Bab 1: Malam Tanpa Tidur
Tiga. Nol. Nol.
Angka-angka merah itu menusuk retina Rina, bersinar tajam di kegelapan kamar. Jantungnya berdebar kencang, seolah baru saja ditarik paksa dari mimpi buruk yang tak bisa ia ingat. Napasnya tersengal, memburu udara dingin dari pendingin ruangan yang terasa mencekik. Ini terjadi lagi. Selalu pada jam yang sama, seolah ada alarm tak kasat mata yang disetel di alam bawah sadarnya.
Di sampingnya, Budi bergerak pelan, punggungnya yang tegap berbalik memunggunginya. Ia tidak tidur pulas. Rina tahu itu. Irama napasnya sedikit terlalu diatur, terlalu tenang. Suara dengkur halusnya yang biasanya menenangkan, malam ini tidak terdengar. Budi sedang berpura-pura tidur. Ia memilih untuk melarikan diri ke dalam keheningan palsu daripada menghadapi apa pun yang sedang merayap di kegelapan kamar ini bersama Rina.
Bagaimana bisa ia begitu damai sementara dunia Rina terasa akan runtuh? Pertanyaan itu kini terasa lebih pahit. Ini bukan lagi tentang ketidakpedulian, melainkan sebuah pilihan sadar untuk menghindar. Perasaan terisolasi itu semakin pekat, seolah dinding kaca di antara mereka kini dilapisi baja. Ia sendirian dalam ketakutan ini, dan suaminya adalah salah satu penjaganya.
Perlahan, seolah ditarik oleh magnet, pandangannya beralih ke jendela. Tirai tipis itu tidak cukup untuk menghalangi pemandangan di seberang jalan. Di sana, rumah itu berdiri. Rumah milik Sari Kusuma.
Secara objektif, tidak ada yang salah dengan rumah itu. Warnanya krem lembut, dengan taman kecil yang selalu tampak rapi. Kini, dalam balutan kegelapan, rumah itu tampak sunyi dan mati. Jendela-jendelanya seperti kelopak mata yang tertutup rapat. Namun, di mata Rina, kesunyian itu bukanlah kekosongan. Itu adalah kesunyian yang menunggu, yang mengamati. Kegelapannya terasa hidup, bernapas dalam ritme yang sama dengan kecemasannya.
Hanya sebuah rumah, bisiknya dalam hati, mencoba menanamkan logika pada pikirannya yang kacau. Hanya tetangga baru yang ramah.
Tapi logika itu hancur berkeping-keping setiap kali ia teringat senyuman Sari tadi pagi. Senyuman yang begitu tulus hingga terasa palsu. Kalimatnya yang terdengar seperti perhatian, tetapi meninggalkan sisa racun di benak Rina. "Aku lihat kamu tidak segar, Rina. Apa kamu tidur nyenyak?"
Kata-kata itu kembali terngiang, dan Rina merasa terekspos, seolah Sari bisa melihat langsung ke dalam jiwanya yang rapuh.
Rina menarik selimut hingga ke dagu, tubuhnya gemetar meski udara tidak terasa dingin. Rumah di seberang itu terasa penuh ancaman, sebuah pusat gravitasi yang menarik semua ketenangan dari hidupnya, perlahan-lahan, malam demi malam. Dia memejamkan mata rapat-rapat, berharap bisa mengusir bayangan rumah itu dari benaknya.
Namun, ia tahu itu sia-sia. Kegelapan di balik kelopak matanya kini telah diisi oleh kegelapan dari seberang jalan. Rina tidak tahu mana yang lebih menakutkan: ancaman yang mungkin nyata di luar sana, atau keretakan yang sudah pasti merayap di dalam rumahnya sendiri.
Bab 2: Topeng di Meja Makan (Flashback - Sepuluh Tahun Lalu)
Gadis kecil itu duduk diam di meja makan yang berkilauan. Namanya Anindita, usianya dua belas tahun. Ia menatap pantulan sendok peraknya, melihat wajahnya sendiri yang terdistorsi dan lonjong. Di sekelilingnya, kebahagiaan dipentaskan dengan presisi sempurna.
Ayahnya baru saja pulang, membawa kabar gembira tentang proyek besar yang berhasil ia menangkan. Wajahnya berseri-seri saat menceritakannya, tetapi matanya tidak. Mata Ayah selalu terlihat lelah, bahkan saat ia tersenyum. Anindita bisa melihatnya. Garis-garis halus di sudut mata yang tidak pernah hilang, ketegangan di rahangnya yang tidak pernah mengendur.
Ibunya meletakkan sepiring bistik di hadapan Ayah, menepuk bahunya dengan penuh kasih sayang. "Aku bangga sekali padamu, Mas," katanya, suaranya terdengar merdu. Tapi saat berbalik ke dapur, senyum itu lenyap dari wajahnya secepat kilat, digantikan oleh helaan napas yang nyaris tak terdengar. Anindita mendengarnya. Ia selalu mendengar.
"Keluarga kita adalah panutan, Nindi," kata Ayah malam itu, mengacak-acak rambutnya. "Lihatlah tetangga kita. Lihat teman-teman Ayah. Mereka semua punya masalah. Tapi kita? Kita bahagia. Ingat itu."
Anindita mengangguk, tetapi kata "bahagia" itu terasa seperti duri di lidahnya.
Malam harinya, ia terbangun karena suara-suara dari ruang kerja Ayah. Bukan suara teriakan. Jauh lebih buruk dari itu. Itu adalah suara isak tangis yang tertahan, suara seorang pria dewasa yang hancur. Anindita mengintip dari celah pintu. Ia melihat Ayahnya duduk sendirian di kegelapan, memegangi kepalanya, bahunya bergetar hebat. Piala "Manajer Terbaik" yang berkilauan di atas mejanya seolah mengejeknya dalam diam.
Di kamarnya, Ibu tidak tidur. Ia sedang menatap kosong ke luar jendela, ke arah jalanan yang sepi. Wajahnya yang cantik tampak seperti topeng porselen yang retak di bawah cahaya bulan.
Anindita kembali ke tempat tidurnya, menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Ia tidak menangis. Ia hanya merasakan sebuah pemahaman yang dingin dan jernih merayap ke dalam hatinya.
Kebahagiaan yang mereka pamerkan di meja makan tadi adalah sebuah kebohongan. Sebuah topeng yang indah, tetapi sangat berat. Topeng itulah yang membuat bahu Ayahnya bergetar. Topeng itulah yang membuat mata Ibunya kosong.
Di dalam kegelapan yang hangat di bawah selimutnya, Anindita membuat sebuah sumpah dalam hati. Ia tidak akan pernah memakai topeng itu. Dan jika ia melihat orang lain memakainya, ia akan membantu mereka melepaskannya. Dengan cara apa pun. Karena ia tahu, di balik topeng kebahagiaan yang paling indah sekalipun, selalu ada tangisan yang menunggu untuk pecah.
Bab 3: Senyuman yang Membunuh
Pagi datang tanpa permisi. Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah tirai, melukis garis-garis tajam di lantai kamar. Bagi Rina, cahaya itu terasa terlalu menusuk, terlalu ceria. Setiap suara di rumah terdengar sepuluh kali lebih keras: denting sendok Budi yang sedang sarapan, gemericik air dari kamar mandi, bahkan deru motor yang lewat di jalanan kompleks. Kepalanya berdenyut pelan, sisa-sisa malam tanpa tidur yang mengendap seperti racun di dalam darahnya.
Ia berhasil melewati sarapan dengan Budi, menjawab pertanyaan suaminya dengan gumaman sekenanya. Kantung matanya yang gelap sudah tidak bisa disembunyikan oleh riasan tipis. Pikirannya terus berputar, waspada, seolah sedang menunggu sesuatu yang tidak ia ketahui.
Bel pintu berbunyi tepat saat ia sedang mencuci piring. Suaranya yang nyaring membuat bahu Rina terlonjak kaget. Jantungnya langsung berdebar. Ia mengeringkan tangan pada celemek, berjalan ragu ke arah pintu depan. Melalui lubang intip, ia melihatnya. Sari Kusuma. Berdiri di teras rumahnya dengan senyum secerah matahari pagi.
Rina menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. "Sari, pagi," sapanya, berusaha agar suaranya terdengar normal.
"Pagi, Rina! Maaf mengganggu, ya," kata Sari. Tangannya menenteng sebuah wadah kue yang masih hangat. Aroma manis kayu manis dan apel langsung menguar, memenuhi udara. "Aku semalam membuat kue pai apel, kebetulan buatnya kebanyakan. Aku pikir, siapa tahu kamu dan Mas Budi suka."
Senyumnya begitu tulus, matanya berbinar ramah. Pakaiannya rapi, rambutnya tertata sempurna. Dia adalah gambaran tetangga idaman. Namun, bagi Rina, kesempurnaan itu terasa salah. Senyuman itu seperti topeng yang dipoles dengan sangat baik, dan kebaikannya terasa seperti sebuah strategi yang sudah diperhitungkan.
"Wah, terima kasih banyak, Sar. Repot-repot sekali," balas Rina, menerima wadah itu dengan tangan yang sedikit gemetar.
Sari mencondongkan tubuhnya sedikit, tatapannya berubah menjadi penuh perhatian. "Sama-sama. Tapi..." Matanya menyapu wajah Rina dengan cepat. "Aku lihat kamu tidak segar, Rina. Apa kamu tidur nyenyak?"
Dunia Rina seolah berhenti berputar. Udara di paru-parunya terasa membeku. Kalimat itu, yang diucapkan dengan nada penuh simpati, menghantamnya seperti sebuah tuduhan.
Sari melanjutkan, senyumnya sedikit meredup menjadi ekspresi prihatin. "Aku juga dulu begitu, sulit tidur kalau hati tidak tenang."
Tepat sasaran. Sebuah tusukan yang tak terlihat, namun terasa begitu dalam. Rina merasa telanjang, seolah wanita di hadapannya ini baru saja membuka paksa buku hariannya dan membacakan rahisia tergelapnya di depan umum. Napasnya tercekat di tenggorokan, dan otot-otot di lehernya menegang. Ia berjuang keras untuk menjaga ekspresi wajahnya tetap netral, memaksakan seulas senyum tipis.
"Hanya sedikit kurang enak badan saja," jawabnya, suaranya nyaris bergetar. "Terima kasih banyak ya kuenya."
"Oh, tentu. Cepat sembuh ya, Rina. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan panggil aku," kata Sari, keramahannya tidak goyah sedikit pun. Ia melambaikan tangan sebelum berbalik dan berjalan santai kembali ke rumahnya.
Rina menutup pintu dengan pelan, punggungnya langsung bersandar di daun pintu yang dingin. Wadah kue di tangannya terasa berat. Aroma pai apel yang tadi terasa manis, kini terasa memuakkan. Racunnya bukan pada kue itu. Racunnya ada pada kata-kata Sari, yang kini sudah mengendap di dalam pikirannya, menyebar lebih cepat dan lebih berbahaya daripada kegelisahan yang ia rasakan di tengah kegelapan malam.
Bab 4: Jeda Pikiranku yang Kacau
Rina mencoba fokus pada gemericik air yang keluar dari selang, membasahi kelopak-kelopak mawar di taman kecilnya. Ia butuh sesuatu yang normal, sesuatu yang bisa ia kendalikan. Menyiram tanaman di sore hari seharusnya menjadi ritual yang menenangkan. Namun, pikirannya menolak untuk diam. Setiap tetes air yang jatuh seolah berbisik, menggemakan kembali suara Sari.
Pikirannya melompat mundur ke tiga minggu yang lalu, hari pertama Sari dan suaminya pindah ke rumah di seberang. Rina datang membawakan makan siang, sebagai gestur selamat datang yang ramah.
"Terima kasih banyak, Rina. Kamu baik sekali," kata Sari saat itu, senyumnya merekah. Mereka duduk di teras depan rumah Sari yang masih berantakan dengan kardus-kardus. "Aku senang sekali akhirnya punya tetangga. Mas Budi kelihatannya sibuk sekali, ya? Aku lihat mobilnya baru pulang larut malam. Kamu sering sendirian di rumah dong?"
Saat itu, pertanyaan itu terdengar wajar. Hanya basa-basi seorang kenalan baru. Rina hanya tertawa kecil. "Biasa, Sar. Namanya juga kerja."
Seminggu kemudian, mereka bertemu lagi di tukang sayur. Rina sedang mengeluh ringan tentang Budi yang lupa membuang sampah.
Sari menepuk pundaknya dengan lembut, tatapannya penuh pengertian. "Sabar saja, Rin. Laki-laki itu kalau pikirannya sudah penat di kantor, kadang suka cari pelarian kecil. Lupa hal-hal sepele di rumah itu wajar, kok. Yang penting hatinya tetap di rumah."
"Pelarian kecil." Dua kata itu terasa janggal, tetapi Rina mengabaikannya. Rina pikir, tentu Sari tidak bermaksud apa-apa. Ia hanya mencoba menghibur.
Namun celakanya, kata-kata itu menancap kuat. Malamnya, saat Budi pulang dengan wajah lelah dan langsung tertidur setelah mandi, Rina mendapati dirinya terjaga, memikirkan apa arti "pelarian kecil" itu. Apakah Budi juga punya pelarian kecilnya sendiri? Kopi bersama teman kantor? Merokok diam-diam? Atau... sesuatu yang lain? Ia menepis pikiran itu, merasa konyol karena terpengaruh ucapan orang asing.
Puncaknya adalah saat acara arisan pertama yang dihadiri Sari. Wanita itu bercerita dengan antusias tentang bagaimana suaminya selalu menyempatkan diri untuk makan malam bersama, tidak peduli sesibuk apa pun.
"Aku selalu bilang sama suamiku, pekerjaan itu penting, tapi keluarga nomor satu. Untungnya dia setuju. Dia tidak akan tega membiarkanku makan malam sendirian," ucap Sari, diakhiri dengan tawa renyah yang disambut kekaguman ibu-ibu lain.
Tidak ada nada menyindir dalam suaranya. Tidak ada tatapan yang menuduh ke arah Rina. Tapi Rina merasakannya. Sebuah perbandingan tak langsung yang membuatnya merasa kecil. Malam itu, ia menunggu Budi pulang sambil memanaskan makan malam untuk ketiga kalinya, hatinya terasa kosong.
Kini, berdiri di tamannya sendiri, selang di tangannya terasa lemas. Rina akhirnya sadar. Ini semua bukanlah paranoia yang muncul tiba-tiba. Ini bukan kegilaan satu malam. Ini adalah bangunan yang didirikan perlahan-lahan, bata demi bata, oleh tangan yang terampil. Setiap pertanyaan yang terdengar peduli, setiap komentar yang seolah menghibur, setiap cerita yang tampak biasa saja—semuanya adalah tetesan racun yang disuntikkan ke dalam aliran darahnya.
Sari tidak menyerangnya dengan pisau. Dia meracuninya dengan kata-kata. Dan Rina, dengan bodohnya, telah meminum setiap tetesnya hingga ia overdosis. Kesadaran itu tidak membebaskannya. Justru, itu membuatnya merasa semakin terperangkap dalam jaring yang tidak pernah ia sadari keberadaannya.
Bab 5: Dinding yang Semakin Rapat
Budi memutar kunci kontak dan menyandarkan kepalanya sejenak di sandaran jok mobil. Pukul delapan malam. Lelah dari rentetan rapat yang tak ada habisnya terasa menjalar hingga ke tulang. Dulu, perjalanan pulang adalah momen yang ia nantikan. Membayangkan senyum Rina, secangkir teh hangat, dan cerita-cerita ringan tentang hari mereka. Kini, perjalanan pulang terasa seperti sebuah tugas berat. Ia tidak tahu Rina yang mana yang akan menyambutnya di rumah.
Rumah mereka tidak lagi terasa seperti surga kecilnya. Beberapa minggu terakhir, tempat itu telah berubah menjadi ladang ranjau emosional. Rina-nya, wanita ceria yang dulu bisa menertawakan hal-hal konyol, telah hilang. Gantinya adalah sosok asing yang mudah tersinggung, penuh curiga, dan sering kali menangis tanpa sebab yang jelas.
Dua hari yang lalu, ia hanya lupa menaruh handuk basah di tempatnya. Rina meledak. Bukan sekadar marah, tapi sebuah ledakan amarah yang diiringi isak tangis, menuduhnya tidak pernah peduli dan tidak menghargai usaha Rina menjaga rumah. Budi hanya bisa berdiri mematung, bingung harus merespons bagaimana.
Lalu semalam, ia menemukan Rina menangis diam-diam di balkon. Ketika ia memeluknya dan bertanya apa yang salah, Rina hanya menggeleng. "Nggak apa-apa," bisiknya, tapi air matanya terus mengalir, menciptakan jurang di antara mereka yang tidak bisa Budi seberangi.
Apa salahnya? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Apakah tekanan pekerjaan membuatnya kurang perhatian? Apakah ia pernah mengucapkan sesuatu yang salah? Ia sudah mencoba segalanya: mengajaknya makan malam di luar, membelikan bunga kesukaannya, menawarkan diri untuk bicara. Tapi semua usahanya seolah menabrak dinding tak terlihat. Rina akan tersenyum tipis, mengucapkan terima kasih, tapi sorot matanya tetap jauh, seolah ada badai di dalam sana yang tak bisa Budi tembus.
Perasaan gagal mulai menggerogotinya. Ia merasa seperti suami terburuk di dunia. Ia bekerja keras untuk keluarga mereka, untuk masa depan mereka, tapi rasanya ia malah kehilangan satu-satunya hal yang paling berarti: kebahagiaan istrinya.
Saat mobilnya memasuki gerbang kompleks, ia melihat Sari sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya. Wanita itu tersenyum dan melambaikan tangan padanya, sebuah gestur ramah yang tulus. Budi membalas lambaian itu dengan senyum kecil. Setidaknya Rina punya teman baru, pikirnya. Sari kelihatannya wanita yang baik dan normal. Mungkin Rina hanya terlalu lelah dan butuh teman mengobrol sesama perempuan. Harapan kecil itu sedikit menghiburnya, sekaligus memperkuat keyakinannya bahwa masalah ini mungkin memang ada di dalam pikiran Rina, bukan dari luar.
Budi memarkir mobilnya dan menarik napas panjang sebelum turun. Ia membuka pintu rumah dengan pelan, mempersiapkan diri untuk apa pun yang menantinya di dalam. Keheningan yang menyambutnya terasa lebih berat dari kebisingan mana pun. Ia melangkah masuk, merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
Bab 6: Bintang Kompleks yang Tumbuh
Dalam waktu kurang dari sebulan, Sari Kusuma telah berubah dari sekadar tetangga baru menjadi pusat tata surya di Kompleks Asri Kirana. Dan Rina, dari orbitnya yang semakin menjauh, hanya bisa menyaksikan bagaimana semua planet lain mulai berputar mengelilingi matahari yang baru itu.
Semuanya dimulai di acara arisan bulanan. Koordinator yang lama, Bu RT yang sudah sepuh, tampak kewalahan mengurus catatan dan iuran. Di tengah kebingungan itu, Sari angkat bicara dengan suara lembut namun penuh percaya diri.
"Ibu RT, kalau diizinkan, saya bisa bantu-bantu koordinasi. Kebetulan saya ada waktu luang dan cukup terbiasa mengurus acara seperti ini," tawarnya. Tidak ada kesan merebut kuasa, hanya niat tulus untuk membantu.
Tawaran itu disambut dengan sorak sorai lega. Dalam sekejap, buku catatan sudah berpindah tangan. Rina yang duduk di sudut ruangan hanya bisa menelan ludah. Ia melihatnya bukan sebagai bantuan, melainkan sebuah aneksasi yang mulus. Wilayah pertama telah ditaklukkan.
Setelah itu, pengaruh Sari menyebar seperti api di musim kemarau. Ia mengusulkan penggalangan dana untuk perayaan 17 Agustus, lengkap dengan proposal kegiatan dan target sumbangan. Dalam tiga hari, dana yang terkumpul sudah melebihi target. Ia menjadi orang pertama yang datang menjenguk saat anak Pak Sastro demam berdarah, membawakan buah tangan dan menawarkan diri untuk mengantar ke rumah sakit. Ketika motor Bu Siska mogok di depan gerbang kompleks, Sari-lah yang dengan sigap memanggil montir langganannya.
Ia adalah cahaya. Solusi bagi setiap masalah. Bintang kompleks yang sedang bersinar terang.
Sore itu, dari balik jendelanya yang tertutup rapat, Rina melihat Sari sedang berbicara dengan Bu Siska di depan pagar. Bu Siska tampak gelisah, menceritakan sesuatu dengan raut wajah cemas. Sari mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk dan menepuk lengan Bu Siska dengan menenangkan.
Rina tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi ia bisa menebaknya. Bu Siska pasti sedang mengeluhkan suaminya yang mulai sering pulang malam. Beberapa menit kemudian, Bu Siska tampak lebih tenang. Ia memeluk Sari sekilas sebelum pamit. Sari tetap berdiri di sana, menatap kepergian Bu Siska dengan senyum tipis di wajahnya. Bukan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan pada semua orang, tapi sebuah senyum puas yang penuh arti. Senyum seorang seniman yang baru saja menyelesaikan lukisannya.
Malam harinya, Rina sengaja menelepon Bu Siska dengan alasan menanyakan resep. Di tengah obrolan, Bu Siska berkata, "Sari itu memang baik sekali, ya, Rin. Tadi aku cerita soal Mas Toni, dia langsung menenangkan. Katanya, aku tidak boleh langsung curiga. Bisa jadi Mas Toni sedang menyiapkan kejutan untukku, makanya sering pulang telat. Aku jadi merasa bodoh sudah berpikiran negatif."
Darah Rina terasa dingin. Sari tidak menanamkan kecurigaan. Ia melakukan hal yang lebih cerdik: ia menanamkan harapan palsu. Harapan yang akan membuat kekecewaan Bu Siska nantinya terasa seratus kali lebih menyakitkan.
Rina menutup telepon, tangannya gemetar. Ia bukan hanya dianggap aneh, tapi ia kini menjadi satu-satunya orang yang bisa melihat jaring laba-laba yang sedang ditenun Sari di seluruh kompleks, sementara yang lain dengan senang hati berjalan masuk ke dalamnya.
Bab 7: Tubuh yang Memberontak
Tubuh Rina mulai berkhianat.
Dimulai dengan sakit kepala yang datang tiba-tiba, seperti paku panas yang ditancapkan di pelipisnya. Awalnya hanya sesekali, kini hampir setiap hari. Lalu, perutnya mulai ikut bergejolak. Asam lambungnya naik, menciptakan sensasi terbakar di dada yang membuatnya terjaga di malam hari, bahkan di saat ia berhasil mencuri beberapa jam tidur.
Dokter bilang ini hanya stres. "Tidak ada yang salah secara fisik, Bu Rina. Coba lebih rileks, kurangi pikiran," begitu nasihatnya, sambil menuliskan resep obat maag dan pereda nyeri. Budi pun menggemakan hal yang sama. "Kamu terlalu banyak berpikir, Sayang. Coba dibawa santai."
Tapi Rina tahu ini bukan sekadar "banyak berpikir". Sakitnya terasa begitu nyata, begitu spesifik. Perutnya akan melilit kencang setiap kali ia melihat Sari menyiram tanaman di seberang jalan. Kepalanya akan mulai berdenyut sakit setiap kali ia mendengar tawa renyah Sari dari taman bermain. Tubuhnya bereaksi terhadap Sari seolah wanita itu adalah alergen, racun yang memicu respons perlawanan dari dalam.
Suatu sore, Sari datang berkunjung saat kepala Rina sedang berdenyut hebat.
"Ya ampun, Rina, kamu pucat sekali!" seru Sari dengan nada khawatir yang terdengar begitu tulus. Ia meletakkan punggung tangannya di dahi Rina. "Badanmu tidak panas, tapi wajahmu kelihatan capek sekali."
Rina hanya bisa tersenyum tipis. Sentuhan Sari di kulitnya terasa dingin, membuat bulu kuduknya meremang.
"Cuma sakit kepala biasa," jawab Rina pelan.
Sari duduk di sampingnya, tatapannya penuh simpati. "Jangan dianggap sepele, lho, Rin. Stres itu bahaya. Awalnya cuma sakit kepala, tapi kalau dipendam terus bisa jadi penyakit serius. Teman saya ada yang begitu, awalnya maag biasa, lama-lama jadi kanker."
Setiap kata dari mulut Sari adalah paku baru yang ditancapkan ke kepalanya. Niatnya seolah baik, menasihati. Tapi yang Rina dengar adalah sebuah vonis. Ia tidak hanya sedang stres, ia sedang berjalan menuju penyakit serius. Ia sedang sekarat perlahan-lahan.
Setelah Sari pulang, meninggalkan aroma parfum melati yang menyesakkan di ruang tamu, Rina berlari ke kamar mandi. Ia memuntahkan semua isi perutnya. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Sambil bersandar di dinding kamar mandi yang dingin, Rina menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat, matanya cekung, sorotnya kosong. Ia tidak lagi mengenali wanita di cermin itu. Ini bukan lagi perang di dalam pikiran. Racun Sari telah meresap begitu dalam hingga kini mengalir di pembuluh darahnya, menyerang organ-organnya satu per satu. Tubuhnya telah menjadi medan pertempuran, dan ia merasa kalah telak.
Bab 8: Sang Seniman (Sudut Pandang Anindita)
Anindita menatap taman mawarnya yang mekar sempurna. Setiap kelopak, setiap duri, berada di tempat yang seharusnya. Ia menyukai keteraturan. Ia menyukai proses merawat sesuatu, memangkas daun-daun yang layu, dan memastikan bunganya tumbuh sehat dan indah.
Seperti yang sedang ia lakukan pada Kompleks Asri Kirana.
Ia memikirkan Rina. Subjeknya yang paling menarik. Wanita itu seperti mawar liar yang terlalu banyak disiram. Dari luar tampak subur, tetapi akarnya mulai membusuk dari dalam. Tadi sore, ia melihat kepanikan di mata Rina saat ia menyinggung soal penyakit serius. Anindita hampir tersenyum. Benih itu telah ditanam. Sebentar lagi, Rina akan mulai meragukan tubuhnya sendiri, sama seperti ia mulai meragukan kewarasannya.
Ini adalah sebuah seni. Bukan penghancuran, melainkan pembebasan. Orang-orang seperti Rina dan Budi, mereka terperangkap dalam sangkar emas yang mereka sebut "kebahagiaan". Mereka tersenyum di depan umum, memamerkan keharmonisan mereka, sama seperti Ayah dan Ibunya dulu. Mereka tidak sadar, sangkar itu perlahan-lahan mencekik mereka.
Misinya adalah menunjukkan pada mereka di mana letak jeruji sangkar itu. Ia tidak perlu menghancurkan sangkarnya. Ia hanya perlu membuat penghuninya sadar bahwa mereka terpenjara. Ia hanya perlu memberikan sedikit dorongan, sedikit bisikan, dan mereka akan menghancurkan sangkar itu dengan tangan mereka sendiri.
Ia memikirkan Bu Siska, yang kini setiap malam menunggu suaminya pulang dengan harapan palsu akan sebuah kejutan. Harapan itu akan segera berubah menjadi kekecewaan yang pahit, lalu menjadi kecurigaan. Ia memikirkan Budi, yang mulai melihat istrinya sebagai beban, seorang wanita rapuh yang menghalangi citra kesuksesannya.
Semuanya berjalan sesuai rencana. Ia adalah seorang seniman, dan para tetangganya adalah kanvasnya. Dengan sapuan kuas berupa kata-kata yang tepat, ia melukis keretakan-keretakan kecil di atas potret keluarga bahagia mereka. Dan segera, lukisan itu akan hancur berkeping-keping, menampakkan kebenaran yang kosong di baliknya.
Anindita tersenyum, kali ini senyum yang tulus. Ia sedang melakukan pekerjaan yang baik. Ia sedang membebaskan mereka.
Bab 9: Peringatan Diam-diam dari Lia
Di tengah kekacauan batinnya, satu-satunya sumber ketenangan Rina adalah Lia, putrinya yang berusia tujuh tahun. Sore itu, Rina duduk di karpet ruang tengah, mencoba fokus menemani Lia menggambar, berharap kepolosan anaknya bisa menular padanya. Lia tampak asyik dengan krayonnya, lidahnya terjulur sedikit saat mewarnai dengan serius.
"Sudah selesai!" seru Lia beberapa saat kemudian, mengangkat kertas gambarnya tinggi-tinggi dengan bangga.
Rina tersenyum. "Coba Mama lihat."
Itu adalah gambar rumah mereka. Ada figur Ayah, Mama, dan Lia sendiri di halamannya, digambar dengan gaya khas anak-anak. Matahari bersinar cerah di sudut kertas. Namun, ada sesuatu yang janggal. Di seberang jalan, di tempat rumah Sari seharusnya berada, Lia menggambar sebuah rumah lain yang diselimuti awan hitam pekat, meski matahari di sisi lain kertas bersinar terang. Di depan rumah gelap itu, berdiri sesosok wanita dengan senyum yang digambar begitu lebar hingga nyaris menyentuh kedua telinganya. Senyum itu tidak memiliki kehangatan; hanya sebuah lengkungan merah yang kaku.
"Ini siapa, Sayang?" tanya Rina pelan, menunjuk figur wanita itu.
"Itu Tante Sari," jawab Lia polos. "Lia nggak suka senyumnya."
Jantung Rina seolah berhenti berdetak. "Kenapa nggak suka?"
Lia mengangkat bahu, kembali fokus pada krayonnya seolah pertanyaan itu tidak penting. "Nggak tahu. Senyumnya capek."
"Capek?" Rina mengernyit, tidak mengerti.
"Iya. Kayak topeng badut di mal. Senyum terus, tapi matanya nggak ikut senyum," jelas Lia. Ia lalu mengambil krayon hitam dan mulai mencoret-coret figur Sari di gambarnya hingga sosok itu tertutup warna hitam legam.
Rina terdiam, menatap kertas di tangannya. Senyumnya capek. Matanya nggak ikut senyum. Sebuah deskripsi yang begitu sederhana, namun begitu tepat hingga menusuk langsung ke jantung ketakutannya. Selama ini ia berjuang mencari kata-kata untuk menjelaskan apa yang salah dengan Sari, dan anaknya yang berusia tujuh tahun berhasil merangkumnya dalam dua kalimat.
Ia teringat momen lain beberapa hari lalu. Lia tiba-tiba memeluk kakinya saat Sari sedang menyapanya dari seberang jalan. "Ma, jangan dekat-dekat," bisik Lia saat itu. Rina mengira anaknya hanya sedang manja. Kini ia sadar, itu adalah sebuah peringatan.
Anak-anak memiliki intuisi yang belum tercemar oleh logika orang dewasa. Mereka tidak menganalisis, mereka hanya merasakan. Dan Lia merasakan apa yang dirasakan Rina: ada bahaya di balik senyuman itu.
Peringatan diam-diam dari Lia ini terasa lebih nyata daripada semua analisis Rina selama ini. Ini bukan lagi sekadar perasaannya, bukan lagi paranoia. Ini adalah sebuah kebenaran yang dilihat melalui mata yang paling jujur di dunia.
Rina menarik Lia ke dalam pelukannya, memeluknya erat-erat. Ia mencium puncak kepala anaknya, menghirup aroma sampo stroberi yang manis. Di dalam pelukannya, ia tidak hanya melindungi Lia. Ia juga sedang menarik kekuatan dari kejujuran anaknya. Peringatan sunyi itu telah menyalakan kembali api perlawanan di dalam dirinya yang nyaris padam.
Bab 10: Keputusan yang Nekat
Malam itu, Rina tidak lagi mencoba untuk tidur. Ia hanya duduk di sofa ruang tengah yang gelap, memeluk lututnya, dan menatap ke luar jendela. Rumah Sari tampak seperti lubang hitam yang menelan semua cahaya dan kebahagiaan di sekitarnya. Di dalam rumahnya sendiri, keheningan terasa lebih memekakkan daripada teriakan mana pun. Budi tidur di kamar tamu malam ini, setelah pertengkaran hebat tentang "kecurigaan Rina yang tidak masuk akal". Lia pun sempat terbangun karena suara mereka yang meninggi.
Keluarganya hancur. Bukan retak lagi, tapi hancur berkeping-keping. Dan Rina melihat dengan jelas tangan yang memegang palu godam itu: tangan Sari Kusuma, yang selalu terulur seolah untuk menolong.
Ia melihat pantulan dirinya di kaca jendela yang gelap. Wanita itu tampak asing—kurus, dengan mata yang cekung dan sorot yang dipenuhi ketakutan. Ia telah membiarkan racun itu menyebar, membiarkan wanita itu merenggut kewarasannya, suaminya, dan kedamaian putrinya. Ia telah menjadi korban yang pasrah.
Rasa putus asa yang selama ini membelenggunya perlahan berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang panas dan tajam. Amarah. Amarah yang dingin dan membara. Amarah pada Sari yang telah menghancurkan hidupnya. Amarah pada Budi yang tidak mau memercayainya. Dan yang paling besar, amarah pada dirinya sendiri karena telah membiarkan semua ini terjadi.
Ia tidak akan kalah. Ia tidak akan membiarkan Sari menang.
Rina berdiri. Kakinya terasa goyah, tetapi ada kekuatan baru yang mengalir di nadinya. Kekuatan yang lahir dari peringatan polos Lia dan dari dasar jurang keputusasaannya sendiri. Jika tidak ada yang memercayainya, maka ia akan berjalan sendirian. Jika logika tidak bisa melawannya, maka ia akan menggunakan cara Sari: bermain di dalam bayang-bayang.
Ia tidak akan lagi mengeluh. Ia tidak akan lagi menangis di depan Budi. Ia akan memasang topengnya sendiri. Topeng istri yang penurut, topeng tetangga yang ramah. Tapi di balik topeng itu, ia akan menjadi seorang pemburu. Ia akan mencari tahu siapa Sari Kusuma sebenarnya. Ia akan mengorek masa lalunya, mencari setiap retakan di fasadnya yang sempurna, dan menemukan kebenaran di balik senyuman mematikan itu.
Ini bukan lagi tentang bertahan hidup. Ini adalah tentang merebut kembali hidupnya.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Rina tidak lagi merasa takut pada kegelapan. Karena ia telah memutuskan untuk menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri. Investigasi sunyinya telah dimulai.
Bab 11: Jejak Pertama di Tumpukan Kertas
Pagi itu, Rina mengenakan blus terbaiknya dan sedikit perona pipi. Ia tersenyum pada Budi saat sarapan, senyum yang sudah ia latih di depan cermin.
"Aku mau ke perpustakaan kota hari ini," katanya dengan nada ringan. "Sudah lama tidak baca buku. Mau cari novel baru, biar pikiran lebih segar."
Budi menatapnya, ada sorot lega di matanya. "Ide bagus, Sayang. Kamu memang butuh waktu untuk diri sendiri."
Topeng itu bekerja. Budi melihat istri yang sedang berusaha pulih, bukan seorang wanita yang sedang merencanakan perang. Kepercayaannya yang buta menjadi perisai bagi Rina.
Perpustakaan kota terletak di bangunan tua peninggalan Belanda. Udaranya pengap, beraroma kertas lapuk dan debu. Keheningannya begitu total, hanya dipecah oleh suara halaman dibalik atau batuk yang ditahan. Di sinilah, di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi, Rina memulai perburuannya.
Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ia bukan detektif. Tangannya sedikit gemetar saat meminta izin akses ke ruang arsip koran lama kepada petugas perpustakaan yang tampak bosan.
"Mau cari berita apa, Bu?" tanya petugas itu.
"Oh... hanya riset kecil tentang sejarah kompleks perumahan saya, Asri Kirana," jawab Rina, lagi-lagi dengan kebohongan yang sudah ia siapkan.
Berjam-jam ia habiskan di depan layar monitor pembaca mikrofilm. Gambar-gambar hitam putih dari koran puluhan tahun lalu berkelebat di matanya. Iklan-iklan usang, berita politik yang sudah basi, kolom gosip yang terlupakan. Ia merasa seperti mencari sebutir pasir di padang gurun. Kepalanya mulai pusing.
Saat hampir menyerah, matanya menangkap sebuah nama jalan: Jalan Akasia. Jalan di mana rumahnya dan rumah Sari berada. Itu adalah edisi koran lokal dari sekitar lima tahun yang lalu. Sebuah artikel kecil di halaman kriminal, nyaris terkubur di antara berita perampokan toko emas.
Judulnya singkat: "Tragedi di Jalan Akasia, Satu Keluarga Tewas."
Jantung Rina berdebar begitu kencang hingga ia takut petugas di seberang ruangan bisa mendengarnya. Tangannya yang berkeringat menggulir tuas mikrofilm dengan kasar. Artikel itu tidak banyak memberikan detail. Sebuah keluarga—ayah, ibu, dan seorang anak perempuan—ditemukan tewas di rumah mereka di Jalan Akasia No. 14. Polisi menyimpulkan kasus itu sebagai pembunuhan yang diikuti bunuh diri oleh sang kepala keluarga karena masalah utang. Tidak ada nama yang disebutkan, hanya inisial.
Jalan Akasia No. 14. Itu adalah alamat rumah Sari.
Rina membaca ulang artikel itu tiga kali. Sebuah tragedi. Sebuah rumah yang menyimpan luka. Rumah itu tidak dijual setelah kejadian itu, artikel lain menyebutkan rumah itu kosong selama bertahun-tahun karena "tidak ada ahli waris yang mengurus dan sulit laku terjual karena sejarahnya yang kelam."
Lalu, bagaimana rumah itu bisa jatuh ke tangan Sari? Siapa keluarga yang tewas itu? Apakah Sari tahu tentang ini?
Rina mematikan mesin mikrofilm. Ia tidak menemukan nama Sari Kusuma. Tapi ia menemukan sesuatu yang lebih penting: sebuah rahasia. Rumah itu memiliki sejarah berdarah.
Ia berjalan keluar dari perpustakaan, matanya menyipit menahan silaunya matahari sore. Udara pengap di dalam sana telah berganti dengan udara segar, tetapi Rina merasa baru saja keluar dari sebuah makam. Jejak pertama telah ditemukan. Dan jejak itu berbau kematian.
Bab 12: Suara dari Masa Lalu
Penemuan di perpustakaan meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Rina tahu ia tidak bisa kembali ke tumpukan koran tua. Ia butuh sumber yang hidup, seseorang yang ingatannya tidak tercetak dalam tinta hitam putih.
Sore harinya, dengan alasan ingin membeli pulsa di warung depan kompleks, Rina berjalan santai menuju pos satpam. Ia sengaja memilih waktu pergantian shift, berharap bisa bertemu dengan Pak Maman, satpam paling senior yang sudah bekerja di Asri Kirana bahkan sebelum rumah Rina dibangun.
"Sore, Pak Maman," sapa Rina ramah.
"Eh, sore, Bu Rina. Tumben jalan kaki?" balas Pak Maman, menghentikan sejenak aktivitasnya mengisi buku tamu.
"Iya, Pak, sekalian olahraga sedikit," jawab Rina. Ia bersandar di meja pos, berpura-pura mengatur napas. "Pak Maman sudah lama sekali ya kerja di sini? Pasti tahu semua seluk-beluk kompleks ini."
Pak Maman tertawa bangga. "Wah, ya sudah hafal di luar kepala, Bu. Dari kompleks ini masih banyak tanah kosong sampai sekarang sudah penuh sesak begini."
Inilah celah yang Rina tunggu. "Saya jadi penasaran, Pak. Dulu, sebelum seramai ini, Jalan Akasia itu bagaimana, ya?"
"Jalan Akasia..." Pak Maman menerawang. "Dulu sepi sekali, Bu. Rumah di ujung-ujung itu lama kosongnya. Termasuk rumah nomor 14 itu."
Jantung Rina berdebar. "Nomor 14? Yang sekarang ditempati Bu Sari itu, ya?"
"Betul," angguk Pak Maman. Raut wajahnya berubah sedikit lebih serius. "Dulu yang tinggal di situ Keluarga Prawiro. Orang baik-baik sekali. Bapaknya, Pak Danu, ramah sekali. Ibunya juga aktif di kegiatan warga. Anaknya satu, perempuan, seumuran Lia mungkin sekarang."
"Keluarga Prawiro," ulang Rina pelan, mengunci nama itu di dalam benaknya. "Saya dengar-dengar, rumah itu punya sejarah kurang baik ya, Pak?" tanyanya hati-hati.
Pak Maman menurunkan suaranya, seolah takut ada yang mendengar. "Hus, iya, Bu. Jangan sampai kedengaran warga baru. Kasihan nanti harga tanah jadi turun," bisiknya. "Kejadiannya sudah lama, sekitar lima tahun lalu. Satu keluarga itu meninggal semua di dalam rumah."
"Saya baca di koran katanya karena masalah utang, ya, Pak?" pancing Rina.
Pak Maman mendecakkan lidahnya, ekspresinya menunjukkan ketidakpercayaan. "Itu kata koran, Bu. Tapi kami-kami yang sudah lama di sini dengarnya beda." Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Yang aneh itu gosipnya, Bu. Katanya Pak Danu itu hancur bukan karena utang, tapi karena difitnah habis-habisan di kantornya sampai dipecat. Ada yang bilang saingannya sendiri yang menyebar fitnah keji. Kasihan, orang baik begitu hancur karena omongan orang."
Tubuh Rina terasa dingin. Fitnah. Omongan orang. Pola yang sama.
"Setelah itu rumahnya kosong lama sekali, Bu. Angker katanya," lanjut Pak Maman, kembali ke nada bicaranya yang normal. "Makanya kami semua kaget waktu Bu Sari dan suaminya berani beli rumah itu."
Rina mengucapkan terima kasih dan segera pamit, pikirannya berkecamuk. Ia kini punya sebuah nama: Keluarga Prawiro. Dan sebuah motif yang terasa begitu familier: kehancuran yang disebabkan oleh fitnah. Berita di koran adalah cerita resmi, tapi suara dari masa lalu membisikkan kebenaran yang jauh lebih kelam. Kebenaran yang polanya sedang terulang kembali, tepat di depan matanya.
Bab 13: Gema di Dunia Maya
Malam itu, Rina menunggu hingga suara napas Budi yang teratur memenuhi kamar. Pukul satu dini hari. Dengan gerakan sepelan mungkin, ia menyelinap keluar kamar, membawa laptopnya ke meja makan yang remang-remang. Cahaya dari layar laptop menjadi satu-satunya penerangan, melukis bayangan panjang dan menakutkan di dinding.
Jemarinya terasa kaku saat mengetikkan nama itu di mesin pencari: "Keluarga Danu Prawiro".
Hasil pencarian pertama didominasi oleh tautan ke berita-berita lama yang sudah ia baca. Tragedi, utang, bunuh diri. Cerita resmi yang terasa begitu dangkal. Ia menambahkan kata kunci "Jalan Akasia", lalu "fitnah", lalu nama perusahaan konstruksi besar tempat ia menduga Danu Prawiro pernah bekerja, berdasarkan ingatan samar Pak Maman.
Halaman demi halaman ia telusuri. Sebagian besar adalah jalan buntu. Jejak digital keluarga itu nyaris tidak ada, seolah sengaja dihapus oleh waktu. Saat matanya mulai lelah dan harapan menipis, ia menemukan sebuah tautan berwarna ungu—tanda bahwa ia pernah mengkliknya tanpa sadar. Tautan itu mengarah ke sebuah forum diskusi online karyawan konstruksi, sebuah utas dari lima tahun yang lalu dengan judul: "Turut Berduka Cita, Danu Prawiro".
Jantung Rina berdebar lebih kencang. Ia menggulir layar, membaca balasan-balasan duka cita yang singkat. Lalu, ia menemukan sebuah komentar panjang yang ditulis oleh pengguna anonim.
"Saya tidak percaya Danu bunuh diri karena utang. Saya kenal dia. Dia orang paling lurus yang pernah saya temui. Dia hancur. Hancur karena politik kantor. Ada ular di sana, seorang penjilat yang menginginkan posisinya. Ular itu menyebar gosip, memutarbalikkan fakta, berbisik di telinga para atasan. Perlahan-lahan, semua orang mulai menjauhi Danu. Proyeknya disabotase secara halus. Reputasinya dihancurkan dari dalam. Saya melihatnya sendiri bagaimana dia berubah dari orang yang penuh semangat menjadi pria pendiam yang tatapannya kosong. Dia tidak dibunuh oleh utang. Dia dibunuh oleh kata-kata."
Rina menahan napas. Setiap kalimat dalam tulisan itu seolah berteriak kepadanya. Ular. Penjilat. Menyebar gosip. Berbisik di telinga. Reputasinya dihancurkan dari dalam. Deskripsi itu begitu cocok, begitu sempurna dengan apa yang sedang Sari lakukan padanya dan pada kompleks ini.
Di bawah komentar itu, ada balasan lain. "Siapa pelakunya? Sebut saja namanya."
Pengguna anonim itu menjawab untuk terakhir kalinya. "Tidak ada gunanya. Dia terlalu pintar. Terlalu licik. Di depan semua orang, dia adalah malaikat penolong. Hanya mereka yang pernah menjadi targetnya yang tahu wajah aslinya."
Rina menyandarkan punggungnya di kursi. Ruang makan yang sunyi tiba-tiba terasa begitu dingin. Gema dari masa lalu itu begitu keras, begitu jelas. Ia tidak sedang paranoid. Ia tidak sedang berhalusinasi. Pola ini nyata. Seseorang telah melakukan ini sebelumnya pada Danu Prawiro, dan kini, metode yang sama persis sedang digunakan untuk menghancurkannya.
Pertanyaannya bukan lagi apakah ada hubungan antara Sari dan tragedi keluarga Prawiro. Pertanyaannya sekarang adalah, apa hubungannya?
Bab 14: Mencari Wajah di Antara Duka
Kata-kata dari forum itu—ular, penjilat, malaikat penolong—terus berputar di benak Rina, menempel seperti lintah. Deskripsi itu begitu sempurna, begitu akurat, hingga membuatnya mual. Ia menghabiskan satu jam berikutnya mencoba melacak pengguna anonim itu, mengklik profilnya, mencari jejak unggahan lain, berharap menemukan secuil petunjuk tentang identitas aslinya. Namun, usahanya sia-sia. Akun itu sudah tidak aktif selama bertahun-tahun, sebuah suara dari masa lalu yang berteriak sekali lalu lenyap selamanya.
Jalan buntu. Rasa frustrasi yang panas menjalari dirinya, tetapi tidak memadamkan apinya. Justru sebaliknya. Jika ia tidak bisa melacak si pemburu, maka ia akan melacak korbannya.
Rina membuka tab baru di perambannya. Kali ini, ia tidak mencari pelaku. Ia mencari para korban. Ia mengetikkan nama istri Danu Prawiro, "Karina Prawiro," nama yang ia temukan di salah satu berita duka cita. Ia menambahkan kata "obituari" dan "keluarga".
Hasilnya adalah lautan duka digital. Ucapan belasungkawa di kolom komentar berita, unggahan-unggahan lama dari teman-teman yang terkejut. Sebagian besar adalah akun-akun yang sudah tidak aktif. Rina menggulir tanpa henti, matanya perih karena terlalu lama menatap layar. Ia merasa seperti seorang penyusup, mengorek luka lama orang lain demi kepentingannya sendiri.
Tepat saat ia hendak menyerah, sebuah foto menarik perhatiannya. Foto Karina Prawiro yang sedang tersenyum, diunggah di sebuah platform media sosial lima tahun yang lalu, beberapa hari setelah tragedi itu terjadi. Akun pengunggahnya bernama "Retno Wulandari".
Rina mengklik profil itu. Foto profilnya menunjukkan seorang wanita berusia akhir empat puluhan, dengan sorot mata yang teduh namun menyimpan jejak kesedihan. Di bawah foto Karina, Retno menulis sebuah keterangan panjang.
"Kakakku tersayang, Karina. Dunia tidak akan pernah sama tanpamu. Mereka boleh menulis apa saja di koran. Mereka boleh menyalahkan Mas Danu. Tapi aku tahu kalian. Aku tahu cinta kalian. Cerita mereka tidak masuk akal. Ada kejahatan di balik semua ini, aku merasakannya. Dan aku bersumpah akan selalu mengingatmu sebagai korban, bukan sebagai bagian dari cerita bohong mereka. Beristirahatlah dalam damai, Kak."
Napas Rina tercekat. Ada kejahatan di balik semua ini. Cerita bohong mereka. Retno tidak percaya pada narasi resmi. Sama seperti pengguna anonim di forum itu. Sama seperti Rina.
Rina menggulir profil Retno lebih jauh. Ia adalah seorang guru di sebuah SMA di luar kota. Unggahan-unggahannya penuh dengan foto kegiatan mengajar dan potret keluarga kecilnya. Ia tampak seperti orang biasa yang hidupnya pernah diusik oleh sebuah tragedi yang tak terpecahkan. Ia adalah adik dari Karina Prawiro. Ia adalah satu-satunya benang yang masih terhubung dengan keluarga yang telah musnah itu.
Rina menatap lekat foto profil Retno Wulandari. Ia telah menemukan sebuah nama. Sebuah wajah. Sebuah suara yang masih hidup dan menyimpan bara ketidakpercayaan. Rasa takut menjalari Rina—takut akan apa yang akan ia temukan, takut mengusik kembali duka wanita itu. Namun, rasa takut itu kalah oleh sebuah kepastian yang dingin: ia harus menghubungi wanita ini. Ia harus mendengar ceritanya.
Bab 15: Pesan di Ujung Jari
Rina tidak mematikan laptopnya. Ia hanya menutup layarnya dan kembali ke kamar tidur, tetapi pikirannya tetap menyala terang. Profil Retno Wulandari—wajahnya yang teduh, sumpahnya untuk mengingat kebenaran—terpatri di benaknya. Ia berbaring di samping Budi, merasakan kehangatan tubuh suaminya, namun merasa lebih jauh dan lebih dingin dari sebelumnya.
Selama sisa malam itu, ia berperang dengan dirinya sendiri. Satu sisi dirinya berteriak ketakutan. "Jangan lakukan ini. Kamu akan mengganggu orang yang sedang berduka. Kamu akan terdengar seperti orang gila, menuduh tetangga barumu tanpa bukti konkret. Bagaimana jika kamu salah? Kamu akan menghancurkan segalanya."
Sisi lainnya berbisik dengan suara yang dingin dan penuh tekad. "Dan jika kamu tidak melakukan apa-apa, apa yang akan tersisa untuk dihancurkan? Keluargamu sudah di ambang kehancuran. Kewarasanmu sudah compang-camping. Ini satu-satunya kesempatanmu untuk menemukan kebenaran."
Pagi datang membawa keraguan yang baru. Saat menyiapkan sarapan untuk Lia, Rina menatap wajah mungil putrinya. Tawa Lia yang riang terasa seperti belati di hatinya. Ia melakukan semua ini untuk melindungi tawa itu, tetapi bagaimana jika tindakannya justru membawa bahaya yang lebih besar ke dalam rumah mereka? Menghubungi Retno adalah sebuah langkah melewati batas. Itu adalah titik di mana ia tidak bisa lagi berbalik.
Setelah mengantar Lia ke sekolah dan Budi berangkat kerja, Rina kembali duduk di depan laptopnya. Ia membuka kembali profil Retno. Ia menatap foto-foto wanita itu bersama suami dan anak-anaknya. Sebuah keluarga yang bahagia, sebuah keluarga yang berhasil membangun kembali hidupnya di atas puing-puing tragedi. Apakah ia berhak merusak ketenangan itu?
Jemarinya melayang di atas papan ketik, ragu. Ia menulis, menghapus, lalu menulis lagi. Ia harus terdengar waras. Ia harus terdengar putus asa, tetapi tidak gila. Ia harus memberikan cukup informasi untuk menarik perhatian Retno, tanpa menakutinya.
Setelah hampir satu jam, akhirnya ia menemukan kalimat yang tepat. Pesan itu singkat, hati-hati, dan langsung ke inti masalahnya.
"Selamat pagi, Ibu Retno Wulandari. Maaf mengganggu waktu Anda. Nama saya Rina Haryanto. Saya tidak mengenal Anda, dan mungkin pesan ini akan terdengar sangat aneh. Saya adalah penghuni baru di Jalan Akasia No. 12, tepat di seberang rumah yang dulu milik keluarga kakak Anda. Saya menulis pesan ini karena saya merasa ada sesuatu yang salah di lingkungan ini, sesuatu yang polanya terasa sangat mirip dengan apa yang saya baca menimpa keluarga Prawiro. Saya tahu ini mungkin permintaan yang sangat berat, tapi jika Ibu bersedia, saya mohon kesediaan Ibu untuk berbicara dengan saya. Saya merasa keselamatan keluarga saya bergantung pada hal ini."
Rina membaca ulang pesan itu berkali-kali. Setiap kata terasa berat, penuh risiko. Dengan napas yang tertahan, matanya terpejam, dan satu gerakan cepat, jarinya menekan tombol "Kirim".
Pesan itu terkirim. Tidak ada jalan untuk kembali. Kini, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu, sementara jantungnya berdebar dalam keheningan rumah yang terasa begitu mencekam.
Bab 16: Nama yang Terkubur
Menunggu adalah sebuah siksaan baru. Setiap dering notifikasi di ponselnya membuat jantung Rina melonjak. Setiap email yang masuk membuatnya menahan napas. Tapi semua itu hanyalah notifikasi biasa: pesan dari grup arisan, email promosi, pengingat tagihan. Tidak ada balasan dari Retno Wulandari.
Rina mencoba menyibukkan diri. Ia membersihkan rumah hingga setiap sudutnya berkilau. Ia memasak makan siang dengan resep yang rumit. Tapi pikirannya tidak pernah jauh dari kotak masuk pesannya yang kosong. Keraguan mulai merayap kembali. Mungkin Retno menganggapnya gila. Mungkin pesannya langsung dihapus. Mungkin ia telah mengambil risiko terbesar dalam hidupnya untuk sebuah kesia-siaan.
Sore harinya, saat ia sedang melipat pakaian kering, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah notifikasi pesan dari platform media sosial. Dari Retno Wulandari.
Jantung Rina seolah berhenti berdetak. Tangannya gemetar saat membuka pesan itu. Isinya jauh lebih singkat dari yang ia duga.
"Ini nomor saya. 0812-xxxx-xxxx. Telepon setelah jam 8 malam. Jangan kirim pesan."
Hanya itu. Tidak ada sapaan, tidak ada pertanyaan. Hanya sebuah perintah yang dingin dan lugas. Tapi bagi Rina, pesan singkat itu adalah sebuah suar di tengah lautan keputusasaan. Retno memercayainya. Setidaknya, ia cukup percaya untuk mau mendengarkan.
Malam itu, Rina menunggu hingga Budi dan Lia tertidur lelap. Tepat pukul setengah sembilan, ia membawa ponselnya ke balkon belakang, tempat paling privat di rumahnya. Udara malam yang dingin terasa menusuk kulit, tetapi tidak sedingin rasa takut yang menjalari tulangnya. Dengan jari yang gemetar, ia menekan nomor itu.
Nada sambung terdengar dua kali sebelum sebuah suara wanita yang tenang menjawab. "Halo."
"Selamat malam, Ibu Retno?" suara Rina nyaris bergetar.
"Iya, ini siapa?"
"Saya Rina. Rina Haryanto. Yang mengirim pesan tadi siang."
Ada jeda hening sejenak di seberang sana. Rina bisa mendengar embusan napas pelan. "Jelaskan apa maksud pesan Anda," kata Retno, suaranya datar, tanpa emosi.
Rina menarik napas dalam-dalam. Ia menceritakan semuanya. Bukan tentang kecurigaannya, melainkan tentang polanya. Tentang bagaimana tetangga barunya, Sari, memiliki kemampuan luar biasa untuk menanamkan keraguan. Tentang bagaimana ia memuji untuk merendahkan, memberi simpati untuk mengekspos kelemahan. Ia menceritakan tentang Bu Siska dan Bu Lastri, tentang Pak RT yang murung, tentang bagaimana Sari seolah tahu persis di mana harus menekan untuk menciptakan keretakan.
Retno mendengarkan tanpa menyela. Keheningannya terasa berat, penuh penilaian.
"Dan tetangga baru Anda ini," kata Retno akhirnya, suaranya masih terdengar hati-hati. "Seperti apa orangnya?"
"Namanya Sari Kusuma. Dia bilang dia dari Cikalong. Orangnya... sangat ramah. Sangat baik. Semua orang di kompleks menyukainya," jelas Rina.
Lagi-lagi hening. Kali ini lebih lama. Rina sampai harus memeriksa layar ponselnya untuk memastikan sambungan tidak terputus.
"Sari... Kusuma," ulang Retno, suaranya terdengar seperti bisikan yang sarat akan kenangan buruk. "Tolong jelaskan sekali lagi. Apakah Anda yakin itu nama lengkapnya?"
"Iya, saya yakin. Sari Kusuma," tegas Rina.
Di ujung telepon, Rina mendengar suara tarikan napas yang tajam dan tercekat. Suara yang dipenuhi keterkejutan dan kengerian.
"Ya Tuhan," bisik Retno, suaranya kini bergetar hebat. "Itu bukan nama aslinya. Dia bukan dari Cikalong."
Rina mencengkeram pagar balkon, buku-buku jarinya memutih. "Maksud Ibu?"
"Dulu," lanjut Retno, suaranya nyaris tak terdengar. "Saat semua kekacauan yang menimpa keluarga kakak saya terjadi, kami mengenalnya dengan nama lain. Namanya... Anindita."
Bab 17: Wajah di Balik Topeng
Anindita.
Nama itu terasa asing di lidah Rina, namun gaungnya terasa begitu kelam dan berat. Ia mencengkeram pagar balkon lebih erat, udara malam yang dingin seolah merayap masuk ke dalam tulangnya, membekukan darahnya.
"Anindita?" ulang Rina, suaranya nyaris tak terdengar.
"Iya," jawab Retno. Suaranya yang tadi bergetar kini mulai mengeras, dilapisi oleh amarah yang terpendam selama lima tahun. "Dia bukan Sari Kusuma. Dia Anindita Prameswari. Junior di kantor Mas Danu. Ambisius, sangat menawan, dan manipulator paling licik yang pernah saya temui."
Rina mendengarkan dalam diam yang mencekam saat Retno mulai menumpahkan ceritanya. Kata-kata mengalir deras dari seberang telepon, sebuah bendungan duka dan amarah yang akhirnya jebol.
Anindita, menurut Retno, adalah ular yang dibicarakan di forum itu. Ia menginginkan posisi Danu Prawiro. Tapi ia tidak menyerang Danu secara langsung. Taktiknya lebih halus, lebih kejam. Langkah pertamanya adalah mendekati Karina, kakak Retno.
"Dia menjadi sahabat terbaik Kak Karina dalam waktu singkat," desis Retno. "Dia membawakan kue, menemani belanja, mendengarkan semua keluh kesah Kak Karina. Dia masuk ke dalam keluarga kami, mempelajari setiap kelemahan, setiap rahasia, setiap keretakan kecil dalam pernikahan mereka."
Rina memejamkan mata, perutnya terasa mual. Membawakan kue. Mendengarkan keluh kesah. Pola yang sama persis.
"Setelah dia mendapatkan kepercayaan Kak Karina," lanjut Retno, "dia mulai menanam racunnya. Dia akan berbisik pada Kak Karina tentang betapa lelahnya Mas Danu, menyiratkan adanya 'tekanan lain' di luar pekerjaan. Di saat yang sama, di kantor, dia menyebarkan gosip tentang kondisi rumah tangga Mas Danu yang goyah, membuatnya tampak tidak stabil di mata atasan. Dia mengadu domba mereka dari dua sisi."
Setiap kalimat yang diucapkan Retno adalah konfirmasi dari mimpi buruk Rina. Pujian yang merendahkan, simpati yang mengekspos kelemahan—semua taktik yang digunakan Sari adalah taktik Anindita. Dia tidak menciptakan metode baru. Dia hanya mengulanginya.
"Keluarga mereka hancur dari dalam, Bu Rina," kata Retno, suaranya pecah oleh isak tangis yang ditahan. "Cerita tentang utang itu bohong. Itu hanya untuk menutupi aib. Mereka hancur karena saling tidak percaya satu sama lain. Dan Anindita-lah yang menyalakan api itu, lalu berdiri di kejauhan sambil tersenyum saat semuanya terbakar habis."
Rina merasa sesak napas. Ia bukan hanya melihat sebuah pola. Ia sedang menjalani takdir yang sama persis dengan keluarga Prawiro.
"Apa... apa yang terjadi pada Anindita setelah itu?" tanya Rina, takut mendengar jawabannya.
Hening sejenak. "Dia menghilang," jawab Retno. "Setelah Mas Danu dipecat dan tragedi itu terjadi, dia langsung mengundurkan diri. Lenyap begitu saja. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi."
Retno berhenti, menarik napas panjang sebelum mengucapkan kalimat yang membuat darah Rina benar-benar beku.
"Tapi ada satu hal yang kami curigai, meski tidak pernah bisa kami buktikan. Anindita... dia bukan sekadar kolega biasa. Dia punya hubungan keluarga—kerabat jauh—dari salah satu saingan terberat Mas Danu di kantor. Kami yakin dia sengaja ditempatkan di sana. Kehadirannya di kehidupan kakak saya bukanlah sebuah kebetulan. Itu adalah sebuah misi."
Bab 18: Misi di Depan Mata
Sambungan telepon sudah terputus, tetapi Rina masih mematung di balkon, ponsel tergenggam erat di tangannya yang sedingin es. Nama itu—Anindita Prameswari—bergema di kepalanya, menimpa nama Sari Kusuma hingga hancur berkeping-keping. Topeng itu telah dilepas, dan wajah di baliknya jauh lebih mengerikan dari yang pernah ia bayangkan.
Ia menatap rumah di seberang jalan. Rumah itu tidak lagi tampak misterius. Kini, rumah itu adalah sebuah pangkalan operasi, sebuah sarang yang dibangun di atas kuburan keluarga lain. Wanita di dalamnya bukan lagi sekadar tetangga yang manipulatif. Dia adalah seorang predator profesional, seorang eksekutor yang dikirim dalam sebuah misi.
Kehadirannya di kehidupan kakak saya bukanlah sebuah kebetulan. Itu adalah sebuah misi.
Kalimat terakhir Retno terasa seperti vonis mati. Jika kehadiran Anindita di kehidupan keluarga Prawiro adalah sebuah misi yang berhubungan dengan pekerjaan Danu, lalu apa misinya di sini? Pikiran Rina langsung tertuju pada Budi. Suaminya baru saja mendapat promosi besar di kantornya, mengalahkan beberapa kandidat lain. Apakah ini polanya? Apakah Budi adalah Danu Prawiro yang baru? Apakah ada seseorang di kantor Budi yang merasa terancam, lalu mengirim Anindita untuk menghancurkan saingannya dari dalam?
Rasa mual yang hebat menghantamnya. Ini bukan lagi sekadar tentang membuat Rina merasa gila atau merusak hubungan antar tetangga. Itu semua hanyalah taktik, langkah-langkah pembuka dalam permainan yang jauh lebih besar dan lebih mematikan. Target utamanya bukanlah dirinya. Targetnya adalah Budi. Dan ia, Rina, adalah gerbang masuknya. Anindita sedang mengulang strateginya: dekati sang istri, tanamkan racun, hancurkan fondasi keluarga, dan biarkan sang suami runtuh dengan sendirinya.
Tiba-tiba, semua kepingan teka-teki itu jatuh pada tempatnya. Komentar-komentar Sari tentang Budi yang lelah, tentang "pelarian kecil", tentang pentingnya keluarga—semua itu bukan sekadar basa-basi jahat. Itu adalah tembakan-tembakan terarah yang dirancang untuk mengikis kepercayaannya pada Budi.
Rasa takut yang selama ini melumpuhkannya mulai berubah bentuk. Ketakutan itu masih ada, tetapi kini dilapisi oleh baja amarah dan kejernihan yang menakutkan. Ia tidak lagi berhadapan dengan hantu. Ia berhadapan dengan musuh yang punya nama, wajah, dan rekam jejak. Ia tahu metodenya. Ia tahu cara kerjanya.
Rina menarik napas panjang, udara malam yang dingin mengisi paru-parunya, menjernihkan kabut di otaknya. Ia bukan lagi korban yang bingung dan paranoid. Ia adalah seorang penjaga gerbang yang kini tahu serigala mana yang sedang berusaha masuk.
Bab 19: Perang Sunyi Dimulai
Pagi berikutnya, Rina bangun sebelum alarm berbunyi. Untuk pertama kalinya dalam sebulan, ia tidak terbangun karena cemas, melainkan karena sebuah tujuan yang jernih. Kabut paranoia telah terangkat, digantikan oleh ketajaman fokus yang dingin. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—wajahnya masih pucat, kantung matanya masih gelap, tetapi sorot matanya berbeda. Ketakutan itu telah membeku menjadi tekad.
Ia tahu Anindita akan mengamatinya. Setiap gerak-geriknya akan dinilai. Maka, Rina harus memainkan perannya dengan sempurna. Ia harus menjadi agen ganda di rumahnya sendiri. Ia mengenakan daster rumah yang biasa, mengikat rambutnya seadanya, dan membiarkan wajahnya polos tanpa riasan. Ia harus terlihat seperti Rina yang sama—Rina yang rapuh, yang sedang berada di ambang kehancuran.
Kesempatan itu datang lebih cepat dari yang ia duga. Saat ia sedang menyapu teras, Anindita keluar dari rumahnya, membawa sekantong sampah. Ia tersenyum cerah saat melihat Rina, senyum yang sama yang dulu membuat Rina merinding. Kini, senyum itu hanya terlihat seperti sebuah alat diplomasi palsu.
"Pagi, Rina! Kelihatannya sudah lebih segar hari ini," sapa Anindita, suaranya terdengar tulus seperti biasa.
Rina memaksakan seulas senyum lemah, persis seperti yang biasa ia lakukan. "Pagi, Sar. Ya, lumayan. Tidurku sedikit lebih nyenyak semalam." Sebuah disinformasi. Ia tidak tidur sama sekali.
Anindita berjalan mendekat, berhenti di dekat pagar pembatas mereka. "Syukurlah kalau begitu. Aku khawatir sekali melihatmu kemarin-kemarin."
Inilah saatnya. Rina menyandarkan sapunya ke dinding, menatap Anindita dengan ekspresi lelah yang dibuat-buat. "Terima kasih, Sar. Kamu baik sekali. Aku hanya... banyak pikiran soal Mas Budi."
Sebuah informasi palsu sengaja dibocorkan. Anindita langsung memburunya. "Oh ya? Mas Budi kenapa?" tanyanya, matanya menunjukkan kilat ketertarikan yang coba ia sembunyikan di balik topeng simpatinya.
"Biasa, pekerjaan," jawab Rina, menghela napas panjang. "Kantornya itu kompetitif sekali. Kadang aku merasa orang-orang di sana rela melakukan apa saja untuk bisa naik jabatan. Kasihan Mas Budi, dia orangnya terlalu lurus untuk permainan seperti itu."
Rina mengucapkan kalimat itu sambil menatap lurus ke mata Anindita. Untuk sepersekian detik, sebuah kilatan melintas di mata wanita itu. Bukan keterkejutan. Bukan rasa bersalah. Melainkan sebuah kilatan pengakuan, seolah ia baru saja menerima pesan berkode yang hanya mereka berdua yang mengerti. Senyum di wajah Anindita tidak goyah, tetapi Rina melihatnya—otot di rahangnya sedikit menegang.
"Sabar ya, Rin," kata Anindita, suaranya kini terdengar lebih lembut, seolah berusaha menutupi reaksinya barusan. "Dunia kerja memang kejam. Yang penting, kamu sebagai istri harus selalu mendukung Mas Budi. Jangan sampai masalah di luar merusak keharmonisan di dalam rumah. Itu yang paling penting."
Sebuah nasihat sekaligus sebuah penegasan wilayah operasi. Anindita baru saja memberitahunya di mana medan pertempuran utama mereka: di dalam rumah.
"Iya, kamu benar, Sar," balas Rina, menundukkan kepalanya seolah menerima informasi intelijen itu.
Setelah obrolan singkat itu berakhir dan Anindita kembali masuk ke rumahnya, Rina masih berdiri mematung di teras. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, melainkan karena adrenalin. Ia berhasil. Ia telah mengirimkan sinyal pertamanya. Ia telah memberitahu Anindita, tanpa satu kata tuduhan pun, bahwa ia tahu ada operasi rahasia yang sedang berjalan.
Perang sunyi ini telah dimulai. Dan Rina, yang selama ini hanya menjadi target pasif, baru saja melancarkan operasi balasan pertamanya.
Bab 20: Bukti di Ujung Kabel Data
Permainan sandiwara itu menguras energi Rina lebih dari yang ia duga. Setiap hari adalah pertunjukan. Ia harus tersenyum lemah saat berpapasan dengan Anindita, mengeluh sekadarnya tentang Budi, dan sesekali meneteskan air mata frustrasi di depan suaminya. Ia adalah aktris utama dalam drama kehancurannya sendiri, dan penonton satu-satunya adalah musuhnya.
Di balik topeng itu, otaknya bekerja tanpa henti. Nama "Anindita Prameswari" adalah sebuah kunci, tetapi ia belum menemukan pintu yang tepat. Ia sudah mencoba mencari nama itu di internet, tetapi hasilnya nihil. Seperti kata Retno, Anindita telah lenyap, menghapus jejak digitalnya dengan bersih.
Rina tahu ia butuh lebih dari sekadar cerita. Ia butuh bukti. Sesuatu yang bisa ia pegang, sesuatu yang bisa ia tunjukkan pada Budi jika saatnya tiba. Sesuatu yang bisa meruntuhkan topeng "Sari Kusuma" untuk selamanya. Hanya ada satu orang yang bisa memberikannya: Retno Wulandari.
Malam itu, setelah memastikan seisi rumah tertidur, ia kembali ke posnya di balkon. Dengan jantung berdebar, ia mengirim pesan singkat kepada Retno.
"Bu Retno, maaf mengganggu lagi. Saya tahu ini permintaan yang sangat besar. Tapi, apakah Ibu... apakah Ibu punya foto Anindita dari lima tahun yang lalu?"
Ia menekan tombol kirim dan menunggu. Kali ini, balasannya datang lebih cepat.
"Untuk apa?" Pesan itu singkat dan dingin.
Rina mengetik dengan cepat, jemarinya gemetar. "Saya harus yakin. Saya harus melihat wajahnya. Saya harus menunjukkan pada suami saya. Dia tidak percaya pada saya."
Hening selama beberapa menit yang terasa seperti selamanya. Rina membayangkan Retno di seberang sana, ragu, mungkin marah karena harus membuka kembali album kenangan yang menyakitkan. Rina hampir saja mengirim pesan permintaan maaf saat sebuah notifikasi baru muncul.
Itu bukan pesan teks. Itu adalah sebuah file gambar yang sedang diunduh.
Jantung Rina serasa berhenti berdetak saat bar biru pengunduhan itu merayap pelan hingga penuh. Dengan napas tertahan, ia mengetuk file itu untuk membukanya.
Foto itu berkualitas rendah, sepertinya diambil dengan kamera ponsel lama di sebuah acara kantor. Beberapa orang tersenyum ke arah kamera. Di antara mereka, ada Danu dan Karina Prawiro, tampak bahagia. Dan di samping Karina, merangkul bahunya dengan akrab, berdiri seorang wanita muda dengan senyum yang cemerlang dan mata yang berbinar.
Rina langsung mengenalinya.
Rambutnya ditata berbeda, riasannya sedikit lebih tebal, tetapi itu adalah wajah yang sama. Wajah yang ia lihat setiap hari di seberang jalan. Wajah yang membawakannya kue pai apel. Wajah yang menatapnya dengan penuh simpati palsu. Itu adalah wajah Sari Kusuma. Itu adalah wajah Anindita Prameswari.
Ponsel itu nyaris terlepas dari genggamannya. Udara di sekitarnya terasa menipis. Selama ini, Anindita hanyalah sebuah nama, sebuah cerita hantu dari masa lalu. Kini, hantu itu punya wajah yang nyata. Bukti itu ada di tangannya, bersinar terang di kegelapan malam.
Rina mengangkat kepalanya, menatap lurus ke rumah di seberang. Lampu di salah satu jendela kamar Anindita masih menyala. Rina membayangkan wanita itu ada di sana, mungkin sedang merencanakan langkah berikutnya dalam permainannya.
Ia kembali menatap foto di ponselnya, lalu ke jendela yang menyala itu. Dua wajah—satu dari masa lalu yang beku, satu lagi hidup di masa kini—melebur menjadi satu realitas yang mengerikan. Keraguan terakhirnya telah lenyap, digantikan oleh sebuah kepastian yang sedingin es. Ia tidak sedang melawan tetangga. Ia sedang melawan seorang monster.
Bab 21: Benang Merah Kebahagiaan
Bukti foto itu tidak memberikan Rina ketenangan. Sebaliknya, itu membakar habis sisa-sisa harapannya bahwa ia mungkin salah. Monster itu nyata, dan monster itu tinggal di seberang jalan.
Selama dua hari berikutnya, Rina bergerak seperti robot. Ia memasak, membersihkan, tersenyum pada Lia, dan memainkan perannya sebagai istri yang sedang rapuh di depan Anindita. Namun, di dalam kepalanya, sebuah pertanyaan baru yang lebih besar terus berputar, mengalahkan pertanyaan tentang identitas. Bukan lagi "siapa", melainkan "mengapa".
Mengapa keluarga Prawiro? Dan mengapa sekarang keluarganya?
Ia mencoba mencari benang merah. Di satu sisi, ada keluarga Danu Prawiro. Menurut cerita Retno dan Pak Maman, mereka adalah keluarga yang nyaris sempurna. Danu adalah pria pekerja keras yang jujur. Karina adalah istri yang aktif dan disukai. Mereka adalah potret keluarga bahagia yang dihormati di lingkungannya.
Lalu, Rina menatap cermin, memaksa dirinya untuk melihat kehidupannya sendiri sebelum awan gelap bernama Sari Kusuma datang. Ia dan Budi bahagia. Tentu, ada pertengkaran-pertengkaran kecil, tetapi fondasi mereka kuat. Budi baru saja merayakan promosinya. Lia adalah anak yang ceria dan sehat. Mereka punya rumah yang nyaman, teman-teman yang baik. Mereka juga bahagia. Mungkin, kebahagiaan mereka adalah sesuatu yang terlihat oleh orang lain, sesuatu yang mungkin menimbulkan sedikit rasa iri.
Pikiran itu terasa seperti sengatan listrik.
Rina mulai memikirkan target-target kecil Anindita yang lain di kompleks. Bu Siska dan Bu Lastri, sebelum Anindita datang, adalah sahabat yang tak terpisahkan. Tawa mereka selalu menjadi yang paling keras saat arisan. Mereka bahagia. Pak RT, sebelum ia menjadi murung, adalah pria paling ceria dan bersemangat di kompleks, selalu siap membantu. Ia juga bahagia dalam perannya sebagai pemimpin komunitas.
Anindita tidak pernah menargetkan Bu Ningsih yang selalu mengeluh tentang suaminya, atau Pak Toni yang terkenal pelit dan tidak disukai. Tidak. Ia memilih targetnya dengan cermat. Ia tidak menendang orang yang sudah jatuh. Ia justru menarik karpet dari bawah kaki orang-orang yang sedang berdiri paling tegak.
Sebuah kesadaran yang mengerikan merayap di benak Rina. Benang merahnya bukanlah pekerjaan Budi atau posisi Danu Prawiro. Itu hanyalah pemicu, pintu masuk. Benang merah yang sesungguhnya, koneksi yang mengerikan antara semua korbannya, adalah kebahagiaan.
Anindita adalah seorang pemangsa kebahagiaan. Ia melihat keharmonisan, keceriaan, dan cinta, bukan sebagai sesuatu yang indah, melainkan sebagai sebuah kelemahan, sebuah benteng yang harus ia runtuhkan. Ia tidak hanya ingin menghancurkan karier Budi. Ia ingin menghancurkan sumber kekuatan Budi: keluarganya. Ia ingin melihat kebahagiaan mereka layu dan membusuk, persis seperti yang telah ia lakukan pada keluarga Prawiro.
Rina bersandar di dinding dapur, napasnya terasa sesak. Musuh yang ia hadapi ternyata jauh lebih bengis dari yang ia kira. Ia tidak didorong oleh ambisi atau uang semata. Ia didorong oleh sesuatu yang lebih gelap, lebih purba: kebencian murni terhadap kebahagiaan orang lain. Dan kini, kebahagiaan keluarga Rina adalah hidangan utama yang sedang ia incar.
Bab 22: Jebakan di Taman Bermain
Kesadaran baru itu mengubah cara Rina memandang dunianya. Kompleks perumahan yang dulu terasa aman kini telah menjadi medan perang. Setiap sapaan ramah dari tetangga terasa seperti potensi interogasi, dan setiap senyum dari Anindita adalah manuver militer. Rina tahu ia sedang diawasi. Setelah percakapan mereka di teras, Anindita pasti sadar bahwa targetnya tidak lagi pasif.
Perang dingin di antara mereka terus berlanjut. Anindita akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan pancingan yang dibungkus dengan kepedulian, dan Rina akan menjawabnya dengan keluhan-keluhan palsu yang dirancang untuk membuatnya tampak semakin rapuh. Mereka berdua adalah aktris di panggung yang sama, masing-masing memainkan peran untuk menipu yang lain.
Namun, Rina bisa merasakan perubahan. Anindita mulai tidak sabar. Rina tidak hancur secepat yang ia harapkan. Jadi, Anindita memutuskan untuk menaikkan taruhannya.
Jebakan itu dipasang di tempat yang paling tidak terduga: taman bermain kompleks di suatu sore yang cerah. Rina sedang mengawasi Lia yang bermain ayunan, mencoba menikmati momen normal yang langka. Bu Siska duduk di bangku tak jauh darinya. Tiba-tiba, Anindita datang dan duduk di samping Rina, membawa dua gelas es teh manis.
"Untukmu," katanya sambil tersenyum, menyodorkan satu gelas pada Rina. "Panas sekali, ya, hari ini."
"Terima kasih," jawab Rina, menerimanya dengan waspada.
Mereka mengobrol ringan sejenak, lalu Anindita mencondongkan tubuhnya lebih dekat, suaranya diatur agar terdengar seperti bisikan simpatik, namun cukup keras untuk didengar oleh Bu Siska.
"Rin, aku jadi kepikiran terus omonganmu tempo hari. Soal tekanan di kantor Mas Budi itu," mulainya. "Aku harap kamu jangan terlalu cemas, ya. Kasihan lho kalau Mas Budi sampai tahu kamu sekhawatir itu, nanti malah menambah bebannya. Apalagi kalau sampai performanya menurun, kan bisa bahaya untuk posisinya."
Darah Rina seolah berhenti mengalir. Itu adalah sebuah serangan yang brilian. Di telinga Bu Siska, kalimat itu terdengar seperti nasihat seorang sahabat yang peduli. Tapi Rina mendengar ancaman yang sesungguhnya: "Aku tahu suamimu rentan, dan aku bisa menghancurkannya." Anindita tidak hanya memutarbalikkan kata-kata Rina, ia menggunakannya sebagai senjata untuk menyerang Budi secara tidak langsung, sambil melukis Rina sebagai istri yang lemah dan berpotensi menjadi beban bagi suaminya.
Amarah yang selama ini Rina pendam akhirnya meledak. Ia tidak bisa menahannya lagi.
"Itu bukan urusanmu!" desis Rina, suaranya tajam dan penuh penekanan. Ia meletakkan gelas es tehnya dengan kasar di bangku. "Berhenti berpura-pura peduli tentang keluargaku."
Keheningan yang canggung langsung menyelimuti mereka. Bu Siska menatap Rina dengan kaget. Lia bahkan berhenti mengayunkan kakinya, merasakan ketegangan di antara para orang dewasa.
Wajah Anindita langsung berubah. Senyumnya lenyap, digantikan oleh ekspresi terluka dan bingung yang begitu meyakinkan. "Lho, Rin? Aku... aku salah bicara, ya? Aku kan hanya mencoba membantumu."
"Membantu?" Rina tertawa sinis, tawa yang terdengar sedikit histeris di telinganya sendiri. "Kamu tidak membantu. Kamu menikmati ini semua."
"Rina, sudah, sudah," Bu Siska menengahi, menepuk lengan Rina dengan lembut. "Mungkin kamu lagi capek. Mbak Sari kan niatnya baik."
Saat itulah Rina sadar. Ia telah masuk perangkap. Di mata Bu Siska, ia terlihat seperti wanita paranoid yang meledak tanpa alasan, menyerang tetangga baik hati yang hanya mencoba menolong. Ia telah memberikan Anindita persis apa yang wanita itu inginkan: sebuah bukti publik bahwa Rina Haryanto tidak stabil secara mental.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rina berdiri, menarik tangan Lia, dan berjalan cepat meninggalkan taman. Ia bisa merasakan tatapan Anindita di punggungnya—bukan tatapan terluka, melainkan tatapan puas seorang pemangsa yang baru saja melihat mangsanya menginjak ranjau yang telah ia pasang dengan sempurna.
Bab 23: Dinding yang Semakin Rapat
Perjalanan pulang dari taman bermain terasa begitu sunyi. Genggaman tangan Lia yang mungil terasa dingin di dalam telapak tangan Rina yang berkeringat. Anaknya tidak bertanya apa-apa, tetapi Rina bisa merasakan ketakutan dan kebingungan dalam diamnya. Pemandangan ibunya yang meledak dalam amarah adalah sesuatu yang baru dan menakutkan baginya. Rasa bersalah menghantam Rina, jauh lebih menyakitkan daripada tatapan puas Anindita.
Begitu sampai di rumah, Rina langsung memeluk Lia erat-erat. "Maafkan Mama, ya, Sayang," bisiknya, suaranya bergetar. "Mama lagi tidak enak badan saja."
Lia hanya mengangguk kecil, wajahnya masih pucat.
Benar saja, tak sampai setengah jam kemudian, ponsel Rina berdering. Nama Budi tertera di layar. Namun, Rina tahu ini bukan telepon biasa. Hatinya mencelos. Pasti ada yang sudah melapor.
"Halo," jawab Rina pelan.
"Rina, kamu di mana? Kamu baik-baik saja?" Suara Budi terdengar tegang. "Barusan Bu Siska telepon aku. Katanya kamu teriak-teriak sama Sari di taman bermain? Di depan anak-anak? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Setiap kata adalah sebuah tuduhan. Versi cerita yang sampai ke telinga Budi sudah pasti versi yang telah disaring dan dibumbui oleh Anindita melalui Bu Siska.
"Aku tidak teriak-teriak," bela Rina, suaranya mulai meninggi karena frustrasi. "Dia yang memancingku! Dia menjebakku, Bud! Dia sengaja melakukannya di depan Bu Siska!"
"Menjebakmu? Dengan cara apa?" Suara Budi terdengar semakin lelah, sama sekali tidak percaya. "Rina, dengar. Sari itu hanya mencoba bersikap baik. Semua orang bilang begitu. Hanya kamu yang terus-menerus mencurigainya. Aku malu, Rin. Bu Siska bilang kamu kelihatan histeris."
"Karena memang itu yang dia mau aku terlihat!" seru Rina, air matanya mulai menggenang. "Kenapa kamu tidak bisa percaya padaku?"
"Bagaimana aku bisa percaya kalau ceritamu tidak masuk akal?" balas Budi, nadanya putus asa. "Sudah cukup, Rina. Kita bicarakan ini nanti malam. Tolong, jangan buat keributan lagi."
Telepon ditutup. Rina menatap layar ponselnya dengan nanar. Tembok itu kini semakin tinggi. Anindita tidak hanya berhasil mengisolasinya dari para tetangga, kini ia juga telah membangun dinding tebal di antara Rina dan suaminya sendiri. Budi tidak lagi berada di pihaknya. Ia kini berada di seberang, bersama orang-orang yang menganggap Rina gila.
Tepat saat itu, sebuah notifikasi pesan baru muncul di layarnya. Dari "Sari Kusuma".
"Rina, kamu tidak apa-apa? Aku minta maaf ya kalau tadi ada kata-kataku yang salah. Aku sama sekali tidak bermaksud menyinggung. Aku hanya mencoba membantumu. Tolong jangan marah, ya. Aku benar-benar khawatir sama kamu."
Rina membaca pesan itu dengan tangan gemetar. Sebuah mahakarya manipulasi. Pesan itu penuh dengan kepedulian palsu, permintaan maaf yang tidak tulus, dan posisi sebagai korban. Pesan yang bisa Anindita tunjukkan kepada siapa saja—kepada Budi, kepada seluruh kompleks—sebagai bukti niat baiknya, dan sebagai bukti ketidakstabilan Rina.
Ia telah kalah telak dalam pertempuran hari ini. Anindita tidak hanya berhasil membuatnya terlihat paranoid di depan umum, ia juga berhasil mendapatkan "bukti" tertulis untuk mendukung narasinya. Dinding di sekeliling Rina terasa semakin rapat, menekannya dari segala sisi, membuatnya sulit bernapas.
Bab 24: Bisikan di Balik Punggung
Keesokan harinya, Rina memaksa dirinya keluar rumah. Bersembunyi hanya akan mengonfirmasi narasi Anindita bahwa ia adalah wanita rapuh yang sedang di ambang kehancuran. Dengan dalih membeli beberapa bumbu dapur yang habis, ia berjalan menuju warung kecil di ujung jalan kompleks.
Perubahan itu langsung terasa.
Bu Lastri, yang sedang memilih sayuran, melihat Rina datang. Biasanya, ia akan menyapa dengan senyum lebar. Hari ini, ia hanya mengangguk sekilas, lalu buru-buru memalingkan wajah dan fokus kembali pada tumpukan kangkung di hadapannya. Rina mencoba menyapanya, "Pagi, Bu Lastri," tetapi sapaannya hanya dibalas dengan gumaman pelan yang nyaris tak terdengar.
Dinding itu kini nyata. Dinding tak kasat mata yang dibangun oleh gosip.
Saat berjalan pulang, ia melihat sekelompok ibu-ibu—termasuk Bu Siska—sedang mengobrol di dekat pos satpam. Tawa mereka terdengar dari kejauhan. Namun, begitu mereka menyadari kehadiran Rina, percakapan itu berhenti mendadak. Tawa itu lenyap, digantikan oleh keheningan yang canggung. Mereka semua serentak menemukan sesuatu yang sangat menarik untuk dilihat di ponsel masing-masing atau di ujung jalan.
Rina melewati mereka, merasakan puluhan mata menatap punggungnya. Ia bisa membayangkan apa yang mereka bicarakan. "Itu dia, Rina. Yang kemarin marah-marah di taman. Kasihan ya, sepertinya stres berat."
Ia mempercepat langkahnya, ingin segera sampai di benteng keamanan rumahnya. Namun, saat melewati taman, ia mendengar suara yang membuatnya berhenti. Suara Bu Siska dan Bu RT yang sedang duduk di bangku, tidak menyadari Rina berada di balik rimbunnya tanaman bugenvil.
"...kasihan sekali lho, Bu RT, si Sari itu," kata Bu Siska. "Niatnya kan baik, mau menenangkan Rina. Eh, malah dibentak-bentak di depan anaknya sendiri. Saya lihat sendiri, Rina itu matanya sampai melotot, kelihatan menyeramkan."
"Memang sepertinya sedang banyak masalah dia," sahut Bu RT dengan nada prihatin. "Suaminya kan baru naik jabatan, mungkin tekanannya berat. Tapi ya jangan dilampiaskan ke orang lain. Apalagi ke Sari yang sudah sebaik itu."
"Itulah. Sari sampai kirim pesan minta maaf lho ke Rina, padahal jelas-jelas dia yang jadi korban. Orangnya sabar sekali," tambah Bu Siska.
Rina bersandar di dinding pagar, kakinya terasa lemas. Jadi begitu ceritanya sekarang. Ia adalah si penyerang yang histeris, dan Anindita adalah sang martir yang sabar. Anindita tidak hanya menjebaknya, ia telah berhasil menulis ulang sejarah kejadian itu di benak semua orang. Pesan WhatsApp palsu itu adalah "bukti" kemuliaan hatinya.
Ia tidak lagi merasa marah. Yang tersisa hanyalah rasa dingin yang menusuk. Anindita telah berhasil. Ia telah mengubah seluruh kompleks menjadi pasukannya, dan Rina kini adalah musuh bersama. Ia benar-benar sendirian, terkurung di dalam bentengnya sendiri, sementara di luar, bisikan-bisikan itu terus merayap, meracuni udara, dan memastikan tidak ada satu pun pintu yang terbuka untuknya.
Bab 25: Ruang Tanpa Gema
Rumah itu kini menjadi sebuah ruang hampa. Gema tawa Lia yang sesekali terdengar hanya menonjolkan betapa sunyi dan kosongnya sisa ruangan yang lain. Pertengkaran Rina dengan Budi malam sebelumnya tidak berakhir dengan teriakan, melainkan dengan keheningan yang jauh lebih menyakitkan. Budi tidur di sofa, menciptakan jarak fisik yang menegaskan keretakan di antara mereka.
Pagi harinya, Budi berbicara padanya dengan nada seorang dokter yang sedang menangani pasien sulit.
"Rin, mungkin kamu butuh istirahat," katanya sambil menyeruput kopi, matanya tidak menatap Rina. "Ambil cuti beberapa hari, kita pergi ke puncak. Menjauh dari semua ini."
Rina tahu apa arti "semua ini". Yang Budi maksud bukanlah Anindita. Yang Budi maksud adalah kegilaan Rina. Tawaran itu bukan ajakan liburan, melainkan sebuah saran untuk karantina.
"Aku tidak butuh istirahat, Bud. Aku butuh kamu percaya padaku," jawab Rina pelan.
Budi menghela napas panjang, napas seorang pria yang sudah menyerah. "Aku tidak tahu harus percaya apa lagi, Rin."
Setelah Budi dan Lia pergi, Rina berdiri di depan jendela ruang tamu. Jendela yang sama tempat ia dulu merasakan ancaman pertama dari rumah seberang. Kini, ancaman itu tidak lagi hanya di seberang jalan. Ancaman itu ada di mana-mana. Ia melihat Bu RT menyiram tanaman, Bu Siska menyapu halaman. Mereka bergerak seperti biasa, tetapi bagi Rina, mereka adalah bagian dari pasukan musuh, para penjaga yang memastikan ia tetap terkurung di dalam selnya.
Tiba-tiba, Anindita keluar dari rumahnya. Ia melihat Rina di jendela. Ia tidak tersenyum. Ia hanya menatap Rina dengan tatapan yang dingin dan penuh kemenangan, sebuah tatapan yang seolah berkata, "Lihat? Aku sudah bilang. Kamu sendirian." Lalu, ia berbalik dan masuk kembali ke dalam rumahnya.
Rina mundur dari jendela, punggungnya menabrak dinding yang dingin. Ia akhirnya mengerti. Inilah yang dirasakan Karina Prawiro di hari-hari terakhirnya. Terasing di rumahnya sendiri, dianggap tidak waras oleh suaminya, dijauhi oleh orang-orang yang dulu ia sebut teman. Anindita tidak perlu mendorong korbannya dari tebing. Ia hanya perlu membangun tembok di sekeliling mereka, bata demi bata, hingga mereka tercekik oleh kesunyian dan keputusasaan.
Ia berjalan ke dapur, tangannya bergerak mekanis menyeduh teh. Namun, saat air panas dituangkan, ia tidak merasakan apa-apa. Rasa marah sudah hilang. Rasa takut sudah membeku. Yang tersisa hanyalah kekosongan yang dingin dan luas. Ia telah sampai di dasar jurang.
Di ruang tanpa gema ini, di mana suaranya tidak lagi bisa mencapai siapa pun, sebuah pikiran baru yang berbahaya mulai terbentuk. Jika semua orang sudah menganggapnya gila, jika semua orang sudah memvonisnya sebagai penjahat dalam cerita ini, lalu apa ruginya jika ia benar-benar mulai bertindak seperti itu? Permainan sosial sudah berakhir. Ia sudah kalah. Mungkin, sudah saatnya untuk berhenti bermain sesuai aturan.
Bab 26: Mata di Balik Tirai
Kekosongan di dalam diri Rina tidak bertahan lama. Di dasar jurang keputusasaan itu, ia tidak menemukan akhir, melainkan sebuah awal yang baru. Rasa takut dan amarah yang telah membeku kini mencair dan menyatu menjadi sesuatu yang lain: sebuah ketenangan yang dingin dan setajam silet. Ia tidak lagi peduli jika orang lain menganggapnya gila. Kegilaan, pikirnya, mungkin adalah satu-satunya kewarasan yang tersisa.
Permainan sosial telah berakhir. Kini saatnya berburu.
Pagi itu, ia tidak lagi bersembunyi dari jendela. Sebaliknya, ia menarik sebuah kursi kecil, meletakkannya di sudut ruang tamu yang memberinya pemandangan terbaik ke rumah seberang, sedikit tersembunyi di balik tirai vitras. Di pangkuannya, tergeletak sebuah buku catatan kecil dan pulpen.
Ia mulai menulis. Jam 06:45, mobil suami Anindita keluar dari gerbang. Sebuah sedan hitam, nomor polisinya B 1984 ANZ. Jam 08:15, Anindita keluar rumah, berjalan kaki menuju gerbang kompleks, mungkin ke tukang sayur. Ia mencatat pakaian yang dikenakannya—blus kuning cerah, celana kulot putih. Ceria, normal, tidak mencurigakan.
Rina melakukannya sepanjang hari. Ia mencatat kurir paket yang datang, tukang kebun yang mampir, bahkan berapa lama Anindita menyiram tanamannya. Tindakannya terasa obsesif, gila. Tapi di dalam kegilaan itu, ada sebuah metode. Ia sedang mencari pola, mencari celah, mencari anomali sekecil apa pun dalam fasad sempurna yang dibangun Anindita.
Sore harinya, saat Rina sedang mengamati dari posnya, Anindita tiba-tiba keluar dari rumahnya lagi. Kali ini, ia tidak pergi ke mana-mana. Ia hanya berdiri di terasnya, lalu pandangannya bergerak perlahan, menyapu deretan rumah di seberangnya, sebelum akhirnya berhenti dan terkunci tepat di jendela tempat Rina berada.
Jantung Rina berdebar kencang, tetapi ia tidak bergerak. Ia tahu Anindita tidak bisa melihatnya dengan jelas di balik tirai. Namun, tatapan itu terasa menembus kaca, menembus kain, menusuk langsung ke matanya. Anindita tahu ia sedang diawasi.
Beberapa menit kemudian, bel pintu rumah Rina berbunyi.
Dengan langkah yang dipaksakan tenang, Rina membuka pintu. Anindita berdiri di sana, membawa sepiring puding cokelat. Senyumnya kembali terpasang, tetapi matanya tidak tersenyum. Matanya dingin dan penuh perhitungan.
"Rin, ini ada sedikit puding untuk Lia," katanya, suaranya terdengar manis seperti biasa.
"Terima kasih," jawab Rina, menerima piring itu.
Anindita tidak langsung pergi. Ia melongok sedikit ke dalam rumah Rina. "Rumahmu sepi sekali, ya. Kamu sendirian?"
"Iya," jawab Rina singkat.
"Hati-hati lho sendirian di rumah," lanjut Anindita, nadanya berubah menjadi lebih pelan, lebih personal. "Kompleks kita ini kelihatannya saja aman. Tapi kita tidak pernah tahu niat orang. Terlalu ingin tahu urusan orang lain itu kadang bisa berbahaya. Bisa salah paham, bisa juga... mengundang masalah."
Itu dia. Sebuah ancaman yang dibungkus dalam nasihat. Sebuah peringatan yang jelas bahwa permainannya telah diketahui.
Rina menatap lurus ke mata Anindita. Untuk pertama kalinya, ia tidak memalingkan muka. Ia balas menatap dengan ketenangan dingin yang sama. "Terima kasih sudah mengingatkan, Sar. Aku akan lebih berhati-hati," jawabnya, memberikan penekanan pada kata "hati-hati".
Anindita tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak mencapai matanya, lalu berbalik dan pergi. Rina menutup pintu, punggungnya bersandar di sana. Puding di tangannya terasa dingin. Perang sunyi di antara mereka baru saja memasuki babak baru. Anindita tahu ia sedang diburu. Dan Rina tahu, sang mangsa kini telah berbalik dan menunjukkan taringnya.
Bab 27: Langkah Berbahaya
Rina menatap piring berisi puding cokelat itu seolah benda itu adalah seekor ular berbisa. Lia tidak akan pernah menyentuhnya. Dengan gerakan cepat dan tegas, ia membuang seluruh isi piring itu ke tempat sampah dan mencucinya hingga bersih. Itu adalah deklarasi perang pertamanya yang tak bersuara. Ia tidak akan lagi menelan racun yang disodorkan kepadanya, baik secara harfiah maupun kiasan.
Ancaman Anindita membuat Rina sadar bahwa mengamati dari balik tirai tidak lagi cukup. Ia kini sedang berhadapan dengan lawan yang waspada. Ia harus mengubah taktiknya.
Selama dua hari, Rina berpura-pura kembali ke rutinitas normalnya. Ia tidak lagi duduk mengintai di dekat jendela. Ia sengaja membiarkan tirainya terbuka lebar, menunjukkan pada musuhnya bahwa ia tidak lagi bersembunyi. Namun, di dalam kepalanya, radarnya bekerja lebih keras dari sebelumnya, menganalisis setiap data yang telah ia kumpulkan di buku catatannya.
Anomali itu muncul di hari ketiga. Pukul sebelas siang, waktu yang biasanya dihabiskan Anindita untuk memasak atau bersantai, sedan hitam suaminya justru kembali ke rumah. Anindita keluar dengan tergesa-gesa, mengenakan blazer formal dan celana kain—pakaian yang sama sekali berbeda dari gaya "ibu kompleks"-nya yang biasa. Ia masuk ke mobil dan pergi.
Insting Rina berteriak. Ini bukan kunjungan ke supermarket. Ini bukan arisan. Ini adalah sesuatu yang lain.
Tanpa berpikir dua kali, Rina menyambar kunci mobilnya, dompet, dan ponsel. Ia tidak punya rencana. Yang ia miliki hanyalah sebuah keharusan yang membara untuk mengikuti jejak itu. Ia menunggu sedan hitam itu berbelok di ujung jalan sebelum menyalakan mesin mobilnya dan melaju pelan, menjaga jarak aman beberapa mobil di belakang.
Jantungnya berdebar begitu kencang hingga terasa sakit. Ini gila. Ini nekat. Ia adalah seorang ibu rumah tangga, bukan mata-mata. Setiap kali mobil di depannya mengerem, ia panik, takut Anindita akan melihatnya di kaca spion.
Sedan hitam itu tidak menuju ke pusat kota atau mal. Mobil itu justru berbelok ke sebuah area ruko yang lebih sepi, lalu berhenti di depan sebuah kafe kecil yang tampak sederhana dan tidak menarik perhatian. Anindita turun dari mobil dan masuk ke dalam.
Rina memarkir mobilnya di seberang jalan, di posisi yang agak tersembunyi di balik sebuah pohon rindang. Dari sana, ia bisa melihat ke dalam kafe melalui jendela kaca yang besar. Anindita memilih meja di sudut yang paling dalam. Ia tidak memesan apa-apa. Ia hanya duduk dan menunggu.
Lima menit kemudian, seorang pria bergabung dengannya. Pria itu berusia sekitar lima puluhan, berpenampilan rapi dengan kemeja mahal dan jam tangan berkilau. Wajahnya keras dan tatapannya tajam. Rina langsung tahu: ini bukan pertemuan teman.
Ia tidak bisa mendengar percakapan mereka, tetapi bahasa tubuh mereka sudah cukup menjelaskan. Anindita tampak tegang, memberikan laporan. Pria itu mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk atau menggelengkan kepala. Tidak ada senyum, tidak ada basa-basi. Ini adalah pertemuan bisnis yang dingin.
Di puncak pertemuan itu, pria tersebut mendorong sebuah amplop cokelat tebal ke seberang meja. Anindita mengambilnya dengan cepat dan memasukkannya ke dalam tas tangannya.
Rina mengangkat ponselnya, mencoba mengambil foto dari kejauhan. Ia harus mendapatkan wajah pria itu. Saat ia sedang menyesuaikan fokus kameranya, seorang juru parkir mengetuk kaca mobilnya dengan keras, membuatnya terlonjak kaget.
"Mau parkir, Bu?"
"Oh, tidak, Pak. Saya hanya menunggu," jawab Rina panik.
Gangguan sepersekian detik itu sudah cukup. Saat Rina melihat kembali ke arah kafe, pria itu sudah tidak ada. Anindita bangkit dari kursinya dan berjalan keluar.
Rina merunduk di balik kemudi, hatinya mencelos. Ia gagal mendapatkan bukti foto. Namun, ia mendapatkan sesuatu yang lebih penting. Sebuah konfirmasi visual. Anindita tidak bekerja sendirian. Ia punya atasan, seorang pengendali yang memberinya perintah dan bayaran.
Saat mengemudikan mobilnya pulang, tangan Rina masih gemetar. Perburuannya telah membawanya keluar dari sarangnya, ke dunia nyata yang penuh bahaya. Dan di dunia itu, ia baru saja melihat sekilas wajah sang dalang di balik layar.
Bab 28: Mengurai Benang Kusut
Perjalanan pulang terasa seperti mimpi buruk. Rina mengemudi dengan tangan yang masih gemetar, setiap suara klakson di jalanan membuatnya terlonjak. Rumahnya yang dulu terasa seperti penjara, kini menyambutnya laksana benteng perlindungan. Begitu pintu tertutup di belakangnya, kakinya terasa lemas. Ia bersandar di daun pintu, mengatur napasnya yang tersengal, adrenalin dari pengejaran itu perlahan surut, digantikan oleh rasa dingin yang menusuk.
Ia tidak gagal total. Gagal mendapatkan foto memang sebuah pukulan, tetapi apa yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri jauh lebih berharga. Anindita adalah seorang pion, seorang prajurit yang menerima perintah. Dan di suatu tempat di luar sana, ada seorang jenderal yang menggerakkan bidak-bidaknya.
Malam itu, setelah Lia dan Budi tertidur, Rina kembali ke pos komandonya di meja makan. Di bawah cahaya lampu yang redup, ia membuka buku catatan kecilnya. Ia menuliskan semua yang ia ingat: kafe kecil yang tidak mencolok, pria paruh baya dengan jam tangan mahal, wajahnya yang keras, dan yang terpenting, amplop cokelat tebal itu. Lalu, ia menuliskan kombinasi angka dan huruf yang telah ia paksa untuk dihafal.
B 1984 ANZ.
Ia menatap nomor polisi itu. Sebuah jejak konkret. Sebuah identitas yang tersembunyi di balik plat logam.
Dengan harapan tipis, ia mengetikkan nomor itu di mesin pencari. Hasilnya seperti yang ia duga: forum jual-beli mobil bekas, situs pengecekan pajak kendaraan yang membutuhkan data pemilik, dan artikel-artikel tidak relevan. Dinding privasi digital terlalu tinggi untuk ditembus oleh seorang ibu rumah tangga dengan koneksi internet rumahan.
Rasa frustrasi mulai menggerogotinya. Ia punya petunjuk, tetapi tidak tahu bagaimana cara membukanya. Ia menatap kosong ke layar laptop, pikirannya buntu. Lalu, sebuah ide terlintas. Jika ia tidak bisa melacak sang jenderal melalui mobilnya, mungkin ia bisa menemukannya dengan cara lain.
Ia membuka situs web resmi perusahaan tempat Budi bekerja. Ia mengklik bagian "Tentang Kami", lalu "Struktur Manajemen". Deretan foto wajah-wajah tersenyum dan nama-nama dengan jabatan mentereng muncul di layar. Direktur Utama, dewan komisaris, para manajer senior. Rina meneliti setiap wajah dengan saksama, membandingkannya dengan ingatan samar tentang pria di kafe.
Tidak ada yang cocok. Pria di kafe itu memiliki aura kekuasaan yang berbeda, lebih dingin dan lebih tersembunyi. Ia tidak terlihat seperti tipe orang yang mau wajahnya dipajang di situs web perusahaan.
Rina hampir menyerah saat matanya menangkap sebuah nama di daftar dewan komisaris: Haryo Wibisono. Bukan wajahnya yang menarik perhatian Rina, melainkan afiliasinya. Di bawah namanya, tertulis jabatannya di perusahaan lain: CEO Wibisono Group, sebuah konglomerat raksasa yang merupakan pesaing utama perusahaan Budi.
Mengapa ada pesaing yang duduk di dewan komisaris? Rina membaca lebih teliti. Wibisono Group memiliki sebagian kecil saham di perusahaan Budi, sisa dari upaya akuisisi yang gagal beberapa tahun lalu. Kehadiran Haryo Wibisono di sana adalah sebuah formalitas, sebuah duri dalam daging.
Rina mengetik nama "Haryo Wibisono" di mesin pencari. Puluhan foto muncul. Bukan dia. Haryo Wibisono adalah pria tua yang sudah rapuh. Tapi saat Rina menggulir lebih jauh, ia menemukan sebuah artikel berita tentang restrukturisasi di Wibisono Group. Artikel itu menampilkan foto Haryo Wibisono bersama tangan kanannya, seorang pria yang jarang terekspos media, yang bertanggung jawab atas "operasi-operasi khusus" perusahaan.
Nama pria itu Prakoso. Tidak ada nama keluarga, hanya satu kata. Fotonya sedikit buram, tetapi Rina tidak butuh gambar yang jelas. Ia langsung mengenalinya. Wajah yang keras. Tatapan yang tajam. Itu adalah pria yang duduk di seberang meja Anindita.
Rina menyandarkan punggungnya di kursi, napasnya tercekat. Benang kusut itu mulai terurai. Ini bukan lagi tentang persaingan internal di kantor Budi. Ini jauh lebih besar. Ini adalah perang antar perusahaan. Dan Budi, dengan promosinya, entah bagaimana telah masuk ke dalam garis bidik Wibisono Group. Anindita bukanlah pion sembarangan. Ia adalah senjata rahasia yang dikirim oleh pesaing paling berbahaya.
Bab 29: Medan Perang yang Meluas
Layar laptop itu bersinar terang di ruang makan yang gelap, memantulkan nama "Prakoso" dan "Wibisono Group" di mata Rina yang terbelalak. Ruangan itu terasa berputar. Tanah di bawah kakinya seolah runtuh, menjatuhkannya ke dalam jurang konspirasi yang jauh lebih dalam dan lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Ini bukan lagi tentang tetangga jahat. Ini bukan lagi tentang balas dendam pribadi atau persaingan kantor yang picik. Ini adalah spionase korporat. Perang antara dua raksasa, dan keluarganya—kebahagiaannya, kewarasannya, karier suaminya—hanyalah sebuah medan pertempuran kecil yang tidak signifikan, sebuah collateral damage yang bisa diterima.
Rasa dingin yang menusuk menjalari tulang punggungnya. Selama ini ia berpikir lawannya adalah Anindita. Ia salah. Anindita hanyalah senjata. Lawan yang sesungguhnya adalah Prakoso, seorang jenderal tak berwajah yang mengendalikan perang dari menara gadingnya, mengorbankan nyawa dan keluarga orang lain demi keuntungan perusahaan.
Pikiran pertamanya adalah berlari ke kamar dan membangunkan Budi. Menunjukkan padanya semua ini—nama Prakoso, koneksi Wibisono Group, foto Anindita. Tapi secepat kilat, ia membayangkan reaksi suaminya. Budi, yang sudah menganggapnya paranoid, akan melihat ini sebagai puncak kegilaannya. Sebuah cerita liar tentang konspirasi tingkat tinggi yang terdengar seperti skenario film thriller murahan.
"Rin, sudah cukup. Kamu butuh bantuan profesional." Ia bisa mendengar suara Budi yang lelah dan putus asa di kepalanya.
Tidak. Ia tidak bisa memberitahu Budi. Belum. Mendatangi Budi dengan cerita ini tanpa bukti yang tak terbantahkan akan menjadi bunuh diri. Itu akan menjadi kemenangan terakhir bagi Anindita. Ia akan benar-benar dianggap gila, mungkin akan dipaksa "beristirahat" di suatu tempat, sementara Anindita dengan leluasa menyelesaikan misinya.
Ia sendirian dalam perang ini. Benar-benar sendirian.
Tangannya yang gemetar meraih ponsel. Hanya ada satu orang di dunia ini yang mungkin akan memercayainya. Satu-satunya sekutu yang ia miliki. Dengan tergesa-gesa, ia mengetik pesan untuk Retno Wulandari.
"Bu Retno, saya menemukan sesuatu yang jauh lebih besar. Ini bukan hanya Anindita. Saya menemukan dalangnya. Namanya Prakoso, dari Wibisono Group. Apakah nama ini familier bagi Ibu?"
Sambil menunggu balasan, Rina kembali menatap buku catatannya. Nomor polisi mobil itu. Amplop cokelat tebal. Pertemuan rahasia. Semua itu adalah potongan-potongan puzzle, tetapi ia masih kekurangan satu kepingan kunci: bukti fisik yang menghubungkan Anindita dengan Prakoso. Sesuatu yang nyata. Sesuatu yang tidak bisa Budi bantah.
Balasan dari Retno datang lima menit kemudian, singkat dan mengerikan.
"Jauhi nama itu. Dia berbahaya. Dia adalah orang yang sama yang dulu kami curigai berada di balik kehancuran Danu, tapi kami tidak pernah bisa membuktikannya. Hati-hati, Bu Rina. Anda sedang bermain dengan api."
Peringatan itu tidak membuat Rina takut. Sebaliknya, itu menegaskan segalanya. Ia berada di jalur yang benar. Dan jika ia sedang bermain dengan api, maka ia harus memastikan bukan dirinya yang terbakar.
Rina mematikan laptopnya. Ia berjalan ke jendela ruang tamu, menatap rumah Anindita yang gelap dan sunyi. Ia tidak lagi melihatnya sebagai sarang ular. Ia kini melihatnya sebagai markas musuh. Dan di dalam markas itu, pasti ada bukti yang ia butuhkan. Sebuah dokumen, sebuah ponsel, sebuah catatan. Sesuatu.
Pikiran itu gila, nekat, dan sangat berbahaya. Tapi di titik ini, ia tidak punya pilihan lain. Jika ia tidak bisa memenangkan perang ini dengan cara yang benar, maka ia harus membawanya langsung ke wilayah musuh.
Bab 30: Sarang Musuh
Pikiran untuk menyusup ke rumah Anindita terasa seperti bara api di benak Rina. Itu adalah ide gila yang menakutkan, tetapi bara itu tidak padam. Sebaliknya, setiap tatapan dingin dari Anindita, setiap keheningan canggung dari Budi, setiap bisikan dari para tetangga, seolah menjadi bahan bakar yang membuatnya menyala semakin besar. Ketakutan itu masih ada, tetapi kini ia telah belajar untuk berjalan beriringan dengannya.
Selama dua hari berikutnya, Rina kembali menjadi mata-mata. Namun, kali ini tujuannya berbeda. Ia tidak lagi hanya mencatat. Ia mencari sebuah celah, sebuah jendela waktu yang sempit di mana sarang musuh itu ditinggalkan tanpa penjagaan.
Ia menemukan polanya. Setiap hari Selasa dan Jumat, tepat pukul sepuluh pagi, Anindita pergi. Ia mengenakan pakaian olahraga, membawa tas jinjing kecil, dan tidak kembali selama hampir dua jam. Kelas yoga, atau mungkin senam. Apapun itu, itulah jendela waktu yang Rina butuhkan.
Jumat pagi, jantung Rina berdebar begitu kencang hingga terasa sakit di dadanya. Ia mengantar Lia ke sekolah dengan senyum yang terasa kaku di bibirnya. Ia melambaikan tangan pada Budi saat suaminya berangkat kerja, merasakan gelombang rasa bersalah yang menusuk. Mereka tidak tahu bahwa istri dan ibu mereka akan segera melakukan tindakan kriminal.
Tepat pukul 10:05, mobil Anindita keluar dari gerbang. Rina mengawasinya dari balik tirai hingga mobil itu hilang di tikungan jalan. Sekarang. Atau tidak sama sekali.
Ia mengenakan sarung tangan karet tipis yang biasa ia gunakan untuk mencuci piring. Ia menyambar satu set obeng kecil dari kotak peralatan Budi, meskipun ia tidak yakin bisa menggunakannya. Dengan langkah yang terasa berat seolah berjalan di dalam air, ia keluar dari rumahnya, berjalan santai menyeberangi jalan yang sepi, dan berhenti di depan pintu rumah Anindita.
Ia berpura-pura merogoh tasnya, seolah mencari kunci, sambil mengamati sekeliling. Sepi. Tidak ada siapa-siapa. Ia teringat pernah melihat Anindita kesulitan mengunci jendela dapur beberapa waktu lalu. Dengan jantung di tenggorokan, ia berjalan ke samping rumah, ke area yang sedikit tersembunyi oleh tanaman hias.
Benar saja. Jendela dapur itu tidak terkunci rapat. Dengan sedikit tenaga dan bantuan ujung obeng, jendela itu bergeser terbuka dengan suara decitan pelan yang terdengar seperti teriakan di telinga Rina. Ia menahan napas, menunggu, tetapi tidak ada alarm yang berbunyi.
Dengan gerakan cepat, ia memanjat masuk, mendarat di lantai dapur yang dingin dan berkilau. Ia berhasil. Ia berada di dalam sarang musuh.
Udara di dalam rumah terasa dingin dan steril. Semuanya tertata sempurna, terlalu sempurna, seolah tidak berpenghuni. Tidak ada foto keluarga, tidak ada tumpukan majalah, tidak ada jejak kehidupan yang berantakan. Ini bukan rumah. Ini adalah sebuah panggung.
Rina tidak punya banyak waktu. Ia langsung menuju ruangan yang ia duga adalah ruang kerja. Sebuah laptop tergeletak di atas meja dalam keadaan tertutup. Di sampingnya, ada beberapa laci. Rina menarik laci pertama. Kosong. Laci kedua. Hanya ada beberapa alat tulis. Laci ketiga terkunci.
Bingo.
Ia mencoba mencongkelnya dengan obeng, tetapi usahanya sia-sia. Laci itu terkunci rapat. Waktu terus berjalan. Rasa panik mulai menjalari dirinya. Ia beralih ke laptop. Ia membukanya. Layar itu menyala, meminta kata sandi. Jalan buntu lagi.
Saat ia hendak menyerah dan keluar dari sana, matanya menangkap sesuatu di bawah meja. Sebuah kotak sepatu sederhana, terselip di sudut yang paling gelap. Dengan tangan gemetar, ia menarik kotak itu keluar. Isinya bukan sepatu. Di dalamnya, tergeletak sebuah ponsel lama, beberapa bundel surat yang diikat dengan karet, dan sebuah buku harian bersampul kulit hitam.
Jantung Rina serasa berhenti berdetak. Ia telah menemukannya. Harta karun berisi rahasia.
Ia baru saja hendak membuka buku harian itu ketika sebuah suara yang familier terdengar dari luar. Suara mesin mobil yang dimatikan. Diikuti oleh bunyi klik dari kunci yang dimasukkan ke lubang pintu depan.
Anindita pulang lebih awal.
Bab 31: Detak Jantung di Sarang Musuh
Suara kunci yang diputar di lubang pintu depan terdengar seperti letusan pistol di telinga Rina. Waktu seolah berhenti. Seluruh tubuhnya membeku, darahnya serasa surut dari wajahnya. Kotak sepatu di tangannya tiba-tiba terasa seberat batu nisan.
Panik. Murni, panik yang melumpuhkan. Otaknya kosong, tidak bisa memerintahkan kakinya untuk bergerak. Ia terjebak.
Pintu depan terbuka. Suara langkah kaki Anindita yang familier—ringan namun tegas—terdengar di lantai ubin. Rina tersentak dari kelumpuhannya. Jendela dapur terlalu jauh, terlalu berisiko. Hanya ada satu pilihan. Dengan gerakan cepat dan tanpa suara, ia menyelipkan tubuhnya ke bawah meja kerja yang kokoh, menarik lututnya hingga ke dada, dan menahan napas. Kotak sepatu itu ia dekap erat-erat di dadanya.
Dari celah sempit antara lantai dan tepi bawah meja, ia melihat sepasang sepatu kets putih berhenti di ruang tengah. Anindita meletakkan tasnya di sofa dengan suara dentuman pelan. Hening sejenak. Rina bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdebar liar di telinganya.
Lalu, langkah kaki itu bergerak lagi. Mendekat. Menuju ruang kerja.
Rina memejamkan mata, berdoa pada kekuatan apa pun yang mau mendengarkan. Sepatu kets putih itu kini berada di ambang pintu ruang kerja. Berhenti. Rina yakin Anindita bisa mendengar napasnya yang tertahan, bisa merasakan kehadirannya.
Kaki itu melangkah masuk. Berjalan ke arah meja. Berhenti tepat di depan tempat persembunyiannya. Rina bisa melihat ujung sepatunya, hanya beberapa sentimeter dari wajahnya. Ia bisa mencium aroma samar parfum melati yang selalu Anindita kenakan.
Tangan Anindita terulur, menarik laci ketiga yang terkunci. Terdengar suara klik pelan saat ia membukanya dengan kunci kecil, lalu menutupnya lagi. Ia sedang memeriksa sesuatu. Sesuatu yang tidak Rina temukan.
Tiba-tiba, ponsel Anindita berdering. Suaranya yang nyaring membuat Rina nyaris melompat. Dari bawah meja, Rina mendengar Anindita menjawab panggilan itu.
"Halo, Pak," sapanya, suaranya terdengar formal dan tegang. Itu pasti suara untuk Prakoso. "Iya... Belum ada perkembangan signifikan. Target masih dalam fase observasi... Iya, saya mengerti tenggat waktunya. Saya akan percepat."
Anindita berjalan mondar-mandir sambil berbicara di telepon, kakinya sesekali melintas di depan tempat persembunyian Rina. Setiap langkahnya adalah sebuah siksaan.
"Baik, Pak. Laporan lengkap akan saya kirim malam ini."
Panggilan itu berakhir. Anindita menghela napas panjang, sebuah helaan napas yang tidak pernah ia tunjukkan di depan umum. Lalu, langkah kakinya menjauh, menuju dapur. Terdengar suara pintu kulkas dibuka.
Inilah kesempatannya. Satu-satunya.
Dengan gerakan yang terasa begitu lambat dan berat, Rina merayap keluar dari bawah meja. Ia tidak berani berdiri. Sambil merangkak, ia bergerak secepat mungkin melintasi ruang kerja, menuju dapur. Ia bisa melihat punggung Anindita yang sedang mengambil sebotol air mineral.
Ia sampai di jendela. Dengan tangan gemetar, ia mendorongnya lebih lebar. Suara decitannya kali ini terdengar seperti alarm kebakaran. Anindita berbalik.
Mata mereka bertemu.
Untuk sepersekian detik yang terasa abadi, dunia membeku. Wajah Anindita yang tenang berubah menjadi topeng keterkejutan, yang dengan cepat melebur menjadi amarah murni yang tak terselubung.
Rina tidak menunggu. Ia memanjat keluar dengan panik, kakinya tersangkut sejenak, membuat sebuah vas kecil di dekat jendela jatuh dan pecah berkeping-keping di lantai. Ia tidak peduli. Ia mendarat di rerumputan dengan kasar, kotak sepatu masih terdekap erat.
Ia berlari. Berlari secepat yang pernah ia lakukan seumur hidupnya, melintasi jalanan aspal yang memisahkan neraka dan rumahnya. Ia tidak menoleh ke belakang. Ia bisa merasakan tatapan Anindita yang membakar punggungnya.
Dengan napas yang membakar paru-parunya, ia mencapai pintu rumahnya, membukanya dengan kasar, dan membantingnya hingga tertutup. Ia mengunci semua slot yang ada. Punggungnya bersandar di pintu, tubuhnya melorot ke lantai. Ia terengah-engah, gemetar hebat, memeluk kotak sepatu itu seolah benda itu adalah satu-satunya pelampung di tengah lautan badai. Ia selamat. Tapi ia telah dilihat. Perang sunyi ini telah berakhir. Perang terbuka baru saja dimulai.
Bab 32: Suara dari Kotak Pandora
Rina tidak tahu berapa lama ia duduk meringkuk di balik pintu, gemetar hebat sambil memeluk kotak sepatu itu. Setiap suara dari luar—deru motor, gonggongan anjing—membuatnya terlonjak, mengira Anindita akan mendobrak masuk. Tapi tidak ada yang terjadi. Keheningan yang mencekam menyelimuti rumahnya, seolah dunia luar menahan napas, menunggu langkah selanjutnya dalam perang ini.
Perlahan, adrenalin yang membakar nadinya surut, meninggalkan rasa lelah yang luar biasa dan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Ia harus bergerak. Ia harus melihat isi kotak ini sebelum Budi dan Lia pulang.
Dengan sisa-sisa tenaga, Rina bangkit dan berlari ke kamarnya, mengunci pintu dari dalam. Ia duduk di lantai, menyandarkan punggungnya di ranjang, dan meletakkan kotak itu di pangkuannya. Kotak Pandora-nya. Apapun isinya, ia tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah membukanya.
Tangannya gemetar saat mengangkat tutup kotak. Di dalamnya, seperti yang ia lihat sekilas, ada sebuah buku harian bersampul kulit hitam yang sudah usang, beberapa bundel surat yang diikat karet gelang, dan sebuah ponsel model lama yang tampak sudah mati.
Rina mengabaikan surat dan ponsel itu. Instingnya langsung tertuju pada buku harian. Sampulnya terasa dingin dan rapuh di tangannya. Dengan napas tertahan, ia membukanya. Halaman pertama berisi sebuah nama, ditulis dengan tulisan tangan yang rapi namun penuh tekanan.
Anindita Prameswari.
Ia membalik halaman. Tulisan-tulisan itu padat, emosional, dan penuh dengan rasa sakit. Ini bukan catatan kegiatan sehari-hari. Ini adalah tumpahan jiwa yang terluka. Rina membaca secara acak, melompat dari satu entri ke entri lain, mencoba memahami.
"...mereka tertawa. Aku melihat mereka tertawa dari jendela. Ayah dipuji semua orang di kantornya. Ibu dicintai semua tetangga. Keluarga kami adalah potret sempurna. Tapi di balik pintu tertutup, aku melihat Ayah menangis karena tekanan. Aku mendengar Ibu mengeluh karena harus selalu menjaga citra. Kebahagiaan itu adalah sebuah topeng yang berat. Sebuah kebohongan..."
Rina terus membaca, sebuah cerita kelam mulai terbentuk. Anindita adalah putri dari keluarga yang tampak sempurna, keluarga yang selalu menjadi panutan. Namun, di balik fasad itu, ada keretakan yang dalam. Ayahnya, seorang pria ambisius, akhirnya hancur karena fitnah dari saingannya di kantor—persis seperti Danu Prawiro. Keluarganya kehilangan segalanya: harta, kehormatan, dan kebahagiaan palsu mereka.
Lalu, Rina menemukan entri yang membuatnya berhenti bernapas. Entri itu ditulis beberapa tahun setelah kehancuran keluarganya.
"Aku melihatnya lagi hari ini. Keluarga Prawiro. Mereka adalah cerminan dari kami yang dulu. Suami yang sukses, istri yang dikagumi, rumah yang indah. Mereka memamerkan kebahagiaan mereka seolah itu adalah piala. Mereka tidak tahu. Kebahagiaan itu rapuh. Kebahagiaan itu adalah sumber penderitaan. Seseorang harus menunjukkan pada mereka kebenaran itu. Seseorang harus membebaskan mereka dari ilusi itu, sebelum ilusi itu menghancurkan mereka dari dalam, seperti yang terjadi pada Ayah."
Rina menutup buku harian itu dengan kasar, tangannya gemetar hebat. Ia akhirnya mengerti. Ini bukan tentang iri hati. Ini bukan tentang ambisi. Di dalam pikiran Anindita yang bengkok, ia bukanlah seorang perusak. Ia adalah seorang penyelamat. Ia percaya bahwa kebahagiaan adalah sebuah penyakit, sebuah ilusi berbahaya yang pada akhirnya akan membawa kehancuran. Dan misinya adalah "menyembuhkan" orang lain dengan cara menghancurkan kebahagiaan mereka terlebih dahulu.
Ia tidak sedang membalas dendam pada dunia. Ia sedang mencoba menyelamatkan dunia dari penyakit yang telah membunuh keluarganya. Dan Rina, dengan keluarganya yang harmonis, adalah pasien berikutnya yang harus ia "sembuhkan".
Bab 33: Surat-Surat Beracun
Pemahaman tentang motif Anindita tidak membuat Rina merasa lebih baik. Justru sebaliknya. Jauh lebih mudah melawan monster yang didorong oleh keserakahan atau iri hati. Melawan seseorang yang percaya bahwa dirinya adalah seorang penyelamat, seorang martir yang sedang menjalankan misi suci, adalah hal yang jauh lebih menakutkan. Tidak ada logika yang bisa menembus keyakinan fanatik seperti itu.
Rina meletakkan buku harian itu di sampingnya. Buku itu adalah bukti kewarasan Anindita yang terganggu, sebuah jendela ke dalam jiwanya yang bengkok. Tapi itu bukan bukti kejahatannya. Budi, atau bahkan polisi, akan melihatnya sebagai tulisan seorang wanita yang depresi, bukan pengakuan seorang konspirator. Ia butuh sesuatu yang lebih. Sesuatu yang konkret.
Pandangannya beralih ke sisa isi kotak: ponsel tua dan beberapa bundel surat yang diikat dengan karet gelang yang sudah rapuh. Ia mengambil tumpukan surat itu. Kertasnya terasa tipis dan sedikit menguning karena usia. Tidak ada amplop, hanya lembaran-lembaran surat yang dilipat rapi.
Ia membuka bundel pertama. Surat-surat itu tidak memiliki kop surat resmi, hanya sebaris alamat kotak pos di bagian atas. Semuanya ditujukan kepada "A" dan ditandatangani dengan inisial tunggal yang ditulis dengan tinta hitam tebal: P.
Jantung Rina berdebar kencang. Ia mulai membaca. Bahasanya dingin, profesional, dan penuh dengan istilah-istilah yang disamarkan.
"Perkembangan proyek Prawiro berjalan sesuai rencana. Terus bangun kepercayaan subjek K. Laporkan setiap kerentanan yang bisa dieksploitasi."
"Aset D menunjukkan tanda-tanda stres. Bagus. Terus tingkatkan tekanan dari sisi domestik. Kita perlu dia kehilangan fokus sebelum rapat pemegang saham."
"Pekerjaanmu di proyek Prawiro selesai. Kompensasi akan dikirimkan sesuai kesepakatan. Hilangkan semua jejak dan tunggu instruksi selanjutnya."
Rina membaca surat-surat itu satu per satu, rasa mual menjalari perutnya. Ini adalah perintah-perintah perang. Laporan intelijen. Dan Karina serta Danu Prawiro hanyalah "subjek" dan "aset" yang harus dinetralkan. Anindita menyimpan semuanya. Mungkin sebagai trofi, atau mungkin sebagai polis asuransi.
Lalu, Rina membuka bundel kedua. Surat-surat ini lebih baru. Kertasnya masih putih bersih. Surat pertama tertanggal tiga bulan yang lalu, sekitar waktu Anindita pindah ke kompleks ini.
"Proyek Haryanto dimulai. Target B telah mendapatkan promosi, sebuah komplikasi yang tidak terduga namun bisa kita manfaatkan. Fokus utama, seperti biasa, adalah subjek R. Hancurkan stabilitas domestiknya, maka fokus profesional target akan runtuh dengan sendirinya. Gunakan metode yang sama. Metode itu sudah terbukti efektif."
Napas Rina tercekat. Di sana, di atas kertas itu, tertulis dengan jelas takdir yang telah direncanakan untuknya. Ia, Rina, adalah "subjek R". Budi adalah "target B". Dan kebahagiaan mereka adalah sebuah benteng yang harus dihancurkan.
Ia tidak lagi gemetar karena takut. Ia tidak lagi merasa mual. Yang tersisa hanyalah amarah yang dingin dan membeku. Ia melipat kembali surat itu dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam saku dasternya. Buku harian itu adalah cerita tentang mengapa Anindita menjadi monster. Tapi surat ini adalah bukti tak terbantahkan tentang bagaimana monster itu bekerja, dan siapa yang memegang tali kendalinya.
Ia tidak lagi terpojok. Ia tidak lagi sendirian. Di tangannya, ia kini memegang senjata pemusnah massal. Senjata yang tidak hanya bisa menghancurkan Anindita, tetapi juga jenderalnya, Prakoso. Pertanyaannya sekarang bukan lagi bagaimana cara bertahan, melainkan bagaimana cara menyerang balik.
Bab 34: Gema dari Ponsel Mati
Amarah yang membeku di dalam diri Rina memberinya kejernihan yang menakutkan. Ia tidak punya waktu untuk panik. Ia adalah seorang prajurit di wilayah musuh, dan ia baru saja merebut peta dan kode rahasia mereka. Langkah pertama adalah mengamankan aset itu.
Dengan gerakan cepat dan metodis, ia mengeluarkan ponselnya dan memotret setiap halaman dari surat-surat Prakoso, memastikan setiap kata tertangkap dengan jelas. Gambar-gambar itu langsung ia unggah ke sebuah folder pribadi di layanan penyimpanan cloud, sebuah benteng digital yang tidak bisa Anindita sentuh. Kemudian, ia memasukkan kembali surat-surat dan buku harian itu ke dalam kotak sepatu.
Ia butuh tempat persembunyian. Bukan di lemari, bukan di bawah ranjang. Terlalu biasa. Pikirannya berlari kencang, memindai setiap sudut rumahnya. Lalu ia menemukannya. Di dalam kamar Lia, ada sebuah rumah boneka besar yang sudah jarang dimainkan. Di bagian atapnya yang bisa dilepas, ada sebuah kompartemen kosong. Dengan hati-hati, ia menyelipkan kotak sepatu itu ke dalamnya, lalu memasang kembali atapnya. Aman. Tidak ada yang akan mencarinya di sana.
Kini, tersisa satu artefak terakhir: ponsel tua itu. Sebuah Nokia model lama yang terasa seperti relik dari zaman lain. Baterainya sudah mati total. Rina membawanya ke ruang kerja Budi, membuka laci yang ia sebut "kuburan kabel", tempat semua pengisi daya tua berakhir. Setelah beberapa menit mengurai benang kusut, ia menemukannya. Sebuah pengisi daya dengan ujung yang cocok.
Ia mencolokkannya ke stopkontak. Hening. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Rina hampir menyerah, mengira baterainya sudah mati permanen. Namun, setelah satu menit yang terasa begitu lama, layar kecil itu berkedip, menampilkan logo Nokia yang ikonik sebelum akhirnya menunjukkan bar pengisian baterai. Ponsel itu hidup kembali.
Dengan jantung berdebar, Rina menyalakannya. Tidak ada kata sandi. Anindita, dalam arogansinya, menganggap ponsel ini sudah mati dan terkubur selamanya. Rina langsung membuka kotak masuk pesan. Isinya adalah sebuah tambang emas kengerian.
Percakapan dengan kontak yang hanya disimpan sebagai "P" jauh lebih eksplisit daripada surat-surat itu.
P: Bagaimana kondisi subjek K? Apakah dia sudah menunjukkan tanda-tanda paranoia? A: Sudah. Dia mulai mencurigai suaminya sendiri. Sangat mudah dipengaruhi. Fondasinya rapuh.
P: Bagus. Terus berikan tekanan. Rapat pemegang saham sebentar lagi. A: Siap. Aset D akan lumpuh total sebelum hari itu tiba.
Rina menggulir terus ke bawah, membaca kronik penghancuran sebuah keluarga dalam pesan-pesan singkat yang dingin. Lalu, ia menemukan folder draf. Hanya ada satu pesan di sana, sebuah pesan yang tidak pernah terkirim, ditulis tepat setelah tragedi keluarga Prawiro terjadi.
"Misi selesai. Mereka sudah 'bebas' sekarang. Sama seperti kita dulu. Aku harap Ayah bisa melihat ini dan merasa bangga."
Pesan itu membuat perut Rina mual. Ini adalah konfirmasi paling mengerikan dari motif Anindita. Namun, bukan itu yang menjadi penemuan terbesarnya.
Rina membuka galeri foto. Sebagian besar kosong, tetapi ada satu foto yang tersimpan. Foto Anindita saat remaja, tersenyum canggung di antara seorang pria dan wanita paruh baya—ayah dan ibunya. Wajah ayahnya tampak familier. Rina pernah melihatnya di suatu tempat.
Lalu ia membuka peramban ponsel itu. Hanya ada satu halaman yang tersimpan di riwayatnya. Sebuah tautan ke artikel berita lama. Judulnya: "Manajer Konstruksi Ternama Ditemukan Tewas, Diduga Bunuh Diri Akibat Tuduhan Korupsi."
Di bawah judul itu, ada sebuah foto. Foto pria yang sama dengan yang ada di galeri. Ayah Anindita. Pria yang kariernya dihancurkan oleh fitnah, yang ceritanya menjadi cetak biru bagi semua tindakan Anindita.
Rina kembali ke kotak masuk, mencari sesuatu yang lain. Dan ia menemukannya. Sebuah utas percakapan yang lebih baru, bukan dengan "P". Kontak itu disimpan sebagai "Rekan".
Rekan: Bagaimana Proyek Haryanto? Apakah subjek R sudah menunjukkan tanda-tanda yang kita harapkan? A: Sudah. Sangat mirip dengan subjek K. Dia mulai tidak stabil secara emosional. Rekan: Bagus. Ingat, kali ini tidak boleh ada kesalahan. Setelah target B berhasil dinetralkan dari posisinya, kita harus segera menjalankan protokol keluar. A: Aku mengerti. Bagaimana dengan subjek R?
Rina menahan napas saat membaca balasan terakhir.
Rekan: Dia terlalu banyak tahu. Riwayat stres dan masalah kesehatannya akan menjadi penutup yang sempurna. Pastikan itu terlihat seperti kecelakaan. Tidak boleh ada jejak.
Ponsel itu terlepas dari genggaman Rina, jatuh ke lantai dengan suara dentuman pelan. Udara di dalam kamar terasa habis. Ini bukan lagi tentang menghancurkan kebahagiaannya. Ini bukan lagi tentang menyingkirkan Budi. Ada rencana lain untuknya. Sebuah "protokol keluar". Sebuah "kecelakaan".
Ia bukan lagi sekadar target. Ia adalah seorang saksi yang harus dihilangkan.
Bab 35: Protokol Keluar
Ponsel yang tergeletak di lantai itu terasa seperti granat yang pinnya sudah dicabut. Rina menatapnya dengan nanar, kata-kata terakhir dari pesan itu terpatri di retinanya, membakar otaknya.
Dia terlalu banyak tahu. Riwayat stres dan masalah kesehatannya akan menjadi penutup yang sempurna. Pastikan itu terlihat seperti kecelakaan. Tidak boleh ada jejak.
Udara di dalam kamar terasa menipis, dinding-dinding seolah merapat untuk menghimpitnya. Setiap tarikan napas terasa sakit. Ini bukan lagi tentang reputasi. Bukan lagi tentang kebahagiaan. Ini tentang nyawanya.
Tiba-tiba, semua gejala fisik yang ia alami selama ini—sakit kepala yang menyiksa, asam lambung yang membakar, kunjungannya ke dokter—terlihat dalam cahaya yang baru dan mengerikan. Itu semua bukan hanya dampak dari stres. Itu adalah bagian dari narasi yang sedang dibangun Anindita. Sebuah fondasi cerita untuk kematiannya. Rina Haryanto, seorang istri yang depresi dan sakit-sakitan, meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis di rumahnya sendiri. Sempurna. Rapi. Tidak akan ada yang bertanya.
Ia menatap foto ayah Anindita di layar ponsel, lalu ke judul berita tentang bunuh dirinya. Ia akhirnya melihat gambaran utuhnya. Sebuah tragedi keluarga yang disebabkan oleh fitnah telah melahirkan seorang monster. Monster yang kini, dalam pikirannya yang bengkok, sedang mencoba "menyelamatkan" keluarga lain dari takdir yang sama dengan cara menghancurkan mereka terlebih dahulu. Dan Rina, yang telah berhasil menguak kebenarannya, kini telah berubah dari "subjek" menjadi "masalah" yang harus dihilangkan.
Rasa takut yang melumpuhkan itu mencapai puncaknya, begitu intens hingga terasa seperti ketenangan yang aneh. Di titik terendah teror, ia menemukan sebuah kejernihan yang dingin. Ia tidak akan mati. Ia tidak akan membiarkan Lia tumbuh tanpa seorang ibu. Ia tidak akan membiarkan Budi hidup dalam penyesalan karena tidak pernah memercayainya.
Ia tidak akan membiarkan Anindita menang.
Perlahan, dengan gerakan yang terasa begitu berat, Rina memungut ponsel itu. Ia mematikan layarnya, mengakhiri gema dari masa lalu yang mengerikan itu. Ia mengambil semua bukti—ponsel tua, surat-surat, dan buku harian—dan menyembunyikannya kembali dengan aman di dalam rumah boneka Lia.
Ia berjalan ke kamar mandi dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wanita yang balas menatapnya bukan lagi korban yang kebingungan. Bukan lagi mata-mata yang ketakutan. Itu adalah wajah seorang wanita yang tidak punya pilihan lain selain bertarung sampai mati.
Perang sunyi telah berakhir. Persembunyian sudah tidak ada gunanya. Ia tidak bisa melawan Anindita dan Prakoso sendirian. Ia butuh bantuan. Ia butuh Budi.
Malam ini. Ia harus memberitahu Budi malam ini. Ia akan menunjukkan semua bukti yang ia miliki. Ia akan memaksanya untuk melihat, untuk mendengarkan, untuk percaya. Bahkan jika Budi akan menganggapnya gila, bahkan jika itu akan menjadi pertengkaran terakhir mereka, ia harus mencobanya. Karena jika ia gagal, ia mungkin tidak akan pernah punya kesempatan untuk berbicara dengannya lagi.
Bab 36: Konfrontasi dengan Budi
Malam itu, Rina tidak memasak makan malam. Ia hanya memesan makanan cepat saji, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan. Ia butuh semua energinya terkumpul untuk pertempuran yang akan datang. Budi pulang kerja dengan wajah lelah, dan keheningan canggung di meja makan terasa lebih berat daripada pertengkaran mana pun.
Rina menunggu. Ia menunggu hingga Lia tertidur lelap, hingga suara jam dinding menjadi satu-satunya bunyi di rumah yang senyap. Pukul sebelas malam, ia menghampiri Budi yang sedang menonton televisi dengan tatapan kosong di ruang tengah.
"Bud, kita perlu bicara," kata Rina, suaranya tenang dan datar. Ketenangan yang lahir dari keputusasaan.
Budi menghela napas, tidak memalingkan pandangannya dari layar. "Rin, aku capek. Bisa kita bicarakan besok?"
"Tidak. Harus sekarang."
Ketegasan dalam suara Rina akhirnya membuat Budi menoleh. Ia melihat sesuatu yang berbeda di mata istrinya—bukan lagi paranoia yang kacau, melainkan sebuah kejernihan yang dingin. Dengan enggan, ia mematikan televisi. "Baik. Ada apa lagi?"
Tanpa berkata apa-apa, Rina pergi ke kamar Lia dan kembali dengan membawa kotak sepatu dari dalam rumah boneka. Ia meletakkannya di atas meja kopi di antara mereka. "Aku mau kamu lihat ini. Semua ini."
Satu per satu, ia mengeluarkan barang-barang itu. Buku harian Anindita. Ponsel tua. Dan yang terakhir, surat-surat dari Prakoso. Ia meletakkan surat yang ditujukan untuk "Proyek Haryanto" di paling atas.
"Baca ini," perintahnya.
Budi menatap tumpukan barang itu dengan skeptis, lalu dengan enggan mengambil surat itu. Ia membacanya, alisnya berkerut. Ia membaca ulang. "Apa ini? Proyek Haryanto? Subjek R? Ini omong kosong apa, Rin?"
"Itu kita, Bud," jawab Rina, suaranya bergetar menahan emosi. "Aku 'subjek R'. Kamu 'target B'. Dan Sari Kusuma itu bukan Sari Kusuma. Namanya Anindita Prameswari. Dia dikirim oleh Prakoso dari Wibisono Group untuk menghancurkanmu, sama seperti dia menghancurkan keluarga yang dulu tinggal di rumahnya."
Rina menjelaskan semuanya. Ia menunjukkan foto Anindita di ponsel tua, membacakan pesan mengerikan tentang "protokol keluar", menceritakan kembali kisah Retno Wulandari. Ia menyajikan bukti-buktinya dengan runtut, mencoba sekuat tenaga untuk terdengar logis, bukan histeris.
Budi mendengarkan, wajahnya berubah dari skeptis menjadi bingung, lalu menjadi marah. Ia mengambil surat-surat itu, membolak-baliknya. "Dari mana kamu dapat semua ini?" tanyanya tajam.
"Aku masuk ke rumahnya."
Jawaban itu adalah sebuah kesalahan fatal. Wajah Budi langsung mengeras. "Kamu apa?" suaranya meninggi. "Kamu masuk ke rumah orang, Rina? Kamu sadar tidak, itu tindakan kriminal? Kamu sudah benar-benar kehilangan akal sehatmu!"
"Aku tidak punya pilihan lain!" balas Rina, suaranya mulai pecah. "Dia berencana membunuhku, Bud! Ada buktinya di ponsel itu!"
"Cukup!" bentak Budi, berdiri dari sofa. Ia menunjuk tumpukan barang di meja dengan jari gemetar. "Ini bukan bukti. Ini adalah buah dari obsesimu! Surat tanpa kop, buku harian orang depresi, ponsel tua entah milik siapa! Kamu bisa saja menulis ini semua sendiri!"
"Aku tidak segila itu!"
"Oh, ya? Kamu menguntit tetangga kita, membobol rumahnya, dan sekarang kamu datang padaku dengan teori konspirasi perusahaan yang liar? Dengar dirimu sendiri, Rina! Kamu butuh bantuan!"
Setiap kata dari mulut Budi adalah sebuah belati yang menusuk langsung ke jantung Rina. Pria yang ia harapkan menjadi penyelamatnya, kini berdiri di hadapannya sebagai hakim yang telah menjatuhkan vonis. Di mata suaminya sendiri, ia tidak lebih dari seorang wanita gila yang berhalusinasi.
Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah. Tapi itu bukan air mata kesedihan. Itu adalah air mata kemarahan dan kekalahan. Ia telah menunjukkan kebenaran yang paling mengerikan, dan Budi memilih untuk menutup mata.
"Baik," bisik Rina, suaranya serak. Ia menyeka air matanya dengan kasar. "Kalau menurutmu aku gila, baiklah. Aku tidak akan mengganggumu lagi dengan 'obsesiku' ini."
Ia berdiri, meninggalkan semua bukti itu tergeletak di atas meja. Ia berjalan menuju kamar tidur mereka tanpa menoleh ke belakang. Malam itu, ia tidak hanya kalah dalam pertempuran melawan Anindita. Ia telah kehilangan satu-satunya sekutu yang ia pikir masih ia miliki.
Bab 37: Puing-Puing Kepercayaan
Rina tidak menangis lagi. Ia berbaring telentang di ranjang, menatap langit-langit kamar yang gelap, merasakan kehampaan yang dingin di tempat di mana hatinya seharusnya berada. Di luar, ia bisa mendengar Budi mondar-mandir di ruang tengah, mungkin menatap tumpukan bukti itu dengan bingung, mungkin merutuki kegilaan istrinya. Setiap langkah kakinya terdengar seperti dentuman palu yang memaku peti mati pernikahan mereka.
Kekalahan itu terasa total. Ia telah mempertaruhkan segalanya dalam satu malam—sisa-sisa kewarasannya di mata Budi, harapan terakhirnya akan sebuah pertolongan—dan ia kehilangan semuanya. Tidak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan di dalam rumah ini. Pria yang tidur di sampingnya selama bertahun-tahun kini telah menjadi orang asing, seorang penjaga penjara yang menganggapnya sebagai narapidana delusi.
Satu jam kemudian, Budi masuk ke kamar. Ia tidak menyalakan lampu. Dalam kegelapan, ia berjalan ke sisi ranjangnya, suaranya terdengar lelah dan kalah. "Barang-barang itu sudah aku buang."
Rina tidak bereaksi. Ia sudah menduganya.
"Dengar, Rin," lanjut Budi, duduk di tepi ranjang, tidak menyentuhnya. "Aku... aku sudah buatkan janji untukmu besok. Dengan psikolog, teman lamaku. Namanya Dokter Wati. Dia orang yang baik. Dia bisa membantumu."
Bantuan. Kata itu terasa seperti hinaan. Rina memalingkan wajahnya ke arah dinding, memunggungi Budi.
"Aku akan pergi," jawab Rina, suaranya datar, tanpa emosi. "Aku akan melakukan apa pun yang kamu mau."
Ada jeda hening. Mungkin Budi mengharapkan perlawanan, teriakan, atau isak tangis. Tapi ia tidak mendapatkan apa-apa. Yang ia dapatkan hanyalah kepasrahan yang dingin. "Baiklah," kata Budi akhirnya, sebelum berbaring di sisinya yang paling jauh, menciptakan jurang yang tak terseberangi di antara mereka.
Rina memejamkan mata, tetapi pikirannya bekerja dengan kecepatan yang luar biasa. Ia akan pergi ke psikolog. Ia akan menjadi pasien yang penurut. Ia akan memainkan peran sebagai istri yang sedang dalam pemulihan. Ia akan memberikan Budi dan semua orang apa yang ingin mereka lihat. Itu akan menjadi kamuflase yang sempurna.
Karena di balik topeng kepasrahan itu, sebuah rencana baru yang radikal mulai terbentuk. Rencana yang tidak membutuhkan kepercayaan Budi. Rencana yang tidak membutuhkan bisikan atau bukti rahasia.
Ia telah salah strategi. Ia mencoba melawan Anindita dalam permainannya sendiri—permainan bayangan dan manipulasi. Ia kalah karena Anindita adalah masternya. Kini, ia harus mengubah arenanya. Ia harus menyeret Anindita keluar dari bayang-bayang, ke bawah sorotan lampu yang paling terang, di mana topengnya tidak akan berguna.
Ia tidak bisa lagi meyakinkan orang satu per satu. Ia harus meyakinkan mereka semua, pada saat yang bersamaan. Sebuah pengadilan publik. Sebuah panggung di mana ia akan menjadi sutradara, dan Anindita akan dipaksa untuk memainkan peran utamanya: peran sebagai penjahat.
Malam itu, di tengah puing-puing kepercayaannya yang hancur, Rina tidak lagi meratapi kekalahannya. Ia sedang merancang sebuah pemberontakan.
Bab 38: Topeng Baru
Ruang praktik Dokter Wati terasa tenang dan nyaman, dengan sofa empuk dan aroma terapi yang menguar di udara. Semuanya dirancang untuk menenangkan jiwa yang gelisah. Dan Rina, dengan penampilan yang sengaja ia buat sedikit kuyu dan tatapan mata yang kosong, adalah pasien yang sempurna.
"Jadi, bisa ceritakan apa yang membuat Ibu Rina datang ke sini?" tanya Dokter Wati dengan suara lembut.
Rina menarik napas panjang, seolah mengumpulkan kekuatan. "Saya... saya merasa akan gila, Dok," mulainya, suaranya dibuat sedikit bergetar.
Ia menceritakan sebuah versi kebenaran yang telah ia poles dengan sempurna. Ia berbicara tentang malam-malam tanpa tidur, tentang kecemasan yang melilit perutnya. Ia mengakui bahwa ia merasa tertekan sejak Budi mendapat promosi, merasa tidak mampu mengimbangi lingkungan sosial suaminya yang baru. Lalu, ia memasukkan Anindita ke dalam narasinya.
"Ada tetangga baru di depan rumah," lanjut Rina, menatap tangannya yang ia tautkan di pangkuan. "Namanya Sari. Dia... dia baik sekali, Dok. Terlalu baik. Dan entah kenapa, kebaikannya itu membuat saya takut. Saya tahu ini tidak masuk akal. Tapi saya merasa dia terus mengawasi saya. Saya mulai mencurigainya tanpa alasan. Suami saya bilang saya hanya stres."
Ia berhenti, membiarkan keheningan mengisi ruangan, memberikan jeda yang dramatis. "Saya membobol rumahnya, Dok," akunya dengan suara lirih, seolah menanggung beban dosa yang berat. "Saya tidak menemukan apa-apa. Saya tahu saya salah. Saya pikir... saya pikir saya butuh bantuan."
Dokter Wati mengangguk penuh pengertian. Rina bisa melihat kelegaan di mata Budi saat ia menceritakan kembali sesi itu malam harinya. "Dokter Wati bilang aku mengalami episode paranoid akut yang dipicu oleh stres," kata Rina, mengutip diagnosis yang ia ciptakan sendiri. "Tapi dia bilang aku bisa pulih. Aku hanya perlu waktu dan dukungan."
Budi memeluknya, pelukan pertama yang terasa tulus dalam beberapa minggu. "Tentu, Sayang. Tentu kita akan melewatinya bersama."
Topeng itu bekerja dengan sempurna. Di mata Budi, ia adalah pasien yang sedang dalam pemulihan. Di mata Anindita, yang keesokan harinya melihat Rina menyapu halaman dengan ekspresi yang lebih tenang, ia adalah musuh yang telah dikalahkan, yang telah menerima takdirnya sebagai wanita gila. Anindita bahkan memberinya lambaian tangan kecil yang penuh kemenangan.
Rina membalas lambaian itu dengan senyum tipis. Biarkan dia merasa menang. Biarkan dia menurunkan kewaspadaannya.
Malam itu, setelah memastikan Budi dan Lia tertidur pulas, Rina mengambil ponselnya. Ia membuka grup WhatsApp Kompleks Asri Kirana. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, melainkan karena adrenalin yang dingin. Jari-jemarinya terbang di atas papan ketik, menyusun pesan yang akan menjadi pemicu ledakan.
"Selamat malam, Bapak dan Ibu sekalian. Mohon maaf mengganggu istirahatnya. Ada suatu hal yang sangat penting dan mendesak terkait keamanan dan ketenangan di kompleks kita yang harus saya sampaikan secara langsung. Ini menyangkut nama baik kita semua. Saya mohon dengan sangat kesediaan Bapak dan Ibu untuk berkumpul besok malam pukul 8 di balai warga. Kehadiran Bapak dan Ibu akan sangat berarti. Terima kasih."
Ia membaca ulang pesan itu. Dramatis, mendesak, dan penuh misteri. Cukup untuk membuat semua orang penasaran dan datang.
Dengan satu tarikan napas terakhir, ia menekan tombol "Kirim".
Pesan itu terkirim. Tidak ada jalan untuk kembali. Pemberontakan telah dimulai.
Bab 39: Api Telah Dinyalakan
Begitu pesan itu terkirim, ponsel Rina seolah meledak. Layarnya menyala tanpa henti, dibanjiri oleh rentetan notifikasi dari grup WhatsApp. Gelembung-gelembung pesan baru muncul begitu cepat hingga ia tidak sempat membacanya satu per satu.
"Ada apa ini, Bu Rina?" "Kok mendadak sekali undangannya?" "Serius amat kedengarannya." "Keamanan? Memangnya ada maling?"
Spekulasi dan kebingungan merajalela. Lalu, sebuah pesan pribadi masuk dari Bu Siska. "Rina, kamu baik-baik saja? Ini ada hubungannya sama yang kemarin di taman? Kalau ada masalah, cerita saja sama aku."
Getaran ponsel yang terus-menerus akhirnya membangunkan Budi. Dengan geraman kesal, ia meraih ponselnya di meja nakas. Rina mengawasinya dalam diam. Ia melihat mata Budi yang mengantuk melebar saat membaca pesan di grup. Wajahnya yang lelah langsung mengeras karena amarah.
"Apa-apaan ini, Rina?" desis Budi, suaranya rendah dan tajam agar tidak membangunkan Lia di kamar sebelah. "Kamu mau mempermalukan diri sendiri dan keluarga kita di depan semua orang?"
Rina duduk di tepi ranjang, menatap suaminya dengan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Aku harus melakukan ini, Bud."
"Harus? Untuk apa? Untuk menyebarkan teori konspirasimu yang gila itu? Mereka akan menertawakanmu! Mereka akan menganggapmu tidak waras!"
"Biarkan saja," jawab Rina datar. "Besok malam, semua akan jelas. Aku hanya minta satu hal darimu. Datanglah. Dengarkan saja. Setelah itu, kamu bebas mau menganggapku apa."
Ketenangan Rina membuat Budi semakin bingung dan marah. Ia terbiasa dengan Rina yang menangis, yang histeris. Rina yang dingin dan penuh tekad ini adalah sosok asing yang membuatnya tidak nyaman. Ia membuka mulut untuk membantah lagi, tetapi sebuah notifikasi baru di grup menghentikannya.
Pesan itu dari "Sari Kusuma".
"Selamat malam, Bapak dan Ibu. Mungkin kita tidak perlu terlalu khawatir dengan undangan mendadak ini. Sepertinya sahabat kita, Rina, sedang melewati masa yang cukup berat akhir-akhir ini. Mungkin yang lebih ia butuhkan adalah ruang dan dukungan personal dari kita semua, daripada berkumpul beramai-ramai yang mungkin akan membuatnya semakin tertekan. Rina, jika ada yang ingin kamu bicarakan, kamu tahu pintuku selalu terbuka untukmu, ya. Aku peduli padamu."
Sebuah mahakarya. Dalam satu pesan, Anindita berhasil memposisikan dirinya sebagai sahabat yang paling peduli, sekaligus menegaskan narasi bahwa Rina adalah wanita labil yang butuh "dukungan". Ia mencoba membatalkan pertemuan itu dengan cara yang paling halus dan elegan, membuatnya tampak seperti pahlawan.
Budi menatap Rina, matanya seolah berkata, "Lihat? Bahkan dia peduli padamu."
Tapi Rina hanya tersenyum tipis, sebuah senyum grimis yang tidak Budi mengerti. Anindita telah mengambil umpannya. Ia mencoba memadamkan api kecil, tanpa sadar bahwa Rina telah menyiram seluruh panggung dengan bensin. Pesan Anindita yang seolah bijaksana itu justru akan membuat para tetangga semakin penasaran. Mereka tidak akan melewatkan drama ini.
Rina meletakkan ponselnya di meja. "Aku mau tidur," katanya pelan. "Besok akan jadi hari yang panjang."
Ia berbaring dan memunggungi Budi, memejamkan mata. Api telah dinyalakan. Dan besok malam, ia akan memastikan semua orang ada di sana untuk menyaksikan Anindita terbakar di dalamnya.
Bab 40: Keheningan Sebelum Badai
Hari itu, rumah Rina diselimuti oleh keheningan yang tebal dan menyesakkan. Udara terasa berat, sarat akan kata-kata yang tidak terucap dan amarah yang tertahan. Sarapan pagi dilewati tanpa satu pun percakapan. Budi bergerak seperti robot, menyiapkan kopinya sendiri, menghindari tatapan mata Rina. Di matanya, Rina bisa melihat campuran antara amarah, rasa malu, dan kekecewaan yang mendalam.
Saat mengantar Lia ke gerbang sekolah, Rina memeluk putrinya sedikit lebih lama dari biasanya. "Nanti malam, apa pun yang terjadi, Mama sayang sekali sama Lia," bisiknya. Lia menatapnya dengan bingung, tetapi mengangguk. Pelukan itu adalah bahan bakar Rina, pengingat nyata tentang apa yang ia pertaruhkan malam ini.
Sepanjang hari, Rina tidak mengizinkan dirinya untuk panik. Ia bergerak dengan tujuan yang metodis. Ia pergi ke sebuah warung internet kecil di luar kompleks, tempat yang tidak akan ada yang mengenalinya. Di sana, ia mencetak foto-foto surat Prakoso yang telah ia simpan di cloud. Kertas-kertas itu terasa nyata dan berat di tangannya, sebuah bukti fisik yang tidak bisa lagi disebut halusinasi. Ia juga memastikan ponsel tua Anindita terisi penuh dayanya. Semua bukti itu—cetakan surat, ponsel tua, dan buku harian—ia masukkan ke dalam sebuah map cokelat sederhana.
Sekitar tengah hari, Anindita datang. Ia mengetuk pintu dengan pelan, wajahnya dipenuhi topeng keprihatinan yang paling tulus.
"Rin, aku dengar kamu tetap mau mengadakan pertemuan malam ini," katanya dengan suara lembut. "Aku mohon, pikirkan lagi. Apa pun masalahmu, kita bisa bicarakan baik-baik. Jangan seperti ini, nanti kamu malah jadi bahan omongan."
Itu adalah manuver terakhirnya, sebuah upaya untuk membatalkan eksekusinya sendiri dengan menyamar sebagai sahabat. Rina menatapnya, untuk pertama kalinya tanpa rasa takut.
"Terima kasih sudah peduli, Sar," jawab Rina, suaranya tenang. "Tapi pertemuan ini harus terjadi. Aku harap kamu datang."
Ketenangan Rina membuat senyum Anindita sedikit goyah. Ia tidak menduga ini. Ia mengharapkan Rina yang rapuh, yang bisa ia goyahkan dengan kata-kata manis. Ia tidak siap menghadapi Rina yang dingin dan penuh tekad. Tanpa berkata apa-apa lagi, Anindita mengangguk pelan dan pergi.
Sore harinya, Budi pulang lebih awal. Ia tidak menyalakan televisi. Ia hanya duduk di ruang tamu, menatap kosong ke dinding.
"Aku akan datang," katanya tiba-tiba, memecah keheningan. "Aku harus ada di sana untuk membatasi kerusakan yang akan kamu timbulkan."
Rina hanya mengangguk. Ia tidak mengharapkan dukungan. Kehadirannya saja sudah cukup.
Pukul setengah delapan malam, Rina sudah siap. Ia tidak berdandan. Ia hanya mengenakan blus sederhana dan celana panjang. Penampilannya adalah cerminan dari dirinya: lelah, terluka, tetapi tidak lagi bisa dihancurkan. Ia mengambil map cokelat itu dari atas meja. Isinya terasa seperti beban seluruh dunia, sekaligus satu-satunya senjatanya.
Ia berjalan ke pintu depan. Budi sudah menunggunya di sana, wajahnya masih keras seperti batu. Mereka tidak saling bicara. Bersama-sama, dalam keheningan yang memisahkan mereka seperti jurang, mereka melangkah keluar dari rumah, menuju balai warga, menuju malam pertaruhan yang akan menentukan segalanya.
Bab 41: Panggung Pengadilan
Balai warga Kompleks Asri Kirana yang biasanya sepi, malam itu penuh sesak. Udara terasa pengap, dipenuhi oleh bisikan-bisikan penasaran dan aroma kopi instan yang diseduh seadanya. Hampir semua kepala keluarga hadir, ditarik oleh undangan Rina yang dramatis dan pesan balasan Sari yang seolah bijaksana. Mereka datang untuk menyaksikan sebuah drama, mengharapkan ledakan emosi dari seorang wanita yang mereka anggap sedang stres berat.
Ketika Rina dan Budi masuk, semua percakapan langsung berhenti. Puluhan pasang mata menatap mereka. Rina bisa merasakan tatapan mereka—campuran antara kasihan, rasa ingin tahu, dan sedikit cemoohan. Di sampingnya, Budi berjalan dengan kaku, wajahnya menahan malu. Ia duduk di barisan paling belakang, menyilangkan tangan di dada, menciptakan jarak yang jelas antara dirinya dan "pertunjukan" yang akan Rina gelar.
Beberapa saat kemudian, Anindita datang bersama suaminya. Ia menyapa semua orang dengan senyum ramah, berhenti sejenak untuk menanyakan kabar anak Bu Siska, dan memuji kue buatan Bu RT. Ia adalah seorang bintang yang berjalan di karpet merahnya sendiri. Saat melihat Rina, ia memberinya tatapan penuh simpati yang seolah berkata, "Aku di sini untukmu." Ia memilih duduk di barisan paling depan, memposisikan dirinya sebagai pendukung utama Rina, sekaligus penonton dengan pemandangan terbaik.
Waktu menunjukkan pukul delapan tepat. Rina berjalan ke depan, ke sebuah panggung kecil yang biasanya digunakan untuk acara karaoke 17-an. Ia berdiri di sana, di bawah sorotan lampu neon yang dingin, memegang map cokelatnya dengan kedua tangan. Keheningan yang berat menyelimuti ruangan.
Ia menarik napas dalam-dalam, matanya menyapu wajah para tetangganya satu per satu, sebelum akhirnya berhenti dan menatap lurus ke arah Anindita.
"Selamat malam, Bapak dan Ibu. Terima kasih sudah datang," mulainya, suaranya terdengar jelas dan stabil, mengejutkan mereka yang mengharapkan isak tangis. "Saya tahu, undangan saya kemarin terdengar aneh. Dan saya tahu, banyak dari Anda yang datang ke sini malam ini karena menganggap saya... tidak waras."
Beberapa orang tampak salah tingkah, menghindari tatapannya. Budi memejamkan mata di kursinya.
"Saya tidak akan menyangkalnya," lanjut Rina, suaranya tetap tenang. "Beberapa minggu terakhir ini, saya memang merasa seperti orang gila. Saya mencurigai orang tanpa alasan, saya menangis tanpa sebab, dan saya bahkan menyerang orang yang hanya berniat baik pada saya." Ia melirik sekilas ke arah Anindita, yang balas menatapnya dengan ekspresi prihatin yang sempurna.
"Malam ini, saya tidak akan meminta maaf. Saya juga tidak akan meminta simpati Anda. Saya hanya ingin menunjukkan pada Anda semua, perjalanan yang membawa saya pada kegilaan ini. Saya ingin menunjukkan pada Anda, bahwa di balik setiap kegilaan, kadang ada sebuah kebenaran yang begitu mengerikan, hingga kewarasan pun tidak sanggup menanggungnya."
Ia membuka map cokelat itu. Keheningan di ruangan itu kini terasa begitu pekat, sarat akan antisipasi.
"Perjalanan ini dimulai dari sebuah nama," kata Rina, suaranya kini terdengar tajam seperti baja. "Sebuah nama yang seharusnya tidak pernah ada di kompleks ini. Nama itu adalah... Anindita Prameswari."
Bab 42: Bukti yang Bicara
Sebuah gumaman kebingungan menyebar di antara para hadirin. Nama itu asing. Anindita, yang duduk di barisan depan, tidak bergeming. Wajahnya masih menunjukkan topeng keprihatinan, seolah ia sedang mendengarkan cerita khayalan seorang pasien.
"Mungkin Bapak dan Ibu lebih mengenalnya dengan nama Sari Kusuma," lanjut Rina, menunjuk langsung ke arah Anindita.
Semua mata kini beralih ke Anindita. Senyum di wajahnya sedikit goyah. Suaminya di sampingnya tampak tegang. "Rina, apa maksudmu?" tanya Bu Siska dari tengah kerumunan.
Rina tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengambil ponsel tua dari dalam mapnya dan menyalakannya. Ia menghubungkannya ke proyektor kecil yang sudah ia siapkan di atas meja. "Saya tidak akan banyak bicara. Saya akan biarkan bukti yang bicara."
Gambar pertama yang muncul di dinding adalah foto buram dari acara kantor lima tahun lalu. Foto Danu dan Karina Prawiro. Dan di samping mereka, wajah Anindita yang lebih muda. "Ini adalah Anindita Prameswari, bersama keluarga Prawiro, keluarga yang tewas bunuh diri di rumah nomor 14."
Ruangan itu kembali senyap. Orang-orang menatap foto itu, lalu ke wajah Anindita yang kini mulai pucat.
"Anindita adalah junior dari almarhum Danu Prawiro," jelas Rina. "Dan dia adalah orang yang sama yang menghancurkan keluarga itu dari dalam."
"Ini fitnah!" seru suami Anindita, berdiri dari kursinya.
"Kalau begitu, tolong jelaskan ini," balas Rina tenang. Ia menampilkan gambar berikutnya: foto surat dari Prakoso. Ia membacakan isinya dengan suara keras dan jelas. "Proyek Haryanto dimulai. Fokus utama, seperti biasa, adalah subjek R. Hancurkan stabilitas domestiknya."
"Subjek R itu saya," kata Rina, menatap lurus ke para tetangganya. "Dan 'Proyek Haryanto' adalah nama misi untuk menghancurkan keluarga saya, yang dijalankan oleh Anindita atas perintah atasannya di Wibisono Group, pesaing perusahaan suami saya."
Ia terus menampilkan bukti-bukti itu satu per satu. Surat-surat lain tentang "Proyek Prawiro". Pesan-pesan di ponsel tua. Setiap gambar yang muncul di dinding adalah paku yang menancap di peti mati kebohongan Anindita.
Terakhir, ia menampilkan pesan yang paling mengerikan. Pesan tentang "protokol keluar".
"Dia terlalu banyak tahu. Riwayat stres dan masalah kesehatannya akan menjadi penutup yang sempurna. Pastikan itu terlihat seperti kecelakaan."
Napas Rina tercekat saat membacanya. "Ini bukan lagi tentang karier suami saya. Ini bukan lagi tentang membuat saya gila. Ini adalah rencana pembunuhan."
Bab 43: Topeng yang Pecah
Keheningan yang mengikuti kata-kata Rina begitu total, begitu pekat, hingga suara napasnya sendiri yang terengah-engah terdengar seperti raungan. Ia berdiri di panggung itu, bukti-bukti terpampang di dinding di hadapannya, dadanya naik turun menahan gejolak emosi. Ia telah menumpahkan semuanya. Kini, ia hanya bisa menunggu vonis dari para juri—para tetangga yang beberapa menit lalu masih menganggapnya gila.
Perlahan, keheningan itu pecah. Bukan oleh ledakan, melainkan oleh bisikan-bisikan yang merayap seperti api kecil. Orang-orang saling berpandangan, wajah mereka dipenuhi kebingungan dan keterkejutan. Mereka melirik ke arah Anindita, lalu kembali ke Rina, mencoba mencerna kebenaran yang baru saja ditelanjangi di depan mereka.
Bu Siska menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbelalak. Ia teringat kembali percakapan-percakapan kecilnya dengan Sari, bisikan-bisikan halus tentang "kejutan" dari suaminya yang ternyata tidak pernah ada. Bu Lastri menunduk, bahunya bergetar. Ia teringat bagaimana Sari memberinya simpati tentang kesulitan keuangannya, hanya untuk menggunakan informasi itu sebagai senjata untuk memecah belah. Pak RT menatap kosong ke depan, wajahnya pucat pasi. Ia akhirnya mengerti mengapa rumah tangganya tiba-tiba terasa dingin setelah pujian beracun dari Sari.
Di barisan paling belakang, Budi bangkit dari kursinya. Ia berjalan ke depan dengan langkah yang kaku, matanya terpaku pada gambar surat-surat di dinding. Wajahnya yang tadi keras karena amarah kini luluh menjadi topeng penderitaan dan penyesalan yang mendalam. Ia mengangkat kepalanya, menatap Rina—bukan lagi sebagai seorang hakim, melainkan sebagai seorang pria yang baru saja menyadari bahwa ia telah meninggalkan istrinya untuk bertarung sendirian di neraka.
Semua mata kini tertuju pada satu orang. Anindita.
Ia masih duduk di barisan paling depan, tetapi topengnya telah pecah. Senyum simpatiknya lenyap. Wajahnya yang cantik kini mengeras menjadi pualam yang dingin, matanya yang dulu berbinar ramah kini menyala dengan kebencian murni. Ia tidak lagi mencoba berpura-pura. Di tengah kehancuran rencananya, ia menunjukkan wajah aslinya.
Suaminya, yang duduk di sampingnya, tampak panik. "Ini semua bohong!" serunya, suaranya terdengar lemah dan tidak meyakinkan. "Kalian lebih percaya pada wanita stres ini daripada tetangga yang selama ini membantu kalian?"
Tidak ada yang menjawab. Bukti yang disajikan Rina terlalu kuat, terlalu personal. Setiap orang di ruangan itu kini bisa melihat kembali interaksi mereka dengan Sari dan menemukan jejak-jejak manipulasi yang sama.
Melihat ia telah kalah, Anindita berdiri. Ia tidak menatap para tetangga. Ia hanya menatap Rina, tatapannya begitu tajam dan penuh racun hingga Rina merasa seolah ditusuk.
"Kamu pikir kamu menang?" desis Anindita, suaranya rendah namun terdengar jelas di ruangan yang sunyi itu. "Kamu tidak menyelamatkan apa-apa. Kamu hanya menunda kehancuranmu. Kebahagiaan itu ilusi, Rina. Dan aku akan selalu ada untuk mengingatkanmu akan hal itu."
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik. Dengan langkah yang angkuh dan kepala terangkat tinggi, ia berjalan keluar dari balai warga, diikuti oleh suaminya yang tampak kebingungan. Ia tidak lari. Ia mundur secara teratur, meninggalkan keheningan yang sarat akan kengerian dan kebenaran yang baru saja terungkap. Topeng itu telah pecah, dan monster di baliknya telah menunjukkan wajahnya pada semua orang.
Bab 44: Gema Kebenaran
Pintu balai warga yang tertutup di belakang Anindita seolah meninggalkan sebuah lubang vakum. Keheningan yang ia tinggalkan terasa lebih berat, lebih canggung daripada sebelumnya. Ancaman terakhirnya masih menggantung di udara, sebuah gema beracun yang membuat semua orang merinding.
Perlahan, para tetangga mulai bergerak, seolah terbangun dari sebuah hipnotis massal. Mereka tidak lagi menatap Rina dengan kasihan, melainkan dengan ekspresi baru yang rumit: campuran antara rasa bersalah, malu, dan kengerian. Mereka baru saja menyadari bahwa mereka bukanlah penonton yang tidak bersalah dalam drama ini. Mereka adalah pion-pion yang dengan sukarela digerakkan oleh Anindita.
Bu Siska adalah yang pertama mendekat, wajahnya pucat dan matanya berkaca-kaca. "Rina... ya Tuhan, Rina... maafkan saya," bisiknya, suaranya serak. "Saya... saya tidak tahu. Saya benar-benar tidak tahu."
Satu per satu, yang lain mengikuti. Pak RT berjalan ke depan, menatap tumpukan bukti di meja dengan tatapan ngeri. "Jadi, semua ini... semua yang dia katakan tentang saya... itu bohong?"
Rina hanya bisa mengangguk, terlalu lelah untuk berbicara. Ia telah menghabiskan seluruh energinya untuk pertempuran ini. Kini, yang tersisa hanyalah kelelahan yang sampai ke tulang. Ia tidak merasakan kemenangan. Ia tidak merasakan kelegaan. Ia hanya merasa kosong.
Di tengah kerumunan yang mulai riuh dengan penyesalan itu, Budi berjalan menembus mereka. Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berhenti di depan Rina, matanya dipenuhi oleh penderitaan yang begitu dalam hingga Rina nyaris tidak sanggup menatapnya. Ia meraih tangan Rina yang dingin, menggenggamnya erat-erat. Genggaman itu adalah sebuah permintaan maaf, sebuah pengakuan, dan sebuah janji yang tak terucap.
"Ayo kita pulang," bisik Budi, suaranya parau.
Ia menuntun Rina turun dari panggung, melewati para tetangga yang memberinya jalan dalam diam. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan malam ini. Kebenaran telah terungkap, dan gemanya akan terus bergaung di kompleks itu untuk waktu yang sangat lama.
Saat mereka berjalan pulang di bawah cahaya lampu jalan yang redup, genggaman tangan Budi tidak pernah terlepas. Keheningan di antara mereka tidak lagi terasa seperti jurang, melainkan seperti sebuah ruang yang aman, tempat mereka berdua bisa mulai memunguti kembali puing-puing kepercayaan yang telah dihancurkan. Perang Rina mungkin telah berakhir, tetapi perjalanan mereka untuk menyembuhkan luka baru saja dimulai.
Bab 45: Percakapan di Atas Puing
Pagi datang membawa keheningan yang berbeda. Bukan keheningan dingin yang penuh amarah, melainkan keheningan yang rapuh dan penuh penyesalan. Rina terbangun dan mendapati sisi ranjang di sebelahnya sudah kosong. Untuk sesaat, kepanikan yang familier mencengkeramnya, sebelum ia mencium aroma kopi yang baru diseduh dari arah dapur.
Ia berjalan keluar kamar dan menemukan Budi duduk sendirian di meja makan, menatap kosong ke dua cangkir kopi yang masih mengepul. Map berisi bukti-bukti dari malam sebelumnya tergeletak di atas meja, seolah menjadi monumen bisu dari pertarungan mereka.
Budi mengangkat kepalanya saat Rina mendekat. Wajahnya tampak menua sepuluh tahun dalam satu malam. Kantung matanya gelap, dan sorot matanya dipenuhi oleh rasa sakit yang begitu dalam.
"Aku membuatkanmu kopi," katanya pelan, suaranya serak.
Rina duduk di seberangnya, tidak menyentuh cangkir itu. Mereka duduk dalam diam selama beberapa menit, terpisah oleh jurang penyesalan yang begitu lebar.
"Maaf," bisik Budi akhirnya, memecah keheningan. Kata itu terdengar begitu kecil, begitu tidak sepadan dengan luka yang telah ia torehkan. "Tidak ada kata yang cukup untuk... untuk semua ini. Aku... aku gagal, Rin. Sebagai suamimu, aku gagal total."
Ia menundukkan kepalanya, bahunya bergetar. "Aku melihatmu menderita, dan bukannya menolong, aku malah mendorongmu lebih dalam. Aku lebih memilih percaya pada kebohongan yang nyaman daripada kebenaran yang menakutkan. Aku meninggalkanmu sendirian."
Rina mendengarkan, setiap kata pengakuan Budi terasa seperti tetesan balsem di atas luka yang menganga. Air mata mulai menggenang di matanya, tetapi kali ini bukan air mata kemarahan atau ketakutan. Itu adalah air mata kelegaan yang menyakitkan.
"Aku takut, Bud," jawab Rina, suaranya bergetar. "Setiap hari aku bangun dengan rasa takut. Takut pada bayanganku sendiri, takut pada keheningan, takut pada senyum orang. Dan yang paling aku takuti adalah tatapan matamu. Tatapan yang seolah berkata aku sudah gila."
"Aku bodoh," kata Budi, mengangkat kepalanya. Air mata mengalir di pipinya. "Aku dibutakan oleh egoku, oleh rasa maluku. Seharusnya aku melindungimu. Seharusnya aku melawan bersamamu."
Ia mengulurkan tangannya ke seberang meja. Ragu sejenak, Rina menyambut uluran tangan itu. Jari-jari mereka bertaut di atas meja, di atas puing-puing kepercayaan mereka yang hancur. Genggaman itu terasa canggung, tetapi hangat.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Rina pelan.
"Kita hadapi ini bersama," jawab Budi, genggamannya mengerat. "Kita laporkan ini. Anindita, Prakoso, Wibisono Group. Semuanya. Aku akan bicara dengan bagian legal di kantorku. Kita akan melawan mereka, Rin. Kali ini, aku bersamamu. Sampai akhir."
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Rina merasa secercah harapan. Jalan di depan mereka masih panjang dan berbahaya. Luka di antara mereka belum sembuh. Tetapi pagi itu, di meja makan yang sunyi, di antara dua cangkir kopi yang mulai mendingin, mereka berhenti menjadi dua individu yang terluka. Mereka kembali menjadi satu kesatuan. Sebuah tim. Dan mereka siap untuk pertempuran terakhir.
Bab 46: Tembakan Pertama
Pagi itu, Kompleks Asri Kirana terbangun sebagai tempat yang berbeda. Keheningan yang menyelimuti rumah nomor 14, rumah Anindita, begitu tebal hingga terasa seperti dinding tak kasat mata. Tidak ada lagi sapaan ramah dari terasnya. Tirai jendelanya tertutup rapat, mengubah rumah yang dulu menjadi pusat tata surya kompleks itu menjadi sebuah lubang hitam yang mati.
Saat Rina mengantar Lia ke gerbang depan, para tetangga yang ia lewati memberinya tatapan yang sama sekali baru. Bu Siska, yang sedang menyapu halaman, menghentikan pekerjaannya dan memberinya anggukan kecil yang penuh rasa hormat dan penyesalan. Pak RT, yang kebetulan lewat, menepuk bahu Budi dengan pelan, sebuah gestur dukungan yang tak bersuara. Perang sosial itu telah Rina menangkan. Namun, kemenangan itu tidak terasa manis. Ia tahu ini hanyalah pertempuran pembuka.
Budi berangkat kerja bukan dengan wajah lelah seperti biasanya, melainkan dengan rahang yang mengeras dan tatapan mata yang tajam. Di dalam tas kerjanya, tersimpan sebuah map berisi salinan dari semua bukti yang Rina kumpulkan. Ia tidak lagi pergi sebagai seorang manajer yang tertekan. Ia pergi sebagai seorang prajurit yang akan menembakkan peluru pertama dalam sebuah perang besar.
"Hati-hati," bisik Rina saat Budi mencium keningnya di ambang pintu.
"Kamu juga," balas Budi, genggamannya di bahu Rina terasa kuat dan protektif. "Kunci semua pintu. Jangan bicara dengan siapa pun."
Sepanjang pagi, Rina bergerak di dalam rumahnya dengan kewaspadaan seekor binatang yang tahu predator sedang mengintai di dekatnya. Ia terus mengawasi rumah di seberang. Tidak ada pergerakan sama sekali. Keheningan itu jauh lebih menakutkan daripada teriakan atau ancaman apa pun. Itu adalah keheningan yang penuh perhitungan.
Sekitar jam makan siang, Budi menelepon. Suaranya terdengar tegang dan rendah. "Sudah kulakukan."
"Bagaimana?" tanya Rina, jantungnya berdebar.
"Seperti yang kita duga. Mereka terkejut. Sangat terkejut," kata Budi. "Tim legal langsung mengambil alih. Mereka bilang ini bukan lagi masalah personal. Ini adalah serangan langsung terhadap perusahaan. Mereka akan segera memulai investigasi internal dan eksternal." Ada jeda sejenak. "Mereka juga memberiku pengawal pribadi mulai besok."
Kalimat terakhir itu membuat darah Rina terasa dingin. Pengawal pribadi. Ancaman itu kini begitu nyata hingga bisa diukur dengan kehadiran fisik orang lain.
"Bud, aku takut," bisik Rina.
"Aku tahu. Aku juga," jawab Budi. "Tapi kita tidak sendirian lagi, Rin. Sekarang, kita punya pasukan di belakang kita."
Namun, saat Rina menutup telepon, ia tahu bahwa pasukan itu tidak ada di sini bersamanya. Ia sendirian di rumah bersama Lia. Dan musuh mereka, yang kini telah diperingatkan bahwa persembunyiannya terbongkar, hanya berjarak beberapa meter darinya, bersembunyi di balik tirai yang tertutup rapat, mungkin sedang merencanakan serangan balasan. Tembakan pertama telah dilepaskan, dan kini, Rina hanya bisa menunggu ledakan yang akan mengikutinya.
Bab 47: Ketukan di Pintu
Sore itu, Rina mencoba membangun sebuah gelembung normalitas di tengah medan perang. Ia duduk di lantai ruang tengah bersama Lia, membangun menara dari balok-balok kayu. Tawa Lia saat menara itu runtuh seharusnya menjadi musik yang paling indah, tetapi di telinga Rina, suara itu terdengar rapuh, mudah pecah. Setiap inderanya disetel pada frekuensi tertinggi. Ia bisa mendengar desau angin di luar jendela, derit pagar tetangga yang jauh, setiap suara yang seharusnya normal kini terdengar seperti sebuah ancaman.
Ia terus melirik ke seberang jalan. Rumah Anindita masih seperti makam, sunyi dan tertutup. Keheningan itu adalah sebuah bom waktu. Rina tahu, di dalam sana, seekor binatang buas yang terluka sedang merencanakan serangan balasannya.
Pukul empat sore, ponselnya berdering. Nomor pribadi. Jantung Rina serasa diremas. Dengan tangan gemetar, ia menjawab panggilan itu, menjauh sedikit dari Lia.
"Halo?"
Tidak ada jawaban. Hanya suara napas yang pelan dan teratur di seberang sana. Suara napas yang ia kenali.
"Anindita?" desis Rina.
Keheningan itu pecah oleh sebuah tawa kecil yang dingin, tanpa humor sama sekali. "Kamu pintar," kata suara itu, tidak lagi manis dan ramah, melainkan tajam dan sedingin es. "Tapi kepintaranmu tidak akan menyelamatkanmu."
"Apa maumu?" tanya Rina, suaranya bergetar menahan amarah.
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat," lanjut Anindita. "Kamu berhasil membuat keributan kecil. Tapi perang ini belum selesai. Kamu tahu, Rina, hal yang paling menyedihkan dari sebuah kebahagiaan adalah saat kebahagiaan itu direnggut." Ada jeda yang disengaja. "Lia anak yang manis. Sangat cantik. Sayang sekali kalau dia harus tumbuh besar dengan kenangan ibunya yang hancur."
Ancaman itu begitu telanjang, begitu kejam, hingga Rina merasa sesak napas. "Jangan. Sentuh. Anakku," geram Rina, setiap kata ditekan dengan kebencian murni.
"Aku tidak perlu menyentuhnya," tawa Anindita lagi. "Aku hanya perlu menghancurkanmu. Dan dia akan menjadi penonton barisan terdepan."
Sambungan telepon terputus. Rina berdiri mematung, ponsel tergenggam erat di tangannya yang sedingin es. Ia langsung menekan nomor Budi.
"Bud! Dia menelepon!" seru Rina panik begitu Budi menjawab. "Dia mengancam Lia! Pulang sekarang, Bud! Pulang!"
"Tenang, Rin, tenang! Aku segera pulang! Kunci semua pintu, jangan buka untuk siapa pun!" suara Budi terdengar panik di seberang sana.
Rina berlari mengelilingi rumah, memeriksa setiap kunci di pintu dan jendela, memastikan bentengnya aman. Ia menarik Lia ke dalam pelukannya, mencoba menenangkan anaknya yang mulai ketakutan melihat kepanikan ibunya.
Saat itulah ia mendengarnya. Suara langkah kaki yang pelan di teras depan.
Dengan jantung yang berdebar di tenggorokan, Rina berjalan mengendap-endap ke pintu depan. Ia mengintip melalui lubang intip.
Anindita berdiri di sana. Hanya beberapa senti dari pintunya. Ia tidak lagi memakai topeng simpatinya. Wajahnya kosong, matanya menatap lurus ke depan dengan intensitas yang membakar. Dan di bibirnya, tersungging senyum tipis yang paling mengerikan yang pernah Rina lihat.
Perlahan, seolah dalam gerakan lambat sebuah mimpi buruk, Anindita mengangkat tangannya.
Tok.
Satu ketukan.
Tok.
Dua ketukan.
Tok.
Tiga ketukan. Pelan, teratur, dan penuh dengan janji akan kengerian yang akan datang.
Bab 48: Badai di Depan Pintu
Ketukan di pintu itu bergema di seluruh rumah, setiap dentumannya seolah meretakkan tulang rusuk Rina. Ia berdiri mematung di balik pintu, memeluk Lia yang mulai menangis ketakutan. Ia menempelkan bibirnya di telinga anaknya, berbisik, "Ssst, tidak apa-apa, Sayang. Mama di sini." Tapi kata-kata itu terasa hampa, karena ia sendiri sedang dilanda teror.
"Rina, aku tahu kamu di dalam," suara Anindita terdengar dari luar, kembali manis dan penuh kepedulian palsu. Sebuah pertunjukan untuk tetangga yang mungkin mendengar. "Bukakan pintunya, Rin. Kita perlu bicara. Aku khawatir sekali padamu."
Rina tidak menjawab. Ia hanya mundur perlahan, menarik Lia menjauh dari pintu, seolah pintu itu bisa meledak kapan saja.
Ketukan itu berhenti. Hening sejenak. Lalu, sebuah suara gedebuk yang keras menghantam pintu, diikuti oleh gedoran yang panik dan marah.
"BUKA PINTUNYA, RINA!" Suara Anindita kini berubah menjadi jeritan yang melengking dan penuh amarah. Topengnya telah lepas. "KAMU PIKIR KAMU BISA MENGHANCURKANKU? KAMU TIDAK TAHU SIAPA YANG SEDANG KAMU LAWAN!"
Gedoran itu semakin keras, semakin brutal. Pintu kayu itu bergetar hebat. Lia menangis semakin kencang, membenamkan wajahnya di bahu Rina. Rina berlari ke arah telepon rumah, tangannya gemetar hebat saat mencoba menekan nomor darurat.
Saat itulah, dari luar, ia mendengar suara-suara lain.
"Bu Sari! Ada apa ini?" Itu suara Pak RT, terdengar tegas dan khawatir.
"Dia mengurung dirinya sendiri! Dia tidak waras!" balas Anindita, suaranya kini terdengar histeris, mencoba memainkan kartu terakhirnya.
"Sudah cukup!" Terdengar suara Bu Siska. "Kami semua sudah tahu kebenarannya. Pergilah sebelum kami panggil polisi!"
Pintu-pintu rumah lain mulai terbuka. Para tetangga, yang semalam menjadi penonton bisu, kini keluar dari sarang mereka. Mereka membentuk barikade manusia yang tak terlihat di antara Rina dan monsternya.
Gedoran di pintu berhenti. Anindita, yang menyadari panggungnya kini dipenuhi oleh saksi mata yang memusuhinya, terdiam. Tepat pada saat itu, sebuah mobil melaju kencang memasuki jalan kompleks dan berhenti dengan decitan ban yang memekakkan telinga. Budi melompat keluar, wajahnya pucat pasi karena panik.
"RINA!" teriaknya, berlari menuju teras.
Melihat Budi, melihat para tetangga yang menatapnya dengan jijik, melihat benteng terakhirnya runtuh, sesuatu di dalam diri Anindita akhirnya patah. Wajahnya yang cantik berubah menjadi seringai kebencian yang mengerikan.
"KALIAN SEMUA BODOH!" pekiknya, menunjuk satu per satu para tetangga. "Kalian menikmati kebahagiaan palsu kalian! Aku hanya mencoba menyelamatkan kalian! Kalian semua akan hancur, sama seperti dia!" Ia menunjuk ke arah pintu rumah Rina.
Budi sudah sampai di teras, memposisikan dirinya di antara Anindita dan pintu, melindunginya. "Pergi dari sini," geram Budi, suaranya rendah dan penuh ancaman.
Anindita tertawa, tawa yang terdengar seperti pecahan kaca. "Ini belum selesai," desisnya, menatap tajam ke arah Budi, lalu ke pintu di belakangnya. "Aku akan mengambil semuanya dari kalian."
Dengan ancaman terakhir itu, ia berbalik. Ia berjalan melewati kerumunan tetangga yang memberinya jalan dengan tatapan ngeri. Ia masuk ke rumahnya, dan beberapa saat kemudian, mobilnya keluar dari garasi dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Kompleks Asri Kirana dalam keheningan yang penuh dengan gema kemarahannya.
Di dalam rumah, Rina mendengar suara mobil yang menjauh. Kakinya terasa lemas. Ia melorot ke lantai, masih memeluk Lia erat-erat. Pintu di depannya tidak lagi digedor. Badai itu telah berlalu. Untuk saat ini.
Bab 49: Kebenaran dan Pengejaran
Deru mobil Anindita yang menjauh meninggalkan keheningan yang aneh di belakangnya. Debu di jalanan perlahan mengendap, begitu pula dengan keterkejutan di wajah para tetangga. Badai telah berlalu, menyisakan puing-puing emosional yang berserakan di teras rumah Rina.
Budi, dengan tangan yang masih gemetar karena adrenalin, memutar kenop pintu. Pintu itu terbuka, menampakkan pemandangan yang meremukkan hatinya: Rina duduk di lantai, tubuhnya gemetar hebat, memeluk Lia yang menangis tersedu-sedu. Wajah istrinya pucat pasi, matanya kosong menatap dinding, seolah jiwanya baru saja ditarik paksa kembali ke dalam raganya.
"Rin," bisik Budi, berlutut di hadapan mereka. Ia mengulurkan tangan, menyentuh bahu Rina dengan lembut.
Sentuhan itu seolah memecahkan mantra. Rina tersentak, menatap Budi seolah baru pertama kali melihatnya. Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia ambruk ke dalam pelukan suaminya, isak tangis yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah ruah. Budi memeluknya erat, membenamkan wajahnya di rambut Rina, membisikkan kata maaf berulang kali, kata yang terasa begitu kecil dan tidak berarti.
Di luar, para tetangga mulai bergerak. Pak RT, dengan wajah yang tegas dan penuh penyesalan, mengambil alih komando. "Sudah, sudah, Bapak-Ibu, kembali ke rumah masing-masing," katanya. "Biar keluarga Pak Budi tenang dulu. Saya akan urus ini."
Ia kemudian menoleh ke arah Budi. "Pak Budi, kita harus lapor polisi. Sekarang juga."
Beberapa saat kemudian, sebuah mobil patroli tiba, lampu birunya berputar tanpa suara di keheningan malam. Sementara Budi memberikan keterangan kepada polisi, Pak RT dan beberapa warga laki-laki, dengan izin dari petugas, memberanikan diri untuk memeriksa rumah nomor 14.
Mereka kembali dengan wajah yang lebih muram. Rumah itu nyaris kosong. Hanya perabotan-perabotan besar yang tersisa. Tidak ada pakaian di lemari, tidak ada piring di rak, tidak ada foto atau barang pribadi apa pun. Anindita dan suaminya telah pergi, dan kepergian mereka tampak sudah direncanakan dengan rapi. Mereka lenyap seperti hantu, hanya meninggalkan jejak dingin di rumah yang terasa steril itu.
Malam itu, setelah polisi pergi dan para tetangga kembali ke rumah mereka masing-masing, Rina duduk di sofa, dibalut selimut hangat oleh Budi. Lia sudah tertidur di kamarnya, lelah setelah menangis. Rumah itu terasa aman, tetapi tidak lagi terasa sama.
Rina menatap ke luar jendela, ke rumah kosong di seberang jalan. Anindita telah pergi, tetapi kehadirannya masih terasa begitu kuat. Ia telah meninggalkan kekacauan yang tak terlihat. Kepercayaan di antara para tetangga telah retak. Hubungan Rina dan Budi telah terluka parah. Dan di dalam diri Rina, ada sebuah luka psikologis yang ia tahu tidak akan bisa sembuh dalam semalam.
Kebenaran telah terungkap, dan pengejaran terhadap Anindita secara hukum telah dimulai. Namun, Rina sadar, ada pengejaran lain yang jauh lebih sulit menanti mereka semua: pengejaran untuk menemukan kembali kedamaian dan kewarasan yang telah direnggut paksa dari mereka. Dan itu adalah perjalanan yang jauh lebih panjang dan sunyi.
Bab 50: Pemulihan yang Panjang (Epilog)
Dua tahun berlalu.
Sore itu, tawa Lia yang kini berusia sembilan tahun terdengar renyah di halaman belakang, bercampur dengan suara Budi yang berpura-pura menjadi monster yang mengejarnya. Rina tersenyum dari teras, secangkir teh hangat di tangannya. Pemandangan itu—suaminya yang tertawa lepas, putrinya yang berlari riang di antara pot-pot bunga—adalah sebuah pemandangan yang pernah nyaris direnggut darinya. Kini, setiap momen normal seperti ini terasa seperti sebuah kemewahan, sebuah kemenangan yang diperjuangkan dengan susah payah.
Kompleks Asri Kirana tidak pernah kembali sama. Kepercayaan yang dulu retak tidak pernah bisa dilem kembali dengan sempurna. Namun, sesuatu yang baru dan lebih kuat tumbuh di atas puing-puing itu. Tidak ada lagi basa-basi yang dangkal. Percakapan di antara para tetangga kini lebih tulus, lebih hati-hati, seolah mereka semua sadar betapa rapuhnya kedamaian dan betapa mudahnya ia diracuni. Mereka adalah para penyintas dari sebuah perang sunyi, diikat oleh luka yang sama.
Pengejaran hukum terhadap Anindita dan Prakoso berjalan alot dan penuh liku. Anindita menghilang tanpa jejak. Namun, berkat bukti-bukti yang Rina kumpulkan, Prakoso dan Wibisono Group terseret dalam skandal spionase korporat yang besar. Apapun hasilnya nanti, Rina sudah menemukan kedamaiannya. Kemenangan terbesarnya bukanlah di ruang sidang, melainkan di sini, di teras rumahnya.
Hubungannya dengan Budi telah melalui api. Kepercayaan mereka hancur menjadi abu, lalu dibangun kembali, bata demi bata, di atas fondasi kejujuran yang menyakitkan dan pengampunan yang sulit. Luka itu masih ada, sebuah garis tipis di hati mereka, tetapi luka itu tidak lagi terasa sakit. Itu hanya menjadi pengingat—pengingat akan kerapuhan dan kekuatan cinta mereka.
Saat senja mulai turun dan Budi memanggil Lia untuk masuk, pandangan Rina tanpa sengaja beralih ke seberang jalan. Ke rumah nomor 14.
Rumah itu masih kosong. Catnya mulai sedikit mengelupas, dan tamannya ditumbuhi rumput liar. Sebuah plang "DIJUAL" yang sudah kusam tertancap di halamannya, seolah menyerah pada sejarah kelam yang menyelimutinya. Rumah itu tidak lagi terasa mengancam. Tidak ada lagi kegelapan yang bernapas di balik jendelanya. Itu hanyalah sebuah bangunan kosong, sebuah cangkang yang ditinggalkan oleh monsternya.
Namun, bagi Rina, rumah itu akan selalu menjadi sebuah monumen. Monumen pengingat bahwa monster yang paling menakutkan bukanlah yang bersembunyi di kegelapan dengan cakar dan taring. Monster yang paling menakutkan adalah yang datang di siang hari bolong, membawa senyuman hangat dan sepiring kue.
Ia merenung, menatap rumah itu untuk terakhir kalinya sebelum masuk ke dalam. Luka fisik bisa sembuh, meninggalkan bekas luka sebagai bukti perjuangan. Tetapi luka dari kata-kata, dari bisikan beracun dan fitnah yang halus, adalah luka yang tak kasat mata. Luka itu meresap ke dalam jiwa, mengendap di aliran darah, dan meninggalkan bekas yang lebih dalam dan lebih abadi dari apapun. Bekas luka yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang pernah selamat dari senyuman yang mematikan.

