Keesokan paginya, tak ada kata yang terucap. Keheningan di antara mereka terasa lebih berat dari kabut yang menyelimuti puncak-puncak gunung di kejauhan. Sagara meminum kopinya dalam diam, matanya menghindari tatapan Kemala. Setelah menelan suapan terakhir singkong rebus, ia meraih cangkulnya, namun tidak melangkah ke arah ladangnya sendiri. Ia berjalan ke arah jalan desa, tanpa tujuan yang jelas, hanya ingin lari dari tatapan mata istrinya yang penuh pengertian, yang entah kenapa justru terasa lebih menyakitkan.
Kemala berdiri di ambang pintu, memandangi punggung suaminya yang menjauh. Ia tahu Sagara tidak pergi ke ladang. Ia tahu suaminya sedang berperang dengan hantu-hantu di dalam kepalanya sendiri.
Langkah Sagara membawanya melewati pusat desa yang mulai ramai. Dari kejauhan, ia sudah bisa melihat pusat keramaian itu. Bukan pasar, melainkan halaman rumah Gilang yang luas. Sebuah truk besar sedang terparkir di sana, beberapa pekerja dengan tawa riang mengangkat peti-peti berisi terung ungu dan cabai merah segar ke atas truk. Asap kopi dan aroma pisang goreng menguar dari warung kecil di seberang jalan, tempat para petani lain berkumpul sebelum memulai hari.
Sagara berniat untuk terus berjalan, menghindari pusat perhatian itu. Namun, sebuah suara yang lantang dan penuh percaya diri memanggil namanya.
“Gar! Sagara! Sini dulu, ngopi!”
Itu suara Gilang. Ia berdiri di teras rumahnya yang megah, bertolak pinggang sambil memberi arahan pada para pekerjanya. Mau tak mau, Sagara berhenti. Semua mata di warung itu kini tertuju padanya. Dengan langkah berat, ia menyeberang jalan.
“Mau kirim hasil panen ke kota lagi, Lang?” tanya Sagara, mencoba terdengar biasa saja.
“Begitulah, Gar. Permintaan dari supermarket besar,” jawab Gilang, menepuk pundak Sagara dengan keras. “Ladangmu bagaimana? Sudah mulai tanam lagi?”
Pertanyaan itu, meski terdengar ramah, terasa seperti tamparan di depan umum. Sagara hanya bisa bergumam tidak jelas.
Gilang seolah tidak menangkap kegelisahan Sagara. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kantong kecil berisi benih. “Ini, aku ada sisa bibit cabai hibrida dari Belanda. Tahan penyakit, buahnya pasti lebat. Pakai saja, daripada ladangmu kosong begitu.”
Gilang menyodorkan kantong bibit itu. Sagara menatap benda itu, lalu beralih menatap wajah Gilang yang tersenyum lebar, dan akhirnya ke arah para petani di warung yang kini terang-terangan memperhatikan mereka, berbisik-bisik. Ia bisa merasakan tatapan mereka yang penuh kasihan, seolah ia adalah seorang pengemis yang sedang diberi sedekah. Harga dirinya yang sudah retak kini terasa pecah berkeping-keping.
“Tidak usah,” desis Sagara, suaranya dingin. Ia mendorong tangan Gilang dengan pelan. “Aku masih punya bibit sendiri.”
Tanpa menunggu jawaban, Sagara berbalik dan melangkah pergi dengan cepat, meninggalkan Gilang yang tertegun dengan tangan masih terulur, dan gunjingan yang kini semakin santer di warung itu.
“Sombong sekali si Sagara.” “Sudah gagal, dikasih bantuan malah menolak.” “Kasihan Kemala, ya…”
Gema bisikan-bisikan itu seolah mengejarnya sepanjang jalan pulang. Ia berjalan dengan kepala tertunduk, tinjunya terkepal erat. Hantu perbandingan yang semalam ia takuti kini telah menjelma menjadi kenyataan yang memalukan.
Ia tiba di rumah dengan wajah yang lebih keruh dari sebelumnya. Kemala, yang melihatnya dari jendela, segera keluar menyambutnya.
“Mas?” panggilnya lembut.
Sagara tidak menjawab. Ia berjalan lurus melewatinya, membanting cangkulnya ke tanah, lalu duduk di dipan bambu dengan napas yang memburu. Ia menatap Kemala dengan sorot mata yang terluka dan marah.
“Mereka semua menertawakanku,” ucapnya dengan suara bergetar. “Mereka semua mengasihaniku. Dan kamu… kamu masih mau bertahan dengan suami gagal sepertiku?”
Pertanyaan itu kembali terlontar, kali ini lebih tajam dan lebih menyakitkan dari semalam. Kemala tahu, perang suaminya bukan lagi hanya di dalam kepala, tetapi telah meluas ke seluruh desa. Dan ia harus menemukan cara untuk memenangkan perang itu bersama-sama.
