut kembali hidupku. Aku tidak tahu akan pergi ke mana. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi untuk pertama kalinya setelah waktu yang terasa begitu lama, aku merasa bebas.
Bab 23: Langkah Pertama Menuju Ketiadaan
Adrenalin adalah bahan bakar yang aneh. Ia membuat jantungku berdebar begitu kencang hingga terasa sakit, tetapi juga memberiku ketenangan yang dingin dan fokus yang tajam. Saat aku melangkah keluar dari pintu apartemen Adrian, aku tidak merasa seperti sedang melarikan diri. Aku merasa seperti seorang agen rahasia dalam sebuah misi, setiap gerakan diperhitungkan, setiap napas dikendalikan.
Koridor apartemen yang panjang dan sunyi terasa seperti terowongan menuju dunia lain. Lantai marmer di bawah kakiku begitu mengilap hingga aku bisa melihat pantulan diriku yang kabur—seorang wanita berpenampilan sederhana yang membawa tas belanja kertas, tampak begitu salah tempat di tengah kemewahan yang steril ini. Aku berjalan cepat, tumit sepatuku yang biasa tidak menimbulkan suara di atas karpet tebal. Aku berdoa agar tidak bertemu siapa pun.
Lift datang dengan desingan pelan yang nyaris tak terdengar. Di dalamnya, dinding cermin memantulkan bayanganku dari segala sudut. Aku menatap wanita di cermin itu—wajahnya pucat, matanya terlalu lebar, tangannya mencengkeram tas kertas itu begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Aku tidak mengenalinya. Ia terlihat seperti buronan. Saat lift meluncur turun, aku merasakan perutku melilit, sensasi jatuh bebas yang mengerikan. Lima puluh lantai terasa seperti perjalanan menuju dasar bumi.
Lobi hotel menyambutku dengan keheningan yang megah dan aroma bunga lili yang sama seperti di restoran semalam. Aku berjalan lurus menuju pintu keluar, kepala tertunduk, mencoba menjadi tidak terlihat.
"Selamat pagi, Bu," sapa seorang doorman berseragam saat aku melewatinya.
Aku hanya mengangguk sekilas, tidak berani menatap matanya.
"Perlu saya panggilkan mobil, Bu?" tanyanya, nadanya sopan namun matanya memindai diriku dengan tatapan yang sedikit curiga. Ia terbiasa melihatku keluar dengan gaun mahal di lengan Adrian, dijemput oleh mobil mewah. Pagi ini, aku hanyalah seorang wanita biasa dengan tas belanja kertas.
"Tidak, terima kasih. Saya akan panggil taksi sendiri," jawabku, suaraku terdengar lebih mantap dari yang kuduga.
Aku melangkah keluar dari pintu kaca otomatis, dan dunia nyata menghantamku. Panas Jakarta yang lembap langsung menyelimutiku, terasa seperti selimut basah yang menyesakkan setelah berhari-hari terkurung di dalam ruangan ber-AC. Suara klakson yang bersahutan, deru mesin dari ratusan kendaraan, teriakan pedagang asongan—semua suara itu menyerbuku secara bersamaan, sebuah simfoni kekacauan yang membuat kepalaku pusing. Euforia kebebasanku yang tadi terasa begitu kuat, kini mulai terkikis oleh realitas yang brutal.
Aku berdiri di tepi jalan yang ramai, merasa kecil dan tersesat. Mobil-mobil melesat melewatiku, masing-masing membawa orang-orang yang punya tujuan. Sementara aku? Aku tidak punya tujuan. Aku hanya tahu aku harus pergi sejauh mungkin dari menara kaca itu.
Aku mengangkat tangan, mencoba memanggil taksi. Beberapa taksi melewatinya begitu saja. Aku mulai panik. Bagaimana jika Adrian sudah menyadari kepergianku? Bagaimana jika ia menyuruh seseorang untuk mencariku? Jantungku kembali berdebar, kali ini bukan karena adrenalin, melainkan karena ketakutan murni.
Akhirnya, sebuah taksi biru yang sedikit penyok berhenti di depanku. Aku buru-buru masuk, membanting pintu di belakangku.
"Pagi, Mbak. Mau ke mana?" tanya sopir taksi itu, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal dan senyum ramah yang entah kenapa justru membuatku semakin cemas.
Ke mana? Aku tidak tahu. Aku tidak punya rencana. Aku hanya punya sejumlah uang tunai dan tas berisi gaun yang mungkin tidak akan pernah kupakai lagi.
"Jalan saja dulu, Pak," kataku, mencoba membeli waktu. "Ke arah selatan."
Sopir itu menatapku dari kaca spion, keningnya sedikit berkerut, tetapi ia mengangkat bahu dan mulai menjalankan mobilnya. "Siap, Mbak."
Taksi itu merayap di tengah kemacetan pagi. Aku menatap ke luar jendela, melihat kota dari perspektif yang berbeda. Bukan lagi pemandangan gemerlap dari lantai 50, melainkan pemandangan jalanan yang gritty dan nyata: pengamen cilik yang mengetuk kaca mobil, pedagang tisu yang berlari di antara kendaraan, asap knalpot yang menyesakkan. Inilah dunia yang telah kutinggalkan, dunia yang kini harus kembali kuhadapi.
"Dari apartemen yang tadi ya, Mbak?" tanya sopir itu, mencoba memulai percakapan. "Kerja di sana?"
"Bukan," jawabku singkat.
"Oh, tinggal di sana? Enak ya, Mbak. Pasti mahal sewanya," lanjutnya, rasa ingin tahunya polos namun terasa seperti interogasi bagiku.
"Hanya... berkunjung," kataku, sebuah kebohongan lagi.
Aku memalingkan wajah, berharap ia mengerti bahwa aku tidak ingin berbicara. Aku menatap gedung-gedung yang kami lewati, mencoba mencari petunjuk, sebuah ide tentang ke mana aku harus pergi. Aku tidak bisa pulang ke rumah orang tuaku; aku tidak sanggup menghadapi kekecewaan di mata mereka. Aku tidak bisa menghubungi teman-teman lamaku; aku terlalu malu untuk mengakui kegagalanku.
Kenangan tentang Rendra muncul lagi, kali ini bukan sebagai penyesalan, melainkan sebagai simbol keamanan yang telah kubuang. Aku teringat bagaimana ia akan selalu memegang tanganku saat kami berjalan di keramaian, bagaimana ia akan selalu memastikan aku berjalan di sisi yang jauh dari lalu lintas. Ia adalah pelindungku. Dan aku telah menolaknya.
"Jadi, kita mau ke mana nih, Mbak?" tanya sopir itu lagi, suaranya kini sedikit tidak sabar. "Argonya jalan terus, lho."
Aku panik. Aku harus memutuskan sesuatu. "Cari... cari penginapan murah saja, Pak. Motel atau losmen. Di daerah mana saja yang penting jauh dari pusat kota."
Sopir itu menatapku lagi dari kaca spion, kali ini dengan tatapan yang berbeda. Campuran antara iba dan curiga. Ia pasti mengira aku sedang lari dari masalah. Dan ia benar.
Setelah berputar-putar selama hampir satu jam, melewati jalan-jalan sempit dan pasar-pasar yang becek, taksi itu akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan tiga lantai yang catnya sudah mengelupas. Sebuah papan nama pudar bertuliskan "MOTEL MELATI". Tempat ini terlihat seperti antitesis dari apartemen Adrian.
Aku membayar ongkos taksi, jumlahnya lebih besar dari yang kuduga, dan uang di tanganku terasa berkurang secara signifikan. Saat aku turun, sopir itu menatapku sejenak. "Hati-hati ya, Mbak," katanya pelan, sebelum melajukan mobilnya, meninggalkanku sendirian di depan gerbang besi yang berkarat.
Aku melangkah masuk ke lobi yang remang-remang. Udara di dalamnya terasa pengap, berbau campuran antara asap rokok basi dan kamper. Seorang pria kurus dengan kaus oblong yang kotor duduk di belakang meja resepsionis, menatap layar televisi kecil dengan tatapan bosan. Ia bahkan tidak menoleh saat aku mendekat.
"Permisi, Pak. Ada kamar kosong?" tanyaku.
Ia melirikku dari atas ke bawah dengan tatapan apatis. "Ada. Mau berapa malam?"
"Satu malam dulu," jawabku.
Ia menyodorkan sebuah buku tamu yang lecek dan sebuah kunci bernomor 207. "Lantai dua. Bayar di muka."
Aku menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Ia mengambilnya tanpa menghitung, memasukkannya ke dalam laci, lalu kembali fokus pada televisinya. Tidak ada senyum. Tidak ada ucapan selamat datang. Hanya transaksi dingin yang membuatku merasa semakin terhina.
Aku menaiki tangga yang sempit dan sedikit lengket. Koridor di lantai dua remang-remang, hanya diterangi oleh satu bola lampu yang berkedip-kedip. Aku menemukan pintu bernomor 207, memasukkan kuncinya, dan mendorongnya terbuka.
Bau di dalam kamar itu lebih buruk lagi. Campuran antara lembap, debu, dan pengharum ruangan murah yang gagal menutupi bau-bau lainnya. Ruangan itu kecil. Hanya ada sebuah ranjang dengan seprai bermotif bunga yang warnanya sudah pudar, sebuah lemari kayu lapis yang salah satu pintunya sedikit miring, dan sebuah jendela kecil yang menghadap ke dinding bata bangunan sebelah.
Aku meletakkan tas belanja kertasku di atas ranjang. Aku berjalan ke kamar mandi. Keramiknya berlumut di sudut-sudut, dan cermin di atas wastafel penuh dengan noda-noda buram. Aku menatap pantulan diriku di cermin itu. Wanita yang sama yang tadi pagi terbangun di ranjang sutra, kini berdiri di kamar mandi motel yang jorok.
Aku kembali ke kamar, duduk di tepi ranjang. Kasurnya terasa keras dan berderit. Aku mengeluarkan dua gepok uang dari tasku, meletakkannya di atas seprai yang kasar. Aku menghitungnya. Setelah membayar taksi dan motel, uang ini tidak akan bertahan lama.
Saat itulah adrenalin itu benar-benar lenyap. Dinding pertahananku runtuh. Aku sendirian. Di sebuah kamar motel murah yang suram, di bagian kota yang tidak kukenal, dengan uang yang terbatas dan masa depan yang kosong.
Aku telah mendapatkan kebebasanku. Dan rasanya seperti ketiadaan. Aku menunduk, memeluk diriku sendiri, dan untuk pertama kalinya sejak meninggalkan rumah Rendra, aku menangis. Tangis yang sunyi, putus asa, dan penuh penyesalan.
Bab 24: Nilai Sehelai Sutra
Tangis tidak bertahan selamanya. Setelah air mata mengering, yang tersisa hanyalah kekosongan yang dingin dan rasa lapar yang menusuk-nusuk. Aku terbangun di atas seprai yang terasa kasar di pipiku, tidak yakin apakah aku sempat tertidur atau hanya pingsan karena kelelahan emosional. Cahaya matahari sore yang kotor menembus jendela kecil yang berdebu, memberitahuku bahwa aku telah menyia-nyiakan satu hari penuh hanya untuk meratapi nasib.
Perutku berbunyi, sebuah protes kasar dan jujur di tengah keheningan kamar motel yang pengap. Aku tidak makan apa pun sejak makan siang mewah yang terasa seperti racun kemarin. Keputusasaan adalah kemewahan yang tidak lagi bisa kumiliki. Kini, yang ada hanyalah kebutuhan dasar yang brutal: makan, minum, dan mencari cara untuk membayar sewa kamar ini untuk satu malam lagi.
Aku duduk di tepi ranjang yang berderit, mataku tertuju pada satu-satunya benda berharga yang kumiliki: tas belanja kertas yang tergeletak di lantai. Di dalamnya, terlipat dengan rapi, ada gaun sutra berwarna zamrud. Gaun itu adalah simbol dari duniaku yang telah runtuh. Gaun yang dibeli Adrian dengan entengnya, gaun yang kupakai saat aku merasa seperti seorang putri di pesta yang ternyata adalah panggung penghinaanku. Kini, gaun itu adalah satu-satunya harapanku.
Rasa malu yang panas menjalari tubuhku. Menjual pakaian pemberian seorang pria untuk bertahan hidup. Betapa rendahnya aku telah jatuh. Aku teringat Rendra, yang tidak akan pernah membiarkanku kelaparan, yang akan bekerja siang malam hanya untuk memastikan ada makanan di meja kami. Aku menepis ingatan itu dengan kasar. Menyesal tidak akan mengisi perutku.
Dengan tekad yang lahir dari keterdesakan, aku bangkit. Aku harus mengubah sehelai sutra ini menjadi beberapa lembar uang kertas.
Keluar dari motel dan kembali ke jalanan Jakarta terasa seperti melompat ke dalam kuali yang mendidih. Panas aspal yang menguap, deru knalpot yang memekakkan telinga, dan lautan manusia yang bergerak tanpa henti membuatku merasa semakin kecil dan tidak berarti. Aku memeluk tas kertas itu erat-erat ke dadaku, seolah itu adalah perisai sekaligus sisa terakhir dari harga diriku. Ke mana aku harus pergi? Aku tidak tahu apa-apa tentang tempat menjual barang bekas mewah.
Aku berjalan tanpa tujuan selama hampir satu jam, keringat membasahi blus sederhanaku, kakiku mulai terasa sakit. Aku melewati pasar tradisional yang becek dan ramai, aroma rempah dan ikan asin bercampur menjadi satu. Aku melihat ibu-ibu yang menawar harga sayuran dengan sengit, pemandangan yang dulu begitu akrab, kini terasa seperti dari kehidupan orang lain.
Akhirnya, setelah bertanya pada seorang tukang parkir, aku diarahkan ke sebuah area pertokoan tua yang lebih sepi. Di antara toko-toko kelontong dan bengkel, terselip beberapa ruko kecil dengan papan nama pudar. Salah satunya bertuliskan: "TERIMA JUAL-BELI BARANG BRANDED. TAS - JAM - PERHIASAN".
Jantungku berdebar kencang saat aku berdiri di depan pintu kaca yang kotor itu. Aku ragu-ragu selama beberapa menit, berperang dengan rasa maluku. Akhirnya, didorong oleh rasa lapar yang semakin menjadi-jadi, aku mendorong pintu itu terbuka. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi, suaranya terdengar nyaring di dalam ruangan yang sunyi.
Bagian dalam toko itu sempit, remang-remang, dan berbau campuran antara debu, kamper, dan parfum-parfum bekas. Etalase-etalase kaca dipenuhi tas-tas tangan yang warnanya sedikit pudar dan jam-jam tangan yang tidak lagi berdetak. Tempat ini adalah pemakaman bagi mimpi-mimpi yang gagal.
Seorang pria kurus beruban duduk di belakang meja konter yang penuh sesak, matanya yang lelah menatapku dari balik kacamata bacanya. Ia tidak tersenyum. Ia hanya mengangkat dagunya sedikit, sebuah isyarat tanpa kata: Ada apa?
"Permisi, Pak," kataku, suaraku nyaris berbisik. "Saya... saya mau menjual sesuatu."
Ia tidak menjawab, hanya menatap tas kertas di tanganku dengan tatapan sinis. Seolah ia sudah melihat ribuan wanita sepertiku sebelumnya, wanita-wanita putus asa yang datang untuk menukar kenangan mereka dengan uang sewa.
Dengan tangan gemetar, aku mengeluarkan gaun itu dari dalam tas. Kain sutra zamrud itu terasa begitu kontras di tengah lingkungan yang kumuh ini. Aku membentangkannya di atas meja konter yang berdebu. Di bawah cahaya lampu neon yang redup, gaun itu masih berkilauan, sebuah keindahan yang terasa salah tempat.
Pria itu mengambilnya tanpa antusiasme. Jari-jarinya yang kasar dan penuh noda tinta memeriksa jahitan, label merek, dan tekstur kain dengan kecepatan seorang profesional yang bosan.
"Dapat dari mana ini?" tanyanya, matanya masih terpaku pada gaun itu, tidak menatapku.
"Hadiah," jawabku pelan.
Ia mendengus. "Selalu saja hadiah," gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. Ia membalik gaun itu, memeriksa ritsletingnya. "Kondisinya masih bagus. Jarang dipakai."
"Baru sekali," kataku.
Ia akhirnya mengangkat wajahnya, menatapku dengan tatapan yang seolah bisa melihat semua kebohonganku, semua keputusasaanku. "Merek ini memang bagus, tapi model ini sudah agak ketinggalan musim. Pasaran lagi sepi, Mbak. Orang-orang lebih butuh uang untuk makan daripada untuk beli gaun pesta."
Setiap katanya adalah sebuah strategi untuk menjatuhkan harga, dan aku tahu itu. Tapi aku tidak punya kekuatan untuk berdebat.
"Jadi... berapa Bapak bisa ambil?" tanyaku, mencoba menjaga suaraku agar tidak bergetar.
Ia meletakkan gaun itu kembali ke atas meja, lalu bersandar di kursinya, menatapku lama. Ia sedang mengukur tingkat keputusasaanku. "Dua juta," katanya akhirnya.
Dua juta. Angka itu terasa seperti tamparan. Aku ingat Adrian pernah menyebut harga gaun ini sambil lalu, sebuah angka dengan nol yang jauh lebih banyak. Gaun ini bisa membayar sewa motelku selama berbulan-bulan, tetapi pria ini menawarkannya dengan harga yang nyaris tidak cukup untuk bertahan hidup selama sebulan.
"Tapi... tapi ini asli, Pak. Harganya..."
"Saya tahu harganya, Mbak," potongnya, nadanya tidak sabar. "Harga beli dan harga jual itu dua hal yang berbeda. Saya juga perlu untung. Dua juta. Ambil atau tinggal."
Aku menatap gaun sutra yang terhampar di atas meja itu. Aku teringat bagaimana Adrian berkata, "Investasi yang bagus." Ironis. Ternyata nilai investasinya hanya sebesar ini. Aku teringat bagaimana aku merasa begitu cantik dan berkuasa saat mengenakannya. Kini, gaun itu adalah simbol dari kebodohanku.
Aku berperang dengan diriku sendiri. Harga diriku berteriak untuk mengambil kembali gaun itu dan pergi dari sini dengan kepala tegak. Tapi perutku yang kosong dan bayangan malam lain di kamar motel yang pengap berteriak lebih keras.
Aku menunduk, menghindari tatapan kemenangan di mata pria itu. "Baiklah," bisikku, suaraku serak karena penghinaan. "Saya ambil."
Ia tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia hanya membuka laci kasirnya yang berderit, mengeluarkan beberapa gepok uang lima puluh ribuan yang lecek, dan menghitungnya dengan cepat di hadapanku. Ia mendorong tumpukan uang itu ke arahku.
Aku memasukkan uang itu ke dalam tasku tanpa menghitungnya kembali. Aku tidak sanggup. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat ini. Saat aku berbalik, aku melihat pantulan diriku di etalase kaca yang kotor. Seorang wanita pucat dengan mata kosong, menjual sepotong mimpinya yang gagal.
Aku melangkah keluar dari toko itu, kembali ke jalanan yang bising dan panas. Aku berdiri di trotoar yang ramai, memegang beberapa lembar uang kertas di dalam tasku. Uang ini terasa kotor, berbau keputusasaan. Ini adalah nilai dari pilihanku. Nilai dari sehelai sutra. Dan rasanya tidak sepadan sama sekali.
Bab 25: Fondasi Baru
Rumahku kini hanyalah tempat untuk tidur. Sebuah tempat persinggahan yang sunyi di antara hari-hari yang panjang dan melelahkan. Kehidupanku yang sebenarnya telah berpindah ke sini, ke sebuah studio kecil di lantai dua sebuah ruko tua di jantung kota yang tak pernah berhenti berdenyut.
Aku menyewa tempat ini sebulan yang lalu, sebuah keputusan impulsif yang lahir dari kebutuhan mendesak untuk memisahkan pekerjaan dari ruang duka. Dindingnya baru saja selesai kucat sendiri, warna putih bersih yang terasa steril namun menjanjikan. Perabotannya minimalis: meja gambar besar dari kayu jati yang kubawa dari rumah, sebuah rak buku baja yang kokoh, beberapa kursi, dan sebuah mesin pembuat kopi yang berdengung setia di sudut ruangan. Tidak ada sofa yang nyaman, tidak ada karpet yang hangat. Tempat ini dirancang untuk bekerja, bukan untuk merenung. Jendelanya yang besar dan menghadap ke jalanan yang sibuk adalah satu-satunya dekorasi, membiarkan simfoni klakson, deru mesin, dan teriakan pedagang menjadi musik latar dari babak baruku.
Ruang kerja di rumahku dipenuhi hantu. Setiap goresan pensil di sana terasa seperti mengukir di atas luka lama. Di sini, di tengah kebisingan kota yang anonim, aku bisa bernapas. Di sini, aku bukan lagi suami yang gagal. Aku hanyalah Rendra, seorang arsitek.
Proyek renovasi pertama yang dicarikan Maya telah selesai. Pembayarannya, yang terasa seperti gaji pertama dalam hidupku, kugunakan untuk menyewa tempat ini dan membeli beberapa peralatan baru. Kepuasan saat melihat desainku terwujud menjadi bangunan nyata adalah secercah cahaya pertama yang berhasil menembus kabut depresiku. Cahaya itu masih redup, tetapi cukup untuk menunjukkan jalan.
Kini, aku tidak lagi hanya mengerjakan satu proyek. Reputasiku, yang kukira telah hancur, ternyata masih memiliki gema. Beberapa klien lama menghubungiku kembali, dan Maya, dalam perannya sebagai manajer bisnis dadakanku, berhasil mendapatkan beberapa proyek baru yang menantang. Meja gambarku tidak pernah lagi kosong.
"Bagaimana pertemuan dengan keluarga Tanuwijaya kemarin?" tanya Maya. Ia duduk di seberang mejaku, menyeruput es kopi susu yang ia bawa, sementara matanya memindai denah kasar yang sedang kukerjakan.
Ia tidak lagi datang untuk memaksaku makan atau menyeretku keluar dari rumah. Kunjungannya kini murni profesional. Ia menangani klien, keuangan, dan jadwal, memberiku kemewahan untuk bisa tenggelam sepenuhnya dalam desain. Kami adalah sebuah tim. Sebuah dinamika baru yang sehat dan setara.
"Baik," jawabku, mataku masih terpaku pada kertas. "Mereka punya visi yang jelas, tapi lahan mereka sempit. Mereka mau rumah tiga lantai dengan taman di atap dan kolam renang kecil. Aku bilang itu hampir mustahil tanpa mengorbankan ruang sirkulasi."
"Lalu?"
"Aku menawarkan solusi lain. Kolam renang di lantai dasar yang terhubung langsung dengan ruang keluarga melalui dinding kaca geser, dan taman vertikal di dinding belakang. Mereka tampak tertarik." Aku menjelaskan konsep itu dengan percaya diri, menunjukkan sketsa perspektif yang kubuat semalam.
Maya mengangguk pelan, matanya menyiratkan persetujuan. "Bagus. Kamu terdengar seperti dirimu yang dulu lagi."
Aku hanya tersenyum tipis. Aku tidak akan pernah menjadi diriku yang dulu lagi. Pria naif yang membangun dunianya di sekeliling satu orang itu telah mati malam itu, bersama dengan rumahnya yang runtuh. Aku yang sekarang adalah versi yang lebih berhati-hati, lebih realistis, dan jauh lebih lelah.
Saat mengerjakan desain untuk keluarga Tanuwijaya, hantu itu sesekali masih datang berkunjung. Saat aku merancang area bermain untuk anak mereka di dekat taman, aku teringat bagaimana Difrina pernah berkata ia ingin punya ayunan di halaman belakang, tempat ia bisa membaca buku sambil merasakan angin sore. Rasa sakit itu masih ada, seperti sengatan listrik yang singkat namun tajam.
Dulu, sengatan itu akan membuatku lumpuh selama berjam-jam. Kini, aku telah belajar. Aku berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mengakui kehadiran kenangan itu. Aku membiarkan rasa sakit itu mengalir melewatiku, tidak melawannya. Lalu, dengan sebuah helaan napas panjang, aku kembali fokus pada garis-garis di hadapanku. Aku menghapus sketsa ayunan itu. Klien ini tidak memintanya. Aku menggantinya dengan sebuah dek kayu kecil dan bangku taman minimalis. Sebuah desain yang lahir dari fungsionalitas, bukan dari nostalgia. Ini adalah tindakan sadar. Sebuah penegasan bahwa aku sedang membangun masa depan, bukan mencoba mereplikasi masa lalu yang telah hancur.
Hari di mana aku menerima pembayaran penuh untuk proyek renovasi pertama adalah sebuah tonggak sejarah yang sunyi. Notifikasi transfer masuk ke rekeningku, angka yang terasa begitu besar dan nyata. Aku menatap layar ponselku lama. Seharusnya ini adalah momen perayaan. Aku membayangkan menelepon Difrina, memberitahunya dengan antusias, lalu kami akan pergi makan malam di warung sate favorit kami untuk merayakannya.
Tapi tidak ada lagi "kami".
Aku sendirian di studio sore itu. Karyawan magang yang baru kupekerjakan sudah pulang. Maya sedang bertemu klien lain. Aku hanya duduk di kursiku, menatap angka-angka di layar ponselku. Ada rasa bangga yang membuncah di dadaku, sebuah kehangatan yang murni dan personal. Ini adalah hasil kerjaku. Keringatku. Perjuanganku melawan iblis-iblis di kepalaku. Aku berhasil.
Tetapi, di balik kebanggaan itu, ada kesadaran pahit akan kesendirianku. Aku merayakan kemenangan ini sendirian. Tidak ada Difrina yang akan memelukku dan berkata, "Aku bangga padamu, Mas." Tidak ada siapa pun.
Aku berjalan ke jendela, menatap ke bawah ke arah jalanan yang ramai. Orang-orang berjalan tergesa-gesa, mobil-mobil merayap, kehidupan terus berjalan dengan hiruk pikuknya yang tak peduli. Aku adalah bagian dari mereka sekarang, tetapi juga terpisah.
Aku tidak lagi merindukan Difrina secara spesifik pada saat itu. Yang kurasakan adalah kerinduan akan kebersamaan itu sendiri. Kerinduan akan seseorang untuk berbagi kemenangan kecil dan kekalahan besar. Aku harus belajar untuk merasa cukup dengan pengakuan dari diriku sendiri. Aku harus belajar bahwa fondasi baru yang sedang kubangun ini, harus cukup kuat untuk menopang diriku sendiri, sendirian.
Aku kembali ke meja gambarku, menyalakan lampu, dan menggelar selembar kertas kosong yang baru. Proyek Tanuwijaya menanti. Aku mengambil pensilku. Di luar, klakson mobil bersahutan dan sirine ambulans meraung di kejauhan. Tapi di dalam studio kecilku, di bawah cahaya lampu yang hangat, hanya ada aku, kertasku, dan keheningan yang produktif.
Aku mulai menggambar garis pertama. Garis yang tegas, lurus, dan penuh tujuan. Garis dari sebuah fondasi baru. Milikku.
Bab 26: Gema dari Masa Lalu
Uang tunai, ternyata, meleleh lebih cepat daripada es di tengah terik matahari Jakarta. Tumpukan uang kertas yang tadinya terasa tebal dan menjanjikan di dalam tasku, kini menipis dengan kecepatan yang mengerikan. Setiap lembar yang kukeluarkan untuk membayar sewa kamar motel yang pengap, untuk membeli sebungkus nasi di warteg, atau untuk membayar tagihan internet per jam, terasa seperti sepotong kecil dari masa depanku yang terkikis.
Keputusasaan adalah motivator yang kejam. Ia tidak memberimu waktu untuk meratap. Ia mendorongmu, menendangmu, memaksamu untuk bergerak, bahkan jika kau tidak tahu harus melangkah ke mana. Hari ini, ia mendorongku ke tempat ini: sebuah warung internet di pinggir jalan yang ramai, terjepit di antara bengkel motor dan toko kelontong.
Udara di dalam warnet terasa berat dan pengap, sebuah campuran aneh antara aroma kopi instan yang manis, asap rokok kretek yang pekat, dan bau debu dari karpet tua yang warnanya sudah tidak bisa dikenali lagi. Suara ketikan keyboard yang berisik terdengar seperti hujan deras di atap seng, beradu dengan dengungan lelah dari puluhan kipas angin yang berputar lambat, seolah enggan mengusir panas. Ini adalah dunia yang begitu jauh dari apartemen Adrian yang sunyi dan ber-AC, begitu jauh dari rumah Rendra yang beraroma kayu dan bunga. Ini adalah dunia nyata. Dan aku merasa seperti alien di dalamnya.
Aku membayar untuk dua jam, sebuah kemewahan yang terasa boros. Pria penjaga warnet, dengan tatapan bosan yang sama seperti resepsionis motel, menunjuk ke sebuah bilik kosong di sudut ruangan. Komputer di hadapanku adalah sebuah relik dari masa lalu; monitornya yang cembung menampilkan warna yang sedikit pudar, dan mouse-nya terasa lengket di tanganku.
Aku membuka program pengolah kata. Sebuah halaman putih yang kosong muncul di layar, sama kosongnya dengan masa depanku. Aku harus membuat daftar riwayat hidup. Sebuah CV. Dokumen yang seharusnya merangkum semua pencapaian dan kualifikasiku. Masalahnya adalah, aku tidak punya apa-apa.
Aku mengetik namaku di bagian atas: Difrina Putri. Di bawahnya, aku mengetik alamat motel, lalu ragu-ragu dan menghapusnya. Aku tidak punya alamat tetap. Aku mengetik nomor ponselku, satu-satunya penghubungku dengan dunia.
Lalu aku sampai pada bagian yang paling menakutkan: Pengalaman Kerja.
Kursor itu berkedip-kedip di layar, mengejekku. Pengalaman kerja. Apa yang harus kutulis? Aku mencoba mengingat-ingat. Sebelum menikah, aku pernah bekerja paruh waktu sebagai penjaga toko buku selama beberapa bulan saat kuliah. Haruskah kutulis itu? Rasanya begitu tidak signifikan, begitu remeh.
Lalu, selama tiga tahun terakhir, apa yang kulakukan? Aku adalah seorang istri. Seorang ibu rumah tangga. Apakah itu bisa disebut pekerjaan? Di dunia Adrian, itu adalah sebuah lelucon. Di duniaku yang sekarang, itu adalah sebuah kekosongan yang memalukan di atas kertas.
Aku mencoba merangkai kata. Mengelola anggaran rumah tangga. Mengatur jadwal harian. Memastikan operasional rumah berjalan lancar. Kalimat-kalimat itu terdengar begitu dipaksakan, begitu menyedihkan.
Saat itulah sebuah kenangan menghantamku. Rendra, duduk di meja makan, menatap tumpukan tagihan dan buku catatanku dengan tatapan kagum. "Kamu hebat banget, Dif," katanya saat itu. "Aku nggak akan bisa serapi ini. Kamu itu manajer keuangan, kepala koki, dan direktur operasional terbaik di rumah ini."
Saat itu, aku hanya tersenyum tipis, menganggap pujiannya sebagai hal yang biasa, bahkan sedikit meremehkannya. Hanya urusan rumah tangga. Kini, di depan layar komputer yang pudar di warnet yang pengap ini, pujian itu terasa seperti pengakuan paling tulus dan berharga yang pernah kuterima. Ia melihat usahaku. Ia menghargai pekerjaanku, pekerjaan yang tidak pernah memberiku slip gaji atau kartu nama.
Rasa sesal yang tajam menusukku begitu dalam hingga aku harus berhenti mengetik, memejamkan mata sejenak. Aku telah menukar rasa hormat yang tulus itu dengan pujian-pujian kosong tentang gaun mahal dan penampilan fisik.
Aku menghapus semua kalimat tentang "mengelola rumah tangga". Itu hanya akan membuatku terlihat konyol. Aku membiarkan bagian pengalaman kerja itu kosong.
Aku beralih ke bagian Keterampilan. Aku bisa memasak. Aku bisa menjahit. Aku bisa menanam mawar. Keterampilan yang tidak ada harganya di pasar kerja Jakarta. Aku akhirnya hanya menulis: Menguasai Microsoft Office (Dasar), Bahasa Inggris (Pasif). Sebuah kebohongan kecil untuk menutupi kekosongan yang besar.
Setelah satu jam yang terasa seperti penyiksaan, CV-ku selesai. Sebuah dokumen tipis yang menyedihkan, cerminan dari kehidupanku yang kosong. Aku membukanya di sebuah situs pencari kerja, dan mulai melihat lowongan yang tersedia untuk seseorang dengan kualifikasi sepertiku.
Pelayan restoran. Penjaga toko. Resepsionis hotel melati. Operator telepon.
Setiap judul pekerjaan terasa seperti sebuah tamparan. Inikah aku sekarang? Setelah semua mimpiku tentang "panggung yang lebih besar"? Aku teringat bagaimana aku meremehkan rumah kecil Rendra. Kini, aku bahkan tidak yakin bisa menyewa kamar kos yang layak.
Aku menarik napas dalam-dalam, menelan harga diriku yang hancur. Aku harus mulai dari suatu tempat. Aku melihat sebuah lowongan untuk pelayan di sebuah kafe di pusat kota. "Berpenampilan menarik, pekerja keras, bersedia bekerja shift malam." Aku memenuhi semua kriteria itu, kecuali mungkin bagian "pekerja keras".
Aku menelepon nomor yang tertera. Suara seorang wanita yang terdengar sibuk dan jengkel menjawab di seberang sana.
"Halo, Kafe Kencana?"
"Selamat siang, Bu. Saya Difrina. Saya lihat ada lowongan untuk pelayan..."
"Sudah terisi," potongnya, sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku. Klik. Panggilan itu berakhir.
Aku menatap gagang telepon warnet yang terasa lengket, merasakan gelombang keputusasaan yang dingin. Dunia ini begitu acuh tak acuh. Mereka tidak peduli pada ceritaku, pada penyesalanku, pada kebutuhanku untuk bertahan hidup. Aku hanyalah satu dari jutaan orang lain yang sedang berjuang.
Waktu sewaku di warnet hampir habis. Uangku semakin menipis. Rasa panik yang dingin mulai merayap di punggungku. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku merasa seperti berada di jalan buntu.
Dan dalam keputusasaan total itu, sebuah dorongan impulsif yang tidak bisa kujelaskan menguasai diriku. Tanganku bergerak sendiri di atas keyboard yang berdebu. Aku membuka tab baru, membuka mesin pencari.
Aku ragu sejenak. Ini gila. Ini tidak ada gunanya. Ini hanya akan menyakiti diriku sendiri.
Tetapi jari-jariku tidak mendengarkan.
Aku mengetik sebuah nama. Nama yang pernah menjadi pusat duniaku, nama yang kini terasa seperti gema dari masa lalu yang jauh.
Rendra Aditama. Arsitek.
Aku menekan tombol 'Enter'.
Layar itu berkedip sejenak, memuat halaman hasil pencarian. Aku menahan napas, menatap deretan tautan biru yang muncul di hadapanku. Aku tidak tahu apa yang kucari. Mungkin sebuah bukti bahwa ia juga hancur. Mungkin sebuah validasi bahwa kepergianku memang menyakitinya. Atau mungkin... mungkin aku hanya ingin melihat secercah sisa dari dunia yang telah kubakar habis dengan tanganku sendiri.
Bab 27: Jejak Digital di Layar Retak
Layar monitor yang cembung itu berkedip sejenak, memproses perintahku dengan kecepatan yang terasa seperti zaman batu. Di bilik warnet yang pengap ini, waktu terasa berjalan berbeda. Setiap detik yang berlalu adalah suara koin yang jatuh ke dalam mesin, menggerogoti sisa uangku yang tak seberapa. Di sekelilingku, suara ketikan keyboard yang panik dan tawa kasar dari para pemain gim daring menciptakan hiruk pikuk yang memekakkan, tetapi di dalam kepalaku, hanya ada keheningan yang tegang.
Deretan tautan biru muncul di bawah bilah pencarian. Jantungku berdebar begitu kencang hingga napasku terasa sesak. Sebagian diriku ingin segera menutup tab ini, lari dari bilik ini, dan kembali ke ketidaktahuan yang menyedihkan. Tetapi bagian lain, bagian yang lebih masokis dan putus asa, tidak bisa menahan diri. Aku harus melihat.
Tanganku yang gemetar menggerakkan mouse yang lengket itu. Kursor panah melayang di atas tautan pertama. Judulnya sederhana dan profesional: "Studio Ruang Rendra - Desain Arsitektur & Interior".
Studio. Ia punya studio sendiri.
Aku mengklik tautan itu. Halaman web itu dimuat dengan lambat, setiap piksel yang muncul terasa seperti sebuah wahyu yang menyakitkan. Tidak ada desain yang rumit atau mencolok. Hanya latar belakang putih bersih, tipografi yang elegan, dan logo sederhana berupa inisial namanya, R.A., yang saling bertautan membentuk sebuah struktur bangunan. Semuanya begitu bersih, begitu fokus, begitu... Rendra. Kontras yang brutal dengan kekacauan hidupku dan bilik warnet yang kumuh ini.
Mataku langsung tertuju pada sebuah foto di halaman utama. Foto profesional Rendra. Ia tidak tersenyum. Ia menatap lurus ke arah kamera dengan ekspresi yang serius dan terkonsentrasi. Ia terlihat lebih kurus dari yang kuingat, tulang pipinya lebih menonjol, dan ada kelelahan yang samar di matanya. Tetapi di balik kelelahan itu, ada sesuatu yang baru. Sebuah ketajaman. Sebuah fokus yang tak tergoyahkan. Ia tidak lagi terlihat seperti pria naif yang dunianya berpusat padaku. Ia terlihat seperti seorang profesional yang tahu persis apa yang ia lakukan. Ia terlihat seperti orang asing.
Aku menavigasi ke halaman "Tentang Kami". Teksnya singkat dan lugas.
“Studio Ruang Rendra didirikan oleh Rendra Aditama, seorang arsitek dengan hasrat untuk menciptakan ruang yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga fungsional dan bermakna. Kami percaya bahwa setiap garis memiliki tujuan, dan setiap ruang harus menceritakan sebuah kisah. Filosofi kami adalah membangun dari dasar yang jujur, menciptakan desain yang bertahan melampaui tren.”
Tidak ada penyebutan tentangku. Tentu saja tidak. Kenapa aku mengharapkannya? Tapi tetap saja, ketiadaan namaku di sana terasa seperti sebuah penghapusan. Ia telah menulis ulang kisahnya, dan aku bahkan tidak menjadi catatan kaki di dalamnya. Ia membangun dari dasar yang jujur. Apakah itu berarti dasar dari kehidupan kami dulu adalah sebuah kebohongan?
Lalu aku membuka halaman "Portofolio". Jantungku terasa seperti diremas. Proyek pertama yang ditampilkan adalah "Renovasi Rumah Permata Hijau". Aku melihat foto-foto sebelum dan sesudah. Aku melihat ruang keluarga dengan jendela sudut yang brilian, dapur dengan rak-rak terbuka dari kayu ek yang hangat, persis seperti yang sering kami diskusikan dalam lamunan kami. Ia mewujudkan mimpi itu. Bukan untukku, tetapi untuk orang lain.
Ada beberapa proyek lain, sebagian besar masih dalam bentuk sketsa 3D yang realistis. Sebuah kafe minimalis. Sebuah vila kecil di puncak bukit. Sebuah rumah tinggal dengan konsep taman vertikal. Semuanya indah. Semuanya cerdas. Semuanya menunjukkan bakatnya yang luar biasa, bakat yang dulu sering kupuji sambil lalu, tanpa benar-benar memahami betapa berharganya hal itu.
Aku membandingkan portofolio karyanya yang mengesankan ini dengan CV-ku yang menyedihkan, yang tergeletak tercetak di samping keyboard. Pengalaman Kerja: (kosong). Keterampilan: Menguasai Microsoft Office (Dasar). Rasa malu yang begitu hebat membakar wajahku hingga terasa panas.
Ia tidak hancur. Ia tidak meratap. Ia tidak membusuk di dalam rumah yang kutinggalkan. Ia mengambil puing-puing dari kehancuran yang kuciptakan, dan ia membangun kembali. Ia membangun sebuah studio. Ia membangun sebuah karir. Ia membangun kembali hidupnya. Tanpaku.
Harapan egoisku yang paling rahasia—harapan bahwa ia sama menderitanya sepertiku, bahwa kepergianku meninggalkan lubang yang tak tergantikan dalam hidupnya—hancur berkeping-keping. Ternyata, aku tidak sepenting itu. Ternyata, ia bisa hidup, bahkan berkembang, tanpaku. Dan kesadaran itu terasa lebih menyakitkan daripada penghinaan Adrian atau penolakan dari lowongan pekerjaan mana pun. Karena ini berarti satu hal: akulah satu-satunya yang kalah dalam perang ini. Aku yang meninggalkan surga demi ilusi, dan kini aku terdampar di neraka keterasingan, sementara ia, dengan tenang dan tabah, membangun kembali surganya sendiri.
Aku merasakan secercah kekaguman yang enggan kuakui. Kekaguman akan kekuatannya. Aku meninggalkannya di titik terendahnya, dan ia berhasil merangkak keluar dari jurang itu sendirian. Sementara aku, yang mendapatkan semua yang kuinginkan, justru jatuh ke dalam jurang yang sama.
Penyesalan itu bukan lagi hanya tentang kehilangan cinta. Ini tentang kehilangan rasa hormat. Rasa hormat dari pria terbaik yang pernah kukenal, dan yang lebih parah, rasa hormat pada diriku sendiri. Aku telah menukar peran sebagai "manajer terbaik" di dunianya yang tulus, dengan peran sebagai pajangan mahal di dunia Adrian yang palsu, dan kini aku tidak menjadi apa-apa.
"Sisa waktu lima menit, Mbak!"
Suara operator warnet yang serak dan tidak sabar terdengar dari pengeras suara, menyentakkanku dari perenunganku yang menyakitkan. Lima menit. Aku harus kembali ke realitasku.
Tanganku yang gemetar menggerakkan mouse, menutup tab situs web Studio Ruang Rendra. Di baliknya, dokumen CV-ku yang kosong kembali muncul di layar. Kursor itu masih berkedip-kedip di bawah judul "Pengalaman Kerja", sebuah pengingat brutal akan ketiadaan.
Aku menatap layar itu, kontras antara dua dunia kami begitu tajam hingga membuat mataku perih. Di satu sisi, ada jejak digital dari seorang pria yang membangun kembali. Di sisi lain, ada halaman putih dari seorang wanita yang telah menghancurkan segalanya, termasuk dirinya sendiri.
Waktu sewaku habis. Layar komputer secara otomatis kembali ke halaman login. Semuanya hilang. Aku bangkit dari kursi yang tidak nyaman itu, kakiku terasa lemas. Saat aku berjalan keluar dari bilik yang pengap itu, melewati deretan wajah-wajah asing yang terpaku pada layar mereka, aku belum pernah merasa lebih sendirian dan lebih kalah seumur hidupku.
Bab 28: Panggilan Telepon di Tengah Malam
Aku kembali ke motel seperti seorang prajurit yang kalah perang. Pintu kamar 207 yang reyot terasa seperti pintu sel penjara. Aroma pengap dan lembap yang sama menyambutku, tetapi kali ini terasa lebih menyesakkan, seolah menyerap sisa-sisa harapan yang kumiliki. Aku melempar tasku ke lantai, suara debamnya yang pelan terdengar begitu menyedihkan di tengah keheningan.
Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya berbaring di atas ranjang yang keras, masih mengenakan pakaianku yang lengket oleh keringat dan debu jalanan. Aku menatap langit-langit yang penuh noda kecokelatan, bentuknya samar-samar menyerupai peta dari negeri antah berantah. Pikiranku kosong, lumpuh. Gambaran situs web Rendra—bersih, profesional, penuh tujuan—terus berkelebat di benakku, kontras yang brutal dengan langit-langit kotor di atasku dan kekosongan hidupku.
Ia telah membangun kembali. Sementara aku, aku hanya berhasil menghancurkan. Aku menghancurkan pernikahan kami, aku menghancurkan kepercayaannya, dan kini, aku menghancurkan diriku sendiri. Rasa kalah itu begitu total, begitu absolut, hingga tidak ada lagi ruang untuk amarah atau bahkan kesedihan yang aktif. Yang ada hanyalah kehampaan yang dingin dan berat.
Hari berganti malam tanpa kusadari. Cahaya lampu jalan dari luar menyusup melalui celah tirai yang tipis, melukis garis-garis pucat di dinding yang kusam. Suara cicak yang sesekali berdecak di langit-langit menjadi satu-satunya temanku. Aku tidak makan. Aku tidak minum. Aku hanya berbaring di sana, membiarkan jam-jam berlalu, berharap jika aku diam cukup lama, aku mungkin akan lenyap begitu saja.
Aku teringat kesombonganku. Kata-kataku pada Rendra malam itu, saat aku menuduhnya telah mengurungku. "Ini surgamu, Rendra! Bukan surgaku!" Betapa bodohnya aku. Aku telah meninggalkan surga yang dibangun dengan cinta tulus, hanya untuk mengejar fatamorgana berkilauan yang ditawarkan Adrian. Dan kini, aku terdampar di sini. Di neraka yang kubuat sendiri. Neraka yang tidak megah, tidak dramatis, hanya sebuah kamar motel murah yang berbau keputusasaan.
Sekitar pukul sembilan malam, saat aku mulai terlelap dalam tidur yang gelisah, sebuah ketukan keras di pintu membuatku tersentak bangun. Jantungku langsung berdebar kencang. Adrian? Apakah ia menemukanku?
"Mbak! Mbak Difrina!" Suara serak pria resepsionis terdengar dari balik pintu.
Aku tidak menjawab, menahan napas.
"Mbak, cuma mau ngingetin, sewa kamarnya habis besok pagi jam sepuluh, ya. Mau diperpanjang atau tidak?"
Pertanyaan itu menghantamku seperti seember air es. Besok pagi. Waktuku hampir habis.
"Nanti... nanti saya ke bawah, Pak," jawabku, suaraku gemetar.
Aku mendengar suara langkah kakinya yang menjauh. Aku sendirian lagi, tetapi kini dengan kepanikan yang dingin merayap di pembuluh darahku. Aku bangkit dari ranjang, tanganku gemetar saat aku meraih tasku dan mengeluarkan sisa uangku. Aku menghitungnya di bawah cahaya remang-remang. Lembar-lembar uang lima puluh ribuan yang lecek itu tampak begitu sedikit. Setelah membayar sewa untuk satu malam lagi, uang ini mungkin hanya cukup untuk makan selama dua atau tiga hari. Setelah itu? Habis. Ketiadaan.
Aku akan menjadi gelandangan.
Gambaran diriku yang tidur di emperan toko, kotor dan kelaparan, muncul begitu jelas di benakku. Rasa takut yang murni dan primal akhirnya berhasil menembus dinding apatisku. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa? CV-ku yang kosong menari-nari di kepalaku. Telepon yang ditutup dengan kasar. Wajah sinis pemilik toko barang bekas. Aku tidak punya apa-apa. Aku tidak punya siapa-siapa.
Aku duduk di lantai yang dingin, memeluk lututku, tubuhku mulai gemetar tak terkendali. Aku telah membakar semua jembatan di belakangku dengan begitu angkuh. Aku meninggalkan keluargaku demi Rendra, lalu meninggalkan Rendra demi Adrian, dan kini aku tidak punya siapa-siapa. Aku teringat panggilan telepon terakhirku dengan Mbak Laras, kebohongan menyedihkan yang kuucapkan. Rasa malu yang begitu hebat membuatku ingin menghilang.
Tapi rasa takutku lebih besar dari rasa maluku.
Aku meraih ponselku. Baterainya tinggal lima belas persen. Aku menatap daftar kontak. Namaku sendiri, "Aku", ada di paling atas. Lalu Adrian, yang belum kuhapus namanya, sebuah pengingat akan kebodohanku. Lalu beberapa nomor teman lama yang sudah berbulan-bulan tidak kuhubungi. Aku tidak bisa menelepon mereka. Aku tidak sanggup menjelaskan kerumitan ini, tidak sanggup menanggung iba mereka.
Lalu aku melihatnya. Mbak Laras.
Jemariku melayang di atas namanya. Ini adalah pilihan terakhirku. Pilihan yang paling memalukan. Menelan semua kesombonganku, mengakui kegagalanku, dan memohon bantuan. Aku teringat bagaimana aku pergi dari rumah, berjanji akan membuktikan bahwa aku bisa hidup lebih baik. Dan kini aku akan kembali sebagai seorang pecundang.
Aku berperang dengan diriku sendiri selama waktu yang terasa seperti selamanya. Setiap detik yang berlalu, bayangan diriku di jalanan semakin nyata. Akhirnya, dengan mata terpejam dan napas yang tertahan, aku menekan tombol panggil.
Nada sambung itu terdengar begitu keras di telingaku yang berdengung. Satu kali. Dua kali. Aku hampir mematikannya, tidak sanggup menanggung penghinaan ini.
Tiga kali.
"Halo?" Suara Mbak Laras terdengar mengantuk. Tentu saja, ini sudah lewat tengah malam.
Aku membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar. Tenggorokanku terasa seperti tersumbat oleh gumpalan rasa malu dan penyesalan.
"Halo? Siapa ini?" tanyanya lagi, suaranya kini sedikit lebih waspada.
"Mbak..." akhirnya aku berhasil berbisik. Suaraku pecah, terdengar seperti suara orang asing.
Hening sejenak. Lalu, "Difrina? Kamu kenapa? Ini sudah malam sekali."
Aku mencoba berbicara, mencoba merangkai kalimat, mencoba menjelaskan. Tapi yang keluar hanyalah isak tangis yang tak bisa kutahan lagi. Aku menangis, tangis yang lahir dari keputusasaan total, dari kehancuran yang tak tertahankan. Aku menangis untuk Rendra, untuk ibuku, untuk diriku yang naif, dan untuk masa depan yang telah kuhancurkan.
"Dif? Difrina, kamu di mana?" Suara Mbak Laras kini dipenuhi kepanikan. "Kamu nggak apa-apa, kan? Apa yang terjadi?"
Aku masih tidak bisa menjawab, hanya terisak-isak di telepon, setiap isakan adalah sebuah pengakuan kegagalan.
"Dengar, Dif," katanya, suaranya kini mencoba tenang, mencoba mengambil kendali. "Kamu di mana sekarang? Kirimkan alamatmu. Mbak akan ke sana. Sekarang juga."
Aku berhasil menyebutkan nama motel dan area tempatku berada di sela-sela isak tangisku.
"Oke. Tetap di sana. Jangan ke mana-mana. Kunci pintunya. Mbak akan segera datang," katanya. "Semuanya akan baik-baik saja, Dif. Kamu dengar Mbak? Semuanya akan baik-baik saja."
Panggilan itu berakhir. Aku menjatuhkan ponsel ke atas ranjang. Aku masih gemetar, tetapi bukan lagi karena panik. Aku tidak tahu apakah semuanya akan baik-baik saja. Aku ragu. Tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, aku tidak lagi sendirian.
Aku duduk dalam kegelapan, di kamar motel yang suram, menunggu kedatangan masa laluku untuk menyelamatkanku dari masa kini yang telah kuciptakan sendiri. Dan di tengah rasa malu yang luar biasa, ada secercah kelegaan yang menyakitkan. Aku telah mencapai titik terendah. Tidak ada lagi tempat untuk jatuh. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah naik.
Bab 29: Menghapus Jejak
Studio baruku adalah sebuah ekosistem yang sibuk dan teratur. Suara ketukan pensil di atas kertas, dengungan mesin cetak plotter, dan gumaman diskusi teknis yang teredam menjadi musik latar dari kehidupanku yang baru. Aku telah mempekerjakan dua arsitek junior, anak-anak muda penuh ide yang energinya menular. Pagi itu, aku sedang berdiri di belakang bahu salah satunya, Fajar, menunjuk sebuah detail pada denah digital di layarnya.
"Garis dinding ini terlalu tebal, Jar," kataku, suaraku tenang dan terkendali. "Itu akan memakan ruang sirkulasi yang berharga. Coba gunakan partisi kaca dengan rangka baja tipis. Kita butuh kesan lapang, bukan benteng."
Fajar mengangguk cepat, matanya berbinar. "Ide bagus, Mas. Saya tidak terpikir ke sana."
Aku menepuk bahunya pelan. "Itulah gunanya pengalaman," kataku, sebuah senyum tipis tersungging di bibirku. Aku merasa seperti seorang mentor, seorang pemimpin. Peran yang terasa begitu asing beberapa bulan yang lalu, kini terasa pas, seperti pakaian yang dijahit khusus untukku. Aku telah menemukan kembali ritmeku, bukan hanya sebagai seorang arsitek, tetapi sebagai seorang profesional.
Di tengah kesibukan itu, Maya datang. Ia tidak lagi perlu mendobrak pintu atau menyeretku keluar dari sofa. Kini, ia datang sebagai mitra, membawa aroma kopi dari kedai seberang dan setumpuk dokumen di bawah lengannya.
"Laporan keuangan bulan lalu," katanya, meletakkan tumpukan itu di mejaku. "Kita untung, Ren. Tidak banyak, tapi cukup untuk membayar sewa dan gajimu yang menyedihkan itu."
"Gajiku tidak menyedihkan," balasku, tanpa mengalihkan pandangan dari sketsaku. "Aku menyebutnya investasi awal."
"Terserah apa katamu," ia terkekeh, lalu duduk di kursi di hadapanku, ekspresinya berubah menjadi lebih serius. "Ngomong-ngomong, ada surat dari kantor pajak. Soal rumahmu."
Aku berhenti menggambar. Rumahku. Aku bahkan hampir lupa aku masih memilikinya. Aku sudah tidak pernah ke sana sejak hari aku dan Maya membersihkan taman. Mawar-mawar itu mungkin sudah kembali layu.
"Pajak Bumi dan Bangunannya jatuh tempo bulan depan," lanjut Maya, matanya menatapku lekat. "Jadi, apa rencanamu dengan rumah itu, Rendra? Kamu tidak bisa terus mengabaikannya. Itu aset yang terbengkalai."
Pertanyaannya yang praktis terasa seperti batu yang dilempar ke kolam tenang yang telah kuciptakan dengan susah payah. Rumah itu. Tempat itu adalah sebuah mausoleum, sebuah monumen dari kehidupan yang telah mati. Aku telah berhasil membangun benteng di sekeliling kenangan itu, dan kini Maya, dengan logikanya yang tak kenal ampun, memaksaku untuk kembali mengunjunginya.
"Aku... aku belum tahu," jawabku jujur.
"Pikirkanlah," katanya, nadanya tidak memaksa, tetapi tegas. "Itu tempat yang terlalu besar untuk dihuni hantu sendirian."
Setelah ia pergi, aku tidak bisa lagi fokus pada pekerjaanku. Pertanyaan Maya terus berputar di kepalaku. Apa rencanaku? Aku tidak punya rencana. Aku hanya ingin melupakannya, membiarkannya membusuk dalam ingatanku. Tapi aku tahu Maya benar. Aku tidak bisa lari selamanya.
Sore itu, setelah semua orang di studio pulang, aku membuat sebuah keputusan. Aku harus menghadapinya. Sekali lagi, untuk yang terakhir kali.
Perjalanan menuju rumah itu terasa seperti perjalanan menembus waktu. Jalanan yang dulu kulalui setiap hari dengan hati yang ringan, kini terasa asing. Setiap belokan memicu gema kenangan yang samar. Saat aku memarkir mobil di depan gerbang, aku ragu sejenak. Tanganku terasa berat saat meraih kunci dari saku.
Pintu depan berderit pelan saat kubuka. Udara di dalam terasa dingin dan pengap, berbau debu dan kenangan yang terlupakan. Semuanya bersih, persis seperti saat terakhir kutinggalkan. Maya telah menyewa jasa pembersih beberapa minggu yang lalu. Tetapi kebersihan itu justru membuatnya terasa lebih kosong, lebih seperti museum yang sepi daripada sebuah rumah.
Aku berjalan masuk, suara langkah kakiku sendiri terdengar begitu keras di tengah keheningan. Aku berdiri di ruang tengah. Aku teringat bagaimana Difrina pertama kali melihat ruangan ini, saat masih kosong dan berbau cat baru. Ia berlari ke tengah ruangan, merentangkan tangannya, dan berkata, "Di sini kita akan meletakkan sofa yang besar dan empuk, Mas. Tempat kita bisa meringkuk sambil nonton film saat hujan." Aku bisa melihat bayangannya di sana, tertawa, matanya berbinar penuh mimpi. Dulu, kenangan ini akan menghancurkanku. Kini, aku hanya merasakan kesedihan yang tumpul, seperti luka lama yang sesekali masih terasa nyeri saat cuaca dingin. Aku melihat ruangan itu sekarang, dan yang kulihat hanyalah sebuah ruang kosong dengan potensi pencahayaan yang bagus.
Aku melangkah ke dapur. Meja makan kayu yang kubuat sendiri masih berdiri kokoh. Aku teringat pagi-pagi yang tak terhitung jumlahnya, saat kami duduk di sini, berbagi kopi dan cerita. Aku teringat bagaimana ia mencoba resep kue baru dan meninggalkan noda tepung di hidungnya, dan bagaimana aku tertawa lalu mengusapnya dengan jariku. Senyum tipis yang pahit tersungging di bibirku. Itu adalah kenangan yang indah. Kenangan milik orang lain, milik versi diriku yang telah lama mati.
Lalu aku berjalan ke pintu belakang, menatap ke arah taman. Di luar dugaanku, mawar-mawar itu tidak mati. Justru sebaliknya. Tunas-tunas baru yang dulu kulihat kini telah tumbuh menjadi cabang-cabang yang kuat, dipenuhi daun-daun hijau yang sehat. Beberapa kuncup bahkan mulai merekah, menjanjikan bunga-bunga baru. Taman itu telah sembuh. Ia telah menemukan caranya sendiri untuk tumbuh kembali, bahkan setelah ditinggalkan. Sama sepertiku.
Langkah terakhir adalah yang paling berat. Kamar tidur. Aku berdiri di ambang pintunya selama beberapa menit, tidak berani masuk. Ini adalah pusat dari surgaku, dan juga pusat dari nerakaku. Akhirnya, aku melangkah masuk.
Ruangan itu kosong. Ranjang, lemari, semuanya masih di sana. Tapi jiwa ruangan itu telah pergi. Aku berjalan ke sisi ranjang tempat Difrina biasa tidur. Aku masih bisa membayangkan lekuk tubuhnya di atas kasur, aroma rambutnya di atas bantal. Aku teringat malam-malam saat aku memeluknya dari belakang, merasakan napasnya yang teratur di leherku, merasa seperti pria paling utuh di dunia.
Mataku tertuju pada nakas di sisinya. Kotak kayu kecil itu masih di sana. Aku membukanya. Kalung perak dengan liontin daun itu masih tergeletak di dalam, berkilau dingin. Simbol dari penolakannya yang final. Dulu, melihat kalung ini terasa seperti ditikam. Kini, aku hanya melihatnya sebagai sebuah benda. Sebuah pengingat bahwa tidak semua yang dimulai dengan indah akan berakhir dengan indah. Dan itu tidak apa-apa.
Aku berdiri di sana, di tengah ruangan yang dipenuhi gema dari masa lalu. Aku merasakan gelombang kesedihan yang dalam, sebuah duka atas apa yang telah hilang, atas apa yang tidak akan pernah bisa kembali. Aku membiarkan diriku merasakannya, tidak melawannya. Aku berduka untuk pria naif yang pernah tinggal di sini, yang percaya bahwa cinta bisa menaklukkan segalanya.
Setelah waktu yang terasa begitu lama, aku menarik napas dalam-dalam. Kesedihan itu mulai surut, digantikan oleh ketenangan yang jernih. Aku telah mengunjungi makam ini. Aku telah memberikan penghormatan terakhirku. Sekarang, saatnya untuk pergi.
Aku berjalan keluar dari kamar, keluar dari rumah itu, tanpa menoleh ke belakang. Aku berdiri di teras, menghirup udara sore yang segar. Aku mengeluarkan ponselku dari saku. Aku mencari nama Maya di daftar kontak dan menekan tombol panggil.
Ia menjawab di dering kedua. "Ya, Ren?"
Aku menatap ke arah taman, ke arah mawar-mawar yang tumbuh kembali dengan keras kepala.
"Jual saja rumah itu," kataku, suaraku mantap dan tanpa keraguan.
Hening sejenak di seberang sana. Lalu aku mendengar Maya menghela napas, sebuah helaan napas lega. "Baiklah," katanya. "Akan segera kuurus."
Aku menutup telepon. Aku memasukkan kunci rumah ke dalam pot bunga di dekat pintu, meninggalkannya di sana. Aku tidak akan kembali lagi.
Saat aku berjalan menjauh dari rumah itu untuk terakhir kalinya, sebuah perasaan ringan yang aneh menyelimutiku. Beban yang selama ini menekan pundakku seolah terangkat. Aku tidak melupakan. Aku tidak akan pernah bisa melupakan. Tapi aku telah melepaskan. Aku telah menghapus jejaknya, bukan dari ingatanku, melainkan dari masa depanku. Dan di hadapanku, kini terhampar selembar kertas kosong yang baru, siap untuk digambari dengan sketsa yang sepenuhnya milikku.
Bab 30: Pulang
Setelah panggilan telepon itu berakhir, aku tidak bergerak. Aku hanya duduk di lantai yang dingin dan lengket, memeluk lututku, dan mendengarkan keheningan. Isak tangisku telah mereda, meninggalkan jejak basah yang dingin di pipiku dan rasa sakit yang tumpul di dadaku. Telepon itu tergeletak di atas ranjang, layarnya yang gelap seolah menjadi saksi bisu dari penyerahan diriku yang total. Aku telah melakukannya. Aku telah menelan sisa-sisa harga diriku yang terakhir dan memohon untuk diselamatkan.
Waktu menunggu terasa seperti siksaan. Setiap suara di koridor motel—langkah kaki, pintu yang dibanting, tawa kasar—membuatku tersentak, jantungku berdebar karena campuran antara harapan dan rasa malu yang luar biasa. Aku membayangkan wajah Mbak Laras saat ia tiba. Apakah ia akan marah? Jijik? Atau hanya menatapku dengan iba yang sunyi, yang entah kenapa terasa lebih buruk dari amarah mana pun?
Aku bangkit, berjalan ke cermin buram di kamar mandi. Wanita yang balas menatapku adalah seorang pengecut. Matanya bengkak dan merah, rambutnya kusut, dan pakaiannya yang sederhana kini terlihat lusuh. Aku teringat bagaimana aku bercermin di walk-in closet Adrian, mengenakan gaun sutra, merasa seperti telah menaklukkan dunia. Betapa cepatnya dunia itu runtuh.
Aku mencoba merapikan rambutku dengan jari, membasuh wajahku dengan air keran yang berbau karat. Aku ingin terlihat setidaknya sedikit lebih baik, sedikit tidak terlalu hancur, saat kakakku datang. Sebuah upaya sia-sia untuk mempertahankan sehelai benang terakhir dari martabatku.
Satu jam yang terasa seperti seabad kemudian, aku mendengar suara mobil berhenti di depan motel, diikuti oleh suara pintu yang dibanting. Langkah kaki yang cepat dan tegas menaiki tangga. Lalu, ketukan di pintu kamarku. Bukan ketukan ragu-ragu, melainkan ketukan yang mantap dan tidak sabar.
Aku membuka pintu.
Mbak Laras berdiri di sana, di bawah cahaya lampu koridor yang berkedip-kedip. Wajahnya adalah sebuah topeng yang sulit kubaca. Ada kelegaan di matanya, tetapi juga kemarahan yang tertahan di rahangnya yang mengeras, dan kekhawatiran yang dalam di kerutan keningnya. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya memindai diriku dari atas ke bawah, lalu melirik ke dalam kamarku yang suram.
"Bawa barangmu," katanya akhirnya, suaranya datar.
Aku tidak punya banyak barang. Hanya tasku, dengan sisa uang dan ponsel yang baterainya hampir habis. Aku mengambilnya, lalu melangkah keluar dari kamar itu tanpa menoleh ke belakang. Aku tidak akan pernah merindukan tempat ini.
Perjalanan di dalam mobil terasa lebih menyiksa daripada menunggu. Kami duduk dalam keheningan yang begitu pekat hingga aku bisa mendengarnya berdengung di telingaku. Mbak Laras fokus menyetir, tangannya mencengkeram setir dengan erat. Aku hanya menatap ke luar jendela, melihat pemandangan pinggiran kota yang kumuh perlahan berganti menjadi jalanan yang lebih lebar dan deretan perumahan yang lebih tertata. Kami sedang bergerak dari neraka keterasinganku kembali ke dunia normal. Dan rasanya seperti penghakiman.
"Kamu pikir kami ini apa, Dif?" akhirnya ia bertanya, suaranya memecah keheningan seperti pecahan kaca. Ia tidak menoleh padaku. Matanya tetap lurus menatap jalanan. "Menghilang berbulan-bulan. Tidak ada kabar. Telepon tidak diangkat. Pesan tidak dibalas. Lalu tiba-tiba, kamu menelepon tengah malam, menangis seperti dunia akan kiamat. Kenapa baru sekarang?"
Aku tidak bisa menjawab. Setiap kata pembelaan diri yang mungkin bisa kuucapkan terasa seperti kebohongan.
"Rendra menelepon Ibu beberapa minggu setelah kamu pergi," lanjutnya, dan setiap kata adalah sebuah pukulan. "Dia terdengar hancur. Dia bilang kamu pergi. Hanya itu. Dia tidak menjelek-jelekkanmu. Dia justru terdengar seperti sedang menyalahkan dirinya sendiri. Kami semua khawatir setengah mati. Kami pikir kamu diculik, atau terjadi sesuatu yang buruk padamu."
Aku menunduk, menatap tanganku yang saling bertaut di pangkuan. Jadi Rendra telah melindungi citraku, bahkan setelah aku menghancurkannya. Rasa bersalah itu terasa seperti asam lambung yang naik ke kerongkonganku.
"Lalu kami melihat unggahanmu," kata Mbak Laras, nadanya kini dipenuhi sinisme yang pahit. "Foto-foto di restoran mewah. Pakaian mahal. Pesta. Kamu kelihatan... bahagia. Jadi kami berhenti khawatir. Kami pikir, ya sudahlah, mungkin memang itu yang kamu inginkan. Mungkin kamu sudah menemukan duniamu yang baru."
Aku memejamkan mata. Duniaku yang baru. Sebuah sangkar emas yang berkilauan dari luar, tetapi penuh dengan kekosongan dan penghinaan di dalamnya.
"Ceritakan semuanya," perintahnya. "Jangan ada yang ditutupi. Siapa pria itu? Apa yang terjadi?"
Aku menggeleng pelan. "Aku tidak bisa, Mbak. Belum sekarang." Aku terlalu malu. Aku terlalu hancur untuk merangkai kisah kebodohanku menjadi kata-kata.
Mbak Laras menghela napas panjang, sebuah helaan napas yang sarat dengan kekecewaan. "Baiklah. Tapi kamu akan menceritakannya nanti." Itu bukan permintaan.
Saat mobil berbelok ke jalanan yang familiar di komplek perumahan kakakku, aku merasa semakin tegang. Rumahnya yang sederhana dan bercat krem tampak seperti sebuah suar di tengah kegelapan. Saat kami berhenti di depan pagar, aku bisa mendengar suara tawa keponakanku dari dalam. Suara kehidupan normal. Suara dunia yang telah kutinggalkan.
Melangkah masuk ke rumah Mbak Laras terasa seperti sebuah serangan terhadap semua indraku. Aroma tumisan bawang dari dapur, tumpukan mainan di sudut ruang tamu, foto-foto keluarga yang tergantung di dinding—semuanya adalah pengingat akan kehangatan yang telah kutukar dengan kemewahan yang dingin.
Suami Mbak Laras, Mas Doni, menyambutku di pintu. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus. Ia tidak banyak bertanya, hanya menepuk bahuku pelan dan berkata, "Selamat datang kembali, Dif." Kebaikan sederhananya membuat mataku kembali memanas.
Mbak Laras membawaku ke dapur. Ia menyalakan kompor, merebus air, dan membuatkanku secangkir teh hangat, persis seperti yang biasa Rendra lakukan saat aku sedang sedih atau lelah. Gerakan itu, yang begitu sederhana dan penuh perhatian, akhirnya meruntuhkan sisa pertahananku.
Ia meletakkan cangkir teh itu di hadapanku di meja makan. Uapnya yang mengepul membawa serta aroma melati yang menenangkan. Aku menatap cairan keemasan itu, lalu aku menatap kakakku.
"Aku... aku membuat kesalahan besar, Mbak," bisikku, dan bendungan itu akhirnya jebol.
Aku menangis lagi, kali ini bukan tangis putus asa yang sunyi di kamar motel, melainkan tangis yang pecah dan menyakitkan di hadapan satu-satunya orang di dunia yang mau datang menjemputku dari neraka. Aku menangis untuk Rendra yang telah kusakiti, untuk keluargaku yang telah kuabaikan, dan untuk diriku sendiri yang telah tersesat begitu jauh.
Mbak Laras tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya duduk di sampingku, mengulurkan tangan, dan mengusap punggungku dengan gerakan yang pelan dan menenangkan. Di tengah kehangatan dapur yang sederhana itu, dikelilingi oleh aroma teh melati dan suara kehidupan keluarga yang normal, aku merasa seperti seorang anak hilang yang akhirnya menemukan jalan pulang. Tetapi aku tahu, ini bukanlah akhir. Ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang menyakitkan untuk menebus semua kesalahanku.
Bab 31: Di Bawah Atap yang Sama
Tangis, seperti badai, pada akhirnya akan reda. Ia meninggalkan jejak kehancuran di belakangnya—mata yang bengkak, tenggorokan yang serak, dan kelelahan yang begitu mendalam hingga terasa sampai ke tulang. Aku duduk di meja dapur Mbak Laras, memegang cangkir teh melati yang kini sudah mendingin dengan kedua tangan, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa lagi kurasakan dari dalam.
Mbak Laras tidak memaksaku berbicara. Setelah isak tangisku mereda menjadi getaran-getaran kecil yang tak terkendali, ia hanya bangkit, mengambil sepiring nasi dan semur ayam dari atas meja, lalu meletakkannya di hadapanku.
"Makan," katanya, suaranya lembut namun tidak menyisakan ruang untuk perdebatan.
Aku menggeleng. Perutku terasa seperti simpul yang terikat erat. "Aku tidak lapar, Mbak."
"Aku tidak bertanya apakah kamu lapar atau tidak," balasnya. "Aku menyuruhmu makan. Kamu terlihat seperti akan pingsan."
Aku menatap makanan di hadapanku. Aroma pala dan bawang dari semur itu terasa begitu familiar, begitu rumahan. Aroma yang sama yang sering tercium dari dapur Ibu. Aroma yang sama yang pernah coba kuciptakan di rumah Rendra. Tiba-tiba, rasa lapar yang buas dan menyakitkan menyerangku. Aku mengambil sendok dengan tangan yang gemetar dan mulai makan. Aku makan dengan rakus, tanpa sopan santun, seperti binatang kelaparan. Aku tidak peduli.
Mbak Laras hanya memperhatikanku dalam diam, matanya yang lelah menyimpan seribu pertanyaan yang belum ia ajukan. Setelah piringku bersih, ia mengambilnya, meletakkannya di wastafel, lalu kembali duduk di hadapanku.
"Kamar tamu sudah Mbak siapkan," katanya. "Kamu bisa istirahat di sana. Kita bicara besok."
Aku hanya bisa mengangguk, terlalu lelah untuk mengucapkan terima kasih.
Ia mengantarku ke sebuah kamar kecil di bagian belakang rumah. Kamar itu sederhana. Hanya ada sebuah ranjang single dengan seprai katun bermotif bunga-bunga kecil, sebuah lemari kayu tua, dan sebuah jendela yang menghadap ke halaman belakang yang sempit. Tidak ada pemandangan kota yang gemerlap. Tidak ada marmer atau krom yang dingin. Semuanya terbuat dari kayu dan kain, hangat dan sedikit usang.
"Istirahatlah," kata Mbak Laras dari ambang pintu sebelum menutupnya pelan, memberiku privasi yang terasa seperti sebuah kemewahan setelah berhari-hari di motel yang terekspos.
Aku duduk di tepi ranjang. Kasurnya sedikit melesak ke dalam, tidak sekokoh ranjang di apartemen Adrian. Aku bisa mendengar suara jangkrik dari halaman belakang dan dengungan kulkas dari dapur. Suara-suara kehidupan normal yang terasa begitu asing. Aku membandingkan kamar ini dengan dua tempat terakhir yang kuhuni. Kamar motel yang pengap dan berbau keputusasaan. Kamar tidur di apartemen Adrian yang luas dan dingin seperti museum. Kamar ini... kamar ini terasa nyata. Dan kenyataan itu, entah kenapa, terasa lebih menyakitkan.
Aku merebahkan diri tanpa berganti pakaian, menarik selimut tipis hingga ke dagu. Aku memejamkan mata, tetapi tidur tidak kunjung datang. Pikiranku adalah sebuah panggung di mana adegan-adegan dari beberapa bulan terakhir diputar ulang tanpa henti. Wajah Adrian yang tersenyum merendahkan. Tawa sinis teman-temannya. Layar komputer di warnet yang menampilkan kesuksesan Rendra. Dan wajah Rendra sendiri, saat terakhir kali aku melihatnya di ruang tengah kami, hancur dan kosong.
Setiap kali aku memikirkan Rendra, rasa sesal itu datang dengan kekuatan fisik, membuatku sulit bernapas. Aku teringat kebaikannya yang tanpa pamrih, kesabarannya yang tak terbatas. Aku teringat bagaimana ia akan memijat kakiku saat aku lelah, bagaimana ia akan mendengarkan semua keluh kesahku tentang hal-hal sepele dengan penuh perhatian. Aku telah mengambil semua itu—cinta, pengabdian, rasa hormat—dan melemparkannya kembali ke wajahnya, hanya karena aku silau oleh kilau dunia lain yang ternyata palsu. Aku bukan hanya telah menghancurkan hatinya; aku telah menghina jiwanya.
Pagi datang membawa serta suara-suara yang telah lama kulupakan. Suara tawa keponakanku, Rian, yang baru berusia lima tahun, bercampur dengan suara spatula yang beradu dengan wajan dari dapur. Aroma nasi goreng buatan Mbak Laras menyusup masuk dari bawah pintu. Ini adalah pagi hari di sebuah keluarga normal. Sesuatu yang dulu kumiliki dan kuanggap remeh.
Aku memaksa diriku bangkit. Aku mandi di kamar mandi bersama yang kecil dan lembap, lalu mengenakan satu-satunya pakaian ganti yang kubawa. Saat aku keluar, Mbak Laras sedang duduk di meja makan, menyuapi Rian yang duduk di kursi tingginya. Mas Doni sudah berangkat kerja.
"Pagi, Tante Difa!" sapa Rian dengan mulut penuh nasi.
"Pagi, Sayang," jawabku, memaksakan seulas senyum.
"Duduk, Dif. Sarapan," kata Mbak Laras, nadanya masih datar. Gencatan senjata semalam telah berakhir. Hari ini adalah hari penghakiman.
Aku duduk di seberangnya, mengambil sepiring nasi goreng. Kami makan dalam diam selama beberapa menit, hanya diisi oleh celotehan Rian. Setelah Rian selesai makan dan berlari ke ruang depan untuk menonton kartun, Mbak Laras menatapku.
"Jadi," mulainya, meletakkan sendok dan garpunya. "Kamu siap bercerita sekarang?"
Aku menunduk, mengaduk-aduk nasi di piringku. "Mbak..."
"Tidak ada tapi, Difrina," katanya, suaranya kini tegas. "Aku menjemputmu dari tempat kumuh itu. Aku membawamu ke rumahku. Aku memberimu makan dan tempat tidur. Paling tidak, kamu berutang sebuah penjelasan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu meninggalkan Rendra?"
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku tidak bisa menceritakan semuanya. Aku tidak bisa menceritakan tentang Adrian, tentang kemewahan, tentang penghinaan. Itu terlalu memalukan. Aku harus merangkai sebuah versi cerita yang tidak membuatku terlihat sebegitu menyedihkan dan jahat.
"Aku... aku merasa tidak bahagia, Mbak," kataku pelan. "Aku merasa terkurung. Rendra pria yang baik. Terlalu baik. Tapi hidup kami... monoton. Aku butuh sesuatu yang lebih."
Mbak Laras menatapku lama, ekspresinya tidak terbaca. "Sesuatu yang lebih?" ulangnya, nadanya dipenuhi keraguan. "Seperti apa? Seperti pria yang ada di foto-fotomu itu? Pria yang membawamu ke pesta-pesta dan restoran mahal?"
Aku tersentak. Tentu saja ia sudah melihatnya. "Itu... itu rumit, Mbak."
"Apa yang rumit, Difrina?" desaknya. "Kamu meninggalkan suami yang mencintaimu sepenuh hati demi gaya hidup yang berkilauan. Sesederhana itu, kan? Dan sekarang, setelah duniamu yang berkilauan itu runtuh, kamu kembali ke sini, menangis."
Setiap katanya adalah kebenaran yang telanjang, sebuah cermin yang memantulkan semua kebodohanku.
"Aku tahu aku salah," bisikku, air mata kembali menggenang di mataku. "Aku tahu aku bodoh. Aku menyesal, Mbak. Sungguh."
"Penyesalan tidak akan mengubah apa pun," katanya, suaranya kini sedikit melunak, digantikan oleh kelelahan. "Jadi, apa rencanamu sekarang? Kamu tidak bisa selamanya tinggal di sini, bersembunyi di kamar tamu. Kamu harus menghadapi konsekuensi dari pilihanmu."
Aku tidak punya rencana. Aku tidak punya apa-apa. "Aku tidak tahu," aku mengaku, merasa seperti anak kecil yang tersesat.
"Pertama," kata Mbak Laras, nadanya kembali praktis. "Kamu harus bicara dengan Rendra."
Jantungku terasa seperti berhenti berdetak. "Tidak. Aku tidak bisa, Mbak. Aku tidak sanggup."
"Kamu harus," tegasnya. "Kamu berutang permintaan maaf padanya. Kamu meninggalkannya tanpa penjelasan, Dif. Kamu menghancurkannya. Apapun yang akan terjadi selanjutnya di antara kalian, dia pantas mendapatkan kejujuran."
Aku menatap kakakku, wanita yang selalu menjadi panutanku, yang hidupnya begitu lurus dan benar. Di matanya, aku melihat kekecewaan yang begitu dalam. Dan itu, entah kenapa, terasa lebih menyakitkan daripada kemarahan Adrian atau tatapan sinis teman-temannya. Karena ini adalah kekecewaan dari seseorang yang mencintaiku.
Aku tahu ia benar. Aku harus menghadapi Rendra. Tapi bagaimana? Bagaimana aku bisa menatap mata pria yang hatinya telah kuhancurkan, dan mengatakan bahwa aku telah menukar cintanya dengan sangkar emas yang ternyata kosong?
Bab 32: Di Persimpangan Penyesalan
Hari-hari berikutnya di rumah Mbak Laras berlalu dalam kabut yang aneh. Di satu sisi, aku merasakan kelegaan yang luar biasa karena telah diselamatkan dari jurang. Aku tidak lagi tidur di kamar motel yang berbau keputusasaan, tidak lagi menghitung sisa uang receh untuk membeli sebungkus mi instan. Di sini, ada makanan hangat di meja, tempat tidur yang bersih, dan suara tawa keponakanku yang sesekali berhasil menembus dinding kesedihanku. Ini adalah sebuah tempat perlindungan.
Namun di sisi lain, setiap detik yang kulewatkan di bawah atap ini terasa seperti sebuah penghakiman yang sunyi. Kehangatan keluarga yang normal, yang dulu kuanggap remeh, kini menjadi cermin yang memantulkan semua kegagalanku dengan begitu jelas. Saat aku melihat Mas Doni pulang kerja dan langsung memeluk Mbak Laras, sebuah pelukan lelah namun penuh cinta, hatiku terasa seperti diremas. Aku pernah memiliki itu. Aku pernah memiliki seorang pria yang akan menatapku dengan tatapan yang sama, tatapan yang mengatakan "aku pulang". Dan aku telah membuangnya.
Aku mencoba membuat diriku berguna. Aku membantu Mbak Laras mencuci piring, menyapu lantai, melipat pakaian. Aku melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik yang dulu kusebut sebagai "rutinitas monoton" dengan konsentrasi penuh, seolah-olah dengan menggosok piring hingga bersih aku bisa ikut membersihkan noda di jiwaku. Tapi setiap gerakan adalah sebuah pengingat. Saat tanganku merasakan hangatnya air sabun, aku teringat bagaimana Rendra akan mengambil alih tugasku mencuci piring jika aku terlihat lelah. Saat aku melipat kemeja Mas Doni, aku teringat aroma deterjen yang sama di kemeja-kemeja Rendra.
Mbak Laras memberiku ruang, tetapi tidak memberiku pengampunan. Ia tidak lagi menginterogasiku. Ia hanya memperlakukanku dengan kepraktisan yang dingin. Ia memastikan aku makan, memastikan aku tidur, tetapi ia menjaga jarak emosional di antara kami. Dinding kekecewaannya terasa begitu tebal dan tinggi.
"Sudah kamu hubungi dia?" tanyanya suatu sore, saat kami duduk di teras, memperhatikan Rian yang sedang mengejar seekor kupu-kupu di halaman. Pertanyaan itu ia ajukan tanpa menoleh padaku, seolah sedang membahas cuaca.
Aku menggeleng, tenggorokanku tercekat. "Belum, Mbak."
"Kenapa?"
"Aku... aku takut," aku mengaku, suaraku nyaris tak terdengar.
"Takut apa?" desaknya. "Takut dia marah? Tentu saja dia akan marah, Difrina. Kamu menghancurkan hidupnya. Tapi rasa takutmu tidak lebih penting daripada haknya untuk mendapatkan penjelasan."
Ia benar. Aku tahu ia benar. Tapi mengetahui kebenaran dan memiliki keberanian untuk menghadapinya adalah dua hal yang berbeda. Setiap kali aku berpikir untuk menelepon Rendra, tanganku akan gemetar dan perutku terasa melilit. Apa yang akan kukatakan? Halo, Rendra? Ini aku, wanita yang telah mengkhianatimu dan menghancurkan hatimu. Maaf. Kalimat itu terdengar begitu tidak berarti, begitu tidak sepadan dengan luka yang telah kutimbulkan.
Malam itu, setelah Rian tertidur, Mbak Laras mendatangiku di kamar tamu. Ia duduk di tepi ranjang, menatapku dengan tatapan yang lebih lembut dari biasanya.
"Dif," mulainya pelan. "Mbak tahu ini berat. Tapi kamu tidak bisa selamanya lari. Semakin lama kamu menunda, lukanya akan semakin dalam, baik untukmu maupun untuknya. Kamu harus membebaskan dirimu sendiri dari rasa bersalah ini. Dan itu hanya bisa dimulai dengan sebuah permintaan maaf."
"Bagaimana jika dia tidak mau bicara denganku?" bisikku. "Bagaimana jika dia sudah membenciku sepenuhnya?"
"Mungkin saja," jawabnya jujur, tidak memberiku penghiburan palsu. "Itu haknya. Tapi setidaknya, kamu sudah mencoba. Kamu sudah melakukan hal yang benar. Sisanya, biarlah menjadi urusannya. Kamu harus bertanggung jawab atas tindakanmu, bukan atas reaksinya."
Kata-katanya meresap ke dalam diriku. Bertanggung jawab atas tindakanku, bukan atas reaksinya. Selama ini, aku terlalu fokus pada rasa takutku akan penolakannya, hingga aku lupa bahwa inti dari semua ini bukanlah tentang mendapatkan pengampunan darinya. Ini tentang mengakui kesalahanku.
Keesokan harinya, aku terbangun dengan sebuah tekad yang rapuh. Hari ini. Aku akan melakukannya hari ini.
Aku meminjam ponsel Mbak Laras, dengan alasan baterai ponselku habis. Aku tidak sanggup melakukannya dari ponselku sendiri, yang penuh dengan jejak digital dari Adrian. Aku berjalan ke halaman belakang, duduk di sebuah bangku kayu di bawah pohon mangga. Jantungku berdebar begitu kencang hingga aku bisa mendengarnya di telingaku.
Aku membuka daftar kontak. Aku tidak punya nomor Rendra. Tentu saja. Aku tidak pernah menghafalnya, selalu mengandalkan ponselku yang kini tergeletak mati di dalam tas. Aku harus mencarinya.
Aku membuka mesin pencari, mengetikkan nama studionya yang kulihat di warnet tempo hari. "Studio Ruang Rendra". Situs web itu muncul di urutan pertama. Aku mengkliknya. Desainnya yang bersih dan profesional kembali menyapaku, sebuah pengingat akan dunia yang telah ia bangun tanpaku. Di bagian bawah halaman "Kontak", ada sebuah nomor telepon. Nomor kantor.
Aku ragu. Haruskah aku menelepon nomor kantornya? Itu terasa begitu formal, begitu tidak personal. Tapi aku tidak punya pilihan lain.
Tanganku gemetar saat aku menyalin nomor itu dan menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar. Satu kali. Dua kali. Aku hampir menutupnya, rasa panik yang dingin merayap di punggungku.
"Selamat siang, Studio Ruang Rendra, dengan Fajar bisa dibantu?" Sebuah suara pria yang terdengar muda dan profesional menjawab.
Aku membeku. Aku tidak siap untuk ini. Aku tidak siap berbicara dengan orang lain.
"Halo?" ulang suara itu.
"Maaf," kataku cepat, lalu langsung menutup telepon.
Napas ku terengah-engah. Gagal. Aku gagal. Aku meletakkan ponsel itu di sampingku, menunduk, merasakan gelombang rasa malu yang panas. Aku seorang pengecut.
Aku duduk di sana selama hampir satu jam, menatap semut-semut yang berbaris di tanah, berperang dengan diriku sendiri. Suara Mbak Laras terngiang kembali. Kamu harus.
Baiklah. Satu kali lagi.
Aku mengambil ponsel itu lagi. Kali ini, aku tidak akan berpikir. Aku hanya akan melakukannya. Aku menekan kembali nomor yang sama.
"Selamat siang, Studio Ruang Rendra, dengan Fajar bisa dibantu?"
Kali ini, aku memaksa diriku untuk berbicara. "Selamat siang," kataku, suaraku bergetar. "Bisa... bisa bicara dengan Bapak Rendra?"
"Mohon maaf, Ibu ini dengan siapa? Bapak Rendra sedang ada rapat dengan klien."
Tentu saja ia sibuk. Ia punya kehidupan. Ia punya pekerjaan. Ia tidak duduk meratapi masa lalu seperti aku.
"Tolong sampaikan saja," kataku, kata-kata itu keluar dengan tergesa-gesa sebelum keberanianku lenyap. "Tolong sampaikan... dari Difrina. Bilang saja... aku menelepon."
Hening sejenak di seberang sana. Aku bisa membayangkan pria muda bernama Fajar itu mengerutkan kening, mencoba mengingat di mana ia pernah mendengar namaku.
"Baik, Bu Difrina. Akan saya sampaikan," katanya akhirnya, nadanya sopan namun bingung.
Aku menutup telepon. Sudah. Aku telah melakukannya. Aku telah meninggalkan jejak. Aku telah melemparkan sebuah batu kecil ke permukaan danau kehidupannya yang tenang. Aku tidak tahu riak seperti apa yang akan ditimbulkannya. Mungkin tidak ada riak sama sekali. Mungkin ia akan mengabaikan pesanku. Dan mungkin, itu adalah jawaban yang pantas kuterima.
Aku kembali ke dalam rumah, menyerahkan ponsel itu pada Mbak Laras.
"Sudah?" tanyanya, matanya menyelidik.
Aku mengangguk.
Ia tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya menepuk pundakku pelan. Sebuah gestur kecil, tetapi terasa seperti pengakuan.
Aku telah mengambil langkah pertama di jalan pulang yang menyakitkan ini. Dan meskipun setiap langkah terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca, untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa aku mungkin, mungkin saja, bisa menemukan jalan keluarnya.
Bab 33: Gema Panggilan Telepon
Sore itu, studio terasa hidup. Cahaya matahari yang keemasan menembus jendela besar, menyoroti partikel-partikel debu yang menari-nari di udara dan menyinari sketsa-sketsa yang tertempel di dinding. Di luar, kebisingan kota menjadi musik latar yang akrab, sebuah pengingat konstan bahwa dunia terus bergerak, dan aku, untuk pertama kalinya setelah waktu yang terasa begitu lama, bergerak bersamanya. Aku sedang membimbing Fajar, arsitek juniorku, melalui detail teknis sambungan balok atap untuk proyek Tanuwijaya.
"Tidak, jangan pakai baut biasa di sini," kataku, ujung pensilku menunjuk sebuah titik di layar komputernya. "Gunakan sambungan mortise and tenon. Lebih rumit, tapi hasilnya akan jauh lebih bersih dan kuat. Estetikanya sepadan dengan usahanya."
Fajar mengangguk, matanya yang berbinar menunjukkan antusiasme seorang murid yang haus ilmu. "Siap, Mas. Saya coba revisi."
Aku tersenyum tipis. Ada kepuasan yang tenang dalam proses ini. Membangun. Mengajar. Menciptakan sesuatu yang kokoh dari ketiadaan. Kedamaian yang telah kubangun dengan susah payah ini terasa rapuh, tetapi nyata. Aku telah menemukan ritmeku kembali.
Saat itulah Fajar, setelah menyelesaikan revisinya, menoleh padaku dengan ekspresi sopan. "Oh iya, Mas. Maaf, saya hampir lupa. Tadi siang, waktu Mas Rendra sedang rapat, ada telepon masuk."
Aku mengangguk, mengambil cangkir kopiku yang sudah mendingin. "Dari klien?"
"Bukan, Mas," katanya, nadanya sedikit ragu, seolah ia sendiri bingung. "Dari seorang ibu. Namanya... Bu Difrina. Katanya, beliau hanya ingin menyampaikan kalau beliau sudah menelepon."
Dunia di sekitarku berhenti.
Cangkir kopi di tanganku terasa membeku. Suara Fajar yang menjelaskan sesuatu tentang revisi berikutnya terdengar seperti dengungan dari kejauhan. Kebisingan kota di luar jendela lenyap. Yang ada hanyalah tiga suku kata yang bergema di dalam kepalaku, menghancurkan ketenangan yang baru saja kuraih. Na-di-fa.
Ujung pensil yang kugenggam patah dengan suara krak yang tajam dan kering.
"Mas Rendra?" Suara Fajar terdengar cemas, menarikku kembali dari jurang yang tiba-tiba menganga di hadapanku. "Mas nggak apa-apa?"
Aku menatap patahan pensil di tanganku, lalu menatap Fajar. Aku mencoba tersenyum, tetapi aku yakin hasilnya lebih terlihat seperti seringai orang kesakitan. "Tidak apa-apa, Jar. Hanya sedikit lelah. Lanjutkan saja pekerjaanmu. Aku mau istirahat sebentar."
Aku bangkit, berjalan ke arah jendelaku dengan langkah yang terasa kaku dan tidak seimbang. Aku bersandar pada kusen jendela yang dingin, menatap ke bawah ke arah jalanan yang sibuk. Orang-orang berjalan, mobil-mobil melaju, kehidupan terus berjalan. Tetapi di dalam diriku, sebuah longsor baru saja terjadi.
Kenapa?
Pertanyaan itu berteriak di dalam benakku. Kenapa sekarang? Setelah berbulan-bulan keheningan. Setelah aku akhirnya berhasil mengumpulkan serpihan-serpihan diriku. Setelah aku akhirnya mulai percaya bahwa aku bisa hidup tanpanya. Apa maunya?
Kemarahan yang telah lama terkubur mulai membara. Kemarahan karena pengkhianatan, karena kebohongan, karena cara ia pergi tanpa menoleh ke belakang. Ia tidak punya hak. Ia tidak punya hak untuk kembali, bahkan hanya sebagai sebuah nama yang diucapkan melalui telepon, dan mengacaukan kedamaian yang telah kubangun di atas puing-puing yang ia tinggalkan.
Tetapi di bawah kemarahan itu, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih lemah, lebih rentan, sesuatu yang kubenci karena masih ada di sana. Kekhawatiran.
Apakah ia dalam masalah?
Pikiran itu datang tanpa diundang, sebuah bisikan beracun dari sisa-sisa cinta yang menolak untuk mati. Aku teringat pada kerentanannya, pada caranya yang terkadang naif dalam melihat dunia. Pria itu, Adrian. Apakah ia menyakitinya? Apakah dunia berkilauan yang ia pilih ternyata telah menelannya hidup-hidup?
Aku mencengkeram kusen jendela begitu erat hingga buku-buku jariku memutih. Aku membenci diriku sendiri karena masih peduli.
Aku mencoba kembali bekerja. Aku duduk di meja gambarku, mengambil pensil baru. Aku menatap sketsa di hadapanku, deretan garis dan angka yang beberapa menit lalu terasa begitu jelas dan penuh makna. Kini, semuanya terlihat seperti coretan tanpa arti. Pikiranku tidak lagi di sini. Ia telah diseret kembali ke masa lalu, ke rumah yang telah kujual, ke taman yang telah kuabaikan, ke ranjang yang kini terasa dingin bahkan dalam ingatanku.
Saat jam pulang kantor tiba, aku masih duduk di sana, menatap kertas yang sama. Fajar dan arsitek juniorku yang satu lagi sudah berpamitan pulang, meninggalkan keheningan yang berat di studio.
Pintu terbuka, dan Maya masuk. Ia tidak perlu berkata apa-apa. Ia hanya menatapku dari ambang pintu, lalu berjalan ke arahku, matanya yang tajam memindai wajahku.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, nadanya datar.
"Tidak ada," jawabku, suaraku serak.
"Jangan bohong padaku, Rendra," katanya, ia menarik sebuah kursi dan duduk di hadapanku. "Aku sudah mengenalmu separuh hidupku. Aku tahu saat ada sesuatu yang salah. Kamu terlihat seperti baru saja melihat hantu."
Aku menghela napas panjang, sebuah helaan napas yang sarat dengan kekalahan. "Dia menelepon," bisikku.
Maya tidak perlu bertanya siapa "dia". Alisnya sedikit terangkat. "Lalu?"
"Hanya itu. Dia menelepon. Meninggalkan pesan pada Fajar."
"Apa pesannya?"
"Hanya... bahwa ia menelepon."
Kami duduk dalam diam selama beberapa saat. Aku bisa melihat pertarungan di mata Maya, antara keinginannya untuk memakiku dan kebutuhannya untuk menjadi temanku.
"Jadi," katanya akhirnya, memilih jalur konfrontasi seperti biasa. "Apa rencanamu? Kamu akan berpura-pura ini tidak terjadi? Lari lagi dan bersembunyi di balik tumpukan kertasmu?"
"Aku tidak lari," sanggahku, suaraku sedikit meninggi. "Aku membangun kembali. Ada bedanya."
"Benarkah?" tantangnya. "Membangun kembali atau hanya membangun tembok yang lebih tinggi? Tembok itu baru saja retak, Ren. Satu panggilan telepon darinya, dan lihat dirimu. Kamu kembali hancur."
"Aku tidak hancur!" seruku, berdiri dari kursiku. "Aku hanya... bingung."
"Bingung tentang apa?" desaknya, ia tetap duduk, menatapku dengan tenang yang membuatku semakin marah. "Bingung apakah harus membencinya atau mengkhawatirkannya? Selamat datang kembali di neraka pribadimu."
Kata-katanya begitu tepat sasaran hingga terasa seperti pukulan fisik. Aku berjalan ke jendela, membelakanginya. "Setelah semua yang ia lakukan, May... setelah ia menghancurkan segalanya... kenapa sekarang? Apa maunya?"
"Mungkin dia butuh sesuatu," kata Maya. "Mungkin dunianya yang berkilauan itu tidak seindah kelihatannya. Mungkin pria itu telah mencampakkannya. Mungkin dia kehabisan uang."
Setiap kemungkinan yang ia sebutkan terasa seperti tusukan. Gambaran Difrina yang dalam kesulitan, sendirian dan ketakutan, membuat perutku melilit. Rasa marahku perlahan terkikis oleh rasa kasihan yang kubenci.
"Atau mungkin," lanjut Maya, suaranya kini lebih lembut. "Mungkin dia hanya ingin memastikan bahwa ia masih punya kuasa atas dirimu. Mungkin ia hanya ingin melihat apakah ia masih bisa membuat duniamu berhenti berputar hanya dengan menyebut namanya."
Aku berbalik, menatapnya. "Aku tidak tahu mana yang lebih buruk."
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya lagi.
"Aku tidak tahu," aku mengaku, akhirnya menyerah. Aku kembali duduk di kursiku, merasa lelah hingga ke tulang. "Aku baru saja mulai merasa damai. Aku baru saja mulai merasa seperti diriku sendiri lagi. Jika aku membuka pintu itu lagi, May... jika aku membiarkannya masuk kembali, bahkan hanya melalui satu panggilan telepon... aku tidak tahu apakah aku bisa selamat untuk kedua kalinya."
Maya menatapku lama. "Kalau begitu, jangan," katanya sederhana. "Abaikan saja. Anggap saja angin lalu. Kamu tidak berutang apa pun padanya."
Aku ingin sekali mempercayainya. Aku ingin sekali bisa melakukan itu. Tapi saat aku menatap ponselku yang tergeletak di meja, aku tahu itu tidak sesederhana itu. Di dalam benda itu, tersimpan nomor telepon studioku. Nomor yang bisa ia hubungi lagi.
Malam itu, setelah Maya pulang, aku sendirian di studio yang gelap. Aku tidak menyalakan lampu. Aku hanya duduk dalam kegelapan, ditemani oleh cahaya lampu jalanan yang masuk melalui jendela. Di hadapanku, di atas meja gambar, tergeletak sketsa-sketsa dari kehidupanku yang baru. Dan di sampingnya, tergeletak ponselku, sebuah portal menuju masa laluku yang menyakitkan.
Aku terjebak di persimpangan. Satu jalan menuju kedamaian yang rapuh. Jalan yang lain menuju kekacauan yang familiar. Dan aku tidak tahu jalan mana yang harus kupilih.
Bab 34: Di Ujung Telepon
Malam itu, studio arsitekturku yang biasanya terasa seperti tempat perlindungan, kini berubah menjadi ruang penyiksaan. Aku duduk dalam kegelapan, hanya ditemani oleh cahaya lampu jalanan yang menyusup masuk melalui jendela besar, melukis bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di atas sketsa-sketsa yang terbengkalai. Keheningan begitu pekat hingga aku bisa mendengar suara darah yang berdesir di telingaku, sebuah ritme yang gelisah dan tak menentu.
Ponselku tergeletak di atas meja, layarnya yang gelap seolah menatapku balik, menyimpan sebuah nama, sebuah gema dari kehidupan yang telah coba kukubur dalam-dalam. Difrina. Ia menelepon. Sebuah fakta sederhana yang telah berhasil meruntuhkan semua tembok pertahanan yang kubangun dengan susah payah selama berbulan-bulan.
Aku terjebak di persimpangan, persis seperti yang kukatakan pada Maya. Satu jalan adalah jalan yang ia sarankan: abaikan saja. Anggap saja angin lalu. Lanjutkan hidupku yang baru, lindungi kedamaian rapuh yang telah kuraih. Jalan ini terasa aman, logis, dan benar. Aku tidak berutang apa pun padanya. Ia yang memilih pergi. Ia yang menghancurkan segalanya. Aku berhak untuk melindungi diriku sendiri.
Tetapi, ada jalan yang lain. Jalan yang lebih gelap, lebih berbahaya, dipenuhi duri-duri kenangan dan ranjau-ranjau emosi. Jalan untuk mencari tahu. Jalan untuk membuka kembali pintu yang telah kututup rapat-rapat.
Pikiranku adalah medan perang. Di satu sisi, ada suara Maya yang pragmatis dan penuh logika. “Dia hanya ingin memastikan ia masih punya kuasa atas dirimu, Ren. Jangan berikan kepuasan itu padanya.” Aku tahu ia benar. Mungkin ini hanyalah permainan ego. Mungkin ia hanya ingin melihat apakah aku masih akan berlari saat ia menjentikkan jarinya. Memberinya respons hanya akan memberinya kemenangan.
Di sisi lain, ada suara lain yang lebih lemah, lebih tua, suara dari Rendra yang dulu. Suara yang masih mengingat bagaimana Difrina akan gemetar saat menonton film horor, bagaimana ia akan menangis saat melihat anak kucing terlantar di jalan. Suara yang bertanya-tanya dengan cemas, “Apakah ia dalam masalah?”
Aku membenci suara itu. Aku membenci diriku sendiri karena suara itu masih ada. Setelah semua rasa sakit yang ia timpakan padaku, setelah pengkhianatan yang begitu telanjang, kenapa masih ada secuil kepedulian yang tersisa? Kenapa bayangan dirinya yang sedang kesulitan—sendirian, ketakutan, kehabisan uang—terasa lebih menyiksa daripada kenangan akan pengkhianatannya?
Aku bangkit, berjalan ke arah jendela, menatap ke bawah ke arah kota yang tak pernah tidur. Lampu-lampu mobil membentuk aliran sungai cahaya yang tak henti-hentinya. Setiap cahaya itu adalah sebuah kehidupan, sebuah cerita. Di salah satu sudut kota ini, ada dia. Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Apakah ia sedang tertawa di sebuah restoran mewah bersama pria itu? Ataukah ia sedang duduk sendirian di sebuah kamar yang dingin, menyesali pilihannya?
“Mungkin pria itu telah mencampakkannya.” Kata-kata Maya kembali terngiang.
Aku merasakan gelombang kemarahan yang aneh. Bukan kemarahan pada Difrina, melainkan pada Adrian. Kemarahan seorang pria yang merasa wanitanya—mantan wanitanya, ralatku dalam hati—telah disakiti oleh pria lain. Perasaan protektif yang primitif ini begitu tidak logis, begitu bodoh, tetapi begitu kuat.
Aku kembali ke mejaku, duduk, dan menatap ponsel itu lagi. Aku tidak bisa hidup dalam ketidakpastian ini. Aku tidak bisa melanjutkan pekerjaanku besok, tidak bisa membimbing Fajar, tidak bisa berdiskusi dengan Maya, jika hantu ini terus bergentayangan di kepalaku. Aku butuh penutupan. Bukan pengampunan. Bukan rekonsiliasi. Hanya penutupan. Aku harus tahu bahwa ia baik-baik saja, atau jika tidak, aku harus tahu kenapa. Setelah itu, aku bisa benar-benar mengunci pintu itu dan membuang kuncinya.
Dengan sebuah keputusan yang terasa seperti melompat dari tebing tanpa tahu apa yang ada di bawah, aku meraih ponselku. Aku tidak akan meneleponnya. Itu terlalu langsung, terlalu rentan. Aku akan mengirim pesan. Singkat. Jelas. Tanpa emosi.
Aku membuka aplikasi pesan, mencari nomor studioku di riwayat panggilan. Aku tidak punya nomor pribadinya. Tentu saja tidak. Aku mengetik sebuah pesan, menghapusnya, mengetiknya lagi. Setiap kata terasa salah.
“Ada apa?” Terlalu dingin.
“Kamu baik-baik saja?” Terlalu peduli.
“Fajar bilang kamu menelepon.” Terlalu formal.
Akhirnya, setelah berperang dengan diriku sendiri selama sepuluh menit, aku hanya mengetik satu kata.
“Difrina?”
Aku menatap kata itu. Namanya. Hanya namanya. Sebuah pertanyaan dan pernyataan dalam satu kata. Aku mengirimkannya ke nomor tidak dikenal yang telah menelepon studioku. Lalu, aku meletakkan ponsel itu dengan layar menghadap ke bawah di atas meja. Aku tidak akan menunggunya. Aku akan mencoba bekerja.
Tentu saja, aku tidak bisa bekerja. Aku hanya duduk di sana, menatap sketsa di hadapanku, tetapi pikiranku sepenuhnya terpaku pada benda persegi hitam di atas mejaku. Setiap beberapa menit, aku harus menahan dorongan untuk memeriksanya.
Satu jam berlalu. Tidak ada balasan.
Kekecewaan yang aneh menyergapku, bercampur dengan kelegaan. Mungkin ia tidak akan membalas. Mungkin ia hanya salah tekan. Mungkin aku bisa kembali ke kehidupanku yang tenang.
Saat aku hampir berhasil meyakinkan diriku sendiri, ponsel itu bergetar. Satu getaran singkat yang terasa seperti sengatan listrik di seluruh ruangan.
Aku menatapnya lama, jantungku berdebar di dada. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku membalikkan ponsel itu. Sebuah pesan dari nomor yang sama.
“Rendra. Maaf mengganggu.”
Hanya itu. Tidak ada penjelasan. Tidak ada permintaan. Hanya sebuah permintaan maaf yang terasa begitu formal dan jauh.
Aku tidak tahu harus merasakan apa. Kemarahan? Iba? Aku hanya merasakan kelelahan yang luar biasa. Aku tidak mau memainkan permainan ini.
Aku mengetik balasan, kali ini lebih cepat, lebih tegas. “Ada apa?”
Aku menunggu. Kali ini, balasannya datang lebih cepat.
“Aku... aku butuh bicara.”
Napas ku tercekat. Bicara. Tentang apa? Tentang pengkhianatannya? Tentang penyesalannya? Aku tidak siap untuk itu.
“Aku sibuk,” balasku, sebuah kebohongan untuk melindungi diriku.
“Aku tahu. Maaf. Hanya sebentar. Tolong.”
Kata terakhir itu, tolong, meruntuhkan semua pertahananku. Difrina yang kukenal, Difrina yang meninggalkanku dengan begitu angkuh, tidak akan pernah menggunakan kata itu. Sesuatu yang sangat buruk pasti telah terjadi.
Sialan. Sialan. Sialan. Aku mengumpat dalam hati. Aku membenci diriku karena kelemahanku ini.
Aku menatap nomor telepon itu. Aku tidak mau lagi bertukar pesan teks yang penuh dengan kesalahpahaman. Jika aku harus melakukan ini, aku akan melakukannya dengan benar.
Dengan jari yang terasa berat, aku menekan tombol panggil.
Nada sambung terdengar. Satu kali. Dua kali.
"Halo?" Suara di seberang sana terdengar ragu-ragu, nyaris berbisik. Itu suaranya, tetapi juga bukan. Suara yang dulu penuh tawa dan kehidupan, kini terdengar rapuh dan pecah.
Aku tidak langsung berbicara. Aku hanya mendengarkan suara napasnya yang tidak teratur di tengah keheningan.
"Rendra?" tanyanya lagi, suaranya kini dipenuhi ketidakpastian.
"Ya," jawabku. Hanya satu kata, tetapi rasanya aku telah mengerahkan seluruh sisa kekuatanku untuk mengucapkannya. "Ada apa, Difrina?"
Aku mendengar isak tangis yang tertahan di seberang sana. Dan di saat itu, aku tahu. Maya benar. Duniaku yang baru saja mulai tenang, akan kembali dihantam badai.
Bab 35: Wajah Orang Asing
Kedai kopi itu berbau seperti penyesalan. Campuran aroma kopi yang agak gosong, udara lembap dari pendingin ruangan yang tua, dan wangi samar pembersih lantai beraroma pinus. Tempat ini sengaja kupilih dari daftar yang diberikan Mbak Laras. Anonim. Terjepit di antara toko fotokopi dan apotek 24 jam. Sebuah tempat di mana tidak ada hantu dari masa lalu kami yang akan datang menyapa. Sebuah tempat yang netral untuk sebuah eksekusi.
Aku tiba lima belas menit lebih awal. Jantungku berdebar begitu kencang di dalam dada, ritmenya tidak teratur, seolah mencoba melarikan diri dari tulang rusukku. Aku memilih meja paling sudut, yang paling gelap, memberiku pemandangan ke arah pintu masuk namun melindungiku dari tatapan orang lain. Aku duduk di kursi kayu yang permukaannya sudah aus, terasa sedikit lengket di bawah telapak tanganku yang berkeringat.
Aku mengenakan blus pinjaman dari Mbak Laras. Kainnya terasa sedikit kebesaran di bahuku, lengannya terlalu panjang. Pakaian ini terasa seperti kostum, sebuah penyamaran untuk wanita yang hancur. Aku terus-menerus meremas ujung serbet kertas yang lembap di tanganku hingga menjadi gumpalan kecil yang basah. Setiap kali lonceng di atas pintu berbunyi, aku tersentak, napasku tertahan di tenggorokan.
Apa yang akan kukatakan? Kata-kata permintaan maaf yang telah kurangkai di kepalaku selama berhari-hari kini terasa dangkal dan tidak berarti. Bagaimana caramu merangkum sebuah pengkhianatan, sebuah kehancuran, ke dalam beberapa kalimat sopan? Maaf telah menghancurkan hatimu dan meruntuhkan dunia yang telah kau bangun untuk kita. Kalimat itu terdengar seperti lelucon yang kejam.
Aku memesan segelas es teh tawar, tidak berani memesan kopi. Aku butuh sesuatu yang dingin untuk menenangkan gejolak di perutku. Suara dengungan mesin pendingin yang lelah menjadi satu-satunya suara konstan di tengah keheningan canggung di mejaku. Aku mengamati beberapa pelanggan lain: sepasang mahasiswa yang sibuk dengan laptop mereka, seorang bapak tua yang membaca koran dengan khusyuk. Mereka semua ada di dunia mereka sendiri, tidak peduli pada drama kecil yang akan segera berlangsung di sudut ruangan yang suram ini.
Lalu, lonceng itu berbunyi lagi. Dan ia masuk.
Duniaku seolah berhenti berputar. Semua udara di paru-paruku terasa tersedot keluar. Itu Rendra. Tapi juga bukan. Pria yang berjalan ke arah meja kasir itu adalah orang asing yang mengenakan wajah suamiku.
Ia terlihat lebih kurus, garis rahangnya lebih tajam, seolah semua kelembutan di wajahnya telah terkikis oleh rasa sakit. Ia tidak lagi mengenakan kemeja flanel usang favoritnya. Ia mengenakan kemeja katun berwarna biru tua yang pas di badan dan celana bahan berwarna gelap. Pakaian seorang profesional. Rambutnya dipotong lebih pendek, lebih rapi. Ia berjalan dengan punggung tegak, langkahnya mantap dan penuh tujuan. Tidak ada lagi keraguan lembut dalam gerakannya.
Ia memesan kopinya—Americano hitam, tanpa gula—tanpa melirik ke arahku, bahkan tanpa bertanya apa yang kuinginkan. Rendra yang kukenal akan selalu memesankan teh melati hangat untukku bahkan sebelum aku memintanya. Pria ini tidak. Pria ini hanya memesan untuk dirinya sendiri.
Setelah mendapatkan kopinya, ia berjalan ke arah mejaku. Setiap langkahnya terasa seperti hitungan mundur. Ia meletakkan cangkirnya di atas meja dengan pelan, tanpa menimbulkan suara. Lalu ia duduk di kursi di hadapanku, menjaga jarak yang sopan di antara kami.
Ia tidak lagi memiliki kehangatan di matanya. Dulu, matanya selalu dipenuhi oleh cahaya lembut saat menatapku, sebuah tatapan yang membuatku merasa seperti pusat alam semesta. Kini, mata itu tenang, jernih, tetapi dingin. Seperti permukaan danau di musim dingin. Ia menatapku dengan kesopanan seorang kenalan, bukan keintiman seorang suami.
"Difrina," sapanya. Hanya namaku. Datar. Tanpa emosi.
"Rendra," balasku, suaraku nyaris berbisik. "Apa... apa kabar?" Pertanyaan bodoh. Tentu saja aku tahu kabarnya dari situs webnya. Ia baik-baik saja. Lebih baik tanpaku.
"Baik," jawabnya. "Kamu?"
"Aku... baik juga," dustaku.
Keheningan yang menyiksa menyelimuti kami. Aku bisa merasakan tatapannya, tidak menghakimi, hanya mengamati. Dan itu terasa lebih buruk. Aku merasa seperti spesimen di bawah mikroskop. Aku berjuang untuk mengangkat wajahku, untuk menatap matanya, tetapi rasa malu begitu berat hingga membuat leherku terasa kaku.
"Terima kasih sudah mau bertemu," akhirnya aku berhasil berkata, suaraku bergetar.
"Kamu yang menelepon," katanya, sebuah pernyataan fakta yang sederhana namun terasa seperti sebuah tuduhan. Ini maumu, bukan mauku.
Aku meremas gumpalan serbet di pangkuanku. Aku harus mengatakannya. Aku harus memulai. "Aku... aku ingin bicara tentang malam itu."
Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menyesap kopinya, matanya masih menatapku, menunggu. Kesabarannya yang dingin ini lebih menghukum daripada amarah mana pun. Rendra yang dulu akan langsung memotong, mencoba menenangkanku, mencoba memperbaiki semuanya. Pria ini hanya menunggu, membiarkanku menggali lubangku sendiri.
"Aku tahu... aku tahu tidak ada kata-kata yang cukup," aku memulai, suaraku terbata-bata. "Apa yang kulakukan... tidak bisa dimaafkan. Aku bodoh, Rendra. Aku egois dan buta. Aku menukar sesuatu yang nyata dengan... dengan ilusi."
Aku berhenti, berharap ia akan merespons. Tapi ia hanya diam, wajahnya tanpa ekspresi. Ia membiarkanku terus berbicara, membiarkanku menelanjangi semua kebodohanku di hadapannya.
"Aku tersesat," lanjutku, air mata mulai menggenang di mataku, mengaburkan wajahnya yang asing. "Aku pikir aku menginginkan dunia yang berbeda. Aku pikir kebahagiaan ada di luar sana, di tempat-tempat yang berkilauan. Ternyata aku salah. Sangat salah. Kebahagiaanku ada di rumah itu, bersamamu. Dan aku... aku menghancurkannya dengan tanganku sendiri."
Aku menunduk, tidak sanggup lagi menatap wajahnya yang dingin. Air mata jatuh ke atas tanganku yang bertaut. Setiap keheningan di antara kami terasa seperti satu abad, dipenuhi oleh gema dari semua tawa kami yang telah mati, semua janji kami yang telah kuingkari. Aku merasa begitu hina, begitu tidak berharga. Aku datang ke sini mengharapkan pengampunan, tetapi kini aku sadar, aku bahkan tidak pantas untuk meminta.
"Aku tidak memintamu untuk mengerti," bisikku, lebih pada diriku sendiri. "Aku hanya ingin kamu tahu... bahwa aku menyesal. Lebih dari apa pun."
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku. Aku menatapnya, membiarkannya melihat kehancuranku yang total. "Rendra, aku... aku minta maaf."
Ia menatapku lama. Sangat lama. Lalu, ia menghela napas pelan. Bukan helaan napas yang sarat emosi, melainkan helaan napas seseorang yang baru saja menyelesaikan sebuah tugas yang tidak menyenangkan.
"Aku dengar permintaan maafmu, Difrina," katanya, suaranya masih datar, terkendali. "Dan aku menerimanya."
Secercah harapan yang bodoh sempat berkelebat di hatiku. Menerimanya? Apakah itu berarti...
"Aku menerimanya," lanjutnya, seolah membaca pikiranku, "karena aku harus. Aku harus melepaskan kemarahan ini untuk bisa melanjutkan hidupku. Tapi jangan salah paham. Menerima permintaan maafmu dan memaafkanmu adalah dua hal yang berbeda. Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan yang kedua. Mungkin suatu hari nanti. Mungkin juga tidak."
Kata-katanya begitu jujur, begitu brutal, hingga terasa seperti pukulan fisik. Tidak ada pengampunan. Tidak ada pintu yang terbuka. Hanya sebuah penerimaan yang dingin dan final.
"Aku harap kamu menemukan apa yang kamu cari," katanya, dan kalimat itu, yang seharusnya terdengar baik, justru terasa seperti sebuah ucapan selamat tinggal yang paling kejam. Ia sedang memberitahuku bahwa perjalananku bukan lagi urusannya.
Ia menghabiskan sisa kopinya dalam satu tegukan, lalu meletakkan cangkirnya kembali ke atas piring kecil. Ia bangkit dari kursinya.
"Aku harus pergi," katanya. "Ada pekerjaan yang menunggu." Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya, meletakkannya di atas meja untuk membayar kopinya dan es tehku. Sebuah transaksi. Pertemuan kami adalah sebuah transaksi.
Ia berbalik untuk pergi.
"Rendra!" panggilku, suaraku dipenuhi keputusasaan.
Ia berhenti, tetapi tidak menoleh.
"Jaga dirimu baik-baik," hanya itu yang bisa kuucapkan.
Tanpa sepatah kata pun, ia berjalan keluar dari kedai kopi itu, melangkah keluar dari kehidupanku untuk kedua kalinya. Kali ini, untuk selamanya.
Aku duduk sendirian di meja yang terasa begitu dingin. Aku menatap kursi kosong di hadapanku. Pria yang pernah mencintaiku sepenuh hati kini telah berubah menjadi orang asing. Dan aku sadar, akulah yang telah membunuhnya.
Bab 36: Garis Terakhir
Aku pulang ke apartemenku, bukan ke rumah. Perbedaan itu terasa begitu signifikan malam ini. Rumah adalah tempat di mana hantu-hantu masa lalu menari di setiap sudut. Apartemen ini adalah bentengku. Dindingnya yang putih bersih, perabotannya yang minimalis, dan keteraturannya yang nyaris steril adalah perisai yang kubangun untuk melindungi kedamaianku yang baru dan rapuh.
Tapi malam ini, benteng itu terasa seperti penjara kaca.
Aku tidak menyalakan lampu utama, hanya lampu meja di sudut ruang kerjaku. Cahayanya yang redup menciptakan bayangan-bayangan panjang, mengubah apartemenku yang rapi menjadi lanskap yang asing dan melankolis. Aku membuat secangkir kopi, sebuah kebiasaan, tetapi cangkir itu tergeletak tak tersentuh di atas meja, isinya perlahan mendingin, sama seperti sisa kehangatan yang mungkin masih ada di dalam diriku.
Aku berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Lampu-lampu Jakarta berkelip di bawah sana, sebuah galaksi buatan manusia yang tak peduli pada drama kecil yang baru saja berlangsung di sebuah kedai kopi yang terlupakan. Aku menatap pantulan wajahku di kaca jendela. Wajah seorang pria yang lelah. Wajah seorang hakim yang baru saja menjatuhkan vonis.
Citra Difrina terus menghantui pikiranku, menolak untuk pergi. Bukan Difrina yang glamor dari unggahan media sosialnya. Bukan Difrina yang angkuh saat ia meninggalkanku. Melainkan Difrina yang kulihat tadi. Seorang wanita yang tenggelam di dalam blus kebesaran milik kakaknya, bahunya yang kurus tampak begitu rapuh. Matanya yang bengkak dan merah, tatapannya yang dipenuhi keputusasaan yang telanjang. Suaranya yang bergetar saat ia mengucapkan kata "maaf".
Ia hancur. Dan aku, dengan ketenanganku yang dingin, hanya duduk di sana dan memperhatikannya hancur berkeping-keping.
Sebagian diriku, bagian yang lebih lemah dan lebih manusiawi, merasa bersalah. Aku merasa seperti monster. Aku melihat seorang wanita di titik terendahnya, wanita yang pernah kucintai lebih dari hidupku sendiri, dan aku tidak mengulurkan tangan. Aku tidak menawarkan kehangatan. Aku hanya memberinya dinding es. Aku mendamaikan citra diriku sebagai pria baik dengan tindakanku yang terasa begitu kejam. Apakah aku sekejam itu?
Lalu, bagian lain dari diriku—bagian yang telah ditempa oleh rasa sakit dan pengkhianatan, bagian yang telah merangkak keluar dari jurang sendirian—berteriak. Apa yang kau harapkan, Rendra? bisiknya dengan sinis. Kau mau memeluknya? Menenangkannya? Mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja?
Aku tahu persis apa yang akan terjadi jika aku melakukannya. Satu sentuhan lembut, satu kata simpati, dan tembok pertahanan yang telah kubangun dengan darah dan keringat selama berbulan-bulan ini akan runtuh menjadi debu. Aku akan kembali tersedot ke dalam pusaran emosinya, ke dalam dramanya, ke dalam rasa sakitnya yang menular. Aku akan kembali menjadi Rendra si penyelamat, Rendra si pengabdi. Dan aku tahu, dengan kepastian yang mengerikan, bahwa aku tidak akan selamat untuk kedua kalinya.
Tindakanku tadi bukanlah kekejaman. Itu adalah pertahanan diri. Sebuah amputasi yang menyakitkan namun perlu untuk menyelamatkan sisa-sisa diriku. Aku harus meyakinkan diriku akan hal itu. Berulang-ulang.
Aku berjalan ke meja gambarku, mencoba kembali ke rutinitasku. Aku menatap sketsa di hadapanku, sebuah desain untuk lobi hotel butik. Garis-garisnya yang presisi dan bersih terasa seperti ejekan bagi kekacauan di dalam kepalaku. Aku mengambil pensil, mencoba melanjutkan arsiran pada sebuah pilar, tetapi tanganku terasa kaku. Pikiranku tidak di sini. Pikiranku masih di kedai kopi itu, memutar ulang setiap jeda yang menyakitkan, setiap isak tangisnya yang tertahan.
Bel apartemen berbunyi, suaranya yang nyaring terasa seperti pelanggaran di tengah keheninganku. Aku tahu siapa itu bahkan sebelum aku melihatnya dari interkom. Hanya ada satu orang yang akan datang tanpa diundang pada jam seperti ini.
Aku membuka pintu. Maya berdiri di sana, membawa dua kantong plastik berisi makanan dari warung nasi padang. Ia tidak tersenyum. Ia hanya menatapku lekat-lekat.
"Aku tahu kamu tidak akan memasak," katanya, berjalan melewatiku dan meletakkan kantong itu di meja dapur.
"Aku tidak lapar," jawabku.
"Aku tidak peduli," balasnya, sebuah kalimat yang menjadi ciri khasnya. Ia kembali ke ruang tengah, berdiri di hadapanku, tangannya bersedekap. "Jadi?"
"Jadi apa?"
"Jangan bermain bodoh denganku, Rendra," katanya, matanya yang tajam seolah menelanjangiku. "Kamu bertemu dengannya. Bagaimana?"
Aku berjalan ke jendela, membelakanginya. "Kami bicara. Selesai."
"Selesai?" ulangnya, nada tidak percaya dalam suaranya. "Hanya itu? Setelah berbulan-bulan hancur, lalu berbulan-bulan membangun kembali, dan sekarang kamu bertemu dengannya, dan reaksimu hanya 'selesai'?"
"Lalu kamu mau aku bagaimana, May?" Aku berbalik, suaraku kini dipenuhi frustrasi yang tak bisa lagi kutahan. "Kamu mau aku berteriak? Menangis? Atau memeluknya dan membawanya kembali ke sini?"
"Aku mau kamu jujur," katanya. "Setidaknya pada dirimu sendiri. Jadi, bagaimana rasanya menjadi hakim bagi orang yang pernah kau cintai?"
Pertanyaannya begitu tepat sasaran hingga membuatku terdiam. Aku kembali ke sofa, duduk dengan berat. "Rasanya... kosong," aku mengaku, suaraku nyaris berbisik. "Aku melihatnya hancur, May. Benar-benar hancur. Dan aku tidak merasakan apa-apa selain... kelelahan."
"Kamu bohong," katanya sederhana. "Jika kamu tidak merasakan apa-apa, kamu tidak akan terlihat seperti ini sekarang. Kamu terlihat seperti baru saja kembali dari pemakaman."
Aku menunduk, menatap tanganku sendiri. "Sebagian diriku merasa kasihan padanya. Aku ingin sekali membantunya. Tapi aku tidak bisa."
"Kenapa tidak?"
"Karena aku tahu," kataku, mengangkat wajahku, menatapnya dengan semua kejujuran yang kumiliki. "Aku tahu bahwa kebaikanku adalah racun bagiku. Setiap kali aku mencoba 'memperbaiki' sesuatu untuknya, aku justru menghancurkan diriku sendiri. Aku tidak bisa melakukannya lagi. Aku harus memilih diriku kali ini."
Maya menatapku lama, ekspresinya melunak. "Lalu, apakah kamu merasa lebih baik sekarang setelah melihatnya menderita?" tanyanya, pertanyaan yang lebih lembut namun tak kalah tajam.
Aku merenung. Apakah aku merasa lebih baik? Tidak. Aku tidak merasakan kemenangan. Aku tidak merasakan kepuasan. Melihatnya menderita tidak menyembuhkan lukaku. Justru sebaliknya, itu membuka luka baru yang aneh—luka karena telah menjadi penyebab penderitaan orang lain, bahkan jika orang itu telah menyakitiku lebih dulu.
"Tidak," jawabku pelan. "Rasanya... rumit. Rasanya seperti... aku baru saja menutup sebuah buku yang ceritanya sangat kusukai, meskipun akhir ceritanya menyedihkan. Ada kelegaan, tapi juga ada kesedihan karena buku itu telah berakhir."
"Itu deskripsi paling puitis untuk sebuah perpisahan yang pernah kudengar darimu," kata Maya, sebuah senyum tipis yang langka tersungging di bibirnya. "Itu artinya kamu sembuh, Ren. Kamu bisa melihatnya dengan jarak. Kamu bisa merasakan kesedihan tanpa ditelan olehnya."
Mungkin ia benar. Mungkin ini adalah bagian terakhir dari proses penyembuhan. Menerima bahwa tidak ada penjahat dan pahlawan dalam cerita ini. Hanya ada dua orang yang saling menyakiti, dua orang yang menginginkan hal yang berbeda, dua orang yang tersesat.
Setelah Maya pulang, meninggalkan aroma rendang yang hangat di apartemenku yang dingin, aku tidak langsung tidur. Aku kembali ke meja gambarku. Aku menyingkirkan sketsa lobi hotel yang rumit itu. Aku mengambil selembar kertas kosong yang baru.
Aku menatap permukaan putihnya yang bersih. Sebuah awal yang baru. Sebuah masa depan yang belum tertulis. Aku teringat pada Difrina, pada wajahnya yang penuh penyesalan. Aku berharap, dengan tulus, bahwa ia juga akan menemukan kertas kosongnya sendiri suatu hari nanti.
Aku mengambil pensilku. Dengan gerakan yang mantap dan tanpa keraguan, aku menggambar sebuah garis. Sebuah garis horizon yang memisahkan langit dari bumi. Sebuah garis yang memisahkan masa lalu dari masa kini. Sebuah garis terakhir.
Bab 37: Bata Pertama
Beberapa minggu telah berlalu sejak hari pertamaku di Warung Makan "Sumber Rejeki". Waktu, yang dulu terasa seperti sungai yang mengalir anggun di kehidupan lamaku, kini telah berubah menjadi gerinda yang berputar tanpa henti, setiap rotasinya mengikis sedikit demi sedikit sisa-sisa diriku yang dulu. Keputusasaan akut yang melumpuhkanku di kamar motel itu telah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lain: kelelahan kronis yang menempel di tulang-tulangku, dan penerimaan yang pasrah, seperti tanah kering yang menerima hujan tanpa bertanya.
Duniaku kini berbau bawang dan keringat. Aroma itu meresap ke dalam pori-pori kulitku, menempel di setiap helai rambutku, dan melekat di pakaian pinjaman yang kukenakan, bahkan setelah dicuci berkali-kali. Aku tidak lagi menangis. Air mata adalah kemewahan, sebuah pengakuan akan rasa sakit. Aku tidak punya waktu untuk itu. Pikiranku kini terfokus pada satu tujuan sederhana yang brutal: melewati satu hari, lalu hari berikutnya.
Area cuci piring di belakang warung telah menjadi kerajaanku yang sempit dan panas. Aku tidak lagi canggung. Gerakanku saat menyabuni tumpukan piring yang tak berujung kini lebih cepat, lebih efisien, sebuah tarian mekanis yang lahir dari pengulangan tanpa henti. Telapak tanganku, yang dulu halus dan terawat, kini dihiasi oleh kapalan-kapalan kecil yang mengeras, sebuah peta dari kerja kerasku. Rasa perih karena sabun colek yang keras sudah tidak lagi terasa; kulitku telah menyerah, menjadi tebal dan mati rasa.
Aku telah membangun dinding di sekeliling diriku. Dinding yang terbuat dari keheningan. Mbak Yuni dan para pelayan lainnya sering kali berkumpul di dekatku saat jam sepi, bergosip tentang pelanggan atau masalah keluarga mereka. Aku tidak pernah bergabung. Aku hanya akan terus bekerja, kepalaku tertunduk, berpura-pura tidak mendengar. Aku tahu apa yang mereka pikirkan tentangku: si pendiam yang aneh, wanita dengan wajah yang terlalu bersih untuk pekerjaan sekotor ini, yang jelas-jelas menyimpan sebuah cerita kelam. Aku membiarkan mereka berpikir apa pun yang mereka mau. Menjelaskan masa laluku akan terasa seperti menelanjangi diriku di tengah pasar. Aku lebih memilih menjadi misteri daripada menjadi objek iba.
"Dif, nanti tolong kupas kentang sama wortelnya, ya. Stok buat besok," kata Mbak Yuni suatu siang, sambil meletakkan dua keranjang besar di sampingku.
"Iya, Mbak," jawabku singkat, tanpa mengangkat wajah dari bak cuci yang penuh busa.
Saat aku duduk di dingklik kayu yang reyot, memegang pisau pengupas yang tumpul, pikiranku mulai berkelana. Setiap gerakan mengupas kulit kentang yang cokelat memicu sebuah kenangan. Aku teringat Rendra, duduk di seberangku di meja dapur kami yang hangat, membantuku menyiapkan makan malam. Ia akan mengupas kentang dengan gerakan yang sedikit canggung, sering kali membuang dagingnya lebih banyak daripada kulitnya, dan kami akan tertawa bersama. Tawa yang begitu mudah, begitu tulus.
Rasa sakit yang tajam menusuk dadaku. Aku memaksa diriku untuk kembali ke masa kini. Ke bau tanah dari kentang di tanganku, ke suara pisau yang beradu dengan talenan, ke panas yang menyengat dari dapur Ibu Wati. Kenangan-kenangan itu adalah racun. Mereka adalah cambuk yang akan terus menyiksaku jika kubiarkan. Aku harus fokus. Kupas. Potong. Pindahkan ke baskom berisi air. Ulangi.
Saat aku melihat seorang pelanggan di depan membayar dengan kartu kredit berwarna hitam yang berkilauan, bayangan Adrian melintas. Aku teringat dompet kulitnya yang tebal, cara ia mengeluarkan kartu itu dengan begitu enteng, seolah uang adalah konsep yang abstrak. Aku teringat bagaimana ia berkata, "Kamu tidak perlu bekerja, Dif. Tugasku sekarang adalah memastikan kamu mendapatkan semua yang tidak pernah kamu miliki." Ironis. Ia memberiku segalanya, kecuali martabat. Di sini, di tengah aroma bawang dan keringat, aku tidak memiliki apa-apa, kecuali sisa-sisa martabat yang coba kupertahankan dengan sekuat tenaga.
Hari itu adalah hari Sabtu. Warung lebih ramai dari biasanya. Aku bergerak tanpa henti, bolak-balik antara bak cuci piring dan meja persiapan, kakiku terasa seperti timah. Sekitar jam dua siang, saat puncak keramaian, insiden itu terjadi.
Seorang wanita berpenampilan necis, mungkin baru pulang dari arisan di mal, berjalan ke arah dapur dengan wajah masam. Ia memegang sebuah piring di tangannya.
"Permisi!" panggilnya dengan suara keras, membuat beberapa kepala menoleh. "Manajernya mana?"
Ibu Wati, yang sedang mengawasi wajan besar berisi rendang, berjalan menghampirinya. "Ada apa, Bu?"
"Lihat ini!" kata wanita itu, menyodorkan piringnya. "Piringnya masih berminyak! Jorok sekali! Saya makan di sini bayar, ya! Bukan minta gratisan!"
Mataku langsung tertuju pada piring itu. Aku ingat piring itu. Salah satu dari puluhan piring yang ku cuci satu jam yang lalu. Mungkin aku melewatkannya. Mungkin aku terlalu lelah.
Ibu Wati mengambil piring itu, mengusap permukaannya dengan jarinya, lalu menatapku. Tatapannya tajam, tanpa emosi. Aku merasa darah di wajahku surut. Semua mata di dapur kini tertuju padaku.
"Maaf, Bu. Akan segera kami ganti," kata Ibu Wati pada pelanggan itu dengan nada tenang, lalu ia menoleh pada seorang pelayan. "Ambilkan pesanan Ibu ini yang baru. Gratis. Sebagai permintaan maaf kami."
Setelah pelanggan itu kembali ke mejanya dengan puas, Ibu Wati berjalan ke arahku. Aku mempersiapkan diri untuk omelan terburuk dalam hidupku. Aku pantas mendapatkannya.
"Difrina," katanya, suaranya pelan namun berat. "Sudah saya bilang apa kemarin? Pastikan bersih. Satu kesalahan sepertimu bisa merusak nama baik warung yang sudah saya bangun bertahun-tahun."
"Maaf, Bu," bisikku, tidak berani menatap matanya. "Saya... saya akan lebih teliti lagi."
"Bukan akan lagi. Lakukan sekarang," katanya. "Cuci ulang semua piring yang sudah kamu keringkan tadi. Semuanya."
Aku menatap rak piring di sampingku, yang sudah terisi penuh dengan piring-piring bersih yang siap dipakai. Ratusan. Punggungku yang sudah sakit terasa seperti akan patah. Keinginan untuk menangis, untuk berteriak, untuk lari dari sini dan tidak pernah kembali, begitu besar hingga membuatku sesak napas. Ini adalah puncak penghinaan. Bekerja seperti budak, dan kini harus mengulang pekerjaan karena satu kesalahan kecil.
Aku memejamkan mata sejenak. Aku bisa menyerah sekarang. Aku bisa pergi. Lalu apa? Kembali ke kamar tamu Mbak Laras sebagai pecundang? Kembali meneleponnya tengah malam, menangis, karena aku tidak sanggup menghadapi dunia?
Tidak.
Dengan sebuah helaan napas panjang yang gemetar, aku membuka mataku. Aku menatap Ibu Wati. "Baik, Bu," kataku, suaraku terdengar lebih mantap dari yang kuduga.
Aku mengambil tumpukan piring bersih pertama dari rak, membawanya kembali ke bak cuci, dan mulai menggosoknya lagi, satu per satu. Aku tidak peduli pada tatapan iba dari Mbak Yuni atau bisikan-bisikan dari pelayan lain. Aku hanya fokus pada pekerjaanku. Gosok. Bilas. Tiriskan. Setiap piring yang bersih terasa seperti sebuah kemenangan kecil, sebuah tindakan pemberontakan yang sunyi terhadap keinginanku untuk menyerah.
Aku bekerja hingga larut malam, jauh setelah jam tutup. Setelah aku selesai mencuci ulang semua piring, aku membersihkan seluruh dapur sendirian, sebagai bentuk penebusan dosa. Saat aku akhirnya selesai, setiap sendi di tubuhku terasa seperti terbakar.
Aku duduk di dingklik kayu yang sama seperti hari pertamaku, terlalu lelah untuk bahkan sekadar berpikir. Ibu Wati mendekatiku. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya meletakkan sepiring nasi hangat dengan sepotong besar rendang dan sayur nangka di hadapanku. Porsinya lebih besar dari biasanya.
"Makan," katanya singkat, sebelum berbalik dan masuk ke ruangannya.
Aku menatap makanan itu. Sebuah pengakuan yang tak terucap. Sebuah tanda bahwa aku telah melewati ujiannya. Aku makan dalam diam, setiap suap nasi terasa seperti hadiah paling berharga di dunia.
Malam itu, saat aku berjalan pulang di bawah lampu-lampu jalan yang remang-remang, aku tidak lagi merasa seperti korban. Aku merasa seperti seorang pejuang. Aku lelah luar biasa, tubuhku sakit di mana-mana, dan hatiku masih dipenuhi oleh gema kesedihan. Tetapi aku tidak hancur. Aku tidak lari. Aku bertahan.
Saat Mbak Laras membukakan pintu, ia menatapku dengan cemas. "Kamu pucat sekali, Dif. Apa yang terjadi?"
Aku hanya tersenyum tipis. "Hari yang panjang, Mbak," kataku.
Aku berjalan ke kamarku, merebahkan diri di atas ranjang. Aku mengeluarkan upah harianku dari saku. Beberapa lembar uang lecek yang berbau bawang dan keringat. Aku menggenggamnya erat-erat. Uang ini bukan hanya uang. Ini adalah bukti. Bukti bahwa aku bisa jatuh begitu dalam, tetapi aku juga bisa belajar untuk bangkit kembali. Ini adalah bata pertamaku, yang kuletakkan dengan tanganku sendiri yang perih dan kapalan, di atas fondasi kehidupanku yang baru. Dan rasanya, entah kenapa, begitu kokoh.
Bab 38: Dunia yang Berbeda
Beberapa bulan bisa mengubah segalanya. Dulu, waktu terasa seperti musuh, setiap detiknya adalah siksaan sunyi di dalam rumah yang kosong. Kini, waktu adalah sekutuku, sebuah komoditas berharga yang tidak pernah terasa cukup. Studio arsitekturku, yang dimulai dari selembar kertas kosong dan tekad yang rapuh, kini telah menjadi pusat dari duniaku yang baru.
Ruangan di lantai dua ruko tua ini tidak lagi terasa steril. Dinding putihnya kini dihiasi oleh sketsa-sketsa konsep, denah-denah teknis, dan papan tulis besar yang penuh dengan coretan ide dan perhitungan yang kacau. Aroma kopi yang pekat selalu menguar, bercampur dengan wangi kertas dan serutan pensil. Di sudut ruangan, sebuah maket dari proyek renovasi rumah Tanuwijaya berdiri dengan bangga, sebuah monumen kecil dari kemenanganku atas kelumpuhan. Suara ketukan keyboard, klik mouse, dan diskusi yang bersemangat antara Fajar dan arsitek juniorku yang satu lagi, Dita, menjadi detak jantung dari tempat ini. Ini bukan lagi hanya sebuah tempat kerja; ini adalah bukti bahwa kehidupan bisa tumbuh kembali dari abu.
Aku berdiri di tengah ruangan, mengamati tim kecilku. Fajar sedang menjelaskan sebuah detail struktur pada Dita, antusiasmenya menular. Aku tidak lagi hanya seorang arsitek; aku adalah seorang pemimpin, seorang mentor. Peran itu terasa pas, memberiku tujuan yang lebih besar daripada sekadar menggambar garis di atas kertas.
"Mas Rendra," panggil Dita, menyadari kehadiranku. "Menurut Mas, lebih baik kita pakai atap datar untuk area teras belakang, atau atap miring dengan skylight?"
Aku berjalan mendekat, mencondongkan tubuh di atas layar komputernya. "Coba visualisasikan keduanya," kataku, suaraku tenang dan berwibawa. "Pikirkan tentang aliran cahaya di sore hari. Klien ingin tempat itu terasa lapang dan terhubung dengan taman. Mana yang lebih baik mencapai tujuan itu?"
Aku tidak memberinya jawaban. Aku memberinya pertanyaan. Aku melihatnya berpikir, memproses, lalu matanya berbinar saat sebuah ide baru muncul. Itulah bagian terbaik dari pekerjaan ini sekarang: bukan hanya menciptakan bangunan, tetapi juga membantu membangun arsitek-arsitek baru.
Di tengah kesibukan itu, Maya datang. Ia tidak lagi perlu mendobrak masuk. Ia kini memiliki kuncinya sendiri, masuk dengan langkah seorang mitra bisnis yang sibuk. Ia membawa aroma dunia luar dan dua gelas es kopi susu.
"Untuk pahlawan-pahlawan kecilku," katanya, meletakkan satu gelas di meja Fajar dan satu lagi di meja Dita, yang disambut dengan ucapan terima kasih yang malu-malu. Ia lalu berjalan ke arahku, meletakkan sebuah map tebal berwarna biru di atas meja gambarku yang penuh sesak.
"Apa ini?" tanyaku, mengambil gelas kopi yang ia sodorkan.
"Sesuatu yang akan membuatmu tidak tidur selama beberapa malam ke depan," jawabnya, senyum tipis yang penuh arti tersungging di bibirnya. Ada kilat antusiasme di matanya, kilat yang sama yang kulihat saat kami mengerjakan proyek kompetisi di universitas dulu.
Aku membuka map itu. Di dalamnya, ada setumpuk dokumen: gambar-gambar lokasi, data-data teknis, dan sebuah surat penawaran resmi. Aku membacanya, lalu membacanya lagi, tidak yakin apakah aku salah mengerti.
"Sebuah perpustakaan publik?" bisikku, lebih pada diriku sendiri.
"Bukan sembarang perpustakaan," kata Maya, nadanya kini dipenuhi kegembiraan yang tak bisa disembunyikan. "Ini proyek dari Yayasan Cipta Bangsa. Mereka mengadakan kompetisi desain terbatas untuk perpustakaan utama kota yang baru. Dan mereka mengundang Studio Ruang Rendra untuk berpartisipasi."
Jantungku seolah berhenti berdetak sejenak. Kompetisi terbatas. Itu berarti kami disejajarkan dengan firma-firma arsitektur besar yang sudah punya nama. Ini bukan lagi proyek renovasi rumah atau desain kafe. Ini adalah liga yang berbeda. Ini adalah jenis proyek yang diimpikan oleh setiap arsitek. Sebuah kesempatan untuk meninggalkan jejak, untuk membangun sesuatu yang akan melayani ribuan orang, sesuatu yang akan bertahan melampaui diriku.
Aku terus membolak-balik halaman proposal itu, pikiranku berpacu. Skalanya besar. Tuntutannya tinggi. Mereka menginginkan sebuah ikon arsitektur yang modern namun tetap berakar pada budaya lokal, sebuah bangunan yang ramah lingkungan dan menjadi pusat komunitas. Tantangannya begitu besar hingga terasa menakutkan sekaligus sangat menggairahkan.
Saat itulah kenangan itu datang. Bukan sebagai hantu yang menyakitkan, melainkan sebagai gema dari dunia yang berbeda, dari kehidupan yang lain. Aku teringat suatu malam, saat aku dan Difrina duduk di teras rumah kami yang sederhana, menatap bintang-bintang. Aku baru saja kehilangan sebuah proyek kecil, dan aku merasa begitu kecewa.
"Nggak apa-apa, Mas," katanya saat itu, tangannya yang hangat menggenggam tanganku. "Suatu hari nanti, kamu pasti akan membangun sesuatu yang hebat. Sesuatu yang besar."
"Aku tidak butuh sesuatu yang besar," jawabku saat itu, menatap matanya yang tulus. "Aku hanya ingin membangun rumah-rumah kecil yang nyaman, tempat keluarga seperti kita bisa bahagia. Itu sudah cukup bagiku."
Kebahagiaan satu orang. Itulah puncak ambisiku dulu. Dan kini, di hadapanku, terhampar sebuah kesempatan untuk menciptakan ruang bagi kebahagiaan ribuan orang. Dunia yang dulu kuanggap cukup, kini terasa begitu kecil dibandingkan dengan dunia yang terbentang di hadapanku. Kepergiannya tidak hanya menghancurkanku; tanpa kusadari, ia telah meruntuhkan dinding-dinding ambisiku yang sempit dan memaksaku untuk melihat ke cakrawala yang lebih luas. Sebuah kesadaran yang pahit dan manis.
"Ren?" Suara Maya membuyarkan lamunanku. "Kamu baik-baik saja?"
Aku mengangkat wajahku, menatapnya. "Aku... aku tidak tahu apakah aku siap untuk ini, May."
"Omong kosong," balasnya cepat. "Tentu saja kamu siap. Lihat sekelilingmu. Kamu membangun studio ini dari nol. Kamu mendapatkan kembali kepercayaan klien. Kamu bahkan berhasil membuat dua anak milenial ini menghormatimu. Proyek ini bukan hadiah. Ini adalah hasil dari kerja kerasmu. Kamu pantas mendapatkannya."
Aku menatap kembali proposal di tanganku. Aku membayangkan tantangannya: malam-malam tanpa tidur, debat-debat sengit tentang konsep, tekanan untuk menciptakan sesuatu yang orisinal dan bermakna. Dan untuk pertama kalinya setelah waktu yang terasa begitu lama, aku tidak merasa takut. Aku merasa hidup.
"Apakah ini yang benar-benar kuinginkan?" Aku bertanya pada diriku sendiri dalam hati. Aku mencoba mendamaikan citra diriku yang dulu—pria sederhana yang hanya ingin membahagiakan istrinya—dengan diriku yang sekarang, seorang profesional yang ditawari kesempatan sekali seumur hidup. Jawabannya datang dengan kejernihan yang mengejutkan. Pria yang dulu itu telah mati. Ia mati di malam saat ia menemukan pengkhianatan itu. Ia mati saat ia menjual rumah yang ia bangun dengan cinta. Aku yang sekarang adalah orang yang berbeda. Kebahagiaanku kini datang dari sumber yang berbeda. Dari kepuasan memecahkan masalah yang rumit. Dari kebanggaan melihat sebuah ide di atas kertas terwujud menjadi bangunan yang kokoh.
Malam itu, setelah semua orang pulang, aku sendirian di studio. Aku tidak langsung pulang ke apartemenku yang sunyi. Aku menggelar selembar kertas kalkir besar di atas proposal perpustakaan itu. Aku mengambil sebatang pensil arang.
Aku menatap ke luar jendela, ke arah kota yang berkelip-kelip. Di suatu tempat di luar sana, Difrina menjalani kehidupannya. Aku berharap ia baik-baik saja. Sebuah harapan yang kini terasa tenang, tanpa rasa sakit yang tajam. Ia telah memilih dunianya. Dan kini, aku akan memilih duniaku.
Tanganku bergerak di atas kertas, goresannya awalnya ragu-ragu, lalu semakin mantap. Aku tidak menggambar rumah. Aku tidak menggambar taman. Aku menggambar sebuah fasad yang megah, sebuah atap yang melengkung seperti buku yang terbuka, sebuah plaza yang mengundang orang untuk masuk. Aku sedang menggambar sebuah mimpi. Bukan lagi mimpi tentang kebahagiaan untuk satu orang. Melainkan mimpi tentang sebuah ruang untuk semua orang.
Kesedihan itu masih ada, seperti arus bawah yang samar. Tetapi di atasnya, kini mengalir sebuah sungai baru yang deras dan penuh energi. Sungai ambisi. Sungai tujuan. Sungai harapan. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa duniaku yang baru ini, dunia yang kubangun sendiri, jauh lebih besar dan lebih kokoh daripada dunia yang pernah hilang.
Bab 39: Aroma Bawang dan Keringat
Beberapa minggu telah berlalu sejak hari pertamaku di Warung Makan "Sumber Rejeki". Waktu, yang dulu terasa seperti sungai yang mengalir anggun di kehidupan lamaku, kini telah berubah menjadi gerinda yang berputar tanpa henti, setiap rotasinya mengikis sedikit demi sedikit sisa-sisa diriku yang dulu. Keputusasaan akut yang melumpuhkanku di kamar motel itu telah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lain: kelelahan kronis yang menempel di tulang-tulnagku, dan penerimaan yang pasrah, seperti tanah kering yang menerima hujan tanpa bertanya.
Duniaku kini berbau bawang dan keringat. Aroma itu meresap ke dalam pori-pori kulitku, menempel di setiap helai rambutku, dan melekat di pakaian pinjaman yang kukenakan, bahkan setelah dicuci berkali-kali. Aku tidak lagi menangis. Air mata adalah kemewahan, sebuah pengakuan akan rasa sakit. Aku tidak punya waktu untuk itu. Pikiranku kini terfokus pada satu tujuan sederhana yang brutal: melewati satu hari, lalu hari berikutnya.
Area cuci piring di belakang warung telah menjadi kerajaanku yang sempit dan panas. Aku tidak lagi canggung. Gerakanku saat menyabuni tumpukan piring yang tak berujung kini lebih cepat, lebih efisien, sebuah tarian mekanis yang lahir dari pengulangan tanpa henti. Telapak tanganku, yang dulu halus dan terawat, kini dihiasi oleh kapalan-kapalan kecil yang mengeras, sebuah peta dari kerja kerasku. Rasa perih karena sabun colek yang keras sudah tidak lagi terasa; kulitku telah menyerah, menjadi tebal dan mati rasa.
Aku telah membangun dinding di sekeliling diriku. Dinding yang terbuat dari keheningan. Mbak Yuni dan para pelayan lainnya sering kali berkumpul di dekatku saat jam sepi, bergosip tentang pelanggan atau masalah keluarga mereka. Aku tidak pernah bergabung. Aku hanya akan terus bekerja, kepalaku tertunduk, berpura-pura tidak mendengar. Aku tahu apa yang mereka pikirkan tentangku: si pendiam yang aneh, wanita dengan wajah yang terlalu bersih untuk pekerjaan sekotor ini, yang jelas-jelas menyimpan sebuah cerita kelam. Aku membiarkan mereka berpikir apa pun yang mereka mau. Menjelaskan masa laluku akan terasa seperti menelanjangi diriku di tengah pasar. Aku lebih memilih menjadi misteri daripada menjadi objek iba.
"Dif, nanti tolong kupas kentang sama wortelnya, ya. Stok buat besok," kata Mbak Yuni suatu siang, sambil meletakkan dua keranjang besar di sampingku.
"Iya, Mbak," jawabku singkat, tanpa mengangkat wajah dari bak cuci yang penuh busa.
Saat aku duduk di dingklik kayu yang reyot, memegang pisau pengupas yang tumpul, pikiranku mulai berkelana. Setiap gerakan mengupas kulit kentang yang cokelat memicu sebuah kenangan. Aku teringat Rendra, duduk di seberangku di meja dapur kami yang hangat, membantuku menyiapkan makan malam. Ia akan mengupas kentang dengan gerakan yang sedikit canggung, sering kali membuang dagingnya lebih banyak daripada kulitnya, dan kami akan tertawa bersama. Tawa yang begitu mudah, begitu tulus.
Rasa sakit yang tajam menusuk dadaku. Aku memaksa diriku untuk kembali ke masa kini. Ke bau tanah dari kentang di tanganku, ke suara pisau yang beradu dengan talenan, ke panas yang menyengat dari dapur Ibu Wati. Kenangan-kenangan itu adalah racun. Mereka adalah cambuk yang akan terus menyiksaku jika kubiarkan. Aku harus fokus. Kupas. Potong. Pindahkan ke baskom berisi air. Ulangi.
Saat aku melihat seorang pelanggan di depan membayar dengan kartu kredit berwarna hitam yang berkilauan, bayangan Adrian melintas. Aku teringat dompet kulitnya yang tebal, cara ia mengeluarkan kartu itu dengan begitu enteng, seolah uang adalah konsep yang abstrak. Aku teringat bagaimana ia berkata, "Kamu tidak perlu bekerja, Dif. Tugasku sekarang adalah memastikan kamu mendapatkan semua yang tidak pernah kamu miliki." Ironis. Ia memberiku segalanya, kecuali martabat. Di sini, di tengah aroma bawang dan keringat, aku tidak memiliki apa-apa, kecuali sisa-sisa martabat yang coba kupertahankan dengan sekuat tenaga.
Hari itu adalah hari Sabtu. Warung lebih ramai dari biasanya. Aku bergerak tanpa henti, bolak-balik antara bak cuci piring dan meja persiapan, kakiku terasa seperti timah. Sekitar jam dua siang, saat puncak keramaian, insiden itu terjadi.
Seorang wanita berpenampilan necis, mungkin baru pulang dari arisan di mal, berjalan ke arah dapur dengan wajah masam. Ia memegang sebuah piring di tangannya.
"Permisi!" panggilnya dengan suara keras, membuat beberapa kepala menoleh. "Manajernya mana?"
Ibu Wati, yang sedang mengawasi wajan besar berisi rendang, berjalan menghampirinya. "Ada apa, Bu?"
"Lihat ini!" kata wanita itu, menyodorkan piringnya. "Piringnya masih berminyak! Jorok sekali! Saya makan di sini bayar, ya! Bukan minta gratisan!"
Mataku langsung tertuju pada piring itu. Aku ingat piring itu. Salah satu dari puluhan piring yang ku cuci satu jam yang lalu. Mungkin aku melewatkannya. Mungkin aku terlalu lelah.
Ibu Wati mengambil piring itu, mengusap permukaannya dengan jarinya, lalu menatapku. Tatapannya tajam, tanpa emosi. Aku merasa darah di wajahku surut. Semua mata di dapur kini tertuju padaku.
"Maaf, Bu. Akan segera kami ganti," kata Ibu Wati pada pelanggan itu dengan nada tenang, lalu ia menoleh pada seorang pelayan. "Ambilkan pesanan Ibu ini yang baru. Gratis. Sebagai permintaan maaf kami."
Setelah pelanggan itu kembali ke mejanya dengan puas, Ibu Wati berjalan ke arahku. Aku mempersiapkan diri untuk omelan terburuk dalam hidupku. Aku pantas mendapatkannya.
"Difrina," katanya, suaranya pelan namun berat. "Sudah saya bilang apa kemarin? Pastikan bersih. Satu kesalahan sepertimu bisa merusak nama baik warung yang sudah saya bangun bertahun-tahun."
"Maaf, Bu," bisikku, tidak berani menatap matanya. "Saya... saya akan lebih teliti lagi."
"Bukan akan lagi. Lakukan sekarang," katanya. "Cuci ulang semua piring yang sudah kamu keringkan tadi. Semuanya."
Aku menatap rak piring di sampingku, yang sudah terisi penuh dengan piring-piring bersih yang siap dipakai. Ratusan. Punggungku yang sudah sakit terasa seperti akan patah. Keinginan untuk menangis, untuk berteriak, untuk lari dari sini dan tidak pernah kembali, begitu besar hingga membuatku sesak napas. Ini adalah puncak penghinaan. Bekerja seperti budak, dan kini harus mengulang pekerjaan karena satu kesalahan kecil.
Aku memejamkan mata sejenak. Aku bisa menyerah sekarang. Aku bisa pergi. Lalu apa? Kembali ke kamar tamu Mbak Laras sebagai pecundang? Kembali meneleponnya tengah malam, menangis, karena aku tidak sanggup menghadapi dunia?
Tidak.
Dengan sebuah helaan napas panjang yang gemetar, aku membuka mataku. Aku menatap Ibu Wati. "Baik, Bu," kataku, suaraku terdengar lebih mantap dari yang kuduga.
Aku mengambil tumpukan piring bersih pertama dari rak, membawanya kembali ke bak cuci, dan mulai menggosoknya lagi, satu per satu. Aku tidak peduli pada tatapan iba dari Mbak Yuni atau bisikan-bisikan dari pelayan lain. Aku hanya fokus pada pekerjaanku. Gosok. Bilas. Tiriskan. Setiap piring yang bersih terasa seperti sebuah kemenangan kecil, sebuah tindakan pemberontakan yang sunyi terhadap keinginanku untuk menyerah.
Aku bekerja hingga larut malam, jauh setelah jam tutup. Setelah aku selesai mencuci ulang semua piring, aku membersihkan seluruh dapur sendirian, sebagai bentuk penebusan dosa. Saat aku akhirnya selesai, setiap sendi di tubuhku terasa seperti terbakar.
Aku duduk di dingklik kayu yang sama seperti hari pertamaku, terlalu lelah untuk bahkan sekadar berpikir. Ibu Wati mendekatiku. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya meletakkan sepiring nasi hangat dengan sepotong besar rendang dan sayur nangka di hadapanku. Porsinya lebih besar dari biasanya.
"Makan," katanya singkat, sebelum berbalik dan masuk ke ruangannya.
Aku menatap makanan itu. Sebuah pengakuan yang tak terucap. Sebuah tanda bahwa aku telah melewati ujiannya. Aku makan dalam diam, setiap suap nasi terasa seperti hadiah paling berharga di dunia.
Malam itu, saat aku berjalan pulang di bawah lampu-lampu jalan yang remang-remang, aku tidak lagi merasa seperti korban. Aku merasa seperti seorang pejuang. Aku lelah luar biasa, tubuhku sakit di mana-mana, dan hatiku masih dipenuhi oleh gema kesedihan. Tetapi aku tidak hancur. Aku tidak lari. Aku bertahan.
Saat Mbak Laras membukakan pintu, ia menatapku dengan cemas. "Kamu pucat sekali, Dif. Apa yang terjadi?"
Aku hanya tersenyum tipis. "Hari yang panjang, Mbak," kataku.
Aku berjalan ke kamarku, merebahkan diri di atas ranjang. Aku mengeluarkan upah harianku dari saku. Beberapa lembar uang lecek yang berbau bawang dan keringat. Aku menggenggamnya erat-erat. Uang ini bukan hanya uang. Ini adalah bukti. Bukti bahwa aku bisa jatuh begitu dalam, tetapi aku juga bisa belajar untuk bangkit kembali. Ini adalah bata pertamaku, yang kuletakkan dengan tanganku sendiri yang perih dan kapalan, di atas fondasi kehidupanku yang baru. Dan rasanya, entah kenapa, begitu kokoh.