Bab 40: Cahaya di Ujung Jari
Malam telah sepenuhnya mengambil alih kota. Di luar jendela studioku, Jakarta berkelip seperti galaksi buatan yang tak pernah tidur, tetapi kebisingannya terasa jauh, teredam oleh kaca tebal dan fokusku yang total. Di dalam sini, duniaku menyusut menjadi seukuran meja gambar, diterangi oleh cahaya hangat dari lampu arsitek yang menyorot tajam ke satu titik: maket perpustakaan kota.
Studio ini tidak lagi sunyi. Ia hidup. Papan-papan gabus di dinding dipenuhi oleh render 3D yang menampilkan fasad bangunan dari berbagai sudut, sketsa-sketsa detail sambungan baja, dan sampel material—potongan kecil kayu jati, lempengan marmer dingin, dan panel kaca berwarna. Udara dipenuhi aroma kopi hitam yang kuseduh berjam-jam lalu, wangi lem kayu yang tajam, dan bau khas kertas karton. Ini adalah aroma penciptaan. Aroma dari kehidupan yang kubangun kembali dari nol.
Sudah beberapa minggu berlalu sejak kami memenangkan kompetisi desain itu. Kemenangan yang terasa begitu sureal, begitu besar, hingga aku masih sesekali harus mengingatkan diriku sendiri bahwa ini nyata. Sejak saat itu, hidupku menjadi sebuah pusaran yang produktif. Rapat dengan dewan kota, diskusi tanpa akhir dengan para insinyur, dan malam-malam panjang seperti ini, tenggelam dalam detail-detail desain yang rumit. Kesedihan tidak punya ruang di sini. Tidak ada waktu untuk meratap. Yang ada hanyalah masalah yang harus dipecahkan dan tenggat waktu yang harus dikejar.
Malam ini, aku sedang mengerjakan bagian yang paling kusukai: area baca anak-anak. Tanganku bergerak dengan presisi yang telah kembali, memotong selembar akrilik tipis untuk jendela melingkar yang besar, yang akan menghadap ke taman bermain di luar. Aku membayangkan anak-anak kecil yang akan duduk di bantalan-bantalan empuk di dekat jendela ini, buku dongeng terbuka di pangkuan mereka, dunia imajinasi mereka diterangi oleh cahaya matahari yang masuk.
Saat aku menempelkan potongan akrilik itu pada tempatnya, sebuah gema dari masa lalu muncul, begitu pelan hingga nyaris tak terdengar. “Aku mau rak buku yang besar, Mas. Sampai ke langit-langit. Biar terasa seperti perpustakaan pribadi di istana kita.” Suara Difrina. Sebuah impian yang pernah ia bisikkan saat kami merancang rumah kami yang sederhana.
Dulu, kenangan seperti ini akan terasa seperti tusukan pisau, melumpuhkanku, menyeretku kembali ke dalam jurang penyesalan. Kini, rasanya berbeda. Ada sengatan sakit yang samar, tentu saja, seperti nyeri hantu di anggota tubuh yang telah diamputasi. Tetapi rasa sakit itu tidak lagi memiliki kuasa. Aku berhenti sejenak, menatap jendela melingkar kecil di maketku. Aku tersenyum tipis, sebuah senyum pahit manis yang hanya untuk diriku sendiri. Lihat, Difrina, bisikku dalam hati. Aku tidak membangun rak buku setinggi langit-langit. Aku membangun sebuah perpustakaan.
Aku menggelengkan kepala pelan, mengusir gema itu, lalu kembali fokus pada pekerjaanku. Aku telah belajar untuk berdamai dengan hantu-hantuku. Mereka adalah bagian dari diriku, bagian dari kisahku, tetapi mereka tidak lagi mengendalikan narasi masa depanku.
Pintu studio terbuka pelan, dan Maya masuk, membawa dua kotak nasi goreng dari pedagang kaki lima legendaris di dekat sini. Aroma bawang goreng dan cabai langsung memenuhi ruangan, sebuah kontras yang menyenangkan dari bau lem dan kertas.
"Aku tahu kamu belum makan," katanya, meletakkan kotak-kotak itu di satu-satunya sudut meja yang tidak dipenuhi peralatan. "Bahkan pahlawan arsitektur pun butuh bahan bakar."
"Aku bukan pahlawan," jawabku, tanpa mengalihkan pandangan dari maket.
"Mungkin bukan," katanya, ia bersandar di tepi meja, mengamatiku bekerja. "Tapi lihat dirimu sekarang, Ren. Aku hampir tidak mengenalimu."
Aku berhenti, akhirnya menatapnya. "Apa maksudmu?"
"Pria yang kutemukan meringkuk di sofa beberapa bulan yang lalu... ia sudah mati," katanya, nadanya tulus, tanpa sedikit pun sindiran. "Pria di hadapanku sekarang berbeda. Matamu... matamu hidup lagi. Ada cahaya di sana."
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya mengangguk pelan, merasakan kebenaran dalam kata-katanya. Pria itu memang telah mati. Dan aku tidak merindukannya.
"Makanlah," katanya sambil mendorong satu kotak nasi goreng ke arahku. "Setelah itu pulang dan tidur. Kamu terlihat seperti akan pingsan."
"Sebentar lagi," janjiku. "Aku hanya perlu menyelesaikan bagian atap ini."
Ia menghela napas, tetapi tidak berdebat. Ia tahu betapa pentingnya proyek ini bagiku. Ia makan dalam diam, memperhatikanku bekerja. Kehadirannya yang sunyi terasa menenangkan, sebuah pengingat bahwa aku tidak sepenuhnya sendirian dalam perjalanan ini.
Setelah ia pergi, meninggalkan aroma nasi goreng yang hangat dan pesan untuk "jangan lupa mengunci pintu", aku kembali ke duniaku. Aku mengerjakan detail terakhir dari struktur atap maket itu—sebuah desain melengkung yang terinspirasi dari daun talas yang menaungi, sebuah simbol perlindungan dan pertumbuhan. Setiap potongan kecil harus dipasang dengan presisi, setiap sambungan harus sempurna. Ini adalah pekerjaan yang meditatif, menuntut konsentrasi total, membebaskanku dari semua pikiran lain.
Saat aku menempelkan potongan terakhir, sekitar pukul dua pagi, sebuah gelombang kepuasan yang luar biasa menyelimutiku. Aku mundur selangkah, mengamati karyaku. Maket itu, di bawah cahaya lampu mejaku, terlihat begitu nyata, begitu hidup. Itu bukan lagi hanya tumpukan karton dan lem. Itu adalah sebuah janji. Sebuah visi. Sebuah harapan yang bisa disentuh.
Aku berjalan ke jendela, menatap ke luar. Kota di bawah sana telah mulai tenang, hanya menyisakan beberapa lampu yang masih terjaga. Aku memikirkan perjalananku. Dari kehancuran total di rumah yang penuh hantu, ke perjuangan pertama di taman yang sekarat. Dari garis gemetar pertama di atas kertas kosong, hingga maket perpustakaan yang berdiri megah di hadapanku.
Aku mulai mendefinisikan kembali arti kebahagiaan. Dulu, kebahagiaan adalah sesuatu yang pasif. Sesuatu yang kuterima dari senyum Difrina, dari kehangatan pelukannya. Itu adalah kebahagiaan yang bergantung pada orang lain, serapuh kaca.
Kebahagiaan yang kurasakan sekarang berbeda. Ini adalah sesuatu yang aktif. Sesuatu yang kubangun dengan tanganku sendiri. Ia lahir dari kelelahan, dari frustrasi, dari proses pemecahan masalah yang rumit, dan dari kemenangan-kemenangan kecil yang kuraih setiap hari. Ini adalah kebahagiaan yang lahir dari penciptaan, dari tujuan, dari kemandirian. Ia tidak semanis dan semudah kebahagiaan yang dulu, tetapi ia jauh lebih kokoh. Ia adalah fondasi batu, bukan istana pasir.
Aku tidak lagi merasa marah pada Difrina. Aku tidak lagi merasa hancur karenanya. Yang kurasakan hanyalah kesedihan yang tumpul dan jauh atas apa yang telah hilang, dan rasa terima kasih yang aneh karena kehilangan itu telah memaksaku untuk menemukan diriku yang baru, diriku yang lebih kuat.
Aku mematikan semua lampu di studio, kecuali satu lampu kecil di sudut. Aku berdiri di tengah ruangan yang gelap, menatap maket perpustakaanku yang disinari cahaya lembut, membuatnya tampak seperti sebuah kuil yang sunyi.
Di sinilah aku sekarang. Sendirian, tetapi tidak lagi kesepian. Terluka, tetapi tidak lagi hancur. Aku adalah arsitek dari kehidupanku sendiri. Dan untuk pertama kalinya setelah waktu yang terasa seperti selamanya, aku menatap desain di hadapanku, dan aku merasakan kedamaian yang tulus dan utuh. Aku telah menemukan cahaya di ujung jariku sendiri.
Bab 41: Persimpangan Tak Terduga
Panas matahari siang itu terasa seperti palu godam yang tak terlihat, menghantam helm proyekku dan memantul dari kerangka-kerangka baja yang menjulang di sekelilingku. Udara dipenuhi oleh debu semen yang beterbangan, membuatnya terasa kesat di tenggorokan. Simfoni bising dari lokasi konstruksi—deru mesin molen, lengkingan gergaji besi yang memotong baja, dan teriakan-teriakan para pekerja yang saling memberi komando—adalah musik latar dari duniaku yang baru. Dan aku, entah bagaimana, telah belajar untuk menemukan harmoni di tengah kekacauan ini.
Aku berdiri di lantai dua bangunan yang baru separuh jadi, menatap cetak biru yang terhampar di atas meja darurat. Kemejaku yang bersih tadi pagi kini telah basah oleh keringat di bagian punggung, dan sepatu botku dilapisi debu tebal. Tapi aku merasa hidup. Di sini, di tengah dunia yang nyata dan kasar ini, aku adalah seorang pencipta. Aku adalah figur otoritas.
"Pastikan tulangan balok ini sesuai spesifikasi, Pak," kataku pada mandor proyek, Pak Tono, suaraku terdengar mantap di tengah kebisingan. "Jarak antar sengkangnya tidak boleh lebih dari lima belas senti. Aku tidak mau ada kompromi soal kekuatan struktur."
Pak Tono mengangguk hormat. "Siap, Pak Rendra. Akan saya awasi langsung."
Aku menepuk bahunya, merasakan kepuasan yang tenang. Aku telah mendapatkan kembali rasa hormat, bukan hanya dari orang lain, tetapi juga dari diriku sendiri. Maya berdiri tak jauh dariku, mengenakan rompi proyek dan helm yang terlihat sedikit kebesaran di kepalanya. Ia sedang berbicara di telepon, nadanya tegas dan efisien. Kami adalah sebuah mesin yang berjalan mulus.
Saat itu sekitar jam makan siang. Para pekerja mulai meletakkan peralatan mereka, bergerak menuju sebuah area istirahat darurat di bawah naungan terpal biru yang terbentang di antara dua tumpukan batako. Mereka duduk di atas balok-balok kayu, membuka bekal mereka, tawa dan obrolan mereka yang riuh terdengar samar dari kejauhan.
Pandanganku menyapu area itu tanpa tujuan khusus, sebuah kebiasaan saat mengawasi proyek. Lalu, mataku menangkap sebuah gerakan di pinggir area konstruksi. Seorang wanita berjalan masuk dari gerbang depan, membawa sebuah keranjang anyaman besar yang tampak berat. Ia berjalan dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa, seolah tidak ingin berlama-lama di bawah terik matahari.
Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikannya. Mungkin istri salah satu pekerja, atau penjual makanan keliling. Ia mengenakan blus sederhana berwarna pudar dan celana panjang gelap yang sedikit kotor di bagian bawahnya. Rambutnya diikat ke belakang dengan karet gelang seadanya, beberapa helai anak rambut yang basah oleh keringat menempel di pelipisnya.
Ia berjalan ke arah area istirahat para pekerja. Mereka menyambutnya dengan akrab, beberapa di antaranya membantunya menurunkan keranjang berat itu. Ia mulai mengeluarkan bungkusan-bungkusan nasi dan membagikannya.
Ada sesuatu yang familiar dari gerakannya. Cara ia sedikit membungkuk saat menyerahkan bungkusan, cara ia menyibakkan anak rambut dari wajahnya dengan punggung tangan. Sebuah gerakan kecil yang entah kenapa terasa begitu akrab, seperti gema dari kehidupan lain.
Tidak mungkin, pikirku, menggelengkan kepala pelan, mencoba mengusir pikiran konyol itu. Aku pasti hanya kelelahan.
Aku kembali fokus pada cetak biru di hadapanku, tetapi pikiranku tidak lagi di sana. Mataku, seolah punya kemauan sendiri, kembali tertarik ke arah sosok wanita itu. Ia kini sedang menerima lembaran-lembaran uang lecek dari para pekerja, memasukkannya ke dalam sebuah kantong kain kecil.
Dari jarak ini, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tapi aku bisa melihat postur tubuhnya. Pundaknya yang sedikit membungkuk, seolah menanggung beban yang tak terlihat. Kelelahannya yang terpancar bahkan dari kejauhan.
Lalu ia tertawa. Seorang pekerja mungkin melontarkan sebuah lelucon, dan ia tertawa. Bukan tawa lepas yang pernah kukenal. Hanya sebuah tawa singkat yang sopan, tetapi getarannya melintasi jarak dan debu, dan menghantamku tepat di dada.
Aku kenal tawa itu.
Darah di tubuhku seolah berhenti mengalir. Dunia di sekelilingku—deru mesin, teriakan pekerja, panas matahari—semuanya lenyap. Yang ada hanyalah sosok wanita itu, yang kini terasa seperti satu-satunya hal nyata di alam semesta.
Tidak. Tidak mungkin dia.
Pikiranku berteriak menyangkal, tetapi mataku tidak bisa berbohong. Aku teringat pada unggahan-unggahan media sosialnya. Wanita glamor dengan gaun sutra dan segelas sampanye. Wanita yang makan malam di restoran mewah dan berlibur ke Bali. Wanita itu tidak mungkin berada di sini, di tengah debu dan keringat, menjual nasi bungkus kepada para kuli bangunan. Citra itu begitu tidak masuk akal, begitu mustahil, hingga aku yakin aku sedang berhalusinasi.
"Ren? Kamu kenapa?" Suara Maya terdengar di sampingku. Ia sudah selesai dengan teleponnya. "Kamu lihat apa?"
Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya terus menatap. Wanita itu selesai dengan transaksinya. Ia mengangkat keranjangnya yang kini kosong, lalu berbalik untuk pergi.
Saat itulah, untuk sepersekian detik, ia menoleh ke arah kami. Mungkin karena mendengar suara Maya, atau mungkin hanya kebetulan. Matahari siang yang terik menyinari wajahnya dengan jelas.
Dan duniaku runtuh untuk kedua kalinya.
Itu dia. Difrina. Wajahnya lebih tirus, kulitnya sedikit lebih gelap karena terbakar matahari. Ada lingkaran hitam samar di bawah matanya, mata yang sama yang dulu selalu berbinar menatapku. Kini, binar itu telah hilang, digantikan oleh kelelahan yang begitu mendalam.
Itu dia. Menjual nasi bungkus. Di lokasi proyekku.
Kenyataan itu begitu brutal, begitu sureal, hingga aku merasa seperti terlempar keluar dari tubuhku sendiri. Badai emosi yang kompleks menghantamku secara bersamaan. Syok yang melumpuhkan. Iba yang begitu kuat hingga terasa seperti rasa sakit fisik—sebuah iba yang tidak kuinginkan, iba yang terasa seperti pengkhianatan terhadap diriku sendiri. Sisa-sisa kemarahan yang ku kira telah padam, kini kembali membara. Dan di bawah semua itu, ada rasa sakit yang tumpul dan akrab, rasa sakit karena melihat orang yang pernah kau cintai berada dalam kondisi yang begitu menyedihkan.
Apa yang terjadi? Di mana pria itu? Di mana dunia berkilauan yang telah ia pilih? Apakah ini semacam karma? Apakah aku seharusnya merasa puas? Aku tidak merasakan apa-apa selain kekacauan yang memuakkan di dalam diriku.
Saat ia berbalik, matanya yang lelah secara tidak sengaja bertemu dengan mataku.
Hanya sesaat. Mungkin tidak lebih dari dua detik. Tapi dalam dua detik itu, aku melihat segalanya. Aku melihat pengenalan di matanya, diikuti oleh gelombang syok yang membuat seluruh tubuhnya menegang. Lalu syok itu berubah menjadi rasa malu yang begitu telanjang, begitu murni, hingga aku hampir tidak sanggup melihatnya. Dan terakhir, ada kengerian. Kengerian seorang buronan yang akhirnya ditemukan.
Ia tersentak mundur seolah baru saja melihat hantu. Bungkusan kosong yang masih ada di tangannya jatuh ke tanah. Ia tidak memungutnya. Ia hanya berbalik dan lari. Bukan berjalan cepat. Lari. Dengan gerakan panik dan putus asa, ia berlari melewati gerbang proyek, menghilang di antara keramaian jalanan.
Aku hanya bisa berdiri di sana, membeku, helm proyek di kepalaku terasa begitu berat. Aku ingin memanggilnya. Aku ingin mengejarnya. Aku ingin menuntut penjelasan. Tapi kakiku seolah terpaku di lantai beton.
"Rendra, itu tadi..." Suara Maya terdengar ragu-ragu di sampingku. Ia juga melihatnya.
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap ke arah gerbang tempat ia menghilang, sebuah siluet yang ditelan oleh panas dan debu. Kedamaian yang telah kubangun dengan susah payah selama berbulan-bulan kini hancur berkeping-keping. Hantu yang kukira telah kuusir, ternyata tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya bersembunyi di tempat yang paling tidak kuduga. Dan kini, ia kembali, membawa serta semua pertanyaan dan rasa sakit yang kukira telah berhasil kukubur.
Bab 42: Gema di Tengah Kebisingan
Dunia tidak berhenti berputar. Mesin molen terus berderu dengan raungan yang monoton. Gergaji besi masih melengking memekakkan telinga. Para pekerja masih berteriak, tawa mereka yang kasar masih terdengar dari kejauhan. Panas matahari masih menghantam helm proyekku dengan kekuatan yang sama. Semuanya masih sama. Tapi aku telah berubah. Aku telah pecah menjadi serpihan-serpihan kecil dalam dua detik yang sunyi itu.
Aku masih berdiri di lantai dua, membeku, tanganku masih memegang cetak biru yang kini terlihat seperti selembar kertas asing yang tak kumengerti. Mataku terpaku pada gerbang depan, tempat ia menghilang, ditelan oleh hiruk pikuk jalanan yang tak peduli. Difrina. Di sini. Menjual nasi bungkus. Citra itu terus berputar di kepalaku, sebuah film pendek yang diputar ulang tanpa henti, setiap putarannya terasa lebih brutal dari sebelumnya.
Wajahnya yang lelah. Rambutnya yang diikat seadanya. Blusnya yang pudar. Keringat di pelipisnya. Dan matanya. Ya Tuhan, matanya. Kepanikan, rasa malu, dan kengerian yang telanjang di matanya saat ia melihatku. Itu bukan citra wanita glamor yang selama ini kupaksa untuk kubayangkan, wanita yang hidup bahagia di dunia barunya yang berkilauan. Ini adalah citra seorang wanita yang kalah. Seorang wanita yang hancur.
"Pak Rendra?" Suara Pak Tono, sang mandor, terdengar di sampingku, tetapi terasa seperti datang dari jarak bermil-mil. "Soal tulangan balok tadi, jadi kita..."
Aku menoleh padanya, tetapi aku tidak benar-benar melihatnya. Wajahnya kabur. Suara-suara di sekelilingku—deru mesin, teriakan, dentuman palu—semuanya melebur menjadi satu dengungan yang memekakkan di telingaku. Aku merasa seperti sedang tenggelam, dan suara-suara dunia luar hanyalah gema yang samar dari permukaan.
"Ren!"
Sebuah tangan mencengkeram lenganku, tarikannya kuat dan memaksa. Maya. Ia menatapku, matanya yang tajam menyipit karena khawatir dan jengkel. "Kamu dengar aku?"
Aku hanya bisa menatapnya kosong.
"Cukup untuk hari ini," katanya, lebih pada Pak Tono daripada padaku. "Inspeksinya kita lanjutkan besok. Pak Rendra sedang tidak enak badan."
Ia tidak menunggu persetujuan. Ia menarikku, menyeretku menjauh dari cetak biru, menjauh dari kebisingan, menjauh dari tatapan bingung para pekerja. Setiap langkah terasa berat, seolah sepatu botku dipenuhi oleh semen basah. Kedamaian yang telah kubangun dengan susah payah selama berbulan-bulan kini terasa seperti sebuah lelucon yang kejam. Fondasi baruku ternyata hanya terbuat dari kardus, basah kuyup dan ambruk oleh satu pertemuan tak terduga.
Perjalanan di dalam mobil kembali ke studio adalah sebuah penyiksaan dalam keheningan. Maya tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menyetir, sesekali melirik ke arahku dengan cemas. Aku bersyukur untuk keheningannya. Aku tidak punya kata-kata. Pikiranku adalah sebuah badai.
Kenapa dia terlihat seperti itu? Di mana pria itu? Di mana semua kemewahan yang telah ia pilih?
Aku teringat pada foto-fotonya. Gaun sutra. Restoran mewah. Pesta. Apakah semua itu bohong? Ataukah kebahagiaan itu begitu rapuh hingga bisa lenyap dalam beberapa bulan saja?
Lalu kemarahan mulai merayap masuk, panas dan beracun. Kemarahan pada Adrian, pria tak berwajah yang telah mengambilnya dariku dan, sepertinya, telah mencampakkannya begitu saja. Kemarahan pada Difrina, karena kesombongannya, karena kebodohannya. Kenapa ia tidak meminta bantuan? Kenapa ia lebih memilih menjual nasi bungkus di tengah debu konstruksi daripada menelepon keluarganya, atau... atau aku?
Lalu kemarahan itu berbalik pada diriku sendiri. Kenapa aku masih peduli? Kenapa melihatnya menderita justru terasa lebih menyakitkan daripada saat aku membayangkannya bahagia dengan pria lain? Rasa iba ini terasa seperti pengkhianatan terhadap diriku sendiri, terhadap semua rasa sakit yang telah ia timpakan padaku. Aku seharusnya merasa puas. Aku seharusnya merasakan semacam keadilan kosmis. Tapi aku tidak merasakan apa-apa selain kekacauan yang memuakkan di dalam perutku.
Apakah pemulihanku nyata? Ataukah selama ini aku hanya membangun sebuah panggung yang indah di atas jurang yang menganga, dan aku baru saja tergelincir jatuh kembali ke dalamnya?
Saat kami tiba di studio, aku merasa seperti baru saja kembali dari perjalanan yang sangat jauh. Studio yang tadinya terasa seperti rumah, kini terasa seperti ruang interogasi yang dingin dan sunyi. Maya mengikutiku masuk, menutup pintu di belakang kami. Suara klik pintu yang terkunci terdengar begitu final.
Aku tidak bisa diam. Aku mulai berjalan mondar-mandir di ruangan yang sempit itu, seperti seekor binatang yang terperangkap. Aku melepas helm proyekku dan melemparkannya ke atas meja dengan suara debam yang keras.
"Apa yang terjadi padanya, May?" akhirnya aku meledak, suaraku serak dan penuh keputusasaan. Aku tidak lagi berbicara pada Maya; aku berteriak pada alam semesta. "Kenapa dia terlihat seperti itu? Menjual nasi bungkus? Di sana? Dari semua tempat di dunia ini, kenapa harus di sana?"
Maya hanya diam, membiarkanku meluapkan semuanya.
"Dia seharusnya bahagia!" lanjutku, suaraku kini bergetar. "Dia memilih kehidupan itu! Dia meninggalkan segalanya untuk itu! Seharusnya dia sekarang sedang minum sampanye di Bali, bukan menghitung uang receh di tengah debu!"
Aku berhenti, napasku terengah-engah. Aku menatap Maya, mencari jawaban di matanya. "Apakah kamu tahu sesuatu? Apakah kamu pernah mendengarnya?"
"Tidak, Ren," katanya pelan, suaranya tenang, mencoba menjadi jangkar di tengah badai emosiku. "Aku sama terkejutnya sepertimu."
"Lalu kenapa?" tanyaku, suaraku kini terdengar seperti rengekan seorang anak kecil. "Kenapa ini terasa... salah? Aku seharusnya tidak peduli lagi. Aku sudah melepaskannya. Aku sudah menjual rumah itu. Aku sudah membangun semua ini." Aku mengayunkan tanganku ke sekeliling studio, ke arah sketsa-sketsa dan maket-maket yang kini terlihat seperti mainan yang rapuh. "Kenapa melihatnya seperti itu terasa seperti... seperti meruntuhkan segalanya?"
Maya berjalan mendekat, tetapi tidak menyentuhku. "Karena kamu pria yang baik, Rendra," katanya. "Dan itu adalah kutukan sekaligus anugerahmu."
"Aku tidak mau menjadi pria baik!" seruku. "Aku mau menjadi pria yang tidak merasakan apa-apa saat melihat wanita yang telah menghancurkannya berada di titik terendahnya! Aku mau menjadi pria yang bisa berbalik dan pergi tanpa menoleh ke belakang!"
"Tapi kamu bukan pria seperti itu," balasnya. "Dan kamu tahu itu."
Aku menyandarkan kepalaku ke dinding yang dingin, merasakan butiran cat yang kasar di kulitku. "Apa yang harus kulakukan sekarang, May?" bisikku, akhirnya mengakui kekalahanku. "Aku tidak bisa berpura-pura tidak melihatnya. Aku tidak bisa kembali bekerja besok, mengawasi proyek itu, sambil tahu bahwa ia mungkin akan muncul lagi di sana, dengan keranjang nasinya. Aku tidak bisa."
"Kamu tidak tahu cerita lengkapnya, Ren," kata Maya, mengulangi logikanya yang dingin. "Jangan berasumsi. Mungkin ini hanya sementara. Mungkin ia sedang bertengkar dengan pria itu. Mungkin ia hanya sedang mencoba mandiri. Kamu tidak tahu apa-apa."
"Tapi aku melihat matanya," kataku, mengingat kembali momen singkat saat tatapan kami bertemu. "Itu bukan mata seorang wanita yang sedang mencoba mandiri. Itu adalah mata seorang wanita yang ketakutan dan putus asa. Aku kenal tatapan itu, May. Aku pernah melihatnya di cermin selama berbulan-bulan."
Kami terdiam lagi. Kebisingan dari lokasi konstruksi tadi kini telah digantikan oleh gema yang sunyi di dalam kepalaku. Gema dari sebuah pertemuan yang seharusnya tidak pernah terjadi.
"Aku harus melakukan sesuatu," kataku akhirnya, lebih pada diriku sendiri.
"Melakukan apa?" tanya Maya, nadanya waspada. "Mencarinya? Menawarinya bantuan? Menjadi pahlawannya lagi? Jangan bodoh, Rendra."
"Aku tidak tahu," aku mengaku, merasa lelah luar biasa. "Aku benar-benar tidak tahu."
Aku menatap ke luar jendela, ke arah langit yang mulai memerah. Kedamaian yang telah kubangun dengan susah payah kini terasa seperti kenangan yang jauh. Hantu itu telah kembali. Dan kali ini, ia tidak lagi hanya menghantui mimpiku. Ia telah menampakkan wujudnya di dunia nyataku. Dan aku tidak tahu apakah aku punya kekuatan untuk menghadapinya lagi.
Bab 43: Wajah di Antara Debu
Lari.
Hanya itu yang ada di kepalaku. Satu kata perintah yang primitif dan mendesak, mengalahkan semua pikiran rasional. Kakiku bergerak sendiri, membawaku menjauh dari lokasi konstruksi itu, menjauh dari tatapan matanya. Aku tidak menoleh ke belakang. Aku tidak berani. Aku hanya berlari, menabrak bahu-bahu orang asing di trotoar yang ramai, mengabaikan umpatan dan tatapan jengkel mereka.
Dunia di sekelilingku adalah sebuah kekacauan yang kabur. Suara klakson yang memekakkan telinga, deru mesin bajaj, dan teriakan pedagang kaki lima melebur menjadi satu dengungan yang menyiksa di telingaku. Debu jalanan yang beterbangan terasa seperti pasir di mataku, membuat pandanganku semakin kabur oleh air mata yang mengancam akan tumpah. Napasku tersengal-sengal, setiap tarikannya terasa seperti menghirup api. Keranjang anyaman yang kosong di tanganku terasa begitu berat, sebuah simbol dari kehampaan hidupku yang baru saja dipertontonkan.
Dia melihatku.
Kalimat itu berputar-putar di benakku, setiap katanya adalah sebuah cambukan. Dia melihatku. Bukan sebagai Difrina yang anggun di apartemen mewah. Bukan sebagai Difrina yang cerdas dari masa kuliah kami. Dia melihatku sebagai penjual nasi bungkus yang kotor dan kelelahan. Dia melihatku di titik terendahku, di tengah puing-puing kehidupanku yang telah kuhancurkan sendiri.
Rasa malu itu begitu luar biasa, begitu total, hingga terasa seperti sensasi fisik. Rasanya seperti seluruh kulitku terbakar. Aku ingin sekali menghilang, menjadi tidak terlihat, ditelan oleh keramaian kota ini.
Aku melihat sebuah angkot berwarna biru yang penuh sesak berhenti di depanku. Tanpa berpikir, aku melompat naik, memaksakan diri masuk di antara penumpang lain yang menatapku dengan kesal. Aku berhasil mendapatkan tempat di dekat pintu yang terbuka, berpegangan erat pada tiang besi yang panas dan lengket.
Angkot itu kembali melaju, membawaku menjauh. Aku menatap ke luar, ke arah lokasi konstruksi yang perlahan mengecil di kejauhan. Aku merasa seperti seorang buronan yang baru saja berhasil lolos dari tempat kejadian perkara. Tapi aku tidak merasa lega. Aku merasa telanjang.
Di dalam angkot yang panas dan sesak ini, paranoia mulai merayap masuk. Aku merasa setiap penumpang menatapku, menghakimiku. Aku menarik lututku lebih dekat ke dada, mencoba membuat diriku sekecil mungkin. Aku menundukkan kepala, membiarkan rambutku yang acak-acakan menutupi sebagian wajahku.
Pikiranku mulai memutar ulang momen singkat itu, membedahnya dengan presisi seorang ahli bedah yang menyiksa. Wajah Rendra. Aku mencoba mengingat setiap detailnya. Ia terlihat berbeda. Lebih kurus, ya, tapi juga lebih... kokoh. Tidak ada lagi kelembutan naif di matanya. Ia mengenakan kemeja bersih dan helm proyek, berdiri di sana, di tengah dunianya yang baru, tampak begitu kompeten, begitu berkuasa. Ia adalah seorang pencipta, seorang pembangun. Sementara aku? Aku adalah seorang perusak.
Dan tatapan matanya saat ia melihatku. Apa arti tatapan itu? Aku memutarnya berulang kali di kepalaku, mencoba mencari makna. Apakah itu iba? Pikiran itu membuatku mual. Aku tidak butuh rasa ibanya. Apakah itu jijik? Melihat betapa rendahnya aku telah jatuh? Atau apakah itu kemarahan? Kemarahan yang dingin dan terkendali karena aku berani muncul di dunianya lagi?
Aku tidak tahu. Tapi aku memproyeksikan semua rasa benciku pada diri sendiri ke dalam interpretasiku atas tatapannya. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ia melihatku persis seperti apa adanya diriku sekarang: seorang wanita menyedihkan yang gagal. Seorang pecundang. Lelucon kosmis. Wanita yang menukar surga dengan neraka, dan kini harus merangkak di antara debu dan keringat hanya untuk bertahan hidup.
Perjalanan menuju rumah Mbak Laras terasa seperti selamanya. Setiap kali angkot berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, aku merasa cemas, takut jika tiba-tiba aku melihat mobilnya mengikutiku. Tentu saja itu konyol. Untuk apa ia mengikutiku? Aku bukan lagi urusannya.
Saat aku akhirnya tiba di depan gang rumah kakakku, aku membayar ongkos dengan tangan yang masih gemetar. Aku berjalan dengan langkah gontai, setiap langkah terasa berat. Rumah Mbak Laras, yang selama ini menjadi satu-satunya tempat perlindunganku, kini terasa seperti tempat persembunyian yang tidak lagi aman. Dunia ini sempit, kata Mbak Laras. Dan ia benar. Aku tidak bisa lari selamanya.
Aku masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamarku, dan mengunci pintunya. Aku tidak ingin bertemu siapa pun. Aku tidak ingin menjelaskan apa pun. Aku hanya ingin sendirian dengan rasa maluku. Aku berjongkok di sudut kamar yang remang-remang, memeluk lututku, dan membiarkan tubuhku gemetar.
Aku memutar ulang lagi dan lagi. Rendra yang baru, yang berdiri tegak di tengah proyeknya yang megah. Dan aku yang sekarang, yang berbau bawang dan keringat, dengan kapalan di tanganku. Dulu, kami berdiri sejajar. Aku adalah dunianya. Kini, kami berada di alam semesta yang berbeda. Ia telah membangun kembali dunianya dari puing-puing yang kutinggalkan, membangunnya menjadi sesuatu yang lebih besar dan lebih kuat. Sementara aku, aku hanya berhasil menemukan cara-cara baru untuk jatuh lebih dalam.
Aku tidak tahu berapa lama aku duduk di sana. Mungkin satu jam. Mungkin dua. Hingga akhirnya aku mendengar suara kunci dimasukkan ke pintu depan, diikuti oleh suara Mbak Laras yang memanggil namaku.
"Dif? Kamu sudah pulang?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya semakin meringkuk, berharap ia akan mengira aku belum pulang dan meninggalkanku sendirian.
Langkah kakinya mendekat ke kamarku. Ia mengetuk pintu. "Dif? Kamu di dalam?"
Keheninganku adalah sebuah jawaban.
Aku mendengar helaan napasnya yang lelah dari balik pintu. "Buka pintunya, Difrina."
Aku menggeleng, meskipun aku tahu ia tidak bisa melihatnya.
"Difrina, jangan seperti ini. Buka pintunya, atau Mbak dobrak." Ada nada baja dalam suaranya yang kukenal dengan baik. Ia tidak main-main.
Dengan enggan, aku bangkit. Kakiku terasa seperti jeli. Aku membuka kunci pintu dengan pelan.
Mbak Laras berdiri di sana, masih mengenakan pakaian kerjanya. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi matanya tajam dan waspada. Ia melihat mataku yang bengkak, rambutku yang acak-acakan, dan ekspresiku yang hancur.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, nadanya praktis, tetapi ada kekhawatiran yang mendasar di dalamnya.
Aku tidak bisa menatap matanya. Aku hanya menunduk, menatap lantai. "Tidak ada apa-apa, Mbak."
"Jangan bohong padaku," katanya, melangkah masuk ke dalam kamarku dan menutup pintu di belakangnya. "Kamu terlihat seperti baru saja melihat hantu. Ceritakan."
Aku berjalan ke tepi ranjang dan duduk, tubuhku terasa begitu berat. Aku tidak mau menceritakannya. Mengucapkan kejadian itu dengan lantang akan membuatnya semakin nyata, semakin memalukan.
"Sudah Mbak bilang, dunia ini sempit, Dif," katanya, suaranya kini lebih lembut, ia duduk di sampingku. "Kamu tidak bisa lari selamanya. Cepat atau lambat, kamu akan bertemu dengannya. Jadi, apa yang terjadi?"
Aku menarik napas dalam-dalam, sebuah napas yang bergetar. Aku mengangkat wajahku, menatap kakakku dengan semua keputusasaan yang kumiliki.
"Dia melihatku, Mbak," bisikku, dan suaraku akhirnya pecah. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah. "Dia melihatku. Dia melihat betapa menyedihkannya aku sekarang."
Mbak Laras tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengulurkan tangan dan merangkul bahuku. Di dalam pelukannya yang hangat dan nyata, aku akhirnya membiarkan diriku hancur. Aku menangis, bukan lagi karena rasa takut atau panik, melainkan karena rasa malu yang begitu total, karena kesadaran yang brutal bahwa benteng anonimitasku telah runtuh, dan aku kini sepenuhnya terekspos di hadapan pria yang paling tidak kuinginkan untuk melihat kejatuhanku.
Bab 44: Duri dalam Hening
Pekerjaan seharusnya menjadi penyelamatku. Garis-garis presisi di atas kertas, logika dingin dari struktur bangunan, dan tuntutan-tuntutan teknis dari klien seharusnya menjadi benteng yang kokoh, melindungiku dari kekacauan emosi. Selama berbulan-bulan, strategi itu berhasil. Studio ini adalah duniaku yang teratur, tempat di mana setiap masalah memiliki solusi, tempat di mana aku memegang kendali.
Tapi hari ini, benteng itu terasa seperti terbuat dari kaca.
Aku duduk di depan meja gambarku, menatap kosong pada sketsa detail fasad perpustakaan. Garis-garis yang kemarin terlihat begitu penuh harapan dan menjanjikan, kini tampak seperti coretan-coretan naif. Maket megah di sudut ruangan, yang kemarin menjadi simbol kebangkitanku, kini terasa seperti sebuah ejekan. Bagaimana aku bisa sibuk merancang sebuah bangunan untuk publik, sebuah monumen untuk pengetahuan dan pencerahan, saat duniaku sendiri kembali dilemparkan ke dalam kegelapan dan kebingungan?
Citra itu tidak mau pergi. Ia menempel di benakku seperti duri yang tertancap di bawah kulit, terus-menerus berdenyut, meradang. Difrina. Berdiri di tengah debu dan terik matahari, wajahnya yang lelah dipenuhi keringat, membagikan nasi bungkus dari sebuah keranjang anyaman. Gambaran itu begitu nyata, begitu gritty, hingga berhasil menghapus semua citra glamor dari unggahan media sosialnya yang pernah menyiksaku. Ini lebih buruk. Jauh lebih buruk.
Aku mencoba bekerja. Aku mengambil pensil, mencoba melanjutkan arsiran pada sebuah kolom. Tapi tanganku terasa kaku. Pikiranku terus kembali ke lokasi proyek kemarin. Ke momen singkat saat mata kami bertemu. Kepanikan di matanya. Rasa malunya yang telanjang. Dan cara ia berlari, seolah baru saja melihat iblis. Mungkin, di matanya, aku memang iblis. Hantu dari kehidupan yang telah ia coba kubur.
Aku mendorong kursiku ke belakang dengan kasar, menimbulkan suara decitan yang memekakkan di studio yang sunyi. Aku berjalan mondar-mandir, seperti seekor binatang yang terperangkap. Aku membuat secangkir kopi, tetapi lupa meminumnya, membiarkannya mendingin di atas meja, aroma pahitnya mengisi udara yang sudah terasa tegang.
Apa yang harus kulakukan? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku tanpa henti. Logika—suara Maya yang dingin dan pragmatis yang telah kuinternalisasi—berteriak padaku. Ini bukan urusanmu lagi. Dia yang memilih jalan ini. Dia yang meninggalkanmu. Dia harus menanggung konsekuensinya sendiri. Melindungi dirimu adalah prioritas utama.
Aku tahu logika itu benar. Aku telah berjuang begitu keras untuk merangkak keluar dari jurang. Aku telah membangun kembali hidupku, bata demi bata, di atas fondasi yang kubuat sendiri. Melibatkan diriku kembali dalam kekacauannya akan menjadi tindakan bunuh diri emosional. Itu akan meruntuhkan semua yang telah kubangun.
Tetapi kemudian, emosi—bagian irasional dari diriku yang menolak untuk mati—berbisik dengan suara yang berbeda. Lihat betapa menderitanya dia. Di mana pria yang katanya akan mencampakkannya? Di mana semua kemewahan itu? Dia sendirian. Dia ketakutan.
Apakah ini cinta? Aku bertanya pada diriku sendiri dengan getir. Ataukah ini hanya sisa-sisa ego seorang pria yang tidak tahan melihat apa yang pernah menjadi "miliknya" berada dalam kondisi yang begitu menyedihkan? Aku tidak tahu jawabannya. Dan ketidaktahuan itu terasa seperti siksaan.
Pintu studio terbuka, dan Maya masuk. Ia tidak perlu menjadi seorang jenius untuk tahu ada yang salah. Ia hanya menatapku yang sedang berdiri kaku di tengah ruangan, lalu menatap cangkir kopi yang tak tersentuh, dan sketsa yang terbengkalai.
"Jadi, hantu itu kembali menghantui," katanya, bukan sebagai pertanyaan. Ia meletakkan tasnya di atas kursi, lalu bersandar di meja gambarku, menatapku dengan tatapan yang tak bisa kutembus.
"Aku tidak bisa bekerja," aku mengaku, suaraku serak.
"Aku lihat," balasnya singkat. "Jadi, apa rencanamu? Akan terus mondar-mandir di sini sampai lantainya berlubang?"
"Aku tidak punya rencana!" seruku, frustrasi akhirnya meledak. "Apa yang kamu harapkan dariku, May? Berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Melanjutkan menggambar seolah aku tidak baru saja melihat wanita yang pernah menjadi separuh hidupku menjual nasi bungkus di lokasi proyekku sendiri?"
"Ya," katanya tanpa ragu. "Persis. Itulah yang kuharapkan darimu. Itulah yang seharusnya dilakukan oleh orang yang sudah berhasil move on."
Kata-katanya terasa seperti tamparan. "Aku tidak bisa!"
"Kenapa tidak?" desaknya, melangkah mendekat. "Karena kamu merasa kasihan padanya? Karena sisa-sisa perasaanmu yang bodoh itu kembali muncul?"
"Aku tidak tahu!" teriakku. "Mungkin! Mungkin aku merasa kasihan! Mungkin aku marah! Mungkin aku bingung! Yang kutahu adalah aku tidak bisa hanya duduk di sini dan tidak melakukan apa-apa!"
"Melakukan apa, Rendra?" tantangnya, suaranya kini meninggi, menandingi suaraku. "Menjadi pahlawan kesiangan? Menyelamatkannya dari konsekuensi yang ia ciptakan sendiri? Kamu mau mencarinya? Lalu apa? Menawarinya uang? Menawarinya pekerjaan? Membawanya kembali ke dalam hidupmu?"
Setiap pertanyaan adalah sebuah tusukan, menelanjangi semua impuls bodoh yang berkecamuk di dalam diriku.
"Dia yang meninggalkanmu, Ren!" lanjut Maya, suaranya kini lebih pelan namun tak kalah tajam. "Dia yang memilih pria lain dan dunia lain. Jika dunia itu ternyata tidak seindah yang ia bayangkan, itu adalah pelajarannya, bukan tanggung jawabmu. Kamu sudah membayar hargamu. Kamu sudah melewati nerakamu sendiri. Jangan dengan bodohnya berjalan kembali ke dalam api hanya karena kamu melihatnya terbakar."
"Tapi dia terlihat begitu..." aku berhenti, tidak sanggup menyelesaikan kalimat itu. Rapuh. Hancur. Sendirian.
"Dia terlihat seperti orang yang membuat pilihan yang salah," kata Maya, menyelesaikan kalimatku dengan kebrutalannya yang khas. "Dan orang dewasa harus hidup dengan pilihan mereka. Termasuk kamu. Pilihanmu sekarang adalah melindungi semua yang telah kamu bangun kembali. Studio ini. Reputasimu. Kewarasanmu. Apakah kamu akan membuang semua itu hanya karena rasa iba yang salah tempat?"
Aku memalingkan wajah, menatap ke arah maket perpustakaan di sudut ruangan. Sebuah simbol dari masa depanku. Sebuah dunia yang kubangun tanpanya. Apakah aku siap mempertaruhkan semua itu?
"Ini bukan lagi tentang cinta, Ren," kata Maya, seolah bisa membaca pikiranku. "Ini tentang bertahan hidup. Kamu sudah hampir tenggelam sekali. Jangan biarkan orang yang sama menyeretmu ke bawah lagi, bahkan jika ia melakukannya tanpa sengaja."
Kami berdiri dalam keheningan yang tegang. Argumennya begitu logis, begitu benar, hingga aku tidak bisa membantahnya. Tapi hatiku, hatiku yang irasional dan terluka ini, menolak untuk mendengarkan. Ia masih terperangkap dalam gema dari masa lalu, dalam citra seorang wanita yang menangis ketakutan saat melihat wajahku di antara debu.
"Aku hanya... aku hanya perlu tahu dia baik-baik saja," bisikku akhirnya, sebuah kompromi yang menyedihkan antara logika dan emosi.
Maya menatapku lama, ekspresinya adalah campuran antara frustrasi dan pengertian yang lelah. "Dan setelah kamu tahu? Lalu apa? Apakah itu akan membuatmu merasa lebih baik? Ataukah itu hanya akan membuka pintu bagi lebih banyak rasa sakit?"
Aku tidak punya jawaban.
Ia menghela napas panjang. "Lakukan apa yang harus kamu lakukan, Rendra. Kamu sudah dewasa. Tapi ingat ini: terkadang, tindakan paling penuh kasih yang bisa kau lakukan untuk seseorang—dan untuk dirimu sendiri—adalah membiarkannya pergi. Sepenuhnya."
Ia mengambil tasnya. "Aku akan menangani klien hari ini. Kamu... bereskan saja kekacauan di kepalamu."
Pintu studio tertutup di belakangnya, meninggalkanku sendirian lagi dengan kebisingan di dalam kepalaku. Aku berjalan ke mejaku, duduk, dan menatap ponselku yang tergeletak di sana. Aku tahu apa yang ingin kulakukan. Aku ingin mencarinya. Aku ingin memastikan ia tidak kelaparan, tidak tidur di jalanan. Sebuah dorongan yang begitu kuat, begitu primitif.
Tapi aku juga mendengar suara Maya, gema logikanya yang dingin. Ini bukan urusanmu lagi.
Aku duduk di sana, terjebak di antara dua dunia. Dunia di mana aku adalah pria baik yang tidak bisa membiarkan orang lain menderita. Dan dunia di mana aku adalah pria yang selamat, yang harus melindungi kedamaiannya dengan segala cara.
Aku menatap kunci mobilku yang tergeletak di samping ponsel. Benda kecil itu terasa seperti sebuah keputusan. Mengambilnya berarti memilih masa lalu. Membiarkannya di sana berarti memilih masa depan.
Aku hanya duduk di sana, menatap kedua benda itu, tidak mampu bergerak, sementara di dalam diriku, perang itu terus berkecamuk tanpa ada tanda-tanda akan berakhir.
Bab 45: Bayang-Bayang di Siang Hari
Tidur tidak lagi menjadi tempat perlindungan. Ia kini hanyalah jeda singkat yang gelisah di antara episode-episode ketakutan. Aku terbangun pagi itu bukan karena cahaya matahari, melainkan karena suara deru motor yang lewat di depan rumah Mbak Laras. Jantungku langsung berdebar kencang, tubuhku menegang. Selama sepersekian detik yang terasa seperti selamanya, aku yakin itu adalah dia. Rendra. Datang untuk menemukanku.
Aku berbaring diam di atas ranjang, menahan napas, mendengarkan dengan saksama. Suara motor itu menjauh, lalu lenyap, digantikan oleh kicau burung dan suara kokok ayam dari halaman tetangga. Bahaya telah berlalu. Tapi sisa-sisa adrenalin masih mengalir di pembuluh darahku, meninggalkan rasa dingin dan gemetar.
Kamar tamu ini, yang beberapa hari lalu terasa seperti surga yang aman, kini terasa seperti sel penjara yang terekspos. Jendelanya yang menghadap ke jalan terasa seperti mata raksasa yang mengawasiku. Aku bangkit dan segera menutup tirainya rapat-rapat, menciptakan kegelapan semu yang sedikit menenangkan.
Beginilah hidupku sekarang. Dikuasai oleh paranoia. Setiap suara yang tidak kukenal, setiap bayangan yang bergerak, adalah ancaman. Aku telah berhasil melarikan diri dari sangkar emas Adrian, hanya untuk membangun penjaraku sendiri yang terbuat dari rasa takut dan malu.
"Dif? Kamu sudah bangun?" Suara Mbak Laras terdengar dari balik pintu, diikuti oleh ketukan pelan. "Sarapan sudah siap."
"Iya, Mbak. Sebentar lagi," jawabku, mencoba membuat suaraku terdengar normal.
Aku memaksa diriku untuk bangkit. Aku harus bekerja. Uang hasil menjual gaun itu tidak akan bertahan selamanya, dan aku tidak bisa terus-menerus menjadi beban bagi kakakku. Bekerja di warung Ibu Wati adalah satu-satunya hal yang kumiliki, satu-satunya bukti bahwa aku masih bisa berfungsi.
Tapi pikiran untuk melangkah keluar dari rumah ini terasa seperti akan berjalan di atas bara api.
Saat sarapan, keteganganku pasti terlihat begitu jelas. Aku terus-menerus melirik ke arah jendela depan, setiap kali ada mobil yang melambat, perutku terasa melilit.
"Kamu mau terus hidup seperti ini?" tanya Mbak Laras, nadanya dipenuhi frustrasi. Ia meletakkan sendoknya dengan sedikit kasar. "Seperti buronan? Kamu bahkan tidak berani membuka tirai kamarmu."
"Aku hanya... butuh waktu, Mbak," kataku lirih.
"Waktu untuk apa, Difrina?" desaknya. "Untuk bersembunyi? Dunia ini sempit. Cepat atau lambat kamu harus menghadapinya. Menghadapi dia. Bersembunyi seperti ini hanya akan membuatmu gila."
Aku tidak menjawab. Bagaimana aku bisa menjelaskan padanya? Ini bukan lagi hanya tentang menghadapi Rendra. Ini tentang menghadapi diriku sendiri yang telah dilihatnya. Aku tidak takut ia akan menyakitiku secara fisik. Aku takut pada tatapan matanya. Tatapan yang kulihat kemarin—campuran antara syok, kebingungan, dan sesuatu yang kutafsirkan sebagai iba yang dingin. Aku tidak sanggup melihat tatapan itu lagi. Kemungkinan ia akan menawariku "bantuan"—sebuah tindakan amal yang lahir dari rasa kasihan—adalah penghinaan terakhir yang tidak akan sanggup kutanggung.
Perjalanan menuju warung adalah sebuah penyiksaan. Aku mengenakan topi tua milik Mas Doni, menariknya rendah-rendah hingga menutupi sebagian wajahku. Setiap langkah di trotoar yang ramai terasa seperti berjalan di atas panggung. Aku merasa setiap orang yang berpapasan denganku menatapku, mengenali, dan menghakimiku. Aku menundukkan kepala, berjalan cepat, memeluk tasku erat-erat. Sebuah mobil sedan berwarna perak, mirip seperti mobil Rendra yang dulu, melambat di sampingku. Jantungku terasa seperti berhenti berdetak. Aku hampir berteriak. Ternyata mobil itu hanya mencari tempat parkir. Aku bersandar pada dinding sebuah toko, mencoba menenangkan napasku yang tersengal-sengal. Aku membenci diriku sendiri karena kelemahanku ini.
Saat aku tiba di Warung "Sumber Rejeki", aku sudah basah oleh keringat dingin. Aroma bawang dan tumisan bumbu yang biasanya terasa membumi, kini terasa menyesakkan.
Pekerjaan menjadi pelarian sekaligus siksaan. Di satu sisi, tuntutan fisik yang tanpa henti—menggosok panci, memotong sayuran, mengelap meja—memaksaku untuk tidak berpikir. Tapi di sisi lain, lingkungan warung yang terbuka membuatku merasa terekspos. Area cuci piring terletak di bagian belakang, tetapi aku harus sesekali ke depan untuk mengambil tumpukan piring kotor. Setiap kali aku melangkah keluar dari dapur, aku melakukannya dengan kepala tertunduk, mataku menyapu lantai, menghindari kontak mata dengan pelanggan.
Setiap pelanggan baru yang masuk membuatku tersentak. Aku akan melirik cepat dari sudut mataku, memastikan itu bukan dia. Jantungku akan berdebar kencang selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali normal. Hidup dalam kewaspadaan konstan seperti ini begitu melelahkan.
Kinerjaku menurun drastis. Gerakanku yang tadinya mulai efisien, kini kembali lambat dan ragu-ragu. Pikiranku tidak fokus.
"Difrina!"
Aku tersentak kaget, tanganku yang licin karena sabun secara tidak sengaja melepaskan sebuah piring. Benda itu jatuh ke lantai keramik dengan suara PRAAANG! yang memekakkan, pecah menjadi puluhan kepingan tajam.
Seluruh dapur terdiam. Semua mata tertuju padaku. Ibu Wati berjalan cepat ke arahku, wajahnya mengeras.
"Sudah berapa kali saya bilang?" katanya, suaranya dingin dan tajam. "Kalau punya masalah, selesaikan di rumah. Jangan dibawa ke sini, nanti piring pecah semua! Kamu pikir piring ini tidak beli pakai uang?"
"Maaf, Bu. Saya tidak sengaja," bisikku, mataku terpaku pada pecahan piring di lantai.
"Tentu saja tidak sengaja. Tapi kelalaianmu merugikan saya," katanya. Ia menatapku lama, tatapannya yang tajam seolah menembus pertahananku. "Kamu kenapa beberapa hari ini? Melamun terus. Gerakanmu lambat. Kalau memang sudah tidak niat kerja, bilang saja. Masih banyak yang mau posisimu."
Kata-katanya terasa seperti tamparan. Aku tidak bisa menyalahkannya. Ia benar. Aku telah menjadi karyawan yang buruk. Beban.
"Maaf, Bu," hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku berjongkok, mulai memunguti pecahan piring dengan tangan gemetar, tidak peduli pada ujung-ujungnya yang tajam yang bisa melukai jariku.
Sisa hari itu, aku bekerja di bawah awan gelap rasa malu. Aku bisa merasakan bisikan-bisikan dari rekan kerjaku. Aku bisa merasakan tatapan jengkel dari Ibu Wati setiap kali ia melewatiku. Aku merasa semakin terisolasi, semakin tidak berdaya.
Saat warung akhirnya tutup, aku merasa seperti baru saja kembali dari medan perang. Kelelahan fisikku tidak seberapa dibandingkan dengan kelelahan mentalku. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak bisa hidup dalam ketakutan konstan. Aku tidak bisa bekerja dengan baik jika setiap saat aku merasa seperti sedang diawasi.
Malam itu, saat aku berbaring di kamar tamu Mbak Laras, menatap langit-langit yang gelap, sebuah keputusan mulai terbentuk di benakku. Keputusan yang lahir dari keputusasaan total.
Mbak Laras benar. Dunia ini sempit. Selama aku masih berada di kota ini, kemungkinan untuk bertemu Rendra lagi akan selalu ada. Setiap hari akan menjadi sebuah pertaruhan yang menyiksa. Aku tidak akan pernah bisa merasa tenang. Aku tidak akan pernah bisa memulai kembali dengan sungguh-sungguh jika bayang-bayangnya terus menghantuiku di setiap sudut jalan.
Aku tidak bisa mengubah masa lalu. Aku tidak bisa menghapus rasa maluku. Tapi mungkin, aku bisa lari lebih jauh lagi. Cukup jauh hingga gema dari masa laluku tidak bisa lagi menjangkauku.
Aku harus pergi dari kota ini.
Pikiran itu, yang tadinya terasa menakutkan, kini terasa seperti satu-satunya jalan keluar yang logis. Aku tidak tahu akan pergi ke mana. Aku tidak tahu akan melakukan apa. Aku hanya tahu aku harus pergi. Aku akan berhenti dari pekerjaan ini besok. Aku akan menggunakan sisa uangku untuk membeli tiket bus termurah ke kota mana pun yang bisa kujangkau.
Ini bukan lagi tentang mencari dunia yang berkilauan. Ini bukan lagi tentang membuktikan apa pun pada siapa pun. Ini hanyalah tentang bertahan hidup. Tentang menemukan sebuah tempat di dunia ini di mana aku bisa bernapas lagi tanpa rasa takut.
Bab 46: Jejak di Warung Tua
Logika adalah hal pertama yang mati saat hati mulai berdarah lagi. Selama dua hari penuh setelah melihat Difrina di lokasi proyek, aku hidup dalam perang saudara di dalam kepalaku. Satu sisi, yang terdengar seperti suara Maya yang dingin dan pragmatis, terus berteriak padaku untuk mengabaikannya, untuk melindungi kedamaian yang telah kubangun dengan susah payah. Sisi lainnya, suara yang lebih tua dan lebih lemah, terus memutar ulang citra wajahnya yang lelah, matanya yang panik.
Pada pagi hari ketiga, aku menyerah. Logika telah kalah.
Aku memarkir mobilku dua blok jauhnya dari Warung Makan "Sumber Rejeki". Aku merasa seperti seorang pengecut, seorang penguntit. Kemeja linen bersih yang kukenakan terasa salah kostum di tengah hiruk pikuk jalanan pagi ini, di mana aroma knalpot bercampur dengan bau got yang samar. Aku berjalan kaki, setiap langkah terasa berat dan penuh keraguan. Aku merasa sangat tidak pada tempatnya, seorang arsitek yang terstruktur melangkah masuk ke dalam dunia yang kacau dan tak terduga.
Ponselku bergetar di saku. Maya. Tentu saja. Seolah ia punya indra keenam untuk mendeteksi kebodohanku.
"Jangan bilang kamu di sana," katanya langsung, tanpa basa-basi.
"Aku hanya ingin memastikan sesuatu," jawabku, suaraku lebih mantap dari yang kurasakan.
"Memastikan apa, Rendra?" desaknya, nadanya dipenuhi frustrasi. "Memastikan bahwa kamu masih bisa menghancurkan dirimu sendiri? Pulanglah. Kerjakan proyek perpustakaan itu. Jangan sentuh luka yang baru saja mulai mengering."
"Aku tidak bisa, May," kataku pelan. "Duri ini... aku harus mencabutnya. Aku harus tahu."
Aku mendengar helaan napasnya yang panjang dan lelah di seberang sana. "Baiklah. Lakukan apa yang harus kamu lakukan. Tapi jika nanti kamu kembali hancur, jangan salahkan aku jika aku hanya akan membawakanmu sekop untuk menggali lubangmu lebih dalam."
Panggilan itu berakhir. Ancamannya yang brutal justru memberiku secercah kekuatan. Aku telah diperingatkan. Aku melangkah maju dengan kesadaran penuh akan risikonya.
Warung itu tampak lebih kecil dan lebih kumuh dari yang kuingat. Sebuah spanduk pudar bertuliskan namanya tergantung miring di atas pintu masuk yang terbuka. Dari luar, aku sudah bisa mencium aroma bumbu yang digoreng—bawang, cabai, dan kunyit—yang tajam dan menusuk hidung. Aku menarik napas dalam-dalam, seperti seorang penyelam yang akan terjun ke perairan yang dalam dan keruh, lalu melangkah masuk.
Sensasi pertama adalah panas. Panas yang menyengat dari dapur di bagian belakang langsung menerpa wajahku. Suasananya riuh. Beberapa wanita paruh baya bergerak cepat di dapur, suara wajan yang beradu dengan spatula terdengar seperti musik perkusi yang panik. Beberapa pelanggan sudah duduk di meja-meja kayu sederhana, menikmati sarapan mereka. Tidak ada yang memperhatikanku. Aku adalah orang asing di dunia mereka yang sibuk.
Seorang wanita kokoh dengan celemek yang penuh noda berdiri di belakang meja kasir, meneriakkan pesanan ke arah dapur. Wajahnya keras, dihiasi oleh garis-garis kelelahan dan ketegasan. Aku yakin ini adalah Ibu Wati, sang pemilik.
Aku berjalan ke arahnya, merasa canggung dan terekspos. Aku merasa seperti seorang detektif amatir dalam sebuah film murahan. "Permisi, Bu," kataku, suaraku nyaris tertelan oleh kebisingan.
Ia menoleh, matanya yang tajam memindai diriku dari ujung rambut hingga ujung sepatu dalam sepersekian detik. Tatapannya penuh kecurigaan. Pria rapi sepertiku jelas bukan pelanggannya yang biasa.
"Mau makan, Mas?" tanyanya, nadanya datar, tidak ramah.
"Bukan, Bu. Saya... saya mencari seseorang," kataku, jantungku mulai berdebar. "Seorang wanita, mungkin bekerja di sini. Namanya Difrina."
Aku melihatnya. Perubahan itu begitu halus, tetapi aku bisa menangkapnya. Otot di rahangnya sedikit mengeras. Matanya yang tadi hanya curiga, kini menjadi defensif.
"Tidak ada yang namanya Difrina di sini," katanya, suaranya dingin. Ia berbalik, hendak kembali meneriakkan pesanan.
"Tolong, Bu," kataku, sedikit lebih keras, putus asa. "Saya tahu dia bekerja di sini. Saya melihatnya beberapa hari yang lalu."
Ia berhenti, menoleh padaku lagi. "Kalau begitu, kamu juga pasti tahu kalau dia sudah tidak di sini lagi."
Kata-kata itu menghantamku. Sudah tidak di sini lagi. "Maksud Ibu... dia berhenti?"
"Menurutmu?" balasnya sinis. Ia menyilangkan lengannya di dada, menatapku dengan tatapan menantang. "Kamu ini siapanya? Polisi? Debt collector? Suami yang lari dari tanggung jawab?"
Setiap pertanyaan adalah sebuah tuduhan. Aku merasa seperti terdakwa di pengadilan dadakannya. "Saya... saya temannya," dustaku. "Saya hanya khawatir. Dia pergi begitu saja. Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."
Ibu Wati tertawa pelan, tawa yang tidak ada lucunya sama sekali. "Khawatir? Laki-laki sepertimu biasanya hanya membawa masalah untuk perempuan seperti dia."
Penghinaannya terasa seperti tamparan. Aku harus merendahkan diriku. Aku harus menelan harga diriku jika ingin mendapatkan informasi. "Saya mohon, Bu. Saya tidak punya niat buruk. Saya hanya... perlu tahu. Apakah dia baik-baik saja saat pergi? Apakah dia mengatakan akan pergi ke mana?"
Ia menatapku lama, seolah mencoba membaca isi hatiku. Keheningan di antara kami terasa tegang, kontras dengan hiruk pikuk di sekeliling kami.
"Anak itu baik," katanya akhirnya, suaranya kini sedikit lebih pelan, seolah berbicara lebih pada dirinya sendiri. "Pekerja keras. Tidak banyak bicara, tapi tangannya cekatan. Sayang, pikirannya sering melayang." Ia melirikku tajam. "Sepertinya banyak beban yang ia pikul sendirian."
Aku hanya bisa menunduk, merasakan tusukan rasa bersalah.
"Dia datang tiga hari yang lalu," lanjut Ibu Wati. "Pagi-pagi sekali. Wajahnya pucat. Matanya bengkak. Dia bilang dia tidak bisa bekerja lagi. Dia bilang dia harus pergi."
"Pergi?" ulangku, rasa cemas yang dingin merayap di punggungku. "Pergi ke mana?"
"Dia tidak bilang," katanya. "Dia hanya mengucapkan terima kasih, mengambil upahnya yang terakhir, lalu pergi. Aku menawarinya pesangon, tapi dia menolak. Anak itu punya harga diri, meskipun kelihatannya rapuh."
Harga diri. Sesuatu yang telah kurampas darinya.
"Kapan tepatnya dia berhenti, Bu?" tanyaku, sebuah firasat buruk mulai terbentuk.
Ibu Wati menatapku lagi, matanya menyipit. "Sehari setelah kamu datang ke proyek konstruksi di ujung jalan itu."
Jantungku mencelos. Jadi ini karena aku. Kehadiranku yang tidak disengaja telah membuatnya lari lagi. Aku datang untuk mencari jejaknya, tetapi ternyata akulah yang telah menghapus jejak itu. Aku tidak hanya menemukannya dalam kondisi yang menyedihkan; aku telah membuatnya kehilangan satu-satunya hal yang menopangnya. Pekerjaannya. Sumber martabatnya yang baru.
"Kenapa kamu mencarinya?" tanya Ibu Wati, suaranya kini dipenuhi selidik. "Apa yang kamu inginkan darinya?"
"Saya hanya ingin..." aku berhenti. Apa yang kuinginkan? Aku sendiri tidak tahu. Memastikan ia baik-baik saja? Menawarinya bantuan? Menenangkan rasa bersalahku sendiri? Semua alasan itu terdengar egois.
"Biarkan anak itu tenang, Mas," kata Ibu Wati, nadanya kini terdengar seperti nasihat yang lelah. "Apapun masalah kalian di masa lalu, dia sedang berjuang keras untuk membangun hidupnya sendiri. Jangan datang dan mengacaukannya lagi."
Aku tidak bisa membantah. Karena aku tahu, tanpa sengaja, itulah yang baru saja kulakukan.
Aku mengucapkan terima kasih dengan suara parau, lalu berbalik dan berjalan keluar dari warung itu. Panas matahari terasa lebih menyengat, kebisingan kota terasa lebih memekakkan. Aku kembali ke mobilku yang sejuk dan bersih, tetapi aku merasa lebih kotor dari sebelumnya.
Aku duduk di belakang kemudi, menatap kosong ke depan. Aku datang untuk mencari jawaban, tetapi yang kutemukan hanyalah lebih banyak pertanyaan. Ia telah menghilang lagi. Dan kali ini, itu sepenuhnya salahku.
Frustrasi dan rasa cemas yang luar biasa membuncah di dadaku. Aku tidak bisa membiarkannya seperti ini. Aku tidak bisa membiarkannya sendirian di luar sana, tanpa pekerjaan, tanpa uang, lari dari bayangan yang kuciptakan.
Aku menyalakan mesin mobil. Misi putus asaku telah gagal. Tetapi sebuah misi baru yang lebih mendesak, lebih personal, baru saja dimulai. Aku harus menemukannya. Bukan lagi hanya untuk tahu. Tapi untuk memperbaiki apa yang telah kurusak.
Bab 47: Jarum di Tumpukan Jerami
Kepanikan adalah arsitek yang buruk. Ia membangun struktur yang rapuh di atas fondasi ketakutan, dinding-dindingnya terbuat dari skenario terburuk, dan atapnya adalah langit-langit kecemasan yang tak berujung. Selama dua hari terakhir, aku tinggal di dalam bangunan ciptaan panikku itu. Studioku, yang tadinya merupakan simbol dari keteraturan dan kebangkitan, kini telah berubah menjadi pusat komando yang kacau untuk sebuah misi yang putus asa.
Meja gambarku tidak lagi dipenuhi oleh sketsa-sketsa perpustakaan yang megah. Kini, ia ditutupi oleh laptop yang layarnya menampilkan belasan tab pencarian: peta area di sekitar warung makan itu, daftar motel-motel murah di pinggiran kota, artikel-artikel tentang orang hilang. Papan tulis di belakangku, yang dulu penuh dengan coretan ide-ide desain, kini dihiasi oleh sebuah peta kota yang kutandai dengan spidol merah, mencoba melacak pergerakan hipotetis Difrina. Aku menggunakan keahlianku sebagai arsitek—berpikir sistematis, menganalisis pola, mencari koneksi—untuk memecahkan masalah yang paling tidak logis dan paling personal dalam hidupku. Mencari jarum di tumpukan jerami.
Setiap jam yang berlalu, rasa urgensi semakin mencekikku. Aku membayangkan Difrina sendirian, tanpa uang, tanpa perlindungan. Aku membayangkan ia tidur di tempat yang tidak aman, bertemu dengan orang-orang yang salah. Citra dirinya yang berlari ketakutan dari lokasi proyek itu terus membakar benakku. Aku tidak bisa bekerja. Aku tidak bisa tidur. Aku hanya bisa terus mencari, meskipun aku bahkan tidak tahu apa yang kucari.
Ponselku berdering di tengah lamunanku yang kacau. Maya.
"Sudah menyerah?" tanyanya, tanpa sapaan.
"Belum," jawabku, suaraku serak. Aku menatap peta di papan tulis. "Aku sedang mencoba melacak semua kemungkinan rute angkot dari area itu."
Aku mendengar helaan napasnya yang panjang. "Rendra, dengarkan aku. Kamu bukan detektif. Kamu seorang arsitek. Apa yang kamu lakukan ini gila. Kamu tidak akan menemukannya seperti ini."
"Lalu aku harus bagaimana, May?" tanyaku, frustrasi membuat suaraku meninggi. "Duduk diam di sini sementara dia mungkin sedang dalam bahaya?"
"Bahaya terbesarnya mungkin adalah kamu," balasnya tajam. "Pikirkan ini dari sudut pandangnya. Ia lari darimu. Mungkin ia tidak mau ditemukan, setidaknya tidak olehmu. Kehadiranmu hanya akan membuatnya lari lebih jauh."
Kata-katanya terasa seperti tamparan, tetapi aku tahu ada kebenaran di dalamnya. "Lalu aku harus membiarkannya begitu saja?"
Hening sejenak di seberang sana. Aku tahu ia juga sedang berperang dengan logikanya. "Tidak," katanya akhirnya, suaranya kini lebih lembut. "Kalau kamu memang mau melakukan ini, lakukan dengan benar. Berhentilah bermain detektif amatir. Pikirkan secara logis. Siapa satu-satunya orang di dunia ini yang mungkin ia hubungi saat ia berada di titik terendahnya?"
Aku terdiam. Jawabannya begitu jelas, begitu nyata, hingga aku merasa bodoh karena tidak memikirkannya sejak awal.
"Mulailah dari keluarganya," kata Maya. "Itu satu-satunya langkah logis."
Panggilan itu berakhir, meninggalkan gema kebenaran yang dingin di studio yang pengap. Keluarganya. Tentu saja. Kakaknya, Laras. Aku teringat bagaimana Difrina pernah bercerita tentang kedekatannya dengan sang kakak. Tapi pikiran untuk mendatangi rumah Laras membuat perutku melilit karena rasa malu yang luar biasa.
Bagaimana aku bisa muncul di depan pintu rumahnya? Aku, pria yang telah mengambil adiknya, membawanya pergi, lalu menghancurkan hatinya. Aku, pria yang telah menyebabkan semua penderitaan ini. Aku tidak punya hak. Aku akan disambut dengan pintu yang dibanting di depan wajahku, dan aku pantas mendapatkannya.
Aku berperang dengan diriku sendiri selama satu jam penuh. Rasa takutku akan keselamatan Difrina beradu dengan rasa maluku yang melumpuhkan. Aku teringat pada hari pernikahanku, pada senyum tulus orang tua Difrina, pada kepercayaan yang mereka letakkan di pundakku. Aku telah mengkhianati kepercayaan itu. Aku telah gagal total. Mengakui kegagalan itu di hadapan keluarganya terasa lebih menakutkan daripada menghadapi klien yang paling sulit sekalipun.
Tetapi bayangan wajah Difrina yang pucat dan ketakutan kembali muncul. Dan itu sudah cukup. Rasa takutku akan keselamatannya akhirnya menang atas rasa maluku.
Aku mengambil kunci mobilku, meninggalkan kekacauan di studioku. Perjalanan menuju komplek perumahan Laras terasa seperti perjalanan menuju tiang gantungan. Setiap belokan, setiap lampu merah, memberiku kesempatan untuk berbalik, untuk lari kembali ke zona nyamanku. Tapi aku terus melaju.
Rumah Laras sederhana, sebuah rumah tipe 36 di komplek perumahan kelas menengah yang padat. Taman kecil di depannya dipenuhi oleh mainan anak-anak, dan di terasnya ada sepasang sandal jepit berwarna merah muda. Pemandangan itu begitu normal, begitu penuh dengan kehidupan keluarga yang hangat, hingga terasa seperti sebuah penghakiman atas kehidupanku yang sepi dan gagal.
Aku memarkir mobil di seberang jalan, duduk di belakang kemudi selama beberapa menit, mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanianku. Akhirnya, dengan sebuah helaan napas panjang, aku keluar dari mobil dan berjalan menyeberangi jalan.
Setiap langkah menuju pintu depan rumah itu terasa seperti berjalan di atas paku. Aku mengangkat tanganku untuk menekan bel, tetapi tanganku gemetar. Aku menurunkannya kembali. Aku melakukannya tiga kali sebelum akhirnya berhasil menekan tombol kecil itu.
Suara bel yang riang terdengar dari dalam, kontras yang aneh dengan debaran jantungku yang panik. Aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Pintu terbuka.
Laras berdiri di sana. Ia mengenakan daster rumahan, rambutnya diikat seadanya. Ekspresinya yang awalnya ramah berubah seketika saat ia melihatku. Senyumnya lenyap, digantikan oleh topeng dingin yang terbuat dari syok, ketidakpercayaan, dan kemarahan yang tertahan.
"Mau apa kamu di sini?" tanyanya, suaranya rendah dan penuh permusuhan. Ia tidak membukakan pintu lebih lebar, tubuhnya menjadi penghalang antara aku dan bagian dalam rumahnya.
"Laras, aku..." Aku memulai, tetapi kata-kata tersangkut di tenggorokanku.
"Aku panggil kamu Mbak Laras," potongnya tajam. "Kamu tidak punya hak untuk memanggil namaku seakrab itu lagi."
Aku menelan ludah. "Mbak Laras. Maaf. Aku tahu aku tidak seharusnya di sini. Tapi aku perlu bicara."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan," katanya. "Semuanya sudah selesai, kan? Itu yang diinginkan adikku. Itu yang kamu setujui. Jadi kenapa kamu muncul di depan pintuku sekarang, seperti hantu dari masa lalu?"
"Ini tentang Difrina," kataku, suaraku dipenuhi urgensi. "Aku harus tahu di mana dia. Aku harus tahu apakah dia baik-baik saja."
Ia tertawa, tawa yang dingin dan tanpa humor. "Baru sekarang kamu peduli? Di mana kamu saat dia meneleponmu tengah malam, menangis, hancur berkeping-keping? Di mana kamu saat ia harus menjual satu-satunya barang berharga yang ia miliki hanya untuk bisa makan? Di mana kamu, Rendra?"
Setiap pertanyaan adalah sebuah tuduhan yang benar. Aku tidak bisa membela diri. Aku hanya bisa menerima.
"Aku tidak tahu," bisikku, rasa malu membakar wajahku. "Aku bersumpah, aku tidak tahu semua itu. Aku baru melihatnya beberapa hari yang lalu, secara tidak sengaja. Dia terlihat... tidak baik-baik saja. Dia lari saat melihatku. Dan kemarin aku baru tahu dia sudah berhenti dari pekerjaannya. Aku khawatir, Mbak. Sungguh."
Aku menatap matanya, membiarkannya melihat semua kepanikan dan penyesalanku yang telanjang. Aku tidak lagi mencoba menjadi pria yang tegar. Aku hanyalah seorang pria yang ketakutan.
Laras menatapku lama, matanya yang tajam seolah mencoba menguliti jiwaku, mencari kebohongan. Aku bisa melihat pergulatan di wajahnya. Kemarahannya yang membara berperang dengan nalurinya sebagai seorang kakak yang juga mengkhawatirkan adiknya.
"Kenapa aku harus percaya padamu?" tanyanya, suaranya kini sedikit lebih pelan, tidak lagi sedingin es, tetapi masih dijaga. "Setelah semua yang kamu lakukan pada adikku."
"Karena aku tidak akan pergi dari sini sampai Mbak memberitahuku sesuatu," kataku, sebuah tekad yang lahir dari keputusasaan. "Aku akan berdiri di sini semalaman jika perlu. Aku tidak akan membiarkannya sendirian lagi. Aku tahu aku telah gagal sebagai suaminya. Tapi aku tidak akan gagal sebagai... sebagai manusia yang peduli padanya."
Keheningan yang berat menyelimuti kami lagi. Aku bisa mendengar suara televisi dari dalam rumah, suara kehidupan normal yang terasa begitu jauh.
Akhirnya, Laras menghela napas panjang, sebuah helaan napas yang sarat dengan kekalahan dan kelelahan. "Dia tidak di sini," katanya.
Jantungku mencelos. "Lalu di mana?"
Ia ragu sejenak, seolah masih menimbang-nimbang. "Setelah ia melihatmu, ia panik. Ia bilang ia harus pergi dari kota ini. Ia bilang kamu akan mencarinya." Ia menatapku dengan tatapan menuduh.
"Aku tidak akan menyakitinya," kataku cepat. "Aku hanya ingin memastikan dia aman."
Laras menatapku lagi, mencari kesungguhan di mataku. "Dulu," katanya pelan, "Ibu pernah cerita. Ada paman jauh dari pihak Ayah. Tinggal di sebuah kota kecil di pesisir selatan. Namanya... Ciamis."
Ciamis. Sebuah nama. Sebuah titik di peta. Sebuah jarum di tumpukan jerami.
"Hanya itu yang kutahu," kata Laras, seolah menyesal telah memberitahuku. "Sekarang pergilah. Jangan pernah datang ke sini lagi."
Ia tidak menunggu jawabanku. Ia menutup pintu di depan wajahku, suara kliknya terdengar begitu final.
Aku berdiri di terasnya yang sunyi, nama kota kecil itu bergema di kepalaku. Aku tidak tahu apakah Difrina benar-benar di sana. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika aku menemukannya. Tapi untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, aku tidak lagi hanya berputar-putar dalam kegelapan. Aku punya sebuah tujuan. Sebuah jejak. Dan aku akan mengikutinya, ke mana pun itu akan membawaku.
Bab 48: Sebuah Nama di Peta
Pintu rumah Laras yang tertutup di depan wajahku terasa seperti sebuah garis start. Misi putus asaku kini memiliki sebuah tujuan, sebuah nama di peta: Ciamis. Nama yang terasa begitu asing di lidahku, sebuah titik kecil di peta Jawa Barat yang kini terasa seperti pusat alam semesta. Aku tidak membuang waktu. Aku tidak kembali ke studio untuk membereskan kekacauan di mejaku. Aku tidak pulang ke apartemenku yang sunyi. Aku langsung masuk ke mobil dan mulai menyetir.
Perjalanan meninggalkan Jakarta adalah sebuah proses pelepasan yang lambat. Gedung-gedung pencakar langit yang angkuh perlahan-lahan digantikan oleh ruko-ruko yang lebih rendah, lalu pabrik-pabrik, dan akhirnya jalan tol yang membentang lurus dan impersonal. Aku menekan pedal gas, membiarkan kecepatan mobil menjadi satu-satunya pelarianku dari pikiranku yang berpacu. Di dalam kapsul ber-AC ini, dengan alunan musik instrumental yang sengaja kupasang untuk mengisi keheningan, aku mencoba menyusun rencana.
Rencana. Betapa konyolnya. Apa rencanaku? Tiba di sebuah kota yang tidak kukenal, lalu apa? Berjalan dari satu warung ke warung lain, menunjukkan fotonya seperti dalam film-film detektif? Mengetuk setiap pintu rumah, bertanya, "Permisi, apakah Anda kenal wanita ini? Ia mungkin sedang hancur dan bersembunyi." Pikiran itu begitu absurd hingga membuatku nyaris tertawa getir.
Aku tidak lagi didorong oleh emosi murni. Kemarin, aku dipenuhi oleh kepanikan dan rasa iba. Hari ini, sesuatu yang lebih dingin telah mengambil alih. Tekad. Sebuah kebutuhan yang keras kepala untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai. Aku harus tahu. Aku harus melihatnya dengan mataku sendiri.
Apa tujuanku sebenarnya? Pertanyaan itu terus menghantuiku di sepanjang jalan tol yang monoton. Apakah aku ingin menyelamatkannya? Ego lelakiku yang terluka berteriak ya. Aku ingin menjadi pahlawan yang datang di saat-saat terakhir, membawanya pergi dari penderitaannya. Tapi logika, suara Maya yang kini terpatri di benakku, berbisik sinis. Menyelamatkannya dari apa, Rendra? Dari konsekuensi pilihannya sendiri?
Apakah aku ingin menenangkan rasa bersalahku? Mungkin. Melihatnya menderita di lokasi proyekku terasa seperti sebuah tuduhan. Seolah-olah akulah penyebabnya, secara tidak langsung. Mungkin dengan menemukannya, dengan memastikan ia baik-baik saja, aku bisa memaafkan diriku sendiri.
Atau, dan ini adalah kemungkinan yang paling jujur dan paling egois, apakah aku hanya ingin mendapatkan jawaban? Aku ingin mendengar ceritanya. Aku ingin tahu apa yang terjadi di antara kemewahan apartemen Adrian dan debu di warung Ibu Wati. Aku ingin mengisi kekosongan dalam narasi yang telah menghantuiku. Aku ingin teka-teki ini selesai, agar aku bisa benar-benar menutup buku dan melanjutkan hidup.
Setelah dua jam menyetir, aku berhenti di sebuah rest area yang ramai. Aku butuh bensin dan secangkir kopi hitam yang pahit untuk menjaga mataku tetap terbuka. Saat aku berjalan dari mobil menuju minimarket, aku melewati area makan. Aku melihat sebuah keluarga kecil—seorang ayah, seorang ibu, dan seorang anak perempuan kecil—sedang duduk di meja, berbagi semangkuk bakso. Sang ayah menyuapi putrinya, lalu mengelap saus yang menempel di sudut bibir anaknya dengan ibu jarinya. Sang ibu tertawa, menatap keduanya dengan tatapan penuh cinta.
Pemandangan itu begitu normal, begitu indah, hingga terasa seperti sebuah tusukan di dadaku. Sengatan kesendirian yang tajam dan tak terduga. Aku pernah memimpikan itu. Sebuah keluarga. Sebuah kebahagiaan sederhana yang dibangun di atas hal-hal kecil. Aku teringat pada rumah yang telah kujual, pada taman yang mawar-mawarnya mungkin kini sedang dirawat oleh orang asing.
Aku buru-buru memalingkan wajah, berjalan masuk ke dalam minimarket yang dingin. Sambil menunggu kopiku diseduh, aku mengeluarkan ponselku. Aku membuka galeri, dan jariku secara otomatis berhenti pada satu-satunya foto Difrina yang tidak pernah sanggup kuhapus.
Foto itu kuambil setahun yang lalu, saat kami berlibur ke sebuah danau. Ia berdiri di tepi dermaga kayu, dengan latar belakang air danau yang biru dan perbukitan yang hijau. Ia mengenakan gaun musim panas sederhana, rambutnya yang panjang tertiup angin. Ia tersenyum ke arah kamera—ke arahku. Senyum yang begitu lepas, begitu tulus, hingga matanya menyipit membentuk bulan sabit. Saat itu, aku yakin seyakin-yakinnya bahwa aku adalah sumber dari kebahagiaan di matanya.
Kini, aku menatap foto itu dengan tatapan seorang ahli forensik. Apakah senyum itu nyata? Ataukah itu hanya sebuah pertunjukan yang indah, sebuah topeng yang ia kenakan untuk menyenangkanku, sementara di dalam hatinya ia sudah mulai merindukan dunia lain? Apakah wanita di foto ini masih ada? Ataukah ia telah lenyap selamanya, digantikan oleh wanita glamor di unggahan Adrian, lalu oleh wanita lelah di lokasi proyek, dan kini oleh hantu yang sedang kukejar?
Aku menyimpan kembali ponselku, mengambil kopiku, dan kembali ke mobil. Perjalanan dilanjutkan.
Setelah keluar dari jalan tol, lanskap mulai berubah. Jalanan menjadi lebih sempit, lebih berkelok. Gedung-gedung beton digantikan oleh hamparan sawah hijau yang tak berujung, di mana para petani dengan topi caping membungkuk di bawah terik matahari. Desa-desa kecil bermunculan, dengan rumah-rumah sederhana dan anak-anak yang bermain layangan di pinggir jalan. Udara yang masuk melalui jendela mobilku tidak lagi berbau polusi, melainkan berbau tanah basah dan rumput yang terbakar.
Aku merasa semakin terasing. Ini bukan duniaku. Aku adalah seorang pria kota, yang terbiasa dengan ritme yang cepat dan keteraturan yang terstruktur. Di sini, waktu terasa berjalan lebih lambat, lebih sabar. Aku merasa seperti seorang penyusup, membawa serta semua kekacauan dan kegelisahan kota ke dalam kedamaian pedesaan ini.
Harapan dan realisme terus berperang di dalam kepalaku. Sebagian diriku, bagian yang naif dan romantis, berharap akan menemukan Difrina dengan mudah. Mungkin ia tinggal di sebuah rumah kecil yang tenang, mengajar anak-anak mengaji, telah menemukan kedamaiannya. Dan kami akan bicara, dan entah bagaimana, semuanya akan... selesai.
Bagian diriku yang lain, yang telah ditempa oleh rasa sakit dan logika Maya, tahu bahwa ini adalah sebuah kebodohan. Aku sedang mencari jarum di tumpukan jerami. Aku tidak punya nama paman jauhnya. Aku tidak punya alamat. Aku hanya punya satu nama kota. Aku mungkin hanya akan berputar-putar tanpa tujuan, menghabiskan bensin dan waktu, dan pada akhirnya kembali ke Jakarta dengan tangan hampa dan hati yang lebih hancur.
Sore hari, saat langit mulai diwarnai oleh semburat jingga, aku akhirnya melihat papan nama besar yang menyambutku: "Selamat Datang di Kabupaten Ciamis".
Aku terus menyetir, mengikuti jalan utama, hingga aku tiba di jantung kota itu: alun-alun. Tempat itu hidup dengan aktivitas sore hari. Anak-anak muda bergerombol di dekat air mancur, keluarga-keluarga duduk di atas tikar di rumput, dan pedagang kaki lima menjajakan dagangannya dengan suara yang riuh. Di sekeliling alun-alun, berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda, berdampingan dengan masjid agung yang megah dan kantor bupati yang kokoh.
Aku memarkir mobilku di salah satu sisi alun-alun, di bawah naungan sebuah pohon beringin raksasa. Aku mematikan mesin. Keheningan di dalam mobil terasa kontras dengan kehidupan yang ramai di luar.
Saat itulah, beban dari misiku yang mustahil ini menghantamku dengan kekuatan penuh. Aku di sini. Lalu apa?
Aku menatap ke sekeliling, ke wajah-wajah orang asing yang tertawa dan berbicara dalam dialek yang sedikit berbeda. Mereka semua punya tempat di sini. Mereka semua punya tujuan. Sementara aku, aku adalah seorang penyusup, seorang pencari yang tersesat. Bagaimana caranya menemukan satu orang, satu jiwa yang terluka, di tengah kota yang hidup dan bernapas dengan ritmenya sendiri ini?
Aku bersandar di kursiku, merasakan kelelahan dari perjalanan panjang yang merayap di seluruh tubuhku. Aku menatap ke depan, ke arah anak-anak yang sedang bermain sepak bola di lapangan rumput. Mereka berlari, mereka jatuh, mereka bangkit lagi, tawa mereka terdengar lepas tanpa beban.
Aku merasa begitu jauh dari semua itu. Aku merasa begitu sendirian. Dan untuk pertama kalinya, aku mulai bertanya-tanya, apakah perjalanan ini adalah sebuah pencarian untuknya, ataukah ini hanyalah sebuah pelarian dari kehampaan hidupku sendiri?
Bab 49: Suara di Kota Asing
Malam pertamaku di Ciamis kuhabiskan dengan menatap langit-langit kamar penginapan yang retak. Penginapan sederhana di dekat alun-alun ini berbau kapur barus dan kayu lembap, sebuah aroma yang begitu jauh dari wangi kopi dan kertas di studioku. Aku tidak bisa tidur. Pikiranku yang biasanya terstruktur dan penuh dengan denah bangunan, kini menjadi sebuah labirin tanpa peta, di mana setiap jalannya buntu dan setiap sudutnya dipenuhi oleh wajah Difrina. Kelumpuhan emosional yang kurasakan kemarin di alun-alun telah digantikan oleh tekad yang dingin dan sedikit panik. Aku harus punya rencana.
Sebagai seorang arsitek, aku terbiasa memecahkan masalah dengan pendekatan yang metodis. Aku akan menerapkan logika yang sama pada pencarian ini. Langkah pertama: data. Aku butuh informasi.
Pagi harinya, setelah secangkir kopi instan yang terasa seperti air panas berwarna cokelat, aku berjalan kaki menuju kantor kelurahan terdekat. Aku merasa canggung dalam kemeja bersihku di tengah jalanan kota kecil yang mulai hidup. Pendekatan yang efisien dan langsung ke intinya, seperti yang biasa kulakukan dengan klien di Jakarta, pasti akan berhasil di sini. Betapa naifnya aku.
Kantor kelurahan itu adalah sebuah bangunan tua dengan kipas angin yang berputar lelah di langit-langitnya yang tinggi. Aku mengantre di belakang beberapa ibu-ibu yang sedang mengurus KTP. Saat giliranku tiba, aku berhadapan dengan seorang pegawai pria paruh baya yang menatapku dari balik tumpukan berkas dengan tatapan bosan.
"Selamat pagi, Pak," sapaku, mencoba terdengar seramah mungkin. "Saya Rendra. Saya sedang mencari kerabat yang mungkin baru pindah ke area sini."
"Namanya?" tanyanya, tanpa mengangkat kepala dari formulir yang sedang ia isi.
"Difrina. Difrina Putri," kataku. "Mungkin juga menggunakan nama belakang ayahnya, Hermawan." Aku menambahkan nama belakang itu, sebuah detail yang Laras sebutkan sambil lalu.
Pegawai itu akhirnya mengangkat kepalanya, menatapku dari balik kacamatanya yang tebal. "Ada surat pengantar dari RT/RW setempat?"
Aku mengerutkan kening. "Saya tidak tahu RT/RW-nya, Pak. Itulah kenapa saya ke sini."
Ia mendengus pelan, seolah aku baru saja menanyakan pertanyaan paling bodoh di dunia. "Tidak bisa, Pak. Prosedurnya begitu. Kami tidak bisa memberikan data penduduk pada sembarang orang. Privasi." Ia mengucapkan kata "privasi" dengan penekanan, seolah itu adalah sebuah benteng birokrasi yang tak tertembus.
"Tapi ini darurat," desakku. "Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."
"Semua orang juga bilang begitu," katanya, kini kembali fokus pada berkasnya, sebuah sinyal yang jelas bahwa percakapan kami telah selesai.
Aku berdiri di sana sejenak, merasa bodoh dan tidak berdaya. Pendekatan logisku yang pertama telah gagal total. Aku meninggalkan kantor kelurahan itu dengan perasaan frustrasi yang membara.
Langkah kedua: pendekatan lapangan. Jika data formal tidak bisa didapat, aku akan menggunakan data visual. Aku berjalan menuju pasar tradisional yang ramai, tempat di mana denyut nadi kota ini benar-benar terasa. Aroma tajam dari terasi, amisnya ikan, dan wangi manis dari buah-buahan matang bercampur menjadi satu di udara yang panas.
Aku mengeluarkan ponselku, membuka satu-satunya foto Difrina yang masih kusimpan. Foto di tepi danau. Menunjukkan foto wanita yang telah menghancurkan hatiku kepada orang-orang asing terasa seperti sebuah bentuk penghinaan diri yang baru. Setiap kali aku harus membuka galeri dan menatap senyumnya yang tulus di foto itu, hatiku terasa seperti diremas.
Aku mendekati seorang ibu penjual sayur yang tampak ramah. "Permisi, Bu. Maaf mengganggu," kataku canggung. "Apa Ibu pernah melihat wanita ini?"
Aku menyodorkan ponselku. Ibu itu menyipitkan matanya, lalu tersenyum. "Geulis pisan, A'," katanya dalam logat Sunda yang kental. Cantik sekali, Mas. "Tapi kayaknya belum pernah lihat. Maaf ya, A'."
Aku mengucapkan terima kasih dan berjalan weiter. Aku bertanya pada tukang ojek yang sedang mangkal, pada penjual buah, pada seorang polisi yang sedang mengatur lalu lintas. Jawabannya selalu sama. Tatapan bingung, gelengan kepala, dan sesekali tatapan curiga. Aku merasa seperti orang gila, menunjukkan foto mantan istriku di tengah pasar yang ramai, sementara ia mungkin berada ratusan kilometer jauhnya dari sini.
Setelah hampir dua jam berjalan di bawah terik matahari, kepercayaan diriku terkikis habis. Aku merasa putus asa. Misi ini mustahil. Aku hanyalah seorang pria kota bodoh yang tersesat, mengejar hantu di kota asing.
Dengan langkah gontai, aku masuk ke sebuah warung kopi tua di salah satu gang sempit di dekat pasar. Tempatnya kecil, remang-remang, dan dipenuhi oleh bapak-bapak tua yang sedang mengobrol sambil bermain catur. Aroma kopi hitam yang pekat dan asap rokok kretek terasa begitu kental. Aku duduk di sebuah meja kosong di sudut, memesan segelas kopi hitam, dan hanya duduk di sana, menatap ke luar ke arah jalanan yang ramai.
Aku lelah. Aku ingin menyerah. Aku ingin kembali ke studioku, ke duniaku yang teratur, dan melupakan semua ini. Mungkin Maya benar. Mungkin ini adalah sebuah kebodohan.
Aku hanya duduk di sana, tidak menyentuh kopiku, tenggelam dalam kekalahanku. Aku tidak lagi mencoba mencari. Aku hanya mendengarkan. Suara dadu domino yang dibanting ke meja kayu. Suara tawa serak. Dan suara obrolan dari meja di sebelahku, di mana tiga orang bapak-bapak sedang berbicara dengan santai.
"...iya, kasihan itu keluarganya Pak Hermawan yang baru datang," kata salah satu dari mereka.
Telingaku langsung menajam. Hermawan. Nama yang sama dengan nama ayah Difrina.
"Memang kenapa, Kang?" tanya temannya.
"Katanya anaknya yang perempuan itu, yang baru datang dari Jakarta, lagi sakit," jawab bapak pertama. "Baru beberapa minggu di sini, tinggal di rumah peninggalan almarhum pamannya di Desa Cibeureum, eh malah sakit-sakitan. Katanya sih kecapekan, stres."
Jantungku terasa seperti berhenti berdetak. Desa Cibeureum. Keluarga pendatang baru. Anak perempuan dari Jakarta. Sakit.
Semua kepingan puzzle itu berputar di kepalaku, lalu jatuh pada tempatnya dengan bunyi klik yang memekakkan.
Aku tidak berani bergerak. Aku tidak berani bernapas. Aku hanya terus duduk di sana, berpura-pura tidak mendengar, sementara telingaku menyerap setiap kata dari percakapan mereka. Mereka terus mengobrol, beralih ke topik lain—harga gabah, pertandingan Persib, politik desa—tetapi aku tidak lagi mendengarkan.
Aku telah menemukannya.
Bukan melalui rencanaku yang sistematis. Bukan melalui pendekatanku yang efisien. Aku menemukannya secara tidak sengaja, di sebuah warung kopi tua yang pengap, hanya karena aku akhirnya berhenti mencoba dan mulai mendengarkan.
Aku menghabiskan kopiku yang sudah mendingin dalam satu tegukan. Rasa pahitnya terasa seperti sengatan listrik yang menyadarkanku. Aku meletakkan beberapa lembar uang di atas meja, lebih dari cukup untuk membayar kopiku, lalu bangkit.
Saat aku melangkah keluar dari warung kopi itu, kembali ke cahaya matahari yang menyilaukan, dunia terasa berbeda. Kota yang tadinya terasa asing dan memusuhi, kini terasa seperti sebuah peta yang baru saja terbuka di hadapanku. Frustrasi dan keputusasaan yang tadi melumpuhkanku telah lenyap, digantikan oleh gelombang adrenalin yang baru dan mendesak.
Aku tidak lagi mencari jarum di tumpukan jerami. Aku telah menemukan sehelai benang. Dan aku akan menariknya, sekuat tenaga.
Bab 50: Di Ambang Pintu Asing
Adrenalin dari penemuan di warung kopi itu menjadi bahan bakarku. Ia membakar habis sisa-sisa keraguan dan kelelahan, meninggalkanku dengan tekad yang dingin dan terfokus. Aku tidak kembali ke penginapan untuk mengemasi barang. Aku tidak menelepon Maya untuk memberitahunya tentang rencanaku yang gila. Aku hanya kembali ke mobil, menyalakan mesin, dan mulai menyetir ke arah yang ditunjukkan oleh bapak tua di warung tadi: ke selatan, menuju perbukitan.
Meninggalkan pusat kota Ciamis terasa seperti meninggalkan peradaban. Jalanan aspal yang lebar perlahan menyempit, lalu berubah menjadi jalan provinsi yang berkelok-kelok, membelah hamparan sawah hijau yang membentang seperti permadani zamrud di kedua sisi. Rumah-rumah penduduk menjadi semakin jarang, digantikan oleh rumpun-rumpun bambu yang menjulang tinggi, daun-daunnya berdesir ditiup angin, menciptakan musik yang sunyi dan sedikit menakutkan.
Setiap kilometer yang kutempuh terasa seperti sebuah perjalanan menuju hari penghakiman. Aku menyetir dengan fokus yang nyaris obsesif, kedua tanganku mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jariku memutih. Pikiranku adalah sebuah panggung di mana berbagai skenario diputar ulang tanpa henti.
Apa yang akan kutemukan di sana? Aku membayangkan sebuah rumah kecil yang terpencil. Aku membayangkan Difrina terbaring sakit di dalamnya, sendirian, rapuh. Lalu apa? Apa yang akan kulakukan? Aku akan merawatnya hingga sembuh, tentu saja. Aku akan membawakannya makanan, menyelimutinya, memastikan ia minum obat. Aku akan menjadi Rendra si penyelamat.
Lalu sebuah suara sinis—suara yang terdengar seperti Maya—berbisik di kepalaku. Dan setelah ia sembuh? Kau pikir ia akan berterima kasih lalu kembali ke pelukanmu? Kau pikir rasa sakit dan pengkhianatan bisa dihapus begitu saja dengan semangkuk bubur hangat?
Skenario lain muncul. Aku tiba di sana, dan ia tidak sendirian. Mungkin kakaknya, Laras, ada di sana. Atau mungkin ada kerabat jauh yang merawatnya. Mereka akan menatapku dengan tatapan menuduh. Mereka akan mengusirku. Pergilah. Kamu sudah cukup menyakitinya.
Atau yang terburuk: aku tiba di sana, dan ia tidak sakit sama sekali. Obrolan di warung kopi itu hanya gosip, kesalahpahaman. Aku akan menemukannya sedang duduk di teras, minum teh, tampak tenang dan damai. Dan kehadiranku, dengan semua kekacauan dan rasa bersalah yang kubawa, hanya akan mengusik kedamaian yang telah ia temukan. Aku akan terlihat seperti orang bodoh, seorang pria yang tidak bisa melepaskan.
Setelah aku menemukannya, lalu apa? Pertanyaan itu terus berputar, tanpa jawaban. Aku tidak punya rencana selain "menemukannya". Dan ketidakpastian itu terasa lebih menakutkan daripada jalanan sempit yang berkelok di hadapanku.
Peta digital di ponselku sudah lama kehilangan sinyal. Aku kini sepenuhnya bergantung pada petunjuk dari penduduk setempat. Aku berhenti di sebuah warung kecil di persimpangan jalan. Seorang ibu tua dengan senyum ramah sedang menumbuk bumbu di atas cobek batu.
"Permisi, Bu. Mau tanya arah ke Desa Cibeureum?" tanyaku, mencoba membuat suaraku terdengar santai, seperti seorang turis yang tersesat.
Ibu itu berhenti menumbuk, menatapku dengan tatapan yang ramah namun penuh selidik. Matanya memindai mobilku yang bersih, lalu kembali ke wajahku. "Oh, Cibeureum? Jauh, A'," katanya. "Lurus saja terus dari sini, nanti ada jembatan bambu, belok kiri. Ikuti saja jalan setapaknya. Jalannya jelek, pelan-pelan saja bawa mobilnya."
"Terima kasih, Bu," kataku.
"Mau ke rumah siapa, A'? Di sana tidak banyak pendatang," tanyanya, rasa ingin tahunya yang polos terasa seperti interogasi.
"Hanya... mengunjungi teman lama," jawabku, sebuah kebohongan yang terasa tipis.
Aku kembali ke mobil, perasaan terasingku semakin kuat. Aku adalah orang luar di sini, seorang penyusup dengan niat yang tidak jelas.
Jalanan setelah jembatan bambu itu persis seperti yang digambarkan oleh si ibu: jelek. Aspal telah sepenuhnya lenyap, digantikan oleh jalanan tanah berbatu yang membuat mobilku berguncang hebat. Aku harus menyetir dengan kecepatan sangat rendah. Di kiriku, ada jurang kecil yang ditumbuhi semak belukar. Di kananku, sawah terasering membentang naik ke lereng bukit, hijaunya begitu pekat hingga nyaris tidak nyata.
Kehadiran Difrina terasa semakin kuat di sini. Bukan lagi sebagai hantu kenangan di kota yang ramai, melainkan sebagai kemungkinan nyata yang menakutkan, tersembunyi di balik perbukitan yang sunyi ini. Apakah ia benar-benar sakit? Separah apa? Apakah ia sendirian? Kecemasan menggerogoti perutku, bercampur dengan kelelahan dari perjalanan yang panjang.
Matahari mulai turun, mewarnai langit dengan semburat oranye dan ungu. Bayangan-bayangan dari pepohonan mulai memanjang, membuat jalanan di depanku semakin sulit terlihat. Aku merasa seperti sedang melakukan perjalanan ke ujung dunia.
Setelah melewati sebuah hutan bambu kecil yang gelap dan rimbun, aku akhirnya melihat beberapa atap rumah di kejauhan. Desa Cibeureum.
Aku memarkir mobil di bawah sebuah pohon nangka besar di tepi jalan desa, tidak berani membawanya masuk lebih jauh. Aku keluar dari mobil, meregangkan kakiku yang kaku. Udara di sini lebih dingin, lebih segar, dipenuhi oleh aroma tanah basah dan bunga-bunga liar. Suara serangga malam mulai terdengar, sebuah koor yang ritmis dan menenangkan.
Seorang bapak tua yang sedang berjalan pulang dari sawah, dengan cangkul di pundaknya, berhenti dan menatapku dengan tatapan bertanya.
"Permisi, Pak," sapaku. "Saya mencari rumah peninggalan Pak Hermawan."
Bapak itu menyipitkan matanya. "Oh, rumah almarhum Mang Hermawan? Yang di atas bukit itu?" Ia menunjuk ke arah sebuah jalan setapak yang menanjak. "Lurus saja ke atas sana, nanti ada rumah panggung dari kayu. Cuma satu-satunya di situ."
"Apa benar... ada yang tinggal di sana sekarang?" tanyaku hati-hati.
"Ada," katanya. "Keponakannya, katanya. Gadis dari kota. Sudah beberapa minggu di sini. Kasihan, kelihatannya sakit-sakitan."
Jantungku terasa seperti jatuh ke perut. Jadi benar.
Aku mengucapkan terima kasih, lalu mulai berjalan menaiki jalan setapak itu. Setiap langkah terasa berat, seolah kakiku dipasangi pemberat. Tanah di bawah kakiku tidak rata, dan aku harus berhati-hati agar tidak tergelincir. Napasku mulai terengah-engah, bukan hanya karena tanjakan, tetapi juga karena ketegangan yang memuncak.
Setelah sekitar sepuluh menit berjalan, aku melihatnya.
Di puncak bukit kecil itu, dikelilingi oleh beberapa pohon buah-buahan yang tak terawat, berdiri sebuah rumah panggung kayu yang tua. Catnya yang dulu mungkin berwarna hijau, kini telah mengelupas di banyak tempat, memperlihatkan kayu di bawahnya yang telah lapuk dan menghitam karena cuaca. Beberapa papan di dindingnya tampak sedikit miring. Jendela-jendelanya gelap, seperti mata kosong yang menatap ke arah lembah. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada cahaya. Tidak ada suara. Rumah itu diselimuti oleh keheningan yang terasa begitu dalam, begitu melankolis di tengah cahaya senja yang memudar.
Aku berhenti di depan tangga kayu yang menuju ke teras rumah. Aku hanya berdiri di sana, menatap bangunan yang sunyi itu. Inikah akhir dari pencarianku? Sebuah rumah tua yang sekarat di puncak bukit yang terpencil.
Aku teringat pada apartemen Adrian yang megah dan berkilauan. Aku teringat pada studioku yang bersih dan modern. Lalu aku menatap rumah ini. Betapa jauhnya ia telah jatuh. Betapa jauhnya kami berdua telah jatuh.
Aku menarik napas dalam-dalam, udara dingin memenuhi paru-paruku. Rasa takut, rasa iba, penyesalan, dan secercah harapan yang bodoh—semuanya bergejolak di dalam diriku. Aku tidak punya rencana. Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan. Aku hanya tahu aku harus melakukannya.
Aku melangkah maju, menaiki anak tangga kayu yang berderit di bawah bebanku. Aku berdiri di teras yang berdebu, di ambang pintu yang tertutup rapat. Di ambang pintu asing yang menyimpan sisa-sisa dari kehidupanku yang telah hancur.
Tanganku terangkat, ragu-ragu di udara selama sepersekian detik yang terasa seperti selamanya.
Lalu, aku mengetuk.
Bab 51: Di Balik Pintu Kayu
Tanganku menggantung di udara, beberapa sentimeter dari permukaan pintu kayu yang kasar dan lapuk. Jantungku berdebar begitu kencang di dalam dada, ritmenya kacau, sebuah genderang perang yang menandakan pertempuran terakhirku dengan diriku sendiri. Di belakangku, senja telah sepenuhnya menyerah pada malam. Suara jangkrik dan serangga malam lainnya kini menjadi sebuah koor yang riuh, kontras yang aneh dengan keheningan mematikan yang terpancar dari rumah di hadapanku.
Setiap skenario terburuk yang bisa kubayangkan berputar di kepalaku. Bagaimana jika tidak ada orang di dalam? Bagaimana jika aku telah menempuh perjalanan ratusan kilometer hanya untuk menemukan sebuah rumah kosong, sebuah jalan buntu yang lain? Atau lebih buruk, bagaimana jika pintu ini terbuka, dan Difrina berdiri di sana, sehat dan tenang, dan menatapku dengan tatapan dingin yang sama seperti saat pertemuan terakhir kami, lalu berkata, "Pergilah"? Rasa malu dari penolakan itu akan menjadi beban yang tak tertanggungkan.
Aku menarik napas dalam-dalam, udara malam yang dingin terasa membakar paru-paruku. Aku harus tahu. Ketidakpastian ini lebih menyiksa daripada kebenaran terpahit sekalipun. Dengan sisa-sisa keberanian yang kumiliki, aku mengepalkan tanganku dan mengetuk.
Tiga kali. Ketukan yang ragu-ragu di atas kayu tua. Suaranya terdengar begitu lemah, nyaris ditelan oleh suara alam di sekelilingku.
Aku menunggu. Setiap detik terasa seperti satu jam. Aku menahan napas, telingaku menajam, mencoba menangkap suara sekecil apa pun dari dalam. Tidak ada. Hanya sunyi. Mungkin tidak ada orang. Mungkin aku harus berbalik, kembali ke mobilku, dan menerima kekalahanku.
Saat aku hampir menyerah, aku mendengarnya. Suara langkah kaki yang diseret pelan di atas lantai kayu. Seseorang ada di dalam. Jantungku mencelos. Ini dia.
Baut tua digeser dengan suara decitan yang memekakkan. Pintu itu terbuka, hanya selebar celah kecil, memperlihatkan sepotong kegelapan di dalamnya. Lalu, sebuah wajah muncul di celah itu. Wajah seorang wanita tua yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kulitnya berkerut seperti kertas yang diremas, matanya yang kecil dan hitam menatapku dengan tatapan tajam dan penuh kecurigaan. Ia mengenakan kebaya sederhana yang warnanya sudah pudar dan rambutnya yang sepenuhnya putih disanggul dengan rapi.
"Siapa?" tanyanya, suaranya serak dan tidak ramah.
Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa kering. "Selamat malam, Bu," kataku, suaraku terdengar seperti suara orang asing. "Maaf mengganggu malam-malam."
Ia tidak menjawab. Ia hanya terus menatapku, matanya memindai diriku dari ujung sepatu botku yang berdebu hingga ke wajahku yang pasti terlihat pucat dan cemas.
"Saya... saya Rendra," kataku, menanggalkan semua sisa harga diriku. "Saya mencari Difrina. Difrina Putri. Apa benar... dia ada di sini?"
Mata wanita tua itu menyipit. "Mau apa cari dia?" tanyanya, setiap kata adalah sebuah batu yang dilemparkan ke arahku.
"Saya... saya perlu bicara dengannya. Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."
"Kenapa kamu peduli?" balasnya tajam. "Kamu orang kota. Tidak ada urusan orang kota di sini."
Aku merasa seperti sedang diinterogasi di bawah lampu yang terik. Aku harus jujur. Kebohongan tidak akan membawaku ke mana-mana. "Saya... dulu suaminya," aku mengaku, kata "dulu" itu terasa begitu berat dan final saat kuucapkan.
Ekspresi wanita itu tidak berubah, tetapi aku bisa melihat kilat pemahaman di matanya yang tajam. Ia menatapku lebih lama lagi, seolah mencoba menimbang-nimbang jiwaku. "Anak itu sedang tidak mau diganggu," katanya akhirnya, sebuah penolakan yang dingin. "Dia sakit."
Kata-kata itu mengkonfirmasi ketakutanku. "Sakit?" ulangku, rasa panik yang dingin merayap di punggungku. "Sakit apa, Bu? Apa parah? Tolong, izinkan saya melihatnya. Hanya sebentar. Saya tidak akan mengganggunya."
"Untuk apa?" desaknya. "Untuk menyakitinya lagi? Sudah cukup penderitaannya. Dia datang ke sini untuk mencari ketenangan, bukan untuk kembali diganggu oleh masalah dari kota."
Setiap katanya adalah sebuah tuduhan yang benar. Aku tidak punya pembelaan. Aku hanya punya keputusasaan. "Saya tidak akan menyakitinya," kataku, suaraku kini bergetar karena emosi yang tak bisa lagi kutahan. "Saya bersumpah. Saya hanya... saya harus melihatnya. Saya tidak akan bisa tenang jika belum melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Saya mohon, Bu. Saya tidak akan pergi dari sini sebelum saya melihatnya."
Aku berdiri di sana, di teras yang gelap, menelanjangi semua kerentanan dan penyesalanku di hadapan seorang wanita asing. Aku bukan lagi arsitek yang sukses. Aku bukan lagi pria yang tegar. Aku hanyalah seorang pria yang hancur, memohon secercah belas kasihan.
Wanita tua itu—Bibi Lastri, aku menduga—menatapku lama. Sangat lama. Aku bisa melihat pergulatan di matanya. Antara nalurinya untuk melindungi Difrina dengan mungkin secuil rasa iba yang ia lihat di mataku.
Akhirnya, dengan sebuah helaan napas panjang yang terdengar seperti sebuah kekalahan, ia membuka pintu itu lebih lebar. "Masuk," katanya singkat. "Jangan berisik. Dia baru saja tidur."
Aku mengangguk cepat, rasa lega yang luar biasa membanjiri diriku hingga kakiku terasa lemas. Aku melangkah masuk, melewati ambang pintu, masuk ke dalam rumah yang terasa seperti sebuah makam yang sunyi.
Udara di dalam terasa berat, dipenuhi oleh aroma yang tajam dan familiar dari masa kecilku: minyak kayu putih, dicampur dengan wangi samar dari ramuan herbal yang direbus. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh satu lampu teplok kecil di atas sebuah meja kayu di sudut, cahayanya yang berkedip-kedip menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding bilik yang tua. Perabotannya sederhana dan tua. Hanya ada beberapa kursi kayu, sebuah meja, dan sebuah lemari. Keheningan di dalam rumah ini begitu total, kontras yang menyakitkan dengan suara jangkrik yang riuh di luar.
Bibi Lastri menunjuk ke arah ruang tengah yang lebih gelap. "Di sana," bisiknya.
Aku berjalan pelan, mataku mencoba beradaptasi dengan kegelapan. Dan saat itulah aku melihatnya.
Jantungku terasa seperti berhenti berdetak.
Itu bukan lagi sekadar rasa sakit atau penyesalan. Ini adalah kehancuran total.
Difrina terbaring di atas sebuah dipan bambu sederhana di tengah ruangan. Ia tidak ditutupi selimut tebal, hanya selembar kain sarung batik yang tipis. Cahaya remang-remang dari lampu teplok menyinari separuh wajahnya.
Wajah itu... Ya Tuhan, wajah itu. Pipi yang dulu ranum kini tirus dan cekung. Kulitnya yang dulu bercahaya kini pucat pasi, nyaris transparan, dengan semburat kebiruan di bawah matanya. Bibirnya yang dulu selalu siap tersenyum kini kering dan pecah-pecah. Ia terlihat begitu kecil, begitu rapuh di atas dipan itu, seolah embusan angin bisa menerbangkannya. Matanya yang dulu selalu berbinar dengan kehidupan, kini terpejam, tetapi bahkan dalam tidurnya, ada garis-garis penderitaan yang terukir di keningnya.
Napasnya terdengar lemah, sedikit terengah-engah. Setiap tarikannya seolah adalah sebuah perjuangan.
Aku berdiri membeku di ambang ruang tengah, tidak mampu bergerak, tidak mampu bernapas. Ini bukan Difrina yang kukenal. Wanita glamor di foto Adrian telah lenyap. Wanita lelah di lokasi proyek telah lenyap. Bahkan wanita yang menangis di hadapanku di kedai kopi pun telah lenyap. Wanita yang terbaring di hadapanku ini adalah bayangan dari semua itu. Seseorang yang telah dikuras habis oleh kehidupan, oleh pilihan-pilihannya, olehku.
Kelegaan karena telah menemukannya lenyap seketika, digantikan oleh gelombang rasa bersalah dan sakit hati yang begitu dahsyat hingga aku merasa seperti sedang tenggelam. Pertanyaan yang sejak tadi menghantuiku kini kembali dengan kekuatan penuh, bukan lagi sebagai pertanyaan, melainkan sebagai sebuah vonis yang tak terbantahkan.
Apakah aku penyebab semua ini?
Aku menatap sosok rapuh yang terbaring di hadapanku, wanita yang pernah menjadi pusat alam semestaku. Dan di tengah keheningan rumah panggung yang sekarat itu, aku tahu jawabannya.
Ya. Akulah penyebabnya.
Bab 52: Seseorang di Sisi Ranjang
Kesadaran datang bukan seperti fajar, melainkan seperti kabut yang perlahan menipis. Awalnya, yang ada hanyalah serpihan-serpihan sensasi yang terputus-putus. Rasa dingin yang aneh di keningku. Aroma minyak kayu putih yang tajam dan menusuk, menempel di bantal di bawah kepalaku. Dan suara-suara dari dunia yang jauh: kokok ayam yang serak, desau angin yang menyelinap melalui celah-celah dinding kayu, dan dengungan samar di telingaku sendiri.
Aku berada di antara dua dunia, dunia mimpi yang demam dan dunia nyata yang kabur. Aku bermimpi tentang Rendra, tentang rumah kami yang beraroma kayu dan bunga mawar. Lalu mimpi itu berubah menjadi Adrian, apartemennya yang dingin, dan tawa sinis teman-temannya. Aku berlari di koridor yang tak berujung, dikejar oleh bayang-bayang kesalahanku sendiri.
Kelopak mataku terasa begitu berat, seolah dilem dengan lem yang kuat. Dengan usaha yang luar biasa, aku berhasil membukanya sedikit. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui celah-celah dinding bilik menciptakan garis-garis debu yang menari-nari di udara yang remang-remang. Aku di mana? Ini bukan kamar tamu Mbak Laras. Langit-langitnya terbuat dari papan kayu yang gelap, dengan beberapa sarang laba-laba di sudutnya.
Aku mencoba bergerak, tetapi tubuhku terasa seperti bukan milikku. Setiap otot terasa sakit, setiap sendi terasa kaku. Rasa lemas yang begitu total melumpuhkanku. Aku hanya bisa berbaring di sana, napasku dangkal, pikiranku masih terbungkus kabut.
Lalu aku merasakannya. Sesuatu yang dingin dan basah diangkat dari keningku. Aku mengerjapkan mata, mencoba fokus. Sebuah sosok duduk di dingklik kayu kecil di samping dipan tempatku berbaring. Sosok itu kabur, siluetnya gelap melawan cahaya dari jendela.
Mungkin Bibi Lastri. Wanita tua yang telah merawatku selama beberapa hari terakhir, meskipun aku tidak ingat persis berapa lama. Ia akan datang, membawakanku bubur hambar dan ramuan herbal pahit, lalu pergi lagi, meninggalkanku sendirian dengan demamku.
Sosok itu bergerak. Sebuah tangan terulur, memeras kain basah di atas sebuah baskom email yang terkelupas. Lalu tangan itu dengan lembut meletakkan kembali kompres yang dingin di keningku. Sentuhannya... berbeda. Tangan Bibi Lastri kasar dan kapalan. Tangan ini, meskipun besar, sentuhannya begitu hati-hati, begitu ragu-ragu.
Aku mengerjapkan mata lagi, lebih keras kali ini. Kabut di mataku perlahan menipis. Dan siluet itu mulai terbentuk menjadi sebuah wajah.
Wajah yang kukenal lebih baik daripada wajahku sendiri.
Tidak.
Ini pasti mimpi. Halusinasi karena demam tinggi. Otakku yang lelah sedang memainkan trik yang kejam.
Rendra.
Ia duduk di sana, di sisiku, di dalam rumah panggung tua yang terpencil ini. Ia terlihat begitu lelah. Rambutnya yang biasanya rapi kini acak-acakan, lebih panjang dari yang kuingat. Ada bayangan janggut tipis yang kasar di rahangnya yang tirus. Lingkaran hitam pekat membayangi matanya, mata yang sama yang dulu selalu menatapku dengan penuh kehangatan, kini dipenuhi oleh kelelahan dan sesuatu yang lain... sesuatu yang tidak bisa kubaca.
Jantungku, yang tadinya berdetak lemah, kini mulai berdebar kencang dengan panik. Ini nyata. Ini bukan mimpi. Entah bagaimana, ia ada di sini.
Aku mencoba berbicara, mencoba bertanya, “Kenapa kamu di sini?” Tapi yang keluar dari mulutku yang kering hanyalah suara erangan lemah.
Ia sepertinya mendengarnya. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Sshhh," bisiknya, suaranya serak karena kurang tidur. "Pelan-pelan saja."
Ia mengambil sebuah gelas dari meja kecil di sampingnya, lalu menyendokkan sedikit air ke bibirku. Air itu terasa begitu sejuk, membasahi tenggorokanku yang kering. Aku menelannya dengan susah payah.
Aku menatapnya, mataku pasti membelalak karena syok dan ketidakpercayaan. Badai emosi yang sunyi bergejolak di dalam diriku. Apakah ini mimpi? Kenapa dia di sini? Bagaimana ia menemukanku?
Lalu, gelombang rasa malu yang luar biasa menghantamku, begitu kuat hingga aku ingin sekali kembali pingsan. Ia melihatku seperti ini. Pucat, kurus, lemah, tak berdaya. Terbaring di atas dipan bambu yang reyot, ditutupi sarung batik yang usang. Wanita yang sama yang pernah berdiri di sampingnya di pesta-pesta mewah, mengenakan gaun sutra, kini tak lebih dari seonggok penderitaan.
Aku merasa tidak pantas. Tidak pantas menerima kebaikannya. Tidak pantas menerima sentuhan lembutnya saat ia mengganti kompres di keningku. Aku ingin sekali menghindar, menarik diri, tetapi aku terlalu lemah. Aku bahkan tidak punya kekuatan untuk memalingkan wajahku.
Pintu bilik terbuka, dan Bibi Lastri masuk, membawa semangkuk bubur beras yang mengepulkan uap. Ia berhenti sejenak saat melihat mataku terbuka, lalu ia menatap Rendra.
"Sudah bangun dia, Nak Rendra," katanya, suaranya terdengar lega. Ia berjalan ke arah kami dan menyerahkan mangkuk itu pada Rendra. "Biar disuapi sedikit. Perutnya kosong dari kemarin."
Interaksi mereka—cara Bibi Lastri menyerahkan mangkuk itu, dan cara Rendra menerimanya dengan anggukan terima kasih—menunjukkan sebuah keakraban yang aneh. Bibi Lastri, yang begitu protektif dan curiga padaku, telah dengan enggan menerima kehadiran pria ini sebagai perawatku. Kesadaran itu membuatku merasa semakin tidak berdaya.
Rendra mengambil sesendok kecil bubur, meniupnya dengan hati-hati, lalu menyodorkannya ke arah mulutku. "Makan sedikit, ya?" bisiknya. "Hanya beberapa suap."
Aku secara refleks menggelengkan kepala, sebuah gerakan kecil yang menghabiskan sisa tenagaku.
"Difrina, tolong," katanya, dan ada nada permohonan dalam suaranya yang serak itu, sebuah kerapuhan yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Aku menatap matanya. Di balik kelelahannya, aku melihat sesuatu yang lain. Bukan kemarahan. Bukan penghakiman. Hanya... kesedihan yang begitu dalam. Seolah-olah penderitaanku adalah penderitaannya juga.
Dengan enggan, aku membuka mulutku. Bubur hangat yang hambar itu terasa seperti pasir di lidahku, tetapi aku memaksakan diri untuk menelannya. Satu suap. Lalu satu lagi. Setiap tindakan perawatan darinya adalah sebuah pertanyaan yang tak terucap. Kenapa kamu berakhir seperti ini? Apa yang telah terjadi padamu?
Dan setiap suap yang kuterima adalah sebuah pengakuan yang sunyi. Aku gagal. Aku hancur. Aku butuh bantuan.
Setelah beberapa suap, aku menggelengkan kepala lagi, menandakan aku sudah tidak sanggup. Ia tidak memaksa. Ia hanya meletakkan mangkuk itu, lalu mengambil kain basah dan dengan sangat hati-hati, menyeka sisa bubur di sudut bibirku. Sentuhannya begitu ringan, begitu penuh hormat, hingga terasa seperti sebuah siksaan.
Rasa lega yang tak terduga karena tidak lagi sendirian berbenturan keras dengan gelombang rasa malu yang luar biasa karena dilihat dalam kondisi terlemahku. Aku tidak bisa lari. Aku tidak bisa membangun dinding pertahanan. Aku dipaksa untuk menerima kehadiran dan perawatan dari pria yang telah kusakiti begitu dalam.
Aku memejamkan mata, tidak sanggup lagi menatap wajahnya yang lelah. Aku merasakan tangannya yang hangat dengan ragu-ragu menyentuh pipiku, mengusap air mata yang tidak kusadari telah jatuh.
"Aku di sini," bisiknya lagi, seolah menjawab pertanyaan yang tak terucap di dalam kepalaku.
Aku tidak tahu apa artinya itu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi di tengah kabut demam dan penyesalanku, di dalam keheningan rumah panggung yang terpencil ini, aku tahu satu hal. Penyelamatku telah datang. Dan ia adalah pria yang sama yang telah kuhancurkan.
Bab 53: Merawat Luka Lama
Waktu di dalam rumah panggung ini berjalan dengan ritmenya sendiri, sebuah ritme yang diatur oleh napas dangkal Difrina dan derit lantai kayu di bawah langkah kakiku yang tak pernah berhenti. Adrenalin pencarian telah lama menguap, digantikan oleh kelelahan yang meresap hingga ke sumsum tulang. Hari-hari melebur menjadi satu siklus yang monoton dan menyakitkan: merebus air untuk kompres, mencoba menyuapkan sesendok bubur hambar, dan berjaga di malam-malam yang panjang, ditemani oleh koor jangkrik di luar dan gema kegagalanku di dalam.
Ini adalah sebuah penebusan dosa yang sunyi. Setiap tindakanku bukanlah sebuah gestur heroik; melainkan sebuah upaya canggung untuk membayar utang yang tak ternilai. Aku belajar melakukan hal-hal yang belum pernah kulakukan seumur hidupku. Aku belajar mengenali perbedaan antara demam yang naik dan demam yang mulai turun hanya dari sentuhan punggung tanganku di keningnya. Aku belajar cara menyuapi seseorang yang nyaris tidak punya kekuatan untuk menelan, merayakan setiap suapan kecil yang berhasil masuk seperti sebuah kemenangan besar. Aku belajar membersihkan tubuhnya yang rapuh dengan waslap basah, gerakanku begitu hati-hati, begitu penuh hormat, seolah aku sedang menyentuh porselen paling berharga yang telah retak.
Difrina lebih banyak tidur, melarikan diri ke dalam dunia mimpi yang demam. Saat ia sesekali sadar, matanya akan terbuka perlahan, tatapannya kosong dan bingung pada awalnya. Lalu, saat ia menyadari kehadiranku yang duduk di sisinya, aku akan melihatnya. Gelombang rasa malu yang begitu dalam melintas di matanya sebelum ia buru-buru memalingkan wajah, seolah tidak sanggup menatapku. Ia tidak pernah berbicara. Kerentanannya yang telanjang adalah cermin yang memantulkan semua kesalahanku, semua kekejamanku, dengan begitu jelas hingga aku nyaris tidak sanggup melihatnya.
Bibi Lastri adalah seorang pengamat yang diam. Ia tidak lagi menghalangiku, tetapi juga tidak sepenuhnya membantuku. Ia seolah telah menyerahkan tugas merawat ini padaku, sebuah ujian yang harus kujalani sendirian. Setiap pagi, tanpa sepatah kata pun, ia akan meletakkan segelas kopi hitam panas dan sepiring singkong rebus di atas meja kecil di teras. Sebuah gestur pengakuan yang enggan, sebuah bahan bakar untuk melanjutkan hukumanku. Dialog kami sangat minim, tetapi tatapan matanya berbicara banyak. Ada kecurigaan di sana, tetapi juga secercah rasa hormat yang aneh, yang lahir dari kesaksiannya akan pengabdianku yang tak kenal lelah.
Malam adalah waktu yang paling berat. Saat rumah menjadi sunyi dan hanya diterangi oleh lampu teplok yang berkedip-kedip, pikiranku menjadi liar. Aku akan duduk di dingklik kayu di samping dipannya, menatap wajahnya yang pucat di bawah cahaya yang temaram, dan aku akan bertanya pada diriku sendiri, berulang-ulang.
Apakah ini cinta?
Ataukah ini hanya rasa bersalah yang begitu besar hingga ia menyamar menjadi cinta? Apakah aku melakukan semua ini untuknya, atau untuk diriku sendiri? Untuk menenangkan iblis-iblis di dalam kepalaku yang terus berbisik bahwa akulah penyebab semua ini? Aku teringat bagaimana dulu aku gagal merawat hatinya. Aku memberinya rumah, tetapi aku tidak memberinya rasa aman. Aku memberinya kenyamanan, tetapi aku tidak memberinya pengertian. Aku begitu sibuk membangun surga versiku, hingga aku tidak sadar bahwa aku telah membangun penjara untuknya.
Kini, aku merawat tubuhnya dengan presisi seorang arsitek yang sedang memperbaiki bangunan yang retak. Aku memastikan suhu kompresnya tepat. Aku memastikan ia minum cukup air. Aku memastikan ia tidak kedinginan di malam hari. Aku merawat fisiknya dengan semua perhatian yang dulu gagal kuberikan pada jiwanya. Dan ironi yang menyakitkan itu terasa seperti bara api di dadaku.
Suatu malam, saat aku sedang mengganti kompres di keningnya, ia mengigau. Bibirnya yang kering bergerak-gerak, mengucapkan sebuah nama dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Rendra..."
Jantungku terasa seperti berhenti berdetak. Aku mencondongkan tubuhku lebih dekat.
"...mawar," bisiknya. "Mawarnya... layu."
Aku memejamkan mata, rasa sakit yang tajam menusukku. Bahkan dalam tidurnya yang demam, ia masih terperangkap di dalam taman kami yang hancur. Aku teringat pada mawar-mawar yang telah kutanam kembali, yang kini mungkin sedang mulai berbunga di apartemen baruku, di duniaku yang baru. Dunia yang terasa begitu jauh dari ruangan yang sesak dan berbau minyak kayu putih ini.
Tantangan fisik dari merawatnya tanpa henti mulai terasa. Punggungku sakit karena terlalu banyak membungkuk. Mataku perih karena kurang tidur. Ada saat-saat di mana aku merasa begitu lelah hingga aku hanya ingin merebahkan kepalaku di lantai dan menyerah. Tetapi kemudian aku akan mendengar suara batuknya yang lemah, atau melihatnya menggigil dalam tidurnya, dan sebuah kekuatan baru yang tidak kuketahui kumiliki akan muncul, memaksaku untuk bangkit dan merebus air lagi.
Aku memandangi wajahnya yang tirus. Aku menelusuri garis pipinya dengan mataku, mengingat kembali bagaimana dulu pipi itu ranum dan sering kali merona saat aku menggodanya. Aku mengingat kembali binar di matanya saat ia tertawa. Aku membandingkan kenangan akan Difrina yang sehat dan penuh kehidupan itu dengan wanita rapuh yang terbaring di hadapanku. Dan aku harus menghadapi kenyataan bahwa akulah jembatan di antara dua citra itu. Akulah yang telah mengubahnya.
Malam itu, setelah berjaga entah untuk malam keberapa, aku akhirnya tertidur di dingklikku, kepalaku terkulai di tepi dipan, hanya beberapa sentimeter dari lengannya. Aku tidak bermimpi. Aku hanya jatuh ke dalam kegelapan yang lelah dan tanpa istirahat.
Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur. Aku terbangun oleh sebuah sensasi yang aneh. Sesuatu yang hangat dan ringan di atas tanganku. Aku membuka mataku perlahan.
Dalam cahaya subuh yang keabu-abuan, aku melihatnya. Tangan Difrina. Entah bagaimana, dalam tidurnya, tangannya telah bergerak dan kini tergeletak di atas punggung tanganku. Jari-jarinya yang kurus dan dingin menggenggam tanganku dengan lemah, sebuah genggaman yang nyaris tak terasa.
Aku menahan napas, tidak berani bergerak, takut jika gerakan sekecil apa pun akan membangunkannya dan mengakhiri momen ini. Aku menatap tangannya yang pucat di atas tanganku yang lebih gelap dan kasar. Sebuah pertemuan yang sunyi antara dua dunia yang telah hancur.
Apakah ini hanya gerakan refleks dari orang yang sedang tidur? Ataukah ini sebuah isyarat bawah sadar? Sebuah permintaan tolong? Sebuah pengampunan?
Aku tidak tahu. Aku hanya duduk di sana, dalam keheningan fajar yang dingin, merasakan sentuhan ringannya di kulitku. Dan untuk pertama kalinya, di tengah penebusan dosaku yang menyakitkan, secercah perasaan yang ambigu muncul. Bukan kebahagiaan. Bukan kelegaan. Melainkan campuran yang aneh antara harapan yang rapuh dan rasa sakit yang semakin dalam. Karena sentuhan itu, entah nyata atau tidak, terasa seperti sebuah ikatan. Dan aku tidak tahu apakah aku siap untuk kembali terikat.
Bab 54: Keheningan yang Menghukum
Beberapa hari telah berlalu sejak aku sepenuhnya sadar. Waktu tidak lagi menjadi kabut demam yang kabur, melainkan serangkaian momen sunyi yang panjang dan canggung. Duniaku kini telah menyusut. Batas-batasnya adalah empat dinding bilik kayu yang tua, langit-langit yang dipenuhi sarang laba-laba, dan tatapan mata Rendra yang tak bisa kubaca. Aku sudah bisa duduk bersandar di tumpukan bantal, tetapi tubuhku masih terasa seperti milik orang lain, lemah dan tidak patuh.
Setiap pagi, cahaya matahari menyusup melalui celah-celah papan, melukis garis-garis di atas selimutku. Setiap pagi, Rendra sudah terjaga, duduk di dingklik kayu di samping dipanku, terkadang hanya menatap ke luar jendela, terkadang membaca sebuah buku yang sampulnya sudah usang. Kehadirannya begitu konstan, begitu nyata, hingga terasa seperti bagian dari perabotan di ruangan ini. Ia adalah perawat yang sempurna, tetapi terasa seperti orang asing.
Ia efisien. Gerakannya terukur dan tanpa keraguan. Tepat pukul tujuh, ia akan datang dengan semangkuk bubur beras hangat yang hambar, menyuapiku dengan kesabaran seorang santo. Ia tidak pernah menunjukkan rasa jijik saat aku sesekali terbatuk atau kesulitan menelan. Ia hanya akan berhenti sejenak, memberiku minum, lalu melanjutkan lagi. Pukul delapan, ia akan membantuku minum obat—pil-pil pahit yang disiapkan Bibi Lastri. Pukul sembilan, ia akan mengganti kompres di keningku. Semuanya dilakukan dalam keheningan yang nyaris absolut.
Dialog kami terbatas pada hal-hal yang paling mendasar. "Sudah waktunya minum obat," katanya, suaranya datar. "Apakah kamu butuh sesuatu?" tanyanya, matanya tidak benar-benar menatapku, melainkan ke arah gelas air di meja. Jawabanku pun sama singkatnya. "Iya." "Tidak." "Sudah."
Kehangatan dan binar di matanya yang dulu selalu berhasil membuatku merasa aman, kini telah hilang. Lenyap. Digantikan oleh kewaspadaan yang lelah dan jarak yang tak bisa kutembus. Ia merawatku dengan dedikasi yang menakutkan, tetapi ia tidak melihatku. Ia merawat sebuah tugas, sebuah kewajiban, sebuah masalah yang harus diselesaikan. Dan aku adalah masalah itu.
Di dalam diriku, pikiranku adalah sebuah badai. Rasa terima kasih yang begitu besar hingga terasa menyesakkan berbenturan keras dengan rasa malu yang melumpuhkan. Ia menyelamatkanku. Ia merawatku. Ia melakukan semua hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami yang penuh cinta. Tapi aku tahu, ini bukan cinta. Ini adalah penebusan dosa. Atau mungkin, bentuk hukuman yang paling kejam. Ia membiarkanku hidup, tetapi ia membunuhku dengan kebaikannya yang hampa.
Aku mengamati setiap gerakannya, mencoba mencari secercah sisa dari Rendra yang dulu. Cara ia mengerutkan kening saat fokus, cara ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jari saat lelah. Gestur-gestur itu masih ada, tetapi jiwanya telah pergi. Aku merindukan Rendra yang dulu, Rendra yang akan tertawa saat aku menceritakan lelucon yang tidak lucu, Rendra yang akan memelukku hanya karena ia melihatku melamun. Aku merindukan pria itu dengan rasa sakit yang begitu hebat, sambil menyadari dengan ngeri bahwa akulah yang telah membunuhnya.
Aku harus mengatakan sesuatu. Keheningan ini menyiksaku, jauh lebih menyakitkan daripada demam mana pun. Aku harus memecahkannya. Tapi kata-kata apa yang pantas? Terima kasih? Maaf? Kata-kata itu terasa begitu kecil, begitu tidak berarti dibandingkan dengan jurang yang telah kuciptakan di antara kami.
Setiap kali aku membuka mulut untuk mencoba, tenggorokanku terasa seperti tersumbat oleh gumpalan rasa malu. Aku akan berlatih di kepalaku. Rendra, terima kasih sudah merawatku. Sederhana. Tapi saat aku menatap wajahnya yang lelah dan tertutup, keberanianku lenyap. Aku merasa bahwa setiap kata terima kasihku akan terdengar hampa, sebuah formalitas yang tidak sepadan dengan pengabdiannya yang total.
Sore itu, saat ia sedang membersihkan baskom kompres, aku memutuskan aku tidak tahan lagi. Aku harus mencoba.
"Rendra," panggilku. Suaraku serak karena jarang digunakan, terdengar seperti gesekan daun kering.
Ia berhenti, punggungnya masih menghadapku. Ia tidak langsung menoleh. Selama sepersekian detik yang terasa seperti selamanya, aku pikir ia akan mengabaikanku. Lalu, dengan gerakan yang sangat lambat, ia berbalik. Wajahnya tanpa ekspresi.
"Ya?"
Jantungku berdebar kencang. Aku menelan ludah. "Aku... aku hanya ingin bilang..." Aku berhenti, mencari kata-kata yang tepat. "...terima kasih."
Kata itu akhirnya keluar, terdengar begitu lemah, begitu menyedihkan di tengah keheningan ruangan.
Ia menatapku, matanya yang dingin tidak menunjukkan emosi apa pun. Tidak ada kelegaan. Tidak ada kehangatan. Tidak ada pengampunan.
"Ini sudah kewajibanku," katanya, suaranya datar dan final.
Hanya itu. Ia berbalik, dan kembali melanjutkan pekerjaannya, seolah aku tidak pernah berbicara.
Penolakan dalam kesopanannya itu terasa lebih brutal daripada jika ia memakiku. Ia tidak memberiku ruang untuk keintiman lebih lanjut. Ia telah membangun sebuah dinding di antara kami, dinding yang terbuat dari kewajiban yang dingin. Ia sedang memberitahuku, dengan caranya yang sunyi, bahwa ia akan melakukan apa yang harus ia lakukan sebagai seorang manusia yang baik, tetapi ia tidak akan pernah lagi membiarkanku masuk ke dalam hatinya.
Keheningan setelah dialog singkat itu terasa seratus kali lebih berat, lebih menghukum daripada sebelumnya. Aku telah mencoba menjangkau, dan tanganku hanya menemukan udara kosong. Aku telah memecahkan keheningan, hanya untuk digantikan oleh keheningan lain yang lebih dalam dan lebih menyakitkan.
Aku memalingkan wajahku ke arah dinding kayu, menatap garis-garis retakan di permukaannya. Aku merasa seperti rumah tua ini, lapuk dan hancur dari dalam. Aku mendapatkan perawatan terbaik dari pria yang pernah menjadi duniaku. Tetapi aku tahu, dengan kepastian yang menghancurkan, bahwa aku telah kehilangannya selamanya. Kebaikan yang tidak disertai pengampunan adalah bentuk siksaan yang paling sunyi. Dan aku tahu, aku pantas mendapatkannya.
Bab 55: Langkah Selanjutnya
Seminggu berlalu dalam ritme yang lambat dan menekan, diatur oleh siklus terbit dan terbenamnya matahari di atas perbukitan Cibeureum. Rumah panggung ini telah menjadi duniaku, sebuah biara sunyi tempat aku menjalani peran sebagai perawat, penebus dosa, dan penjaga. Kedamaian yang telah kuperjuangkan di studioku di Jakarta kini terasa seperti sebuah kehidupan yang pernah dijalani oleh orang lain, sebuah kenangan yang jauh dan kabur.
Setiap hari adalah pengulangan dari hari sebelumnya. Pagi dimulai dengan suara lesung Bibi Lastri yang menumbuk ramuan herbal, aromanya yang pahit dan bersahaja kini telah menjadi bagian permanen dari udara yang kuhirup. Siang hari diisi dengan rutinitas merawat Difrina: membantunya makan bubur yang hambar, memastikan ia minum obat, mengganti kompresnya. Malam hari adalah yang terpanjang, diisi oleh keheningan yang hanya dipecah oleh suara batuknya yang lemah atau derit lantai kayu saat aku berjaga, tidak bisa tidur. Tumpukan buku yang kubawa dari kota tergeletak tak terbaca di sudut ruangan, pikiranku terlalu penuh untuk bisa menyerap kata-kata.
Difrina perlahan kembali ke dunia fisik. Warnanya mulai kembali ke pipinya yang tirus, dan kabut demam di matanya telah menipis, meninggalkan kejernihan yang rapuh dan waspada. Ia tidak lagi hanya terbaring. Kemarin, untuk pertama kalinya, ia mencoba berjalan sendiri dari dipan ke kursi di dekat jendela, langkahnya tertatih-tatih dan gemetar, tangannya berpegangan pada dinding untuk menopang tubuhnya.
Aku mengamatinya dari ambang pintu, hatiku dipenuhi oleh perasaan campur aduk yang aneh. Ada kelegaan yang luar biasa melihatnya bergerak, melihat secercah kekuatan kembali ke tubuhnya yang rapuh. Tetapi di balik kelegaan itu, ada kecemasan yang dingin. Setiap langkahnya yang semakin mantap adalah sebuah hitungan mundur. Sebuah pengingat bahwa situasi ini, di mana aku memiliki tujuan yang jelas—merawatnya—tidak bisa berlangsung selamanya. Kesembuhannya adalah awal dari akhir peranku di sini. Dan aku harus segera memutuskan apa langkah selanjutnya.
Ia masih sangat sedikit berbicara padaku. Interaksi kami masih sebatas kebutuhan praktis. Tetapi aku melihatnya mencoba. Kemarin, saat aku sedang menyuapinya, ia berhenti dan berkata, "Aku bisa sendiri," suaranya serak namun tegas. Ia mengambil mangkuk itu dari tanganku, dan dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menghabiskan sisa buburnya. Tanda kemandirian itu, yang seharusnya membuatku senang, justru terasa seperti sebuah dorongan halus, sebuah penegasan bahwa ia tidak akan selamanya bergantung padaku. Jiwanya yang hilang perlahan kembali, dan aku tahu jiwa itu tidak lagi memiliki tempat untukku.
Sore itu, saat aku sedang duduk di teras, menatap kosong ke arah lembah yang mulai diselimuti kabut tipis, Bibi Lastri datang dan duduk di dingklik di sampingku. Ia meletakkan dua cangkir kopi tubruk yang panas di antara kami.
"Neng Rina sudah bisa jalan sendiri sedikit-sedikit," katanya, bukan sebagai pertanyaan, melainkan sebagai sebuah pengamatan.
"Iya, Bi," jawabku pelan. "Sudah jauh lebih baik."
Kami duduk dalam diam selama beberapa saat, hanya menyeruput kopi kami. Aku tahu ada sesuatu yang ingin ia katakan. Pertanyaan-pertanyaan pragmatis dari seorang wanita tua yang telah melihat lebih banyak kehidupan daripada aku.
"Jadi," mulainya, matanya menatap lurus ke depan. "Setelah Neng Rina sehat betul, mau dibawa ke mana, Nak Rendra?"
Pertanyaan itu, yang begitu sederhana dan logis, terasa seperti sebuah pukulan di ulu hati. Pertanyaan yang sama yang telah berputar-putar di kepalaku selama berhari-hari, yang tidak berani kujawab.
"Tidak mungkin selamanya di sini," lanjutnya, seolah menjawab keheninganku. "Ini desa. Bukan tempatnya. Dia butuh memulai lagi."
"Saya tahu, Bi," kataku, suaraku terdengar lebih lelah dari yang kurasakan.
"Lalu, mau dibawa pulang ke Jakarta?" tanyanya lagi. "Kembali ke rumah kalian?"
Aku menggeleng pelan. Pulang. Kata itu terasa begitu salah. Tidak ada lagi "rumah kami". Yang ada hanyalah apartemenku yang steril dan kenangan-kenangan yang telah kuusir. Membawanya kembali ke sana akan menjadi sebuah kekejaman, baik baginya maupun bagiku.
"Dia tidak akan bisa sembuh sepenuhnya jika terus bersamamu," kata Bibi Lastri, kali ini dengan kebrutalan yang lahir dari kepedulian. "Setiap kali dia melihatmu, dia akan teringat pada lukanya. Dan setiap kali kamu melihatnya, kamu akan teringat pada rasa bersalahmu. Kalian berdua akan menjadi racun bagi satu sama lain."
Setiap katanya adalah kebenaran yang telanjang. Aku merawat tubuhnya, tetapi kehadiranku mungkin justru menghalangi jiwanya untuk sembuh. Aku adalah pengingat konstan dari semua yang telah ia lalui: pengkhianatan, penghinaan, dan kejatuhannya. Untuk bisa benar-benar bangkit, ia harus bebas dariku.
Aku merasa seperti sedang merencanakan cara untuk meninggalkan seseorang yang baru saja kuselamatkan. Sebuah paradoks yang menyiksa. Aku telah menariknya dari jurang, hanya untuk kemudian mendorongnya pergi ke dunia yang tidak pasti.
"Lalu saya harus bagaimana, Bi?" tanyaku, akhirnya mengakui kekalahanku. "Saya tidak bisa begitu saja meninggalkannya di sini."
"Tentu saja tidak," katanya. "Kamu yang membawanya ke dalam kekacauan ini, kamu juga yang harus membantunya menemukan jalan keluar. Tapi jalan keluar itu bukan jalan yang kembali padamu."
Kami terdiam lagi. Matahari mulai terbenam, melukis langit dengan warna-warna yang muram.
"Di mana dia akan tinggal?" pikirku dalam hati. "Bagaimana ia akan menghidupi dirinya sendiri? Apakah aku harus memberinya uang?" Pertanyaan-pertanyaan praktis ini terasa begitu brutal, begitu dingin, mereduksi tragedi kami menjadi serangkaian masalah logistik.
Malam itu, setelah Difrina tertidur, aku tidak bisa diam. Aku mengambil laptopku dari dalam tas, meniup debu tipis yang mulai menempel di permukaannya. Aku menyalakannya untuk pertama kalinya sejak tiba di sini. Cahaya dari layar yang menyala terasa begitu asing di tengah kegelapan rumah panggung ini.
Aku tidak membuka program desain arsitekturku. Aku tidak memeriksa email pekerjaan. Aku membuka peramban.
Tanganku ragu-ragu di atas keyboard. Ini terasa seperti sebuah pengkhianatan. Aku sedang merencanakan perpisahan kami, saat ia terbaring lemah hanya beberapa meter dariku. Tapi aku tahu ini adalah sebuah keharusan.
Aku mengetik beberapa kata kunci di bilah pencarian: "Sewa kamar kos putri aman Bandung". Bandung. Cukup jauh dari Jakarta, tetapi tidak terlalu terpencil. Sebuah kota di mana ia bisa memulai lagi tanpa bayang-bayang masa lalunya.
Lalu, aku membuka tab baru. Aku mencari nomor telepon Mbak Laras. Aku harus bicara dengannya. Aku harus tahu bagaimana kondisi keluarga mereka, apakah mereka bisa mendukung Difrina jika ia kembali. Aku harus memastikan bahwa saat aku melepaskannya, ia tidak akan jatuh ke dalam kehampaan.
Setiap klik terasa seperti sebuah langkah menjauh. Setiap halaman web yang kubuka terasa seperti sebuah paku yang kutancapkan di peti mati hubungan kami. Aku sedang merancang sebuah perpisahan, dengan presisi yang sama seperti saat aku merancang sebuah bangunan. Aku sedang membangun sebuah jalan keluar untuknya. Jalan yang tidak akan pernah bisa ia tempuh jika aku terus berada di sisinya.
Ini adalah tugas terakhirku sebagai suaminya. Bukan untuk membahagiakannya, bukan untuk mencintainya. Melainkan untuk melepaskannya. Sepenuhnya.
Bab 56: Rencana Perpisahan
(Sudut Pandang: Rendra)
Pagi datang dengan keengganan di Cibeureum. Kabut tipis masih memeluk lembah, dan udara terasa lembap dan dingin, membawa serta aroma tanah basah dan daun-daun yang membusuk. Aku duduk sendirian di teras rumah panggung ini, secangkir kopi hitam yang sudah mendingin tergeletak tak tersentuh di sampingku. Aku tidak tidur semalaman. Sebaliknya, aku menghabiskan malam di depan layar laptopku yang menyala, cahayanya yang dingin terasa begitu asing di tengah kesederhanaan pedesaan ini.
Aku telah menyelesaikan sebuah proyek. Bukan proyek arsitektur yang terbuat dari baja dan beton, melainkan sebuah rencana perpisahan yang terbuat dari logika dingin dan hati yang hancur. Aku telah menelusuri puluhan situs web, mencari kamar kos yang aman di Bandung, membuat daftar, membandingkan harga, dan membaca ulasan. Aku telah menghitung anggaran, memperkirakan biaya hidup untuk enam bulan ke depan. Aku memperlakukan kehancuran kami seperti sebuah masalah teknis yang membutuhkan solusi yang efisien. Ini adalah satu-satunya cara agar aku tidak ikut hancur.
Di dalam, aku bisa mendengar suara batuk Difrina yang sesekali memecah keheningan. Ia masih lemah. Dan aku, di sini, di teras ini, sedang merencanakan cara untuk menyingkirkannya dari hidupku. Perasaan menjadi monster yang paling kejam terasa begitu nyata hingga aku nyaris mual. Tapi aku tahu, dengan kepastian yang menyakitkan, bahwa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. Kehadiranku adalah racun bagi kesembuhannya.
Aku mengambil ponselku. Jari-jariku terasa berat saat aku mencari nomor Laras. Ini adalah bagian terberat. Menjelaskan rencanaku pada wanita yang mungkin membenciku lebih dari siapa pun di dunia ini. Aku menekan tombol panggil, menempelkan ponsel ke telinga.
Nada sambung terdengar, setiap bunyinya terasa seperti sebuah tuduhan.
"Halo?" Suara Laras terdengar serak, jelas baru bangun tidur.
"Laras, ini Rendra," kataku, suaraku datar, terkendali. "Maaf menelepon pagi-pagi."
Hening sejenak di seberang sana, hanya terdengar suara napasnya. "Ada apa?" tanyanya, nadanya waspada. "Difrina baik-baik saja?"
"Dia... dia membaik," jawabku. "Itulah kenapa aku menelepon. Kita perlu bicara tentang langkah selanjutnya."
"Langkah selanjutnya?" ulangnya, sinisme mulai merayap ke dalam suaranya. "Langkah selanjutnya untuk apa, Rendra? Kamu mau mengembalikannya sekarang setelah kamu bosan bermain sebagai perawat?"
Aku memejamkan mata, menelan hinaan itu. Aku pantas mendapatkannya. "Bukan begitu. Aku sudah membuat rencana untuknya."
Aku mulai menjelaskan, suaraku terdengar seperti seorang manajer proyek yang sedang memberikan presentasi. Aku berbicara tentang Bandung, kota yang cukup besar untuk memulai kembali tetapi tidak sekacau Jakarta. Aku berbicara tentang tiga pilihan kamar kos khusus putri yang telah kuseleksi, lengkap dengan keamanan 24 jam. Aku berbicara tentang rencanaku untuk membayar uang sewa di muka selama enam bulan.
"Enam bulan?" potong Laras, suaranya kini tajam. "Kenapa enam bulan?"
"Untuk memberinya waktu," jelasku sabar. "Waktu untuk pulih sepenuhnya, waktu untuk mencari pekerjaan, waktu untuk berdiri di atas kakinya sendiri."
"Dan setelah enam bulan? Kamu akan meninggalkannya begitu saja?"
"Aku juga akan mentransfer sejumlah uang ke rekeningmu untuknya," lanjutku, mengabaikan pertanyaannya. "Cukup untuk biaya hidup awal, untuk membeli pakaian, untuk apa pun yang ia butuhkan. Aku tidak mau ia memulai dari nol."
Saat itulah Laras meledak. "Jadi begitu?" serunya, suaranya bergetar karena amarah. "Jadi kamu pikir bisa menyelesaikan semua ini dengan uang, Rendra? Setelah kamu menghancurkan hidupnya, kamu pikir bisa begitu saja membuangnya ke kota lain dengan sejumlah uang dan menganggap masalah selesai? Kamu pikir adikku itu barang rusak yang bisa kamu beri kompensasi?"
Setiap katanya adalah sebuah pukulan. "Ini bukan kompensasi," balasku, mencoba menjaga suaraku tetap tenang. "Ini adalah satu-satunya cara yang kutahu untuk membantunya."
"Membantunya? Atau membantu dirimu sendiri?" tantangnya. "Ini bukan tentang dia, kan? Ini tentangmu. Tentang membersihkan rasa bersalahmu. Kamu tidak sanggup melihatnya setiap hari karena ia adalah cerminan dari kegagalanmu!"
Aku terdiam. Kebenarannya yang brutal dalam kata-katanya membuatku tidak bisa membantah.
"Aku melakukan ini karena aku tidak bisa berada di dekatnya tanpa menyakitinya lebih jauh," aku mengaku, suaraku akhirnya pecah, menelanjangi semua rasa sakitku. "Kehadiranku adalah pengingat konstan dari semua yang telah terjadi. Dia tidak akan pernah bisa benar-benar sembuh jika aku masih ada di hidupnya. Dia pantas mendapatkan kesempatan untuk memulai lembaran baru, di tempat di mana tidak ada bayang-bayangku. Apakah kamu tidak melihat itu?"
Keheningan yang panjang menyusul di seberang telepon. Aku bisa mendengar isak tangisnya yang tertahan.
"Aku benci mengakuinya," bisiknya akhirnya. "Tapi kamu benar."
(Sudut Pandang: Difrina)
Aku terbangun oleh suara samar dari teras. Suara Rendra. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang ia katakan, tetapi nada suaranya yang datar dan terkendali membuat bulu kudukku berdiri. Ini bukan suara Rendra yang merawatku dengan lembut. Ini adalah suara Rendra sang arsitek, Rendra yang sedang menyelesaikan sebuah masalah.
Aku berbaring diam di atas dipan, tubuhku menegang. Aku mencoba menangkap potongan-potongan percakapannya yang terbawa angin masuk melalui jendela yang terbuka.
"...Bandung... pilihan terbaik..."
Bandung? Kenapa ia menyebut Bandung?
"...sudah kusiapkan... kamar kos yang aman..."
Kamar kos? Jantungku mulai berdebar lebih cepat. Firasat buruk yang dingin mulai merayap di perutku.
"...biaya sewa untuk enam bulan pertama..."
Enam bulan. Sebuah angka yang begitu spesifik, begitu final.
"...transfer sejumlah uang... untuk biaya hidup..."
Uang. Biaya hidup. Setiap kata adalah sebuah potongan puzzle yang mengerikan. Pikiranku yang cemas mulai menyusunnya menjadi sebuah gambaran yang membuatku mual.
Ia tidak hanya merawatku. Ia sedang merencanakan kepergianku.
Harapan bodoh yang mungkin masih tersisa di sudut hatiku yang paling naif—harapan bahwa kebaikannya adalah tanda dari cinta yang kembali, harapan bahwa kami mungkin bisa memulai kembali—hancur berkeping-keping. Aku merasa seperti sebuah paket yang sedang diatur pengirimannya. Sebuah masalah yang sedang diselesaikan dengan logistik yang rapi dan efisien. Ia merawatku hingga aku cukup kuat untuk berdiri, hanya untuk kemudian mendorongku pergi sejauh mungkin dari hidupnya.
Aku mendengar suaranya yang sedikit meninggi, dipenuhi emosi yang tertahan. "...dia tidak akan pernah bisa benar-benar sembuh jika aku masih ada di hidupnya..."
Jadi begitu. Ini adalah tindakan kebaikan. Sebuah pengorbanan. Ia menyingkirkanku demi kebaikanku sendiri. Penghinaan dalam "kebaikan"-nya itu terasa lebih menyakitkan daripada pengkhianatan mana pun. Ia telah memutuskan bahwa aku adalah sebuah proyek amal yang telah selesai. Ia telah merawatku, dan kini saatnya untuk membuangku.
Aku mendengar suara langkah kakinya mendekat. Aku buru-buru memejamkan mata, membalikkan tubuhku membelakanginya, berpura-pura masih tertidur. Aku tidak sanggup melihat wajahnya. Aku tidak sanggup melihat wajah pria yang baru saja mengatur pengasinganku dengan begitu sistematis.
Pintu bilik terbuka pelan. Aku bisa merasakan kehadirannya di ruangan itu. Aku bisa merasakan tatapannya di punggungku. Aku menahan napas, berdoa agar ia segera pergi.
Ia berdiri di sana selama beberapa saat, lalu aku mendengar suara langkah kakinya yang menjauh. Pintu ditutup kembali dengan pelan.
Aku sendirian lagi, dalam keheningan yang kini dipenuhi oleh pemahaman yang menghancurkan. Aku berbaring diam, tidak bergerak, membiarkan air mata mengalir tanpa suara dari sudut mataku, membasahi bantal yang berbau minyak kayu putih.
Tindakan "kebaikan" terakhir Rendra adalah memastikan bahwa aku pergi sejauh mungkin dari hidupnya. Dan di tengah rasa sakit dan penghinaan itu, aku tahu aku tidak punya pilihan lain selain menerima nasib yang telah ia rencanakan untukku.
Bab 57: Perjalanan Terakhir
(Sudut Pandang: Difrina)
Keheningan di dalam mobil Rendra memiliki bobotnya sendiri. Ia begitu tebal dan berat hingga terasa menekan dadaku, membuat setiap tarikan napas menjadi sebuah usaha. Ini bukan keheningan yang damai seperti yang pernah kami bagi dulu, saat kami bisa duduk berdampingan selama berjam-jam tanpa perlu berbicara, cukup dengan kehadiran satu sama lain. Ini adalah keheningan yang menghukum, sebuah ruang hampa yang dipenuhi oleh semua kata yang tidak akan pernah terucap, semua permintaan maaf yang terlambat, dan semua cinta yang telah berubah menjadi abu.
Aku duduk di kursi penumpang, tubuhku terasa kaku. Aku telah menerima nasibku, dan kini aku hanyalah seorang penumpang, baik secara harfiah maupun kiasan, dalam perjalanan menuju pengasinganku. Aku menatap ke luar jendela, membiarkan lanskap pedesaan yang perlahan berubah menjadi saksi bisu dari perjalanan terakhir kami. Hamparan sawah hijau yang membentang di bawah langit biru yang pucat, keluarga-keluarga yang berboncengan di atas sepeda motor, tawa mereka yang samar terbawa angin—semua pemandangan kehidupan normal itu terasa seperti diorama dari dunia lain, dunia yang tidak lagi bisa kumasuki.
Setiap pemandangan adalah sebuah pengingat yang menyakitkan. Aku teringat perjalanan kami ke danau setahun yang lalu. Mobil Rendra yang tua berderit, radionya menyiarkan lagu-lagu pop murahan, dan kami bernyanyi bersama dengan suara sumbang. Kami berhenti di pinggir jalan hanya untuk membeli jagung bakar, dan memakannya sambil menertawakan hal-hal sepele. Perjalanan itu sendiri adalah tujuannya. Kini, perjalanan ini adalah sebuah eksekusi.
Aku melirik ke arah Rendra. Ia duduk tegak di belakang kemudi, matanya terpaku lurus ke jalanan di depan. Tangannya mencengkeram setir dengan cengkeraman yang begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia adalah orang asing. Wajahnya yang tirus dan tatapannya yang dingin adalah milik pria yang tidak kukenal. Kehangatan yang dulu selalu memancar darinya telah lenyap, digantikan oleh efisiensi yang kaku.
Ia adalah seorang manajer proyek yang sedang menyelesaikan tugas terakhirnya. Tugas itu adalah aku.
Sesekali, ia akan melakukan gestur perawatan yang mekanis. Saat matahari mulai terasa panas menembus kaca depan, tangannya akan terulur untuk menyalakan pendingin udara, tanpa menoleh, tanpa bertanya. Hembusan udara dingin yang artifisial terasa seperti sebuah ironi. Beberapa saat kemudian, ia mengambil sebotol air mineral dari kompartemen pintu, membukanya, lalu menyodorkannya ke arahku, matanya tetap tidak beralih dari jalan.
"Minumlah," katanya, suaranya datar.
Aku mengambil botol itu, ujung jari kami nyaris tidak bersentuhan. "Terima kasih," bisikku.
Itu adalah satu-satunya percakapan kami dalam satu jam pertama.
Aku menatap tanganku sendiri yang terlipat di pangkuan. Aku ingin sekali mengatakan sesuatu. Apa pun. Aku ingin berteriak, memohon, menangis. Aku ingin bertanya, “Apakah tidak ada sedikit pun sisa cinta untukku? Apakah semua yang pernah kita miliki tidak berarti apa-apa?” Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku, tercekik oleh rasa malu yang melumpuhkan. Aku tidak punya hak untuk bertanya. Aku telah kehilangan hak itu saat aku berjalan keluar dari pintu rumah kami malam itu.
Jadi aku hanya diam, menelan semua kata-kata itu, membiarkannya menjadi racun yang perlahan menggerogoti sisa-sisa hatiku. Kepasrahan adalah satu-satunya martabat yang tersisa untukku. Aku akan menjalani proses ini dengan diam, seperti seorang terpidana yang berjalan menuju tiang gantungannya.
(Sudut Pandang: Rendra)
Menyetir adalah sebuah meditasi. Aku fokus pada setiap detail kecil: tekanan kakiku di pedal gas, gerakan tanganku di setir, jarak aman dengan mobil di depan. Aku mengubah jalanan ini menjadi sebuah proyek arsitektur yang rumit, setiap belokan adalah sebuah perhitungan, setiap kilometer adalah sebuah progres. Aku melakukan ini untuk menjaga pikiranku tetap lurus, untuk mencegahnya berbelok ke arah kursi penumpang di sampingku.
Di sana, duduk sesosok hantu yang bernapas.
Setiap tarikan napasnya yang pelan terdengar begitu keras di tengah keheningan mobil. Aku bisa merasakan kehadirannya, sebuah beban berat yang menekan udara di dalam ruang sempit ini. Aku tidak berani menoleh. Aku takut jika aku menatapnya, jika aku melihat kesedihan di matanya yang kini mungkin kusam, semua tekadku yang telah kubangun dengan susah payah akan runtuh.
Aku adalah seorang algojo. Tugas terakhirku adalah mengantar terpidana ini ke tempat pengasingannya. Sebuah tugas yang terasa begitu kejam, begitu bertentangan dengan setiap naluriku untuk melindungi. Aku terus-menerus mengulang mantra di kepalaku, mantra yang telah kudiskusikan dengan Maya, mantra yang kuciptakan untuk diriku sendiri: Ini demi kebaikannya. Ini demi kebaikannya.
Ia tidak akan pernah bisa sembuh jika aku masih ada. Kehadiranku adalah sebuah penyakit baginya, sebuah pengingat konstan akan kegagalan dan rasa sakit. Melepaskannya adalah satu-satunya obat yang bisa kuberikan. Dan tindakan melepaskan ini terasa seperti sedang mengamputasi bagian dari jiwaku sendiri.
Aku menyalakan pendingin udara. Aku bisa merasakan panas matahari mulai menyengat dari sisinya. Sebuah tindakan kecil, mekanis. Aku tidak melakukannya karena cinta. Aku melakukannya karena itu adalah bagian dari prosedur, bagian dari memastikan "paket" ini tiba di tujuan dalam kondisi baik. Aku membenci diriku sendiri saat pikiran itu melintas.
Aku menyodorkan sebotol air mineral padanya. Tanganku terasa kaku. Aku merasakan keengganannya saat ia mengambil botol itu. Kami seperti dua orang asing yang terpaksa berbagi ruang sempit dalam sebuah perjalanan yang tak diinginkan.
Aku teringat perjalanan-perjalanan kami yang dulu. Mobil ini, yang dulu dipenuhi oleh tawa Difrina, nyanyiannya yang sumbang, dan celotehannya yang tak ada habisnya, kini terasa seperti sebuah peti mati yang bergerak. Keheningan ini adalah kain kafan yang membungkus kenangan kami.
Lanskap di luar jendela perlahan berubah. Sawah-sawah hijau yang luas mulai diselingi oleh bangunan-bangunan pabrik. Jalanan menjadi lebih ramai, lebih bising. Kami mendekati peradaban. Kami mendekati akhir.
Aku meliriknya sekilas dari sudut mataku. Ia sedang menatap ke luar jendela, tetapi aku tahu ia tidak benar-benar melihat pemandangan. Tatapannya kosong, hilang dalam dunianya sendiri yang penuh penyesalan. Aku melihat pantulan wajahnya yang tirus di kaca jendela. Wanita yang pernah menjadi pusat alam semestaku, kini hanyalah seorang penumpang yang sunyi dalam perjalanan terakhir kami.
Rasa sakit yang luar biasa, tumpul dan berat, menekan dadaku. Aku mencengkeram setir lebih erat, buku-buku jariku memutih. Aku harus kuat. Aku harus menyelesaikan proyek ini. Ini adalah hal benar terakhir yang bisa kulakukan untuknya. Untuk kami.
Saat papan nama besar berwarna hijau bertuliskan "Selamat Datang di Kota Bandung" muncul di kejauhan, aku merasakan sebuah finalitas yang dingin. Ini dia. Akhir dari perjalanan. Akhir dari segalanya.
Aku tidak mengatakan apa-apa. Ia juga tidak. Kami hanya terus melaju, masuk ke dalam gerbang kota yang baru, menuju masa depan kami yang terpisah, dibungkus dalam keheningan yang memekakkan dari semua kata yang tidak akan pernah lagi terucap.
Bab 58: Pintu Terakhir
(Sudut Pandang: Rendra)
Pintu kamar kos itu terbuka, menampakkan sebuah ruangan yang bersih, fungsional, dan sepenuhnya tanpa jiwa. Dindingnya bercat putih polos, udaranya berbau cat baru dan sedikit kamper. Ada sebuah ranjang single dengan seprai baru yang masih terasa kaku, sebuah lemari kayu kecil yang kosong, dan sebuah meja belajar sederhana di dekat jendela. Jendela itu menghadap ke halaman belakang rumah induk yang biasa saja, dengan jemuran pakaian dan beberapa pot tanaman yang tak terawat. Ini adalah sebuah kanvas kosong. Sebuah titik nol. Tempat yang sempurna untuk memulai kembali. Dan tempat yang sempurna untuk sebuah perpisahan.
Aku melangkah masuk lebih dulu, meletakkan satu-satunya tas ransel milik Difrina di lantai. Tas itu terasa begitu ringan di tanganku, isinya mungkin hanya beberapa helai pakaian yang ia miliki. Aku berjalan ke meja, dan dengan gerakan yang kuusahakan setenang mungkin, aku meletakkan dua benda di atas permukaannya yang mengilap: sebuah kunci kamar dengan gantungan plastik bernomor 7, dan sebuah amplop cokelat tebal yang terasa berat di tanganku.
Misi ini hampir selesai. Proyek terakhirku. Kini yang tersisa hanyalah bagian yang paling sulit: berbalik dan berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang.
Difrina melangkah masuk, gerakannya lambat, ragu-ragu, seolah ia sedang memasuki sebuah dunia yang asing. Ia berdiri diam di tengah ruangan, tangannya mencengkeram ujung blusnya yang kebesaran. Ia terlihat begitu kecil, begitu tersesat di tengah ruangan yang kosong ini. Ia tidak melihat perabotan. Ia hanya menatapku. Matanya, yang kini lebih jernih tetapi dipenuhi oleh kesedihan yang tak terhingga, mengikutiku setiap gerak.
Aku tidak berani menatapnya terlalu lama. Aku takut jika aku menatap ke dalam mata itu, aku akan melihat sisa-sisa dari wanita yang pernah kucintai, dan semua pertahananku akan runtuh. Aku harus tetap menjadi arsitek, sang perencana. Bukan Rendra, pria yang hatinya sedang dicabik-cabik.
"Semuanya sudah lunas untuk enam bulan ke depan," kataku, suaraku terdengar datar dan formal, seperti sedang berbicara dengan klien. Aku menghindari kontak mata, fokusku pada saklar lampu di dinding. "Listrik dan air sudah termasuk. Ibu kos tinggal di rumah depan, namanya Bu Santi. Orangnya baik."
Aku bisa merasakan tatapannya, sebuah tatapan yang membakar. Ia tidak mengatakan apa-apa. Keheningannya adalah sebuah teriakan.
Aku harus kuat. Untuknya. Untuk kami berdua. Aku tidak boleh menunjukkan emosiku. Jika aku hancur, ia juga akan hancur. Aku harus menjadi orang yang tega, orang yang berjalan pergi, agar ia punya alasan untuk membenciku dan memulai hidupnya yang baru.
"Di dalam amplop itu," lanjutku, menunjuk ke arah meja, "ada cukup uang untukmu bertahan selama beberapa bulan. Gunakan untuk mencari pekerjaan, atau jika kamu mau, untuk kembali kuliah. Di baliknya ada beberapa nomor telepon—nomor Mbak Laras, nomor Maya... dan nomor studioku, untuk keadaan darurat."
Aku tahu menyebut nama Maya adalah sebuah kekejaman kecil, sebuah pengingat bahwa aku punya duniaku sendiri sekarang, dunia di mana ia tidak lagi menjadi bagiannya.
Aku harus pergi sekarang. Sebelum aku melakukan sesuatu yang bodoh. Sesuatu seperti berlutut dan memohonnya untuk tidak membiarkanku pergi.
Aku berbalik menghadapnya, memaksakan diriku untuk menatap wajahnya untuk terakhir kali. Ia masih berdiri di sana, membeku, air mata mengalir tanpa suara di pipinya yang tirus. Ia tidak terisak. Ia hanya menangis dalam keheningan yang menghancurkan.
"Jaga dirimu baik-baik, Difrina," kataku, suaraku serak, nyaris berbisik.
Aku berbalik dengan cepat, sebelum aku bisa melihat lebih banyak lagi. Aku berjalan menuju pintu. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Punggungku terasa seperti sedang ditusuk oleh tatapannya yang penuh luka. Jangan menoleh, Rendra. Jangan menoleh.
Tanganku meraih gagang pintu. Aku membukanya. Dan tanpa menoleh ke belakang, aku melangkah keluar, menutup pintu terakhir di antara kami. Suara klik pelan saat pintu itu terkunci adalah suara dari duniaku yang pecah untuk selamanya.
(Sudut Pandang: Difrina)
Aku berdiri seperti patung di tengah kamar kasku yang baru dan asing. Aku melihatnya bergerak, efisien dan tanpa emosi, seperti seorang petugas relokasi yang sedang menyelesaikan tugasnya. Ia meletakkan tasku. Ia meletakkan kunci. Ia meletakkan amplop. Setiap gerakannya adalah sebuah paku yang ditancapkan di peti mati harapanku.
Aku mengamatinya, mencoba mencari sisa-sisa Rendra yang kukenal di dalam diri pria asing yang lelah ini. Aku melihat kelelahan yang dalam di sudut matanya. Aku melihat kesedihan yang coba ia sembunyikan di balik rahangnya yang mengeras. Ia tidak dingin karena ia tidak peduli. Ia dingin karena ia sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.
Dan saat itulah aku mengerti.
Ini bukan pengusiran. Ini bukan hukuman. Ini adalah tindakan melepaskan yang paling menyakitkan, yang paling tanpa pamrih. Ia tidak sedang menyingkirkanku dari hidupnya. Ia sedang memberiku hidupku kembali. Ia memberiku sebuah kanvas kosong, sebuah titik nol, sebuah kesempatan kedua—sebuah kesempatan yang ia yakini tidak akan pernah bisa kudapatkan jika aku masih berada di sisinya.
Gelombang penyesalan yang begitu dahsyat menghantamku hingga aku nyaris tidak bisa berdiri. Semua kesombonganku, semua pembenaran diriku, luruh menjadi debu. Aku melihat kebodohanku dengan kejernihan yang brutal. Aku telah menukar pria ini, pria yang bahkan dalam kehancurannya masih memikirkan keselamatanku, dengan ilusi yang berkilauan.
Keinginan untuk berteriak, untuk berlari ke arahnya, untuk memeluk kakinya dan memohon pengampunan, begitu besar hingga membuat tubuhku gemetar. Jangan pergi, Rendra. Tolong jangan tinggalkan aku. Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokanku, tercekik oleh kesadaran bahwa aku tidak lagi pantas. Aku telah kehilangan hak untuk memintanya tinggal.
"Jaga dirimu baik-baik, Difrina," katanya.
Suaranya yang serak adalah hal terakhir yang kudengar sebelum ia berbalik. Aku melihat punggungnya yang tegap berjalan menjauh, setiap langkahnya terasa seperti sebuah sayatan di hatiku.
Pintu itu tertutup. Klik.
Dan ia pergi.
Aku sendirian. Sepenuhnya sendirian, di tengah keheningan kamarku yang baru. Aku tidak langsung bergerak. Aku hanya berdiri di sana, membiarkan realitas dari apa yang baru saja terjadi meresap ke dalam diriku. Ia telah pergi untuk selamanya. Dan kali ini, akulah yang telah mengusirnya.
Setelah waktu yang terasa begitu lama, kakiku yang gemetar membawaku ke arah meja. Aku menatap kunci itu. Kunci untuk masa depanku yang tidak kuinginkan. Lalu aku menatap amplop cokelat yang tebal itu.
Dengan jari-jari yang kaku, aku membukanya. Di dalamnya, ada tumpukan uang kertas yang rapi. Cukup untuk hidup nyaman selama berbulan-bulan. Dan di bawah tumpukan uang itu, ada selembar kertas kecil yang terlipat.
Aku mengambilnya. Aku membukanya.
Itu adalah tulisan tangan Rendra. Rapi, presisi, tulisan seorang arsitek. Hanya ada beberapa kalimat.
“Ini untuk memulai. Ada beberapa nomor telepon di baliknya jika butuh bantuan. Kamu kuat, Difrina. Kamu akan baik-baik saja.”
Tidak ada kata cinta. Tidak ada kata perpisahan yang berbunga-bunga. Hanya sebuah keyakinan yang sederhana dan tulus pada kekuatanku—kekuatan yang aku sendiri tidak yakin kumiliki.
Saat itulah pertahananku runtuh. Aku jatuh berlutut di lantai yang dingin, memeluk kertas kecil itu ke dadaku. Dan aku menangis. Bukan lagi tangis yang sunyi. Melainkan tangis yang pecah, yang lahir dari penyesalan yang tak terhingga, dari rasa terima kasih yang menyakitkan, dan dari kesadaran yang menghancurkan akan cinta sejati yang telah kusia-siakan.
Ia telah memberiku kebebasan. Dan rasanya, seperti sebuah hukuman seumur hidup.
TAMAT