Bab 1 – Tatapan Pertama
Matahari menimpa halaman sekolah seperti lampu sorot raksasa. Rumput di pinggir lapangan masih basah setelah hujan subuh, meninggalkan aroma tanah yang menusuk hidung. Suara peluit Pak Sarwan, guru olahraga, melengking panjang, seolah sengaja mengiris telinga semua murid.“Berdiri tegak! Jangan banyak gerak!” bentaknya.Rayyan menahan napas. Panas bukan cuma dari matahari—tapi juga dari tatapan ratusan pasang mata. Ia berdiri di bawah tiang bendera, sendirian, jadi tontonan gratis anak-anak seangkatan.Sial. Semua gara-gara Arif.“Bangunin aku katanya, udah jam setengah tujuh,” gumam Rayyan dalam hati. Tapi yang terjadi tadi pagi, Arif malah ikut ketiduran setelah main Mobile Legend semalaman. Rayyan baru melek pas ayam tetangga sudah selesai berkokok.Sekarang, dia harus menanggung malu sendiri.Keringat menetes di pelipisnya. Seragam putih biru yang mestinya rapi sudah kusut karena buru-buru. Sepatunya belepotan lumpur—efek lari ngebut dari gang rumah ke sekolah.“Kalau telat, jadi contoh!” suara Pak Sarwan makin keras. “Supaya yang lain kapok!”Gelak tawa kecil terdengar dari barisan kelas VIII. Rayyan menunduk, pura-pura nggak dengar. Perutnya seperti diremas.Tiba-tiba, tanpa sengaja, matanya nyangkut pada satu titik di barisan depan.Seorang gadis.Dia duduk dengan tenang, tangan di atas lutut, wajah sedikit menunduk. Rambut hitamnya tergerai rapi, kontras dengan kerah putih bersih yang belum ternoda keringat. Ada sesuatu di matanya saat menoleh sekilas ke arah Rayyan—bukan tatapan mengejek seperti teman-teman lain, juga bukan tatapan kasihan. Lebih seperti… dingin, tapi anehnya membuat dada Rayyan bergetar.Deg.Jantungnya melompat.Rayyan buru-buru mengalihkan pandangan, tapi matanya seperti punya kemauan sendiri. Beberapa kali ia curi-curi lihat, dan setiap kali, perasaan itu makin sulit dijelaskan. Seolah dunia di sekeliling mendadak mengecil—suara murid lain, teriakan guru, semua melebur, menyisakan hanya dirinya… dan gadis itu.“Siapa, sih, dia?” Rayyan menggigit bibir, berusaha tetap tegak. “Kayaknya anak baru… belum pernah lihat sebelumnya.”Sementara pikirannya sibuk bertanya, upacara berjalan lambat sekali. Tiang bendera jadi tiang gantungan. Matahari makin menusuk.Ketika akhirnya lagu Indonesia Raya berhenti berkumandang, Rayyan merasa lututnya hampir goyah. Peluit dibunyikan lagi. Murid-murid bubar menuju kelas.Pak Sarwan melirik tajam. “Kamu, Rayyan. Jangan telat lagi! Paham?”“Siap, Pak…” Rayyan menunduk.Begitu dilepas, ia langsung kabur ke belakang barisan, mencari Arif.“Woi, pahlawan tiang bendera!” Arif sudah menunggu sambil nyengir lebar.Rayyan mendengus. “Asu, kau. Katanya mau bangunin aku. Lha malah ngorok.”“Eh, eh, salahku apa coba? Aku kan juga telat, cuma bedanya aku sempat nyusup ke belakang barisan. Hehehe.”“Makanya mukamu tebal.”Arif ngakak, menepuk bahu Rayyan. “Tapi sumpah, tadi kau kayak… apa ya, patung pancasila gitu. Semua orang lihat ke arahmu.”Rayyan menendang kerikil di jalan setapak menuju kelas. “Bodoh. Malu kali aku.”“Ah, enggak juga. Eh, eh, tapi tadi aku lihat kau nyolong-nyolong pandang ke depan.” Arif mencondongkan tubuh, matanya menyipit. “Ke siapa hayo?”Rayyan tercekat. Wajahnya panas lagi, bukan karena matahari. “Hah? Mana ada!”“Boongmu. Aku hafal betul kalau kau lagi salah tingkah. Jadi siapa? Yang rambutnya kepang dua? Atau—”“Udah, diamlah kau!” Rayyan mendorong pelan sahabatnya.Arif makin jahil. “Hehe, kalau bukan berarti… ohhh, yang duduk di barisan depan, paling pojok kanan? Anak baru itu ya?”Rayyan pura-pura sibuk menata tali sepatunya, tapi senyum tipis yang lolos dari bibirnya langsung ketahuan.“Ketahuan!” Arif menuding. “Mukamu merah! Hahaha!”Rayyan menggerutu, “Sok tau.” Tapi dalam hatinya, ia tak bisa menepis rasa penasaran yang terus menggedor-gedor kepala.Anak baru itu… siapa namanya? Dari mana asalnya? Kenapa tatapannya barusan terasa beda, seolah menembus langsung ke dadanya?Di kelas, guru matematika sudah menunggu. Rayyan berusaha fokus pada papan tulis, tapi pikirannya berkelana. Goresan kapur membentuk angka-angka, namun di matanya cuma muncul satu wajah: gadis barisan depan tadi.Dia bahkan nggak sadar saat Arif nyolek sikunya.“Woy, ngelamun lagi?” bisik Arif.Rayyan gelagapan. “Enggak, biasa aja.”“Biasa apanya. Matamu kosong kayak ikan asin.”Rayyan menunduk, menulis angka asal di buku catatannya. Tangannya agak gemetar.Jadi beginikah rasanya? Sesuatu yang selama ini cuma ia lihat di sinetron-sinetron emak atau cerita-cerita yang sering diejeknya. Jantung berdegup tanpa alasan, pikiran kabur, dunia jadi ribut tapi hening sekaligus.“Bodoh kali aku,” gumamnya pelan.Bel istirahat berbunyi. Siswa-siswi berhamburan keluar kelas, sebagian ke kantin, sebagian nongkrong di koridor. Suara tawa, bau gorengan, dan riuh obrolan bercampur jadi satu.Rayyan duduk di bangku, memainkan tutup botol minuman yang entah dari mana muncul. Arif kembali dengan dua risol di tangannya.“Nih. Makanlah, biar mukamu nggak pucat lagi.”Rayyan menerima, menggigit setengah hati.“Masih mikirin anak baru itu, kan?” Arif menatap penuh selidik.Rayyan menahan senyum, tapi akhirnya menyerah. “Iya, Rif. Gila, ya? Baru sekali lihat, tapi kayak… entahlah.”Arif mengunyah santai. “Ya udah, gampang. Tinggal tanya wali kelas besok. Namanya siapa, asal dari mana. Selesai.”“Kalau ternyata dia nggak peduli sama aku?”Arif tertawa kecil. “Belum coba udah takut. Dasar.”Rayyan menengadah, menatap langit yang cerah kembali. Dalam hati, kalimat itu muncul begitu saja, sederhana tapi tegas:Namanya siapa, ya? Besok… harus tahu.
Bab 2: Usaha PertamaKipas angin di langit-langit berdecit pelan, seolah malas bekerja setelah pelajaran olahraga yang bikin seluruh kelas bau keringat. Seragam putih abu-abu siswa SMP itu sudah tidak lagi putih bersih—ada bercak tanah, ada yang basah karena air wudhu, ada juga yang jelas-jelas kena noda rumput. Rayyan duduk di bangku baris tengah, tapi matanya tidak pernah benar-benar fokus ke papan tulis.Sejak bel masuk tadi, pikirannya hanya melayang pada gadis kemarin. Gadis yang tatapannya sekilas saja sudah bikin jantungnya berdetak tak karuan.“Lo ngapain sih senyum-senyum sendiri?” Arif, sahabatnya, menyikut lengan Rayyan sampai buku tulisnya bergeser. “Jangan bilang lo lagi naksir Bu Yuni.”Rayyan buru-buru menutup wajah dengan buku. “Apaan sih, Rif. Gila aja lo. Mana ada.”“Ya terus? Dari tadi lo kayak orang linglung. Mata lo muter-muter kayak kipas angin. Pasti ada yang lo intip.”Rayyan menelan ludah. Pelan, ia melirik ke arah depan kelas. Kursi dekat jendela, baris kedua dari depan. Di situ gadis itu duduk, rambutnya diikat rapi, wajahnya menunduk serius ke buku catatan. Ia tidak banyak bicara, bahkan saat teman sebangkunya cerewet mengajaknya ngobrol.“Eh, itu toh sasaran lo.” Arif nyengir lebar begitu melihat arah pandang Rayyan. “Wah, pantesan….”“Diam, Rif. Jangan keras-keras.” Rayyan panik, buru-buru menunduk sambil menutup wajahnya dengan buku.“Tenang aja, gue kan bukan toa masjid.” Arif terkekeh. “Tapi serius, lo bahkan belum tahu namanya, kan?”Rayyan menghela napas. Itu benar. Yang dia punya cuma tatapan singkat di lapangan kemarin. Nama saja belum. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang bikin dia terus kepikiran.Bel istirahat berbunyi. Suasana kelas langsung riuh: ada yang lari ke kantin, ada yang rebutan bekal, ada juga yang sekadar nongkrong di koridor. Rayyan masih duduk di kursinya, memainkan pulpen, menatap punggung gadis itu yang berjalan keluar kelas.Kesempatan, pikirnya.“Rif, lo tau nama dia nggak?” Rayyan setengah berbisik, setengah memohon.“Mana gue tau. Gue bukan Google.” Arif mengangkat bahu. “Kenapa nggak lo tanya langsung aja?”Rayyan melotot. “Lo kira gampang?”“Ya kalau nggak gampang, lo selamanya bakal manggil dia ‘eh’.”Rayyan menunduk, lalu melirik meja guru di depan. Di situ ada buku absensi kelas yang terbuka setengah. Sialnya, letaknya agak jauh.“Rif… kalau gue pura-pura maju ke depan, terus gue intip absensi, kira-kira ketahuan nggak ya?”Arif langsung ngakak. “Lo mau jadi ninja, Yan?”Rayyan menggigit bibir. Tapi rasa penasarannya makin nggak tertahankan. Saat beberapa anak heboh keluar kelas, Rayyan berdiri, pura-pura merapikan buku di meja guru. Tangannya pelan membuka lembar absensi.Deretan nama menari di matanya. Ahmad, Bayu, Citra, Dewi…. Jantung Rayyan berdegup semakin keras. Lalu—“Rayyan! Lagi ngapain kamu?” suara tegas membuatnya melonjak. Itu Pak Anwar, guru olahraga yang kebetulan masuk hanya untuk mengambil sesuatu.“Eh, anu, Pak… ini… bolpen saya jatuh.” Rayyan buru-buru menunduk, pura-pura memungut sesuatu di lantai.Pak Anwar mendengus, lalu pergi tanpa curiga lebih lanjut. Rayyan cepat-cepat kembali ke kursinya.Arif sudah ngakak sampai perutnya sakit. “Bolpen jatuh di meja guru, Yan? Kreatif banget alibinya!”Rayyan menunduk, wajahnya panas. Tapi sebelum sempat melihat lebih jauh, absensi sudah tertutup rapat. Gagal.Di kantin, Rayyan masih kepikiran. Nasi goreng di depannya sudah dingin. Ia menatap Arif yang dengan lahap menghabiskan bakso.“Rif, kalau misalnya gue nulis catatan, terus lo yang kasih ke dia, kira-kira berhasil nggak?”Arif hampir keselek. “Catatan? Lo pikir ini film jadul? Isinya apa coba?”Rayyan mengambil sobekan kertas dari buku tulis, menuliskan cepat dengan tangan gemetar:Hai, namamu siapa?Arif membaca, lalu langsung terbahak. “Astaga, Yan. Ini kayak anak SD kirim surat cinta.”“Ya kan gue cuma mau tahu namanya dulu.” Rayyan menghela napas. “Gue nggak berani kalau ngomong langsung.”Arif menggeleng, tapi akhirnya mengambil kertas itu. “Ya udah. Nanti gue cari momen.”Rayyan meneguk teh botolnya, perasaan campur aduk antara deg-degan dan harapan.Kembali ke kelas, suasana sudah agak tenang. Guru belum masuk. Diana—Rayyan akhirnya mendengar bisik-bisik teman cewek lain menyebut namanya tadi di kantin, Diana—sedang menulis sesuatu di buku catatannya.Arif berdehem pelan, lalu menyelipkan kertas kecil itu di ujung meja Rayyan. “Nih, lo aja yang kasih. Gue mundur, takut ketularan norak.”Rayyan menelan ludah. Tangannya gemetar saat menggenggam kertas kecil itu. Ia menatap punggung Diana yang duduk tak jauh di depannya.Oke, sekarang atau nggak sama sekali.Rayyan berdiri, pura-pura mau buang sampah ke tong sampah di depan kelas. Saat lewat di dekat bangkunya, ia berniat menaruh kertas itu pelan-pelan.Tapi nasib berkata lain.Kertas kecil itu lepas dari genggamannya, jatuh tepat di lorong antara dua baris meja.“Eh, apa nih?” Seorang teman cowok, Raka, buru-buru memungutnya. Dengan suara keras ia membaca: “Hai, namamu siapa?”Seisi kelas langsung heboh. “Wooooo!” Suara tertawa, siulan, teriakan bercampur jadi satu.Wajah Rayyan langsung panas. Ia meraih kertas itu, tapi sudah terlambat. Semua orang sudah mendengar.Arif menutup wajah dengan tangan sambil tetap ngakak. “Mampus lo, Yan.”Rayyan hanya bisa kembali ke kursinya, wajah menunduk dalam-dalam. Ia tidak berani melirik Diana sama sekali.Pelajaran berikutnya berjalan lambat. Rayyan sama sekali tidak fokus. Setiap detik terasa menyiksa. Ia menatap halaman buku catatannya yang kosong, lalu menggambar coretan acak hanya untuk menahan malu.Ketika bel pulang berbunyi, ia menghela napas panjang. Setidaknya penderitaan hari ini selesai.Namun, di tengah kerumunan anak-anak yang keluar kelas, Rayyan sempat menoleh ke arah kursi Diana. Gadis itu masih duduk tenang, merapikan bukunya, wajahnya sama sekali tak menunjukkan ekspresi. Tidak tersenyum, tidak marah, tidak juga mengejek. Dingin, seakan kejadian tadi tidak ada hubungannya dengan dia.Rayyan menggigit bibir.Malu banget. Tapi entah kenapa, rasa penasarannya justru semakin menjadi-jadi.Dalam perjalanan pulang, Arif masih meledek, tapi Rayyan hanya mendengar setengah hati. Ia sudah membuat keputusan di dalam kepala.Gagal sekali bukan berarti selesai.Besok, ia akan coba lagi.
Bab 3Seribu Satu AlasanRayyan berdiri di depan pintu kelas, tangannya meremas resleting tas sampai bunyi krek-krek terdengar jelas. Pagi itu ia sengaja datang lebih awal—setengah jam sebelum bel masuk—padahal biasanya ia termasuk yang suka lari-lari panik di detik terakhir. Tapi hari ini berbeda. Hari ini ia punya misi.Jantungnya berdegup aneh, bukan karena takut terlambat, tapi karena kemungkinan besar ia bakal ketemu gadis itu. Diana.Ia melirik ke dalam kelas. Masih sepi. Hanya ada suara kursi berderit saat penjaga sekolah menyapu lantai. Aroma pel lantai yang menyengat menusuk hidung. “Hmm… kayaknya masih lama dia dateng,” gumamnya, mencoba menenangkan diri, tapi malah makin gelisah.Tak lama kemudian, Arif muncul dengan langkah malas, rambutnya masih acak-acakan. “Woi, Rayyan! Gila, lu ngapain pagi amat? Lu ketuker sama satpam sekolah ya?”Rayyan mengernyit. “Biasa aja, Rif. Gue cuma… ya, pengen aja dateng pagi.”Arif menyipit curiga, lalu tiba-tiba nyengir. “Heh… jangan-jangan gara-gara… Diana?”Rayyan buru-buru menoleh ke arah lain. “Siapa tuh, nggak kenal.”“Alah, muka lu merah, Yan. Pake bohong segala. Ayo ngaku, pasti gara-gara kemarin malu tuh, kertas jatuh.” Arif ngakak keras sampai penjaga sekolah melirik.“Shh! Pelan dikit!” Rayyan mendesis, wajahnya makin panas. Kenangan kemarin langsung terputar di kepalanya: kertas kecil dengan tulisan kikuknya yang jatuh di tengah kelas. Semua orang lihat. Malu setengah mati.Arif akhirnya duduk di meja belakang. “Tenang, bro. Gagal sekali bukan berarti kiamat. Hari ini kita pake strategi baru.”Rayyan mengerjap. “Strategi?”“Yoi. Pura-pura pinjem barang. Kayak penghapus. Atau pensil. Kan klasik banget, tapi manjur.”Rayyan menatapnya lama, seolah Arif baru saja menemukan cara menjual martabak lewat TikTok. “Itu… trik apaan sih? Kayak sinetron jam lima sore.”“Eh, jangan ngeremehin. Dulu bokap gue deketin nyokap juga pake trik pinjem buku tulis,” jawab Arif santai.Rayyan mendengus, tapi jantungnya diam-diam makin cepat. Mungkin… bisa dicoba?Bel masuk berbunyi. Suara langkah kaki memenuhi koridor, anak-anak berlarian masuk ke kelas. Suara gaduh bercampur: ada yang teriak minta tempat duduk, ada yang ribut rebutan bolpoin, ada juga yang sudah sibuk buka bekal meski pelajaran belum mulai.Rayyan duduk di bangkunya, pura-pura sibuk merapikan tas. Matanya sesekali melirik ke depan. Dan di situlah ia muncul. Diana.Rambut hitamnya tergerai rapi, wajahnya datar, langkahnya tenang seakan semua hiruk pikuk kelas nggak ada artinya. Ia duduk di kursi dekat jendela, membuka buku tanpa banyak bicara.Rayyan menelan ludah. Oke, saatnya. Pinjem penghapus. Kedengarannya gampang, tapi kakinya tiba-tiba kaku. Tangannya dingin.“Yan, maju!” bisik Arif dari belakang, memberi kode dorongan seperti wasit futsal.Dengan napas tertahan, Rayyan bangkit, melangkah pelan ke meja depan. “E… ehm…”Diana menoleh sebentar, alisnya terangkat tipis. “Apa?”Rayyan hampir lupa kalimatnya. “A-anu… penghapus. Bisa… pinjemin, nggak?”Diana menatapnya sejenak, lalu menggeser penghapus ke tepi meja. “Nih.” Suaranya singkat, datar.Rayyan cepat-cepat mengambilnya. “M-makasih ya.”Tapi belum sempat ia balik badan, Diana sudah kembali menunduk, menulis di bukunya. Rayyan berdiri canggung beberapa detik, lalu akhirnya kembali ke tempat duduk.Arif langsung nyikutnya. “Wih, berhasil tuh. Ada kemajuan.”Rayyan mendesah. “Kemajuan apaan. Dia bahkan nggak senyum.”“Bro, tahap awal emang gitu. Yang penting udah ada interaksi. Besok kita coba trik baru lagi.”Rayyan hanya bisa menunduk, merasa setengah bangga, setengah patah semangat.Saat jam istirahat, kantin sekolah jadi arena perang. Suara wajan menggoreng, teriakan penjual, aroma gorengan dan bakso campur aduk. Anak-anak berdesakan rebutan tempat duduk.Rayyan ikut antre, berdiri canggung sambil memegangi uang receh di kantong. Matanya sibuk mencari-cari, dan—bam!—ia melihat Diana.Diana duduk di sudut kantin bersama seorang cewek berkacamata, wajahnya ramah dan gampang senyum. Itu Siska, sahabatnya. Mereka berdua tampak asyik ngobrol, sesekali tertawa kecil.Rayyan menelan ludah. Ini kesempatan.Arif, yang sudah memesan dua bakso sekaligus, nyenggol bahunya. “Gas, Yan. Sapa dia. Atau pura-pura nolong bawain buku.”Rayyan ragu. Tapi sebelum bisa menolak, Arif sudah mendorongnya pelan ke arah meja Diana.Langkah Rayyan kaku. Tangannya berkeringat. Ia berusaha tersenyum, tapi malah terasa aneh. “Ehm… hai. Aku…”Diana menoleh dengan tatapan dingin. “Ada apa lagi?”Rayyan tercekat. “Aku cuma… mau nanya, kamu…”Belum selesai, Siska menyahut dengan ramah, “Eh, Rayyan ya? Mau duduk bareng? Kursinya masih ada nih.”Rayyan lega sejenak. “Oh, boleh? Makasih—”Tapi Diana cepat-cepat memotong, nada suaranya tajam. “Sis, jangan. Aku nggak nyaman kalau rame.”Siska terdiam, kikuk. Rayyan merasa darahnya turun ke kaki.Ia mencoba bertahan. “Aku cuma… mau balikin penghapus tadi. Makasih ya.” Ia meletakkan penghapus di meja, lalu hendak pergi.Namun sebelum sempat melangkah, suara dingin Diana menusuk telinga. “Bisa nggak kamu nggak ganggu aku lagi?”Seakan seluruh kantin mendadak sunyi. Rayyan terpaku, wajahnya panas terbakar. Ia ingin menghilang.Siska menatap Rayyan dengan tatapan iba. “Maaf, dia lagi capek mungkin…”Tapi Rayyan hanya menggeleng cepat, berusaha tersenyum padahal bibirnya kaku. “Nggak apa-apa.” Lalu ia berbalik, melangkah cepat keluar kantin.Arif menyusul, masih mengunyah bakso. “Yan! Woi! Jangan baper. Dia cuma… ya gitu, galak doang.”Rayyan berhenti di lorong sepi, menunduk. Dadanya sakit. Kata-kata Diana terulang-ulang di kepalanya: “Bisa nggak kamu nggak ganggu aku lagi?”Matanya panas, tapi ia menahan. Ia bukan tipe yang mau nangis di sekolah.Setelah beberapa detik, ia menghela napas panjang. Dalam hati, ada suara kecil yang muncul: Kalau dia nggak suka diganggu, berarti aku harus cari cara lain.Rayyan mengepalkan tangan. Malu, iya. Sakit hati, jelas. Tapi entah kenapa, semangatnya justru tumbuh. Ia nggak mau berhenti hanya karena satu kalimat.“Seribu satu alasan, Yan,” gumamnya pelan. “Kalau dia nolak satu, kita cari alasan lain.”Arif menepuk bahunya, meski masih ada kuah bakso menempel di sendoknya. “Itu baru sahabat gue. Jangan nyerah. Ingat, semua cewek galak di awal, manis di ending.”Rayyan menoleh, mengerling sebal. “Ngaco, lu. Hidup bukan drama.”Arif ngakak. “Ya terus? Kita bikin dramanya sendiri dong!”Rayyan menggeleng, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit. Meski hatinya masih perih, ada tekad baru yang menyala. Ia tahu satu hal: perjalanannya belum selesai. Malah baru dimulai.
Bab 4: Strategi BaruPeluit panjang dari Pak Deni, guru olahraga, memecah udara pagi yang sudah panas sejak bel masuk tadi. Lapangan dipenuhi anak-anak yang bersorak, berlarian, sebagian cuma duduk di pinggir sambil ngipasin diri dengan buku tulis. Bau keringat bercampur debu lapangan bikin tenggorokan kering, tapi suasana hebohnya entah kenapa justru bikin Rayyan tambah deg-degan.Bukan karena futsalnya. Tapi karena matanya menangkap sosok Diana di pinggir lapangan. Duduk santai bareng Siska, sahabatnya, sambil sesekali mengikat rambut yang jatuh. Bukan senyum yang Rayyan lihat, melainkan tatapan dingin khas Diana, tapi tetap saja bikin jantungnya lari maraton lebih cepat daripada pemain yang lagi ngejar bola.“Ray, lo serius mau nunjukin skill futsal lo sekarang? Lo kan striker cadangan abadi,” bisik Arif di sampingnya sambil terkekeh.Rayyan menelan ludah, tangannya menggenggam celana olahraga yang udah penuh debu. “Justru itu, Rif. Kalau gue cetak gol sekali aja, dia pasti bakal ngelirik gue.”Arif ngakak keras. “Yang ada lo kepleset, terus diketawain satu lapangan.”Peluit berbunyi lagi, tanda permainan dimulai. Rayyan maju dengan penuh semangat. Bola baru aja digiring, Rayyan langsung teriak, “Pass ke gue! Pass!”Anak kelas sebelah ngoper bola ke arah Rayyan. Semua mata di lapangan seolah ikut menyorot. Termasuk… Diana. Rayyan bisa ngerasain.Bola meluncur deras. Rayyan panik, tapi berusaha keliatan tenang. Dia tarik kaki kanannya ke belakang, siap nendang sekuat tenaga.“Duarrr!” Tendangannya keras… tapi malah meleset. Bola justru kena ujung sepatunya, mental ke atas, melambung jauh, nyaris keluar lapangan.Sorak-sorai pecah.
“Woiii, main futsal apa main baseball, Ray?!”
“Strike one!”
Suara tawa memenuhi lapangan.Rayyan terhenti di tengah, wajahnya panas kayak wajan bekas goreng bakwan. Dia ngelirik sekilas ke pinggir lapangan—dan betul, Diana masih di situ. Tapi bukannya terkesan, dia justru menunduk lagi ke buku catatannya, pura-pura nggak lihat.Arif di pinggir lapangan sampai terbatuk-batuk nahan ketawa. “Ray… gue nggak kuat. Itu tadi epic banget.”Rayyan cuma bisa ngelus jidat, keringat bercucuran.Permainan lanjut, tapi Rayyan udah nggak fokus. Setiap kali bola ke arahnya, dia grogi sendiri. Bukannya gol, dia malah jatuh kepeleset kena rumput licin, bikin celana belepotan tanah. Sorak-sorai makin menjadi.Akhirnya, setelah peluit panjang tanda selesai, Rayyan terduduk lemas di pinggir lapangan. Arif datang bawa botol minum sambil masih cekikikan.“Ray, serius deh, kalau tujuan lo bikin dia inget sama lo, itu berhasil. Tapi sayangnya, ingetnya bukan karena lo jago, tapi karena lo kayak badut lapangan.”Rayyan menghela napas panjang, menenggak air dengan cepat. “Yaelah, Rif… gue cuma salah timing. Next time pasti bisa.”Arif menepuk bahunya. “Atau next time lo bikin strategi baru. Jangan modal gaya doang.”Sehabis olahraga, sekolah kembali normal. Anak-anak berhamburan ke kelas, sebagian langsung ke kantin. Aroma gorengan, nasi uduk, dan es sirup merah dari kantin menyeruak ke lorong. Tapi Rayyan nggak ikut ke sana. Ada satu tempat yang udah dia incar: perpustakaan.Dia tahu, biasanya Diana dan Siska suka mampir ke sana sepulang olahraga. Entah buat belajar beneran atau sekadar duduk di ruangan adem ber-AC.Begitu masuk, kontras banget. Dari lapangan yang riuh, ke ruangan yang sunyi. Bau kertas dan pendingin ruangan langsung menusuk. Hening, cuma ada suara kipas AC berputar pelan.Dan benar, di pojok meja dekat jendela, ada Diana dan Siska. Dua-duanya menunduk, buka buku catatan. Diana sesekali menulis sesuatu, wajah serius.Rayyan menarik napas panjang, berusaha terlihat santai. “Oke, Ray… jangan kayak di lapangan tadi,” gumamnya pelan.Dia jalan mendekat, pura-pura nyari buku. Tangannya asal tarik buku dari rak—ternyata novel roman yang sampulnya penuh gambar bunga. “Ah, bodo amat,” pikirnya.Dia melangkah ke meja mereka. “Eh… kalian di sini juga?” suara Rayyan terdengar lebih cempreng dari biasanya.Siska mendongak duluan, senyum kecil. “Iya, lagi ngerjain PR.”Diana hanya mengangkat kepalanya sebentar, lalu kembali menunduk. “Ada apa?” nadanya datar.Rayyan kikuk, berdiri canggung dengan buku random di tangannya. “Aku… eh, aku cuma mau nanya, PR Matematika nomor lima itu pake rumus apa, ya?”Siska refleks meraih bukunya. “Oh, gampang kok, pake—”Tapi Diana langsung menutup buku Siska dengan tangannya. Tatapannya tajam ke arah Rayyan. “Rayyan. Bisa nggak… kamu nggak ganggu aku lagi?”Kata-kata itu turun seperti palu godam.Rayyan terdiam. Rasanya perutnya ditusuk dari dalam. Nafasnya tercekat, tangan yang megang buku ikut bergetar. Sekeliling mendadak terasa lebih sunyi, meski ruangan memang udah senyap sejak awal.Siska menoleh ke Diana, kaget. “Eh, Di…”Tapi Diana tetap dingin, menunduk lagi ke bukunya, seolah nggak terjadi apa-apa.Rayyan menelan ludah. Wajahnya panas, telinganya merah. Dia memaksa senyum canggung. “Oh… iya. Maaf ya.”Dia mundur beberapa langkah, lalu duduk di meja jauh. Pura-pura membuka buku roman bunga yang bahkan nggak dia ngerti isinya.Dari jauh, dia masih bisa melihat Diana menulis, seolah hidupnya tak terganggu sama sekali.Rayyan menunduk. Malu. Kecewa. Tapi anehnya… ada percikan kecil yang muncul. Kata-kata Diana memang nyakitin, tapi bukan berarti game over.“Kalau dia nggak suka diganggu, berarti gue harus cari cara lain,” gumamnya dalam hati. “Gue nggak boleh cuma jadi badut. Gue harus ngerti dia.”Dan untuk pertama kalinya, Rayyan nggak cuma mikirin gimana caranya bikin Diana ketawa atau melirik. Dia mulai mikirin gimana caranya bisa masuk ke dunia dingin itu… tanpa harus maksa.
Bab 5 – Langkah NekatSuara gaduh memenuhi ruang OSIS siang itu. Brosur warna-warni berserakan di meja panjang, menumpuk seperti kertas undangan yang tak terbaca. Anak-anak berdesakan, berebut daftar hadir, tawa dan teriakan bercampur jadi satu. Bau kertas brosur yang masih baru bercampur dengan aroma spidol permanen di papan tulis, membuat kepala Rayyan sedikit pusing tapi entah kenapa malah bikin semangatnya naik.“Yan, serius lo mau masuk futsal?” Arif mendorong bahu Rayyan sambil menoleh ke meja yang dikerumuni cowok-cowok berkeringat. “Liat tuh, isinya udah kayak tim nasional wannabe semua. Lo yakin nggak mau bikin malu keluarga?”Rayyan menyipitkan mata. “Eh, jangan remehin gue. Kaki gue ini ibarat—”“Bola boling?” Arif nyengir lebar. “Kalo nendang, target utama selalu penonton, bukan gawang.”“Dasar sirik. Lo aja kagak pernah bisa juggling lebih dari tiga kali.” Rayyan mencoba bersikap tenang, tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Pandangan matanya tak lepas dari sudut ruangan—tepat di meja kecil dekat jendela, Diana dan Siska duduk rapi. Di depan mereka, brosur Jurnalistik tersusun rapi, dan kertas pendaftaran terbuka menunggu tanda tangan.Siska sibuk melayani siswa yang bertanya, sementara Diana menulis sesuatu di clipboard. Gerakannya tenang, rapi, dan—seperti biasa—membuat Rayyan merasa seluruh ruangan tiba-tiba hanya punya satu cahaya lampu sorot, tepat ke arahnya.Arif memperhatikan arah tatapan sahabatnya. “Oh, jadi gitu. Gue ngerti sekarang. Futsal cuma kedok. Target lo sebenernya meja sebelah.”Rayyan menghela napas panjang. “Lo pikir gampang ya? Gue muncul tiba-tiba di situ, pasti dikira stalker.”“Yah, kalo lo nggak niat stalker, minimal keliatan kayak badut kelas yang nyasar.” Arif melipat tangan, wajahnya penuh kepuasan karena berhasil menyindir. “Tapi, hey, gue harus ngaku, strategi baru lo lumayan berani. Nekat banget malah.”Rayyan mengucek pelipisnya. “Gue nggak bisa mundur, Rif. Gue gagal di lapangan kemarin, semua orang ketawa. Sekarang… gue harus nunjukin kalau gue serius.”Arif mendengus. “Serius? Lo masuk jurnalistik? Lo yang tiap ujian Bahasa Indonesia salah titik koma? Wah, ini bakal jadi bahan ketawa gue seumur hidup.”“Biarin. Gue nggak peduli. Kalo ini satu-satunya cara buat deket sama dia, gue ambil.”Arif menepuk bahunya. “Baiklah, Romeo gagal futsal. Gue dukung, asal siap ditolak secara literasi.”Rayyan berdiri di depan meja pendaftaran Jurnalistik. Tangannya dingin, brosur biru muda yang tadi ia ambil dari tumpukan terasa licin oleh keringat. Diana mengangkat kepala, matanya langsung bertemu dengan tatapan Rayyan.Hening sepersekian detik. Rasanya seperti peluit wasit berhenti, teriakan teman-teman menghilang, hanya tersisa tatapan itu—tajam, tapi dingin.“Rayyan?” Nada suara Diana datar, tapi cukup untuk bikin Rayyan hampir mundur. “Kamu mau daftar di sini?”Rayyan menelan ludah. “Iya. Kenapa? Gue… gue suka nulis kok.”Siska yang duduk di samping tersenyum ramah. “Wah, keren dong. Jurnalistik butuh orang kreatif.”Rayyan hampir menjawab “iya, gue kreatif banget kok,” tapi tatapan Diana memaku lidahnya.“Kenapa harus Jurnalistik?” Diana menanyakan lagi, kali ini suaranya sedikit lebih tajam, seolah setiap kata adalah tes yang harus Rayyan lewati.Rayyan mencoba mencari alasan yang tidak terdengar bodoh. “Karena… gue pengen ngerti dunia lo.” Itu kalimat yang melintas di kepala, tapi lidahnya cepat mengoreksi. “Maksudnya, gue pengen belajar cara nyampein cerita dengan bener. Gue kan sering ngawur kalo bikin laporan.”Alis Diana sedikit terangkat, tapi bukan dalam ekspresi kagum. Lebih ke arah ragu, bahkan curiga.“Hmm.” Dia menunduk lagi, menulis sesuatu di kertas. “Kalau begitu, isi formulir ini.”Siska menyodorkan kertas pendaftaran ke Rayyan. Tangannya agak gemetar waktu memegang bolpoin. Saat menulis namanya, ia bisa merasakan tatapan dingin Diana yang entah nyata atau cuma imajinasinya.Arif, yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang, berbisik keras-keras, “Lo yakin, Yan? Nulis nama aja belepotan. Ntar pas suruh bikin artikel, judulnya bisa jadi cerpen horor.”Rayyan menoleh tajam, mencoba memberi kode “jangan ganggu,” tapi Arif hanya cengengesan puas.Setelah selesai menulis, Rayyan menyerahkan formulir itu kembali. Diana menerimanya tanpa senyum, tanpa komentar, hanya satu anggukan singkat. Seperti hakim yang baru saja mengetuk palu, memutuskan masa depan terdakwa.Rayyan berusaha tersenyum. “Makasih ya, gue harap bisa belajar banyak di sini.”Diana tidak menanggapi. Ia sudah sibuk dengan formulir berikutnya.Koridor sekolah terasa lengang setelah keluar dari ruang OSIS. Anak-anak masih heboh di dalam, tapi suara mereka hanya terdengar samar dari balik pintu. Rayyan berjalan dengan wajah kosong, brosur Jurnalistik tergenggam di tangannya.Arif mengikuti di samping, menepuk brosur itu. “Selamat datang di dunia baru, penulis gagal. Lo bener-bener nekat.”Rayyan mendengus. “Gue nggak peduli orang ngomong apa. Gue nggak cuma mau deket sama dia, Rif. Gue pengen ngerti kenapa dia selalu dingin, kenapa dia nggak gampang percaya orang.”Arif berhenti melangkah, menatap Rayyan serius untuk pertama kalinya hari itu. “Lo sadar nggak, Yan? Semakin lo maju, semakin besar juga risiko lo patah hati.”Rayyan tersenyum tipis, meski hatinya terasa nyeri. “Gue udah kebal sama ketawaan orang waktu jatoh di lapangan kemarin. Kalo kali ini jatoh lagi… setidaknya gue jatoh di tempat yang bikin gue ngerti dia.”Arif terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat tangan, menepuk bahu Rayyan. “Oke, gue angkat topi buat keberanian lo. Tapi jangan nyesel, bro. Jurnalistik itu bukan ekskul main-main. Lo bakal digencet kalo males-malesan.”“Justru itu yang gue cari. Gue harus serius kali ini.”Di kelas saat jam istirahat, Rayyan membuka brosur Jurnalistik di mejanya. Kertasnya masih berbau tinta baru, huruf-huruf hitam menonjol jelas. Slogan besar di bagian bawah brosur terbaca jelas: “Menulis Adalah Mengabadikan Realita.”Rayyan menatap kalimat itu lama, seolah kata-kata itu berbicara langsung kepadanya. Di dalam hati, ada rasa takut yang menempel—takut gagal, takut terlihat bodoh, takut ditolak lagi. Tapi ada juga bara kecil yang tumbuh, pelan tapi pasti.Dia menarik napas dalam-dalam, menutup brosur itu dengan mantap.“Aku nggak boleh cuma jadi badut,” pikirnya. “Kalau mau deket sama dia, gue harus ngerti dunianya. Harus serius.”Suara bel tanda masuk menggema di lorong. Rayyan melipat brosur itu, menyelipkannya ke tas, lalu tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, rasa takut dan semangatnya berjalan berdampingan.Dan anehnya, itu terasa seperti langkah pertama yang benar.Najma, mau aku lanjutkan Bab 6 nanti dengan adegan pertama kali Rayyan masuk latihan Jurnalistik (biar konfliknya makin naik), atau kamu mau bikin jeda dulu di rumah Rayyan biar ada sisi personalnya?
Bab 6: Pertemuan PertamaSuara kipas angin tua berdecit dari langit-langit, seakan ikut protes karena dipaksa kerja di jam sore yang panas. Ruang Jurnalistik itu nggak besar, cuma ada meja panjang di tengah, penuh kertas coret-coret, spidol bau menyengat, majalah lama yang sebagian sampulnya udah kusam. Di dinding depan, papan tulis penuh jadwal liputan yang ditulis dengan spidol merah. Ada satu kalimat besar ditempel di atasnya: “Fakta Tak Pernah Bohong.”Rayyan berdiri di ambang pintu, tangan masuk ke saku celana, mencoba gaya sok santai. Padahal telapak tangannya dingin.
“Tenang, Yan. Santai. Cuma rapat pertama. Bukan sidang pengadilan,” gumamnya kecil, lalu masuk sambil menaruh tas di kursi paling pinggir.Belum ada orang lain. Ia sengaja datang lebih awal, biar nggak kelihatan bego nanya-nanya belakangan. Matanya keliling, berhenti di tumpukan brosur bekas liputan acara sekolah. Kertasnya agak bau lembap. Ia ambil satu, coba baca, tapi huruf-hurufnya nggak benar-benar masuk ke otak.Pintu terbuka. Seorang cewek berambut sebahu masuk, wajahnya cerah, senyum gampang muncul. “Eh, kamu anak baru ya? Rayyan, kan?”
Rayyan refleks berdiri. “Iya, bener. Kamu?”“Siska,” katanya sambil menaruh map biru di meja. “Udah lama nunggu?”
“Nggak, baru bentar. Gue… eh, aku—biasa datang awal biar nggak ketinggalan.”
Siska tertawa kecil. “Wih rajin amat. Kalo semua kayak kamu, ruang ini nggak bakal sepi di awal rapat.”Rayyan ikut ketawa, meski agak maksa. Suasana sedikit cair.
“Jadi, kamu beneran mau serius di sini?” tanya Siska sambil duduk.
Rayyan garuk belakang leher. “Hmm… iya. Gue pengin… belajar nulis.”
Padahal dalam hati, dan juga pengin tahu gimana caranya lo, Diana, bikin dunia lo kelihatan keren banget. Tapi kalimat itu cuma berputar di kepalanya.Belum sempat lanjut ngobrol, suara pintu berderit lagi. Arif nongol, rambutnya agak acak, bawa botol minum. “Lah, ternyata beneran lo masuk sini, Yan.”
Rayyan langsung pasang wajah defensif. “Kenapa emangnya?”Arif duduk di sebelah Siska, nyengir tipis. “Nggak apa-apa. Cuma… tulisan lo di kelas aja kayak ceker ayam, gimana mau jadi jurnalis?”
Siska melirik ke Arif. “Ih, lo nyebelin banget. Baru juga mulai, udah ngejatuhin semangat orang.”
Arif ngangkat bahu. “Kan gue realistis.”Rayyan pura-pura santai, padahal kupingnya panas. “Santai, Rif. Siapa tahu tulisan ceker ayam itu justru jadi tren baru. Judulnya: Gaya Tulisan Avant-garde ala Rayyan.”
Siska ngakak, hampir keselek air minum. Arif cuma geleng-geleng, tapi jelas ada senyum nahan tawa.Suasana agak ramai sebelum akhirnya pintu terbuka sekali lagi. Diana masuk. Langkahnya tenang, ekspresi dingin. Rambut dikuncir sederhana, tapi entah kenapa tetap kelihatan rapi. Ruangan seolah langsung berubah. Suara kipas makin kedengeran, tawa Siska mendadak mengecil.Rayyan refleks tegak. Hatinya sedikit ribut.
Diana menaruh buku catatan tebal di meja, duduk tanpa banyak bicara. Tatapannya sempat melintas ke arah Rayyan. Datar, tapi bikin jantungnya gedebak-gedebuk.Ketua Jurnalistik, kakak kelas berkacamata bernama Nando, masuk tak lama setelah itu. Ia berdiri di depan, menepuk tangan. “Oke, kita mulai rapat. Pertama, kita kenalan dulu. Ada anggota baru—Rayyan.”
Semua mata otomatis ke Rayyan. Tenggorokannya mendadak kering.Ia bangun setengah hati, senyum kaku. “Eh, halo. Saya Rayyan. Saya pengin… belajar nulis, gitu.”
Kata-katanya simpel, tapi tatapannya tanpa sadar melirik Diana.Diana yang duduk dengan tangan menyilang langsung buka suara. “Kalau tulisanmu jelek, mending nggak usah ikut nimbrung. Jurnalistik itu serius.”
Seketika ruangan terasa dingin. Siska berkedip cepat, kayak mau interupsi tapi tahan. Arif menunduk pura-pura baca meja, padahal bibirnya jelas menahan tawa.Rayyan mencoba tetap tenang, meski dadanya nyut-nyutan. “Tenang aja. Kalau tulisan gue jelek, minimal bisa jadi bahan komedi. Media kan butuh hiburan juga.”
Siska ketawa lagi, kali ini agak canggung. Nando cepat-cepat menyambung, “Oke, oke. Intinya kita semua di sini belajar bareng. Jangan saling jatuhin dulu.”Rayyan duduk, pura-pura fokus dengar Nando, tapi otaknya sibuk mikirin tatapan dingin Diana tadi. Gila, baru kenalan aja udah ditembak pake peluru dingin. Tapi… justru itu yang bikin menarik. Dia bener-bener beda.Rapat berjalan, bahas program liputan sekolah. Suara kipas makin monoton, baunya spidol makin menusuk, tapi Rayyan nggak terlalu fokus. Sesekali ia melirik papan tulis penuh jadwal. Di pojok bawah tertulis: Tugas awal—Liputan suasana sekolah minggu ini.Nando menutup rapat. “Nah, buat anggota baru, termasuk Rayyan, kalian coba bikin liputan ringan dulu. Bebas, asal suasana sekolah. Minggu depan kita bahas bareng.”Rayyan mengangguk cepat, pura-pura santai. “Siap, gampang.”
Padahal dalam hati, liputan? Mulai dari mana, ya ampun?.Siswa-siswa mulai beresin barang. Siska menepuk bahunya. “Santai aja, Yan. Kalo bingung, tanya-tanya aku.”
Arif nyeletuk, “Atau tanya gue, biar liputannya satir. Judulnya: Sekolah Penuh Drama.”
Rayyan lempar tatapan males, tapi nggak bisa nahan senyum tipis.Diana? Dia udah keluar duluan, tanpa sepatah kata pun. Cuma meninggalkan aroma samar parfum yang entah kenapa Rayyan langsung hapal.Saat ruangan sepi, Rayyan berdiri, menatap papan tugas sekali lagi. Kata-kata di atasnya terasa nempel ke otak: Fakta Tak Pernah Bohong.
Lalu brosur di tangannya, ada slogan lain: Menulis Adalah Mengabadikan Realita.Rayyan menarik napas panjang. “Kalau ini harga buat deket sama dia… gue siap.”
Bab 7 – Liputan PertamaLapangan sekolah sore itu ramai tapi santai. Suara bola basket memantul keras-keras, beradu dengan teriakan anak-anak yang main futsal di sisi lain. Angin membawa aroma gorengan dari kantin—tempe mendoan, tahu isi, dan entah apa lagi yang bikin perut Rayyan langsung keroncongan walau baru jam tiga lewat.Ia berdiri canggung di pinggir lapangan, buku catatan kecil tergenggam erat. Keringat dingin sudah muncul padahal matahari tidak sepanas jam duaan tadi. “Ya Tuhan, liputan suasana sekolah... kayaknya gampang. Tapi kok... kok otak gue blank begini?” batinnya.Di meja kayu dekat kantin, anggota Jurnalistik mulai berkumpul. Ada spidol bekas coretan agenda minggu lalu yang belum sempat dihapus. Ketua, Kak Gilang, mengetuk meja pelan dengan botol minumnya.“Alright, guys. Tugas minggu ini simpel. Kita liput suasana sekolah sore hari. Kalian bebas ambil angle. Bisa olahraga, anak nongkrong, kantin, apapun. Deadline besok sore.” Ia menatap semua anggota satu per satu, sampai akhirnya pandangannya jatuh pada Rayyan. “Kamu anggota baru, kan? Good luck, Yan.”Rayyan kaku. “Iya, Kak. Siap.”
Siap? Dalam hati ia menjerit. Siap apaan? Gue bahkan nggak tahu mulai dari mana!Siska yang duduk di sebelahnya mencondongkan badan, menyeringai kecil. “Santai aja, Yan. Anggap aja lagi kepo. Semua yang kamu lihat bisa jadi bahan.”“Hmm, kepo mah gue jago...” Rayyan nyengir. “Cuma... biasanya kepo ke mantan orang, bukan ke lapangan bola.”Siska langsung ketawa pendek. “Ya ampun, receh banget.”Rayyan senang berhasil bikin seseorang ketawa. Setidaknya nggak semua orang di sini ngeri.Arif datang belakangan, menaruh tasnya di atas meja dengan gaya seenaknya. “Eh, liputan suasana? Cocok banget buat Yan. Tinggal tulis: suasana hati gue kosong.”“Buset, baru dateng udah ngegas.” Rayyan mencoba balas dengan nada bercanda, walau dalam hati sedikit ketus.Arif angkat alis, wajahnya penuh puas. “Gue kan realistis. Jangan sampe tulisan lo besok malah jadi bahan gosip, ya. Koran sekolah nggak butuh curhatan galau.”Rayyan terkekeh kaku. “Santai aja, Rif. Gue tulis yang serius kok. Judulnya... Arif: Satu Nama, Seribu Nyinyir.”Siska menutup mulut menahan tawa. Arif cengir, pura-pura tersinggung, lalu meraih spidol dan menulis di kertas bekas: Good luck, loser.Sebelum Rayyan sempat membalas, suara langkah sepatu terdengar dari arah koridor. Semua kepala otomatis menoleh. Diana masuk.Gadis itu melangkah tenang, rambutnya terkuncir rapi, wajah tanpa ekspresi. Dia taruh buku tebal di meja, lalu duduk tanpa banyak bicara. Suasana mendadak berubah lebih... serius.Rayyan langsung merasakan detak jantungnya naik. Sial, kenapa harus sekarang?Ia memberanikan diri mendekat sedikit. “Ehm... Diana. Lo ada tips nggak buat liputan gini? Gue agak bingung mulai dari mana.”Tatapan Diana berpindah, dingin, singkat. “Cari sendiri. Jurnalistik itu observasi.”Rayyan sempat terdiam. “Oh... observasi. Maksud lo kayak... mantengin orang diem-diem gitu?”Diana menghela napas pelan, seolah sudah lelah hanya dengan mendengar pertanyaannya. “Kalau itu yang lo tangkap, berarti lo belum ngerti. Jangan nanya, perhatiin. Tulis apa yang ada.”Jawaban itu seperti tamparan dingin. Rayyan mengangguk kikuk. “Oke, noted. Observasi... sip.” Dalam hati, ia berteriak, Noted pala lo. Enak aja ngomongnya. Tapi wajahnya tetap memaksa senyum.Siska, mungkin kasihan, menepuk pundak Rayyan. “Mulai dari yang paling gampang aja. Tulis apa yang kamu lihat, apa yang kamu dengar, bahkan apa yang kamu cium. Pokoknya bikin pembaca kayak lagi ada di sini.”Rayyan mengangguk cepat. “Oh iya, iya. Mantap tuh. Thanks, Sis.”Arif nyeletuk, suaranya sengaja keras. “Jangan kebanyakan cium, Yan. Nanti liputannya bau minyak goreng doang.”Rayyan melotot kecil. “Eh, bau gorengan justru nasionalis banget, bro. Coba tulis: Aroma tahu isi menyelimuti lapangan, seakan mengingatkan siswa bahwa perut lebih jujur dari hati.”Siska ngakak. “Gila, bisa aja lo.”Diana tidak tertawa. Dia malah menatap Rayyan lama, lalu berkata datar, “Kalau objekmu kosong, tulisanmu juga kosong.”Rayyan membeku. “Objek... kosong?” Ia spontan melihat ke sekeliling, panik. “Maksud lo gue kosong, ya?”Siska buru-buru menahan tawa. “Bukan, Yan. Objek liputan. Bukan lo.”“Oh! Ya ampun...” Rayyan langsung menepuk jidat sendiri. “Kira-kira gue disindir lagi. Hampir gue nulis judul: Objek Kosong Bernama Rayyan.”Bahkan Arif kali ini nyengir tipis.Meski sudah bisa menertawakan, Rayyan merasa darahnya panas. Diana benar-benar ahli bikin orang merasa kecil. Tapi anehnya, alih-alih mundur, hatinya malah berdegup lebih keras. Ada semacam tantangan yang bikin dia enggan menyerah.Rayyan akhirnya berjalan ke pinggir lapangan dengan catatan di tangan. Ia mencoba menulis.Suara bola memantul. Anak-anak berlari. Panas matahari... eh, bukan, udah agak teduh. Ada angin... anginnya bau gorengan. Gila, ini tulisan apaan?Ia coret cepat.Beberapa siswa nongkrong di bangku dekat lapangan, tertawa keras-keras. Rayyan mendekat, pura-pura main-main dengan bolpen sambil curi dengar.“Eh, tadi si Bima nyontek lagi tuh di kelas.”
“Hah serius? Parah banget.”
“Tapi lucu, gurunya nggak nyadar.”Rayyan buru-buru menulis potongan itu. Gosip murid. Bisa jadi angle kecil.Namun, matanya secara refleks melirik ke meja tempat Diana duduk. Gadis itu serius sekali menulis, matanya fokus, tangannya luwes di atas kertas. Seolah dunia luar nggak ada.Rayyan mendesah pelan. Kenapa sih harus sesulit itu? Kayak ada tembok es di sekeliling dia.Ia kembali ke catatan, mencoba menulis deskripsi lain. Tapi tangannya gemetar sedikit. Ia sadar, bukan karena takut liputan gagal—tapi karena tatapan Diana masih nyangkut di kepalanya.“Yan!” suara Arif dari jauh bikin dia kaget. “Jangan cuma bengong. Kalau gagal, gue siap jadi editor buat tulisan ‘Liputan Paling Amburadul 2025.’”Rayyan melambaikan tangan. “Santai, Rif! Ntar lo kaget tulisan gue malah trending.”Siska yang lewat tersenyum, memberi semangat kecil. “Kamu bisa kok. Ingat, tulis apa yang kamu rasakan juga.”Rayyan tersenyum tipis, lalu menunduk pada catatannya. Ia mulai menulis lagi, kali ini lebih jujur:Lapangan sore hari terasa gaduh tapi hangat. Bola memantul, teriakan bercampur tawa, aroma jajanan menempel di angin. Di antara semua itu, ada rasa gugup yang nggak bisa gue buang. Seolah-olah mata gue nggak lepas dari satu orang, padahal gue tahu harusnya fokus ke tulisan.Tangan Rayyan bergetar, tapi ia terus menulis. Kata-kata masih belepotan, tapi ada energi aneh yang mendorongnya.Kalau ini tiket buat deket sama dia... gue nggak mundur.Ia menutup buku catatannya dengan satu napas panjang. Di kejauhan, Diana masih duduk dengan wajah datar. Rayyan menatap sebentar, lalu menyelipkan senyum tipis yang hanya dia sendiri yang tahu artinya.
Bab 8: Kertas yang TercabikKipas tua di langit-langit ruangan Jurnalistik berderit setiap kali berputar, seperti sedang mengeluh karena dipaksa kerja di jam sore. Sinar matahari menyusup lewat jendela kayu yang catnya sudah mengelupas, menimpa meja besar di tengah ruangan. Di atasnya, kertas-kertas berserakan: draft liputan, spidol yang tutupnya hilang, dan sebuah mug kosong yang entah milik siapa.Rayyan masuk dengan langkah yang sedikit berlebihan, seperti aktor masuk panggung. Dia merapikan rambutnya sekilas, lalu menaruh kertas liputannya di atas meja dengan ekspresi percaya diri.“Siap, bos! Liputan fresh from the oven!” katanya, setengah bercanda.Diana, yang duduk dengan tangan terlipat di kursi samping jendela, hanya melirik sebentar. Tatapannya dingin, tidak terpengaruh oleh gaya teatrikal Rayyan. “Letakkan saja. Giliranmu nanti.”Rayyan menelan ludah, mencoba tetap santai. “Santai aja, gue kayak penulis best seller yang lagi launching buku,” gumamnya, padahal jantungnya deg-degan.Siska tersenyum kecil dari seberang meja. “Semangat, Yan. Aku yakin kamu udah berusaha.”“Yakin dong. Tulisanku ini… masterpiece,” Rayyan mengangkat alis, berusaha terlihat meyakinkan.Dari pojok ruangan, Arif menengok dengan senyum sinis. “Masterpiece? Jangan-jangan lebih cocok jadi diary remaja labil.”Rayyan mendengus, pura-pura nggak tersinggung. “Santai, Rif. Nanti kamu baca, langsung nangis. Bukan karena sedih, tapi terharu.”Arif terkekeh, geleng-geleng kepala.Ketua Jurnalistik, yang sedari tadi memeriksa draft anggota lain, akhirnya mengangguk ke arah Diana. “Giliran Rayyan.”Diana menarik kertas Rayyan. Matanya menyapu tulisan itu cepat, alisnya sedikit berkerut. Ruangan mendadak hening. Kipas di atas kepala terus berderit, suara spidol jatuh dari meja terdengar jelas.Rayyan berusaha membaca ekspresi Diana, tapi wajah itu terlalu datar. Dia bahkan sempat menahan napas.Sampai akhirnya, Diana menaruh kertas itu kembali ke meja dengan bunyi tap! yang terdengar dingin. “Ini bukan liputan.”Rayyan terbatuk kecil, mencoba menutupi gugup. “Eh… maksudnya? Itu kan udah sesuai instruksi. Gue observasi, gue tulis suasana lapangan, detail banget malah—”“Detail?” Diana menyela, nadanya tajam. “Kamu menulis, ‘Angin sore seakan mengerti kesepianku.’ Itu detail atau curhat?”Ruangan langsung meledak oleh tawa Arif. “Wah, judulnya bisa sekalian: Puisi Galau Seorang Jurnalis Gagal.”Rayyan ikut tertawa kaku, meski wajahnya panas. “Hehe… itu kan gaya bahasa, biar estetik.”“Estetik?” Diana menatap lurus padanya, matanya menusuk. “Liputan itu fakta, bukan drama. Kalau pembaca mau estetik, mereka buka Instagram quotes, bukan koran sekolah.”Rayyan merasa seperti dipukul tepat di ulu hati. Dia ingin membalas, tapi otaknya kosong. Yang keluar malah, “Y-ya kan… gue mau beda dari yang lain. Inovasi gitu.”“Inovasi?” Arif menepuk meja, hampir terbahak. “Beda sih beda, Yan, tapi salah alamat. Kamu kira ini lomba baca puisi?”Siska buru-buru menengahi, suaranya lembut. “Sudah, jangan terlalu keras. Rayyan baru pertama kali. Wajar kalau masih bingung.”Tapi Diana tidak melunak. “Kalau masih bingung, belajar. Jangan sembunyi di balik alasan ‘pertama kali’. Liputan berarti observasi, bukan melamun sambil melirik orang.”Rayyan tercekat. Apakah Diana sadar dia sering curi-curi pandang? Dia langsung menunduk, pura-pura sibuk membenarkan letak kertas. “Itu cuma… teknik penulisan gue aja. Biar beda.”“Kalau beda berarti nggak jelas, itu bukan teknik. Itu salah.” Diana mencoret kertasnya dengan spidol merah, garis-garis keras melintang di atas tulisannya.Rayyan hanya bisa menatap bekas coretan itu. Rasanya seperti melihat hasil kerja kerasnya dicabik tanpa ampun.Arif bersiul pelan. “Wih, abis sudah masterpiece kita. Jadi kertas gorengan aja sekalian, Yan.”Rayyan menegakkan badan, mencoba tersenyum meski kaku. “Santai. Gue emang sengaja bikin versi beta dulu. Nanti ada versi 2.0.”Dalam hati, dia teriak: Aduh, Yan… stop, makin ngaco!Diana menutup kertas itu, lalu menatapnya sekali lagi. “Kalau memang mau jadi jurnalis, belajarlah melihat, bukan mengarang. Objekmu jangan kosong.”Kalimat itu menusuk. Rayyan langsung salah paham. Objek gue jangan kosong? Maksudnya… gue kosong? Gimana, sih?Dia merasa telinganya panas, tapi buru-buru tertawa hambar. “Hehe… iya, iya. Objek gue nggak kosong kok. Gue penuh… penuh cinta.”Ruangan langsung hening dua detik, sebelum Arif tertawa terbahak. “Astaga, Yan! Penuh cinta katanya. Ini rapat Jurnalistik, bukan sinetron jam tujuh!”Rayyan ingin menelan kata-katanya sendiri. Siska menepuk pelan bahunya, berusaha menolong. “Santai aja, Ray. Kritik itu biar kamu makin jago.”Dia mengangguk cepat, meski hatinya remuk. Tangannya gemetar saat meraih kertas yang penuh coretan merah. Bagian judulnya hampir tidak terbaca lagi, digaris silang berkali-kali.Dalam diam, Rayyan menatap lembaran itu lama. Kata-kata Diana terus terngiang, bercampur dengan tawa Arif. Rasanya malu, sakit, tapi juga… memicu sesuatu.Kalau ini perang, gue siap.Rayyan menggenggam kertasnya erat-erat, seperti memegang bendera lusuh. Matanya menatap keluar jendela, ke arah langit sore yang memerah. “Oke,” bisiknya, hampir tak terdengar. “Gue bakal buktiin.”
Bab 9: Bayangan di BelakangmuHalaman sekolah siang itu terasa seperti oven. Matahari menggantung tepat di atas kepala, menusuk kulit lewat celah-celah dedaunan. Rumput yang diinjak puluhan sepatu pramuka melepaskan bau khas tanah lembap bercampur keringat. Suara peluit bersahut-sahutan, kadang dibarengi teriakan pembina yang galak: “Baris yang rapi! Ulang lagi!”Rayyan mengibaskan kemeja abu-abu yang sudah menempel di punggungnya. Sambil menyipit, ia memelototi Diana yang berdiri tegak dengan clipboard di tangan, wajah datar seolah panas siang itu nggak berlaku buat dia.“Oke, Yan. Syaratnya cuma satu,” Diana membuka suara, tanpa menoleh. “Jangan ganggu kerja gue.”Rayyan tersenyum lebar, walau keringat sudah menetes dari pelipis.
“Siap, bos. Aku kayak ninja, diam, cekatan, nggak kelihatan.”Diana akhirnya menoleh. Tatapan matanya seperti sinar X-ray, menembus ke dalam jiwa Rayyan.
“Justru itu masalahnya. Ninja biasanya nggak ribut ngomong kayak gitu.”Rayyan terkekeh canggung. Oke, baru mulai udah kena semprot. Mantap. Rekor baru.
Tapi dia tetap berjalan setengah langkah di belakang Diana, persis bayangan. Dalam hati ia membayangkan dirinya sidekick superhero—walaupun, yah, lebih mirip sidekick yang sering bikin masalah.Mereka berhenti di dekat tenda pramuka. Beberapa siswa sibuk merapikan tongkat kayu, sebagian lagi latihan tali-temali. Diana membuka catatan, lalu mendekati seorang kakak pembina berseragam cokelat tua.“Rayyan.”
Nada suaranya datar, tapi cukup untuk bikin Rayyan tegap refleks.
“Catat nama pembina ini. Buat identifikasi.”“Oke,” jawab Rayyan cepat. Ia merogoh saku, mengeluarkan bolpoin dan kertas lusuh. “Namanya siapa, Kak?”“Fauzan,” ujar pembina itu ramah.Rayyan menulis: Fauzan. Lalu berhenti, mengangkat wajah penuh keraguan.
“Ejaannya… Z atau S? Soalnya ada Fauzan, ada Fausan. Jangan-jangan ada Faujaan juga?”Diana mengangkat alis, menatapnya lama.
“Itu nama orang, bukan teka-teki silang, Rayyan.”“Oh, iya. Bener juga.” Rayyan mencoba tertawa, tapi suara tawanya tipis, kayak balon kempes. Great, humor gagal. Lagi-lagi.Diana lalu mengeluarkan kamera DSLR. “Pegang dulu. Tapi hati-hati, jangan asal pencet.”Rayyan mengangguk mantap. “Tenang, aku kayak bodyguard kamera. Satu goresan aja, aku rela tumbang.”Diana tidak menanggapi. Dia sibuk menyiapkan pertanyaan untuk wawancara. Sementara itu, Rayyan memandang kamera di tangannya dengan campuran kagum dan panik. Tombolnya banyak sekali. Serius ini alat liputan atau mesin waktu?Tak lama, Diana memberi isyarat. “Arahkan ke kelompok yang lagi latihan pionering.”Rayyan bersemangat mengangkat kamera. Klik! Klik! Klik! Suara shutter beruntun. Dia tersenyum bangga. Sampai akhirnya layar LCD menunjukkan hasil jepretan: blur, miring, dan… oh, ada jempolnya sendiri nongol di sudut.“Rayyan,” suara Diana pelan tapi menohok. “Ini kenapa fotonya kayak gempa?”“Ehm… seni, mungkin?” Rayyan mencoba menyelamatkan diri. “Kayak efek getaran jiwa.”Arif yang kebetulan lewat—entah darimana munculnya—langsung terkekeh keras. “Bro, itu mah bukan efek. Itu korban kegugupan.”Rayyan ingin protes, tapi Diana sudah kembali fokus ke wawancara.Rayyan diam-diam memperhatikan. Diana berdiri tegak, tatapannya mantap menembus lawan bicara. Suaranya stabil, pertanyaan mengalir lancar, tangannya luwes menulis catatan tanpa menunduk terlalu lama. Ada aura profesional yang bikin orang otomatis menjawab serius.Rayyan merasakan perutnya menggelitik aneh. Gila… kayak reporter TV beneran. Cool banget.
Sekaligus, ia merasa tubuhnya makin ciut. Kenapa gue masih kayak badut kelas sebelah ya?Ia mencoba terlihat sibuk dengan catatan sendiri. Tapi catatannya malah absurd: “Suhu panas → bisa bikin gosong roti. Siswa pramuka → keringetan parah.” Ia menatap hasil coretan itu, lalu buru-buru menutup kertas. Nope. Ini nggak bakal diserahkan ke siapa pun.Selesai wawancara, Diana berjalan ke arah tenda, Rayyan otomatis mengikut.
“Eh, tadi… aku udah catat, lho,” Rayyan mencoba menawarkan diri. “Lumayan lengkap.”Diana menoleh sekilas, lalu mengambil kertas dari tangannya. Matanya bergerak cepat membaca. Bibirnya menipis.
“‘Bau rumput → mirip bau sapi basah.’ Serius, Yan?”Rayyan terkekeh, mencoba defensif. “Ya… kan detail sensorik. Biar pembaca kebayang suasananya.”“Ini liputan, bukan stand up comedy.” Suara Diana dingin, tanpa intonasi marah, tapi justru lebih menusuk.Rayyan hanya bisa menyeringai kaku. Keringatnya mengalir lebih deras, entah karena panas matahari atau panas malu.Ketika kegiatan pramuka usai, mereka berjalan keluar halaman. Diana membereskan peralatan, memasukkan kamera ke tas. Rayyan membantu, tapi malah menjatuhkan tripod. Suara gedebuk! bikin beberapa siswa menoleh.Diana menghela napas. “Lain kali nggak usah ikut. Kamu cuma nyusahin.”Kata-kata itu ringan, tapi menancap dalam. Rayyan terdiam sejenak, senyumnya kaku.
“Oh… iya. Sip.”Tapi saat Diana sudah berjalan lebih dulu, Rayyan menunduk, menatap tanah yang penuh bekas jejak sepatu. Dalam hati, ia menggenggam kertas catatan yang sudah lecek.
Oke. Kalau dia pikir gue cuma beban, nanti gue bakal buktiin kebalikannya.Mulutnya berbisik lirih, hampir tak terdengar:
“Kita lihat aja nanti.”
Bab 10 – Belajar MenulisKamar Rayyan sudah seperti arena perang kecil. Meja belajar dipenuhi kertas dengan coretan-coretan yang lebih mirip sandi rahasia daripada catatan. Laptop tua di depannya berdengung pelan, seolah ikut protes dipaksa lembur. Lampu redup menggantung di langit-langit, menciptakan bayangan kuning pucat di dinding yang retaknya membentuk pola abstrak. Kipas angin berderit setiap kali berputar, menebarkan hawa pengap bercampur bau kopi yang tumpah sedikit di meja.Rayyan menatap layar kosong dengan ekspresi seperti orang baru putus cinta. Jarinya sudah beberapa kali mengetik kalimat pembuka, lalu segera menekan tombol backspace dengan brutal. Sisa-sisa huruf hilang dari layar, digantikan kursor yang berkedip mengejek.“Laporan kegiatan pramuka di SMP Negeri… ah, basi banget,” gumamnya. Ia mencoba lagi: ‘Sore itu, matahari terik menyinari halaman sekolah…’—klik, klik, klik, hapus.
“Kayak nulis cerpen, bukan berita,” desisnya, meremas rambut sendiri.Ia menghela napas panjang, lalu membuka salah satu artikel lama yang ditulis Diana. Tampilan tulisannya rapi, padat, dan langsung to the point. Rayyan membaca keras-keras, mencoba meniru:
“‘Pelaksanaan latihan pramuka rutin di SMP Negeri 4 mendapat antusiasme siswa…’”Tangannya mengetik ulang gaya serupa. Setelah beberapa baris, ia berhenti, menatap hasilnya.
“Ya Allah… kenapa tulisan gue kayak brosur lomba karaoke,” ujarnya frustasi, lalu menjatuhkan tubuh ke sandaran kursi.Ponsel di meja bergetar. Nama Raka muncul. Dengan malas, Rayyan mengangkat.
“Halo?”
“Lu lagi di mana, Yan?” suara Raka santai, tapi ada nada siap-nyentil.
“Di rumah. Belajar nulis.”
“Hah? Belajar nulis? Dari kemarin lu udah bisa nulis, nggak usah belajar lagi.”
“Maksud gue nulis berita, bro.”
“Ohhh,” Raka menahan tawa, “gue kira lu lagi bikin surat cinta buat si es batu itu.”Rayyan mengangkat alis, tapi bibirnya menegang.
“Bisa nggak sih lu sekali aja ngomong manis?”
“Manis? Ngapain? Lu aja hidupnya udah pahit,” balas Raka enteng. “Serius nih, lu ngetik apa sekarang?”
Rayyan melirik layar laptopnya. Tulisan pendek yang baru diketik terasa canggung.
“Ya… laporan kegiatan gitu deh. Gue coba miripin sama gaya Diana.”
“Wah, pantesan. Pantes kaku banget. Lu kira gampang jadi dia?”Rayyan mendengus. “Gue cuma pengen… ya, biar nggak dipandang remeh. Biar dia lihat gue bisa kerja, bukan cuma nyusahin.”
Raka tertawa kecil, “Lu tuh, Yan… udah kayak murid yang naksir guru. Niat belajar, tapi sambil berharap dapat pujian manis. Hati-hati, kecewa loh.”Rayyan diam. Kata-kata itu menancap. Ia menatap kursor yang terus berkedip, seolah menantang: tulis, atau nyerah.“Eh, jangan ngelamun,” suara Raka memecah hening. “Gue tahu lu keras kepala. Tapi inget, nulis berita itu bukan soal bikin Diana terkesan. Ini soal logika. Fakta, data, ringkas. Bukan drama.”
“Tau! Tapi lu pikir gampang apa? Otak gue otomatis keluar kata-kata lebay.”
“Yaudah, latihan. Sama kayak gue main futsal. Pertama jelek, lama-lama juga enak.”Rayyan terkekeh pahit. “Lu nyamain tulisan sama futsal? Bola bisa ditendang, kata-kata nggak bisa.”
“Bisa, Yan. Tinggal tendang aja ke tong sampah kalau jelek.” Raka ngakak sendiri.Rayyan tak bisa menahan senyum, walau getir. “Dasar mulut lu.”
“Serius. Jangan berharap tulisan pertama lu bagus. Diana juga dulu pasti kacau. Bedanya, dia konsisten. Lu? Bisa nggak konsisten?”
Rayyan menunduk, mengetuk-ngetuk meja. “Gue… bakal coba.”Setelah telepon ditutup, Rayyan kembali menatap layar. Ia mengetik lagi, kali ini lebih pelan.
‘Latihan pramuka diadakan setiap Sabtu sore, dipandu langsung oleh pembina utama. Siswa terlihat antusias mengikuti instruksi meskipun cuaca panas.’Ia berhenti, membaca ulang. Kaku, memang. Tapi lebih mendekati berita.
“Hmm… lumayan lah. Kayak artikel anak magang,” gumamnya.Di pojok meja, mug kopi sudah tinggal setengah. Rasanya pahit, tapi Rayyan menyeruput juga. Matanya berat, namun tekadnya menahan. Ia membuka tab baru, mencari: ‘tips menulis berita singkat jelas’. Beberapa artikel terbuka. Kata kuncinya sama: 5W+1H, ringkas, fakta.Ia mulai menuliskan poin-poin, menempelkan catatan Post-it di pinggir laptop.
“Siapa, apa, kapan, di mana, kenapa, gimana… oke, gampang diomongin, susah ditulis.”Tangannya kembali menari di keyboard. Setiap kali salah, ia hapus, tulis ulang, hapus lagi. Waktu berjalan. Suara jangkrik dari luar makin ramai, seolah ikut menyindir kegagalannya.Jam menunjukkan hampir tengah malam. Mata Rayyan merah, kepalanya berat. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, mendesah.
“Ya Allah, kok susah banget sih. Gue kira nulis itu tinggal ketik doang. Ternyata kayak perang mental.”Namun dalam bayangannya, Diana muncul—wajahnya datar, tatapan fokus saat wawancara tadi siang. Senyum tipis yang jarang muncul, dingin tapi profesional. Rayyan membayangkan jika suatu hari ia menyerahkan artikel, lalu Diana hanya bilang: ‘Lumayan.’ Sekedar itu saja sudah cukup membuatnya berlari keliling stadion.Ia tertawa kecil sendirian, lalu menatap layar lagi. Tulisan masih berantakan, penuh coretan revisi. Tapi kali ini, ada senyum kecil di wajahnya.“Gue nggak akan nyerah,” gumamnya pelan.Kipas angin terus berderit, lampu redup masih menyinari tumpukan kertas, dan laptop tua berdengung tanpa henti. Rayyan menatap kursornya, lalu mulai mengetik lagi, lebih tekun, seolah seluruh malam itu hanya miliknya.
Bab 11“Sorot Mata yang Menyudutkan”Kantin siang itu penuh sesak, seperti perut yang dipaksa menampung makanan lebih dari kapasitasnya. Bau minyak goreng bekas menyeruak dari sudut, bercampur dengan aroma cabai dari bakso pedas yang dibawa siswa-siswi. Baki plastik beradu dengan meja, suara tawa meledak-ledak, dan desis minyak dari gerobak gorengan tak jauh dari pintu masuk.Diana duduk di sudut, punggungnya menempel pada dinding dingin yang retak halus. Dia menyedot es teh manis dari gelas plastik bening, sedotannya bunyi kriuk karena es sudah menipis. Mita di hadapannya, sibuk memotong bakwan dengan sendok, tapi matanya jelas lebih sibuk mengamati lalu-lalang manusia di kantin.“Lu pacaran sama Rayyan, ya?” Mita menjentikkan sendoknya, suaranya keras cukup untuk bikin dua meja di sebelah menoleh sebentar. “Dia tadi gue liat bawa buku tebel banget, duduk persis depan kelas lu. Romantis amat.”Diana hampir menyemburkan minuman. Ia buru-buru menahan, hanya tersedak sedikit dan menoleh cepat. Tatapannya menusuk. “Apa, sih? Gila kali lu. Pacaran dari mana?”Mita cekikikan, tapi jelas itu cekikikan yang sengaja dipamerkan biar tambah pedas. “Ya ampun, jangan pura-pura deh. Satu sekolah juga udah notice. Tiap ada lu, pasti ada Rayyan. Tiap lu jalan ke kantin, dia pasti nongol entah dari mana. Kayak bayangan.”Diana menghela napas, jari telunjuknya mengetuk meja berulang kali. Tok. Tok. Tok. Suara kecil tapi ritmenya keras, seperti palu di kepalanya. Dia bisa merasakan beberapa pasang mata dari meja lain, bukan sekadar melirik—lebih mirip menilai, menimbang, lalu menyimpan gosip.“Lu tuh hobi banget ya bikin gosip murahan,” katanya akhirnya, berusaha terdengar ringan. Tapi nadanya meninggi di ujung.Mita mengangkat bahu, mulutnya penuh gorengan. “Eh, bukan gue doang yang ngomong. Nih, tadi di antrian bakso ada yang nyeletuk, katanya Rayyan tuh kasmaran buta. Bayangin, cowok setolol itu bisa bikin lu bahan gosip. Hahaha. Ironis, kan?”Diana menelan ludah. Pipinya memanas, entah karena pedas gorengan yang kebetulan dia gigit, atau karena rasa tersinggung yang merayap. Bukan sekali dua kali dia dengar sindiran. Bahkan barusan, waktu ia masuk ke kantin, sekelompok cowok meja pojok sempat sengaja batuk dengan suara: “Rayyaaaan!” diikuti tawa cekikikan.Dia benci sorot mata itu. Mata-mata yang seolah bilang: “Oh, jadi ini cewek yang jadi obsesi si Rayyan.”
Harga dirinya seperti ditarik ke tanah, diinjak pakai sepatu kotor.“Serius, Mit. Gue jijik banget kalau ada yang nyangkutpautin gue sama dia.” Diana meremas sedotan sampai hampir bengkok.Mita menyandarkan punggung, menatapnya sambil menirukan gaya presenter gosip. “Breaking news! Reporter kelas sebelas, Rayyan, tertangkap kamera lagi nongkrong depan kelas Diana. Kira-kira kapan resepsi, ya, Bu?”Diana hampir menjatuhkan sendoknya. Ia ingin tertawa sinis, tapi yang keluar hanya dengusan kesal. “Dasar mulut ember.”Namun dalam hati, ia tak bisa menepis rasa risih yang menggerogoti. Setiap kali nama Rayyan disebut, seperti ada noda yang menempel di bajunya. Noda yang tak kelihatan tapi orang lain bisa tunjuk dengan senyum miring.Mita mencondongkan tubuh, menurunkan suara. “Lu takut gosip ini sampai guru?”Pertanyaan itu menancap tepat. Diana menggigit bibir bawahnya, menatap meja, enggan mengakui. Bukan cuma takut, ia cemas. Kalau guru atau kakak kelas dengar gosip ini, reputasinya bisa rusak. Selama ini ia jaga image: pintar, anggun, tegas. Semua bisa runtuh gara-gara satu cowok yang entah kenapa nggak tahu diri.Diana mengangkat wajahnya. Dari kejauhan, di dekat gerobak bakso, Rayyan memang ada. Duduk sendirian dengan laptop tua di pangkuan. Rambutnya agak berantakan, kemejanya keluar sebelah. Saat tatapan mereka bertemu sebentar, Rayyan malah senyum, polos sekali, seperti nggak sadar dunia seisi kantin lagi menyorot.Senyum itu justru bikin Diana makin panas. Baginya, itu bukan senyum ramah. Itu pengingat: Gue yang bikin lu jadi pusat omongan.“Dia nyengir ke lu lagi,” Mita menepuk meja sambil ngakak. “Astaga, Yan-Di vibes!”“Berisik, Mit.” Diana meletakkan gelasnya dengan suara duk yang terlalu keras. Beberapa orang menoleh lagi, bikin darahnya makin mendidih.Dia lalu menatap Mita dengan sorot mata yang dingin tapi bibirnya tersenyum tipis. Senyum yang bukan karena lucu, tapi karena sebuah ide muncul.“Gue punya cara,” katanya pelan.
Mita mengernyit. “Cara apaan?”Diana meraih tasnya, berdiri. “Cara biar dia berhenti.”Senyum tipis itu masih terpasang ketika ia melangkah keluar dari kantin, meninggalkan Mita yang melongo penasaran.
Bab 12 – Rencana yang Diam-Diam MemanasRuang kelas sore itu terasa lebih sempit dari biasanya. Meja-meja sudah mulai kosong, suara gesekan kursi masih terdengar, bercampur dengan derap langkah anak-anak yang terburu-buru keluar. Udara gerah menempel di kulit, sisa panas dari siang hari masih tertahan, tapi di luar jendela, titik-titik hujan pertama akhirnya jatuh. Awalnya ragu-ragu, lalu semakin deras, menampar genteng dan membuat jendela bergetar.Diana duduk diam di bangkunya, dagu bertumpu di telapak tangan. Matanya kosong menatap papan tulis yang penuh coretan kapur—angka, rumus, catatan seadanya dari pelajaran terakhir. Semuanya seperti samar. Yang benar-benar mengganggu hanyalah suara-suara dari kepalanya sendiri: bisikan gosip yang sejak tadi siang terus menempel.“Eh, itu si Diana... katanya si Rayyan tiap hari nungguin depan kelas, ya?”
“Lucu banget, kayak sinetron murahan...”
“Dia nggak risih apa?”Gigi Diana mengatup. Jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme tak sabar, seolah ingin mengusir gema gosip itu dari kepala.“Lu serius diem aja begini?” suara Mita memecah lamunan.Diana menoleh. Sahabatnya itu sedang menyender santai di kursi sebelah, rambut diikat asal-asalan, wajahnya cerah seperti biasa. Tapi mata Mita penuh rasa ingin tahu, seperti kucing yang sudah mencium bau ikan asin.“Kenapa emang?” Diana balik bertanya, suaranya datar.Mita mengangkat alis. “Lu kira gue nggak notice muka lu berubah? Dari tadi lu kayak lagi nahan marah. Jangan bilang gara-gara gosip tadi siang.”Diana mendengus kecil. “Gosip basi.”“Tapi mukanya nggak basi,” sela Mita cepat, senyum setengah mengejek. “Lu tadi beneran kayak pengen lempar nampan ke orang-orang di kantin.”Diana menggenggam bolpoin yang sedari tadi tergeletak di meja, memutarnya pelan di antara jari-jari. Hujan di luar semakin kencang, membuat suara anak-anak lain yang masih ribut di kelas terdengar semakin jauh. Satu per satu mereka berhamburan pergi, meninggalkan ruangan dengan lantai setengah becek. Tinggal Diana dan Mita, bersama dentuman hujan yang makin menekan.“Lu tau nggak, Mit,” ujar Diana pelan, “kadang gue mikir, Rayyan tuh nggak punya otak atau emang sengaja bikin gue keliatan kayak bahan lelucon.”Mita menatapnya serius sekarang, senyum godaannya mereda. “Lu beneran kesal banget, ya?”“Kesal?” Diana tersenyum miring, pahit. “Gue malu, Mit. Semua orang sekarang liatin gue kayak... kayak gue beneran pacaran sama dia. Padahal—” ia berhenti, bola matanya berputar ke luar jendela, menatap butiran hujan yang berlari di kaca. “Padahal gue nggak pernah sedikit pun ngasih dia lampu hijau.”Mita menggigit bibir, lalu mencondongkan tubuh. “Terus... lu mau gimana?”Pertanyaan itu menggantung di udara. Diana menatap bolpoin di tangannya, jari-jarinya semakin erat mencengkeram. Suara hujan di atap terasa seperti genderang, memukul cepat, mengiringi degup jantung yang ikut meninggi.“Kalau dia suka main nekat,” gumam Diana dalam hati, “gue juga bisa.”Mita masih menatap, jelas penasaran, tapi Diana tak memberi penjelasan lebih. Ia hanya melempar pandangan dingin ke papan tulis yang sudah mulai kabur oleh lembab. Dalam kepalanya, potongan-potongan ide mulai terbentuk, seperti serpihan kaca yang saling mendekat, meski belum jelas bentuk akhirnya.Yang pasti, ia tidak akan membiarkan dirinya terus jadi bahan omongan. Harga dirinya terlalu mahal untuk diinjak begitu saja.“Lu lagi mikir apa?” tanya Mita, setengah berbisik, seakan takut merusak konsentrasi.Diana menoleh, senyum tipis tergambar di bibirnya—senyum yang lebih menyerupai garis tajam ketimbang kehangatan. “Nggak usah kepo. Lu bakal tau sendiri nanti.”Mita mendecak. “Ih, nyebelin. Gue kan penasaran.”“Udah, nikmatin aja dulu rasa penasaran lu. Biar kali ini gue yang mainin.” Diana menekankan kata-katanya pelan, seolah menyembunyikan sesuatu di balik setiap suku kata.Hujan semakin deras, tirainya mengaburkan pemandangan lapangan sekolah. Tapi samar-samar, di balik kabut air, Diana melihat sosok yang ia kenal. Rayyan.Anak itu, basah kuyup, tetap asyik berlari-lari di lapangan bersama teman-temannya. Bola melintas, terpantul oleh genangan air, dan Rayyan tertawa lepas saat berusaha mengejar.Senyum Diana memudar, berganti dengan tatapan yang menusuk. Dari kejauhan, Rayyan tampak begitu bebas, seakan dunia ini miliknya. Sama sekali tidak sadar kalau tingkahnya membuat nama Diana jadi bulan-bulanan.Diana merapatkan genggaman pada bolpoin, lalu menaruhnya di meja. Dadanya naik turun pelan, matanya tak lepas dari sosok di lapangan itu.“Tunggu aja,” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.Mita yang duduk di sebelah sempat melirik. “Apa tadi lu bilang?”Diana menggeleng, cepat. “Nggak. Hanya ngomong sama diri sendiri.”Tapi dalam hatinya, satu hal sudah jelas: ia akan membuat Rayyan kapok. Tidak dengan teriakan, tidak dengan drama murahan. Tapi dengan cara yang tepat, cara yang akan membuat semua orang berhenti menganggapnya sebagai bahan gosip murahan.Senyum tipis kembali muncul di bibirnya. Senyum dingin, berbeda dari biasanya.
Bab 13Jebakan di Balik SenyumRayyan menatap pantulan wajahnya di kaca jendela kantin, tangan kanannya sibuk merapikan rambut yang masih agak lembap sisa hujan tadi pagi. "Santai, Ray. Biasa aja," gumamnya. Tapi jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
Di tangannya ada dua cup es krim rasa cokelat—favorit Diana, setidaknya menurut info kecil yang pernah ia curi dengar dari obrolan Mita minggu lalu. Baginya, ini bukan sekadar es krim. Ini tiket untuk masuk lebih dekat, kesempatan untuk menunjukkan kalau ia bisa perhatian tanpa harus memaksa.Dari kejauhan, lapangan sekolah sudah ramai. Anak-anak duduk berkerumun di tangga kantin, ada yang tertawa keras, ada yang main bola di tanah yang masih becek. Aroma tanah basah bercampur dengan suara sepatu beradu di genangan kecil. Cahaya matahari sore memantul dari sisa air hujan, membuat semuanya terlihat lebih hidup.Rayyan menarik napas dalam-dalam. “Oke, sekarang atau nggak sama sekali.”Ia mulai melangkah, menembus kerumunan kecil. Matanya langsung menangkap Diana. Duduk di bangku panjang dengan beberapa teman ceweknya. Rambutnya tergerai, wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu di tatapan itu yang… sulit Rayyan jelaskan. Seperti ada senyum tipis yang ia simpan untuk alasan tertentu.“Rayyan.” Suara hati kecilnya langsung menyemangati. “Lo bisa. Jangan gugup.”Begitu jarak makin dekat, Rayyan sadar kalau semua orang di sekitar sana seolah ikut memperhatikan. Atau mungkin itu cuma perasaan dia sendiri? Tetap saja, suasana jadi terasa berat.“Eh, tuh liat, pangeran lapangan datang,” celetuk salah satu cowok yang duduk di belakang, suaranya sengaja agak keras. Disusul tawa kecil.Rayyan pura-pura nggak dengar. Fokus. Dia mengangkat es krim di tangannya.“Hai, Di.” Suaranya terdengar lebih serak dari biasanya. “Gue bawain ini, biar lo seger lagi.”Diana menoleh perlahan, seakan baru sadar kehadirannya. Senyumnya muncul—senyum ramah, bahkan manis. Tapi entah kenapa, Rayyan merasa senyum itu… terlalu terukur.“Oh, buat aku?” Diana mengedip ringan, lalu menoleh ke teman-temannya. “Wah, Rayyan perhatian banget, ya?”Tawa kecil terdengar dari sisi kanan. “Iya, iya… sekelas Romeo. Tinggal tunggu Julietnya mau atau nggak,” celetuk Mita sambil menyikut lengan Diana.Rayyan tersenyum, meski pipinya mulai panas. “Ya… gue cuma mikir, lo pasti suka yang dingin-dingin, kan?”“Hmm.” Diana menerima es krim itu, memutar cup-nya pelan di tangan. “Makasih ya. Manis banget… kayak niat lo.”Teman-temannya langsung bersorak kecil. Ada yang bersiul, ada yang bilang, “Wuih, manis banget bahasanya!”Rayyan berusaha tetap tenang, walau di dalam dadanya mulai ada rasa aneh. Senang karena Diana menerima, tapi juga… seperti ada jarum halus yang menusuk di balik kalimat itu.Ia duduk di bangku kosong di sebelah. “Gue seneng kalo lo suka.”Tapi baru beberapa detik, Diana mencondongkan tubuh, menatapnya sambil tersenyum lagi. “Ray, lo nggak capek ya selalu begini?”Pertanyaan itu meluncur pelan, tapi cukup jelas untuk didengar semua orang di sekitar. Suasana mendadak hening sejenak.Rayyan tertegun. “Maksud lo?”“Ya, maksud aku…” Diana mengangkat es krim itu sedikit, seolah memperlihatkan ke semua orang. “Lo nggak bosan kasih kejutan-kejutan kecil kayak gini? Kayak lagi… ngejar sesuatu yang belum tentu ada hasilnya.”Tawa kecil terdengar lagi, kali ini lebih nyaring. “Aduh, sakit tuh, Ray,” komentar seorang cowok dari belakang.Rayyan merasakan telinga dan tengkuknya panas. Dia mencoba menelan ludah, tersenyum kaku. “Gue… nggak mikir sejauh itu. Gue cuma pengen bikin lo seneng aja, Di.”“Hmm.” Diana pura-pura berpikir, lalu menoleh ke Mita. “Lucu ya, Mit? Ada aja caranya.”Mita tersenyum geli, tapi matanya jelas menunggu reaksi Rayyan.Dan saat itulah, seolah semesta ikut bercanda kejam, cup es krim yang tadi Rayyan pegang di tangan kirinya melorot sedikit. Mungkin karena licin. Sekejap kemudian, plok—es krim itu jatuh tepat ke tanah becek, cokatnya belepotan dengan air hujan sisa.Gelak tawa meledak dari beberapa arah.“Waduh, sayang banget!”
“Hahaha, dramanya lengkap deh!”Rayyan membeku, menatap es krim yang sekarang berubah jadi bubur cokelat di tanah. Rasanya semua udara di sekitarnya menghilang.Diana menutup mulut, seolah menahan tawa. “Aduh, Ray… sayang banget. Padahal niat lo bagus.” Kalimatnya terdengar lembut, tapi justru makin menusuk.Rayyan menarik napas dalam-dalam, memaksa bibirnya tetap tersenyum. “Nggak apa-apa. Masih ada yang penting kok.” Ia menatap Diana sebentar, mencoba meyakinkan diri. “Selama lo senyum kayak gini, gue udah cukup.”Beberapa anak langsung bersorak lagi, ada yang bilang, “Cieee… puitis banget.” Tapi nada mereka lebih mirip menggoda daripada kagum.Rayyan berdiri, mengibaskan tangannya yang kena cipratan es krim. “Gue balik dulu, ya.”“Yakin? Nggak mau duduk lama-lama?” suara Diana terdengar ringan, tapi di telinga Rayyan seperti undangan sekaligus ujian.Dia tersenyum tipis, meski di dadanya ada rasa perih yang sulit dijelaskan. “Nggak, gue takut ganggu suasana. Nanti kapan-kapan aja.”Langkahnya berat saat meninggalkan kerumunan. Ia masih bisa merasakan tatapan-tatapan di belakang, masih bisa mendengar sisa tawa yang bergaung.Begitu sampai di sisi lapangan, Rayyan menghela napas panjang. Senyumnya menghilang pelan. Ada retakan halus di pikirannya yang selama ini selalu yakin dan optimis.“Kenapa rasanya sakit begini?” gumamnya lirih.Tapi lalu ia menggeleng cepat, memaksa dirinya bangkit. “Nggak, Ray. Jangan menyerah. Dia cuma lagi… nguji lo.”Tetap saja, langkahnya terasa sepi di tengah riuh suara lapangan.
Bab 14 – Strategi yang Nyaris RetakRayyan menatap punggung tangannya yang bergetar tipis di atas meja kayu perpustakaan. Ia kepalkan, lalu lepaskan. Kepalkan lagi.“Tenang aja. Ini cuma ngobrol,” bisiknya ke diri sendiri, meski bisikan itu lebih seperti mantra darurat. “Bukan aksi besar. Nggak ada keramaian. Nggak ada sorakan.”Udara di ruangan itu dingin, tapi ada sinar sore yang menerobos dari jendela besar di samping rak ensiklopedia. Debu-debu kecil melayang, berkilau sebentar lalu hilang. Suara lembaran kertas dibalik dari sudut ruangan jadi satu-satunya pengingat kalau masih ada orang lain di sini.Rayyan menaruh buku yang baru ia temukan di atas meja. Sampulnya agak kusam: Teori Drama dan Retorika. Ia tahu Diana mencari ini kemarin. Ia sempat mendengarnya bilang ke pustakawan dengan nada setengah jengkel, “Harusnya ada, kok hilang sih?”Bagian dari dirinya menganggap ini kesempatan. Kalau ia yang mengembalikan, mungkin Diana akan—“Rayyan.”Suara itu datang terlalu cepat.Ia menoleh. Diana berdiri hanya beberapa langkah darinya, tangan menyilang di dada, wajahnya teduh, tapi matanya menusuk. Senyum tipisnya seperti garis lurus yang tak pernah benar-benar melengkung.“Oh, hai.” Rayyan berdiri, agak canggung, mencoba membentuk senyum hangat. “Aku… nemu ini.” Ia menggeser buku ke arah Diana.Diana menunduk sekilas, lalu mengangkat alis. “Cepet juga ya kamu nemunya.”Rayyan tertawa kecil, berharap terdengar santai. “Kebetulan aja. Lagi muter, eh, ada.”“Muter atau memang sengaja nyariin aku?” Nada suara Diana ringan, tapi ada semacam pisau tipis di baliknya.Rayyan menelan ludah, lalu mencoba tetap positif. “Ya… aku tahu kamu butuh buku ini buat tugas. Jadi kupikir, kenapa nggak sekalian aku—”“Heroik sekali.” Diana memotong, suaranya hampir berbisik, tapi cukup tajam menusuk telinga Rayyan. “Nggak takut orang bilang kamu terlalu repot ngurusin aku?”Rayyan menahan napas sejenak. “Aku cuma… niat baik aja.”Diana menggeser buku itu dengan ujung jarinya, seakan menyentuh sesuatu yang tak terlalu penting. Ia menatap Rayyan lagi, senyumnya masih sama—ramah di permukaan, tapi dingin di bawahnya.“Kamu nggak capek ya?” katanya pelan, nada seperti percakapan biasa. “Aku yang lihat aja capek.”Kalimat itu jatuh seperti batu ke dada Rayyan. Tidak keras, tidak dramatis, tapi berat. Ia ingin membalas dengan candaan, ingin tertawa seakan tak peduli, tapi lidahnya macet.“Aku…” Rayyan akhirnya hanya bisa tersenyum samar. “Aku baik-baik aja.”Diana tak menambahkan apa pun. Ia hanya mengambil buku itu, lalu melangkah ke rak lain. Bagi orang lain, pemandangan itu mungkin tampak normal: dua teman sekelas, satu membantu, satu menerima. Tapi di kepala Rayyan, gema kata “capek” berulang-ulang, menancap lebih dalam dari yang ia sangka.Ia duduk kembali, menatap meja kosong.Kenapa rasanya kalimat itu lebih sakit daripada tawa teman-teman di lapangan kemarin?Sebuah kursi ditarik kasar di sebelahnya.“Brooo…” Suara Fikri memecah sunyi dengan gaya seenaknya. “Mukamu kayak barusan ditolak sama kasir Indomaret gara-gara saldo e-wallet kurang.”Rayyan mengangkat wajah, separuh kaget. “Kamu dari mana?”“Dari balik rak sana.” Fikri menunjuk ke arah tumpukan buku sejarah. “Aku liat semua adegan drama murahan barusan.” Ia mencondongkan tubuh, berbisik dramatis, “Cowok baik hati berusaha menyelamatkan sang putri… tapi malah kena tebas pedang kata-kata.”Rayyan mendengus, separuh kesal, separuh lega. “Nggak gitu.”“Yaelah, Yan.” Fikri menepuk pundaknya. “Kalau strategi kamu bikin kamu sendiri berdarah, apa nggak salah strategi, hah?”Rayyan terdiam.Fikri bersandar, menatap langit-langit dengan ekspresi malas. “Aku ngerti kamu suka sama dia. Semua orang juga udah bisa baca, kecuali Diana yang pura-pura nggak peka. Tapi, bro… kamu ini kayak main catur dengan orang yang tiap langkah udah mikir lima kali lipat dari kamu. Kamu pake pion, dia pake kuda lompat-lompat.”Rayyan ingin membantah. Ia ingin bilang bahwa niat baik pada akhirnya akan terlihat. Tapi bayangan senyum dingin Diana tadi menahannya.“Aku nggak bisa berhenti gitu aja, Fik,” katanya pelan. “Aku…” Ia mencari kata yang pas, tapi hanya keluar, “Aku pengin dia tahu aku serius.”Fikri menghela napas panjang. “Serius boleh. Tapi jangan sampe seriusmu jadi bahan ketawaan.” Ia lalu menambahkan dengan senyum nakal, “Kecuali kamu emang hobi jadi badut.”Rayyan tertawa kecil, meski suaranya hambar. “Makasih banget, ya.”“Makasih balik.” Fikri menyikut lengannya. “Aku ini sahabat, bukan penonton. Kalau kamu jatuh, ya aku angkat. Tapi kalau kamu mau jatuh berkali-kali di tempat yang sama, jangan heran kalau aku ketawa duluan sebelum nolongin.”Rayyan menunduk, menatap bayangan tangannya di atas meja. Tawa kecilnya hilang, berganti diam yang lebih panjang. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai retak, tipis, nyaris tak terdengar.Untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri:Apa benar aku sanggup terus begini?
Bab 15 – Patah yang DisamarkanSuara dentingan sendok dan piring beradu jadi latar yang tak pernah berhenti. Kantin penuh tawa, teriakan, dan langkah sepatu yang berdesakan. Bau mie goreng bercampur asap sate, bercampur lagi dengan wangi es teh manis yang baru disajikan. Semua ramai, tapi di kepala Rayyan justru sepi.Ia berdiri sebentar di pintu kantin, nampan di tangan. Nasi goreng, segelas es jeruk, dan dua potong tempe yang sudah agak lembek. Pandangannya menyapu kerumunan, mencari satu wajah. Diana.Ketemu.
Ia duduk di pojok, dikelilingi dua temannya. Rambutnya rapi, senyumnya tipis, matanya sesekali menoleh ke arah keramaian. Rayyan menarik napas dalam, menahan degup yang sudah mulai terlalu kencang.“Ini mungkin kesempatan terakhir,” gumamnya pelan, lebih ke dirinya sendiri. “Kali ini harus kelihatan santai, nggak boleh kaku.”Langkahnya ia atur pelan, mencoba seolah biasa saja, padahal tangannya basah karena keringat. Nampan itu hampir goyah ketika ia sampai di dekat meja Diana.“Diana,” panggilnya, dengan senyum yang sudah ia latih di depan kaca.
Tiga pasang mata menoleh.“Oh, Rayyan,” Diana menjawab datar tapi ramah. “Kamu… mau duduk sini?”
Nada suaranya terdengar seperti ajakan, tapi tatapannya dingin. Rayyan pura-pura tak peduli.“Iya, kalau nggak ganggu,” ucapnya, meletakkan nampan. Kursi ditarik, bunyinya berdecit keras sampai bikin beberapa kepala menoleh. Ia cepat-cepat duduk, menahan kikuk dengan tawa kecil.Teman Diana saling pandang, lalu salah satunya berbisik, cukup keras untuk terdengar, “Wih, nekat juga.”
Rayyan tersenyum, seakan itu lelucon. Dalam hati, dadanya menegang.Ia mencoba membuka obrolan ringan. “Tadi hujan ya, lapangan masih becek banget. Untung nggak ada yang kepleset.”
Diana mengangguk tipis. “Iya. Untung.”Hening sejenak. Rayyan buru-buru menambahkan, “Oh ya, aku sempet kepikiran, mungkin… kalau kamu mau, habis ini aku bisa—”
Belum selesai, Diana menoleh ke arah pintu kantin. Tangannya melambai. “Mas, sini!”Rayyan refleks ikut menoleh. Seorang cowok tinggi, berseragam sama tapi dengan lencana OSIS di dada, melangkah masuk. Senyum Diana langsung berubah. Lebih hangat, lebih manja, lebih hidup.“Mas Adit, sini duduk bareng,” panggil Diana.
Rayyan kaku. Kursinya terasa mengecil.Adit mendekat, menaruh buku di meja. “Eh, kalian udah pesan?”
Diana tertawa kecil. “Udah, tinggal nungguin kamu.”Teman-teman Diana ikut menyambut, suasana meja langsung riuh. Rayyan mencoba tetap tersenyum, menyuap nasi goreng yang rasanya mendadak hambar.“Yan,” suara Diana menohok, lembut tapi menusuk, “kamu nggak usah repot-repot ya. Aku sekarang udah ada yang sering nemenin. Nggak usah khawatir.”
Kalimatnya terdengar biasa. Tapi di telinga Rayyan, seperti palu menghantam.Ia tertawa kecil, paksa, padahal tenggorokannya kering. “Hehe, iya… baguslah kalau ada yang nemenin. Jadi aman.”
Tangannya gemetar, sendok hampir jatuh. Ia segera meletakkannya, pura-pura sibuk dengan gelas es jeruk.Adit menoleh sekilas. “Kamu Rayyan, kan? Kelas sepuluh IPA?”
Rayyan mengangguk. “Iya.”
“Wah, aku sering denger namamu. Katanya jago main futsal.”
Nada ramah itu justru membuat Rayyan makin sesak. “Ah, biasa aja, Mas.”Obrolan bergulir tanpa dirinya. Diana tertawa keras pada candaan Adit—tawa yang belum pernah Rayyan dengar ditujukan padanya. Setiap kali Diana menoleh, tatapannya seolah berkata: lihat, aku punya dunia sendiri, bukan denganmu.Rayyan mengunyah perlahan, padahal makanan sudah dingin. Dadanya panas, tapi wajahnya tetap dipaksa tersenyum.Beberapa meja di sekitar memperhatikan. Ada bisik-bisik samar. Ada tawa kecil yang jelas ditujukan pada dirinya. Rayyan mencoba menutup telinga, tapi wajahnya sudah terasa merah.Akhirnya ia menyingkirkan piring. “Aku duluan, ya,” katanya, dengan senyum tipis.
Diana hanya mengangguk, lalu kembali sibuk pada Adit.Rayyan berdiri, membawa nampan. Langkahnya berat, tapi ia menegakkan bahu, seolah tak terjadi apa-apa.Begitu keluar dari kantin, suara ramai menghilang perlahan, diganti lorong sekolah yang lebih sepi. Ia menarik napas panjang, menahan rasa yang hampir tumpah.“Yan!”
Suara familiar memanggil. Fikri, sahabatnya, berlari kecil dengan piring masih di tangan.“Gila, aku lihat tadi,” katanya tanpa basa-basi. “Kamu duduk di meja itu kayak prajurit nyemplung ke kandang singa.”
Rayyan pura-pura tertawa. “Ya, lumayan lah, pengalaman.”
Fikri melotot. “Pengalaman apaan? Disayat-sayat?”Rayyan diam. Tatapannya kosong ke arah jendela.
Fikri menepuk bahunya. “Yan, kalau kapalmu udah tenggelam, jangan kamu berenang ke karang. Sakitnya dobel.”
Rayyan tersenyum hambar. “Aku masih bisa berenang, kok.”“Berenang ke mana? Lautnya udah penuh hiu.” Fikri menatap serius kali ini. “Denger, bro. Kamu terlalu baik buat terus ditampar kayak tadi. Semua orang bisa lihat, tapi kamu yang paling keras kepala.”Rayyan menunduk. Dalam kepalanya, potongan tawa Diana dengan Adit terus berputar, seakan mengejek.
“Ya… mungkin aku emang keras kepala.”Fikri menghela napas panjang. “Kamu tuh, udah kayak orang mau lomba lari, tapi garis finish-nya nggak pernah ada. Capek, Yan.”Rayyan tidak menjawab. Ia hanya berjalan pelan menyusuri lorong, meninggalkan Fikri yang masih menatap cemas.Suara kantin semakin jauh. Lorong makin sepi. Cahaya matahari masuk dari sela jendela, memantul di lantai yang kusam.Rayyan berhenti, menatap bayangannya sendiri di kaca. Senyum tipis dipaksa muncul lagi. Tapi kali ini, retakan di baliknya terlalu jelas.“Kalau ini yang namanya cinta,” bisiknya, lirih, “kenapa rasanya mirip hukuman?”
Bab 16Langkah yang Hilang ArahKamar itu lebih mirip papan pengumuman ketimbang tempat tidur. Hampir setiap dinding ditempeli kertas warna-warni: kutipan motivasi dari majalah, kata-kata penyemangat hasil tulis tangan, sampai poster murahan yang mulai kusam. “Jangan Menyerah.” “Hari Esok Milikmu.” “Gagal Itu Sementara.” Semuanya menempel rapat, seolah bisa jadi tameng dari kenyataan yang sebenarnya malah menelanjangi.Di sudut meja, sebuah kotak sepatu bekas masih setia jadi tempat penyimpanan kenangan. Tiket acara pentas seni SMA, kertas ulangan dengan coretan merah, sampai lipatan kertas kecil bertuliskan nama yang selalu menghantui: Diana.Rayyan duduk di kursi reyot, punggung membungkuk, menatap layar ponsel jadul yang sudah hampir sekarat baterainya. Bar merah di pojok kanan atas berkedip, tapi ia tetap menatap layar kosong itu. Pesan terakhir yang ia kirim seminggu lalu masih tak berbalas. “Selamat ya, semoga kita bisa ngobrol lagi setelah wisuda.” Cuma centang satu.Tangannya ingin menulis pesan baru, tapi jemarinya kaku. Pikirannya penuh kalimat, tapi semuanya terdengar memelas sebelum sempat diketik.Suara pintu diketuk. “Yan,” suara ibunya dari luar, “udah kepikiran mau kuliah di mana? Atau kerja dulu?”
Rayyan menghela napas. “Belum, Bu. Masih mikir.”
Hening sebentar. Ibunya hanya menjawab, “Ya udah. Jangan kelamaan bengong aja.” Suara langkah menjauh, meninggalkan Rayyan dengan kebisuan yang kembali menutup rapat.Di luar, dunia seperti merayakan kemenangan. Grup WhatsApp alumni SMA penuh foto toga, ucapan selamat, rencana jalan-jalan. Tapi Rayyan sudah keluar dari semua grup itu. Bukan karena tidak diundang—tapi karena setiap kali notifikasi muncul, yang ia cari hanya satu nama. Dan ketika nama itu tak pernah ada, rasanya lebih menyiksa daripada tidak melihat sama sekali.Pintu kamar diketuk keras-keras. “Yan! Buka! Gue bawa bekal hidup!” Suara Fikri.
Rayyan bangkit, membuka pintu. Fikri masuk sambil menenteng plastik putih, bau gorengan langsung memenuhi kamar. “Tadaaa! Pisang goreng dan tahu isi penyelamat jiwa. Lu nggak bisa sedih kalau ada gorengan.”Rayyan tersenyum tipis, lebih ke refleks daripada benar-benar terhibur. Mereka duduk lesehan di lantai, TV dinyalakan meski volumenya kecil. Tayangan sinetron sore hanya jadi latar suara.“Jadi,” kata Fikri sambil menggigit pisang goreng, “hidup lu sekarang ngapain aja selain mantengin HP kayak jaga lilin?”
Rayyan terkekeh, meski getir. “Lumayan. Aku lagi riset... cara jadi mantan yang sukses.”
Fikri melotot dramatis. “Mantan sukses apaan? Kalau mantan, ya mantan. Titik.”
Rayyan menjawab setengah sarkastis, “Ya, siapa tahu ada lombanya.”Fikri menghela napas. “Yan, hidup tuh nggak nungguin kamu beres sama satu cewek. Dunia tetap jalan, ngerti nggak?”
Rayyan menunduk, menatap tahu isi yang sudah dingin. Dalam hati ia menimpali: Dia nggak ngerti. Buat aku, hidup justru dimulai kalau dia ada.Mereka diam sebentar. Suara iklan TV terdengar lebih keras dari biasanya.Fikri kemudian nyeletuk, mencoba mengalihkan. “Eh, tadi gue ketemu anak-anak di warung depan. Pada cerita, katanya Diana udah kerja sekarang.”
Rayyan langsung menoleh cepat, matanya membesar. “Kerja? Di mana?”
“Katanya di konveksi. Deket pasar. Jadi semacam admin atau apa gitu.” Fikri menyebutnya santai, sambil tetap mengunyah.Rayyan merasa dadanya bergetar aneh. Seperti seseorang baru menyalakan lampu setelah lama ia meraba dalam gelap. “Serius?” suaranya lebih hidup dari sepuluh menit terakhir.
Fikri menatapnya, sedikit menyesal sudah ngomong. “Iya, serius. Tapi... Yan, jangan keburu—”
“Aku harus ke sana,” potong Rayyan, matanya berbinar. “Harus.”Fikri mengangkat alis. “Ya ampun. Lu ini keras kepala banget, tau nggak? Orang kapal udah tenggelam, lu masih berenang ke karang.”
Rayyan malah tertawa kecil, setengah pahit setengah nekat. “Ya mungkin karangnya bisa jadi pulau, siapa tahu?”
“Yan,” Fikri menepuk bahunya, nada suaranya mulai serius, “jangan bikin hidup lu cuma muter di dia. Lu bisa hancur kalau gini terus.”Rayyan menelan ludah, tak langsung menjawab. Dalam hatinya, suara Fikri bergema seperti peringatan yang sudah terlambat. Tapi entah kenapa, justru kata-kata itu menyalakan tekad baru. Kalau jarak ini mau memisahkan, biar aku sendiri yang menyeberang.Malam turun perlahan. Hujan rintik mengetuk atap seng, membawa aroma tanah basah masuk lewat jendela. Fikri sudah pulang, menyisakan plastik kosong gorengan di meja.Rayyan berdiri di depan jendela, menatap jalan kecil di depan rumah. Lampu jalan berwarna kuning temaram, cahaya redup yang justru membuat segala sesuatu terasa lebih sepi.Ia memejamkan mata, mengulang kata-kata Fikri, lalu menantangnya sendiri. “Kalau aku harus mulai dari nol, biar semuanya nol asalkan ada dia.”Di luar sana, dunia terus bergerak. Di kamar itu, Rayyan bersiap mencari arah—meski mungkin arahnya hanya menuju luka yang sama.
Bab 17 – Benang yang TersangkutSuara mesin jahit berdentum bersahut-sahutan, bagai orkestra logam yang tak pernah henti. Breng…breng…breng… Jarum menusuk kain, pedal diinjak, benang menjerit putus. Udara pabrik konveksi itu pengap, bercampur bau keringat pekerja, kain baru, dan debu halus yang menempel di kulit. Rayyan berdiri kaku di depan pintu, menelan ludah, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia kuat.“Kalau aku bisa tahan semua ini… Diana pasti akan lihat kesungguhanku,” batinnya, separuh berharap, separuh memaksa.Ia melangkah ke dalam. Meja-meja kerja berderet rapat, dipenuhi gunting, gulungan benang warna-warni, kain potongan. Lampu neon menyala pucat, membuat wajah-wajah pekerja terlihat lebih letih daripada yang seharusnya. Satu per satu kepala menoleh ke arah Rayyan, lalu kembali sibuk—tapi tidak sebelum melirik ulang dengan tatapan penuh tanda tanya.Di tengah barisan, Diana duduk menunduk di depan mesin jahit. Rambutnya terikat seadanya, beberapa helai jatuh menutupi wajah. Tangannya cekatan, menekan pedal, menahan kain, menuntun garis lurus. Keringat menetes dari pelipisnya, menyusuri pipi, tapi ia tidak mengusapnya. Seakan hanya ada kain dan jarum di dunia ini—bukan Rayyan.Rayyan menelan udara panas itu dan melangkah lebih dekat. Hatinya berdebar, kakinya berat, tapi ia paksa tersenyum.“Diana,” panggilnya pelan.Diana langsung menegakkan kepala. Tatapannya menusuk, dingin, seakan suara Rayyan lebih bising daripada seluruh mesin di ruangan.“Ngapain kamu di sini?” suaranya ketus, hampir tak terdengar di tengah dentum mesin, tapi cukup membuat Rayyan kaget.“Aku… cuma mau lihat kamu,” jawab Rayyan, suaranya ragu tapi mencoba terdengar ringan. “Nggak apa kan?”Sebuah tawa kecil terdengar dari meja seberang. Seorang perempuan berkerudung menunduk pura-pura jahit, tapi matanya berbinar melihat drama gratis di depannya.“Wih, ada yang diantar jemput terus, ya?” bisiknya pada temannya.Yang lain menimpali, lebih keras, “Atau jangan-jangan bodyguard pribadi?”Beberapa pekerja tertawa kecil. Ada juga yang berbisik sambil menatap Rayyan dengan pandangan geli. Suara-suara itu menyusup ke telinga Diana, membuat wajahnya memerah—bukan malu, tapi muak.Rayyan mencoba ikut tertawa, canggung. “Hehe… jangan gitu dong. Aku cuma nemenin.”Tapi detak jantungnya melonjak. Ada rasa getir yang ditutupinya dengan senyum paksa.“Ray, tolong, pergi,” Diana akhirnya mendesis di sela suara mesin. Tangannya berhenti sebentar di atas kain, jarinya bergetar menahan amarah. “Kamu bikin semua orang lihat aku kayak apa.”Rayyan mendekat sedikit, menunduk agar hanya mereka berdua yang dengar. “Aku nggak peduli orang lain lihat aku apa. Aku cuma mau kamu tahu, aku di sini buat kamu.”Kata-katanya lembut, tapi justru membuat Diana makin terpojok. Dari belakang, ada suara menggoda lagi:“Ciee, kayak drama Korea, ngejar terus walau ditolak.”Tawa pecah, beberapa menepuk meja, suasana riuh. Diana menutup mata sesaat, wajahnya semakin menegang. Ia bangkit, menarik lengan Rayyan dengan kasar. “Ikut aku.”Rayyan hampir tersandung, tapi mengikuti patuh. Mereka masuk ke ruang penyimpanan kain di ujung lorong. Pintu kayu ditutup, suara mesin meredam jadi dengung jauh. Bau debu kain dan lem memenuhi hidung. Cahaya lampu kuning redup membuat bayangan mereka panjang di dinding.Diana berbalik, menatap Rayyan dengan mata merah. “Berhenti, Ray. Kamu bikin aku nggak bisa bernapas.”Rayyan terpaku. Kata-kata itu lebih keras daripada teriakan.“Aku cuma… aku cuma mau ada di dekatmu,” katanya lirih. “Aku nggak minta apa-apa.”“Kamu salah.” Diana mendekat, jarinya gemetar menunjuk dada Rayyan. “Dengan cara kayak gini, kamu minta segalanya. Kamu bikin aku kehilangan ruang, kehilangan wajar. Orang-orang lihat aku… kayak mainanmu.”Rayyan tercekat. Ingin membantah, tapi lidahnya kelu. Ingin bilang bahwa cintanya tulus, perjuangannya murni, tapi wajah Diana yang penuh tekanan membuat kata-kata itu hampa.Hanya bisa bergumam, “Aku… aku sayang kamu.”Diana memalingkan wajah. “Aku nggak butuh itu di sini. Aku cuma butuh kerja.”Hening menggantung. Dengung mesin dari luar seperti suara ribuan tawon, makin menekan.Akhirnya Diana melangkah keluar, meninggalkan Rayyan sendirian di ruang penuh debu kain.Rayyan berdiri lama, mencoba menata napas. Dia cuma capek, pikirnya, memaksa diri percaya. Dia tertekan sama gosip. Aku harus lebih sabar. Kalau aku terus di sini, dia akan terbiasa.Tapi tubuhnya sendiri memberontak. Kakinya pegal berdiri terlalu lama. Matanya sayu, kepala berdenyut karena suara mesin tanpa jeda. Senyum optimis yang dipaksakan sejak tadi mulai retak di bibirnya.Saat ia kembali ke ruang utama, tatapan pekerja masih sama: penasaran, geli, sinis. Ada yang berbisik sambil pura-pura menutup mulut, ada yang menertawakan. Semua itu menusuk, tapi Rayyan menegakkan badan, pura-pura tidak peduli.“Kalau aku menyerah sekarang, apa gunanya semua yang sudah aku lakukan?” batinnya, menahan gemetar.Jam bergeser. Sore menua. Mesin-mesin perlahan berhenti, satu per satu pekerja melepaskan pedal, menghela napas lega, merapikan meja. Suara gosip mereda berganti obrolan lelah: harga cabe, anak sekolah, tunggakan listrik.Diana merapikan kain jahitannya, berdiri, dan berjalan menuju pintu tanpa sekali pun menoleh ke Rayyan. Langkahnya cepat, seakan ingin meninggalkan bayangan.Rayyan tetap menunggu di depan pabrik, berdiri di trotoar sempit. Lampu jalan menyala, sinarnya kuning pucat. Orang-orang pulang, suara motor dan obrolan bercampur, sementara Rayyan berdiri sendirian.Udara malam sedikit lebih sejuk daripada pengap pabrik, tapi di telinganya dengung mesin masih terasa, menolak hilang.Ia menatap pintu pabrik yang sudah ditutup. Diana tak muncul lagi.Dia marah. Tapi itu artinya dia peduli. Kalau aku cukup gigih, pasti ada jalan, gumamnya dalam hati, memaksa senyum yang hanya setengah jadi.Langkah orang-orang makin jarang. Malam makin turun. Jalanan lengang. Rayyan masih di situ, menunggu, menahan keyakinan yang mulai terurai.“Kalau jarak ini mau memisahkan,” batinnya pelan, “biar aku sendiri yang menyeberang… meski kakiku tersangkut di benang yang nggak pernah putus.”Ia menunduk. Di ujung sepatu lusuhnya, ada seutas benang putih jatuh, menempel, menyeret setiap langkah.Dan malam menutup babak hari itu, meninggalkan Rayyan dalam keheningan yang lebih bising daripada mesin jahit mana pun.
Bab 18: Ruang Tanpa NafasLampu neon di langit-langit pabrik konveksi berkelip-kelip, memantulkan cahaya pucat yang menempel di dinding berdebu. Mesin jahit satu per satu berhenti berdentum, meninggalkan suara sisa yang berdengung di telinga, seperti gema yang enggan padam. Udara masih panas, melekat di kulit, membuat keringat Diana semakin lengket. Tangannya sibuk merapikan potongan kain di meja, meski sebenarnya ia hanya menunda-nunda waktu.Ia tahu. Begitu ia keluar, Rayyan akan ada di sana.Bahu Diana tegang. Ia bisa mendengar langkah-langkah pekerja lain, sebagian buru-buru pulang, sebagian lagi bergosip kecil sambil membereskan barang. Potongan suara mereka menancap di telinganya:“Eh, tuh liat, si Rayyan masih nungguin ya?”
“Ck, ck… udah kek bayangan, ke mana-mana ngikut.”
“Kasihan Diananya, kayak dikurung.”Diana pura-pura tidak mendengar. Tapi jantungnya berdegup semakin keras. Suara-suara itu seperti paku, menempel di kepalanya, tak bisa ia cabut.Ia meraih botol minum, meneguk air yang sudah hangat, lalu menghela napas berat. Rasanya tenggorokan tetap kering. Udara di ruangan ini seakan menolak masuk ke paru-parunya.Saat ia berbalik, Rayyan memang ada di sana.Berdiri di ambang pintu, dengan wajah lelah tapi tetap menyunggingkan senyum. Kemejanya basah di bagian dada, rambutnya berantakan, namun matanya berbinar seolah penuh tekad. Seperti selalu.“Udah selesai, Dian?” suaranya pelan, tapi cukup jelas terdengar.Diana menggenggam kain di tangannya lebih erat. “Kamu ngapain di sini lagi, Yan?”“Aku nunggu kamu. Kan udah sore. Takut kamu pulang sendirian.”“Aku bisa sendiri.”Rayyan melangkah masuk. Bau keringat bercampur detergen samar menyertai kehadirannya. Ia mendekat, terlalu dekat, hingga Diana merasa udara yang tersisa makin tipis.“Biar aku bantuin,” katanya sambil meraih setumpuk kain dari meja.Diana buru-buru menepis tangannya. “Jangan sentuh. Ini pekerjaanku.”Rayyan terdiam sejenak, lalu tertawa kecil—canggung, tapi dipaksakan. “Aku cuma mau meringankan bebanmu, Dian. Kamu keliatan capek banget.”Diana menatapnya, dingin. “Kamu sadar nggak, Ray? Justru kamu yang bikin aku tambah capek.”Kalimat itu keluar lebih tajam dari yang ia rencanakan. Suasana di sekitarnya mendadak membeku. Dari sudut ruangan, pekerja yang masih membereskan barang menoleh sebentar, lalu cepat-cepat kembali sibuk, pura-pura tak mendengar. Tapi Diana tahu, telinga mereka semua tetap waspada.Rayyan menghela napas, wajahnya tertahan antara kecewa dan keras kepala. “Aku ngerti kamu marah. Tapi aku di sini karena aku sayang. Aku nggak mau kamu ngerasa sendirian.”Diana mengeraskan rahangnya. Kata “sayang” itu—bukannya menghibur, justru menusuk.“Sendirian itu lebih baik daripada dicekik kayak gini, Ray,” suaranya bergetar. “Kamu nggak ngerti. Ke mana pun aku pergi, orang lihat aku dengan tatapan aneh. Semua karena kamu nggak tahu kapan harus berhenti.”Rayyan terdiam. Matanya bergetar, seolah menolak menerima kata-kata itu.“Aku nggak pernah berniat nyusahin kamu, Dian,” ucapnya lirih. “Aku cuma… aku percaya kalau aku cukup berusaha, kamu bakal lihat aku dengan cara yang berbeda.”Diana tertawa, pahit. “Berusaha? Kamu kira ini romantis? Kamu nggak sadar, kamu udah bikin aku nggak bisa napas. Di rumah, aku ditekan suruh nikah cepat. Di sini, kamu nempel kayak bayangan. Aku nggak punya ruang, Ray. Sama sekali nggak ada.”Tangannya meremas kain begitu kencang sampai jarinya memutih.Rayyan melangkah lebih dekat lagi, suaranya memohon. “Kasih aku kesempatan, Dian. Satu aja. Aku janji, aku bakal buktiin—”“Buktiin apa?!” Diana memotong dengan suara tinggi. “Kalau aku harus kehilangan semua demi kamu? Kalau aku harus jadi bahan gosip seumur hidup?!”Suara itu menggema di ruangan yang setengah kosong. Pekerja lain berhenti sebentar, menoleh, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan. Tapi Diana bisa merasakan tatapan mereka menusuk punggungnya.Rayyan mengerjap, kaget dengan teriakan itu. Untuk sesaat, semangat di matanya goyah. Tapi hanya sesaat. Ia kembali menegakkan badan, seolah mencoba menyalakan kembali keyakinan yang hampir padam.“Aku percaya kita bisa jalanin ini. Aku kuat, kamu juga kuat. Kita bisa lawan omongan orang.”Diana terdiam. Ada rasa lelah yang merambat, menenggelamkan semua amarahnya. Kata-kata Rayyan tidak lagi terdengar seperti janji, melainkan jeruji.Ia menunduk, merasakan debu kain menempel di wajah, tenggorokannya gatal. “Kamu nggak ngerti, Ray. Aku udah nggak kuat.”Hening menelan kata-kata itu.Rayyan menatapnya lama, wajahnya menegang, antara menolak dan takut. Ia mengangkat tangannya, ingin menyentuh bahu Diana, tapi urung.Diana menutup mata, mencoba menarik napas dalam-dalam. Tapi udara tetap berat, tetap sempit. Seakan ruangan ini benar-benar menghisap oksigennya sedikit demi sedikit.Suara-suara gosip, tekanan keluarga, kehadiran Rayyan—semua menumpuk, menghantam dari segala arah. Ia merasa tubuhnya semakin kecil, semakin terhimpit.Mungkin… pikirnya dengan getir, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain berhenti melawan.Matanya terbuka perlahan. Pandangannya kabur oleh keringat yang mengalir ke pelipis, bercampur dengan sesuatu yang lebih hangat. Ia tidak tahu apakah itu air mata atau hanya rasa sesak yang akhirnya pecah.Rayyan masih berdiri di hadapannya, dengan mata penuh tekad yang sama seperti kemarin, dan kemarin lagi. Tapi bagi Diana, tatapan itu bukan lagi janji—melainkan dinding.Ia menunduk. Tidak berkata apa-apa.Dan untuk pertama kalinya, Diana benar-benar merasa: ruang hidupnya telah habis.
BAB 19Benang yang PutusHari Sabtu.
Suasana pabrik konveksi memang tidak sesibuk biasanya. Beberapa mesin sudah berhenti berputar, digantikan suara tawa kecil para pekerja yang lembur sambil bercanda. Aroma kain baru bercampur keringat tipis memenuhi ruangan yang hangat. Bukan riuh yang menekan seperti hari-hari Senin, tapi entah kenapa bagi Rayyan, udara hari ini justru lebih berat.Langkahnya terdengar ragu ketika ia masuk melewati pintu samping, membawa sebuah kantong plastik berisi sesuatu. Tangannya sedikit gemetar, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena semalaman ia tidak tidur memikirkan Diana. “Mungkin kalau hari ini aku bawakan sesuatu… dia bisa lihat kalau aku serius. Kalau aku memang ada untuknya,” batinnya mencoba menguatkan diri.Dari kejauhan, ia melihat Diana sedang membereskan kain gulungan. Rambutnya agak berantakan, beberapa helaian jatuh menutupi pipinya yang pucat karena penat. Di sekitar Diana, tiga rekan kerjanya duduk setengah bersandar di meja potong, berbincang sambil sesekali menoleh ke arah mereka berdua. Rayyan menelan ludah, berusaha tidak terlalu memikirkan tatapan itu.“Diana,” panggilnya pelan.Diana menoleh cepat. Wajahnya menegang. Ia tidak menyahut, hanya menunduk lagi, pura-pura sibuk dengan gulungan kain yang sudah rapi.Rayyan mendekat. Ia mengangkat kantong plastiknya, senyum dipaksakan agar terlihat ringan. “Aku bawain bakso goreng favoritmu. Masih hangat. Tadi aku sengaja beli di warung depan.”Seketika suara tawa kecil terdengar di belakang Diana. Salah satu rekan kerja—seorang perempuan yang terkenal suka nyeletuk—langsung bersuara lantang.
“Wuih, romantis amat. Bakso goreng segala. Dikasih ke gebetan nih?”Tawa lainnya menyusul. Diana langsung merasakan darah naik ke wajahnya, panas, pipinya memerah. Ia menggigit bibir, tangannya refleks mencengkeram kain lebih kuat.“Biar aku taruh di sini ya, biar kamu bisa makan pas istirahat,” Rayyan tetap mencoba tersenyum, meletakkan plastik itu di ujung meja. Tapi jantungnya berdetak kacau—antara cemas, malu, dan takut membuat keadaan tambah parah.“Eh, jangan taruh sembarangan, Mas,” celetuk yang lain, suaranya penuh nada menggoda. “Takutnya ada yang cemburu. Diana punya penggemar rahasia kali, nanti dikira rebutan.”Semua tertawa lagi.
Diana menutup wajah dengan rambutnya, pura-pura merapikan kain. Tapi getar kecil di tangannya tidak bisa ia sembunyikan. Dalam kepalanya, suara-suara itu bergema, menusuk lebih keras daripada suara mesin jahit manapun.“Sudahlah, jangan bikin malu aku,” gumam Diana hampir tak terdengar.Rayyan, yang berdiri terlalu dekat, masih bisa menangkap kata-kata itu. Dadanya terasa seperti diremas. Namun alih-alih mundur, ia justru menarik kursi kosong di samping meja dan duduk. “Aku nggak niat bikin kamu malu. Aku cuma… aku ingin kamu tahu kalau aku ada di sini. Aku selalu ada.”Tawa mereda, tapi berganti dengan bisikan-bisikan. Beberapa pasang mata sengaja menoleh, menyaksikan interaksi itu seperti menonton drama yang ditayangkan gratis. Diana merasa ruang di sekitarnya semakin sempit, udara menekan dadanya sampai sesak.“Rayyan, pergi,” bisik Diana, kali ini lebih tegas. “Aku nggak butuh semua ini.”Rayyan menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca—antara penuh harap, putus asa, dan sedikit nekat. “Aku tahu kamu capek. Aku tahu kamu marah. Tapi aku nggak akan berhenti. Aku yakin suatu hari kamu bakal lihat ketulusanku.”Kata-kata itu, bagi Rayyan, terdengar penuh keyakinan. Tapi bagi Diana, itu seperti jerat yang makin mengikat lehernya. Ia mendengar bisikan sinis dari belakang:“Cieee… masih dikejar juga.”
“Udah kayak sinetron, sumpah.”
“Diana, kamu beruntung banget, ada bodyguard pribadi yang tiap hari ngasih perhatian.”Tawa lagi. Lebih keras, lebih menusuk.Diana merasa wajahnya terbakar. Tubuhnya gemetar. Ia tidak tahan lagi. Tiba-tiba ia menjatuhkan gulungan kain ke meja dengan suara keras, membuat ruangan seketika hening. Semua mata menoleh.“Berhenti, Rayyan!” suaranya melengking, tercekat di tenggorokan tapi penuh tenaga. “Aku nggak pernah minta semua ini. Aku nggak butuh kamu. Aku muak kamu terus-terusan muncul di setiap langkahku! Apa kamu nggak punya hidup sendiri?!”Suara Diana bergema di ruangan setengah kosong itu. Hening. Para rekan kerja terdiam, tawa mati mendadak. Bahkan bunyi mesin jahit yang masih berputar di sudut ruangan terdengar jauh sekali.Rayyan terpaku. Tangannya gemetar hebat, kantong plastik berisi bakso hampir terjatuh. Senyumnya lenyap, berganti dengan ekspresi kosong. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Ia menelan ludah, tapi kerongkongannya kering, sakit.“Diana…” suaranya pecah, lirih. “Aku… aku cuma ingin kamu bahagia.”“Bahagia?!” Diana menatapnya dengan mata berair, marah sekaligus putus asa. “Kamu nggak ngerti apa-apa. Kehadiranmu justru bikin aku terpuruk. Setiap kali kamu muncul, aku makin malu. Makin hancur. Kamu dengar? Aku benci ini!”Air mata jatuh di pipinya. Diana tidak menunggu reaksi lagi. Ia berbalik, mengambil tas, dan berlari keluar dari ruangan. Pintu pabrik menutup keras di belakangnya.Keheningan menyelimuti ruangan. Rekan-rekan kerja saling berpandangan, ada yang menutup mulut, ada yang pura-pura sibuk.Rayyan tetap berdiri di sana. Tangannya masih menggenggam plastik bakso yang kini sudah dingin. Senyum pahit mencoba muncul di wajahnya, tapi gagal. Ia merasa tubuhnya berat, otot-ototnya tegang. Kakinya ingin mengejar, tapi tidak bisa bergerak.Di dalam kepalanya, kata-kata Diana terus berulang—“Aku benci ini! Aku muak!”—seperti palu menghantam dada. Namun di sela sakit itu, ada suara kecil lain yang muncul, keras kepala, menolak menyerah.“Kalau dia marah sebesar itu, berarti dia peduli. Kalau dia benci, berarti dia masih merasakan sesuatu. Aku cuma harus lebih sabar. Aku belum boleh berhenti.”Rayyan menunduk. Tangan kirinya gemetar parah, hampir tak mampu menahan plastik. Wajahnya pucat, keringat dingin menetes dari pelipis meski udara tidak sepanas itu. Senyum tipis—lebih mirip luka daripada bahagia—terpaksa ia tarik di bibirnya.Di sekelilingnya, rekan kerja mulai bergerak lagi, pura-pura sibuk agar tidak canggung. Tapi ia tahu, gosip besok akan makin deras. Ia tahu semua mata sudah melihat bagaimana ia dipermalukan.Namun Rayyan tetap berdiri di sana, di tengah ruang pabrik yang bau kain dan debu, sendirian, tubuhnya hampir roboh. Dalam hati ia mengulang-ulang kalimat yang kini jadi mantra kosong:“Aku belum boleh menyerah. Aku harus tetap berjuang.”Dan di balik matanya yang mulai berkaca, kesadaran pahit tumbuh: perjuangan itu mungkin sudah tidak lagi tentang Diana, melainkan tentang menolak mengakui bahwa dirinya telah kalah.
BAB 20Retakan PertamaTelevisi di ruang tengah masih menyala, tapi tak ada yang benar-benar memperhatikannya. Suara dialog sinetron terdengar samar, kadang pecah oleh tawa kaleng penonton bayaran yang terasa hampa. Lampu neon di ruang tamu redup, menyisakan bayangan panjang di dinding. Meja makan di dekat dapur masih berantakan: piring tak tersentuh, sendok yang berlumuran kuah, dan segelas air putih yang tinggal setengah.Diana duduk di kursi rotan dekat televisi, tubuhnya meringkuk, tangan menggenggam lutut. Pandangannya kosong ke layar kaca, tapi sebenarnya ia tidak melihat apa-apa. Di dalam kepalanya, suara-suara lain lebih keras dari suara televisi—suara rekan kerja yang tadi siang cekikikan sambil menyebut nama Rayyan, sindiran ibu tentang “usia yang makin lewat,” wajah bapak yang menatapnya dengan kecewa diam-diam, seakan ia anak yang gagal membawa pulang kabar baik.Dan tentu saja, bayangan Rayyan—dengan senyum yang dipaksakan, dengan hadiah-hadiah kecil yang justru membuatnya malu, dengan mata yang entah kenapa selalu terlihat haus, seperti tidak pernah puas walau sudah ditolak berkali-kali.Diana memejamkan mata, menenggelamkan wajah ke antara lututnya.
Kenapa semuanya jadi begini?Suara jam dinding berdetak keras. Setiap detik seperti pengingat bahwa waktu terus berjalan, sementara hidupnya seakan berhenti di tempat yang sama. Tiga puluh dua tahun, lajang, bekerja keras di konveksi, pulang ke rumah sepi, hanya ditemani televisi dan piring kotor.Seketika, kepalanya dipenuhi lagi dengan potongan percakapan sore tadi.“Kamu itu pilih-pilih banget, Di.”
Suara ibunya, yang keluar dari speaker ponsel dengan nada setengah bercanda, setengah menyindir.
“Padahal, perempuan kalau sudah lewat usia, makin susah dapat pasangan. Rayyan itu baik, sabar, mau sama kamu apa adanya. Kenapa sih susah banget?”Diana mengingat betapa ia hanya bisa terdiam waktu itu, bibirnya ingin menjawab: Aku tidak mau Rayyan, Bu. Aku tidak cinta. Aku capek dengan kejarannya. Tapi kata-kata itu tidak pernah lolos dari kerongkongan. Yang keluar hanya gumaman pendek, alasan basi tentang “belum siap.”“Belum siap? Sampai kapan? Kamu pikir hidup sendiri itu enak? Kalau nanti sakit siapa yang urus? Kalau nanti makin tua, siapa yang temani?”Kalimat itu masih terngiang, menusuk ke dasar hati. Diana tahu ibunya tidak bermaksud jahat, hanya khawatir. Tapi tetap saja, kata-kata itu terasa seperti dorongan paksa ke jurang.Matanya terasa panas. Ia memeluk lutut lebih erat, menggigit bibir bawahnya.Rayyan. Kenapa harus dia? Kenapa tidak ada pilihan lain?Diana ingin marah pada keadaan, pada orang-orang di sekitarnya, pada dirinya sendiri yang terlalu lemah untuk melawan.Ketika ia membuka mata, layar televisi sudah berganti iklan sabun, suara cerah yang terasa kontras dengan hatinya. Ia bangkit pelan, berjalan ke dapur dengan langkah gontai. Piring-piring kotor menunggu untuk dicuci, tapi ia hanya menatapinya sebentar, lalu menarik kursi dan duduk lagi.Tangannya gemetar kecil. Ia merasa tubuhnya lelah sekali, tapi pikirannya terus berputar. Bayangan wajah Rayyan kembali muncul, kali ini dengan senyum kikuknya waktu di pabrik tadi. Senyum itu, meski mengganggu, selalu saja muncul.Ada bagian kecil di dalam dirinya yang hampir merasa kasihan. Hampir.
Tapi kasihan bukan cinta.Diana menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di meja. Layarnya berkedip—satu pesan masuk. Dengan ragu, ia meraihnya.Rayyan:
Diana, maaf kalau tadi aku bikin kamu marah. Aku cuma ingin kamu tahu, aku serius. Aku nggak akan berhenti. Aku percaya, suatu saat kamu bakal ngerti perasaanku.Diana menatap layar itu lama sekali.
Tangannya ingin langsung menghapus pesan itu, tapi entah kenapa ia malah diam. Ada perasaan aneh—antara sebal, lelah, tapi juga takut. Takut pada keyakinan Rayyan yang seperti tembok besar, makin ditekan malah makin kokoh.“Kenapa kamu nggak menyerah saja?” bisiknya lirih, hampir seperti doa.Tapi Rayyan bukan tipe yang menyerah. Dan justru itu yang membuatnya sesak.Televisi di ruang tengah kini menayangkan berita malam. Gambar orang-orang sibuk, hiruk pikuk dunia di luar sana, membuat rumah Diana terasa makin hampa. Ia kembali menyandarkan kepala di meja dapur, menutup mata.Dalam hening itu, kilas balik lain datang.“Diana, kamu pikir kamu bisa selamanya sendiri? Dunia ini keras.”
Itu suara bapaknya, dalam percakapan beberapa minggu lalu.
“Lihat teman-temanmu, sudah punya keluarga, punya anak. Kamu? Masih saja nolak laki-laki yang jelas-jelas tulus.”Tulus. Kata itu lagi. Semua orang melihat Rayyan sebagai lelaki tulus. Tidak ada yang mengerti kalau bagi Diana, ketulusan itu justru jadi beban.Air matanya jatuh pelan. Ia tak tahu apakah itu karena marah, atau sekadar lelah.Lalu, suara ketukan terdengar dari pintu depan. Pelan, ragu-ragu, tapi nyata. Diana mengangkat kepala, jantungnya langsung berdebar. Siapa lagi kalau bukan Rayyan?Ketukan itu berhenti sejenak, lalu ada suara pesan baru masuk.Rayyan:
Aku di depan rumahmu. Nggak lama. Cuma mau titip sesuatu. Tolong jangan marah.Diana menutup mulut dengan telapak tangan. Ada dorongan untuk berteriak, menyuruhnya pergi. Tapi tubuhnya tak bergerak. Kakinya berat, seolah menolak melangkah.Detik berikutnya, suara plastik kresek diletakkan di lantai teras terdengar samar. Lalu langkah menjauh.Diana akhirnya memberanikan diri membuka pintu sedikit. Di teras, ada sebungkus makanan, lengkap dengan termos kecil berisi teh hangat.Ia menatap bungkusan itu lama sekali, wajahnya memerah entah karena malu atau marah.Tangannya gemetar saat mengambil bungkusan itu.“Mengapa kamu terus lakukan ini, Rayyan…,” bisiknya.Ia masuk lagi, menaruh bungkusan itu di meja. Bau hangat makanan memenuhi ruangan, tapi perutnya justru mual. Ia menatap teh yang masih mengepulkan asap, lalu menarik napas panjang.Di dalam dirinya, ada retakan pertama yang jelas terasa. Ia tahu ia tidak menginginkan Rayyan. Tapi ia juga mulai lelah melawan semua tekanan.Apa gunanya menolak kalau semua orang melihatnya salah?
Apa gunanya bertahan kalau sendirian terasa lebih menakutkan daripada menerima sesuatu yang tidak ia mau?Diana duduk kembali, menatap pintu yang baru saja ditutup. Wajahnya basah oleh air mata. Di kepalanya, sebuah kalimat muncul begitu saja:Mungkin lebih mudah berhenti melawan.
BAB 21Jalan yang MenyempitSiang itu pabrik konveksi berdenyut dengan irama yang monoton: deru mesin jahit saling bersahutan, hentakan pedal logam yang bergema di lantai, dan suara kain digesek cepat seperti detak jantung yang tak pernah berhenti. Lampu neon menyala terang, tapi sinarnya menyilaukan sekaligus membuat kepala pening. Udara penuh debu halus dari potongan kain, terasa gatal di tenggorokan. Bau serat panas bercampur dengan keringat tubuh yang duduk berdesakan.Diana duduk di bangkunya, punggungnya sedikit bungkuk, tangan bergerak secara otomatis di atas mesin. Jarum naik-turun, benang mengencang, kain bergeser. Pola-pola itu seakan menjelma jadi lingkaran yang tak berujung. Satu pakaian selesai, pakaian lain menunggu. Hidupnya pun terasa sama: tak ada jeda, tak ada jalan keluar.“Eh, si Rayyan itu gigih banget, ya. Kayak nggak kapok-kapok,” bisik seorang rekan kerja di belakangnya. Tawa kecil menyusul, lirih tapi cukup jelas untuk sampai ke telinga Diana.Ia pura-pura tak dengar. Matanya terpaku pada garis benang putih yang membelah kain hitam. Tawa itu menusuk, tapi ia terlalu lelah untuk menoleh, apalagi melawan.Dulu, ia masih punya tenaga untuk membalas sindiran. Kadang dengan tatapan tajam, kadang dengan kata yang membuat gosip berhenti sebentar. Tapi sekarang… kata-kata itu seperti hilang, menetes habis entah kemana. Yang tersisa hanya kebisuan.Rayyan muncul tidak lama kemudian. Bajunya sama seperti biasa: seragam pabrik yang sudah basah di bagian dada dan punggung karena keringat. Ia tersenyum, senyum yang dulu terasa memaksa, kini justru tampak rapuh. Ada garis kelelahan di bawah matanya, lingkar hitam samar. Tapi ia tetap mencoba menegakkan wajah.“Diana, tadi aku bawain minum. Kamu pasti haus,” katanya sambil meletakkan sebotol teh dingin di meja kerjanya. Tangannya sedikit bergetar saat menaruh botol itu, tapi ia berusaha menutupi dengan cepat.Diana menunduk. Pandangannya jatuh pada botol plastik yang masih berembun, tanda baru keluar dari kulkas kecil di kantin. Ia ingin berkata sesuatu—sekedar menolak, atau mengembalikan. Tapi suaranya tidak keluar. Ia hanya menghela napas pelan, nyaris tak terdengar di tengah bising mesin.Rayyan menafsirkan diam itu dengan caranya sendiri. Ia tersenyum lebih lebar, seakan baru saja menangkap isyarat halus. “Aku taruh di sini, ya. Jangan lupa diminum. Panas banget hari ini.”Lalu ia pergi, kembali ke tempat kerjanya beberapa baris mesin di belakang.Diana masih diam. Matanya menatap botol itu cukup lama, sampai cairan teh di dalamnya berhenti berembun. Ada perasaan aneh yang menjalar—bukan bahagia, bukan pula marah. Lebih tepatnya, kosong.Kenapa aku nggak bisa bilang tidak? bisik hatinya. Kenapa aku cuma diam?Mesin terus berdengung. Debu kain semakin tebal, menempel di lengan bajunya. Tawa gosip sesekali terdengar:“Diana tuh gengsi aja sebenernya. Padahal udah cocok sama Rayyan.”
“Atau jangan-jangan emang mau, cuma pura-pura nolak?”
“Halah, drama doang.”Diana mengepal jemarinya di pangkuan, tapi segera melepas lagi. Semua terasa sia-sia. Kalau ia bicara, mereka akan tertawa lebih keras. Kalau ia diam, mereka tetap berspekulasi.Panas lampu neon membuat kulit kepalanya berkeringat. Ruangan padat tubuh membuat napasnya sesak. Suara mesin yang saling bersahutan bagaikan teriakan yang menindih pikirannya. Dan di tengah semua itu, suara hatinya sendiri semakin kecil.Rayyan kembali mendekat saat jam istirahat. Ia membawa dua kotak makan, plastik transparan yang menampakkan nasi dan lauk sederhana. “Aku udah beli buat kamu juga. Biar nggak antre di kantin,” katanya sambil duduk di kursi kosong di samping Diana.Diana memalingkan wajah. “Aku… masih kenyang,” jawabnya pendek.Rayyan tertawa kecil, meski matanya sayu. “Nggak apa-apa, disimpen aja. Nanti kalau lapar bisa dimakan.”Kotak makan itu ia letakkan di samping botol teh yang tadi. Dua benda sederhana di meja kerja Diana, tapi terasa seperti tanda bahwa jalan hidupnya semakin menyempit.Ia ingin menjerit, mengatakan keras-keras bahwa semua ini salah, bahwa diamnya bukan tanda iya, melainkan tanda habis tenaga. Tapi tenggorokannya seolah terkunci.Kalau aku bilang tidak lagi, mereka akan bilang aku lebay. Kalau aku marah, mereka akan tertawa. Kalau aku terus diam… apakah itu berarti aku menyerah?Tangannya gemetar sedikit saat kembali menyalakan mesin. Jarum naik-turun, suara berdengung, kain bergeser. Seolah tubuhnya sudah menyerah pada rutinitas, sementara hatinya menyerah pada keadaan.Rayyan duduk di samping cukup lama. Ia tidak banyak bicara, hanya beberapa komentar ringan. Tentang cuaca panas, tentang target jahitan yang semakin ketat, tentang rencana pabrik menambah lembur bulan depan. Senyumnya tampak dipaksakan, tapi tetap ia tunjukkan.Diana tidak menanggapi. Sekali-sekali ia hanya mengangguk, selebihnya diam.Rekan kerja lain mencuri pandang. Beberapa berbisik, beberapa tersenyum sinis. Diana merasakannya, tapi tidak punya tenaga untuk menoleh. Ia merasa dirinya seperti kain yang dijahit: dipaksa menyatu, tak peduli apakah pas atau tidak.Jam istirahat berakhir. Suara mesin kembali mendominasi ruangan. Rayyan akhirnya bangkit, kembali ke barisannya. Sebelum pergi, ia sempat menepuk pelan meja Diana. “Aku ada di sini kalau kamu butuh apa-apa,” katanya lirih.Kata-kata itu terdengar manis di telinga orang lain, tapi bagi Diana seperti tembok yang makin merapat, menutup semua celah keluar.Ia menunduk. Matanya jatuh pada botol teh dan kotak makan di sampingnya. Dua benda sederhana, tapi seakan menjadi simbol: seberapa pun ia menolak, sesuatu tetap ditinggalkan untuknya, tetap menempel padanya.Tangannya terhenti di atas kain. Dadanya terasa sesak. Suara gosip, suara mesin, bahkan suara napasnya sendiri bercampur jadi satu, membuatnya ingin berhenti mendengar apa pun.Tapi ia tetap duduk di sana. Tetap menjahit. Tetap diam.Dan untuk pertama kalinya, diam itu terasa seperti tanda menyerah.
BAB 22Kata yang TerselipUdara malam itu lembab, menusuk ke pori-pori seperti embun yang gagal turun. Jalan depan pabrik sudah kosong; suara mesin jahit yang sejak siang meraung kini mati, menyisakan dengung samar di telinga Diana seolah masih terpatri di sana. Sandal jepitnya menyeret di atas aspal yang dingin, setiap langkah terasa lebih berat dari langkah sebelumnya. Bahunya lunglai, punggungnya miring sedikit ke kiri karena lelah menahan tubuh seharian duduk di kursi keras, dikelilingi kain, debu, dan panas lampu neon yang tak pernah ramah.Malam memang memberi ruang untuk diam, tapi diam itu justru menindih Diana dengan berat yang lebih tak tertanggungkan dibanding riuh pabrik siang tadi. Tak ada lagi gosip perempuan-perempuan yang berbisik tentang dirinya dan Rayyan. Tak ada lagi tawa kecil yang menusuk telinga. Yang ada hanya sunyi, anjing menggonggong jauh di gang, sesekali motor melintas, dan dirinya sendiri yang ingin roboh.Ketika belokan menuju rumahnya tinggal beberapa langkah, Diana berhenti. Ada seseorang di bawah lampu jalan redup yang berkelip tak stabil. Bayangan tubuh tinggi, mengenakan kemeja pabrik yang warnanya sudah pudar, dengan debu kain masih menempel di lengan. Rayyan.Ia menunggu.Diana menghela napas panjang, berat, sebelum melanjutkan langkah. Sandalnya kembali menyeret, kali ini lebih pelan, seakan tubuhnya memberi peringatan untuk berhati-hati mendekati sesuatu yang tak terhindarkan.“Diana,” suara itu keluar, lembut tapi serak, seperti orang yang menahan kantuk terlalu lama. Rayyan berdiri dengan tangan di saku celana, namun matanya—mata yang sembab karena lelah—memancarkan sesuatu yang tak bisa diabaikan: harap.Diana tak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, menatap gerakan kakinya yang kecil, mencoba menyibukkan diri dengan menghitung garis retak di aspal.Rayyan melangkah setengah, lalu berhenti. “Aku… aku tahu kamu capek. Aku juga capek,” katanya pelan, senyum kecil yang dipaksakan muncul di bibirnya. “Tapi aku nggak bisa pulang sebelum lihat kamu. Pastikan kamu baik-baik aja.”Diana menahan diri untuk tidak mengangkat wajah. Kata-kata itu, andai diucapkan oleh orang lain, mungkin akan terasa manis. Tapi dari Rayyan, yang setiap harinya terus mendesak dengan perhatiannya, yang setiap penolakan Diana selalu dipelintir menjadi peluang baru, kata-kata itu justru terasa seperti perangkap.Ia ingin marah, ingin berkata: Aku tidak butuh dijaga. Aku hanya butuh kau berhenti. Tapi bibirnya kering, lidahnya kelu. Tenaga untuk melawan sudah tergerus habis oleh jam-jam lembur, oleh tatapan rekan kerja, oleh hari-hari yang tak pernah memberi jeda.Rayyan mendekat selangkah lagi. “Boleh aku antar sampai depan? Nggak jauh, kok. Aku janji nggak akan bikin ribet.”Kali ini Diana menoleh. Tatapannya kosong, seperti selembar kertas yang sudah terlalu sering dicoret sampai tintanya melebar jadi noda. Hanya sepersekian detik, lalu ia kembali memalingkan wajah.“Kalau kamu diam… aku anggap itu ‘iya’, ya?” suara Rayyan gemetar, setengah takut, setengah penuh harapan.Diana tidak menjawab. Tapi ia juga tidak menggeleng, tidak menghardik, tidak mengucap penolakan seperti biasanya. Ia hanya berjalan. Dan Rayyan, dengan langkah sedikit gugup tapi penuh semangat, menyusul di sampingnya.Mereka berjalan beriringan. Udara lembab menempel di kulit, membuat rambut Diana yang tergerai dari jilbabnya melekat di kening. Sandalnya tetap menyeret, sedangkan langkah Rayyan mantap meski tubuhnya jelas letih. Sesekali, napasnya terdengar berat, tapi ia tetap berusaha menyamakan kecepatan.“Diana,” katanya lagi, berusaha memecah hening. “Aku tahu, selama ini aku bikin kamu jengkel. Tapi aku nggak main-main. Aku benar-benar… pengin kamu ada di hidupku. Aku bisa tunggu, berapa pun lama. Cuma jangan usir aku.”Diam. Hanya suara sandal menyeret dan gonggongan anjing dari kejauhan yang menjawab.Rayyan melirik. Dari samping, wajah Diana tampak redup, matanya tak fokus, bibirnya terkatup rapat. Dia nggak menolak, pikir Rayyan. Itu sudah cukup.Ketika rumah Diana tampak di ujung jalan, Rayyan berhenti. Ia berdiri tepat di bawah lampu jalan yang berkelip, menatap Diana dengan gugup. “Aku boleh tanya sesuatu?”Diana ikut berhenti, setengah langkah di depan. Ia tidak menoleh.“Kalau aku terus nunggu, terus jagain kamu… kamu bakal kasih aku kesempatan?” suara Rayyan pelan, seperti takut kalimatnya terbang dan pecah di udara malam.Diana menutup mata. Ada dorongan kuat di dadanya untuk menjerit, untuk mengatakan kebenaran yang menyakitkan: Tidak. Aku tidak pernah mau. Tapi lidahnya seperti terikat. Semua tenaga yang tersisa sudah habis untuk sekadar berdiri di situ.Ia menarik napas, lalu menghembuskan perlahan. Dan dari bibirnya, meluncur kata yang begitu sederhana, tapi terasa seperti menancapkan paku di peti terakhir:“Baiklah. Aku mau.”Hening. Bahkan suara anjing pun seperti berhenti.Rayyan membeku sejenak, menatapnya dengan ragu. “Diana… kamu serius?”Diana tidak menjawab. Ia hanya melangkah lagi, menuju pintu rumahnya.Rayyan menahan napas, takut kalimat itu hanya lelucon pahit. Tapi ketika Diana tidak menarik kembali kata-katanya, wajahnya pecah oleh senyum lega. Ia menatap langit malam, dadanya naik-turun, lalu berbisik lirih, “Terima kasih, Tuhan… akhirnya.”Sementara itu, Diana membuka pintu rumahnya. Gerakan tangannya lemah, matanya kosong, tubuhnya seakan melayang. Ia tahu, yang barusan ia ucapkan bukanlah “iya” dari hati. Itu hanyalah tanda menyerah, kapitulasi seorang yang kehabisan tenaga untuk menolak.Ia masuk ke dalam rumah, menutup pintu perlahan. Dari celah tipis jendela, sinar lampu jalan masuk, menyoroti bayangan Rayyan yang masih berdiri di luar. Wajahnya bahagia, seperti pemenang perang yang baru saja meraih kemenangan terbesar.Tapi Diana tahu, kemenangan itu semu. Karena yang dimenangkan Rayyan bukanlah cinta—hanya sisa dari dirinya yang sudah terlalu letih untuk bertahan.Dan di ruang kecil itu, Diana duduk di lantai, membiarkan tubuhnya jatuh, memeluk lutut, menatap kosong ke depan. Kata yang terucap tadi menggema di kepalanya. Bukan manis, bukan janji, tapi belenggu yang baru.“Baiklah. Aku mau.”Kata yang terselip. Kata yang lahir dari pasrah, bukan cinta.Malam pun menutup rapat, menyimpan rahasia getir itu di balik gonggongan anjing dan lampu jalan yang berkelip.
BAB 23Hari Tanpa LaguTidak ada musik. Tidak ada dentuman riang dari speaker, tidak ada alunan biola atau keyboard elektrik yang biasanya mengisi pesta-pesta pernikahan sederhana di kampung. Yang terdengar hanyalah suara kipas angin tua yang berderit-derit di sudut ruangan, sesekali bersaing dengan suara piring yang saling beradu dari meja prasmanan. Bau kari ayam bercampur dengan aroma plastik kursi murah yang dipanaskan udara siang.Rayyan berdiri di depan, mengenakan kemeja putih yang sudah disetrika berkali-kali agar tampak rapi, padahal kainnya tetap lusuh. Senyumnya lebar, seakan ingin menutupi semua kekurangan: ruangan sempit, tamu yang tak seberapa, dan terutama—tatapan kosong Diana di sampingnya.Diana mengenakan kebaya sederhana warna krem pucat. Rambutnya disanggul seadanya, dihiasi beberapa bunga melati yang cepat layu. Ia duduk tegak, tapi tidak pernah benar-benar menatap siapa pun. Seolah tubuhnya hadir di sana, tapi jiwanya entah mengembara ke mana.Rayyan meliriknya sekilas. Senyum itu tetap dijaga, meski ada keganjilan kecil di dada. Mungkin dia masih canggung. Wajar saja. Setelah ini, setelah resmi, semua akan berubah. Ia menepuk pelan lututnya, sebuah kode penguat yang tidak dibalas.Penghulu mulai membaca doa. Suaranya monoton, seperti guru yang mengulang hafalan lama. Tamu-tamu mengangguk sopan, beberapa melirik jam tangan, sebagian sibuk dengan ponsel. Seorang anak kecil menangis karena bosan, tangisnya malah lebih hidup daripada seluruh suasana akad itu sendiri.Rayyan menunduk, menutup mata sejenak ketika ijab kabul selesai diucapkan. Alhamdulillah. Mimpiku akhirnya terwujud. Aku bisa melindungi dia. Aku bisa menjadi rumah untuknya. Di balik kelopak mata tertutup itu, ia membayangkan hidup baru yang hangat. Ia sengaja tidak menoleh ke wajah Diana, takut melihat sesuatu yang bisa meruntuhkan bayangannya.Acara makan berlangsung singkat. Nasi liwet, ayam goreng, sayur asem, dan kerupuk—semuanya cepat habis. Para tetangga berbisik-bisik di pojokan.“Sepi sekali ya. Biasanya ada organ tunggal.”
“Iya. Tapi ya… mungkin karena suaminya dulu baru meninggal.”
“Kasihan juga. Nggak ada suasana bahagia sama sekali.”Bisik-bisik itu tak pernah sampai langsung ke telinga Rayyan, tapi cukup untuk bergaung di udara. Ia mendengarnya samar, lalu buru-buru menepis dengan senyum lebih lebar. Tak apa. Tak semua orang mengerti. Yang penting, kami sudah sah. Kami sudah resmi.Diana menunduk, menyuap sedikit nasi ke mulutnya. Tidak ada rasa, tidak ada selera. Senyum tipis yang ia lemparkan ke setiap orang hanyalah formalitas, sekadar menjaga wajah agar tidak terlalu tampak dingin. Tapi semua orang bisa merasakan: pengantin wanita itu seperti tamu di pestanya sendiri.Rayyan tetap menggenggam tangannya di bawah meja. Jemari itu dingin, kaku, tidak pernah menggenggam balik. Ia mencoba menenangkan diri. Mungkin dia malu. Nanti malam, saat hanya ada aku dan dia, pasti akan berbeda.Siang berganti sore. Kursi plastik mulai dikembalikan, sisa makanan dibungkus dalam kotak-kotak, kipas angin dimatikan. Rumah itu sunyi, hanya tersisa keluarga inti yang membereskan peralatan.Rayyan berdiri di teras, menghela napas panjang. Senyumnya belum hilang, meski mulai lelah. Ia memandang langit sore yang berwarna jingga kusam. Hari ini sederhana, tapi penuh arti. Besok pasti lebih baik. Besok pasti ada tawa.Di dalam, Diana melepas kebayanya, mengganti dengan daster tipis. Ia melipat pakaiannya sendiri tanpa bantuan siapa pun. Wajahnya tetap datar. Tidak ada air mata, tidak ada amarah. Hanya kekosongan yang semakin melebar.Malam turun.Rumah itu sunyi sekali. Tidak ada musik pengiring, tidak ada canda pengantin baru. Hanya bunyi cicak di dinding dan detak jam tua di ruang tamu.Rayyan duduk di tepi ranjang, menunggu. Pakaian pengantinnya sudah ia ganti dengan kaus polos dan celana panjang. Ia tampak gugup, meski berusaha terlihat tenang. Ini malam pertama kami. Malam yang aku tunggu. Semoga dia juga siap.Diana masuk perlahan, membawa tubuh lelahnya. Ia tidak membawa senyum. Tidak membawa apa-apa, selain pasrah. Ia duduk di sisi ranjang tanpa berkata.Rayyan menoleh, berusaha memecah hening.
“Capek, ya?” suaranya pelan, penuh harap.Diana mengangguk singkat. “Ya.”Rayyan menunggu kata-kata lain, tapi tak ada. Ia mengulurkan tangan, menyentuh pelan punggung tangannya. Dingin. Tak ada respon.Ia tersenyum, meski hatinya tercekat. Mungkin butuh waktu. Aku tidak boleh memaksa. Aku harus sabar.Mereka berbaring, dua tubuh di ranjang yang sama. Rayyan mencoba mendekat, Diana tetap membelakangi. Udara malam terasa berat, seakan ikut menekan dinding-dinding kamar.Ia menatap langit-langit gelap, membisikkan doa dalam hati. Ya Allah, tolong hangatkan hatinya untukku. Aku akan menunggu, aku akan bersabar. Aku yakin cinta akan tumbuh.Tapi di balik punggung yang kaku itu, Diana menutup mata tanpa doa, tanpa harapan. Baginya, semua ini hanyalah penjara baru.Hening.Tak ada musik. Tak ada tawa. Malam pertama mereka hanyalah malam tanpa lagu—dua hati yang dipaksa menyatu, tapi tetap berjauhan sejauh langit dan bumi.Rayyan menatap wajah Diana yang tertidur dalam diam, senyumnya masih bertahan, meski samar. Ia meyakinkan dirinya sendiri: Besok pasti lebih baik. Pasti.Namun di dalam hatinya yang paling dalam, ia tahu—kemenangan ini semu.
BAB 24 – Pagi Tanpa Sapa (versi lebih panjang)Rumah kontrakan itu kecil, berdiri di gang sempit yang hanya bisa dilewati satu motor. Cat luarnya berwarna krem pucat, sudah mulai mengelupas di beberapa sudut. Di depan, ada teras selebar satu langkah dengan lantai semen yang dingin. Tak ada pagar, hanya pot plastik berisi tanaman kering yang ditinggalkan penghuni lama.Begitu masuk, bau cat tipis masih samar-samar terasa, bercampur dengan aroma lembap yang muncul dari dinding. Lantainya ubin putih bergaris biru, sedikit kusam meski baru saja dipel dipagi hari. Di ruang depan, dua kursi plastik hijau diletakkan menghadap tembok kosong. Kursi itu sering berderit setiap kali diduduki, seakan mengingatkan bahwa semuanya serba sementara.Lemari kayu murah, tinggi tapi ringkih, berdiri di pojok. Warnanya cokelat muda, dengan pintu yang sudah agak miring sehingga selalu menutup tidak sempurna. Di sampingnya, ada kipas angin berdengung pelan, mesinnya tua dan suaranya kasar, seperti menolak bekerja tapi tetap dipaksa.Kamar tidur mereka hanya berisi ranjang besi dengan kasur tipis. Sprei motif bunga biru pucat, baru dibeli Rayyan di pasar, terpasang rapi. Namun rapi itu terasa dingin, seperti kamar hotel murah yang disusun untuk tamu asing. Tidak ada jejak keintiman, tidak ada barang yang menunjukkan "rumah bersama."Dapurnya sempit, hanya cukup untuk satu orang berdiri. Kompor satu tungku diletakkan di atas meja kayu kecil yang kaki-kakinya sudah diganjal batu bata. Ada panci aluminium berkilau, hadiah dari ibunya Rayyan, dan beberapa piring plastik berwarna-warni. Bau minyak goreng baru saja dipakai masih tercium, bercampur dengan aroma cabai yang tersisa di udara.Di luar, suara ayam berkokok bersahut-sahutan. Sesekali terdengar suara sapu lidi dari tetangga yang menyapu halaman, atau suara motor yang melewati gang sempit. Kehidupan di sekitar terasa normal, wajar, dan penuh ritme. Tapi di dalam rumah itu, keheningan lebih dominan.Rayyan berdiri di dapur dengan celemek lusuh yang sebenarnya terlalu kecil untuk tubuhnya. Tangannya sibuk membalik telur dadar di wajan, meski bentuknya sudah berantakan. Ia tersenyum kecil, menatap hasil masakannya dengan penuh kebanggaan yang sederhana."Sarapan harus ada. Biar suasana hangat." pikirnya.Ia menata telur itu di atas piring, lalu menambahkan nasi hangat yang baru saja ditanak di rice cooker murah. Di meja makan kecil yang hanya muat dua kursi plastik, Rayyan sudah menyiapkan segelas teh manis untuk Diana. Asap masih mengepul dari gelas kaca, wangi gula larut menebar."Sayang... sarapan dulu, yuk. Aku udah bikin nasi sama telur," ucap Rayyan sambil tersenyum lebar.Diana keluar dari kamar, rambutnya tergerai berantakan, wajahnya tanpa riasan. Ia mengenakan daster polos. Pandangannya datar, seperti orang yang berjalan tanpa arah. Ia menoleh sekilas ke meja, lalu menghela napas."Aku nggak doyan," jawabnya singkat.Rayyan tersenyum kikuk. "Hehe... mungkin masih ngantuk ya? Tapi coba dulu deh, biar ada tenaga."Diana duduk, tapi bukan di kursi meja makan. Ia justru menurunkan tubuhnya ke kursi plastik hijau di ruang depan, menatap kosong ke dinding.Rayyan merasa dadanya sesak, tapi buru-buru menepiskan perasaan itu. "Wajar. Dia masih adaptasi. Ini baru awal. Besok pasti lebih baik." Ia menarik kursi, duduk, dan mulai makan sendiri. Suara sendok beradu dengan piring jadi bunyi paling jelas di rumah itu."Tehnya aku bikin agak manis, soalnya kamu suka manis, kan?" Rayyan mencoba lagi membuka percakapan.Diana hanya melirik sebentar, lalu menjawab, "Aku nggak terlalu suka teh.""Oh... hehe, nanti aku bikin kopi aja, ya," balas Rayyan, masih dengan suara ceria yang dipaksakan.Keheningan kembali jatuh. Suara kipas angin dari ruang depan terdengar kasar, seakan ikut menertawakan usaha Rayyan yang sia-sia.Di luar, anak-anak kecil berteriak-teriak bermain kelereng. Suara sandal berlarian menabrak lantai semen. Rayyan sempat menoleh ke arah jendela, melihat sekilas dunia luar yang terasa hidup."Mereka tertawa... kenapa di sini sepi sekali?" pikirnya.Diana tiba-tiba bersuara. "Ray, aku mau ngomong."Rayyan meletakkan sendoknya, menatap penuh harap. "Iya, apa, Sayang?""Aku nggak pernah mau semua ini. Nikah sama kamu. Aku merasa... terjebak."Kata-kata itu seperti pisau, menusuk pelan tapi dalam. Rayyan menelan ludah, dadanya mengencang. Namun bibirnya tetap tersenyum, seakan ia tak mendengar luka di balik kalimat itu."Aku ngerti, Di. Kamu masih capek. Masih kaget juga kali, ya. Nanti... nanti juga kamu terbiasa. Kita kan mulai dari nol. Aku yakin kita bisa."Diana menatapnya dingin. "Optimismu itu... nyebelin, tahu nggak?"Rayyan terdiam. Senyum di wajahnya menegang, tapi ia tetap tidak melepaskannya. Ia hanya mengangguk pelan."Kamu bisa, Yan. Besok pasti lebih baik." batinnya berulang-ulang, seperti mantra untuk menahan runtuhnya hati.Piring di depannya sudah kosong. Telur habis, teh tinggal setengah. Diana masih duduk di kursi depan, tidak bergerak.Rayyan membereskan meja makan dengan hati-hati, seolah sedang merawat sesuatu yang rapuh. Ia mencuci piring di dapur sempit, suara air keran menetes tak teratur. Sesekali, ia mengusap wajah dengan tangan basah, berusaha menepis rasa lelah emosional yang mulai menumpuk.Ketika matahari makin naik, sinarnya menembus kaca jendela kecil. Debu-debu terlihat melayang di udara. Rumah itu, meski baru ditempati, sudah terasa pengap. Seakan dindingnya menyerap ketegangan dan memantulkannya kembali.Rayyan lalu duduk di meja makan. Ia menatap kursi kosong di depannya—kursi yang seharusnya ditempati istrinya. Di atas meja, masih ada piring berisi nasi dan telur yang ia sisakan untuk Diana, tak tersentuh sama sekali.Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. "Semua butuh waktu," bisiknya lirih.Suara itu hampir tak terdengar, tenggelam oleh riuh ayam berkokok dan anak-anak tertawa di luar rumah.Namun di dalam rumah kontrakan itu, keheningan lebih nyaring dari apapun.
BAB 25Senyum yang TertinggalRuang tengah kontrakan kecil itu disinari lampu bohlam putih yang menggantung di tengah plafon tipis. Cahayanya redup, berayun pelan setiap kali angin malam masuk lewat celah jendela kayu yang tak menutup rapat. Di luar, samar-samar terdengar suara televisi dari rumah tetangga, bercampur suara sendok beradu dengan gelas kaca. Suasana kampung begitu hidup—dan anehnya, kehangatan itu justru menonjolkan dinginnya ruangan tempat Rayyan duduk.Ia menatap meja kecil di hadapannya: dua gelas teh manis. Uapnya sudah lama hilang, menyisakan permukaan air kecokelatan yang dingin. Satu gelas sudah tinggal separuh—punya Rayyan. Satu lagi, di seberang, masih penuh, tak tersentuh sejak ia menuangkannya lebih dari setengah jam lalu.Di kursi plastik sebelahnya, Diana bersandar dengan posisi malas. Satu kaki naik ke kursi, tangan sibuk menggulir layar ponselnya. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya sesekali berganti cahaya dari sorotan layar yang memantul ke pipinya.Rayyan menarik napas, lalu mencoba membuka percakapan.
“Capek nggak hari ini? Aku tadi sempat kepikiran, kalau kamu suka, mungkin besok sore kita beli martabak. Di depan gang ada yang jual, katanya enak.”Tak ada respon. Hanya bunyi klik kecil dari kuku Diana yang mengetuk layar. Beberapa detik kemudian, Diana melirik sekilas, lalu berkata datar.
“Nggak usah pura-pura perhatian. Aku tahu kamu cuma berusaha manis.”Rayyan mengerjap, lalu tersenyum tipis.
“Enggak kok. Aku beneran mikir kamu pasti suka. Manis, hangat, kayak suasana rumah gitu...”Diana menurunkan ponselnya, menatap Rayyan tajam.
“Rumah? Ini buat kamu mungkin rumah. Buat aku? Penjara. Jangan samain.”Rayyan terdiam. Suara nyamuk berdengung dekat telinganya, ia menepuk pelan, meleset. Lalu ia menunduk, menatap gelas tehnya. Ada bekas bibir di pinggiran gelas itu—cuma miliknya. Gelas yang lain tetap bersih, bening, seperti tak pernah dijamah.Kamu bisa, Yan. Besok pasti lebih baik.Ia mengulang mantra kecil itu dalam hati, seakan menambal lubang yang semakin melebar di dadanya.Berusaha lagi, ia menyandarkan tubuh ke kursi, lalu mengangkat nada lebih ringan.
“Kamu ingat nggak, waktu pertama kali kita lihat kontrakan ini? Aku langsung jatuh suka. Meski sempit, tapi... aku pikir, kalau kita berdua, pasti terasa luas.”Diana tertawa pendek, bukan tawa hangat—melainkan sinis.
“Kamu terlalu gampang puas, Yan. Lihat sekelilingmu. Catnya masih bau, dindingnya tipis, suara tetangga semua kedengeran. Kamu nyebut ini rumah?”Rayyan ikut menoleh. Dinding putih memang masih menyisakan bau cat tipis. Angin malam membawa aroma itu, bercampur dengan bau minyak goreng dari dapur tetangga. Kursi plastik yang mereka duduki berderit setiap kali bergeser. Semua benar, kontrakan itu memang sederhana, seadanya. Tapi Rayyan melihatnya berbeda.“Justru itu... aku rasa, mulai dari sini kita bisa bangun. Pelan-pelan. Aku yakin.” Suaranya nyaris bergetar, tapi ia paksakan terdengar ceria.Diana meletakkan ponselnya, menatap Rayyan lama.
“Kamu yakin? Aku nggak. Aku cuma... kejebak. Pernikahan ini bukan yang aku mau, dan kamu tahu itu.”Hening. Angin membuat bohlam berayun lagi, menimbulkan bayangan panjang di lantai semen yang belum dilapisi keramik.Rayyan menelan ludah, mencoba membalas tatapan itu. Tapi kata-kata lenyap di ujung lidah. Ia ingin berkata banyak hal—tentang harapan, tentang kesabaran, tentang cinta yang bisa tumbuh meski terlambat. Namun bibirnya hanya membuka, lalu menutup lagi.Sampai akhirnya ia memilih tersenyum. Senyum yang dipaksakan, kosong, tapi tetap ia tampilkan.Diana menghela napas, lalu berdiri. Kursi plastiknya berderit kencang, menambah ketegangan ruang sempit itu. Ia mengambil ponsel, berjalan masuk ke kamar tanpa menoleh lagi. Pintu kamar ditutup agak keras, meninggalkan dentum singkat yang memantul ke seluruh ruangan.Rayyan masih duduk di sana. Menatap meja. Menatap dua gelas teh. Menatap kursi kosong di hadapannya.Ia meraih gelas yang tak tersentuh itu, memutarnya perlahan di tangannya. Air teh sudah dingin, manisnya pasti berubah getir. Ia letakkan kembali, tepat di posisi semula.“Besok pasti lebih baik...” bisiknya.Lalu ia tersenyum—senyum yang tidak lagi hangat. Senyum yang hanya tinggal sisa, dipaksa hidup di wajahnya. Senyum yang tertinggal di ruang sempit itu, bersama cahaya bohlam redup dan suara televisi tetangga yang masih riuh.Di dalam dada Rayyan, ada sepi yang makin berat. Tapi di bibirnya, senyum itu tetap bertahan. Senyum yang ia pelihara sendirian.
BAB 26Hari yang BerulangPagi datang di kontrakan itu dengan suara sapu lidi dari halaman rumah tetangga. Suara gesekannya kering, berirama seperti ketukan yang berulang di lantai semen. Udara pagi masih dingin, menusuk telapak kaki Rayyan saat ia melangkah dari kamar menuju dapur. Lantai keramik berwarna abu kusam itu belum terkena sinar matahari, sehingga dinginnya terasa seperti permukaan batu yang basah oleh embun.Rayyan menyalakan kompor kecil. Api biru menyala pelan, menyalurkan panas ke panci berisi air. Ia membuka toples kaca, memasukkan dua sendok gula ke gelas bening. Bunyi sendok beradu dengan dinding gelas terdengar nyaring dalam keheningan dapur. Lalu, ia tuang teh bubuk. Aroma khasnya perlahan mengisi ruangan sempit itu, bercampur dengan bau minyak goreng yang masih tersisa dari malam sebelumnya.Sambil menunggu air mendidih, Rayyan bergumam pelan pada dirinya sendiri, seperti sebuah doa, atau lebih tepatnya, sebuah mantra:"Kamu bisa, Yan. Hari ini pasti lebih baik."Kalimat itu sudah menjadi rutinitas yang ia ulang setiap pagi. Kadang dengan penuh keyakinan, kadang hanya sebagai pengisi ruang kosong di dalam kepalanya.Saat Diana keluar dari kamar, rambutnya masih berantakan, matanya setengah tertutup. Rayyan menyambut dengan senyum ceria, seolah hari itu dimulai dengan cahaya baru.
“Pagi, Di. Aku bikin teh, mau sarapan roti juga?” tanyanya.Diana hanya melirik sekilas, kemudian mengambil ponsel dari meja dapur. Jari-jarinya langsung sibuk menggulir layar, tanpa menanggapi pertanyaan. Ia duduk di kursi plastik hijau, menatap layar dengan tatapan kosong, seperti dunia di dalam ponsel lebih menarik daripada keberadaan Rayyan.Rayyan tetap tersenyum. Ia menyodorkan gelas teh ke hadapan istrinya.
“Ini, masih hangat. Pas banget buat pagi.”Diana menggeser gelas itu ke samping, tanpa meneguknya. “Aku nggak haus,” jawabnya datar.Rayyan menelan ludah. Tangannya yang masih menggenggam gelas terasa dingin. Namun ia menaruhnya kembali ke meja, berpura-pura tidak kecewa.Siang datang dengan cahaya matahari yang menembus jendela kecil dapur. Sinar itu jatuh ke lantai, membentuk persegi kuning terang di antara bayangan kursi. Udara panas menyeruak, membuat ruangan kontrakan terasa seperti oven kecil.Rayyan pulang kerja lebih cepat hari itu. Ia membawa sebungkus gorengan dan es teh plastik yang dibungkus koran bekas. Keringat masih menetes dari pelipisnya, kemejanya lecek, tapi ia tersenyum puas. Dalam kepalanya, ia membayangkan wajah Diana yang akan sedikit lebih cerah saat melihat makanan kesukaannya.“Di, aku bawa gorengan. Tadi ada yang baru keluar dari penggorengan, panas banget,” katanya sambil membuka bungkusan di meja ruang tengah. Aroma tempe goreng dan bakwan menyeruak, menempel di udara yang pengap.Diana menoleh sekilas dari sofa, lalu kembali menatap layar ponselnya. “Aku nggak lapar.”Rayyan tetap menaruh piring kecil berisi gorengan di dekatnya. “Ya udah, kalau nanti mau tinggal ambil. Aku beli lebih banyak biar bisa makan bareng.”Beberapa menit hening berlalu. Hanya suara televisi dari tetangga yang terdengar samar, bercampur dengan bunyi motor lalu-lalang di jalan kecil depan kontrakan. Diana akhirnya mengambil satu gorengan, tanpa melihat Rayyan. Ia menggigitnya perlahan, lalu kembali sibuk dengan ponsel.Rayyan menahan senyum, meski hatinya teriris. Ia menatap tangan Diana yang mengunyah, dan dalam benaknya ia menipu diri: “Lihat, dia makan juga. Itu tandanya dia suka. Usaha kecilku nggak sia-sia.”Tapi Diana tidak mengucapkan terima kasih. Tidak ada sapaan, tidak ada senyum. Hanya kesunyian yang semakin lama semakin berat.Menjelang sore, suara anak-anak tetangga bermain terdengar jelas. Gelak tawa mereka masuk lewat celah jendela. Ada yang berlari sambil membawa bola plastik, ada yang tertawa terpingkal setelah jatuh di jalan tanah. Kehidupan di luar kontrakan terasa ramai, penuh warna.Sementara itu, di dalam, hanya ada dua orang dewasa yang duduk berseberangan di ruang tengah—tanpa percakapan berarti. Rayyan mencoba menghidupkan suasana.
“Eh, aku tadi lewat depan warung, mereka udah jualan martabak lagi. Kayaknya enak tuh kalau nanti malam kita beli. Kamu suka yang manis atau telur?”Diana mendengus pelan. “Nggak usah pura-pura perhatian, Yan. Kamu pikir dengan martabak semua masalah selesai?”Rayyan tercekat. Ia mencoba tertawa kecil, meski suaranya terdengar kaku. “Aku cuma mau bikin suasana enak, Di. Biar kita bisa makan bareng, gitu.”Diana meletakkan ponselnya ke meja dengan keras. “Masalahnya bukan di martabak, Rayyan. Masalahnya karena aku kejebak di pernikahan ini. Kalau saja aku nggak sama kamu, mungkin hidupku udah lain.”Kalimat itu menghantam Rayyan seperti palu. Sesaat ia kehilangan kata-kata. Ia hanya menatap wajah Diana yang dingin, matanya penuh kejengkelan.Dalam hatinya, suara kecil mencoba melawan: “Jangan dengar. Itu cuma luapan emosi. Dia nggak benar-benar maksud begitu. Semua pasangan pasti ada fase ini. Besok pasti lebih baik.”Ia menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Iya, aku ngerti. Aku minta maaf kalau bikin kamu nggak nyaman.”Diana tidak menanggapi. Ia berdiri, lalu berjalan ke kamar, meninggalkan Rayyan sendirian di ruang tengah dengan piring gorengan yang mulai dingin.Malam datang dengan lampu bohlam putih yang menggantung redup di ruang tengah. Bohlam itu berayun pelan setiap kali angin masuk lewat celah jendela, menebarkan bayangan yang bergerak di dinding. Suara televisi menyala, tapi tidak ada yang benar-benar menonton. Hanya layar yang berganti-ganti gambar, sementara perhatian Diana tetap tertuju pada ponselnya.Rayyan duduk di kursi plastik, menatap layar televisi sekilas, lalu kembali menatap istrinya. Sesekali ia mencoba melontarkan obrolan ringan.
“Capek nggak hari ini, Di?”
“Biasa aja.”
“Tadi aku lihat kucing tetangga lagi main, lucu banget. Kayak yang waktu kecil kamu suka ceritain.”
“Hm.”Rayyan merasa kata-katanya jatuh ke ruang kosong. Tidak ada yang memantul balik. Hanya udara dingin yang membungkusnya.Namun pada suatu momen, ia melihat sesuatu. Diana sempat tersenyum kecil saat seekor kucing tetangga melompat ke jendela, lalu mengeong manja. Senyum itu singkat, samar, dan cepat hilang.Bagi Rayyan, itu cukup. Ia menelan senyum itu dalam-dalam, lalu membisikkan dalam hatinya: “Lihat, dia masih bisa tersenyum. Senyum itu buat aku. Itu tanda, besok pasti lebih baik.”Tentu saja, senyum itu bukan untuknya. Itu hanyalah respon spontan pada tingkah kucing. Tapi Rayyan memilih buta. Lebih baik percaya pada harapan yang rapuh daripada menelan pahitnya kenyataan.Menjelang larut, Diana masuk kamar lebih dulu. Pintu menutup dengan bunyi cekrek yang dingin. Rayyan masih duduk di ruang tengah. Meja kecil di hadapannya menyisakan satu gelas teh manis yang tak disentuh sejak pagi. Teh itu kini dingin, gula sudah mengendap di dasar gelas.Rayyan menatapnya lama, lalu bergumam pada dirinya sendiri, seperti pagi tadi:
“Besok pasti lebih baik, Yan. Besok pasti lebih baik.”Ia mematikan televisi, ruangan langsung tenggelam dalam sunyi. Lampu bohlam tetap menyala, berayun perlahan. Senyum tipis masih menempel di wajahnya, meski tidak ada lagi yang melihat. Senyum itu bukan kehangatan—hanya sisa, hanya senyum yang dipaksa hidup, menempel seperti topeng di wajah yang lelah.Hari itu berakhir, sama seperti hari sebelumnya, sama seperti yang akan datang: sebuah siklus tanpa ujung, hari yang berulang.
BAB 27Dinding Tanpa Celah (versi simbolis)Malam di rumah kontrakan itu berjalan pelan, seakan waktu enggan bergulir. Lampu bohlam lima watt di kamar mereka menyala redup, menebar cahaya kuning pucat yang lebih mirip kabut daripada penerangan. Cahaya itu tak pernah benar-benar mampu mengusir bayangan, hanya membuat sudut-sudut ruangan semakin muram.Kipas angin tua di pojok kamar berderit setiap kali baling-balingnya berputar. Suara gesekan logam itu konstan, monoton, seakan memaksa mereka mendengar kenyataan: ada sesuatu yang tidak seimbang, ada sesuatu yang goyah tapi dipaksa bertahan. Bagi Rayyan, bunyi itu terdengar seperti jantung hubungannya—berdetak, tapi ringkih, bisa berhenti kapan saja.Rayyan duduk di tepi ranjang, matanya menunduk ke lantai keramik kusam. Retakan-retakan kecil menghiasi permukaan lantai, menjalar acak seperti peta patahan bumi. Ia teringat betapa miripnya keramik itu dengan hubungan mereka: masih utuh, tapi penuh retak yang tak pernah diperbaiki.Sprei biru muda di ranjang sudah kusut, kainnya dingin, tanpa aroma kelembutan rumah tangga baru. Diana berbaring membelakangi, tubuhnya kaku, selimutnya ditarik tinggi hingga menutup bahu. Bagi Rayyan, selimut itu bukan sekadar kain penghangat—ia adalah tembok, sebuah benteng pertahanan yang menolak dirinya masuk.Rayyan menelan ludah, dada terasa sesak. Ia memaksa bibirnya melengkung. Mungkin malam ini beda. Jangan menyerah, Yan.Dengan ragu ia ulurkan jemari, mencoba meraih tangan Diana. Tapi baru sebentar menyentuh, Diana langsung menarik diri.“Jangan sentuh aku.”Kalimat sederhana itu lebih dingin daripada lantai keramik, lebih keras daripada dinding bata rumah kontrakan.Rayyan mematung. Tangannya yang kosong kembali jatuh ke pangkuan, sementara hatinya serasa runtuh. Ia mencoba membungkus luka itu dengan optimisme tipis. “Aku cuma… ingin nemenin kamu.”Diana tak bergeming. “Aku nggak pernah benar-benar mau ini, Yan. Semua ini… bukan yang aku bayangkan.”Kata-kata itu menembus seperti pisau. Retakan di keramik lantai tiba-tiba terasa hidup—membesar, menjalar, seolah hendak membelah ruang menjadi dua.Rayyan menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis yang tak pernah sampai ke matanya. “Aku ngerti, mungkin awal-awal berat. Tapi aku yakin, pelan-pelan kita bisa terbiasa. Aku bakal terus coba.”Namun Diana kembali menarik selimut, menutup dirinya rapat. Selimut itu semakin tebal, semakin tinggi, bagaikan tembok batu yang menutup semua jalan masuk. “Berhenti ngomong, Yan. Aku mau tidur.”Rayyan menunduk. Ia menggenggam ujung sprei, lalu melepaskannya lagi, tak tahu harus melakukan apa.Dalam hatinya, suara getir berbisik: Dia benci kamu. Dia nggak akan pernah buka hatinya. Tapi ia buru-buru menepis. Ini cuma fase. Semua pernikahan pasti ada masa sulit.Ia akhirnya rebah di sisi ranjang, menjaga jarak. Tubuh mereka sama-sama di atas kasur sempit, tapi rasanya ada dinding tak kasat mata di tengah—lebih kokoh dari tembok bata kontrakan, lebih dingin dari keramik lantai.Rayyan menatap punggung Diana yang samar dalam redup lampu. Tak ada celah, tak ada retakan, hanya benteng dingin yang menolak semua pendekatan.Kamu harus sabar, Yan. Suatu hari dia bakal lihat semua usahamu. Suatu hari dia akan tahu kalau kamu bener-bener sayang.Tapi kebenaran pahit sudah ditorehkan malam itu. Kalimat Diana bukan luapan sesaat, melainkan inti yang tak bisa dibantah.Kipas angin terus berderit, seolah mengejek. Suara itu tak lagi netral; ia berubah menjadi simbol kelelahan, hubungan yang dipaksa berputar padahal sumbunya sudah longgar. Dari luar jendela, gonggongan anjing berhenti. Hening melanda, namun justru membuat dada Rayyan kian berat.Ia mengangkat tangannya sebentar, ingin menyentuh bahu Diana. Tapi ia urungkan, takut dinding itu makin tinggi. Akhirnya tangan itu jatuh kembali, pasrah.Rayyan memejamkan mata, bibirnya bergetar melafalkan mantra tanpa suara:“Besok… pasti lebih baik.”Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu, esok hanyalah malam yang sama dalam wujud berbeda.Malam itu berakhir dengan dua tubuh di ranjang yang sama, tapi dunia mereka terpisah sejauh langit dan bumi. Dinding tanpa celah tetap berdiri, kokoh, dingin, tak tergoyahkan.
BAB 28Suara yang KosongPagi itu, cahaya matahari menyusup dari celah kecil jendela dapur. Garis-garis tipis menembus tirai kusam, memantul pada meja makan yang catnya sudah mengelupas. Udara dingin sisa malam belum sepenuhnya pergi, menyatu dengan aroma kopi yang terlalu pahit. Suara tetangga yang sedang menyapu halaman terdengar samar, sesekali diselingi deru motor yang melintas. Namun di dalam rumah kontrakan itu, keheningan justru terasa menekan—hening yang dingin, kaku, seperti udara yang enggan bergerak.Rayyan berdiri di depan cermin kecil yang menempel di dinding dapur. Permukaannya berembun tipis, meninggalkan bercak-bercak kusam yang tak pernah ia lap. Ia menatap bayangannya sendiri: wajah yang mulai letih, mata yang sedikit bengkak karena tidur tak nyenyak. Bibirnya bergerak pelan, mengulang kalimat yang sudah bertahun-tahun ia jadikan bekal untuk memulai hari.“Kamu bisa, Yan. Hari ini pasti lebih baik,” bisiknya.Suara itu terdengar, tapi hambar. Tak ada energi, tak ada keyakinan. Hanya sekadar bunyi yang keluar dari mulut, tanpa makna yang benar-benar menempel di hati. Ia mencoba tersenyum pada bayangan dirinya, tapi yang muncul hanyalah garis kaku di bibir—senyum yang seperti dipaksa, hampir seperti retakan di dinding tua yang dipoles cat murah.Ia beralih ke meja dapur. Cangkir kopi sudah menunggu, uapnya naik tipis. Ia menyeruput sedikit. Pahit. Terlalu pahit, bahkan untuknya yang sudah terbiasa minum tanpa gula. Tenggorokannya tercekat, tapi ia memaksa menelan.Ah, mungkin karena airnya terlalu lama mendidih. Besok aku coba lebih pas.
Ia menghibur diri dengan alasan kecil yang bahkan tak meyakinkan.Di meja makan, Diana duduk diam. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya tanpa ekspresi. Ia tidak menoleh ketika Rayyan meletakkan piring berisi roti panggang. Satu potong gosong di sisi tepinya, wangi hangusnya samar menyebar di udara.Rayyan tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
“Aku bikin roti. Maaf ya, agak gosong sedikit. Tapi masih enak kok.”Diana menoleh sekilas, tatapannya datar. “Kamu nggak capek pura-pura?”Rayyan terdiam sepersekian detik. Kalimat itu jatuh begitu saja, dingin, menampar tanpa suara keras. Ia buru-buru tertawa kecil, seakan-akan yang barusan ia dengar hanyalah candaan.
“Hehe… aku cuma pengin kita sarapan bareng, biar ada energi buat hari ini.”Diana menghela napas, lalu mengambil sepotong roti tanpa banyak bicara. Suara garing roti dikunyah mengisi keheningan sebentar, sebelum hilang lagi.Rayyan menatapnya, mencari celah sekecil apa pun untuk memulai percakapan.
“Kamu tidur nyenyak semalam?” tanyanya hati-hati.“Biasa aja,” jawab Diana pendek, tanpa menoleh.Rayyan mencoba lagi. “Aku sempat dengar kipas anginnya berderit keras banget. Kalau kamu terganggu, nanti sore aku coba benerin.”“Kalau rusak, ya beli baru aja. Jangan dipaksa.”Jawabannya singkat, tapi di telinga Rayyan terdengar seperti penolakan lain. Ia menelan ludah, merasakan pahit kopi masih tersisa di tenggorokannya. Tangannya refleks menggenggam cangkir, seolah mencari pegangan dari benda sederhana itu.Dalam kepalanya, suara berputar:
Dia cuma lelah. Makanya jawabnya dingin. Jangan terlalu dipikirin, Yan. Kamu harus kuat. Besok mungkin dia lebih hangat.Namun kalimat itu kini tak lagi memberi rasa lega. Ada celah kecil yang terbuka di dalam dirinya, celah yang selama ini ia tolak untuk lihat. Retakan. Retakan yang memperlihatkan kenyataan: mungkin semua ini bukan sekadar “awal yang sulit.”Diana tiba-tiba bersuara lagi, kali ini lebih pelan tapi menusuk.
“Berhenti pura-pura bahagia deh, bikin capek lihatnya.”Kali ini, Rayyan tak langsung bisa menutupi. Ia terdiam, menatap cangkir di tangannya. Suara itu bergaung di kepalanya, mengulang-ulang, seperti gema yang tak bisa ia hentikan.Pura-pura bahagia… jadi selama ini…Ia mencoba menelan gumpalan yang naik di tenggorokan. Senyum yang hendak ia pasang terasa tak bisa muncul. Wajahnya kaku. Jantungnya berdetak pelan, berat.“Maaf,” ucapnya akhirnya, suara nyaris tak terdengar. “Aku cuma pengin kita baik-baik aja.”Diana tidak menjawab. Ia kembali sibuk dengan roti gosongnya, tatapannya kosong ke arah jendela. Sinar matahari mengenai wajahnya, membuatnya terlihat dingin sekaligus jauh, seperti seseorang yang sedang berada di dunia lain.Rayyan menunduk. Ia menyeruput kopi lagi, kali ini lebih banyak. Pahitnya menampar lidah, menusuk lambung. Tapi ia biarkan. Ia bahkan merasa pantas menerimanya.Cuma kopi pahit. Besok aku bisa bikin lebih baik. Besok…Ia menoleh ke arah cermin berembun di dinding. Bayangan dirinya samar, kabur, hampir tak terlihat. Seperti dirinya sendiri yang mulai hilang, larut dalam upaya tanpa ujung.Keheningan kembali mengisi ruang sempit itu. Hanya ada suara jam dinding berdetak, dan sesekali suara sendok menyentuh piring.Rayyan duduk lebih lama, meski roti di piringnya sudah dingin. Ia menatap cangkir yang kini hanya menyisakan ampas hitam di dasar. Lingkaran pahit yang melekat di dinding cangkir itu entah kenapa terasa seperti simbol yang pas bagi dirinya—sisa dari sesuatu yang sudah habis, tapi tetap meninggalkan bekas.Ia menarik napas dalam, menutup mata sejenak. Bibirnya bergerak pelan, berbisik.
“Besok… pasti bisa lebih baik.”Tapi kali ini, bahkan ia sendiri tak percaya. Suara itu hampa, kosong, hanya gema yang dipaksakan keluar, lalu menghilang tanpa meninggalkan apa-apa.
BAB 29Retakan yang Terdengar NyaringUdara malam terasa lembap ketika Rayyan mendorong pintu rumah kontrakan kecil itu. Engsel pintu berdecit lirih, seolah mengeluhkan kelelahan yang sama dengan pemiliknya. Bajunya kusut, bercampur aroma keringat dan debu benang konveksi yang menempel seharian. Ia menarik napas panjang, menghirup udara rumah yang pengap, mencoba meyakinkan dirinya bahwa di balik pintu ini ada alasan untuk bertahan.Ruang tengah tampak temaram. Hanya cahaya lampu redup berwarna kuning pucat yang menggantung di langit-langit, memantulkan bayangan samar di dinding. Televisi menyala dengan volume kecil, menampilkan acara gosip malam yang suaranya nyaris tenggelam oleh derit kipas angin tua di pojok ruangan.Diana duduk di sofa dengan posisi miring, wajahnya diterangi cahaya layar TV yang berganti-ganti. Pandangannya kosong, tidak benar-benar memperhatikan tayangan, lebih seperti hanya mencari pengalihan. Ekspresinya datar, seolah semua hal di sekitarnya sama saja—tak penting, tak mengusik.Rayyan berdiri sejenak di ambang pintu, menatap punggung istrinya. Ada keinginan besar dalam dirinya untuk memecah keheningan, menghadirkan sesuatu yang hangat. Ia sudah terbiasa menambal hari-hari mereka dengan senyum, meski ia tahu senyum itu rapuh. Malam ini, tubuhnya ingin menyerah, tapi hatinya memaksa.“Assalamualaikum,” sapanya, dengan nada dibuat cerah, meski suaranya serak.Diana tidak menoleh. Hanya gumaman pendek yang nyaris tenggelam oleh suara TV. “Waalaikumsalam.”Rayyan meletakkan tas lusuhnya di kursi kayu dekat pintu. Bahunya pegal, jemarinya masih gatal oleh sisa serat kain. Ia ingin mengeluh, tapi segera menahan. Ia tahu, keluhannya hanya akan dianggap gangguan. Jadi ia tersenyum, meski bibirnya berat.“Hari ini lumayan padat,” katanya sambil melangkah ke arah dapur kecil, lalu kembali dengan segelas air putih. “Banyak pesanan mendadak. Untung bos nggak terlalu galak.”Diana hanya menggeser posisi duduk, matanya tetap terpaku pada TV.Rayyan meneguk sedikit air. Tenggorokannya kering, tapi yang lebih kering adalah sambutan yang ia terima. Ia menaruh gelas di meja, lalu berusaha lagi. “Kamu udah makan? Aku tadi lewat warung, tapi buru-buru, nggak sempat bungkus.”“Kenyang,” jawab Diana singkat.Rayyan duduk di kursi sebelah sofa, jaraknya hanya setengah meter. Tapi rasanya seperti duduk di dua dunia berbeda. Ia mencoba mendekat, mencondongkan tubuhnya, mencari celah kecil untuk menembus tembok dingin itu.“Kamu nonton apa?” tanyanya.“Biasa.”Jawaban itu menutup jalan lagi.Rayyan memaksa bibirnya tersenyum. “Besok kalau sempat aku mau cari roti yang kamu suka, yang isi cokelat. Kamu masih suka, kan?”Baru kali ini Diana menoleh, tapi bukan dengan senyum. Tatapannya dingin, bahkan sedikit kesal. “Rayyan, bisa nggak… berhenti pura-pura kuat begitu? Senyummu itu kelihatan banget palsunya.”Kata-kata itu jatuh seperti batu ke dada Rayyan.Ia terdiam. Tangannya yang masih memegang gelas mendadak kaku. Air di dalamnya bergetar halus karena jemari yang tanpa sadar meremas terlalu kuat. Suara TV yang kecil tiba-tiba terdengar begitu bising, berisik, menampar kesadarannya.Diana mengalihkan pandangan kembali ke layar. “Capek lihatnya. Kalau memang lelah, ya sudah bilang saja. Nggak usah main drama seakan semuanya baik-baik.”Rayyan menunduk. Ia ingin menjawab, ingin membela diri, tapi lidahnya kelu. Rasa malu menelusup cepat ke seluruh tubuh, seperti api kecil yang menjalar di bawah kulit. Selama ini ia percaya senyum dan sikap positifnya adalah satu-satunya pegangan. Kini, pegangan itu dihantam, dipatahkan begitu saja.Dalam hatinya, suara berisik bergema: Apakah aku memang terlihat menyedihkan? Apakah semua usahaku hanya tampak konyol di matanya?Ia meneguk air lagi, kali ini tergesa, hanya untuk menyibukkan diri. Tapi gemetar tangannya membuat gelas itu hampir terlepas. Setetes air menetes ke meja, lalu ke pangkuannya.“Maaf,” ucapnya lirih. Ia tidak tahu ia meminta maaf untuk apa—untuk tetesan air itu, atau untuk seluruh kepalsuan yang ia pertahankan.Diana tidak menanggapi.Rayyan menatap layar TV, meski tidak benar-benar melihat. Gambarnya berganti cepat, tapi otaknya kosong. Yang ia dengar hanya gema kalimat istrinya yang terus berulang: ‘Senyummu itu kelihatan banget palsunya.’Ia ingin marah, tapi tidak sanggup. Ia ingin menangis, tapi tidak berani. Jadi yang tersisa hanyalah rasa malu yang menekan dadanya.Tangannya kembali meremas gelas. Begitu kencang sampai terdengar bunyi “krek” kecil dari kaca tipis itu. Ia terperanjat, buru-buru melonggarkan genggaman, takut gelas benar-benar pecah di tangannya.Diana melirik sekilas, lalu menghela napas, seolah semua ini hanya menambah daftar hal yang ia anggap menyebalkan.“Rayyan…” katanya akhirnya, nadanya datar. “Kamu nggak perlu selalu pura-pura. Kalau lelah, ya lelah saja. Jangan memaksa jadi orang yang selalu kuat, itu malah bikin aneh.”Kalimat itu tidak diucapkan dengan nada marah. Justru ketenangan itu yang menyakitkan. Suara yang datar, dingin, tapi penuh kebenaran telanjang.Rayyan merasa seakan dirinya dipreteli. Semua topeng yang ia kenakan runtuh satu per satu.Ia menunduk lebih dalam, menatap bayangan wajahnya di permukaan air dalam gelas. Bayangan itu terdistorsi, pecah-pecah oleh getar kecil yang masih tersisa. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri.Jadi beginikah aku terlihat di matanya? Seorang pria yang berusaha keras tersenyum, tapi gagal menutupi retaknya?Suara TV tetap berputar. Lampu redup tetap menggantung. Kipas angin tetap berderit. Tapi bagi Rayyan, yang terdengar hanyalah suara retakan dalam dirinya. Semakin lama, semakin nyaring.Ia meletakkan gelas perlahan, takut jika genggamannya yang rapuh akan benar-benar menghancurkannya. Dadanya sesak, tapi ia menegakkan tubuh. Ia mencoba tersenyum lagi, meski kini bahkan dirinya sendiri muak pada senyum itu.“Baiklah,” ucapnya pelan. “Aku… aku mengerti.”Tidak ada jawaban dari Diana.Rayyan menoleh sekilas, melihat wajah istrinya yang kembali lurus ke TV. Ada dinding yang jelas di sana, dinding yang tidak hanya memisahkan, tapi juga memantulkan semua usaha Rayyan kembali ke dirinya.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam guncangan di dadanya. Tapi yang tersisa hanyalah kesadaran getir: mungkin memang ia sedang retak. Dan retakan itu terdengar lebih nyaring daripada semua suara di rumah ini.
BAB 30Diam yang MenggerogotiUdara pagi menyelinap masuk lewat celah jendela kayu yang catnya sudah mengelupas. Embun yang tadi menempel di kaca sudah mulai menguap, tapi dinginnya tetap tertinggal, mengendap di dinding rumah kecil itu. Dapur sederhana dengan meja makan kayu empat persegi tampak sunyi. Hanya ada dua kursi yang saling berhadapan, dan pada pagi itu keduanya terisi, tapi seolah-olah keduanya jauh lebih renggang dari biasanya.Rayyan duduk di salah satunya, menunduk sedikit, menggenggam cangkir kopi hitam yang asapnya pelan-pelan menipis. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan khasnya yang biasanya muncul begitu pagi datang. Tidak ada bisikan motivasi yang dulu kerap terdengar seperti kaset yang diputar berulang. Yang ada hanya tarikan napas berat, aroma kopi yang pekat, dan diam yang menjelma tembok tak kasatmata.Diana memperhatikan dari seberang meja. Awalnya ada rasa lega—akhirnya, pikirnya, lelaki itu berhenti berpura-pura ceria, berhenti memamerkan senyum manis yang sebenarnya membuat kepalanya pening. Tapi seiring menit merayap, kelegaan itu berubah menjadi sesuatu yang lain. Resah. Gusar.Suaranya jam dinding terdengar terlalu keras, tik-tok, tik-tok, seperti menertawakan keheningan yang menekan ruangan. Suara sendok kecil yang diputar pelan di dalam cangkir Rayyan pun terdengar menusuk, lebih nyaring dari televisi yang tidak menyala.Diana menggoyangkan kaki kirinya di bawah meja, mencoba mengusir rasa tidak nyaman itu. Ia mengambil ponsel di samping piring, pura-pura sibuk membuka layar, menggulir layar kosong tanpa arah. Hanya untuk menyamarkan kegelisahan.Namun diam Rayyan tetap tak bergeming. Matanya hanya sesekali menatap cangkir, lalu mengalihkan pandangan ke meja, seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri lewat tatapan kosong.“Kenapa diam aja?” akhirnya Diana memecah, suaranya setengah sinis, setengah cemas.Rayyan tidak langsung menjawab. Ia hanya meneguk kopi, sekali, dua kali, sebelum meletakkan kembali cangkir itu perlahan. Uap hangat yang tersisa di bibir cangkir mengabur sebentar, lalu hilang.Diana merasa dipermainkan. Biasanya ia selalu punya celah untuk menyerang balik Rayyan—dengan kata-kata pedas, dengan sindiran, dengan menertawakan sikap sok optimis lelaki itu. Tapi sekarang? Tidak ada senyum untuk ia hina, tidak ada kata-kata motivasi untuk ia patahkan. Yang tersisa hanyalah diam, dan diam itu justru membuatnya merasa ditelanjangi.“Kopi kamu nggak enak ya? Atau lagi sakit?” tanyanya lagi, kali ini lebih menekan.Rayyan hanya mengangkat bahu pelan. Lalu kembali menatap cairan hitam yang makin kehilangan hangatnya.Diana menggertakkan giginya diam-diam. Tangannya memainkan sendok di piring kosong, mengetukkan ujung sendok ke tepi piring dengan ritme acak. Suara kecil itu memantul di ruang dapur, menambah tebal rasa canggung.“Kalau kamu lagi ngambek, bilang aja,” desaknya. Ada nada ketidaksabaran yang menyusup, tapi juga ketakutan yang tidak ia akui.Rayyan menoleh sekilas. Sekilas saja. Tatapan yang dingin, singkat, tapi cukup untuk membuat Diana tercekat. Tatapan itu bukan marah, bukan juga pasrah—lebih mirip tembok beku yang tidak bisa ditembus. Lalu, tanpa kata, Rayyan kembali mengalihkan pandangan.Diana mendengus pelan, mencoba menutupi rasa kalah yang menyusup begitu saja.
“Lucu juga. Biasanya cerewet, sok ngasih motivasi. Sekarang malah kayak patung,” ujarnya, setengah bercanda, setengah ingin memancing.Tidak ada jawaban.Keheningan itu kembali menguasai ruangan. Kopi di cangkir Rayyan kini benar-benar dingin. Diana mendadak sadar, meja kayu sederhana itu terasa terlalu luas. Seperti jurang yang terbentang di antara mereka, meski jarak fisiknya hanya satu lengan. Kursi kosong di sebelah kanan Rayyan pun terlihat seperti saksi bisu, memisahkan mereka lebih jauh.Jam dinding terus berdetak, dan entah kenapa suara itu semakin menyakitkan telinga Diana.
Kenapa diam bisa begini? batinnya. Kenapa diamnya justru bikin aku… kalah?Ia mencondongkan tubuh ke depan, mencoba lagi menusuk dengan kata-kata.
“Kalau diam gitu, bikin rumah kayak kuburan. Apa itu yang kamu mau?”Rayyan meneguk sisa kopi, menaruh cangkir, lalu mengusap wajahnya sebentar. Gerakannya lambat, nyaris tak bersuara. Ia menatap Diana sekilas lagi, lalu membuang pandang ke luar jendela.Diana merasakan dadanya sesak. Bukan karena kemarahan, melainkan karena ia tak bisa lagi mengendalikan permainan. Selama ini, ia selalu merasa pegang kendali: Rayyan bicara, ia balas dengan sinis. Rayyan tersenyum, ia tawa mengejek. Tapi sekarang, dengan satu diam panjang, semua senjata kata-kata Diana terasa tumpul.Ia mengetukkan sendok sekali lagi, lebih keras kali ini. Lalu akhirnya meledak:
“Ya ampun, Ray! Kalau kamu mikir dengan diam bisa bikin aku nyesel, itu salah. Justru aku muak lihat kamu kayak gini!”Rayyan tidak bereaksi. Tidak ada serangan balik, tidak ada nada tinggi. Hanya tatapan kosong yang menembus cermin jendela berembun, seolah-olah ia sedang berbicara dengan dirinya yang lain di luar sana.Dan justru itu yang membuat Diana goyah.Tangannya gemetar sedikit. Nafasnya memburu. Ia ingin sekali berteriak lebih keras, ingin memecahkan tembok itu. Tapi kata-kata tercekat di kerongkongan. Semua jadi percuma, karena Rayyan memilih diam.Kopi di cangkir Rayyan kini hanya menyisakan ampas hitam. Di luar, matahari pagi mulai meninggi, tapi sinarnya terasa hambar di dalam ruangan itu. Tidak ada hangat, hanya dingin yang merayap lewat jarak di antara dua manusia yang duduk di meja kayu tua.Diana menggigit bibirnya, menunduk, akhirnya menyerah. Dalam hatinya, kalimat itu muncul begitu saja, menyayat tanpa bisa ia tolak:Ternyata diam bisa lebih tajam daripada semua kata-kata yang pernah ia ucapkan padaku.
BAB 31Serangan BalikRuang keluarga malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. TV menyala di depan sofa, menampilkan acara musik yang riuh dengan tepuk tangan penonton. Namun suara itu hanyalah latar yang sumbang, sekadar menutupi kekosongan yang menggantung di udara. Rayyan duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit miring, mata menatap layar seolah benar-benar fokus—padahal pikirannya kosong.Di pangkuannya, kedua tangannya saling menggenggam, jari-jarinya kaku. Sesekali ia mengendurkan genggaman lalu mengetukkan jari ke pahanya, tapi itu pun hanya sekadar gerakan untuk memastikan dirinya masih ada di ruangan ini. Tarikan napasnya panjang, berat, seperti orang yang sedang mencoba menunda sesuatu yang tak terhindarkan.Diana mondar-mandir di ruang tengah. Awalnya ia duduk di kursi seberang, lalu berdiri lagi. Tangannya meraih remote TV, menekan tombol-tombol dengan gerakan cepat. Saluran berganti: berita, sinetron, acara gosip, lalu kembali lagi ke musik. Ia berhenti sebentar, lalu menyalakan- mematikan televisi seolah mencari alasan untuk membuat suara baru.Rayyan tidak bergeming. Matanya tetap ke layar, meski layar itu kini berganti iklan deterjen dengan jingle ceria.“Kalau kamu mau diam terus, buat apa pulang?” suara Diana akhirnya memecah kesunyian. Nada suaranya datar, tapi jelas ada getar resah di baliknya.Rayyan mengedip perlahan. Tidak ada jawaban.Diana mendekat, meletakkan remote di meja dengan suara cukup keras agar terdengar seperti bantingan. “Aku nggak ngerti lagi sama kamu. Dulu kamu cerewet sekali, apa-apa harus diucapkan, motivasi ini-itu. Sekarang? Diam, kayak patung.”Rayyan menarik napas panjang lagi. “Capek,” jawabnya pendek, nyaris tak terdengar.“Capek? Jadi semua yang kamu bilang dulu cuma basa-basi? Omong kosong?” Diana mendekat lagi, kini berdiri di samping sofa, menunduk menatap wajah Rayyan.Rayyan menegakkan bahu, tapi matanya tetap ke arah layar TV. Hatinya bergetar—bukan karena kata-kata Diana, melainkan karena dirinya mulai terbiasa dengan strategi ini: menahan diri. Ia tahu, satu kalimat panjang darinya bisa berubah jadi api yang membakar habis.Diana mendengus. Ia melangkah menjauh, lalu kembali mondar-mandir. “Atau jangan-jangan kamu memang nggak peduli lagi sama aku? Jangan-jangan semua diam ini karena kamu udah nggak cinta?”Kata itu—tidak cinta—menampar Rayyan lebih keras dari apapun. Jantungnya berdetak kencang, tapi wajahnya tetap kaku. Di dalam hati, ia ingin berteriak: Aku masih cinta. Justru karena cinta, aku bertahan. Justru karena cinta, aku memilih diam agar kita nggak hancur. Tapi suara itu tertahan di kerongkongan.Ia hanya menelan ludah, lalu kembali menghela napas.“Ya kan? Kamu diem, berarti aku bener. Kamu udah nggak cinta lagi,” Diana menambahkan, kali ini dengan senyum tipis yang lebih mirip ejekan.Rayyan menutup mata sebentar. Di dalam benaknya, ia melihat potongan masa lalu: dirinya yang selalu berusaha menghibur Diana, membawakan cerita-cerita ringan sepulang kerja, menutup segala rasa lelah dengan senyum. Ia baru sadar, selama ini ia memberi Diana panggung—panggung untuk marah, panggung untuk mengeluh, panggung untuk merasa lebih benar. Dan ia sendiri, sibuk menjadi pengisi jeda dengan optimisme yang ternyata hanya dianggap palsu.Sekarang, dengan diamnya, panggung itu kosong. Dan Diana tidak tahu harus bermain di mana.“Rayyan,” suara Diana kembali memanggil, kali ini lebih tegas. “Kamu jangan pikir dengan diam bisa menyelesaikan masalah. Diammu itu malah bikin rumah ini makin dingin. Kamu kira aku nggak sadar? Kamu sengaja kan, biar aku yang merasa bersalah?”Rayyan membuka mata, menoleh sedikit, sekilas. Pandangannya hanya singgah sepersekian detik pada wajah Diana, sebelum kembali ke layar TV. Sekilas tatapan itu cukup untuk membuat Diana menggertakkan gigi.Ia menggoyangkan kakinya, berdiri lagi, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa seberang dengan keras. “Astaga, aku muak sama sikapmu. Kalau memang ada yang salah dari aku, ngomong! Jangan diam kayak gini!”Rayyan mengangkat tangannya, mengusap wajah. Gerakan itu lambat, seperti orang yang sedang mencoba menghapus kabut dari kepalanya. “Aku cuma… nggak mau ribut lagi,” katanya lirih.“Ribut?” Diana tertawa pendek, hambar. “Kamu pikir aku mau ribut? Aku cuma mau tahu kamu masih anggap aku penting atau nggak!”Kata-kata itu menusuk Rayyan. Di balik semua sindiran, ia menangkap secercah kebenaran: Diana sebenarnya sedang minta diperhatikan. Tapi caranya… selalu lewat serangan. Selalu lewat luka.Rayyan ingin sekali menenangkan, ingin berkata: Aku masih di sini. Aku nggak ke mana-mana. Tapi setiap kali kata itu hampir keluar, ia teringat kembali wajah Diana semalam, ketika berkata senyumnya palsu. Ia merasa mulutnya terkunci oleh rasa malu yang belum sembuh.TV kembali berganti saluran sendiri karena remote tak sengaja tertekan oleh gerakan Diana. Suara sinetron dengan tangisan dramatis memenuhi ruangan. Ironis—karena apa yang terjadi di rumah mereka terasa lebih nyata daripada akting di layar.Rayyan menunduk. Tangannya kini meremas lutut sendiri, jemari menekan kain celana kerja yang masih kusut. Ia sadar dirinya goyah. Diam ini, meski jadi tameng, juga menggerogoti dirinya dari dalam.Apakah aku kuat terus begini? batinnya bergema. Atau suatu saat aku akan pecah juga, tanpa sempat memilih kata yang tepat?Diana memperhatikannya, berharap ada reaksi lebih. Tapi ketika yang didapat hanya tarikan napas panjang dan tatapan kosong, ia sendiri yang merasa kalah. Suasana itu berubah jadi perang tanpa senjata, duel sunyi yang justru lebih mematikan.Hening. Hanya suara iklan ponsel di TV dan detik jam dinding yang terdengar jelas.Rayyan menutup babak ini dengan memilih diam lagi. Bukan karena menang, tapi karena kalau ia bicara, ia tahu ia akan kalah lebih dulu.Di ruang yang sama, mereka duduk berhadapan. Suami istri di bawah atap yang sama, tapi rasanya seperti dua orang asing yang sama-sama menolak pulang.
BAB 32Retakan PertamaRuang keluarga itu tenggelam dalam keheningan yang terlalu pekat. Lampu berdiri di sudut ruangan hanya menyala redup, membiarkan bayangan-bayangan tipis melingkari dinding. TV sudah dimatikan Diana beberapa menit lalu, setelah ia kesal menatap layar yang dipenuhi cahaya tanpa arti. Kini yang tersisa hanya suara jarum jam di dinding, tik-tik monoton yang justru semakin menekan dada Rayyan.Ia duduk di sofa dengan tubuh sedikit membungkuk. Kedua tangannya saling bertaut di pangkuan, jari-jarinya sesekali bergerak resah, seolah menggenggam sesuatu yang tak pernah bisa benar-benar dipegang. Bahunya turun, seakan menanggung beban yang tak terlihat. Matanya menunduk, lebih sering menatap karpet daripada wajah istrinya.Diana berdiri di dekat meja kecil, menyandarkan tubuh pada tepi furnitur, lalu berpindah lagi, mondar-mandir dengan langkah-langkah pendek. Ada gelisah di geraknya, tapi juga kemenangan kecil—karena diam Rayyan, meski menyiksa, justru memberinya alasan untuk terus menyerang.“Jadi begini caramu sekarang?” suara Diana pecah di udara, dingin, penuh tuduhan. “Dulu kamu sok rajin bicara, sok motivasi tiap hal kecil. Sekarang malah jadi patung. Apa kamu kira aku bakal merasa bersalah kalau kamu terus-terusan diam seperti itu?”Rayyan menarik napas panjang, tidak menjawab. Ia tahu, satu kalimat saja bisa berubah menjadi bahan bakar bagi amarah Diana. Strategi diamnya adalah benteng terakhir, meski setiap detik di balik benteng itu terasa mengikis jiwanya.Diana menyeringai tipis, melipat kedua tangan di dada. “Atau jangan-jangan memang benar... kamu sudah nggak peduli? Kamu sudah berhenti mencintai aku, ya, Rayyan?”Pertanyaan itu menggantung, menggema di ruangan yang sunyi. Rayyan menutup mata sejenak, mencoba menahan gejolak di dadanya. Kata-kata itu seperti pancingan yang dilemparkan tepat ke tengah perasaan rapuhnya.“Lucu, ya,” Diana melanjutkan, suaranya bergetar antara sinis dan getir. “Katanya dulu kamu ‘terobsesi’ sama aku. Katanya aku segalanya buatmu. Tapi lihat sekarang... bahkan untuk bilang satu kalimat pun, kamu kayak dipaksa.”Rayyan menggenggam lengan sofa lebih erat. Kuku jarinya hampir menekan kain. Ia ingin tetap bisu, tapi di dalam dirinya ada sesuatu yang pecah. Semua tekanan, semua bisu yang ia bangun, tiba-tiba runtuh hanya karena kalimat itu—tuduhan yang menusuk jantungnya.Suaranya akhirnya keluar, rendah, pelan, hampir seperti bisikan:
“Aku cuma ingin kamu bahagia, itu saja.”Diana terdiam sepersekian detik. Mata istrinya menyipit, meneliti wajah Rayyan seperti predator menemukan celah mangsa. Kemudian ia tertawa pendek, getir.“Bahagia? Itu saja?” suaranya meninggi, sarat dengan ejekan. “Astaga, Rayyan... kamu pikir kamu siapa? Malaikat penyelamatku? Atau pahlawan murahan yang sok menderita demi aku? Jangan pura-pura jadi korban. Jangan sok suci.”Rayyan merasakan dadanya diremas. Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada teriakan apa pun. Ia sudah mengeluarkan kalimat paling jujur, paling polos, tanpa lapisan, tanpa manipulasi. Dan justru kalimat itu dipelintir, diputar balik jadi senjata untuk melukainya.“Kalau benar kamu cuma mau aku bahagia,” lanjut Diana, mendekat dengan langkah perlahan, “kenapa aku selalu merasa terkekang sama kamu? Kenapa aku selalu harus hidup dalam bayang-bayang obsesimu? Bahagia macam apa yang kamu maksud, hah?”Rayyan menunduk lebih dalam, menatap lantai yang tak memberinya jawaban. Ia ingin menjelaskan, ingin berteriak bahwa cintanya tak pernah dimaksudkan sebagai belenggu. Tapi ia tahu—apa pun yang ia ucapkan akan dipatahkan, dibengkokkan.Apakah memang salahku selama ini? batinnya bergema. Apakah semua perhatian, semua usaha, hanya tampak seperti obsesi? Kalau begitu... apa gunanya semua ini?Diana berhenti di depan sofa, menatap Rayyan dari atas dengan senyum miring. Senyum itu tidak hangat, tapi tajam seperti pisau.“Kamu tahu,” katanya lirih, “aku lebih bisa menerima kalau kamu marah, teriak, banting pintu. Itu lebih nyata. Tapi sikapmu sekarang... ini menjijikkan. Kamu bikin aku muak dengan kepura-puraan itu.”Rayyan mengangkat wajahnya perlahan. Ada kelelahan yang begitu jelas di matanya, sorot yang sudah kehilangan cahaya. Ia tidak membalas dengan kata-kata, hanya tatapan kosong yang membuat Diana semakin gusar.“Lihat?” Diana menekankan suaranya, menunggu reaksi. “Kamu nggak bisa jawab, kan? Kamu cuma bisa pasang muka korban. Selalu begitu, Rayyan. Selalu!”Hening kembali turun, kali ini lebih menyesakkan. Lampu redup menambah kesan ruang itu seperti penjara emosional. Jam dinding berdetak, suara kecil tapi menghantam telinga Rayyan seperti palu.Ia merasakan tubuhnya gemetar halus, bukan karena marah, tapi karena keletihan batin yang tak lagi bisa ditahan. Perlahan, ia bangkit dari sofa. Kursi bergeser, bunyinya memecah ruangan yang terlalu sepi.Diana menatapnya, bingung sekaligus menantang. “Mau ke mana?”Rayyan tidak menjawab. Ia melangkah pelan menuju koridor, bahunya menurun, langkahnya berat tapi pasti. Jari-jarinya sempat menyentuh dinding, seolah butuh penopang agar tidak runtuh.Diana mengejarnya dengan tatapan, menunggu penjelasan, teriakan, apapun. Tapi tidak ada. Yang ada hanya punggung Rayyan yang menjauh, dan akhirnya suara pintu kamar yang tertutup.Bruk.Dentuman pintu itu sederhana, tapi gaungnya menyebar ke seluruh rumah. Diana terdiam, bibirnya sedikit terbuka, matanya menatap kosong ke arah pintu yang kini jadi penghalang. Untuk sesaat, ia tak bisa membedakan apakah ia yang menang... atau justru kalah.Di balik pintu, Rayyan berdiri terpaku. Dadanya naik turun, matanya terpejam rapat. Ia tidak merasa lega, tidak merasa bebas. Yang ia rasakan hanyalah kehampaan—seakan kalimat terakhirnya barusan adalah retakan pertama, tanda bahwa benteng diamnya mulai runtuh.Dan di ruang keluarga yang senyap, Diana berdiri sendiri, memeluk dirinya tanpa sadar. Kursi kosong, TV yang mati, dan lampu redup menjadi saksi.Malam itu, rumah mereka bukan sekadar sunyi. Ia telah berubah menjadi medan perang yang tak bersuara.
BAB 33Aku Sudah LelahMalam itu begitu sunyi, namun sunyi yang tidak pernah terasa menenangkan. Suara jam dinding di ruang tengah terdengar jelas: tik… tak… tik… tak…—setiap dentumannya seperti palu kecil yang memukul kepala Rayyan. Udara pengap, berat, seakan menyimpan sisa-sisa percikan api dari pertengkaran di jam sebelumnya. TV sudah mati; hanya layar hitamnya yang memantulkan samar wajah mereka berdua, wajah yang sama-sama letih namun keras kepala.Rayyan duduk di sofa, punggungnya sedikit membungkuk. Tangannya bertumpu di paha, jari-jarinya lemas tak lagi menggenggam apa pun. Pandangannya kosong, bukan ke dinding, bukan ke lantai—lebih seperti ke dalam ruang gelap di dalam dirinya. Bahunya turun, seolah sudah tak sanggup lagi menahan beban.Diana mondar-mandir di ruang itu. Sandal rumahnya berdecit setiap kali ia berbalik arah. Di tangannya, remote TV berpindah dari satu genggaman ke genggaman lain, seperti benda kecil yang bisa ia jadikan alasan untuk memulai lagi. Nafasnya terdengar cepat, penuh amarah, tapi juga… resah.“Apa susahnya, Rayyan?” suaranya melengking, “Kamu itu cuma diminta hal kecil. Remote! Kamu selalu taruh sembarangan, bikin aku kesal!”Rayyan tidak menjawab. Matanya tidak bergerak.Diana mendengus, lalu meletakkan remote itu di meja dengan hentakan keras. Suara plastiknya beradu dengan kayu, memantul, lalu jatuh keheningan lagi.“Apa kamu pikir dengan diam seperti itu kamu menang? Hah?” tatapannya menusuk Rayyan. “Kamu pikir aku takut? Jangan salah. Justru diam kamu itu bikin aku muak!”Rayyan menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Tidak ada kata yang keluar.Monolog dalam diri Rayyan menggema:Lucu sekali. Bertahun-tahun aku berusaha keras menjaga nada suaraku, memilih kata-kata manis agar tidak menyakiti. Bertahun-tahun aku jadi penenang ketika dia meledak. Dan malam ini, semua usahaku runtuh, hanya karena remote TV. Atau… bukan karena remote, melainkan karena aku memang sudah sampai di batasnya.Bahunya semakin merosot. Ia merasa, untuk pertama kalinya dalam hidup, tidak ada lagi energi untuk memberi.Diana kembali menyalakan TV, menekan tombol dengan kasar, membiarkan suara iklan meledak memenuhi ruangan. “Nah, biar ramai sekalian! Aku benci rumah ini hening! Hening itu bikin aku merasa sendirian!”Rayyan menoleh sedikit, hanya sekilas. Ia tidak tahan dengan suara keras itu, tapi tubuhnya tak mau bergerak.Diana melirik. “Kenapa? Terganggu? Kamu pikir aku peduli? Selama ini aku yang terganggu sama semua caramu! Dengan gaya sok suci kamu, dengan semua kalimat motivasi kamu itu!”Rayyan menutup mata sejenak. Ada rasa getir di dadanya. Kalimat Diana menampar sisi dirinya yang dulu selalu ia banggakan: sisi optimis, sisi yang tak pernah lelah memberi semangat.“Rayyan,” suara Diana meninggi lagi, “aku sudah empat puluh tahun! Empat puluh! Kamu kira ada lelaki lain yang mau sama aku dengan sikapku begini? Tidak ada! Mau tidak mau, kamu harus hidup dengan aku. Suka atau tidak suka.”Kata-kata itu meledak di udara, menggantung seperti bom yang tak bisa ditarik kembali.Rayyan membuka matanya, menatap layar TV yang kini menayangkan adegan sinetron murahan. Dialog di TV terdengar sumbang, seperti bayangan dari kehidupan mereka sendiri. Ia menelan ludah, lalu untuk pertama kalinya sejak lama, suaranya keluar—serak, berat, patah.“Aku sudah lelah, Diana.”Diana berhenti. Gerakannya membeku. Remote yang masih di tangannya terjatuh ke lantai dengan bunyi duk.“Apa?” suaranya bergetar.Rayyan menoleh perlahan, matanya kosong, tidak ada api, tidak ada sinar—hanya kelelahan yang telanjang. “Kalau kamu memang mau kita pisah, silakan.”Kalimat itu bukan teriakan. Bukan ancaman. Bukan pula strategi. Itu hanyalah sebuah pengakuan… bahwa ia sudah tidak sanggup lagi.Diana terpaku, lalu wajahnya memerah. “Kamu… kamu berani bicara begitu padaku?” Suaranya melengking lagi, tapi kali ini ada nada panik yang tidak bisa ia sembunyikan.“Selama ini kamu yang selalu bilang, ‘kita harus bertahan, kita harus berjuang’. Kamu yang paling keras kepala soal rumah tangga kita! Dan sekarang… kamu menyerah?”Rayyan tidak menjawab. Ia kembali menunduk, menatap jemari tangannya yang gemetar kecil.“Jangan pura-pura jadi korban, Rayyan!” Diana melangkah mendekat, menunduk, menatap wajahnya dari jarak dekat. “Jangan pakai kalimat manis itu untuk menyudutkanku. Kamu itu bukan suci, bukan malaikat! Kamu cuma lelaki yang tak tahu bagaimana menghadapi istrimu sendiri!”Rayyan mengedip perlahan. Suara itu masuk ke telinganya, tapi ia merasa jauh, seperti mendengar dari dalam air.Begini rupanya akhirnya. Semua niat baikku, semua pengorbananku, hanya jadi bahan bakar untuk serangan balik. Aku kira aku sedang berjuang memenangkan pernikahan. Ternyata aku hanya sedang memelihara penjara.Diana menghela napas kasar, lalu menendang karpet kecil di bawah meja. Gelas di atas meja hampir jatuh, bergetar hebat. “Jangan kira aku takut ditinggalkan! Kalau kamu pergi, ya sudah! Aku juga bisa sendiri!” katanya dengan nada tinggi—tapi sorot matanya bergetar.Rayyan menatapnya sekali lagi, kali ini lebih lama. Ada luka di dalam dirinya, tapi juga kelegaan aneh: kejujuran itu akhirnya keluar.“Diana,” katanya pelan, “aku tidak ingin bertengkar lagi. Aku benar-benar lelah.”Diana tercekat. Untuk pertama kali dalam pertengkaran mereka, wajahnya kehilangan arah. Matanya berair, tapi ia buru-buru mengedip, menolak terlihat rapuh.“Tidak… kamu tidak boleh bilang begitu. Kamu tidak boleh!” suaranya melunak, tapi justru terdengar seperti teriakan putus asa.Rayyan bangkit perlahan dari sofa. Bahunya terkulai, langkahnya lambat, seolah setiap gerakan adalah beban. Ia berjalan menuju koridor kamar tanpa menoleh.Diana bersuara lagi, kali ini lebih panik. “Rayyan! Jangan tinggalkan aku sendirian di sini! Kita belum selesai!”Rayyan tidak berhenti. Tangannya meraih gagang pintu kamar. Ia membuka, lalu menutupnya perlahan—tidak membanting, tidak berisik, hanya klik kecil yang terdengar seperti gemuruh di telinga Diana.Di ruang tengah, Diana berdiri sendiri, wajahnya merah, napasnya terengah. Remote tergeletak di lantai, TV masih menyala tanpa arti.Dan di balik pintu kamar, Rayyan duduk di tepi ranjang, menunduk, menatap lantai. Tidak ada air mata, tidak ada teriakan, hanya hampa.Untuk pertama kalinya, Diana merasa ketakutan bukan karena amarah Rayyan, melainkan karena kehampaannya.Jam dinding berdentum lagi. Tik… tak… tik… tak…Di ruang yang sama, mereka masih ada. Tapi malam itu, keduanya seperti dua orang asing yang sama-sama menolak pulang.
BAB 34 – Sunyi yang MenggemaMalam itu, rumah kecil mereka terasa seperti ruang asing yang ditinggalkan penghuninya. Lampu ruang tengah menyala redup, menyorot tembok kusam dan perabot yang seolah menahan napas. Suara jam dinding berdetak, keras, menusuk keheningan.Rayyan duduk di kursi kayu dekat meja makan. Tubuhnya tegak, tapi matanya kosong, menatap lurus pada noda kecil di permukaan meja—noda yang dulu tak sengaja tercetak dari cangkir kopi. Sepele, tapi malam ini noda itu terasa seperti bekas luka yang tak pernah hilang.Diana berdiri di ambang pintu ruang tengah, kedua tangannya saling menggenggam gelisah. Setelah ledakan emosi di bab sebelumnya, ia mengira Rayyan akan membalas, marah, atau setidaknya membantah. Tapi yang ia hadapi hanyalah diam. Diam yang dingin, membisu, tapi lebih menyakitkan dari seribu makian.“Ray…” suara Diana bergetar, nyaris tenggelam oleh detak jam. “Tadi aku… aku nggak maksud ngomong gitu. Aku cuma… terlalu emosi.”Tidak ada reaksi. Rayyan hanya menggerakkan jemarinya, menyentuh kusen pintu di samping kursinya. Ujung kayu yang mulai rapuh itu ia raba perlahan, seperti sedang memastikan bahwa sesuatu yang nyata masih bisa ia sentuh. Ia menatapnya lama, seakan-akan kusen itu lebih layak mendapat perhatiannya daripada istrinya sendiri.Diana melangkah masuk, berusaha mengisi jarak. “Aku tahu, aku sering salah. Aku… sering bikin kamu kecewa. Tapi jangan diam kayak gini. Katakan sesuatu, Ray.”Rayyan menoleh sekilas, matanya redup, tak ada sinar. Pandangan itu menembus Diana seperti cermin kosong. Lalu ia kembali menunduk, kali ini menatap kursi rotan di ujung ruangan. Kursi itu dulu ia beli dengan gaji pertamanya, penuh rasa bangga. Malam ini, kursi itu hanya tampak seperti benda asing—saksi bisu dari perjuangan yang tak pernah dihargai.“Rayyan…” suara Diana pecah. Ia meraih sandaran kursi tempat Rayyan duduk, berusaha memaksa dirinya dekat. “Aku nggak mau kita begini. Aku takut kamu pergi. Aku takut kehilangan kamu.”Kata-katanya menggema, tapi jatuh ke ruang hampa. Rayyan tidak bergeming. Ia hanya mengedarkan pandangan ke meja makan. Meja itu—yang seharusnya jadi tempat berbagi cerita dan tawa—justru lebih sering jadi arena pertengkaran. Ia mengingat malam-malam panjang, piring yang diangkat dengan kasar, suara sendok yang membentur lebih keras daripada seharusnya. Kini, meja itu baginya hanya monumen kecil dari perang yang tak pernah selesai.Diana menggigit bibir, menahan tangis. Ia mencoba lagi, suaranya lebih putus asa. “Aku tahu kamu marah. Tapi jangan diam. Jangan buat aku merasa sendirian di rumah ini. Tolong…”Namun Rayyan tidak marah. Tidak juga sedih. Ia bahkan tidak berusaha memberi tanda bahwa ia mendengar. Tubuhnya bergerak otomatis, seperti mesin yang kehilangan jiwa. Ia berdiri pelan, menyentuh permukaan meja makan dengan ujung jarinya, lalu berjalan menuju lorong kecil yang mengarah ke kamar.“Ray! Jangan tinggalkan aku diam begini! Bicara sama aku, sekali saja!” Diana berteriak, tapi suaranya pecah, seperti gema yang memantul di dinding kosong.Langkah Rayyan tetap tenang. Tidak terburu-buru, tidak terguncang. Setiap hentakan kaki di lantai terasa seperti jarak yang makin lebar di antara mereka.Diana berlari kecil, mencoba menghadang. “Kamu nggak boleh begini. Kamu nggak boleh berpura-pura aku nggak ada. Aku… aku juga berjuang buat kita!”Rayyan berhenti sejenak, menatapnya. Tatapan itu kosong, dingin, tak ada lagi kemarahan, tak ada lagi cinta. Hanya kehampaan yang membeku di sana.Diana terdiam, tubuhnya goyah. Untuk pertama kali, ia yang merasa takut—takut pada kemungkinan yang tak pernah ia bayangkan: Rayyan yang pergi, bukan dengan amarah, tapi dengan diam.Rayyan tidak berkata apa-apa. Ia hanya berbalik, melangkah masuk ke kamar.Diana terisak di ruang tengah, suaranya lirih, nyaris hilang ditelan detik jam yang terus berdetak.Kemudian, suara itu datang.Klek.Pintu kamar menutup perlahan. Tanpa hentakan, tanpa kemarahan. Tapi bunyi sederhana itu menghantam ruang tengah lebih keras dari teriakan apa pun.Sunyi yang menggema.Dan di dalamnya, Diana tenggelam.
BAB 35 – Ruang Tanpa Jalan KeluarPagi turun tanpa sambutan. Cahaya matahari masuk lewat jendela dapur, menimpa meja makan yang masih berantakan oleh piring kotor semalam. Sendok berlumur minyak dibiarkan begitu saja di atas tatakan, sementara gelas bekas teh hanya setengah kosong.Rayyan berjalan keluar dari kamar dengan langkah datar. Tidak tergesa, tidak lambat, hanya otomatis—seperti tubuhnya digerakkan oleh mekanisme yang sudah diprogram. Ia melewati meja tanpa menoleh, mengambil handuk, lalu menuju kamar mandi.Dulu, cermin di atas wastafel selalu menjadi saksi kecil rutinitasnya: wajah yang ia pandangi sambil berbisik mantra-mantra motivasi—kalimat-kalimat bodoh yang entah bagaimana membuatnya tetap bertahan. Sekarang, cermin itu hanya menampilkan wajah datar, mata tanpa cahaya. Ia tidak berbicara, tidak menunduk, tidak menyapa dirinya sendiri. Hanya pantulan kosong, sepi, dingin.Air mengalir membasahi wajahnya. Dingin. Itu saja yang terasa. Tidak ada kesegaran. Tidak ada rasa lega. Hanya dingin.Ketika keluar dari kamar mandi, Diana sudah duduk di meja makan. Rambutnya dikuncir seadanya, matanya sedikit bengkak. Ia menoleh, mencoba menyunggingkan senyum. “Capek, Yan?” suaranya pelan, ragu.“Ya,” jawab Rayyan singkat. Ia duduk, meraih piring yang sudah berisi nasi dingin dan lauk sederhana. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada pertanyaan balik. Hanya “ya.”Suara sendok beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang mengisi ruangan. Diana menunduk, memainkan ujung jarinya di atas meja. Ia ingin berbicara lebih banyak, tapi kata-katanya mati di kerongkongan. Sunyi yang dulu selalu ia dambakan—sunyi dari pertengkaran, dari debat—ternyata menakutkan. Sunyi Rayyan bukan damai, melainkan kekosongan yang menelan.Hari-hari berikutnya berjalan sama. Rayyan berangkat kerja tanpa pamit lebih dari sekadar “aku pergi.” Pulang pun begitu—meletakkan tas, mandi, makan, lalu duduk di ruang tengah. Tidak ada percakapan, tidak ada gerakan kecil untuk mencairkan suasana.Di dapur, piring kotor menumpuk lebih lama dari biasanya. Diana kadang sengaja membiarkannya, berharap Rayyan akan berkomentar, mengomel seperti dulu. Tapi tidak ada. Diam. Seolah piring itu hanyalah benda mati yang tak pantas diperhatikan.Di meja makan, kursi di seberang Rayyan sering kosong. Kadang Diana duduk, mencoba memulai percakapan ringan: “Hari ini kerjaannya banyak?”
“Ya.”
“Besok lembur?”
“Mungkin.”
Lalu diam lagi. Sampai akhirnya Diana berhenti mencoba.Malam hari, Diana pernah membawa teh hangat ke ruang tengah, meletakkannya di meja kecil di samping Rayyan. “Aku bikinin teh,” katanya, setengah berharap ada senyum.Rayyan hanya mengangguk sekali, tanpa menoleh. Tangannya tetap di pangkuan, matanya tetap kosong menatap televisi yang bahkan tidak menyala.Diana menarik kursi, duduk di sebelahnya. Ia menunggu, berharap ada obrolan sekecil apa pun. Tapi tidak ada. Teh itu dingin perlahan, tak tersentuh. Diana akhirnya bangkit sendiri, meninggalkan Rayyan dalam ruang yang semakin terasa asing.Rayyan semakin sadar: pernikahan ini bukan kemenangan. Ia ingat perjuangan panjang—rayuan, pengorbanan, kesabaran, semua yang ia anggap bukti cinta. Kini, semua itu tampak konyol. Seperti orang yang dengan bodohnya membangun penjara, lalu mengunci dirinya di dalam. Jeruji yang ia pasang sendiri kini berdiri tegak di sekelilingnya.Tidak ada teriakan. Tidak ada drama. Tidak ada kata-kata kasar. Justru itu yang menghancurkan: ketiadaan.Malam keempat setelah pertengkaran, rumah benar-benar seperti ruang hampa.Rayyan duduk di ruang tengah, lampu redup menggantung di atasnya. Di pangkuannya, remote televisi yang tidak ia tekan. Ia hanya menatap lantai, mengikuti pola ubin yang sama dari hari ke hari. Sesekali ia menggerakkan kaki, lalu berhenti lagi.Diana berbaring di kamar, matanya terbuka lebar, menatap langit-langit. Nafasnya berat, dada naik turun dengan ritme yang tidak tenang. Ia menggenggam selimut, tapi dingin tetap menembus. Tidak ada suara dari kamar, tidak ada panggilan, tidak ada ajakan.Dua manusia yang menikah, tapi terpisah oleh dinding sunyi.Rumah itu kini tak lagi seperti rumah. Ia lebih mirip ruang tanpa pintu keluar, tempat di mana suara tidak bisa masuk dan hati tidak bisa menyapa.Sunyi itu menggema, panjang, menekan.
Dan mereka berdua terjebak di dalamnya.
EPILOG – Tanpa Pintu KeluarMalam itu, rumah kecil mereka berdiri dalam diam. Lampu ruang tengah menyala redup, menyisakan bayangan panjang di lantai. Suara jam dinding berdetak pelan, tapi justru karena terlalu jelas, detik-detik itu terasa menohok. Di dapur, dengung kulkas tua mengisi celah hening, seperti bisikan monoton yang tak pernah berhenti.Rayyan duduk di kursi kayu dekat meja makan. Tubuhnya tegak, tangannya terlipat di pangkuan. Tidak ada air mata, tidak ada amarah. Kosong. Seolah semua energi telah terkuras habis, meninggalkan dirinya sebagai wadah tanpa isi.Meja makan di depannya masih sama—bekas goresan sendok, noda kopi yang tidak pernah benar-benar hilang. Kursi di seberangnya kosong. Dulu, kursi itu ia bayangkan sebagai simbol kebersamaan. Kini hanya seonggok kayu tanpa makna.Dinding rumah dihiasi foto-foto lama, berdebu. Wajah-wajah tersenyum dari masa lalu tampak seperti potret asing yang tak ada hubungannya dengan mereka. Rayyan menatapnya lama, lalu memalingkan wajah. Senyum dalam bingkai itu terasa seperti ejekan.Diana duduk sebentar di kursi dekat televisi. Tubuhnya bersandar, matanya sayu. Ia menoleh sekilas, lalu berkata datar, “Aku tidur dulu.” Tidak ada nada marah, tidak ada kelembutan, hanya datar. Kalimat itu meluncur seperti kewajiban.Rayyan tidak menjawab. Ia hanya mendengar langkahnya menuju kamar, pintu yang berderit pelan ketika dibuka, lalu menutup kembali tanpa suara keras. Hanya itu.Rumah kembali tenggelam dalam hening.Rayyan menunduk, matanya jatuh pada lantai yang mulai retak di beberapa bagian. Retakan itu kecil, tapi merambat, seakan melambangkan sesuatu yang tak bisa diperbaiki. Ia ingin menutupnya, memperbaikinya, tapi kakinya terlalu berat untuk bergerak.Beberapa saat kemudian, ia berdiri. Melangkah pelan menuju lorong, melewati perabotan yang dulu ia banggakan: rak buku kecil, kursi rotan yang pernah ia beli dengan gaji pertamanya, vas bunga kering di sudut ruangan. Semua itu kini tampak seperti benda pameran di museum: ada bentuknya, tapi tak lagi punya jiwa.Sampai di depan pintu kamar, Rayyan berhenti. Tangannya menyentuh gagang pintu. Sesaat ia mendengar lagi suara jam dinding, dengung kulkas, keheningan yang meluas.Ia menarik napas panjang. Tidak ada keputusan besar, tidak ada tekad baru, hanya rutinitas terakhir hari itu. Ia mendorong pintu, masuk, lalu menutupnya perlahan.Klek.Suara pintu menutup terdengar jelas, menggema di seluruh rumah yang hening. Lampu ruang tengah dibiarkan padam, meninggalkan ruangan itu dalam kegelapan.Rumah kecil itu kembali sunyi, sepenuhnya.
Seperti ruang tanpa pintu keluar.

%20(1).png)