Bab 1: Gadis dari Plaistow
Langit di atas Plaistow, London Timur, jarang sekali berwarna biru jernih. Ia lebih sering berwarna abu-abu seperti selimut wol usang, diwarnai jelaga dari ribuan cerobong asap yang menusuk angkasa. Namun bagi Mary Ann Webster, di usianya yang ke delapan belas, warna abu-abu itu adalah warna rumah. Itu adalah latar bagi tawa adik-adiknya yang berlarian di jalanan berbatu, aroma roti yang dipanggang ibunya yang menyelinap keluar dari jendela, dan derit gerobak pedagang sayur di pagi hari.
Di dalam rumah mereka yang sempit di Jalan Barking, kehidupan adalah sebuah tarian yang padat dan tak pernah berhenti. Dengan tujuh saudara kandung, ruang adalah kemewahan yang tidak mereka miliki, tetapi kehangatan tidak pernah kurang. Mary Ann, dengan rambut cokelatnya yang tebal diikat rapi ke belakang dan mata yang memancarkan ketenangan melampaui usianya, adalah pusat dari pusaran kecil itu. Dialah yang meniup lutut adiknya yang tergores, yang membacakan cerita dengan suara lembut hingga mata-mata kecil itu terlelap, dan yang tangannya selalu pertama kali terulur untuk membantu ibunya yang kelelahan.
Ada keindahan dalam dirinya saat itu, sebuah keindahan yang lembut dan tidak mencolok seperti bunga liar yang tumbuh di celah dinding bata. Senyumnya mudah merekah, memperlihatkan gigi yang rapi, dan pipinya sering bersemu merah karena uap dari panci rebusan atau karena bergegas mengejar bus. Orang-orang di lingkungannya mengenalnya sebagai "gadis Webster yang baik hati," seorang gadis yang wajahnya secantik hatinya. Ia tidak pernah tahu bahwa suatu hari nanti, wajah itu akan menjadi takdirnya, kutukannya, dan satu-satunya keselamatannya.
Mimpinya terbentang di luar jalanan Plaistow yang ramai. Mimpinya berbau antiseptik dan berderit seperti sepatu perawat di lorong rumah sakit yang sunyi. Sejak kecil, ia merasakan tarikan yang aneh terhadap penderitaan orang lain—bukan karena rasa kasihan yang dangkal, tetapi karena dorongan mendalam untuk meringankan, untuk menyembuhkan. Ketika tetangganya, Pak Finch, terbaring sakit karena radang paru-paru, Mary Ann-lah yang akan membawakan kaldu hangat, duduk di samping tempat tidurnya, dan menyeka dahinya yang berkeringat dengan kain lap basah.
"Kamu punya sentuhan seorang malaikat, Nak," bisik istri Pak Finch suatu sore, matanya yang lelah memancarkan rasa terima kasih.
Kata-kata itu menetap di hati Mary Ann, menjadi sebuah kompas. Menjadi perawat bukan sekadar pilihan karier; itu adalah sebuah panggilan jiwa. Itu adalah cara untuk memberikan tujuan pada kelembutan yang meluap dalam dirinya.
Seringkali di malam hari, setelah adik-adiknya tertidur dan rumah akhirnya tenang, ia akan duduk di dekat jendela kamarnya yang kecil. Ia akan menatap kerlip lampu gas di kejauhan, membayangkan dirinya mengenakan seragam putih yang kaku dan bersih, berjalan dengan tujuan di lorong-lorong Royal London Hospital. Di sana, di antara orang-orang sakit dan sekarat, ia tidak akan menjadi sekadar Mary Ann Webster, salah satu dari sekian banyak anak di keluarga miskin London. Ia akan menjadi seseorang yang membawa kelegaan. Seseorang yang tangannya bisa menenangkan demam dan suaranya bisa meredakan ketakutan.
Itu adalah sebuah masa depan yang ia dambakan dengan seluruh keberadaannya yang polos dan penuh harapan. Sebuah masa depan di mana kebaikannya adalah aset terbesarnya, dan wajahnya yang ramah adalah cerminan dari jiwanya. Ia belum tahu bahwa takdir sedang menenun sebuah permadani yang jauh lebih rumit dan kejam untuknya. Ia belum tahu bahwa di dalam tubuhnya, sebuah badai sunyi sedang mulai berkumpul, sebuah badai yang perlahan-lahan akan merenggut wajah yang ia kenali di cermin, dan memaksanya untuk menemukan kekuatan di tempat-tempat yang paling gelap dan tak terbayangkan.
Namun malam itu, di bawah langit Plaistow yang kelabu, ia hanyalah seorang gadis yang memimpikan seragam putih, tidak menyadari bayangan panjang yang mulai merayap di belakangnya.
Bab 2: Seragam Putih dan Hati yang Tulus
Seragam perawat itu terasa kaku di kulitnya, tetapi bagi Mary Ann, rasanya seperti zirah dan jubah suci sekaligus. Setiap pagi, saat ia mengenakannya di asrama perawat yang dingin, ia merasakan gelombang kebanggaan yang tenang. Mimpi yang dulu hanya berupa bisikan di jendela kamarnya di Plaistow kini telah menjadi kenyataan yang berderit di bawah sol sepatunya saat ia berjalan cepat menyusuri lorong-lorong Royal London Hospital yang panjang dan bergema.
Dunia di dalam dinding rumah sakit adalah alam semesta tersendiri. Udara dipenuhi aroma campuran aneh antara karbol, kain linen bersih, dan aroma samar dari penderitaan manusia. Bangsal-bangsalnya luas, dengan deretan tempat tidur besi yang rapi, masing-masing menampung sebuah kisah kesakitan, ketakutan, atau harapan yang rapuh. Di sinilah Mary Ann menemukan panggilannya yang sesungguhnya. Ia bukan sekadar pelaksana perintah dokter; ia adalah pembawa ketenangan dalam keheningan malam, tangan yang memegang tangan gemetar, dan suara yang meyakinkan bahwa fajar akan segera tiba.
Para pasien, dari buruh pelabuhan yang tangannya hancur hingga wanita bangsawan yang menderita penyakit misterius, dengan cepat belajar untuk mengenali langkah kakinya yang ringan. Mereka melihat ketulusan di matanya yang tidak pernah goyah, bahkan saat menghadapi luka yang paling mengerikan sekalipun. Ia memiliki kemampuan langka untuk melihat manusia di balik penyakitnya. Baginya, pria di Ranjang 7 bukanlah "kasus tifus", melainkan Tuan Abernathy, seorang juru tulis yang merindukan istri dan anak-anaknya.
Suatu sore di musim semi, saat pucuk-pucuk hijau pertama mulai muncul di pepohonan di luar jendela bangsal, seorang pria muda masuk dengan canggung, memeluk seikat besar bunga lili dan mawar. Pipinya memerah, dan matanya mencari-cari di antara lautan tempat tidur. Ia di sini untuk menjenguk ibunya. Namanya Thomas Bevan.
Mary Ann sedang mengganti perban saat ia melihatnya. Ada sesuatu yang berbeda pada pria ini. Bukan hanya wajahnya yang tampan atau bahunya yang tegap karena mengangkat peti-peti bunga setiap hari. Ada kelembutan dalam caranya bergerak, kehati-hatian dalam caranya meletakkan bunga-bunga itu di nakas agar tidak mengganggu ibunya yang sedang tidur.
"Bunga-bunga ini indah sekali," bisik Mary Ann, menghampirinya.
Thomas terkejut, lalu tersenyum—sebuah senyuman yang seolah mampu menghangatkan seluruh bangsal yang suram itu. "Ibuku bilang bunga bisa menyembuhkan separuh penyakit. Aku harap begitu."
Sejak hari itu, kunjungan Thomas menjadi secercah cahaya dalam hari-hari Mary Ann yang panjang dan melelahkan. Ia akan datang setiap sore, selalu membawa satu bunga kecil ekstra—sekuntum aster atau anyelir—yang akan ia selipkan diam-diam ke dalam saku celemek Mary Ann saat tidak ada yang melihat. Mereka akan berbicara dalam bisikan, di sudut bangsal yang remang-remang, tentang hal-hal sederhana: cuaca, berita di surat kabar, dan impian Thomas untuk memiliki toko bunganya sendiri suatu hari nanti.
Mary Ann mendapati dirinya menantikan sore hari dengan debaran yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Di tengah dunia yang penuh dengan penyakit dan kematian, Thomas adalah pengingat akan kehidupan, pertumbuhan, dan keindahan. Ia jatuh cinta pada cara Thomas berbicara tentang bunga seolah-olah mereka adalah makhluk hidup dengan kepribadiannya sendiri, pada kebaikan hatinya yang tulus, dan pada tatapan matanya yang selalu membuatnya merasa menjadi satu-satunya orang di ruangan itu.
Pada suatu malam musim panas yang hangat, setelah sifnya berakhir, Thomas menunggunya di gerbang rumah sakit. Di tangannya, ia tidak memegang seikat bunga, melainkan hanya sekuntum mawar putih yang sempurna.
"Mary Ann," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Aku telah melihatmu merawat orang-orang yang paling rapuh dengan kelembutan yang luar biasa. Kamu membawa kehidupan ke tempat yang paling gelap sekalipun. Aku... aku ingin menghabiskan sisa hidupku mencoba membawakan keindahan untukmu, seperti yang kamu berikan kepada semua orang."
Di bawah cahaya lampu gas yang berkelip, ia berlutut. Ia membuka sebuah kotak kecil, memperlihatkan cincin perak sederhana. Itu bukanlah lamaran yang megah, tetapi bagi Mary Ann, itu adalah segalanya. Di tengah kota yang bising dan dunia yang sering kali kejam, ia telah menemukan tamannya sendiri, tempat di mana ia bisa menanam cinta dan harapan.
Dengan air mata bahagia yang mengalir di pipinya, ia berkata, "Ya." Janji akan sebuah keluarga dan taman bunga bersama telah diucapkan, sebuah janji yang terasa sekuat dan seindah mawar putih di tangannya.
Bab 3: Taman Keluarga Bevan
Mereka menikah di sebuah gereja kecil pada musim gugur, dan rumah yang mereka tempati di pinggiran kota menjadi istana mereka. Dindingnya mungkin sedikit miring dan lantainya berderit, tetapi itu adalah kanvas kosong tempat mereka melukis masa depan mereka. Thomas, dengan tangannya yang terbiasa merawat tunas-tunas rapuh, mengubah halaman belakang yang terbengkalai menjadi sebuah surga kecil yang penuh dengan mawar, lavender, dan aster aneka warna.
Suatu sore di akhir musim panas, bertahun-tahun kemudian, taman itu telah menjadi saksi bisu dari kehidupan yang mereka bangun. Mary Ann duduk di bangku kayu yang sudah lapuk, kepalanya bersandar di bahu Thomas. Udara dipenuhi aroma lavender yang menenangkan dan suara tawa keempat anak mereka yang sedang bermain petak umpet di antara semak-semak mawar.
"Dengar itu," bisik Thomas, suaranya rendah dan penuh kekaguman. "Tawa mereka. Itu musik termanis di dunia, bukan?"
Mary Ann tersenyum, matanya terpejam. "Lebih manis dari lonceng gereja mana pun."
Tiba-tiba, putri bungsu mereka, Sarah, berlari ke arah mereka, napasnya terengah-engah. Tangannya yang mungil menggenggam setangkai bunga aster yang sedikit layu.
"Untukmu, Mummy," katanya, menyodorkan bunga itu dengan bangga.
Mary Ann membuka matanya dan menerima bunga itu seolah-olah itu adalah perhiasan yang paling berharga. "Oh, Sayang, ini bunga tercantik yang pernah kulihat," katanya dengan lembut, menyelipkan bunga itu di belakang telinganya. "Sekarang, cepat sembunyi lagi sebelum William menemukanmu!"
Sarah terkikik dan berlari kembali ke dalam permainan, menghilang di balik semak hydrangea yang rimbun. Mary Ann kembali menyandarkan kepalanya di bahu Thomas, merasakan kehangatan sinar matahari sore di wajahnya.
"Kau lihat?" kata Thomas pelan, meremas tangannya. "Kau dikelilingi oleh bunga-bunga, di dalam dan di luar taman."
Mary Ann menghela napas puas, tetapi ada nada melankolis tipis dalam suaranya saat ia berbicara. "Kadang-kadang aku takut, Thomas. Semuanya terasa... terlalu sempurna. Seolah-olah ini adalah sebuah mimpi dan aku takut terbangun."
Thomas terdiam sejenak, lalu dengan lembut mengangkat dagu Mary Ann agar ia menatapnya. Matanya tulus dan menenangkan. "Ini bukan kesempurnaan, Mary. Ini adalah apa yang pantas kita dapatkan. Ini adalah hasil kerja keras dan cinta. Jangan pernah takut pada kebahagiaan yang telah kita bangun bersama." Ia mengecup keningnya. "Aku di sini. Aku tidak akan ke mana-mana."
Mary Ann memercayainya. Di pelukan suaminya, di tengah taman mereka, dikelilingi oleh musik tawa anak-anak mereka, ia merasa aman. Kehidupan mereka adalah sebuah melodi yang sederhana namun harmonis, sebuah surga kecil yang mereka ciptakan untuk melindungi diri dari dunia luar. Sebuah surga yang terasa begitu kokoh, begitu abadi, sehingga mereka tidak pernah membayangkan bahwa badai yang paling dahsyat sedang berkumpul tepat di atas atap rumah mereka.
Bab 4: Bayangan di Cermin
Kebahagiaan, Mary Ann menyadari, memiliki ritmenya sendiri. Ritme itu adalah suara napas keempat anaknya yang tertidur lelap, derit papan lantai saat Thomas berjingkat masuk agar tidak membangunkan mereka, dan detak jantungnya sendiri yang terasa tenang di dalam keheningan rumah mereka. Setelah kelahiran putri bungsunya, kehidupan terasa begitu penuh dan sempurna hingga terkadang ia takut untuk bernapas terlalu kencang, seolah-olah kebahagiaan itu adalah gelembung sabun yang bisa pecah kapan saja.
Bayangan itu datang bukan seperti guntur yang menggelegar, melainkan seperti kabut pagi yang merayap tanpa suara, dingin dan tak terlihat pada awalnya. Dimulai dari kepalanya. Sakit kepala yang berdenyut-denyut di belakang matanya, berbeda dari pusing biasa karena kurang tidur. Ini adalah tekanan yang dalam dan tumpul, seolah-olah ada sesuatu di dalam tengkoraknya yang perlahan-lahan mengembang, mendorong keluar.
"Kepalamu sakit lagi, Mary?" tanya Thomas suatu malam, saat ia melihat Mary Ann memijat pelipisnya di meja dapur. Cahaya lampu minyak menyoroti kerutan kecil di antara alisnya.
"Hanya lelah, Sayang," jawabnya, memaksakan senyum. "Mengurus empat malaikat kecil rupanya bisa membuat kepala siapa pun pusing."
Thomas mengusap bahunya, ciumannya di puncak kepala Mary Ann terasa hangat dan menenangkan. "Kamu terlalu memaksakan diri. Besok biarkan aku yang mengurus anak-anak, kamu istirahatlah."
Mary Ann mengangguk, tetapi ia tahu ini bukan sekadar kelelahan. Ada hal-hal lain, perubahan-perubahan kecil yang aneh. Cincin kawinnya, yang dulu bisa berputar bebas di jarinya, kini terasa sesak, meninggalkan bekas kemerahan di kulitnya. Sepatunya yang paling nyaman terasa menjepit jari-jarinya. Ia menyalahkan pembengkakan setelah kehamilan, cuaca yang lembap—alasan apa pun yang bisa ia temukan untuk menepis perasaan tidak nyaman yang terus-menerus mengganggunya.
Hingga suatu sore, saat ia berjalan melewati sebuah toko kain, ia melihat pantulan dirinya di kaca jendela yang besar. Untuk sesaat, jantungnya berhenti berdetak. Wanita yang balas menatapnya itu... asing. Wajahnya tampak lebih lebar, rahangnya lebih tegas dari yang ia ingat. Ia berhenti, menatap lebih dekat, tetapi pantulan itu terlalu kabur, terdistorsi oleh ketidaksempurnaan kaca. Ia menggelengkan kepalanya, menyebut dirinya konyol, lalu bergegas pulang, tetapi citra wanita asing itu terus membayanginya.
Perasaan bahwa tubuhnya mengkhianatinya semakin kuat. Tangannya terasa besar dan canggung. Ia menjatuhkan cangkir teh porselen kesayangannya, pecah berkeping-keping di lantai. Ia menatap tangannya sendiri seolah-olah itu milik orang lain, jari-jarinya tampak lebih tebal, buku-buku jarinya lebih menonjol.
Malam itu, setelah anak-anak tertidur dan Thomas masih di bawah membaca koran, Mary Ann menyalakan lilin dan berdiri di depan cermin di kamar tidur mereka. Dengan jantung berdebar kencang, ia memaksa dirinya untuk benar-benar melihat.
Bukan lagi ilusi atau pantulan sekilas. Wanita di cermin itu adalah dirinya, tetapi juga bukan. Tulang pipinya yang dulu lembut kini tampak lebih kasar. Alisnya menjorok ke depan, membuat matanya terlihat lebih kecil dan lebih dalam. Bibirnya tampak lebih tebal, dan hidungnya... hidungnya jelas lebih besar. Ini bukan wajah gadis yang dinikahi Thomas Bevan. Ini bukan wajah ibu yang dicium anak-anaknya setiap malam. Ini adalah topeng yang aneh dan kasar, yang perlahan-lahan menutupi dirinya yang sebenarnya.
Air mata panas mulai mengalir tanpa suara. Ia menyentuh kulitnya, merasakan tulang yang terasa berbeda di bawah ujung jarinya. Siapa aku? bisikan itu bergema di benaknya. Apa yang terjadi padaku?
Pintu berderit terbuka. Thomas masuk, senyumnya memudar saat melihat ekspresi istrinya. "Mary? Ada apa, Sayang?"
Ia tidak bisa menjawab. Isak tangis yang tertahan akhirnya pecah. Ia menunjuk ke cermin, ke wajah yang dibencinya. "Lihat aku, Thomas," bisiknya dengan suara serak. "Lihatlah. Aku... aku tidak mengenali diriku lagi."
Thomas berjalan mendekat dan berdiri di belakangnya, memeluknya dari belakang. Ia menatap pantulan mereka berdua di cermin. "Apa yang kamu bicarakan?" katanya lembut, suaranya penuh kebingungan yang tulus. "Aku hanya melihatmu. Mary-ku. Istriku yang cantik."
Ia membalikkan tubuh Mary Ann untuk menghadapnya, menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. "Kamu adalah wanita tercantik di dunia bagiku," katanya, menatap lurus ke matanya. "Tidak ada yang berubah."
Mary Ann ingin sekali memercayai kata-katanya. Ia sangat ingin melihat dirinya melalui mata Thomas. Tetapi saat ia menatap mata suaminya yang penuh cinta itu, ia juga melihat sesuatu yang lain di kedalamannya—sebuah kilatan kecil dari kebingungan yang sama yang ia rasakan. Sebuah pertanyaan yang tak terucapkan. Thomas mungkin tidak mau mengakuinya, tetapi ia juga melihatnya.
Dan kesadaran itu jauh lebih menakutkan daripada cermin mana pun. Ia tidak sendirian dalam melihat monster itu; ia hanya sendirian dalam kengeriannya. Kunjungan ke dokter beberapa minggu kemudian tidak memberikan jawaban, hanya mengangkat bahu dan saran untuk "lebih banyak istirahat."
Kabut itu kini telah menjadi bayangan yang nyata, bayangan yang jatuh di atas taman mereka, meredupkan warna bunga-bunga yang paling cerah sekalipun. Dan Mary Ann tahu, dengan kepastian yang menusuk hati, bahwa badai itu baru saja dimulai.
Bab 5: Kematian Sang Penjual Bunga
Tahun 1914 datang membawa angin yang berbeda. Bukan hanya bisik-bisik perang yang semakin kencang di seluruh Eropa, tetapi juga hawa dingin yang seolah meresap ke dalam tulang-tulang rumah keluarga Bevan. Taman mereka masih berbunga, tetapi warnanya tampak sedikit lebih pucat di bawah langit yang selalu kelabu. Penyakit Mary Ann bukan lagi sekadar bayangan; ia telah menjadi penghuni tetap di rumah mereka, seorang tamu tak diundang yang duduk di setiap meja makan dan terpantul di setiap jendela.
Tangannya kini begitu besar hingga ia kesulitan melakukan tugas-tugas sederhana seperti mengancingkan baju putrinya atau memegang jarum jahit. Wajahnya telah kehilangan sisa-sisa kelembutan terakhirnya, digantikan oleh gumpalan tulang yang kasar dan kulit yang menebal. Namun, di tengah perubahan yang mengerikan itu, Thomas tetap menjadi batu karangnya. Matanya masih menatap Mary Ann dengan cinta yang sama, bahkan jika terkadang Mary Ann menangkapnya sedang menatapnya dengan sorot sedih saat ia mengira istrinya tidak melihat.
"Jangan pernah berpikir cintaku bergantung pada apa yang bisa dilihat mata, Mary," kata Thomas suatu malam, saat ia menemukan Mary Ann menangis diam-diam di taman. Ia memeluk tubuh istrinya yang kini terasa lebih besar dan lebih padat. "Aku jatuh cinta pada hatimu. Dan hati itu tidak pernah berubah."
Kata-kata itu adalah pelampung di lautan ketidakpastian Mary Ann. Selama Thomas ada di sisinya, ia merasa bisa menanggung apa pun.
Badai itu datang pada hari Selasa. Thomas pulang dari pasar bunga lebih awal dari biasanya, wajahnya pucat pasi dan dahinya berkeringat meskipun udara sore itu sejuk. Ia mengeluh sakit di sekujur tubuhnya dan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang.
"Hanya flu biasa," katanya, mencoba tersenyum lemah saat Mary Ann membantunya berbaring di tempat tidur. "Pasar sangat ramai hari ini. Mungkin aku hanya kelelahan."
Mary Ann, dengan insting perawatnya yang terlatih, tahu ini bukan flu biasa. Ia merasakan panas yang tidak wajar dari kulit suaminya, mendengar suara serak dalam napasnya. Ia menyelimutinya, membuatkannya teh jahe panas, dan menyuruh anak-anak untuk bermain dengan tenang di lantai bawah. Namun, firasat buruk mencengkeram hatinya dengan erat.
Malam itu, kondisi Thomas memburuk dengan cepat. Demamnya melonjak tinggi, dan ia mulai mengigau, memanggil nama-nama bunga seolah-olah ia sedang menata sebuah karangan bunga besar. Mary Ann tidak tidur sedetik pun. Ia duduk di sampingnya, terus-menerus membasahi dahinya dengan kain lap dingin, tangannya yang besar dan canggung kini bergerak dengan ketepatan seorang perawat yang putus asa.
"Thomas, lihat aku," bisiknya, mencoba menembus kabut demam suaminya. "Bertahanlah, Sayang. Bertahanlah untukku dan anak-anak."
Menjelang fajar, demamnya turun sejenak. Matanya terbuka dan menjadi jernih. Ia menatap Mary Ann, sebuah senyum lemah tersungging di bibirnya yang pecah-pecah. Ia mengangkat tangannya yang gemetar dan menyentuh pipi Mary Ann.
"Tamanku yang paling indah," bisiknya dengan suara serak. "Jangan biarkan mereka layu."
Itu adalah kata-kata terakhirnya. Napasnya menjadi dangkal, dan beberapa saat kemudian, keheningan yang mengerikan menyelimuti ruangan. Keheningan yang hanya dipecahkan oleh isak tangis pertama Mary Ann yang pecah, suara seorang wanita yang dunianya baru saja hancur berkeping-keping.
Penjual bunga itu telah pergi.
Duka yang menyelimuti rumah itu begitu tebal hingga terasa sulit untuk bernapas. Anak-anak terlalu kecil untuk mengerti sepenuhnya, mereka hanya tahu bahwa ayah tidak lagi pulang di sore hari dengan aroma tanah dan bunga yang menempel di bajunya. Mereka hanya tahu bahwa ibu mereka kini bergerak seperti bayangan, matanya bengkak dan kosong.
Bagi Mary Ann, kematian Thomas lebih dari sekadar kehilangan seorang suami. Ia telah kehilangan cermin yang memantulkan dirinya yang sebenarnya. Ia telah kehilangan satu-satunya orang di dunia yang tatapannya bisa menembus topeng mengerikan yang dikenakannya dan melihat jiwa di baliknya.
Kini, ia sendirian. Seorang janda dengan empat anak yang harus diberi makan, tanpa sumber penghasilan, dan terperangkap di dalam tubuh yang terus mengkhianatinya. Ia berdiri di depan jendela, menatap taman mereka yang kini tampak liar dan tak terurus. Bunga-bunga mawar yang dulu mereka tanam bersama terkulai, kelopaknya berguguran seperti air mata. Surga kecil mereka telah runtuh, dan Mary Ann, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, merasa benar-benar, dan tanpa harapan, tersesat.
Bab 6: Wajah Asing di Depan Mata
Duka adalah pencuri. Ia tidak hanya mengambil orang yang kau cintai; ia juga mencuri suara dari sebuah rumah, warna dari sebuah taman, dan kehangatan dari sebuah tempat tidur. Rumah keluarga Bevan kini sunyi, diselimuti keheningan yang berat dan berdebu. Tawa anak-anak yang dulu bergema kini menjadi bisikan hati-hati, seolah-olah suara keras bisa menghancurkan ibu mereka yang sudah rapuh.
Bagi Mary Ann, cermin kini telah menjadi musuh terbesarnya. Selama Thomas hidup, tatapannya adalah perisai, melindunginya dari kebenaran yang terpantul di kaca. Kini, tanpa perisai itu, ia dipaksa untuk menghadapi kenyataan yang brutal dan tak terhindarkan setiap kali ia secara tidak sengaja menangkap bayangannya.
Transformasi fisiknya, yang dipercepat oleh stres dan kesedihan yang tak tertanggungkan, kini menjadi drastis. Wajahnya bukan lagi sekadar berubah; ia telah dibentuk ulang oleh kekuatan yang kejam dan tak terlihat. Rahangnya menonjol dengan sudut yang tajam, dahinya menebal, dan tangannya yang besar kini tampak seperti milik seorang buruh kasar, bukan seorang perawat. Suatu pagi, saat menyisir rambut putrinya, sang anak menatap pantulan mereka di cermin kecil.
"Mummy," bisik gadis kecil itu, jarinya yang mungil menunjuk ke kaca. "Kenapa wanita di cermin itu selalu terlihat sangat sedih?"
Jantung Mary Ann serasa diremas. Anaknya tidak melihat monster. Ia hanya melihat kesedihan ibunya yang terpantul pada wajah yang bahkan tidak ia kenali lagi sebagai wajah yang sama.
Ketika simpanan mereka yang sedikit mulai menipis, keputusasaan mulai mencengkeram. Mary Ann tahu ia harus mencari pekerjaan. Ia mencoba kembali ke bidang yang ia kuasai—merawat orang sakit. Namun, pintu demi pintu tertutup di depan wajahnya.
"Kami menghargai pengalaman Anda, Nyonya Bevan," kata seorang kepala perawat dengan tatapan yang tidak bisa menyembunyikan rasa jijiknya. "Tetapi, kami khawatir... penampilan Anda mungkin akan membuat pasien kami resah."
Ia mencoba pekerjaan lain: mencuci pakaian, membersihkan rumah, bekerja di dapur. Namun, reaksinya selalu sama. Bisikan-bisikan kejam mengikutinya di jalanan seperti sekawanan lebah. Para ibu akan menarik anak-anak mereka mendekat saat ia lewat. Pria-pria menatapnya dengan campuran rasa ingin tahu dan cemoohan. Setiap tatapan terasa seperti tamparan, setiap bisikan terasa seperti sayatan pisau kecil di hatinya yang sudah terluka.
Suatu sore, setelah seharian berjalan kaki mencari pekerjaan dan hanya mendapatkan penolakan, ia pulang dengan tangan hampa. Ia menemukan anak-anaknya duduk mengelilingi meja dapur, berbagi sepotong roti terakhir yang tersisa. Perut mereka keroncongan, tetapi mereka tidak mengeluh. Mereka hanya menatapnya dengan mata besar mereka yang penuh kepercayaan.
Malam itu, Mary Ann tidak bisa tidur. Ia berdiri di depan jendela, menatap jalanan yang kosong. Ia telah kehilangan suaminya. Ia telah kehilangan wajahnya. Dan kini, ia di ambang kehilangan rumahnya dan kemampuannya untuk memberi makan anak-anaknya. Rasa malu dan penghinaan yang ia rasakan sepanjang hari berkelahi dengan rasa cinta yang luar biasa terhadap empat kehidupan kecil yang tertidur di kamar sebelah.
Ia menangkupkan wajahnya dengan tangannya yang besar dan kasar, dan untuk pertama kalinya sejak Thomas meninggal, ia tidak menangis. Ia merasakan sesuatu yang lain—sebuah kekerasan yang dingin dan putus asa mulai mengeras di dalam dirinya. Dunia telah mengambil segalanya darinya, menghakiminya berdasarkan cangkang luarnya yang rusak. Jika dunia hanya ingin melihat wajahnya yang jelek, maka biarlah begitu. Jika wajah ini adalah satu-satunya hal yang ia miliki, maka ia akan menggunakannya. Ia akan menjualnya jika perlu. Demi anak-anaknya, ia akan menanggung penghinaan apa pun.
Bab 7: Iklan di Surat Kabar
Keputusasaan memiliki rasanya sendiri. Rasanya seperti abu di lidah, dingin dan pahit. Bagi Mary Ann, rasa itu telah menjadi teman setianya, menemaninya saat ia membagi sepotong roti menjadi empat bagian yang semakin kecil, saat ia menambal lubang di sepatu anaknya dengan kain bekas, dan saat ia berbaring di malam hari, mendengarkan perutnya sendiri yang keroncongan.
Suatu pagi yang basah dan kelabu, saat ia sedang membungkus sisa ikan dari makan malam kemarin dengan selembar surat kabar tua untuk tetangganya sebagai upah telah menjaga anak-anaknya, matanya menangkap sebuah kotak kecil di halaman belakang. Tulisannya dicetak tebal dengan tinta yang sedikit luntur.
DICARI: WANITA TERJELEK DI DUNIA.
Jantung Mary Ann seolah berhenti berdetak. Ia membaca kata-kata itu lagi, lalu sekali lagi. Itu bukan lelucon. Itu adalah sebuah iklan kontes yang nyata, menawarkan hadiah uang yang jumlahnya membuatnya pusing—cukup untuk membayar sewa selama berbulan-bulan, untuk mengisi lemari makan mereka hingga penuh, untuk membelikan anak-anaknya sepatu baru yang hangat.
HADIAH UANG TUNAI YANG BESAR! bunyi iklan itu dengan riang yang kejam. Tidak perlu bakat, hanya wajah yang tidak biasa! Kirimkan foto Anda ke alamat di bawah ini.
Mary Ann meremas koran itu di tangannya yang besar. Udara di sekelilingnya terasa menipis. Kata-kata itu melompat dari halaman, menari-nari di depan matanya, mengejeknya. Wanita Terjelek di Dunia. Gelar itu adalah gema dari bisikan-bisikan yang ia dengar di jalan, tatapan ngeri yang ia lihat di mata orang asing. Dunia telah memberinya label itu secara diam-diam selama bertahun-tahun; kini mereka menawarkannya secara resmi, dengan mahkota duri dan sekantong koin perak.
Ia melemparkan koran itu ke dalam perapian seolah-olah kertas itu beracun. Ia tidak akan melakukannya. Ia adalah Mary Ann Bevan, seorang perawat terhormat, istri dari Thomas Bevan. Ia memiliki harga diri. Ia tidak akan pernah merendahkan dirinya seperti itu.
Namun, malam itu, saat ia menyelimuti putri bungsunya, gadis kecil itu berbisik dengan suara mengantuk, "Mummy, aku lapar."
Dua kata itu menghantam Mary Ann lebih keras daripada tinju mana pun. Harga diri tidak bisa mengisi perut yang kosong. Kenangan akan martabat tidak bisa menghangatkan kaki yang kedinginan. Ia berbaring di tempat tidurnya yang dingin malam itu, perang berkecamuk di dalam jiwanya. Di satu sisi ada bayangan dirinya yang dulu—gadis cantik yang dinikahi Thomas. Apa yang akan dia katakan? pikirnya dengan putus asa. Dia akan ngeri.
Di sisi lain, ada wajah keempat anaknya, tertidur lelap, memercayainya sepenuhnya untuk melindungi mereka, untuk menyediakan kebutuhan mereka. Janji terakhir Thomas bergema di telinganya: Jangan biarkan mereka layu.
Air mata tidak datang. Ia sudah melewati batas tangisan. Yang ada hanyalah kekosongan yang dingin dan keputusan yang mengerikan mulai terbentuk. Ini bukan tentang dirinya lagi. Ini bukan tentang rasa malunya, atau harga dirinya yang hancur. Ini adalah tentang kelangsungan hidup.
Menjelang fajar, dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan koran yang hangus sebagian itu dari perapian. Ia meratakannya di atas meja dapur. Dengan gerakan lambat dan mekanis, ia mengambil satu-satunya foto dirinya yang tersisa dari masa setelah Thomas meninggal—sebuah foto paspor yang diambil dengan enggan, yang memperlihatkan wajahnya dengan jelas dan tanpa ampun.
Ia menatap foto itu untuk waktu yang lama. Wanita di foto itu tampak lelah dan kalah, matanya menanggung beban seluruh dunia. Ia membenci wanita itu. Ia membenci wajah itu. Tetapi wajah itu adalah satu-satunya senjata yang ia miliki.
Dengan napas yang tersengal-sengal, ia memasukkan foto itu ke dalam sebuah amplop, bersama dengan secarik kertas berisi namanya. Ia tidak menulis apa-apa lagi. Foto itu sudah mengatakan segalanya. Saat ia memasukkan amplop itu ke dalam kotak pos di sudut jalan yang sepi, rasanya seperti ia sedang mengirim sebagian dari jiwanya ke tiang gantungan. Ia telah membuat pilihannya. Ia akan menjual wajahnya untuk membeli masa depan bagi anak-anaknya.
Bab 8: Mahkota Duri
Surat balasan itu tiba seminggu kemudian. Amplopnya tipis dan murahan, namanya tertulis dengan mesin tik yang hurufnya sedikit miring. Tidak ada ucapan pembuka yang ramah, hanya perintah yang dingin dan lugas untuk datang ke sebuah alamat di Fleet Street pada hari yang ditentukan untuk "penilaian akhir".
Perjalanan ke sana terasa seperti berjalan menuju tiang gantungan. Mary Ann mengenakan gaunnya yang paling bagus—gaun yang sama yang ia kenakan saat pemakaman Thomas—dan sebuah topi tua yang pinggirannya ia tarik rendah untuk menutupi wajahnya. Setiap langkah di atas trotoar yang ramai terasa berat, setiap tatapan sekilas dari orang yang lewat terasa seperti cambukan. Ia adalah hantu di tengah keramaian, tak terlihat namun pada saat yang sama terlalu mencolok.
Alamat itu membawanya ke sebuah gedung kantor yang kusam. Ruang tunggu di lantai tiga kecil dan pengap, berbau debu dan keputusasaan. Ia tidak sendirian. Tiga wanita lain duduk di kursi-kursi kayu yang keras, masing-masing tenggelam dalam dunianya sendiri. Mereka tidak saling bicara, hanya berbagi keheningan yang canggung. Mary Ann bisa melihat cerita yang sama di mata mereka: suami yang telah tiada, anak-anak yang kelaparan, pilihan yang telah habis. Mereka bukan monster; mereka adalah para ibu yang terpojok.
Seorang wanita kurus di seberangnya menatap Mary Ann, sebuah pengakuan sedih melintas di matanya. "Untuk anak-anak?" bisiknya, suaranya serak.
Mary Ann hanya bisa mengangguk. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan.
Pintu terbuka, dan seorang pria berperut buncit dengan kumis tebal memanggil sebuah nama. Satu per satu, para wanita itu masuk, dan beberapa menit kemudian keluar lagi, wajah mereka lebih pucat dari sebelumnya. Akhirnya, tibalah giliran Mary Ann.
"Mary Ann Bevan," panggil pria itu, bahkan tanpa menatapnya.
Ruangan di dalamnya lebih kecil lagi. Tiga orang pria duduk di belakang meja panjang, tampak bosan dan tidak sabar. Asap cerutu menggantung di udara. Tidak ada panggung, tidak ada penonton, hanya penilaian yang dingin dan impersonal.
"Berdirilah di sana," kata salah satu pria, menunjuk ke sebuah titik di lantai yang ditandai dengan kapur. "Lihat ke depan."
Mary Ann berdiri kaku, tangannya terkepal di sisinya. Ia merasa seperti spesimen di bawah mikroskop, bukan manusia.
"Berputar. Pelan-pelan," perintah pria lain.
Ia berputar, setiap gerakannya terasa lamban dan berat. Ia bisa merasakan mata mereka menelusuri setiap jengkal dirinya, setiap perubahan pada tulang-tulangnya, setiap penebalan pada kulitnya. Mereka tidak melihat seorang janda atau seorang ibu. Mereka melihat sebuah komoditas.
"Cukup," kata pria pertama. Mereka berbisik-bisik sejenak, suara mereka berdengung seperti lalat.
Lalu, pria berkumis itu berdiri. Ia berdeham dan mengumumkan dengan nada datar seolah-olah sedang membacakan laporan cuaca, "Kontes ini dimenangkan oleh Nyonya Mary Ann Bevan."
Kata-kata itu menggantung di udara yang pengap. Dimenangkan. Seolah-olah ini adalah sebuah pencapaian. Pria itu berjalan ke arahnya dan menyerahkan sebuah amplop tebal berisi uang tunai.
"Selamat, Nyonya," katanya, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Anda resmi menjadi Wanita Terjelek di Dunia."
Gelar itu, yang diucapkan dengan lantang, terasa seperti pukulan fisik. Mary Ann tidak merasakan kemenangan, hanya kehampaan yang luar biasa. Ia menerima amplop itu, jari-jarinya yang besar terasa kaku di sekitar kertas. Uang itu terasa berat di tangannya, berat karena harga yang harus ia bayar.
Ia berjalan keluar dari ruangan itu, melewati para wanita lain yang menatapnya dengan campuran rasa kasihan dan mungkin sedikit kelegaan. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia berjalan pulang menyusuri jalanan London, mencengkeram amplop itu di dalam mantelnya seolah-olah itu adalah jantungnya sendiri.
Malam itu, setelah anak-anaknya makan malam dengan kenyang untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu—daging panggang, kentang, dan bahkan sepotong kue kecil—dan tertidur dengan perut penuh, Mary Ann duduk sendirian di dapur yang gelap. Sisa uang tergeletak di atas meja, tumpukan kertas yang rapi dan sunyi.
Ia menatap tangannya, tangan yang sama yang dulu merawat orang sakit, yang membelai rambut Thomas, yang menggendong bayi-bayinya. Tangan ini sekarang telah digunakan untuk menandatangani penjualan martabatnya. Ia telah memenangkan pertempuran melawan kelaparan, tetapi ia merasa telah kehilangan perang untuk jiwanya. Mahkota duri itu kini telah terpasang dengan kuat di kepalanya, dan ia tahu, ia akan memakainya selamanya.
Bab 9: Tirai Panggung Terbuka
Uang hadiah itu habis lebih cepat dari yang dibayangkan. Uang itu seperti air yang dituangkan ke tanah yang kering kerontang—diserap seketika oleh hutang sewa, tagihan tukang roti, dan sepasang sepatu baru untuk putranya yang solnya sudah menganga. Untuk sesaat, kehidupan terasa normal. Rumah itu kembali hangat, dan aroma masakan kembali menguar dari dapur. Namun, di bawah kelegaan yang sementara itu, sebuah kecemasan yang dingin terus mengintai. Tumpukan koin di dalam kaleng biskuit semakin menipis setiap hari, dan Mary Ann tahu, waktu yang ia beli dengan martabatnya hampir habis.
Pada suatu sore yang berangin, ketukan di pintu depan rumahnya terdengar asing—terlalu tegas dan percaya diri untuk seorang pedagang keliling. Di ambang pintu berdiri seorang pria berpakaian necis dengan mantel wol tebal dan topi bowler. Ia memiliki kumis yang dipilin rapi dan mata kecil yang tajam, yang menilainya dengan cepat dan tanpa emosi.
"Nyonya Mary Ann Bevan?" tanyanya, suaranya halus seperti minyak. "Nama saya Sam Hyland. Boleh saya masuk sebentar?"
Mary Ann ragu-ragu, tetapi pria itu memancarkan aura otoritas yang membuatnya menyingkir. Di dalam ruang tamunya yang sederhana, Hyland tampak tidak pada tempatnya, seperti seekor burung gagak di antara burung-burung gereja.
"Saya membaca tentang Anda di surat kabar, Nyonya," Hyland memulai, langsung ke intinya. "Tentang kontes itu. Saya seorang pengusaha di bidang hiburan. Saya mengelola pertunjukan keliling."
Jantung Mary Ann mulai berdebar kencang. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Saya tidak tertarik," katanya dengan cepat, suaranya lebih tajam dari yang ia maksudkan.
Hyland tersenyum, senyum yang tidak mencapai matanya. "Nyonya Bevan, saya bukan di sini untuk menghina Anda. Saya di sini untuk menawarkan Anda sebuah kehidupan. Sebuah cara untuk memastikan anak-anak Anda tidak akan pernah kelaparan lagi. Orang-orang akan menatap Anda di jalan, itu tak terhindarkan. Pertanyaannya adalah, apakah Anda akan membiarkan mereka menatap secara gratis, atau Anda akan membuat mereka membayarnya?"
"Anda ingin saya... memamerkan diri saya sendiri?" bisik Mary Ann, rasa mual naik ke tenggorokannya. "Seperti binatang di kebun binatang?"
"Saya ingin Anda menjadi seorang penampil, Nyonya Bevan. Seorang profesional," Hyland mengoreksi dengan lembut. "Anda tidak akan melakukan apa-apa. Anda hanya akan duduk. Seorang pembawa acara akan menceritakan kisah Anda—kisah tragis seorang ibu yang berkorban demi anak-anaknya. Orang-orang akan bersimpati. Mereka akan menangis. Dan mereka akan dengan senang hati membayar untuk merasakan simpati itu."
Kata-katanya begitu memutarbalikkan dan manipulatif hingga Mary Ann merasa pusing. Ia menatap Hyland, pria yang melihat penderitaannya dan hanya melihat keuntungan. "Tidak," katanya dengan tegas. "Silakan pergi dari rumah saya."
Hyland menghela napas, kesabarannya yang dibuat-buat menipis. "Baiklah. Tapi pikirkan ini: uang hadiah itu akan habis. Lalu apa? Siapa yang akan mempekerjakan Anda? Tukang daging tidak akan memberi Anda kredit karena Anda pernah menjadi istri yang baik. Tuan tanah tidak akan membiarkan Anda tinggal karena Anda adalah ibu yang penyayang. Dunia ini kejam, Nyonya Bevan. Saya menawarkan Anda satu-satunya sekoci yang akan pernah Anda temukan."
Setelah Hyland pergi, kata-katanya yang berbisa tetap tertinggal, meracuni udara. Mary Ann mencoba mengabaikannya, tetapi setiap kali ia melihat tumpukan koin yang semakin menipis, setiap kali putrinya bertanya kapan mereka bisa makan daging lagi, kata-kata Hyland kembali bergema.
Seminggu kemudian, dengan kaleng biskuit yang hampir kosong, Mary Ann berjalan ke alamat kantor Hyland dan menerima tawarannya.
Pertunjukan pertamanya diadakan di sebuah panggung reyot di pinggiran sebuah pekan raya yang berlumpur. Di belakang panggung, di dalam tenda yang berbau kanvas basah dan serbuk gergaji, Mary Ann duduk membeku. Ia mengenakan gaun hitam yang disediakan Hyland, gaun yang membuatnya tampak lebih besar dan lebih menyedihkan.
Dari luar ia bisa mendengar suara pembawa acara, suaranya yang keras dan bersemangat membumbui kisah hidupnya. "...seorang perawat yang berbakti, seorang istri yang setia, dirusak oleh penyakit misterius! Ditinggalkan oleh dunia, ia kini mempersembahkan dirinya demi anak-anaknya yang tercinta! Saksikanlah, para tuan dan nyonya, Wanita Paling Tragis dan Terjelek di Dunia!"
Tirai disibakkan. Cahaya lampu minyak yang menyilaukan menerpa wajahnya. Di depannya, lautan wajah menatapnya—penasaran, ngeri, kasihan. Ia bisa mendengar bisikan mereka, tawa kecil yang tertahan. Untuk sesaat, ia merasa akan pingsan. Rasa malu yang membakar mengancam akan menelannya hidup-hidup.
Lalu, sesuatu terjadi di dalam dirinya. Sebuah pintu tertutup. Ia menatap kerumunan itu, tetapi ia tidak lagi melihat mereka. Di benaknya, ia berada di tempat lain. Ia berada di tamannya, duduk di bangku kayu bersama Thomas, merasakan hangatnya sinar matahari di wajahnya. Ia bisa mendengar tawa anak-anaknya yang bermain di antara bunga mawar.
Ia duduk di sana, tak bergerak, matanya kosong, sementara dunia menatap dan menghakiminya. Di luar, ia adalah tontonan. Tetapi di dalam, di satu-satunya tempat yang tidak bisa mereka sentuh, ia adalah Mary Ann. Seorang ibu. Seorang istri. Ia belajar pada malam pertama itu bagaimana cara memisahkan diri. Itu adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup.
Ketika tirai akhirnya ditutup, ia tetap duduk di sana sejenak, sebelum perlahan-lahan kembali ke tenda yang dingin dan bau. Hyland menemuinya, senyum puas di wajahnya, dan menyelipkan beberapa koin ke tangannya yang kaku. Uang itu hangat karena baru dicetak. Nyata. Dan saat ia mencengkeramnya, Mary Ann tahu bahwa ia telah menjual lebih dari sekadar wajahnya malam itu. Ia telah menjual keheningannya.
Bab 10: Dermaga Harapan dan Kesedihan
Kehidupan dalam pertunjukan keliling adalah sebuah rutinitas yang mematikan jiwa. Setiap kota baru membawa panggung reyot yang sama, tenda berbau apak yang sama, dan lautan wajah yang sama—semuanya menatapnya dengan campuran rasa ngeri dan kasihan yang kini sudah begitu akrab. Uang yang ia hasilkan cukup untuk bertahan hidup, tetapi tidak lebih. Setiap sen yang ia kirimkan ke rumah terasa seperti setetes air di gurun pasir, cukup untuk mencegah anak-anaknya layu, tetapi tidak cukup untuk membuat mereka berkembang.
Sam Hyland melihatnya. Ia melihat kelelahan di mata Mary Ann, keputusasaan yang tersembunyi di balik sikap diamnya. Dan seperti pemangsa yang baik, ia melihat sebuah peluang.
"Inggris terlalu kecil untukmu, Mary," katanya suatu sore, saat mereka berkemas di sebuah kota pertambangan yang suram. "Ceritamu lebih besar dari pekan raya berlumpur ini. Di Amerika... di sanalah panggung yang sesungguhnya berada."
Mary Ann terus melipat pakaian anak-anaknya yang sudah usang, tidak menatapnya. "Anak-anakku ada di sini."
"Tepat sekali," kata Hyland, suaranya menjadi lebih lembut, lebih persuasif. "Dan mereka pantas mendapatkan lebih dari sekadar cukup. Mereka pantas mendapatkan sekolah yang bagus, rumah yang hangat, masa depan. Aku mendapat tawaran dari Coney Island, dari Dreamland. Dan setelah itu, mungkin Ringling Bersaudara. Ini bukan lagi soal koin, Mary. Ini soal uang kertas. Uang yang bisa mengubah hidup. Uang yang bisa membelikan anak-anakmu masa depan yang tidak pernah bisa kau berikan jika kau tetap di sini."
Amerika. Nama itu terdengar seperti dunia lain, sebuah tempat di ujung bumi. Meninggalkan Inggris saja sudah menakutkan; meninggalkan anak-anaknya adalah hal yang tak terbayangkan.
"Tidak," bisiknya. "Aku tidak akan meninggalkan mereka."
"Kau tidak akan meninggalkan mereka," Hyland membalas dengan cepat. "Kau akan menyelamatkan mereka. Pikirkanlah. Mereka akan ditempatkan di panti asuhan yang bagus, atau dititipkan pada kerabat. Mereka akan aman. Mereka akan diberi makan. Dan setiap minggu, kau akan mengirimkan uang yang lebih dari cukup untuk memastikan mereka mendapatkan yang terbaik. Ini adalah pengorbanan, Mary. Pengorbanan terbesar yang bisa dilakukan seorang ibu. Bukan untuk dirimu sendiri, tapi untuk mereka."
Kata-kata Hyland adalah racun yang dibalut madu. Mary Ann membencinya karena telah mengucapkan pikiran-pikiran tergelapnya dengan lantang. Ia tahu pria itu benar. Di sini, di Inggris, ia hanya bisa memberi mereka kehidupan dari hari ke hari. Dari seberang lautan, ia bisa memberi mereka kehidupan yang sesungguhnya.
Keputusan itu merobek-robek sisa-sisa hatinya. Selama berminggu-minggu, ia bergulat dengannya di malam-malam tanpa tidur. Akhirnya, dengan berat hati yang terasa seperti batu di dadanya, ia setuju.
Hari perpisahan itu tiba di bawah langit kelabu yang menangis gerimis. Dermaga Southampton adalah tempat yang sibuk dan bising, dipenuhi uap dari cerobong kapal raksasa, teriakan para buruh pelabuhan, dan bau asin laut yang bercampur dengan bau batu bara. Bagi Mary Ann, semua itu hanyalah latar belakang yang kabur bagi drama paling menyakitkan dalam hidupnya.
Ia berlutut di atas papan kayu yang basah, mencoba menghafal setiap detail wajah anak-anaknya. Rambut pirang putrinya, noda kecil di hidung putranya. Ia memeluk mereka satu per satu, erat sekali, mencoba menyerap kehangatan mereka untuk bekal perjalanan panjang yang dingin.
"Mummy akan pergi bekerja di tempat yang sangat jauh," ia menjelaskan kepada yang lebih kecil, suaranya bergetar hebat hingga ia hampir tidak bisa berbicara. "Tapi Mummy akan mengirimkan surat dan hadiah. Dan Mummy akan selalu mencintai kalian lebih dari apa pun di dunia ini."
Putra sulungnya, yang sudah cukup besar untuk memahami sebagian dari kebenaran, hanya menatapnya dengan mata yang terlalu dewasa untuk usianya. "Kau akan kembali, kan, Bu?" tanyanya dengan suara pelan.
"Tentu saja, Sayang," jawab Mary Ann, sebuah kebohongan yang terasa seperti belati di jantungnya. "Aku berjanji."
Saat peluit kapal berbunyi, menandakan keberangkatan terakhir, seorang kerabat dengan lembut menarik anak-anak menjauh darinya. Tangan-tangan kecil mereka terlepas dari genggamannya. Itu adalah rasa sakit fisik yang nyata, seolah-olah sebagian dari tubuhnya telah diamputasi.
Ia naik ke kapal, kakinya bergerak secara mekanis. Dari geladak, ia melihat empat sosok kecil di dermaga, semakin kecil dan semakin kecil saat kapal perlahan menjauh. Mereka melambaikan tangan, dan ia melambaikan tangan kembali, air mata mengalir deras di pipinya, bercampur dengan gerimis.
Ia terus berdiri di sana, lama setelah sosok mereka hilang ditelan kabut dan jarak, menatap garis pantai Inggris yang perlahan-lahan surut dan menghilang. Ia kini sendirian di tengah lautan luas, berlayar menuju takdir yang tidak ia inginkan, meninggalkan satu-satunya harta yang ia miliki di dunia. Dermaga itu bukan lagi dermaga harapan; itu adalah dermaga kesedihan, tempat ia mengorbankan hatinya demi masa depan mereka.
Bab 11: Surat dari Seberang Lautan
Ruang ganti Mary Ann di Coney Island lebih mirip lemari daripada ruangan. Letaknya di belakang panggung utama, sebuah bilik sempit yang dindingnya terbuat dari papan kayu tipis. Udara di dalamnya pengap, berbau keringat, riasan murahan, dan keputusasaan yang samar. Dari luar, suara riuh rendah dari kerumunan, musik organ yang melengking, dan teriakan pembawa acara yang menggelegar terus-menerus merembes masuk, pengingat konstan akan dunia tempat ia sekarang tinggal.
Di sinilah, di antara pertunjukan, Mary Ann menjalani kehidupannya yang sebenarnya. Setelah tirai ditutup dan ia bisa melepaskan diri dari ratusan pasang mata yang menatap, ia akan kembali ke bilik ini, menutup pintu tipis itu, dan untuk beberapa saat yang berharga, ia bukan lagi "Wanita Terjelek di Dunia". Ia kembali menjadi seorang ibu.
Satu-satunya perabot di ruangan itu adalah sebuah kursi reyot dan sebuah peti kecil. Di dalam peti itu, di bawah beberapa helai pakaiannya yang sederhana, terdapat sebuah kotak kayu kecil yang sudah usang. Kotak ini adalah hartanya yang paling berharga, relik sucinya. Di dalamnya tersimpan surat-surat dari Inggris.
Dengan tangan yang sedikit gemetar karena kelelahan, ia akan membuka kotak itu. Aroma kertas surat yang tipis dan tinta yang samar akan menguar, membawanya melintasi ribuan mil lautan dalam sekejap. Ia akan mengambil surat terbaru, yang kertasnya sudah lecek karena dibaca berulang kali, dan membacanya lagi di bawah cahaya lampu bohlam yang redup.
Ibu tersayang,
Terima kasih untuk uangnya. Pengasuh bilang kami bisa membeli sepatu bot baru untuk musim dingin. Sepatu bot-ku sudah berlubang. Sekolah baik-baik saja. Aku mendapat nilai bagus dalam pelajaran berhitung. Adik-adik baik-baik saja. Jane kehilangan satu gigi lagi. Kapan Ibu akan pulang? Teman-temanku bertanya kapan mereka bisa bertemu denganmu. Aku bilang segera.
Putramu, William
Setiap kata dari putranya adalah tusukan manis di hatinya. Kebanggaan atas nilai berhitungnya, kepedihan karena sepatu botnya yang berlubang, dan pertanyaan yang selalu sama, yang paling sulit dijawab: Kapan Ibu akan pulang?
Di samping surat William, ada secarik kertas lain dengan tulisan tangan yang lebih kekanak-kanakan, dihiasi gambar bunga yang miring.
Untuk Mummy, aku merindukanmu. Aku punya teman baru namanya Lily. Kami bermain lompat tali. Aku sayang Mummy. Cepat pulang.
Cintamu, Mary
Mary Ann akan menempelkan kertas-kertas itu ke pipinya, mencoba merasakan sisa-sisa sentuhan tangan anak-anaknya di atasnya. Surat-surat ini adalah bahan bakarnya. Surat-surat inilah yang memberinya kekuatan untuk berjalan keluar dari bilik itu dan duduk di atas panggung lagi, menahan tatapan dan bisikan untuk satu pertunjukan lagi, satu hari lagi.
Kemudian, ia akan mengeluarkan kertas suratnya sendiri dan sebatang pensil tumpul. Menulis surat balasan adalah tugas yang paling sulit sekaligus paling penting dalam hidupnya. Ia harus menimbang setiap kata, membangun sebuah dunia kebohongan yang indah untuk melindungi mereka dari kebenarannya yang buruk.
Anak-anakku tersayang,
Ibu sangat senang mendengar kabar kalian semua. William, Ibu sangat bangga dengan nilai berhitungmu! Teruslah belajar dengan giat. Dan Mary, gambar bungamu indah sekali, sama seperti bunga di taman kita dulu. Ibu menempelkannya di dinding di sini agar Ibu bisa melihatnya setiap hari.
Pekerjaan Ibu di sini baik-baik saja. Sangat sibuk. Ibu bekerja di sebuah tempat yang sangat besar dengan banyak orang. Ibu banyak duduk dan membantu orang-orang merasa lebih baik, sedikit seperti saat Ibu masih menjadi perawat. Amerika adalah tempat yang sangat besar dan berisik, tetapi orang-orangnya baik.
Ibu mengirimkan sedikit uang lagi. Gunakan untuk membeli sesuatu yang bagus untuk kalian semua. Ibu merindukan kalian semua setiap detik, lebih dari yang bisa diungkapkan oleh kata-kata. Jadilah anak yang baik untuk pengasuh kalian, dan saling menjaga. Ibu akan segera pulang, secepat yang Ibu bisa. Ibu berjanji.
Dengan segenap cinta di dunia, Mummy
Ia melipat surat itu dengan hati-hati. Setiap kebohongan kecil—"membantu orang-orang merasa lebih baik," "orang-orangnya baik"—terasa seperti pengkhianatan kecil, tetapi ia tahu itu perlu. Ia tidak bisa menulis: Pekerjaan Ibu adalah duduk diam sementara orang-orang menertawakan wajah Ibu. Ia tidak bisa menulis: Amerika adalah tempat yang sepi di mana tidak ada yang benar-benar melihat Ibu.
Ia memasukkan surat itu ke dalam amplop, menuliskan alamat di Inggris dengan tulisan tangan yang rapi. Surat ini adalah jembatan rapuh yang terbentang di atas lautan, satu-satunya penghubungnya dengan jiwa-jiwanya. Saat ia menyegel amplop itu, suara pembawa acara kembali terdengar dari luar, memanggil namanya. Waktunya istirahat telah usai.
Dengan berat hati, ia meletakkan surat-surat anak-anaknya kembali ke dalam kotak kayu, menutupnya rapat-rapat seolah-olah sedang mengunci hatinya. Ia berdiri, merapikan gaunnya, dan menarik napas dalam-dalam. Saat ia membuka pintu dan melangkah keluar menuju cahaya panggung yang menyilaukan, wajahnya kembali menjadi topeng kosong. Ia kembali menjadi tontonan. Tetapi di dalam hatinya, ia membawa kata-kata dari seberang lautan, sebuah pengingat akan siapa dirinya sebenarnya dan untuk siapa ia menanggung semua ini.
Bab 12: Di Balik Gemerlap Sirkus
Dunia di balik tirai beludru merah yang kumal adalah sebuah kerajaan yang aneh, dihuni oleh orang-orang yang telah dilupakan atau dibuang oleh dunia luar. Udara di sini adalah campuran yang memabukkan dari bau serbuk gergaji, keringat, bulu binatang, dan aroma manis popcorn basi yang meresap ke dalam segala hal. Ini adalah dunia bayangan, tempat para "keajaiban alam" melepaskan senyum panggung mereka dan kembali menjadi manusia biasa yang lelah.
Pada awalnya, Mary Ann menjaga jarak. Ia akan duduk sendirian di sudut, makan roti lapisnya dalam diam, dan menghindari tatapan mata penghuni lain di dunia liminal ini. Baginya, mereka adalah bagian dari mimpi buruk yang ia jalani—pengingat akan apa dirinya sekarang. Ada Lionel, si Manusia Berwajah Singa, yang di waktu senggangnya membaca puisi dengan suara yang mengejutkan lembut. Ada si Kembar Hilton, Daisy dan Violet, yang dirantai oleh takdir dan pinggul, bertengkar tentang hal-hal sepele dengan kepahitan sepasang suami istri yang sudah lama menikah. Dan ada Arthur, sang Raksasa dari Belgia, seorang pria setinggi delapan kaki yang gerakannya lamban dan hati-hati, seolah-olah takut merusak dunia yang terlalu kecil untuknya.
Merekalah yang pertama kali mendekatinya. Bukan dengan rasa ingin tahu yang kejam seperti para penonton, tetapi dengan pemahaman yang tenang.
Suatu malam, setelah pertunjukan yang sangat melelahkan di mana seorang penonton mabuk melemparkan kacang ke arahnya, Mary Ann duduk gemetar di biliknya, mencoba menahan isak tangis yang membakar tenggorokannya. Pintu biliknya berderit terbuka. Arthur sang Raksasa berdiri di sana, menunduk agar kepalanya tidak terbentur kusen pintu. Di tangannya yang besar, ia memegang sebuah cangkir porselen yang tampak seperti mainan.
"Eleanor bilang Anda mungkin mau secangkir teh," katanya dengan suara rendah yang dalam, seperti gemuruh yang menenangkan. Eleanor adalah Wanita Berjenggot, seorang wanita bertubuh besar dengan tatapan tajam yang seolah menjadi ibu pemimpin tidak resmi bagi kelompok mereka.
Mary Ann menatapnya, terkejut oleh kebaikan yang sederhana itu. Ia mengangguk, tidak dapat berbicara. Arthur meletakkan cangkir itu dengan hati-hati di peti kecilnya.
"Jangan dengarkan mereka," kata Arthur pelan. "Mereka tidak melihat kita. Mereka hanya melihat cermin dari ketakutan mereka sendiri."
Malam itu adalah sebuah permulaan. Perlahan-lahan, Mary Ann membiarkan dinding pertahanannya runtuh. Ia mulai bergabung dengan mereka di meja panjang di belakang panggung, berbagi makanan dan cerita. Ia menemukan bahwa di antara orang-orang yang dipinggirkan ini, ia tidak perlu menjelaskan apa pun. Mereka semua berbicara dalam bahasa yang sama: bahasa rasa sakit, ketahanan, dan humor gelap yang lahir dari penderitaan.
"Kau tahu apa yang lucu?" kata Eleanor suatu malam, sambil mengelus jenggotnya yang lebat. "Di luar sana, mereka menyebut kita monster. Tapi aku telah melihat lebih banyak monster di antara penonton yang mengenakan setelan bagus daripada di belakang panggung ini."
Mereka akan tertawa, sebuah tawa yang sedikit pahit tetapi tulus. Mereka saling menjaga. Arthur akan memastikan tidak ada yang mengganggu Mary Ann. Eleanor akan memberinya salep untuk kakinya yang bengkak. Lionel akan membacakan soneta Shakespeare untuk menghibur mereka semua.
Dalam komunitas yang aneh ini, Mary Ann menemukan sebuah bentuk persahabatan yang tidak pernah ia duga. Mereka adalah keluarga yang terbentuk bukan karena darah, tetapi karena penolakan bersama dari dunia. Mereka adalah pulau bagi orang-orang buangan.
Namun, di bawah kehangatan persahabatan itu, arus kesedihan yang dalam terus mengalir. Setiap malam, setelah tawa mereda dan mereka semua kembali ke karavan atau bilik mereka yang sempit, kesunyian akan kembali. Mary Ann akan berbaring dalam kegelapan, dan ia tidak lagi melihat wajah Arthur atau Eleanor. Ia melihat wajah anak-anaknya.
Persahabatan ini adalah pelipur lara, tetapi juga pengingat yang kejam. Ia berada di sini, di antara para "keajaiban," karena ia telah meninggalkan keajaibannya yang sesungguhnya ribuan mil jauhnya. Komunitas ini adalah sangkar yang nyaman, tetapi tetap saja sebuah sangkar. Dan setiap malam, saat ia memejamkan mata, ia akan mendengar gema janji yang ia buat di dermaga: Aku akan segera pulang. Sebuah janji yang terasa semakin mustahil setiap harinya.
Bab 13: Raga yang Lelah
Waktu adalah erosi yang lambat. Ia mengikis batu yang paling keras sekalipun, dan tubuh Mary Ann bukanlah batu. Tahun-tahun yang dihabiskan di bawah sorotan lampu yang keras, duduk di kursi yang tidak nyaman, dan melakukan perjalanan tanpa akhir di gerbong kereta yang berderak-derak telah menuntut bayarannya. Penyakit yang telah merenggut wajahnya kini mulai menggerogoti sisa-sisa tubuhnya dengan kebrutalan yang sunyi.
Setiap pagi adalah sebuah pertempuran. Persendian di tangan dan lututnya terasa seperti berkarat, kaku dan nyeri. Butuh beberapa menit hanya untuk bisa mengepalkan tangannya atau menekuk kakinya tanpa meringis kesakitan. Napasnya seringkali pendek, dan terkadang, jantungnya berdebar dengan irama yang aneh dan menakutkan di dalam dadanya, seolah-olah mesin di dalam tubuhnya mulai kehabisan tenaga.
Namun, rasa sakit yang paling dalam bukanlah yang bersifat fisik. Itu adalah kelelahan yang meresap hingga ke tulang sumsumnya, kelelahan jiwa. Wajah-wajah di kerumunan kini telah melebur menjadi satu massa kabur yang tak berbentuk. Tatapan mereka, bisikan mereka, tawa mereka—semuanya telah menjadi suara latar yang monoton dalam hidupnya. Panggung bukan lagi tempat yang menakutkan; ia telah menjadi tempat yang membosankan, sebuah penjara yang ia masuki dua kali sehari.
Suatu sore di Ohio, saat sirkus didirikan di dekat sebuah taman kota, ia melihat pemandangan yang menghancurkan hatinya. Seorang ibu muda, seusia Mary Ann saat ia menikah, sedang mendorong ayunan untuk putrinya yang tertawa riang. Sinar matahari sore menyinari rambut mereka, mengubahnya menjadi emas. Pemandangan yang begitu sederhana, begitu biasa, namun bagi Mary Ann, itu adalah sebuah kemewahan yang tak terjangkau, sebuah pengingat yang menyakitkan akan semua yang telah ia korbankan. Ia harus memalingkan muka, rasa rindu yang tajam menusuknya begitu dalam hingga ia sulit bernapas.
Malam itu, ia duduk bersama Eleanor di belakang tenda utama. Wanita Berjenggot itu sedang menjahit kancing yang lepas di salah satu kostumnya.
"Aku lelah, Eleanor," kata Mary Ann pelan, suaranya serak. "Bukan hanya lelah di tubuhku. Aku lelah di dalam jiwaku."
Eleanor berhenti menjahit dan menatapnya dengan mata bijaknya. "Kita semua begitu, Sayang. Tempat ini memakan jiwamu sedikit demi sedikit setiap hari, dan membayarmu dengan koin."
"Aku terus menabung," lanjut Mary Ann, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Eleanor. "Setiap sen. Suatu hari nanti, aku akan punya cukup uang. Aku akan membeli tiket kapal itu dan pulang. Aku akan melihat anak-anakku lagi."
Eleanor menghela napas, sebuah suara yang sarat dengan kesedihan yang tak terucapkan. "Aku harap kau bisa, Mary. Sungguh. Tapi jangan lupa, waktu juga pencuri. Pastikan kau pulang ke sesuatu yang masih kau kenali."
Kata-kata itu menghantui Mary Ann. Di dalam peti kecilnya, ia menyimpan tumpukan foto yang dikirim dari Inggris. Foto-foto itu adalah sumber kegembiraan dan siksaan terbesarnya. Ia melihat anak-anaknya tumbuh dari balita menjadi anak-anak, lalu menjadi remaja muda, semua dalam gambar dua dimensi yang sunyi. Ia melihat putra sulungnya mengenakan setelan pertamanya, putrinya dengan rambut yang dikepang untuk hari sekolah. Mereka tersenyum ke arah kamera, tetapi mata mereka adalah mata orang asing. Ia tidak tahu suara mereka sekarang, atau lelucon apa yang membuat mereka tertawa.
Malam itu, di dalam karavannya yang sempit, ia mengeluarkan semua uang yang telah ia simpan, menyembunyikannya di dalam lapisan gaunnya. Uang kertas yang lecek dan koin yang berat. Itu adalah hasil dari ribuan jam penghinaan. Setiap lembar adalah harga dari tatapan, setiap koin adalah harga dari bisikan. Ia menghitungnya lagi dan lagi, seolah-olah tindakan itu bisa membuatnya lebih dekat dengan tujuannya.
Ia menatap foto terbaru anak-anaknya yang berdiri canggung di depan sebuah dinding bata. Mereka tampak sehat. Mereka tampak bahagia. Pengorbanannya telah berhasil. Mereka tidak layu.
Tetapi saat ia menatap wajah-wajah yang nyaris tidak ia kenali itu, sebuah pertanyaan dingin merayap ke dalam hatinya. Apakah ini sepadan? Ia telah memberi mereka masa depan, tetapi ia telah kehilangan masa kini mereka. Ia telah membeli kelangsungan hidup mereka dengan ketidakhadirannya. Dan saat ia berbaring dalam kegelapan, mendengarkan suara jangkrik di luar dan detak jantungnya yang tidak menentu di dalam, ia merasa seperti seorang hantu, terjebak di antara dua dunia—dunia yang telah hilang darinya, dan dunia yang tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.
Bab 14: Bunga Abadi
Tahun 1933 tiba di Coney Island dengan hawa yang lebih dingin dari biasanya. Depresi Hebat telah menyelimuti Amerika, dan bahkan gemerlap palsu dari Dreamland terasa redup dan putus asa. Kerumunan orang semakin sedikit, dan tawa mereka terdengar lebih kosong. Bagi Mary Ann, dunia luar tidak banyak berubah; dunianya telah lama menjadi kelabu. Namun, kini tubuhnya sendiri telah menjadi musim dingin yang abadi.
Rasa sakit adalah teman setianya, denyut yang konstan di persendiannya, sesak yang menekan di dadanya. Berjalan dari karavannya ke panggung utama kini terasa seperti mendaki gunung. Namun, ia terus berjalan. Setiap hari, dua kali sehari. Uang harus terus dikirim. Janji harus terus ditepati.
Teman-temannya di belakang panggung melihatnya. Mereka melihat bagaimana kulitnya menjadi lebih pucat, bagaimana napasnya menjadi lebih dangkal. Arthur sang Raksasa akan sering berjalan di sisinya, lengannya yang besar siap menopangnya jika ia terhuyung. Eleanor akan memastikan ia memiliki selimut terhangat di malam hari.
"Kau harus berhenti, Mary," kata Eleanor suatu malam, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tulus. "Kau sudah cukup berkorban."
Mary Ann hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah, senyum tipis tersungging di bibirnya yang tebal. "Hampir, Eleanor. Sedikit lagi."
Ia tahu waktunya tidak banyak lagi. Ia bisa merasakannya di dalam tulangnya, sebuah kelelahan yang begitu dalam hingga tidak ada tidur yang bisa menyembuhkannya. Ia tidak takut mati. Terkadang, ia bahkan merindukannya sebagai sebuah kelegaan. Satu-satunya ketakutannya adalah mati di tanah asing ini, ribuan mil dari rumah.
Pada suatu malam di akhir musim gugur, saat angin laut yang dingin bertiup melalui celah-celah tenda sirkus, Mary Ann merasa sangat lemah. Arthur harus membantunya berjalan ke panggung untuk pertunjukan terakhir. Saat ia duduk di kursinya yang sudah biasa, di bawah sorotan lampu yang menyilaukan, sesuatu terasa berbeda.
Ia tidak lagi mendengar suara pembawa acara yang menggelegar atau bisikan penonton. Semua itu memudar menjadi dengungan yang jauh. Sebaliknya, ia mendengar suara lain. Ia mendengar tawa anak-anaknya yang bergema di sebuah taman di London. Ia bisa mencium aroma mawar dan tanah basah setelah hujan. Ia melihat Thomas berjalan ke arahnya, tersenyum, dengan sekuntum bunga lili di tangannya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia tidak merasakan sakit. Ia tidak merasakan malu. Ia hanya merasakan kedamaian.
Ketika tirai ditutup, ia tidak bergerak. Arthur-lah yang dengan lembut mengangkatnya dari kursi dan menggendongnya kembali ke karavannya, tubuhnya terasa ringan secara tidak wajar di lengan raksasa itu.
Malam itu, ia meninggal dalam tidurnya. Ia ditemukan keesokan paginya oleh Eleanor, terbaring dengan tenang di ranjangnya yang sempit. Di tangannya yang besar, ia menggenggam erat sebuah foto yang sudah usang—foto empat orang anak yang tersenyum canggung ke arah kamera dari seberang lautan. Wajahnya, bahkan dalam kematian, tampak telah melepaskan beban yang telah ia pikul begitu lama. Ia tampak hampir damai.
Epilog
Wasiat terakhir Mary Ann Bevan sederhana dan jelas. Semua uang yang telah ia kumpulkan dengan susah payah selama bertahun-tahun—setiap sen yang diperoleh dari setiap tatapan dan bisikan—diwariskan kepada anak-anaknya di Inggris. Itu adalah jumlah yang cukup besar, cukup untuk memastikan mereka tidak akan pernah lagi mengenal kelaparan atau kemiskinan. Pengorbanannya telah selesai.
Ia hanya memiliki satu permintaan pribadi: agar jenazahnya dibawa pulang.
Anak-anaknya memenuhi keinginan terakhirnya. Mereka menggunakan sebagian dari uang warisan itu untuk membawa ibu mereka kembali melintasi Atlantik. Ia dimakamkan pada hari yang cerah dan tenang di Pemakaman Brockley, tidak jauh dari tempat ia pernah membangun tamannya bersama Thomas.
Selama puluhan tahun, dunia sebagian besar melupakan kisah nyata Mary Ann Bevan. Wajahnya menjadi bahan lelucon kejam, dicetak di kartu pos tanpa nama, simbol keburukan tanpa konteks. Kisah tentang pengorbanan seorang ibu terkubur di bawah label "Wanita Terjelek di Dunia".
Namun, waktu, yang pernah menjadi musuhnya, perlahan-lahan menjadi temannya. Cerita-cerita baru mulai terungkap, sudut pandang bergeser. Orang-orang mulai melihat melampaui wajahnya dan menemukan kisah yang luar biasa tentang cinta, ketahanan, dan martabat dalam menghadapi kekejaman yang tak terbayangkan.
Di sudut pemakaman London yang sunyi, sebuah batu nisan sederhana berdiri di atas tanah. Tidak ada ukiran yang megah, tidak ada epitaf yang puitis. Hanya sebuah nama dan tanggal. Itu bukanlah monumen bagi sebuah tontonan sirkus, melainkan penanda yang tenang bagi tempat peristirahatan terakhir seorang perawat, seorang istri, dan di atas segalanya, seorang ibu.
Di bawah batu nisan itu, jauh dari panggung yang kejam dan tatapan dunia, bunga dari Plaistow itu akhirnya beristirahat di tamannya sendiri, abadi dalam pengorbanannya.

