Bab 1: Keputusan di Pendopo
Udara di dalam Pendopo Kabupaten Pati terasa berat dan pengap, seolah ikut menahan napas menanti apa yang akan terjadi. Kipas angin besar yang berputar di langit-langit tinggi hanya mengaduk-aduk hawa panas khas pesisir utara di bulan Mei, tidak benar-benar mendinginkan. Ratusan pasang mata—para camat dengan seragam keki mereka yang kaku, dan para kepala desa dari paguyuban Pasopati dengan batik seragam yang sedikit longgar—tertuju pada satu titik: Bupati Sudewo.
Ia berdiri di podium kayu jati berukir, punggungnya tegap, wajahnya memancarkan keyakinan yang nyaris menyilaukan. Di sisinya, Plt. Sekda Rioso duduk diam seperti patung, matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan, mencatat setiap gelagat.
Sudewo berdeham pelan, dan suara dengung kipas angin seolah lenyap seketika.
“Bapak-bapak, Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,” suaranya menggelegar, penuh wibawa. “Kita berkumpul hari ini bukan untuk basa-basi. Kita berkumpul untuk membicarakan masa depan tanah yang kita cintai ini. Masa depan Pati.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. Beberapa kepala desa di barisan depan mengangguk patuh. Di barisan belakang, seorang camat muda menyikut rekannya, berbisik, “Pasti ada yang penting.”
“Saya ingin kita semua jujur,” lanjut Sudewo, tangannya bergerak menunjuk sebuah layar proyektor di belakangnya. Grafik batang berwarna-warni muncul. “Lihat angka-angka ini. Ini adalah potret kita. Potret Pendapatan Asli Daerah kita.”
Angka itu terpampang jelas: Pati, Rp29 Miliar.
Sudewo menghela napas panjang, sebuah helaan napas teatrikal yang sarat makna. “Dua puluh sembilan miliar. Angka yang sama selama bertahun-tahun. Sekarang, mari kita lihat tetangga kita.”
Grafik lain muncul. Jepara, Rp75 Miliar. Rembang, Rp50 Miliar. Kudus, Rp50 Miliar.
Suara gumaman pelan menyebar di seluruh ruangan. Ada rasa malu, rasa tidak percaya, dan sedikit rasa tersinggung dalam gumaman itu. Sudewo tahu ia telah berhasil memancing emosi mereka.
“Malu? Tentu saja kita harus malu!” serunya, nadanya kini naik. “Kita ini kabupaten yang kaya! Pertanian kita subur, perikanan kita melimpah. Tapi kenapa PAD kita seperti anak tiri? Kenapa kita tertinggal? Saya jawab: karena kita terlalu nyaman!”
Ia menatap tajam ke seluruh penjuru ruangan, seolah menantang siapa pun untuk membantah.
“Pajak Bumi dan Bangunan di Pati tidak pernah naik selama empat belas tahun! Empat belas tahun, Bapak-bapak! Sementara harga tanah meroket, harga kebutuhan pokok naik, tapi pajak kita mandek. Bagaimana kita mau membangun jalan yang mulus? Bagaimana kita mau memperbaiki rumah sakit kita yang sesak? Bagaimana kita mau membantu petani dan nelayan kita jika kas daerah kita kering kerontang?”
Inilah puncaknya. Inilah inti dari pertemuan ini.
“Maka dari itu,” kata Sudewo, suaranya kini lebih tenang namun menusuk, “dengan berat hati namun dengan keyakinan penuh, pemerintah daerah akan melakukan penyesuaian tarif PBB-P2. Ini bukan kenaikan, Bapak-bapak. Ini adalah penyesuaian untuk mengejar ketertinggalan kita. Ini adalah obat pahit yang harus kita telan bersama demi kesembuhan jangka panjang.”
Hening. Kali ini keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan yang khidmat, melainkan keheningan yang tegang. Di salah satu sudut, seorang kepala desa tua terlihat menelan ludah, jemarinya tanpa sadar memilin ujung lengan batiknya. Ia membayangkan wajah-wajah warganya, para petani kecil yang untuk membayar pajak seratus ribu saja harus menjual hasil panennya.
Seorang camat dari wilayah kota, yang lebih memahami dinamika ekonomi perkotaan, memberanikan diri mengangkat tangan. “Mohon izin, Pak Bupati. Kira-kira, berapa persen penyesuaian yang akan diberlakukan?”
Sudewo tersenyum tipis. Senyum seorang ahli strategi yang sudah mengantisipasi setiap pertanyaan. “Terima kasih, Pak Camat. Pertanyaan yang bagus. Besarannya akan bervariasi, disesuaikan dengan Nilai Jual Objek Pajak terbaru. Rata-rata, kita bicara di angka 200 hingga 250 persen.”
Seperti ada ledakan tak bersuara di dalam ruangan. Angka 250% menggantung di udara, terasa mustahil dan mencekik. Wajah-wajah yang tadinya hanya tegang kini berubah pias. Bisikan-bisikan terdengar lebih keras, kali ini sarat dengan kepanikan.
“Ini untuk pembangunan, Bapak-bapak!” Sudewo mencoba merebut kembali kendali. “Bayangkan jalan-jalan desa yang mulus, rumah sakit dengan fasilitas modern, anak-anak kita bisa sekolah dengan layak. Inilah harga yang harus kita bayar untuk sebuah kemajuan. Saya minta dukungan penuh dari Bapak-bapak sekalian untuk menyosialisasikan ini kepada masyarakat. Yakinkan mereka, ini adalah keputusan terbaik untuk kita semua.”
Tepuk tangan yang terdengar setelahnya terasa ganjil dan dipaksakan. Para camat dan kepala desa bangkit dari kursi mereka, berjalan keluar dari pendopo dengan langkah berat. Wajah mereka tidak lagi menunjukkan rasa malu karena tertinggal, melainkan kekhawatiran tentang badai yang akan datang.
Sementara itu, Bupati Sudewo tetap berdiri di podiumnya, menatap pintu keluar yang kosong. Ia tidak melihat keraguan di wajah-wajah itu. Yang ia lihat hanyalah visi tentang sebuah kabupaten yang maju dan makmur. Ia tersenyum puas, sama sekali tidak menyadari bahwa ia baru saja menyalakan sumbu dari sebuah bom waktu yang akan meledak tepat di jantung kekuasaannya.
Bab 2: Suara Pertama dari Jalanan
Berita tentang “penyesuaian” PBB menyebar lebih cepat dari api di musim kemarau. Dari obrolan di warung kopi hingga grup WhatsApp ibu-ibu PKK, angka 250% menjadi hantu yang menghantui seisi kabupaten. Namun, selama dua minggu, kemarahan itu hanya berani diungkapkan dalam bisik-bisik. Belum ada yang berani menyalakannya di ruang terbuka.
Hingga suatu sore yang gerah di awal Juni, di sebuah sekretariat sederhana di sudut kota, sekelompok anak muda memutuskan bahwa bisik-bisik saja tidak cukup.
Asap rokok kretek mengepul di ruangan sempit milik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Pati. Puluhan cangkir kopi yang sudah kosong berjejer di atas meja, menjadi saksi bisu diskusi panas yang berlangsung sejak siang. Di tengah ruangan, Faisal, ketua cabang yang baru terpilih, berdiri dengan spidol di tangan, menatap papan tulis putih yang penuh coretan.
“Jadi kita sepakat,” kata Faisal, suaranya serak namun tegas. “Kita tidak bisa diam saja. Ini bukan lagi soal angka, tapi soal keadilan. Bapak-bapak kita di desa itu petani, bukan pengusaha properti. Bagaimana mereka bisa membayar pajak yang naiknya tiga kali lipat?”
Seorang mahasiswi bernama Rina, yang sedari tadi sibuk mengetik di laptopnya, menimpali, “Sudah kubaca semua peraturannya, Mas. Alasan peningkatan PAD untuk pembangunan itu klise. Selalu itu yang jadi tameng. Tapi transparansinya mana? Uang pajak kita selama ini lari ke mana saja tidak pernah jelas.”
“Tepat!” seru seorang aktivis lain dari pojok ruangan. “Bupati bicara soal mengejar ketertinggalan, tapi dia tidak bicara soal penderitaan rakyat kecil yang harus menanggung ambisinya. Ini arogansi, bukan kebijakan.”
Faisal mengangguk, matanya menyala dengan semangat idealisme. “Maka dari itu, kita harus turun ke jalan. Kita harus menjadi suara pertama yang berteriak. Kita tunjukkan pada Bupati Sudewo bahwa Pati tidak bisa dipimpin dengan tangan besi dan telinga yang tuli.”
Ia membalikkan badan dan menulis dengan huruf kapital di papan tulis: AKSI 3 JUNI. GERUDUK KANTOR BUPATI. TOLAK KENAIKAN PBB!
Pada hari yang ditentukan, terik matahari tanggal 3 Juni seolah ikut membakar semangat sekitar lima puluh mahasiswa yang berkumpul di depan gerbang Kantor Bupati Pati. Jumlah mereka memang tidak banyak, namun suara mereka lantang, diperkuat oleh megafon butut yang dipegang Faisal.
“Turunkan! Turunkan! Turunkan PBB! Mundurkan! Mundurkan! Mundurkan Sudewo!”
Spanduk-spanduk dari kain bekas terbentang, tulisannya dibuat dengan cat semprot seadanya namun pesannya menusuk: “Perut Rakyat Bukan Tumbal Pembangunan”, “Bupati Kaya dari Pajak Rakyat Jelata”, “PAD Naik, Rakyat Menjerit.”
Mereka mencoba merangsek mendekati gerbang, namun barisan Satpol PP yang berdiri kaku dengan tameng mereka membentuk dinding yang tak bisa ditembus. Tak ada satu pun pejabat yang keluar. Pintu pendopo yang megah itu tetap tertutup rapat, seolah tak terpengaruh oleh teriakan di luarnya.
“Mereka meremehkan kita!” teriak Faisal ke megafon, suaranya bergetar karena marah. “Mereka pikir kita hanya anak-anak kemarin sore yang akan lelah lalu pulang! Mereka salah!”
Sebagai puncak aksi, para mahasiswa membakar sebuah ban bekas di tengah jalan. Asap hitam pekat membubung ke langit, membawa bau karet terbakar dan kemarahan mereka. Di tengah kepulan asap itu, Faisal naik ke atas sebuah batu besar.
“Dengar, wahai para penguasa di dalam istana ber-AC kalian!” suaranya menggema, direkam oleh beberapa ponsel mahasiswa lain. “Hari ini mungkin hanya ada lima puluh orang di sini! Tapi suara kami mewakili ribuan petani, nelayan, dan buruh yang kalian rampas haknya! Jika kalian tidak membatalkan kebijakan zalim ini, kami bersumpah akan datang lagi dengan jumlah yang lebih besar! Perlawanan ini baru saja dimulai!”
Tepuk tangan dan sorak sorai membahana. Aksi itu memang berakhir beberapa jam kemudian. Para mahasiswa membubarkan diri dengan tertib, meninggalkan sisa ban yang hangus dan bau asap sebagai jejak perlawanan mereka.
Di dalam kantornya yang sejuk, Bupati Sudewo hanya melirik sekilas ke arah jendela ketika mendengar keramaian itu. Ia tersenyum sinis. “Anak-anak,” gumamnya pada Rioso yang berdiri di sampingnya. “Biar saja mereka lelah sendiri.”
Ia sama sekali tidak tahu, video orasi Faisal di tengah kepulan asap hitam itu sudah mulai menyebar dari satu ponsel ke ponsel lain. Suara pertama dari jalanan itu mungkin terdengar kecil dari dalam pendopo, namun di dunia maya, gaungnya mulai membesar, mencari dan menemukan telinga-telinga lain yang sama-sama menyimpan amarah. Percikan api itu telah dilempar.
Bab 3: Dinding Arogansi
Sebulan lebih telah berlalu sejak aksi bakar ban di depan kantor bupati. Protes kecil dari para mahasiswa memang berhasil menjadi buah bibir, namun belum cukup untuk menggoyahkan kebijakan. Pemerintah daerah memilih diam, berharap riak kecil itu akan hilang dengan sendirinya. Namun, di bawah permukaan, tekanan terus menumpuk, hingga akhirnya meledak di tempat yang paling terhormat: ruang sidang DPRD.
Pertengahan Juli, panas politik di Pati mencapai puncaknya. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, didesak oleh konstituen yang resah, akhirnya menggunakan hak interpelasi mereka. Bupati Sudewo dipanggil untuk memberikan penjelasan resmi.
Ruang sidang utama DPRD hari itu terasa sesak. Balkon untuk umum penuh oleh warga, aktivis, dan wartawan lokal yang berdesakan. Di lantai bawah, para anggota dewan duduk di kursi empuk mereka, namun raut wajah mereka tegang. Hari ini, mereka bukan hanya wakil rakyat; mereka adalah arena pertarungan antara kehendak eksekutif dan suara publik.
Ketika Bupati Sudewo masuk, didampingi oleh Sekda Rioso yang berjalan selangkah di belakangnya, seluruh ruangan hening. Sudewo berjalan dengan langkah mantap, dagunya terangkat. Ia menyunggingkan senyum tipis kepada beberapa anggota dewan yang dikenalnya, seolah ini hanyalah pertemuan rutin, bukan sebuah pengadilan politik. Ia duduk di kursi yang telah disiapkan, menyilangkan kakinya dengan santai, dan menatap lurus ke arah pimpinan sidang.
Setelah serangkaian formalitas, seorang anggota dewan senior dari fraksi oposisi, Budi Santoso, maju ke podium. Pak Budi dikenal sebagai politisi santun yang bicaranya terukur.
“Bapak Bupati yang terhormat, pimpinan dan anggota dewan, serta seluruh masyarakat Pati yang menyaksikan,” Pak Budi memulai dengan tenang. “Kami memanggil Bapak ke sini bukan karena kami menentang pembangunan. Siapa yang tidak ingin Pati maju? Tapi pembangunan macam apa yang harus dibiayai dengan memeras rakyatnya sendiri?”
Ia berhenti, menatap langsung ke arah Sudewo. “Kenaikan PBB hingga 250 persen ini bukan sekadar angka, Pak Bupati. Ini adalah beban yang mencekik leher para petani di desa, para pedagang kecil di pasar. Ini adalah kebijakan kejut tanpa sosialisasi yang memadai, tanpa empati. Bapak bicara soal mengejar ketertinggalan, tapi Bapak melompat terlalu jauh dan meninggalkan rakyat Bapak terengah-engah di belakang.”
Beberapa pengunjung di balkon bertepuk tangan pelan sebelum ditenangkan oleh petugas keamanan. Sudewo tidak bergeming. Wajahnya datar, seolah pidato Pak Budi hanyalah angin lalu.
Ketika gilirannya tiba, Sudewo berjalan ke podium dengan aura yang berbeda. Ia tidak membawa setumpuk kertas berisi data atau pembelaan teknis. Ia hanya membawa dirinya dan keyakinan besinya.
“Terima kasih, Pak Budi, atas masukannya,” ucap Sudewo, nadanya terdengar sedikit merendahkan. “Saya menghargai kekhawatiran Bapak. Tapi terkadang, untuk menjadi pemimpin, kita tidak bisa hanya memikirkan apa yang populer hari ini. Seorang pemimpin sejati harus berani mengambil keputusan yang tidak populer demi masa depan yang lebih baik.”
Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan. “Saya dipilih oleh rakyat untuk membuat Pati lebih baik, bukan untuk membiarkannya jalan di tempat. Kebijakan ini adalah keputusan terbaik untuk masyarakat dalam jangka panjang. Mungkin terasa sakit sekarang, seperti obat yang pahit. Tapi saya yakin, beberapa tahun lagi, anak cucu kita akan berterima kasih atas keberanian kita hari ini.”
Suasana semakin tegang. Pak Budi mencoba menyela, “Tapi keberanian tidak sama dengan kesewenang-wenangan, Pak Bupati!”
Sudewo mengangkat tangannya, meminta Pak Budi berhenti. Dan di sinilah, ia mengucapkan kalimat yang akan terpatri dalam sejarah kabupaten itu.
“Saya dengar ada yang berencana demo besar-besaran,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Mereka bilang akan membawa puluhan ribu orang untuk menekan saya. Silakan saja.”
Ia mencondongkan tubuhnya ke mikrofon, matanya menatap lurus ke arah kamera wartawan yang menyala di sudut ruangan.
“Saya tegaskan di forum terhormat ini, jangankan didemo beberapa puluh orang. Didemo puluhan ribu orang pun, saya tidak akan mengubah kebijakan ini. Saya tidak akan mundur sejengkal pun!”
Pernyataan itu seperti sambaran petir di siang bolong. Ruang sidang yang tadinya riuh oleh bisik-bisik kini senyap seketika. Para anggota dewan terperangah. Para wartawan sibuk mencatat. Di balkon, seorang ibu tua tanpa sadar menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Bagi Sudewo, itu adalah pernyataan ketegasan seorang pemimpin. Tapi bagi rakyat Pati yang mendengarnya, itu adalah deklarasi perang. Itu adalah suara arogansi yang paling murni, dinding kokoh yang dibangun antara penguasa dan rakyatnya.
Di luar gedung dewan, seorang aktivis mahasiswa yang menonton siaran langsung dari ponsel temannya mengepalkan tangannya erat-erat. Wajahnya mengeras.
“Dia menantang kita,” desisnya. “Baik. Akan kita tunjukkan padanya kekuatan rakyat yang sebenarnya.”
Isu ini bukan lagi soal persentase kenaikan pajak. Sejak detik itu, ini adalah pertarungan harga diri.
Bab 4: Posko Perlawanan
Pernyataan Bupati Sudewo di gedung DPRD tidak hanya menyulut amarah para aktivis; ia merembes turun, masuk ke gang-gang sempit, ke sawah-sawah yang kering, dan ke warung-warung tempat rakyat kecil mengadu nasib. Di salah satu warung kelontong sederhana di pinggiran kota, seorang pria bernama Ahmad Husein mendengar kalimat arogan itu dari siaran radio bututnya.
Husein bukan aktivis. Ia adalah seorang pedagang kecil, pria berusia empat puluhan dengan kulit legam terbakar matahari dan tangan yang kapalan karena mengangkat karung beras. Baginya, politik adalah sesuatu yang jauh dan rumit. Tapi kenaikan pajak adalah sesuatu yang sangat dekat dan nyata. Ia sudah menghitungnya. Jika PBB naik 250%, ia harus merelakan keuntungan warungnya selama dua bulan penuh hanya untuk membayar pajak sepetak tanah dan bangunan yang ia sebut rumah.
“Gila,” desisnya sambil mematikan radio. Istrinya yang sedang menata barang dagangan menoleh.
“Apanya yang gila, Pak?”
“Bupati kita,” jawab Husein, suaranya berat. “Dia bilang, didemo puluhan ribu orang pun tidak akan mundur. Apa dia pikir kita ini apa? Sapi perah?”
Malam itu, Husein tidak bisa tidur. Ia memandangi wajah lelap kedua anaknya, membayangkan masa depan mereka. Kemarahan dan rasa tidak berdaya bergejolak di dalam dadanya. Ia ingin melakukan sesuatu, tapi apa? Turun ke jalan seperti mahasiswa? Ia tidak punya nyali sebesar itu. Melawan secara terbuka? Ia takut warungnya akan dipersulit.
Keesokan paginya, saat fajar baru menyingsing, sebuah ide sederhana namun nekat muncul di benaknya. Ide yang lahir dari keputusasaan.
“Bu,” katanya pada istrinya. “Bapak mau pinjam meja kecil sama kardus bekas.”
“Buat apa, Pak?” tanya istrinya heran.
“Bapak mau buka posko di depan kantor bupati.”
Istrinya terbelalak. “Posko? Posko apa? Jangan macam-macam, Pak! Nanti kita yang kena masalah.”
“Bukan posko demo,” Husein menenangkan. “Hanya posko donasi. Untuk siapa saja yang mau demo, biar mereka tidak kehausan. Kalau kita tidak berani teriak, setidaknya kita bisa kasih minum untuk mereka yang berani teriak demi kita.”
Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, Husein meminjam gerobak dorong milik tetangganya. Ia meletakkan sebuah meja lipat butut, beberapa dus air mineral dari warungnya sendiri, dan selembar kardus bekas yang ia tulisi dengan spidol seadanya: “POSKO DONASI AIR MINERAL UNTUK PEJUANG KEADILAN.”
Pagi itu, 1 Agustus, pemandangan di depan gerbang kantor bupati yang megah menjadi ganjil. Di seberang jalan, di bawah pohon trembesi yang rindang, Ahmad Husein duduk sendirian di belakang mejanya. Orang-orang yang lalu lalang menatapnya dengan aneh. Beberapa melirik curiga, yang lain tersenyum tipis. Petugas Satpol PP yang berjaga di gerbang memandangnya dengan tatapan tajam, namun tidak melakukan apa-apa.
Satu jam pertama terasa seperti selamanya. Husein mulai merasa bodoh dan kecil. Mungkin ini ide yang konyol.
Tepat saat ia hendak berkemas, sebuah sepeda motor tua berhenti di depannya. Seorang petani dengan caping di kepala turun dari motor. Ia menatap tulisan di kardus, lalu menatap Husein.
“Ini benar, Mas?” tanyanya.
Husein mengangguk ragu. “Iya, Pak. Sekadarnya saja.”
Petani itu tersenyum, menampakkan giginya yang ompong. Tanpa banyak bicara, ia mengambil dua botol air mineral dari keranjang di motornya dan meletakkannya di atas meja Husein.
“Saya tidak punya banyak, Mas,” katanya. “Tapi semangatmu harus didukung. Lanjutkan.”
Petani itu pergi, meninggalkan Husein yang termangu. Dua botol air itu terasa lebih berharga dari emas. Itu adalah percikan pertama.
Tak lama kemudian, seorang ibu yang baru pulang dari pasar berhenti. Ia meletakkan sekantong gorengan hangat di atas meja. “Buat sarapan, Mas,” ujarnya singkat. Lalu, seorang pegawai kantor yang lewat menyumbangkan selembar uang dua puluh ribuan. “Beli air lagi nanti kalau habis,” pesannya.
Kabar tentang posko sederhana Husein menyebar dari mulut ke mulut, dipercepat oleh beberapa foto yang diunggah ke media sosial. Menjelang sore, apa yang dimulai dengan sebuah meja butut dan beberapa dus air telah berubah menjadi pusat kegiatan. Puluhan dus air mineral menumpuk. Makanan ringan, kopi saset, bahkan sebungkus rokok kretek mulai berdatangan.
Orang-orang tidak hanya memberi, mereka mulai berkumpul. Mereka duduk-duduk di trotoar, berbagi cerita, mengeluhkan beban pajak yang sama, dan menemukan kekuatan dalam kebersamaan. Husein, si pedagang kelontong yang pemalu, kini sibuk mengatur sumbangan yang terus mengalir.
Dari balik gerbang kantornya, Bupati Sudewo mungkin tidak bisa mendengar suara mereka. Tapi ia pasti bisa melihatnya. Sebuah posko perlawanan telah lahir, bukan dari orasi yang berapi-api, melainkan dari tindakan tulus seorang warga biasa yang memutuskan bahwa ia tidak bisa lagi diam.
Bab 5: Perang Air Mineral
Empat hari telah berlalu sejak Ahmad Husein mendirikan poskonya. Apa yang dimulai dengan sebuah meja butut kini telah menjelma menjadi sebuah denyut nadi perlawanan. Terpal biru dibentangkan di antara dua pohon trembesi, melindungi tumpukan ratusan dus air mineral dari sengatan matahari. Di bawahnya, puluhan orang silih berganti datang dan pergi, duduk di atas tikar pinjaman, berbagi cerita, dan menyatukan kegelisahan mereka. Posko itu tak lagi milik Husein seorang; ia telah menjadi milik rakyat.
Pemandangan ini, tentu saja, menjadi duri dalam daging bagi pemerintah daerah. Dari jendela kantornya yang sejuk, Plt. Sekda Rioso menatap kerumunan di seberang jalan dengan geram. Baginya, posko itu adalah sebuah monumen pembangkangan yang memalukan, berdiri tepat di depan hidung kekuasaan. Apalagi, persiapan untuk Hari Jadi ke-702 Kabupaten Pati dan HUT RI ke-80 sudah di depan mata.
“Itu harus dibersihkan,” desis Rioso pada Komandan Satpol PP yang berdiri di hadapannya. “Saya tidak mau ada pemandangan kumuh seperti itu saat perayaan. Gunakan pendekatan persuasif dulu. Bilang pada mereka untuk pindah demi ‘ketertiban umum’.”
Siang itu, pada tanggal 5 Agustus, satu peleton Satpol PP dengan seragam cokelat mereka yang kaku bergerak menyeberang jalan. Langkah mereka serempak, sepatu lars mereka mengentak aspal, menciptakan keheningan sesaat di tengah keramaian posko.
Komandan Satpol PP, seorang pria berperut buncit dengan kumis tebal, menghampiri Ahmad Husein yang sedang menyortir sumbangan.
“Selamat siang, Pak Husein,” sapanya, mencoba terdengar ramah namun gagal menyembunyikan nada perintah. “Kami datang untuk menyampaikan imbauan. Mengingat sebentar lagi ada perayaan Hari Jadi, demi keindahan dan ketertiban, kami minta agar posko ini dipindahkan ke lokasi lain.”
Husein berdiri, membersihkan debu dari celananya. Ia menatap sang komandan, lalu menyapu pandangannya ke arah puluhan warga yang kini ikut berdiri di belakangnya, membentuk benteng manusia secara tak sadar.
“Lokasi lain di mana, Pak?” tanya Husein tenang. “Ini tanah publik. Kami tidak menutup jalan, tidak mengganggu siapa pun. Kami hanya menumpang berteduh.”
“Ini bukan soal mengganggu, Pak. Ini soal estetika,” balas sang komandan, mulai kehilangan kesabaran. “Ini perintah atasan.”
“Atasan Bapak atau atasan kami?” celetuk seorang pemuda dari belakang Husein, disambut tawa kecil dari kerumunan.
Adu mulut pun tak terhindarkan. Suasana memanas. Tepat pada saat itu, sebuah mobil dinas hitam mengkilat berhenti di tepi jalan. Plt. Sekda Rioso keluar dari mobil, wajahnya merah padam menahan amarah. Ia tak punya waktu untuk diplomasi basa-basi.
Ia berjalan cepat menerobos barisan Satpol PP, menunjuk tumpukan dus air mineral dengan dagunya.
“Saya tidak mau dengar alasan lagi!” suaranya dingin dan tajam, memotong perdebatan. “Angkut semua air mineral itu ke truk! Bersihkan tempat ini sekarang juga!”
Perintah itu mengejutkan semua orang, termasuk para anggota Satpol PP sendiri. Namun, perintah atasan adalah perintah. Dengan ragu, mereka mulai bergerak mengangkat dus-dus air mineral.
Reaksi massa datang seperti ledakan.
“Wooo! Jangan diambil! Itu sumbangan rakyat!” teriak seorang ibu.
“Hei! Itu hak kami! Kenapa kalian rampas?!” sahut yang lain.
Ahmad Husein mencoba menghalangi. “Jangan, Pak! Tolong jangan lakukan ini!”
Tapi tenaganya tak sebanding dengan dua anggota Satpol PP yang mendorongnya minggir. Dalam sekejap, suasana berubah menjadi kacau. Dorong-dorongan terjadi. Makian dan teriakan bersahutan. Puluhan dus air mineral berpindah tangan secara paksa dari rakyat ke aparat, dinaikkan ke atas truk Satpol PP yang sudah siaga.
Truk itu mulai menyalakan mesinnya, bersiap pergi. Bagi Rioso, itu adalah akhir dari masalah. Tapi ia salah besar. Itu adalah awal dari masalah yang jauh lebih besar.
Ketika truk itu mulai berjalan pelan, seorang pemuda nekat melompat ke atas motornya. “Kejar! Jangan biarkan mereka pergi!” teriaknya.
Satu teriakan itu menyulut semuanya. Tanpa dikomando, puluhan orang berlari mengejar truk. Yang punya motor menyalakan mesinnya, klakson dibunyikan serentak, menciptakan kebisingan yang memekakkan telinga. Pengejaran massal yang spontan terjadi di jalan utama kota Pati. Warga yang melihat dari pinggir jalan ikut meneriaki truk Satpol PP.
Truk itu melaju menuju markas Satpol PP, diikuti oleh iring-iringan massa yang semakin banyak. Sesampainya di sana, gerbang kantor buru-buru ditutup, namun sudah terlambat. Ratusan orang sudah mengepung kantor itu, menggedor-gedor gerbang, berteriak menuntut air mereka dikembalikan.
“Kembalikan! Kembalikan air kami!”
“Maling! Pemerintah maling!”
Di dalam kantor, para petinggi Satpol PP panik. Mereka tidak pernah menduga reaksi sebesar ini hanya karena beberapa ratus dus air. Telepon Rioso berdering terus-menerus, namun ia tak menjawab. Ia telah membuat kesalahan fatal.
Satu jam kemudian, di bawah tekanan massa yang tak kunjung surut dan takut situasi berubah menjadi anarkis, gerbang kantor Satpol PP akhirnya terbuka. Truk yang sama keluar, kali ini untuk mengembalikan setiap dus air mineral yang tadi mereka sita.
Sorak sorai kemenangan membahana ketika dus terakhir diturunkan kembali ke posko. Orang-orang saling berpelukan. Ahmad Husein menatap tumpukan dus air itu dengan mata berkaca-kaca. Hari itu, mereka tidak hanya memenangkan kembali ratusan dus air. Mereka telah memenangkan sesuatu yang jauh lebih berharga: kesadaran bahwa suara mereka, jika disatukan, memiliki kekuatan yang nyata. Perang Air Mineral telah dimenangkan.
Bab 6: Seruan dari Pesantren
Kabar tentang "Perang Air Mineral" menyebar jauh melampaui jalan-jalan protokol kota. Ia merayap masuk ke dalam dinding-dinding kokoh pondok pesantren, menjadi topik perbincangan para santri di sela-sela waktu mengaji mereka. Video amatir tentang pengejaran truk Satpol PP ditonton berulang kali di layar-layar ponsel, memicu gelak tawa kemenangan sekaligus kemarahan yang tertahan.
Di sebuah pesantren besar di wilayah selatan Pati, seorang pemuda bernama Sahal Mahfud menyaksikan video itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia tidak tertawa. Matanya yang tajam justru menyiratkan kalkulasi yang dalam. Sahal adalah koordinator Aliansi Santri Pati untuk Demokrasi (ASPIRASI), seorang aktivis santri yang disegani karena kecerdasan dan kefasihannya berbicara. Baginya, insiden air mineral itu adalah momentum.
Malam itu, di aula utama pesantren yang beraroma kitab-kitab tua, Sahal mengumpulkan puluhan perwakilan santri dari berbagai pondok. Mereka duduk bersila di atas karpet hijau, wajah-wajah muda mereka memancarkan keseriusan yang melampaui usia mereka.
“Saudara-saudaraku,” Sahal memulai, suaranya tenang namun menggema di seluruh ruangan. “Kita semua sudah melihat apa yang terjadi di depan kantor bupati. Rakyat biasa, para pedagang, para petani, telah menunjukkan keberanian mereka. Sekarang, mereka menoleh ke arah kita. Mereka bertanya, di mana para santri saat kezaliman merajalela?”
Seorang santri dari pondok lain mengangkat tangan. “Kita semua marah karena kenaikan PBB, Kang Sahal. Orang tua kami di rumah juga menjerit. Tapi, apakah ini perjuangan kita?”
Sahal tersenyum tipis. “Pertanyaan yang bagus. Tentu, ini perjuangan kita. Tapi perjuangan kita lebih besar dari sekadar PBB.”
Ia berjalan ke depan, tatapannya menyapu satu per satu wajah di hadapannya. “Kalian semua sadar, pemerintah daerah tidak hanya menaikkan pajak. Mereka juga memaksakan kebijakan lima hari sekolah. Apa artinya itu bagi kita? Itu artinya madrasah diniyah kita, tempat anak-anak kita belajar Al-Qur'an dan akhlak setelah sekolah umum, akan mati perlahan-lahan. Mereka merampas harta orang tua kita melalui pajak, dan pada saat yang sama, mereka mencoba merampas masa depan pendidikan agama anak-anak kita.”
Gemuruh terdengar di dalam aula. Sahal telah menyentuh saraf yang paling sensitif. Isu lima hari sekolah adalah ancaman langsung terhadap eksistensi pendidikan pesantren tradisional.
“Ini bukan lagi sekadar soal ekonomi,” lanjut Sahal, nadanya meninggi. “Ini adalah pertarungan untuk mempertahankan nilai-nilai kita! PBB mencekik leher, dan kebijakan lima hari sekolah mencekik ruh pendidikan kita! Dua kezaliman ini datang dari sumber yang sama: arogansi kekuasaan yang tidak mau mendengar. Apakah kita akan diam saja?”
“Tidak!” jawab serempak para santri, suara mereka bergetar penuh semangat.
“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tantang Sahal.
“Lawan!”
Sahal mengangguk puas. “Baik. Tapi kita tidak akan melawan seperti di jalanan. Kita akan melawan dengan cara santri. Dengan adab, dengan argumen, dan dengan kekuatan massa yang terorganisir.”
Keesokan harinya, halaman utama pesantren itu disulap menjadi lokasi konferensi pers. Puluhan wartawan lokal sudah berkumpul, penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh aliansi santri yang selama ini diam.
Tepat pukul sepuluh pagi, Sahal Mahfud muncul, diapit oleh beberapa kiai muda. Ia tidak mengenakan jaket almamater seperti aktivis mahasiswa, melainkan kemeja batik rapi dan peci hitam yang membuatnya tampak berwibawa. Ia duduk di belakang meja dan tanpa basa-basi, ia mulai berbicara.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” sapanya, suaranya jelas dan mantap. “Kami dari Aliansi Santri Pati untuk Demokrasi, setelah mengamati dan merasakan keresahan yang mendalam di tengah masyarakat, dengan ini menyatakan sikap.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan kamera-kamera merekam momen itu.
“Pertama, kami menolak dengan tegas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan yang besarannya mencapai 250 persen, bahkan di beberapa tempat ada yang sampai 1000 persen. Kebijakan ini adalah bentuk kezaliman yang nyata terhadap rakyat kecil.”
“Kedua,” lanjutnya, matanya menatap tajam ke arah para wartawan, “kami menolak kebijakan lima hari sekolah yang secara sistematis akan mematikan pendidikan madrasah diniyah, benteng terakhir moralitas generasi muda kita.”
“Oleh karena itu,” Sahal mengambil napas dalam-dalam sebelum mengucapkan kalimat puncaknya, “kami menyatakan bahwa ribuan santri dari seluruh Kabupaten Pati akan turun ke jalan, bergabung bersama elemen masyarakat lainnya dalam aksi damai pada tanggal 13 Agustus mendatang, untuk menuntut Bupati Sudewo membatalkan dua kebijakan tersebut dan mengevaluasi kembali tata kelola pemerintahannya yang jauh dari aspirasi rakyat.”
Pernyataan itu seperti dentuman meriam. Para wartawan berebut mengajukan pertanyaan, namun Sahal hanya tersenyum dan menutup konferensi pers. Pesannya sudah tersampaikan.
Di Pendopo Kabupaten, berita itu sampai ke telinga Bupati Sudewo seperti sebuah laporan perang. Ia bisa meremehkan mahasiswa. Ia bisa memerintahkan Satpol PP untuk menghadapi pedagang. Tapi para santri? Mereka adalah kekuatan yang berbeda. Mereka memiliki legitimasi moral, basis massa yang solid, dan restu dari para kiai yang dihormati.
Sudewo menatap ke luar jendela, wajahnya yang biasa penuh percaya diri kini tersirat gurat kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. Badai yang sesungguhnya baru saja akan dimulai.
Bab 7: Kirab Pahit di Hari Jadi
Langit di atas Alun-alun Pati pada 7 Agustus tampak cerah, seolah tak peduli pada mendung yang menggelayut di hati warganya. Umbul-umbul berwarna-warni berkibar di sepanjang jalan, dan panggung megah telah berdiri kokoh. Hari ini adalah puncak perayaan Hari Jadi ke-702 Kabupaten Pati, sebuah ritual tahunan yang seharusnya menjadi pesta rakyat. Namun tahun ini, udara terasa berbeda. Ada kepura-puraan dalam kemeriahan itu.
Barisan kirab mulai bergerak. Ada marching band dari anak-anak sekolah yang meniupkan terompet dengan semangat, barisan pegawai negeri dengan seragam batik baru mereka, hingga kelompok-kelompok seni yang menampilkan tarian tradisional. Mereka berjalan di atas aspal yang panas, tersenyum dan melambai ke arah kerumunan yang berdiri di trotoar.
Namun, sambutan dari penonton terasa hambar. Tepuk tangan terdengar sporadis dan enggan. Warga yang datang lebih terlihat seperti sedang menunggu sesuatu, mata mereka waspada menatap ke ujung jalan, tempat iring-iringan utama akan muncul. Di antara mereka, ada Ahmad Husein, Teguh Istianto, dan beberapa aktivis lainnya. Mereka tidak membawa spanduk, hanya membawa mata mereka yang menyorot tajam.
Akhirnya, yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sebuah kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda putih gagah muncul di tikungan jalan. Kereta itu berkilauan di bawah sinar matahari, ukirannya yang rumit memantulkan cahaya. Di atasnya, duduk dengan anggun, Bupati Sudewo dan istrinya, Atikus Darwati.
Sudewo mengenakan beskap berwarna emas yang gemerlap, sementara Atikus tampak anggun dalam balutan kebaya modern berwarna senada, sanggulnya dihiasi untaian melati. Keduanya memasang senyum terbaik mereka, senyum yang telah dilatih untuk kamera dan acara-acara resmi.
Saat kereta itu mulai bergerak perlahan melewati kerumunan, keheningan yang aneh menyelimuti penonton. Tepuk tangan yang tadi segan kini benar-benar lenyap. Yang terdengar hanyalah derap langkah kuda dan decit roda kereta.
Lalu, dari salah satu sudut kerumunan, seseorang memberanikan diri.
“Huuuuu...!”
Suara itu, meski awalnya pelan, seperti batu pertama yang memicu longsor. Dalam hitungan detik, suara-suara lain menyusul. Cemoohan itu menyebar dari satu sisi jalan ke sisi lain, berubah menjadi paduan suara massal yang riuh dan penuh amarah.
“Huuuuu! Turunkan PBB!”
“Bupati sombong!”
“Tidak punya hati nurani!”
Sorakan itu menghantam kereta kencana seperti ombak tak terlihat. Para pengawal yang berjalan di sisi kereta tampak tegang, tangan mereka siaga di pinggang. Namun, reaksi dari pasangan di atas kereta sungguh di luar dugaan.
Wajah Bupati Sudewo tidak berubah. Senyumnya tidak goyah sedikit pun. Ia terus melambaikan tangannya dengan gerakan yang kaku dan terukur, seolah cemoohan itu adalah pujian. Di sampingnya, Atikus Darwati, istrinya, melakukan sesuatu yang lebih absurd.
Ia menatap lautan wajah yang marah itu, lalu dengan gerakan yang anggun, ia mengangkat tangannya. Ibu jari dan telunjuknya ia silangkan, membentuk gestur “mini love” atau saranghae yang populer di kalangan anak muda. Ia menyunggingkan senyum manis, seolah sedang membalas cinta dari para penggemarnya.
Melihat tindakan istrinya, Sudewo ikut-ikutan. Ia juga membuat gestur “mini love” dengan tangannya, melambaikannya ke arah massa yang terus menyorakinya.
Pemandangan itu begitu nyata sekaligus begitu sureal. Di tengah lautan amarah dan kekecewaan, dua pemimpin mereka duduk di atas takhta berjalan, membalas cemoohan dengan simbol cinta yang terasa seperti ejekan paling menyakitkan.
Teguh Istianto, yang berdiri di barisan depan, hanya bisa menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Mereka benar-benar tidak mendengar,” desisnya pada Husein di sebelahnya. “Atau lebih buruk lagi, mereka mendengar tapi tidak peduli.”
Kereta kencana itu terus berjalan, meninggalkan jejak kebingungan dan kemarahan yang semakin menjadi-jadi di belakangnya. Senyum dan lambaian “mini love” dari Bupati dan istrinya menjadi pemandangan paling ikonik hari itu. Bukan sebagai simbol cinta, melainkan sebagai simbol jurang pemisah yang tak terseberangi lagi antara istana dan jalanan. Kirab hari jadi itu telah berubah menjadi parade kepahitan.
Bab 8: Langkah Mundur
Sehari setelah kirab pahit itu, Pendopo Kabupaten Pati terasa seperti benteng yang terkepung. Telepon berdering tanpa henti. Laporan intelijen dari kepolisian dan kodim menumpuk di meja, semuanya berisi satu kesimpulan yang sama: situasi mendekati titik didih. Pernyataan aliansi santri dan insiden di hari jadi telah mengubah gelombang protes menjadi tsunami yang siap menerjang.
Bupati Sudewo tidak lagi bisa menyangkal realitas. Di dalam ruang rapat pribadinya yang dingin, ia duduk bukan lagi bersama para kepala dinas, melainkan bersama tiga pilar keamanan wilayah: Kapolresta, Dandim, dan Kepala Kejaksaan Negeri. Wajah mereka bertiga sama-sama keras dan serius. Tidak ada lagi basa-basi atau senyum hormat.
“Pak Bupati,” Kapolresta memulai, suaranya datar dan tegas. “Laporan kami jelas. Jika kebijakan ini tidak dicabut, kami tidak bisa menjamin keamanan pada tanggal 13 Agustus nanti. Potensi bentrokan sangat besar. Massa dari kubu santri saja sudah puluhan ribu, belum lagi dari kelompok lain. Ini bukan lagi soal unjuk rasa, ini sudah menyangkut stabilitas daerah.”
Dandim menimpali, nadanya tak kalah genting. “Pasukan kami siaga, tapi kami berharap mereka tidak perlu turun tangan. Ini masalah sipil, Pak. Seharusnya bisa diselesaikan di meja ini, bukan di jalanan.”
Sudewo diam, jemarinya mengetuk-ngetuk meja mahoni dengan irama tak beraturan. Wajahnya yang biasa memancarkan keyakinan kini tampak kuyu. Kantung matanya menghitam, tanda malam-malam tanpa tidur. Ia menatap tiga orang di hadapannya, mencari celah, mencari dukungan, namun yang ia temukan hanyalah tatapan yang menuntut keputusan. Kekuasaannya yang absolut kini dibatasi oleh tembok realitas yang tak bisa ia tembus.
Ia menghela napas panjang, sebuah helaan napas kekalahan. “Baik,” katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Siapkan konferensi pers. Sore ini.”
Pukul empat sore, ruang konferensi pers di Pendopo penuh sesak oleh wartawan. Suasananya tegang, semua orang tahu sesuatu yang besar akan terjadi. Lampu kamera menyorot tajam ke meja panjang di depan, tempat empat kursi telah disiapkan.
Bupati Sudewo masuk, diikuti oleh Kapolresta, Dandim, dan Kajari. Langkahnya tidak lagi tegap. Ia duduk di kursi tengah, menghindari tatapan para wartawan, dan langsung membuka map berisi lembaran kertas yang sedikit gemetar di tangannya.
“Selamat sore, rekan-rekan media,” ia memulai, suaranya serak dan tanpa energi. Ia tidak lagi memanggil mereka “Saudara-saudara” seperti biasanya.
“Setelah mencermati dinamika yang berkembang di masyarakat dalam beberapa waktu terakhir, dan setelah berdiskusi secara mendalam dengan jajaran Forkopimda…” Ia melirik sekilas ke tiga pria di sampingnya. “…maka demi menjaga kondusivitas, keamanan, dan ketertiban di wilayah Kabupaten Pati yang kita cintai ini, saya, Bupati Pati, dengan ini memutuskan…”
Ia berhenti, menelan ludah. Ini adalah kalimat paling sulit yang pernah ia ucapkan sepanjang karier politiknya.
“...membatalkan Peraturan Bupati tentang kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan untuk tahun 2025.”
Seketika, ruangan itu meledak dalam kilatan lampu kamera dan suara tombol shutter yang bertubi-tubi. Para wartawan saling sikut, mencoba mendapatkan gambar terbaik dari wajah seorang pemimpin yang baru saja mengakui kekalahannya.
Sudewo mengangkat tangannya, meminta ketenangan. “Dengan demikian,” lanjutnya, berusaha mengembalikan sedikit wibawanya, “tarif PBB-P2 untuk tahun ini dikembalikan sama seperti tarif tahun 2024. Bagi masyarakat yang sudah terlanjur membayar dengan tarif baru, kelebihan pembayaran tersebut akan kami kembalikan sepenuhnya. Mekanismenya akan diatur lebih lanjut.”
Ia melipat kertas di tangannya, seolah ingin segera mengakhiri penderitaan itu. “Demikian yang dapat saya sampaikan. Terima kasih.”
Ia bangkit berdiri, namun para wartawan sudah mengerubunginya, melontarkan pertanyaan bertubi-tubi.
“Pak, apakah ini berarti Bapak menyerah pada tekanan massa?”
“Pak, apakah Bapak merasa kebijakan ini adalah sebuah kesalahan?”
“Bagaimana dengan tuntutan mundur, Pak?”
Sudewo tidak menjawab. Dengan pengawalan ketat dari ajudan dan aparat, ia menerobos kerumunan wartawan dan menghilang di balik pintu. Ia meninggalkan sebuah pengumuman besar, namun juga sebuah kekosongan yang lebih besar. Ia telah mencabut kebijakan yang kontroversial itu, tapi ia tidak pernah mengucapkan satu kata pun: maaf.
Bab 9: Penolakan di Posko
Malam turun menyelimuti posko perlawanan di bawah pohon trembesi. Berita tentang pembatalan kenaikan PBB sudah menyebar seperti api, dibawa oleh siaran televisi dan getaran pesan di grup-grup WhatsApp. Sebagian warga yang datang ke posko merayakannya dengan sorak-sorai. Mereka merasa perjuangan telah usai. Kemenangan telah diraih.
Namun, di lingkaran inti pergerakan, suasananya jauh dari pesta. Teguh Istianto duduk bersila di atas tikar, matanya menatap kosong ke arah bara api kecil dari sisa-sisa kayu. Di sampingnya, Ahmad Husein menuangkan kopi hitam ke dalam gelas-gelas plastik, membagikannya kepada para aktivis lain yang wajahnya tampak lelah sekaligus tegang.
“Dia pikir dengan membatalkan pajak, semuanya selesai?” desis seorang pemuda. “Dia pikir kita bisa lupa dengan semua hinaan dan arogansinya?”
Teguh tidak menjawab, tapi rahangnya mengeras. Baginya, pengumuman di televisi tadi sore bukanlah sebuah kemenangan. Itu adalah manuver politik. Sebuah langkah mundur yang terpaksa, tanpa penyesalan, tanpa permintaan maaf. Itu adalah pengakuan kekalahan, bukan pengakuan kesalahan.
Tiba-tiba, dari kejauhan, sorot lampu mobil yang terang menembus kegelapan malam. Dua mobil dinas berwarna hitam bergerak pelan mendekati area posko, tanpa sirene, tanpa pengawalan yang mencolok. Kerumunan yang tadinya riuh perlahan senyap. Semua mata tertuju pada mobil yang berhenti beberapa meter dari terpal biru.
Pintu mobil depan terbuka. Bupati Sudewo melangkah keluar.
Ia tidak lagi mengenakan seragam dinasnya yang kaku. Hanya kemeja batik lengan panjang yang sedikit kusut. Wajahnya tampak lebih tua dari usianya, lelah, dan pucat di bawah cahaya lampu jalan. Dengan langkah ragu, diikuti oleh seorang ajudan, ia berjalan mendekati pusat keramaian.
Kerumunan warga secara refleks membuka jalan, membentuk lorong manusia yang senyap. Tatapan mereka bercampur aduk: ada rasa kaget, curiga, dan sisa-sisa amarah yang belum padam.
Sudewo berhenti tepat di hadapan Teguh dan Husein. Ia mencoba tersenyum, meski hasilnya lebih terlihat seperti sebuah ringisan.
“Selamat malam, Saudara-saudara,” sapanya, suaranya parau. “Saya datang ke sini dengan niat baik. Saya ingin bicara langsung dari hati ke hati.”
Tidak ada yang menjawab. Hawa dingin seolah merayap di antara mereka.
“Seperti yang sudah kalian semua dengar,” lanjut Sudewo, “kebijakan kenaikan PBB sudah saya batalkan. Tuntutan kalian sudah saya penuhi. Saya harap, dengan ini, kita bisa kembali tenang. Mari kita sudahi ini semua dan kembali membangun Pati bersama-sama.”
Ia mengulurkan tangannya, seolah ingin menjabat tangan Teguh. Tapi Teguh hanya menatap tangan itu, lalu beralih menatap mata sang bupati.
“Tuntutan kami sudah Bapak penuhi?” suara Teguh terdengar pelan, namun tajam dan menusuk. “Bapak salah. Tuntutan kami yang pertama memang soal pajak. Tapi itu dulu. Sebelum Bapak menghina kami di gedung dewan. Sebelum Bapak merampas air minum kami. Sebelum Bapak tersenyum dan melambaikan ‘tanda cinta’ dari kereta kencana sementara kami berteriak menahan sakit.”
Setiap kata yang diucapkan Teguh seperti tamparan tak terlihat bagi Sudewo. Wajah bupati itu semakin pias.
“Membatalkan kebijakan tidak akan menghapus luka di hati kami, Pak Bupati,” lanjut Teguh. “Itu tidak akan mengembalikan kepercayaan kami yang sudah hancur berkeping-keping. Ini bukan lagi soal pajak.”
Ahmad Husein, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. Suaranya bergetar, mewakili perasaan ribuan rakyat jelata. “Kami ini hanya ingin didengar, Pak. Itu saja. Tapi Bapak baru mau mendengar setelah kami marah besar. Setelah kami turun ke jalan. Apakah harus selalu begitu?”
Sudewo tampak terpukul. “Saya… saya akui, mungkin ada kesalahan dalam cara saya berkomunikasi. Beri saya kesempatan untuk memperbaikinya.”
Teguh menggeleng pelan, senyum sinis tersungging di bibirnya. “Kesempatan? Kesempatan Bapak sudah habis.”
Ia mengambil satu langkah maju, tatapannya mengunci mata Sudewo. Dengan suara yang ia keraskan agar didengar oleh seluruh kerumunan, ia mengucapkan kalimat yang menjadi vonis malam itu.
“Tuntutan kami sekarang sudah bergeser, Pak Bupati. Tuntutan kami sekarang hanya satu: MUNDUR DARI JABATAN BUPATI!”
Seketika, kerumunan yang tadinya diam meledak.
“MUNDUR!”
“MUNDUR!”
“MUNDUR!”
Teriakan itu menggema, memantul dari gedung-gedung di seberang jalan, menciptakan paduan suara kemarahan yang masif. Sudewo mundur selangkah, wajahnya pucat pasi. Niat baiknya untuk berdamai disambut dengan dinding penolakan yang paling keras. Ia menatap lautan wajah yang marah itu, dan untuk pertama kalinya, ia mungkin benar-benar mengerti. Ia tidak sedang menghadapi sekelompok demonstran. Ia sedang menghadapi rakyatnya yang telah kehilangan kepercayaan.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, ia berbalik, berjalan cepat kembali ke mobilnya dengan langkah seorang pesakitan. Pintu mobil dibanting tertutup, dan konvoi itu bergegas pergi, ditelan kegelapan malam.
Namun, teriakan “Mundur! Mundur!” itu terus mengejar, menjadi gema penolakan yang akan menghantui sisa masa jabatannya.
Bab 10: Retak di Barisan
Sementara gema tuntutan "Mundur!" masih terasa pekat di udara, di sebuah rumah makan sederhana di pinggiran kota, sebuah pertemuan rahasia tengah berlangsung. Jauh dari sorotan kamera dan teriakan massa, di dalam sebuah ruang privat yang hanya diterangi lampu temaram, takdir pergerakan rakyat Pati sedang dinegosiasikan di atas meja makan yang penuh hidangan tak tersentuh.
Di satu sisi meja, duduk Bupati Sudewo. Wajahnya masih menyiratkan kelelahan, namun malam ini, ada secercah harapan di matanya. Ia tidak datang dengan arogansi, melainkan dengan proposal di tangan.
Di seberangnya, duduk dua sosok yang mewakili dua kutub kekuatan besar dalam aksi massa. Yang pertama adalah Sahal Mahfud, koordinator aliansi santri. Ia duduk dengan tenang, sorot matanya tajam menganalisis setiap gerak-gerik sang bupati. Di sampingnya adalah Cahya Basuki, yang lebih dikenal dengan julukan Yaya Gundul. Pemimpin Gerakan Pati Bersatu (Gerpap) itu adalah antitesis dari Sahal. Tubuhnya gempal, kepalanya plontos, dan gayanya blak-blakan. Jika Sahal adalah otak, maka Yaya adalah otot pergerakan di jalanan.
“Terima kasih sudah bersedia datang,” Sudewo memulai, suaranya pelan dan penuh hormat. “Saya tahu, situasi kita semua sedang tidak mudah.”
Yaya Gundul mendengus pelan. “Tidak mudah itu kata yang terlalu halus, Pak Bupati. Kota ini di ambang kerusuhan karena kebijakan Bapak.”
Sudewo mengangguk, menerima pukulan itu tanpa membantah. “Saya sadar, Pak Yaya. Saya sadar. Dan itulah kenapa saya mengundang kalian berdua ke sini. Saya ingin mencari solusi, bukan konfrontasi.”
Ia menatap Sahal, lalu beralih ke Yaya. “Kenaikan PBB sudah saya batalkan. Itu adalah tuntutan pertama, dan sudah saya penuhi. Tapi saya dengar, ada tuntutan lain yang belum terselesaikan.”
Sahal Mahfud akhirnya angkat bicara, suaranya tetap tenang. “Benar, Pak Bupati. Bagi kami, dari kalangan santri, ada isu yang sama pentingnya dengan PBB. Yaitu, kebijakan lima hari sekolah yang mengancam eksistensi madrasah kami.”
Inilah kartu yang ditunggu-tunggu Sudewo. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah ingin berbagi rahasia.
“Bagaimana jika kebijakan lima hari sekolah itu juga saya batalkan?” tawarnya. “Bagaimana jika saya tanda tangani surat edaran baru besok pagi, mengembalikan jam sekolah menjadi enam hari seperti sedia kala, sehingga madrasah diniyah bisa kembali berjalan normal?”
Tawaran itu menggantung di udara. Sahal dan Yaya saling berpandangan. Ini adalah konsesi besar, lebih dari yang mereka duga. Pembatalan PBB sudah menjadi kemenangan publik. Kini, ditambah dengan pembatalan lima hari sekolah, ini adalah kemenangan mutlak bagi komunitas santri.
Yaya Gundul menyipitkan matanya, penuh curiga. “Apa jaminannya? Jangan-jangan ini hanya janji manis supaya kami membatalkan demo tanggal 13 nanti.”
“Jaminannya adalah jabatan saya,” jawab Sudewo cepat. “Jika besok pagi surat edaran itu tidak terbit, kalian bisa memimpin massa untuk menduduki kantor saya. Saya tidak akan lari. Tapi jika saya penuhi janji saya, saya minta kalian juga memegang komitmen.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan tawarannya meresap. “Pikirkan baik-baik. Apa lagi yang kita perjuangkan? PBB sudah batal. Sekolah kembali normal. Jika demo tanggal 13 tetap berlangsung dengan tuntutan agar saya mundur, apa yang akan terjadi? Kekacauan. Anarki. Apakah itu yang kita inginkan untuk kota ini?”
Sahal Mahfud terdiam lama. Otaknya berputar cepat. Ia adalah seorang strategis. Ia tahu, menurunkan bupati di tengah jalan adalah proses yang panjang dan belum tentu berhasil. Sementara di hadapannya, ada kemenangan nyata yang bisa ia bawa pulang untuk komunitasnya. Melanjutkan demo berarti mempertaruhkan kemenangan yang sudah di depan mata demi sebuah idealisme yang hasilnya tidak pasti.
“Tuntutan kami sudah terpenuhi,” kata Sahal pelan, lebih kepada dirinya sendiri, namun cukup keras untuk didengar yang lain.
Yaya Gundul menghela napas berat. Ia memang tidak suka dengan gaya kepemimpinan Sudewo, tapi ia juga seorang yang pragmatis. Baginya, perjuangan ini sejak awal adalah tentang kebijakan yang menyengsarakan. Jika kebijakan itu sudah dicabut, maka perjuangan itu seharusnya selesai.
“Baik,” kata Yaya akhirnya, suaranya berat. “Jika dua tuntutan utama itu benar-benar Bapak penuhi, Gerpap akan menarik diri dari aksi tanggal 13.”
Semua mata kini tertuju pada Sahal. Ia menatap Sudewo lekat-lekat. “Kami akan menggelar tasyakuran dan istighasah, Pak Bupati. Bukan untuk mendukung Bapak, tapi untuk mensyukuri bahwa tuntutan kami didengar. ASPIRASI tidak akan turun ke jalan.”
Kesepakatan tercapai. Sebuah jabat tangan yang canggung menyegel perjanjian di ruang privat itu.
Saat Sahal dan Yaya berjalan keluar dari rumah makan, meninggalkan Sudewo dengan napas leganya, mereka tahu apa arti keputusan mereka. Mereka telah memilih kemenangan pragmatis. Mereka juga tahu, di posko perlawanan, Teguh Istianto dan para pengikutnya tidak akan pernah menerima ini.
Sebuah retakan besar baru saja terbentuk di jantung pergerakan. Barisan yang tadinya solid kini pecah menjadi dua. Satu kubu akan merayakan kemenangan, sementara kubu yang lain akan terus maju ke medan perang, merasa dikhianati oleh kawan seperjuangan mereka sendiri.
Bab 11: Fajar Tiga Belas Agustus
Fajar pada tanggal 13 Agustus merayap di langit Pati dengan warna kelabu yang ganjil, seolah ikut menahan napas. Di posko perlawanan, udara terasa dingin dan tegang. Berita tentang kesepakatan rahasia antara Bupati Sudewo dengan Sahal Mahfud dan Yaya Gundul telah menyebar pada malam harinya, meninggalkan rasa pahit seperti ampas kopi. Pengkhianatan. Itu kata yang terus berulang dalam bisik-bisik para aktivis yang tersisa.
Teguh Istianto tidak tidur semalaman. Matanya merah, namun tatapannya lebih tajam dari biasanya. Ia menatap tumpukan kardus air mineral yang kini telah menjadi sebuah monumen—gunung kecil yang menjadi saksi bisu solidaritas rakyat sekaligus perpecahan para pemimpinnya.
“Mereka pikir kita akan berhenti?” desis seorang pemuda di sampingnya, suaranya serak. “Mereka pikir perjuangan ini bisa ditukar dengan beberapa janji?”
Teguh menggeleng pelan. “Biarkan saja,” jawabnya, suaranya berat. “Hari ini kita akan buktikan. Perjuangan ini bukan milik Sahal, bukan milik Yaya, bukan juga milikku. Perjuangan ini milik rakyat.”
Saat matahari mulai meninggi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Dari berbagai penjuru, dari jalan-jalan desa yang sempit dan lorong-lorong kota, arus manusia mulai mengalir menuju Alun-alun. Petani dengan celana yang masih berdebu tanah sawah, ibu-ibu pedagang pasar yang meninggalkan lapak mereka, para buruh pabrik, nelayan, hingga anak-anak muda dengan semangat yang menyala-nyala.
Mereka datang bukan karena perintah Sahal atau Yaya. Mereka datang karena panggilan hati mereka sendiri. Mereka datang karena kemarahan yang telah lama terpendam, yang dipantik oleh kesombongan seorang pemimpin. Jumlah mereka jauh melampaui apa yang dibayangkan Teguh. Alun-alun Pati berubah menjadi lautan manusia.
Pemandangannya begitu dahsyat. Ribuan kardus air mineral bekas disusun rapi di tengah alun-alun, membentuk barikade simbolis. Spanduk-spanduk terbentang, lebih kreatif dan lebih pedas dari sebelumnya: “Istana Megah di Atas Tangisan Rakyat”, “Dijual: Hati Nurani Penguasa, Harga Nego”, dan sebuah gambar karikatur Sudewo dengan gestur “mini love” yang dicoret merah.
Di seberang lautan manusia itu, berdiri barikade yang sesungguhnya. Ribuan personel polisi dan tentara berjejer rapat, membentuk dinding baja yang dingin. Tameng-tameng berkilauan, pentungan terselip di pinggang, dan beberapa pucuk senjata gas air mata terlihat jelas. Sebuah mobil water canon terparkir siaga, moncongnya yang besar mengarah ke kerumunan seperti seekor binatang buas yang tertidur. Suasananya seperti di medan perang, tegang hingga ke titik putus.
Di atas sebuah bak truk yang disulap menjadi panggung orasi, Teguh Istianto menatap semua itu. Jantungnya berdebar kencang, campuran antara rasa takut, bangga, dan amarah yang meluap-luap. Ia melihat lautan wajah di hadapannya, wajah-wajah yang menaruh harapan di pundaknya. Lalu ia menatap ke arah Pendopo Kabupaten yang dijaga ketat, istana sunyi yang menjadi sumber segala masalah.
Ia juga melihat ruang kosong di antara kerumunan, tempat yang seharusnya diisi oleh ribuan santri berbaju putih dan massa Gerpap yang solid. Rasa getir karena ditinggalkan sempat melintas di hatinya, namun dengan cepat tergantikan oleh gelombang tekad yang membara. Kami tidak butuh mereka, batinnya. Kekuatan rakyat lebih besar dari kesepakatan apa pun.
Seorang koordinator lapangan menyodorkan megafon kepadanya. “Waktunya, Mas Teguh.”
Teguh menarik napas dalam-dalam, menghirup udara yang sarat dengan keringat, debu, dan harapan. Ia melangkah maju ke tepi panggung. Saat sosoknya terlihat jelas oleh massa, gemuruh sorak sorai membahana, lalu perlahan senyap, berganti menjadi keheningan yang penuh penantian.
Ia mengangkat megafon itu ke bibirnya. Seluruh Alun-alun menahan napas. Para aparat di seberang jalan mengencangkan pegangan pada tameng mereka. Dunia seolah berhenti berputar, menunggu kata pertama yang akan keluar dari mulut pemuda itu.
Bab 12: Suara dari Panggung Rakyat
Keheningan yang menggantung di Alun-alun Pati terasa begitu padat, seolah bisa diiris dengan pisau. Puluhan ribu pasang mata tertuju pada sosok kurus Teguh Istianto di atas panggung truk. Di seberang, barisan aparat tampak seperti patung-patung baja yang beku. Dunia seolah berhenti, menanti satu suara yang akan memecah kesunyian.
Teguh menarik napas dalam-dalam. Ia tidak merasakan lagi getar di tangannya. Yang ada hanyalah kobaran api yang dingin dan terfokus di dalam dadanya. Ia mengangkat megafon itu, dan suaranya keluar, bukan sebagai teriakan, melainkan sebagai sebuah pernyataan yang tenang namun berat, yang dibawa angin ke setiap sudut alun-alun.
“Assalamualaikum, rakyat Pati yang saya cintai…”
Suaranya terdengar jelas, tanpa getar.
“Pagi ini, banyak yang bertanya kepada saya,” lanjutnya, matanya menyapu lautan manusia di hadapannya. “Mereka bertanya, ‘Teguh, kenapa kita masih di sini? Bukankah sebagian pemimpin kita sudah berdamai? Bukankah sebagian kawan kita sudah memilih untuk pulang?’ Saya akan menjawabnya sekarang.”
Ia berhenti sejenak, membiarkan pertanyaannya menggantung.
“Kita masih di sini karena perjuangan ini tidak pernah tentang satu atau dua orang pemimpin! Perjuangan ini tidak pernah bisa ditukar dengan janji di ruang tertutup! Perjuangan ini lahir dari tangisan ibu-ibu di pasar, dari keringat bapak-bapak di sawah, dari keputusasaan kita semua! Perjuangan ini adalah milik rakyat!”
Gemuruh persetujuan mulai terdengar, namun Teguh mengangkat tangannya, meminta ketenangan. Ia belum selesai.
“Mereka pikir kita akan lupa?” suaranya mulai meninggi, sarat dengan emosi. “Apa kita akan lupa saat pemimpin kita berdiri angkuh di gedung dewan dan berkata bahwa puluhan ribu suara kita tidak ada artinya? Apa kita akan lupa saat air minum sumbangan kita dirampas seperti milik seorang pencuri? Dan… apa kita akan lupa saat kita dicemooh dengan lambaian ‘cinta’ dari atas kereta kencana, seolah penderitaan kita ini hanyalah sebuah lelucon?”
Setiap pertanyaan adalah sebuah tusukan yang membangkitkan kembali luka kolektif. Massa mulai bergemuruh, teriakan-teriakan marah terdengar bersahutan.
“TIDAK!” jawab kerumunan serempak.
“Maka saya katakan hari ini!” suara Teguh kini menggelegar, penuh kekuatan. “Ini bukan lagi soal PBB! Ini bukan lagi soal kebijakan! Ini adalah soal HARGA DIRI! Harga diri kita sebagai rakyat yang telah diinjak-injak!”
Ia menunjuk lurus ke arah Pendopo Kabupaten yang berdiri angkuh di kejauhan.
“Di dalam istana itu, duduk seorang pemimpin yang sudah kehilangan telinganya untuk mendengar, kehilangan matanya untuk melihat, dan kehilangan hatinya untuk merasakan! Pemimpin seperti itu tidak lagi pantas memimpin kita!”
Inilah puncaknya. Inilah inti dari semua kemarahan yang terpendam.
“Maka, dari panggung rakyat ini, atas nama seluruh rakyat Pati yang tersakiti, kami hanya punya satu tuntutan! Satu permintaan! Satu perintah!”
Ia mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi ke udara.
“SUDEWO… MUNDUR!!!”
Teriakannya menjadi aba-aba. Dalam sekejap, puluhan ribu orang mengangkat kepalan tangan mereka. Alun-alun Pati meledak dalam satu suara raksasa yang mengguncang bumi.
“MUNDUR! MUNDUR! MUNDUR! MUNDUR!”
Suara itu begitu dahsyat, sebuah gelombang sonik yang membuat kaca-kaca gedung di sekitar bergetar. Spanduk-spanduk bergoyang hebat. Tanah seolah ikut berdenyut mengikuti irama teriakan massa.
Di barisan aparat, Kapolresta mencengkeram radionya erat-erat, wajahnya tegang. Ia melihat gelombang manusia itu sedikit maju, menguji barikade. Ia bisa merasakan tekanan yang luar biasa dari massa di depannya. Satu perintah yang salah, dan alun-alun ini akan berubah menjadi medan pertempuran.
Di dalam Pendopo, dari balik jendela di lantai dua, Sudewo menyaksikan pemandangan itu. Wajahnya pucat pasi. Gema teriakan “Mundur!” itu menembus dinding tebal ruangannya, terdengar seperti vonis mati bagi karier politiknya. Untuk pertama kalinya, ia tidak melihat sekelompok demonstran. Ia melihat gelombang pasang yang siap menelannya.
Di alun-alun, teriakan itu tidak berhenti. Massa terus merangsek maju, selangkah demi selangkah, mempersempit jarak dengan dinding tameng aparat. Suasananya begitu tegang, seutas benang tipis memisahkan antara aksi damai dan kerusuhan total.
Teguh Istianto masih berdiri di atas panggung, kepalan tangannya tetap terangkat. Ia telah menyalakan api. Kini, ia dan semua orang di alun-alun itu menahan napas, menunggu untuk melihat apakah api itu akan membakar tirani, atau membakar mereka semua.
Bab 13: Badai di Alun-Alun
Teriakan “Mundur!” yang menggema itu bukan lagi sekadar suara; ia telah menjadi sebuah kekuatan fisik. Gelombang manusia yang marah itu terus mendesak maju, selangkah demi selangkah, memampatkan ruang antara mereka dan dinding tameng aparat. Udara terasa panas dan berat, sarat dengan listrik statis, siap menyambar kapan saja.
Di balik barikade, Kapolresta menekan handy-talkie di tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Ia bisa melihat mata para anggotanya, campuran antara keteguhan dan ketakutan. Ia bisa merasakan getaran tanah dari hentakan kaki puluhan ribu orang. Tekanan pada barisan tameng itu begitu kuat, ia tahu garis pertahanannya tidak akan bertahan lama.
“Tahan! Tahan posisi!” perintahnya ke radio, suaranya tegang. “Jangan terpancing!”
Namun, massa sudah tidak bisa dikendalikan. Didorong oleh gelombang dari belakang dan ditarik oleh kemarahan di depan, mereka terus merangsek. Beberapa tameng mulai terdorong mundur. Seorang petugas tersandung dan nyaris jatuh. Situasi berada di ujung tanduk.
Kapolresta memejamkan matanya sejenak. Ia telah berharap ini tidak akan terjadi. Ia telah berdoa agar ada keajaiban. Tapi tidak ada. Di hadapannya ada massa yang siap meledak, dan di belakangnya ada perintah untuk melindungi simbol negara dengan cara apa pun. Pilihan yang tersisa baginya hanyalah pilihan yang paling buruk.
Ia mengangkat radionya kembali. Kali ini, suaranya dingin dan tanpa emosi, seperti seorang ahli bedah yang akan melakukan amputasi. “Tim Water Canon, siaga satu. Tim gas air mata, bersiap. Tembakan peringatan pertama… sekarang!”
DOR! DOR! DOR!
Suara tembakan gas air mata ke udara memecah kebisingan. Namun, alih-alih membubarkan, suara itu justru menyulut kemarahan massa menjadi amukan. Botol-botol air mineral mulai melayang ke arah barisan aparat.
“Maju! Lawan!” teriak seseorang dari tengah kerumunan.
Melihat itu, Kapolresta tidak punya pilihan lain. “Tembakkan!” perintahnya.
Seketika, monster water canon itu terbangun. Dengan suara desisan yang mengerikan, ia menyemburkan air bertekanan tinggi ke jantung kerumunan. Orang-orang yang berada di barisan depan terlempar ke belakang seperti daun kering, tak berdaya dihantam kekuatan air.
Hampir bersamaan, puluhan selongsong gas air mata melesat dengan lengkingan tajam, mendarat di tengah-tengah lautan manusia.
POF! POF! POF!
Asap putih pedih menyebar dengan cepat, dibawa angin, membungkus Alun-alun dalam kabut yang menyesakkan.
Chaos.
Itulah satu-satunya kata yang bisa menggambarkannya. Alun-alun yang tadinya merupakan panggung orasi yang teratur berubah menjadi neraka dalam hitungan detik. Teriakan tuntutan berganti menjadi jeritan panik dan kesakitan. Orang-orang berlarian ke segala arah, membabi buta, mata mereka terbakar, napas mereka sesak. Mereka saling bertabrakan, terjatuh, dan terinjak-injak.
Di atas panggung truk, Teguh Istianto menyaksikan pemandangan itu dengan ngeri. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ini bukan yang ia inginkan. Ini adalah mimpi buruknya.
“Tenang! Saudara-saudara, tenang! Jangan panik!” ia berteriak ke megafon, suaranya bergetar hebat. Tapi tak ada yang mendengar. Suaranya ditelan oleh jeritan massa dan perintah-perintah aparat.
Ia melihat seorang ibu tua terjatuh, terbatuk-batuk hebat sambil mencoba melindungi seorang anak kecil. Ia melihat seorang pemuda yang tadi berteriak paling kencang kini tersungkur di tanah, wajahnya basah oleh air mata dan ingus karena gas.
Api yang ia nyalakan telah berubah menjadi badai yang tak terkendali, meluluhlantakkan rakyatnya sendiri.
Dalam kekacauan itu, ia melompat turun dari panggung, mencoba menolong siapa pun yang bisa ia jangkau. Ia menarik seorang gadis yang terjepit, membantunya berdiri. Matanya sendiri perih, dadanya sesak, tapi rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
Dalam waktu kurang dari lima belas menit, Alun-alun itu nyaris kosong. Massa telah dipukul mundur, tercerai-berai, meninggalkan jejak pertempuran yang menyedihkan. Spanduk-spanduk robek tergeletak di atas genangan air. Ribuan botol dan sandal jepit berserakan seperti reruntuhan sebuah peradaban. Bau pedih gas air mata masih menggantung berat di udara.
Teguh berdiri sendirian di tengah alun-alun yang porak-poranda. Ia menatap ke arah Pendopo Kabupaten. Istana itu berdiri tegak, diam, dan tak tersentuh. Barisan aparat mulai merapikan formasi mereka, tampak seperti pemenang perang.
Ia telah berhasil menyatukan suara rakyat. Ia telah berhasil mengguncang singgasana sang bupati. Tapi pada akhirnya, saat kata-kata tak lagi cukup, negara menunjukkan taringnya. Dan hari itu, di Alun-alun Pati, taring itu merobek jantung perlawanan mereka.
Perjuangan belum usai. Teguh tahu itu. Tapi ia juga tahu, babak baru yang lebih gelap dan lebih pahit baru saja dimulai.
Bab 14: Gema di Kota yang Terluka
Senja turun dengan warna jingga yang muram, seolah langit ikut berduka. Alun-alun Pati yang beberapa jam lalu menjadi lautan manusia yang bergelora, kini sunyi dan porak-poranda. Genangan air dari semprotan water canon memantulkan cahaya lampu jalan yang mulai menyala, menciptakan danau-danau kecil di antara lautan sampah. Sandal jepit yang kehilangan pasangannya, spanduk yang robek dan ternoda lumpur, serta botol-botol air mineral yang remuk menjadi artefak bisu dari sebuah pertempuran yang baru saja usai. Bau pedih gas air mata masih samar-samar tercium, menempel di udara seperti hantu.
Di tengah pemandangan itu, Teguh Istianto duduk sendirian di atas sisa-sisa panggung truk. Pakaiannya basah dan kotor. Wajahnya coreng-moreng oleh debu dan air mata yang telah mengering. Ia menatap kosong ke arah petugas kebersihan yang mulai bekerja dalam diam, menyapu puing-puing perlawanan rakyatnya. Setiap sapuan lidi terasa seperti menghapus jejak perjuangan mereka.
Rasa bersalah yang dingin dan berat menghantamnya. Gambaran-gambaran dari kekacauan tadi terus berkelebat di benaknya: jeritan panik seorang ibu, wajah pemuda yang tersungkur, mata-mata yang terbakar dan penuh ketakutan. Ia yang telah memanggil mereka. Ia yang telah membakar semangat mereka. Dan pada akhirnya, ia yang telah memimpin mereka ke dalam badai.
Apakah ini sepadan? bisik sebuah suara di dalam kepalanya. Apakah harga diri kita harus dibayar dengan penderitaan seperti ini?
Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya di antara kedua telapak tangannya. Bahunya bergetar. Untuk pertama kalinya sejak perjuangan ini dimulai, sang orator yang berapi-api itu merasa kalah telak.
Tiba-tiba, sebuah tangan yang kasar namun hangat menepuk pundaknya. Teguh mengangkat wajahnya. Ahmad Husein berdiri di sampingnya, menyodorkan sebuah gelas plastik berisi teh panas yang masih mengepul. Wajah pedagang kelontong itu tampak lelah, ada goresan kecil di pipinya, namun matanya memancarkan ketenangan yang aneh.
“Minumlah, Mas,” kata Husein pelan. “Biar sedikit hangat.”
Teguh menerima gelas itu dengan tangan gemetar. “Aku gagal, Pak Husein. Aku gagal menjaga mereka.”
Husein duduk di sampingnya, menatap lurus ke depan. “Gagal itu kalau kita berhenti, Mas. Hari ini kita tidak gagal. Kita hanya dipukul mundur.”
“Tapi lihatlah ini semua,” suara Teguh serak. “Orang-orang terluka. Mereka ketakutan. Semua ini karena aku terlalu keras kepala.”
Husein menyesap tehnya sendiri sebelum menjawab. “Mas Teguh, api itu sudah ada di dalam dada kami semua sejak lama. Sejak pajak diumumkan. Sejak kami merasa tidak didengar. Api itu sudah membakar kami dari dalam,” katanya. “Mas Teguh tidak menyalakan api baru. Mas hanya memberanikan kami untuk meniupnya bersama-sama agar terlihat oleh orang-orang di istana itu.”
Ia menunjuk ke arah Pendopo dengan dagunya. “Hari ini kita memang kalah di jalanan. Mereka punya air, kita punya semangat. Mereka punya gas, kita punya nyali. Tapi untuk pertama kalinya, mereka benar-benar melihat kita. Mereka melihat kemarahan kita. Itu tidak akan pernah bisa mereka sapu bersih seperti sampah-sampah ini.”
Kata-kata sederhana dari seorang pedagang itu terasa seperti balsam bagi luka di hati Teguh. Ia menatap Husein, lalu menatap Alun-alun yang terluka. Ia mulai melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.
Di dalam kantornya yang sunyi, Bupati Sudewo berdiri di balik jendela besar, menatap pemandangan yang sama. Lampu sorot menerangi para petugas yang membersihkan alun-alunnya. Ia telah memenangkan pertempuran hari ini. Massa telah bubar. Ancaman kudeta jalanan telah dipatahkan. Seharusnya ia merasa lega.
Tapi tidak ada kelegaan. Yang ada hanyalah rasa hampa yang dingin.
Pintu ruangannya diketuk pelan. Plt. Sekda Rioso masuk. “Situasi sudah sepenuhnya terkendali, Pak Bupati,” lapornya, mencoba terdengar efisien.
Sudewo tidak menoleh. Matanya tetap terpaku pada pemandangan di luar. “Terkendali?” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. “Apa ini yang namanya terkendali, Rioso?”
Ia menunjuk ke luar jendela. “Kita membersihkan jalanan, tapi kita meninggalkan luka di hati mereka. Kita membubarkan massa, tapi kita menanam benih kebencian yang lebih dalam. Kita menang hari ini, tapi kita kehilangan mereka selamanya.”
Ini adalah pertama kalinya Rioso mendengar nada keraguan dalam suara atasannya. Bupati yang ia kenal adalah seorang yang teguh dan tak tergoyahkan. Tapi bupati yang berdiri di hadapannya malam ini adalah seorang pria yang terasing di dalam istananya sendiri, memenangkan perang namun kehilangan rakyatnya.
Teguh menghabiskan tehnya hingga tetes terakhir. Kehangatan minuman itu menjalar ke seluruh tubuhnya, mengusir sedikit rasa dingin dan putus asa. Ia berdiri, meregangkan otot-ototnya yang kaku. Ia menatap Alun-alun, lalu beralih ke Pendopo yang berdiri megah di seberang jalan.
Ia tahu, perjuangan di jalanan mungkin sudah berakhir untuk saat ini. Negara telah menunjukkan kekuatannya. Tapi pertempuran sesungguhnya baru saja akan dimulai. Pertempuran di ruang-ruang senyap, pertempuran opini, pertempuran untuk merebut kembali hati dan pikiran yang telah terpecah belah.
Ia mengepalkan tangannya. Kali ini bukan karena amarah, melainkan karena sebuah tekad baru yang dingin dan membaja. Mereka mungkin telah kalah dalam satu pertempuran, tapi perang untuk keadilan masih panjang. Dan ia tidak akan berhenti.
Bab 15: Fajar yang Berbeda
Fajar pada 14 Agustus terbit dengan cara yang berbeda bagi setiap orang di Pati. Langitnya sama, namun cahayanya jatuh pada realitas yang telah terbelah.
Di sebuah pondok pesantren besar di selatan kota, fajar disambut dengan kumandang zikir yang syahdu. Ratusan santri berbaju putih bersih duduk bersila di masjid, membentuk barisan yang rapi. Di depan, Sahal Mahfud memimpin tasyakuran dan istighasah. Mereka tidak merayakan kemenangan Bupati Sudewo, melainkan mensyukuri dua hal: batalnya kenaikan PBB dan kembalinya jam sekolah menjadi enam hari.
Setelah doa selesai, seorang santri senior mendekati Sahal saat ia sedang melipat sajadahnya. “Kang Sahal,” bisiknya, wajahnya tampak gusar. “Aku dengar kabar dari kota. Banyak yang terluka kemarin.”
Sahal berhenti sejenak, punggungnya masih menghadap santri itu. “Aku juga mendengarnya,” jawabnya pelan.
“Lalu… apakah keputusan kita untuk tidak ikut itu benar?” tanya santri itu lagi, menyuarakan keraguan yang mungkin dirasakan oleh banyak orang di ruangan itu.
Sahal berbalik. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah temannya. “Benar atau salah itu tergantung dari mana kita melihatnya, Akhi,” katanya dengan tenang. “Tugas kita adalah memperjuangkan kemaslahatan umat. Dua tuntutan utama kita terpenuhi tanpa harus ada satu pun santri kita yang terluka. Bagi saya, itu adalah kemenangan yang harus disyukuri. Perjuangan tidak harus selalu berakhir dengan darah.”
Ia menepuk pundak temannya. “Biarkan mereka menempuh jalannya, dan kita menempuh jalan kita. Tujuannya sama, hanya kapalnya yang berbeda.”
Sahal berjalan pergi, meninggalkan temannya yang termenung. Di balik ketenangan dan pragmatismenya, hanya Sahal sendiri yang tahu betapa berat beban keputusan yang ia ambil malam itu.
Di saat yang sama, di Pendopo Kabupaten, fajar terasa dingin dan asing. Bupati Sudewo duduk sendirian di meja makan yang panjang, hanya ditemani secangkir kopi yang sudah dingin. Para pelayan yang biasanya sigap kini bergerak dengan canggung di sekitarnya, menghindari kontak mata. Istana yang dulu menjadi simbol kekuasaannya kini terasa seperti penjara yang mewah.
Plt. Sekda Rioso masuk, membawa setumpuk map laporan. Ia meletakkannya di meja dengan hati-hati. “Laporan pagi, Pak Bupati. Jumlah korban luka ringan ada 57 orang, tidak ada korban jiwa. Kerusakan fasilitas umum sedang diinventarisir.”
Sudewo tidak menoleh. Ia hanya menatap ke luar jendela, ke arah Alun-alun yang kini tampak bersih secara artifisial. “57 orang,” gumamnya. “Dan berapa banyak hati yang terluka, Rioso? Apa laporanmu juga mencatat itu?”
Rioso terdiam. Ia tidak pernah mendengar atasannya bicara seperti ini. “Itu adalah risiko yang terukur untuk mengamankan situasi, Pak,” jawabnya dengan nada birokratis.
“Risiko yang terukur?” Sudewo akhirnya menoleh, matanya merah dan penuh kelelahan. “Lihat aku, Rioso. Lihat apa yang terjadi pada kita. Kita duduk di sini, di dalam benteng ini, sementara di luar sana, rakyat kita sendiri menganggap kita sebagai musuh. Apa ini yang kau sebut kemenangan?”
Ia mendorong cangkir kopinya menjauh. “Aku tidak mau lihat laporanmu. Aku mau kau siapkan agenda. Aku akan mulai mengunjungi para tokoh masyarakat, para kiai, satu per satu. Tanpa media, tanpa pengawalan berlebihan.”
“Untuk apa, Pak?” tanya Rioso bingung.
“Untuk mulai memperbaiki apa yang sudah kita hancurkan,” jawab Sudewo, suaranya terdengar seperti bisikan. “Untuk mulai belajar mendengarkan.”
Jauh dari kemegahan pendopo dan ketenangan pesantren, di sebuah warung kelontong yang sempit, fajar membawa aroma kopi tubruk dan tekad yang baru. Ahmad Husein sedang menata barang dagangannya saat Teguh Istianto datang, wajahnya sudah lebih segar meski gurat kelelahan masih terlihat jelas.
Mereka duduk di bangku kayu di depan warung, memandangi aktivitas pagi warga yang mulai sibuk.
“Aku sudah menghubungi beberapa kawan dari LBH,” kata Teguh sambil menyeruput kopinya. “Kita akan membuka posko pengaduan untuk para korban. Kita akan tuntut pertanggungjawaban hukum atas kekerasan kemarin.”
Husein mengangguk. “Itu langkah yang bagus, Mas. Jangan biarkan mereka merasa bisa melakukan apa saja tanpa konsekuensi.”
“Ini bukan lagi soal demo besar-besaran, Pak Husein,” lanjut Teguh, matanya menatap seorang anak kecil yang membeli permen. “Perjuangan di jalanan sudah selesai untuk saat ini. Sekarang perjuangan kita pindah. Ke meja hijau, ke media, dan yang paling penting… ke sini.”
Ia menunjuk ke arah orang-orang yang lalu lalang di depan warung. “Kita harus membangun kembali kekuatan dari bawah. Dari warung ke warung, dari desa ke desa. Mendidik mereka tentang hak-hak mereka, mengorganisir mereka secara senyap. Ini akan memakan waktu lama, mungkin bertahun-tahun.”
Husein tersenyum tipis. “Waktu kita banyak, Mas. Selama kita masih bisa minum kopi bersama seperti ini setiap pagi, perjuangan itu tidak akan pernah padam.”
Teguh ikut tersenyum, untuk pertama kalinya sejak kemarin. Ia menatap wajah-wajah rakyat biasa di sekelilingnya—wajah-wajah yang sama yang kemarin ia pimpin ke dalam badai. Ia sadar, kekuatan sejati tidak terletak pada satu momen ledakan di alun-alun, melainkan pada ketabahan diam-diam yang mereka tunjukkan setiap hari.
Perang memang masih panjang. Tapi fajar ini, di depan sebuah warung kelontong sederhana, terasa seperti sebuah awal yang baru.
TAMAT

