"PERGI KAMU! DULU KAU USIR AKU DARI RUMAHMU, SEKARANG GILIRAN AKU YANG MENGUSIRMU!"Aku berteriak sekuat-kuatnya, suara serak bercampur tangis yang kutahan sejak bertahun-tahun. Tanganku gemetar, dadaku berdegup keras, seolah semua luka masa lalu tumpah jadi bara api di lidahku.Di hadapanku berdiri Marsih—perempuan tua dengan tubuh keriput, kurus, dan bungkuk. Matanya sayu, wajahnya pucat, bibirnya bergetar menahan air mata. Dia mencoba bicara, tapi aku tak ingin mendengarnya. Tidak hari ini. Tidak setelah sepuluh tahun aku mengendap dengan luka yang tak pernah dia akui.Aku masih ingat jelas, malam ketika ia melemparkan pakaian-pakaianku ke jalan, menghinaku di depan tetangga, dan menuduh anakku bukan darah daging Topan. Malam itu aku berjalan pergi dengan kaki gemetar, anakku menangis di gendongan, sementara suamiku—Topan—hanya berdiri diam, menatapku tanpa satu kata pun.Dan kini, setelah sepuluh tahun aku bertahan, berdarah-darah di tanah rantau, mengais rezeki dengan keringat dan air mata hingga bisa berdiri tegak di rumah megah ini, perempuan tua itu datang. Mengetuk pintu rumahku dengan tangan keriputnya, merendah, memohon maaf, meminta uang, bahkan menyuruhku menjenguk Topan yang sakit.Hatiku mendidih.Tuhan, betapa kejamnya dunia kalau aku harus memaafkan orang yang dulu menenggelamkanku ke jurang kehinaan.“Keluar! Aku tak sudi melihat mukamu lagi!” teriakku sambil mendorong pintu agar ia menjauh.Aku tahu tetangga sudah mulai melongok dari pagar, dan mungkin ada mata-mata iseng yang merekam kejadian ini. Biarlah. Biar semua orang tahu, aku bukan perempuan lemah yang bisa diinjak-injak lagi.Di mataku, Marsih bukan lagi mertua. Dia hanyalah masa lalu kelam yang mencoba merangkak masuk ke dalam hidupku lagi. Dan aku tidak akan membiarkannya.Aku menatapnya dengan pandangan tajam, seolah ingin menusuk jantungnya.“Dulu kau lempar aku ke jalan seperti sampah. Sekarang lihatlah, aku yang berdiri di sini, dan kau yang merangkak padaku. Pergi, sebelum aku benar-benar menginjak harga dirimu yang tersisa sedikit itu!”Marsih terisak, tubuhnya gemetar. Ia mencoba menggapai tanganku, tapi aku menepisnya dengan kasar.Di dalam hatiku, suara-suara lama menggema—suara malam pengusiran, suara tangisan anakku, dan sunyi dari Topan yang tak pernah membelaku. Luka itu belum sembuh. Luka itu masih bernanah.Dan hari ini, aku, Jumini, memilih untuk membalas dengan cara yang paling kejam: dengan mengusir balik perempuan yang dulu mengusirku.Bab 2 – Sorotan NetizenAku kira semua akan selesai begitu aku mengusir Marsih dari depan rumahku. Aku kira setelah pintu kututup rapat, semua luka ikut terkubur. Tapi ternyata aku salah besar.Keesokan paginya, dunia maya sudah gaduh.Wajahku terpampang jelas di layar ponsel, suara teriakanku—“PERGI KAMU!”—bergema di mana-mana. Ada yang merekam kejadian itu dari pagar, lalu menyebarkannya. Video singkat itu hanya berdurasi dua menit, tapi cukup untuk membakar ribuan komentar.Aku menggulir layar ponsel dengan tangan gemetar. Mataku menangkap komentar-komentar yang bikin dadaku sesak.“Astaghfirullah, itu kan mertua sendiri. Gak ada bekas mantu dan mertua, bagaimanapun dia nenek dari anakmu.”“Jumini tega banget. Gak ada manusia sempurna, harusnya dimaafin.”“Orang tua memang suka salah, tapi tetap orang tua. Hidup ini singkat, jangan bawa dendam.”“Dulu mertuanya jahat sih, tapi masa gak bisa maafin sekarang?”Aku mendengus keras. Mereka menulis seolah tahu ceritaku, seolah ikut hadir di malam kelam itu sepuluh tahun lalu. Padahal, mereka tidak pernah melihat bagaimana aku diusir seperti anjing, bagaimana aku harus menenangkan anak yang masih bayi sambil menangis sendirian di jalan.“baj1n94n sok suci…” aku memaki sendiri, melempar ponsel ke sofa.Netizen itu gampang sekali menyuruh orang memaafkan. Mereka tidak pernah merasakan tidur di lantai kontrakan sempit dengan perut kosong. Mereka tidak pernah tahu bagaimana rasanya dipandang hina hanya karena seorang mertua menyebutmu perempuan najis, pelacur, pembawa sial.Dan kini, mereka menyuruhku jadi malaikat? Menyuruhku membuka pintu untuk orang yang dulu menutup pintu di wajahku?Aku menatap kaca besar di ruang tamu, melihat bayangan diriku sendiri.Seorang perempuan dengan gaun mahal, wajah terawat, berdiri di rumah besar. Tapi di balik itu semua, aku hanyalah perempuan bernama Jumini—yang hatinya masih penuh luka, dendam, dan bara.Aku teringat wajah Marsih semalam. Keriput, renta, mata penuh penyesalan.Sejenak, hatiku goyah. Tapi begitu kenangan hinaan itu muncul lagi, aku menepis rasa iba itu.“Tidak,” bisikku pada bayangan di kaca. “Aku tidak selemah itu lagi.”Namun, dalam hati kecilku, suara lain ikut berbisik—suara anakku.“Ma, kalaupun mereka jahat… jangan sampai kita jadi jahat juga.”Suara itu terus menggema, mengusik batinku lebih daripada komentar netizen yang riuh di dunia maya.Bab 3 – Malam PengusiranAku benci mengingat malam itu. Tapi anehnya, semakin aku ingin melupakannya, semakin jelas ia datang setiap kali aku sendirian.Malam gelap, gerimis turun, tanah halaman becek. Aku berdiri di depan rumah mertua dengan tubuh gemetar, bayiku menangis keras di gendongan. Marsih, dengan wajah beringasnya, berteriak-teriak sambil melempar baju-bajuku ke jalan.“Keluar kamu! Dasar perempuan najis! Anak yang kau lahirkan itu bukan cucuku! HARAM! HARAM!”Suara itu masih menusuk telingaku, meski sudah sepuluh tahun berlalu.Aku ingat betul tatapan tetangga malam itu—ada yang iba, ada yang sinis, ada pula yang menutup pintu rapat-rapat seolah aku wabah yang harus dijauhi.Dan Topan… suamiku.Dia hanya berdiri di teras, diam, menunduk. Tidak ada kata. Tidak ada pembelaan. Tidak ada tangan yang meraihku, sekadar berkata “Aku percaya padamu, Min.” Tidak. Dia hanya diam.Seolah aku memang layak dibuang.Aku berlutut waktu itu, memohon-mohon sambil menangis. “Bu… jangan usir saya… saya gak punya tempat lain…”Tapi Marsih mendorongku dengan kasar.“Pergi! Biar kau mati di jalan sekalian! Jangan bawa-bawa nama keluarga ini lagi!”Bayiku terus menangis. Aku berusaha menutup telinganya dengan kain agar tidak kedinginan. Aku berjalan pelan, meninggalkan rumah itu tanpa tujuan. Hanya ada air mata, hujan, dan rasa hancur yang menyesakkan dada.Aku masih bisa merasakan pedihnya malam itu hingga kini. Setiap kali hujan turun, tubuhku gemetar, seperti kembali ke jalan becek itu.Aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan setelahnya. Yang kuingat hanya tekad kecil di dalam hati: aku harus hidup. Aku harus bertahan demi anakku.Dan mungkin, diam-diam, ada tekad lain yang tumbuh bersamaan dengan rasa sakit itu:Aku akan buktikan pada mereka bahwa aku bukan sampah.Itulah malam yang membunuh Jumini yang lemah—dan melahirkan Jumini yang baru.Bab 4 – Awal PerantauanAku tidak pernah lupa rasa dingin malam pertama di tanah rantau. Kontrakan kecil berlantai semen itu basah, bocor, bau apak menusuk hidung. Aku duduk di sudut, memeluk anakku yang masih bayi, berusaha menenangkannya dengan lagu nina bobo seadanya.Perutku kosong. Hanya ada sepotong singkong rebus yang kutemukan di jalan siang tadi, itu pun sudah separuh basi. Aku makan sedikit, sisanya kusimpan untuk anakku esok pagi.Di sanalah aku sadar: tidak ada yang bisa kuandalkan selain diriku sendiri. Tidak ada Topan, tidak ada keluarga, tidak ada siapa-siapa.Besoknya aku mulai melangkah keluar. Kupinjamkan tenagaku untuk apa saja: mencuci pakaian orang, membersihkan kandang ayam, bahkan mengangkut karung beras di pasar. Tangan dan kakiku penuh luka, punggungku pegal, tapi aku tak berani berhenti.“Kerjamu lambat, Min! Ayo lebih cepat!” bentak seorang majikan saat aku mencuci pakaian kotor di sumur. Air dingin menusuk jari-jariku sampai biru, tapi aku hanya bisa tersenyum pahit dan berkata lirih, “Iya, Bu. Maaf, Bu.”Orang-orang sering menertawakan aku yang datang dengan wajah lusuh, pakaian sederhana, bayi digendong sambil bekerja.“Kasihan ya, dibuang suami…”Kalimat itu sering kudengar, kadang dibisikkan, kadang sengaja diucapkan keras agar menusuk telingaku.Sakit.Tapi aku belajar menelan semua rasa sakit itu.Setiap malam, ketika anakku tertidur di pangkuan, aku menatap wajah polosnya. Tangannya yang mungil menggenggam jariku seolah memberi kekuatan.“Tenang, Nak,” bisikku. “Ibumu ini akan bertahan. Kita akan buktikan pada dunia bahwa kita bukan hinaan seperti yang mereka katakan.”Hari-hari terasa panjang, tapi aku tidak lagi berjalan tanpa arah. Meski tubuhku lelah, ada sesuatu di dalam dada yang mulai tumbuh: tekad.Aku tahu jalan ini tidak mudah. Tapi sejak malam pengusiran itu, aku tidak punya pilihan selain menjadi kuat. Dan aku, Jumini, berjanji pada diriku sendiri: aku akan bangkit, apa pun caranya.Bab 5 – Peluang KecilHari-hari di rantau memang kejam. Kerja kasar tak pernah cukup untuk sekadar membeli beras sekarung. Aku sering harus menahan lapar, asal anakku bisa makan bubur. Tapi dari rasa lapar itu, mataku justru jadi lebih jeli melihat celah yang orang lain abaikan.Aku sering membantu seorang ibu penjual gorengan di pasar. Tugas utamaku hanya mengupas singkong dan membersihkan wajan. Upahnya recehan, kadang cuma dibayar dengan gorengan yang tak laku. Tapi dari sanalah aku belajar sesuatu: setiap orang butuh makan, dan makanan selalu dicari orang.Aku mulai berpikir, “Kalau ibu itu bisa jualan dengan wajan tua dan meja reyot, kenapa aku tidak?”Dengan modal nekat, aku mengumpulkan sisa upah dari kerja kasar. Aku membeli dua kilo singkong dan sedikit minyak goreng. Malam itu, di kontrakan sempit, aku mengiris singkong tipis-tipis, kuberi bumbu seadanya. Tanganku kaku, tapi hatiku hangat, ada harapan kecil yang tumbuh.Besok paginya, aku memberanikan diri duduk di pinggir jalan dengan tampah berisi keripik singkong. Anakku kugendong, sesekali rewel, tapi aku tetap tersenyum menawarkan dagangan.“Keripiknya, Bu… seratusan aja…” kataku malu-malu pada orang yang lewat.Awalnya tak ada yang peduli. Banyak yang melirik dengan tatapan meremehkan. Tapi ada satu bapak yang akhirnya membeli, lalu satu lagi, lalu satu lagi. Aku pulang membawa beberapa lembar ribuan yang kusimpan rapat-rapat di lipatan baju.Malam itu aku menangis, tapi bukan karena sedih.Tangisku campuran antara lelah, syukur, dan semangat baru.Untuk pertama kalinya sejak diusir, aku merasa: mungkin aku bisa benar-benar hidup dengan caraku sendiri.Sejak hari itu, aku mulai serius berdagang. Kadang aku hanya bawa sedikit barang, kadang aku harus jalan kaki jauh untuk menjual. Tapi setiap hari, meski sedikit, selalu ada hasil. Dan sedikit demi sedikit, aku merasa luka batinku berubah jadi bahan bakar.Aku berkata dalam hati:“Lihatlah aku, Marsih. Lihatlah aku, Topan. Perempuan yang dulu kau usir ini akan bangkit. Dan suatu hari nanti, kalian akan menyesal.”Bab 6 – Cemoohan yang MembakarHari-hariku kini selalu dimulai sebelum fajar. Saat orang lain masih terlelap, aku sudah duduk di dapur sempit kontrakan, menyalakan tungku kecil. Asap kayu bakar membuat mataku perih, tapi aku bertahan. Dengan tangan belepotan minyak, aku menggoreng singkong, tahu, dan tempe.Setelah semuanya matang, kutata dalam keranjang bambu. Anakku yang masih kecil kubangunkan, kugendong dengan kain jarik, lalu aku melangkah ke pasar.Awalnya, orang-orang hanya melirik sambil menutup hidung. Aku tahu, tubuhku bau minyak, wajahku kusam, dan bajuku lusuh.“Kasihan ya, janda buangan. Jualan gorengan, bawa anak pula,” bisik seorang perempuan pada temannya.Yang lain tertawa kecil, menutup mulut dengan tangan.“Pantas aja diusir mertuanya, wajahnya aja mirip babu. Suaminya pasti malu.”Aku pura-pura tak dengar. Tapi di dalam hati, kata-kata itu seperti pisau.Aku menunduk, terus berteriak lirih, “Gorengan… panas… seratusan saja…”Setiap kali ada yang membeli, meski hanya satu potong, aku mengucap terima kasih berkali-kali. Aku belajar menelan harga diriku, demi sesuap nasi dan masa depan anakku.Namun, setiap hinaan yang mereka lontarkan, alih-alih mematahkan semangatku, justru menyalakan api di dadaku.Aku berkata dalam hati, sambil menatap keranjang gorengan yang semakin lama semakin kosong:Tertawalah kalian. Remehkanlah aku. Suatu hari nanti, aku akan berdiri di tempat yang lebih tinggi dari kalian semua.Dan benar, hari demi hari, jualanku mulai laris. Ada pelanggan tetap yang selalu datang. Ada tetangga yang mulai titip beli.Aku mulai bisa membeli beras lebih banyak, bahkan baju bekas yang lebih layak untuk anakku.Perlahan tapi pasti, gorengan sederhana itu bukan hanya memberiku makan, tapi juga memberiku keyakinan: aku bisa.Aku bukan lagi perempuan yang diusir dengan hinaan. Aku adalah Jumini yang sedang bangkit dari lumpur.Bab 7 – Lapak PertamaAku tak pernah lupa rasa deg-degan hari itu. Dengan uang tabungan yang kusimpan di lipatan baju selama berbulan-bulan, aku memberanikan diri menyewa sebuah meja kecil di pasar.Bukan meja yang bagus—kayu sudah lapuk, catnya mengelupas, kaki-kakinya goyah. Tapi bagiku, meja itu adalah panggung pertama dalam hidupku. Tempat aku berdiri tegak, bukan lagi pedagang keliling yang dipandang sebelah mata.Pagi-pagi sekali aku sudah tiba di pasar, menata gorengan di atas meja, menyiapkan plastik, dan menyalakan tungku kecil untuk menjaga dagangan tetap hangat. Anakku kubaringkan di sudut lapak dengan alas seadanya.Orang-orang melirik. Ada yang heran, ada yang sinis.“Wih, si janda buangan punya lapak sekarang. Hebat juga ya,” sindir seorang ibu sambil tertawa kecil.Aku tersenyum saja. Dulu aku akan menangis mendengar hinaan itu, tapi kini tidak lagi. Kini aku tahu: semakin mereka mencibir, semakin aku harus membuktikan diri.Hari itu, aku menjual habis semua dagangan. Uang yang kuterima kucium erat-erat, seolah itu tiket menuju kehidupan baru.Malamnya, di kontrakan kecilku, aku menghitung receh-receh itu sambil menatap anakku yang tertidur pulas.“Lihat, Nak. Ibu kita ini bisa. Kita tidak akan selamanya miskin. Suatu hari nanti, kita akan punya kehidupan yang lebih baik.”Hari-hari berikutnya, daganganku semakin laris. Orang-orang mulai mencari gorengan “Bu Min” — begitu mereka memanggilku. Ada yang memuji bumbu rahasiaku, ada pula yang ketagihan keripik singkong buatanku.Aku bahkan mulai bisa membeli kompor minyak tanah. Tidak perlu lagi batuk-batuk karena asap kayu bakar.Semua berawal dari meja lapuk itu.Dan di atas meja itulah, aku merasakan untuk pertama kalinya: harga diriku perlahan kembali tumbuh.Bab 8 – Api Iri DengkiAwalnya semua terasa indah. Lapakku selalu ramai. Gorengan yang kubuat habis sebelum zuhur. Bahkan ada pembeli yang sampai rela antre.Aku ingat betul, saat seorang pedagang sayur berkata sambil tersenyum,“Wah, Bu Min, gorenganmu ini bikin nagih. Anak-anak di rumah sampai berebut.”Aku tertawa kecil, merasa bahagia. Untuk pertama kalinya, aku mulai percaya bahwa kerja keras memang bisa mengangkat martabat.Tapi ternyata, kebahagiaan itu menyalakan api di hati orang lain.“Lihat tuh, si janda baru sebentar dagang udah sok hebat.”“Pantas aja laris, pasti dia pakai penglaris.”“Eh, jangan-jangan dia pesugihan. Suaminya aja entah kemana.”Bisikan-bisikan itu sampai ke telingaku.Aku pura-pura tak peduli. Tapi dalam hati, rasanya seperti ditusuk berulang kali. Aku sudah mati-matian kerja, sudah mengorbankan air mata, sudah rela menahan sakit badan, tapi orang hanya melihat dengan curiga.Suatu pagi, aku tiba di lapak dan menemukan meja jualanku disiram air kotor. Gorenganku yang sudah kutata basah, tak bisa dijual lagi.Tanganku bergetar. Aku tahu ini ulah siapa, tapi aku memilih diam. Aku kumpulkan dagangan yang rusak, kubersihkan lapak, dan aku tetap berjualan dengan sisa yang ada.Pembeli yang datang merasa iba, beberapa bahkan memborong gorengan yang tersisa.Di rumah, aku menangis sejadi-jadinya. Aku memeluk anakku erat-erat, lalu berbisik di telinganya:“Mereka bisa merusak dagangan ibu, tapi mereka tidak bisa merusak semangat ibu. Kita akan terus berdiri, Nak. Kita akan terus melawan, dengan cara kita sendiri.”Sejak saat itu, aku bekerja lebih keras. Aku perbanyak variasi gorengan, aku coba resep baru, aku bangun lebih pagi.Dan perlahan, meski iri dengki itu terus menyerang, daganganku makin dikenal orang.Aku sadar, setiap kesuksesan memang punya harga: harus siap dicibir, harus siap dijatuhkan. Tapi aku juga tahu, aku bukan lagi Jumini yang lemah.Aku adalah Jumini yang ditempa oleh luka.Bab 9 – Sahabat Tak TerdugaHari itu pasar lebih ramai dari biasanya. Aku sibuk melayani pembeli ketika seorang perempuan muda, berhijab sederhana dengan senyum hangat, datang ke lapakku.“Bu, gorengannya sepuluh ribu ya. Saya suka bakwan sama tempenya.”Suaranya lembut, tapi matanya penuh semangat.Aku cepat-cepat membungkus pesanannya.“Ini, Mbak. Masih panas, hati-hati ya.”Perempuan itu mencicipi satu bakwan di tempat. Lalu ia mengangguk puas.“Enak sekali, Bu! Rasanya beda. Gurihnya pas. Apa ibu jual juga buat pesanan banyak?”Aku sempat terdiam. Pesanan banyak? Aku bahkan belum pernah berpikir sejauh itu.“Eh… belum, Mbak. Tapi kalau ada yang pesan, insyaAllah saya sanggup.”Perempuan itu tertawa kecil.“Baiklah, kalau begitu. Nama saya Rini. Saya guru TK dekat sini. Anak-anak sering butuh snack untuk acara sekolah. Nanti saya coba tawarkan gorengan ibu, ya.”Aku bengong. Guru TK? Pelanggan seperti itu bisa jadi pintu rezeki besar.Aku menunduk, berterima kasih.“Alhamdulillah… terima kasih banyak, Mbak Rini.”Hari itu, entah kenapa, langkahku terasa lebih ringan.Seminggu kemudian, benar saja, Rini datang lagi dengan wajah berseri-seri.“Bu, anak-anak TK mau ada pentas seni. Bisa pesan seratus gorengan campur?”Seratus?! Aku sampai hampir menjatuhkan sendok.Tapi aku langsung mengangguk.“Bisa, Mbak. InsyaAllah bisa.”Malam itu aku bekerja sampai larut. Tanganku pegal, mataku merah, tapi semangatku membara. Anakku ikut terjaga, duduk di sampingku sambil berkata,“Semangat, Bu. Aku bantu kipas ya.”Dan keesokan paginya, ketika aku mengantar pesanan ke sekolah TK, aku melihat puluhan anak kecil tertawa bahagia sambil menggigit gorenganku.Itu adalah kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan uang.Sejak hari itu, Rini bukan hanya pelanggan. Ia jadi sahabat. Sering menemaniku ngobrol di lapak, sering membantu tanpa diminta.Aku sadar, Tuhan selalu memberi jalan. Setelah dihina, aku dipertemukan dengan orang-orang baik yang menguatkanku.Aku menggenggam tangan Rini suatu sore, lalu berkata dalam hati:“Terima kasih, Ya Allah. Aku tidak sendiri lagi.”Bab 10 – Antara Ragu dan HarapanPesanan demi pesanan datang silih berganti. Tidak hanya dari TK Rini, tapi juga dari tetangga yang hendak hajatan, arisan ibu-ibu, sampai acara pengajian.Awalnya aku senang, tapi lama-lama aku justru gelisah.Wajan yang kupakai kecil, minyak cepat hitam, kompor sering ngadat. Aku harus begadang lebih lama untuk memenuhi satu pesanan besar.Suatu malam, setelah semua gorengan selesai kubungkus, aku duduk termenung di depan kompor. Peluh bercampur asap minyak menempel di wajahku.“Bu, kenapa bengong?” tanyaku sendiri sambil memandang anakku yang sudah tertidur di tikar.Aku menarik napas panjang.“Andai ibu punya modal lebih, Nak. Bisa beli kompor baru, wajan besar, mungkin juga etalase biar dagangan nggak cepat dingin.”Tapi setiap kali aku memikirkan modal, jantungku berdegup kencang.Pinjam ke siapa? Bank? Aku takut riba. Tetangga? Mereka bahkan banyak yang iri.Esok harinya aku ceritakan kegelisahan itu pada Rini.“Kalau menurut saya, Bu, ibu harus berani ambil langkah. Usaha ibu ini sudah terbukti disukai orang. Jangan takut berkembang. Modal bisa dicari, yang penting ibu yakin sama diri sendiri.”Aku menatapnya ragu.“Tapi saya takut, Mbak. Bagaimana kalau nanti saya nggak bisa bayar? Bagaimana kalau saya gagal?”Rini menepuk tanganku dengan hangat.“Bu Jumini, hidup ini memang selalu penuh risiko. Tapi bukankah ibu sudah melewati masa paling pahit? Dibanding itu semua, apa ada lagi yang lebih menakutkan?”Aku tercekat. Kata-katanya menusuk dalam. Benar juga. Aku sudah pernah diusir, dihina, dituduh macam-macam. Apa lagi yang harus kutakuti?Malam itu aku menatap langit-langit rumah bambu sambil bergumam lirih:“Ya Allah, jika memang ini jalan rezeki, bukakanlah. Aku tak ingin serakah, hanya ingin memberi masa depan yang lebih baik untuk anakku.”Dalam hati, aku tahu: saatnya aku melangkah lebih jauh, meski dengan penuh keraguan.Bab 11 – Pintu yang TertutupAku sudah mantap. Kalau ingin usahaku berkembang, aku harus berani. Tapi ternyata, keberanian saja tidak cukup.Pagi itu aku memberanikan diri menemui tetanggaku, Bu Marni, yang terkenal suka meminjamkan uang pada orang-orang kampung.“Bu, saya mau pinjam uang. Nanti saya cicil tiap minggu. InsyaAllah saya bisa, dagangan saya laris.”Bu Marni menatapku dari ujung kaki sampai kepala. Senyumnya tipis, tapi penuh sinis.“Lha, Jumini… kamu itu dulu diusir mertua, kan? Suamimu entah ke mana, hidupnya juga nggak jelas. Aku takut kamu nggak bisa balikin uangku.”Aku menggigit bibir, menahan perih.“Bu, saya hanya butuh untuk beli kompor sama wajan besar. Saya serius mau bayar.”Tapi ia hanya menggeleng.“Maaf, aku nggak bisa bantu.”Aku pulang dengan langkah gontai.Keesokan harinya aku coba ke koperasi. Kata orang, lebih mudah pinjam di sana. Tapi setelah mendengar statusku yang hanya penjual gorengan tanpa jaminan apa-apa, petugasnya juga menolak halus.“Maaf, Bu Jumini. Kalau tidak ada aset yang bisa dijaminkan, sulit bagi kami memberi pinjaman.”Satu demi satu pintu kutok, tapi yang kudapat hanya penolakan.Rasanya seperti kembali ke masa lalu, saat aku diusir Marsih dan Topan tanpa belas kasihan. Dunia seakan tak percaya padaku.Malam itu aku menangis diam-diam di tikar, sementara anakku terlelap.“Ya Allah… apa aku salah bermimpi? Apa aku harus puas hanya jadi penjual gorengan kecil seumur hidup?”Air mataku jatuh membasahi bantal. Tapi jauh di dasar hatiku, ada bisikan lembut:Jangan menyerah. Masih ada jalan lain.Bab 12 – Tangan yang TerulurHari itu aku benar-benar letih. Seharian aku berjualan, tapi pikiranku melayang ke mana-mana.Setiap kali melihat wajan kecilku yang penuh gorengan, aku merasa seperti sedang terjebak dalam kandang sempit. Ingin keluar, tapi tak tahu pintu mana yang harus diketuk.Sore itu, saat aku sedang membereskan dagangan, Rini datang lagi. Ia tersenyum cerah sambil membawa bungkusan.“Bu Jumini, saya bawakan sedikit kue dari acara tadi. Tadi tamu-tamu nyari gorengan ibu, lho. Sayang tadi saya nggak bisa pesen banyak, soalnya ibu bilang terbatas.”Aku hanya bisa tersenyum kecut.“Mbak Rini… sebenarnya saya ingin terima pesanan lebih banyak. Tapi peralatan saya seadanya. Saya sudah coba cari pinjaman, tapi semua menolak.”Rini menatapku lama, lalu duduk di tikar bambu rumahku.“Ibu tahu kenapa saya sering pesan di sini? Karena gorengan ibu bukan hanya enak, tapi dibuat dengan hati. Saya percaya usaha ibu bisa maju. Kalau masalah modal… izinkan saya membantu.”Aku terperanjat.“Mbak… maksudnya?”Ia mengeluarkan amplop dari tasnya, lalu mendorongnya ke arahku.“Ini tabungan saya. Nggak banyak, tapi cukup untuk beli kompor dan wajan besar. Anggap saja titipan rezeki. Ibu nggak perlu langsung bayar, kapan mampu saja.”Aku tercekat. Mataku panas. Tangan ini gemetar saat menyentuh amplop itu.“Tapi, Mbak… saya nggak enak. Bagaimana kalau saya gagal? Bagaimana kalau saya nggak bisa balikin?”Rini menatapku dalam, lalu berkata pelan,“Kalau ibu gagal, berarti saya juga ikut gagal. Tapi saya yakin, ibu tidak akan mengecewakan saya.”Air mataku jatuh. Rasanya seperti ada cahaya kecil menembus pekatnya malam hidupku.“Terima kasih, Mbak Rini… sungguh, saya nggak tahu bagaimana membalas kebaikan ini.”Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa ada orang yang benar-benar percaya padaku.Dan malam itu aku berjanji dalam hati:Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku akan buktikan bahwa aku bisa berdiri, bahkan setelah dihancurkan.Bab 13 – Api PertamaPagi itu, untuk pertama kalinya aku menyalakan kompor baru. Api birunya menyala mantap, seolah ikut bersemangat menemaniku membuka lembaran hidup yang baru.Wajan besar yang baru kubeli kutaruh di atasnya, lalu kuisi dengan minyak segar. Suaranya berdesis saat panas, membuat hatiku ikut bergelora.“Bismillah…” bisikku pelan.Aku mulai membuat gorengan dalam jumlah yang lebih banyak. Pisang tanduk kupotong tebal, tempe kupotong rapi, tahu kuisi dengan adonan pedas.Tanganku cekatan, meski keringat bercucuran. Ada rasa bahagia yang tak bisa kusembunyikan.Siang harinya, Rini datang menjemput pesanan. Ia tersenyum puas melihat dua kardus penuh gorengan tersusun rapi.“Luar biasa, Bu Jumini! Nah, ini yang saya maksud. Orang-orang pasti senang.”Dan benar saja. Tak lama setelah itu, satu per satu pelanggan mulai datang lebih banyak. Ada yang sengaja mampir karena dengar kabar gorengan Jumini enak, ada juga yang awalnya cuma coba lalu ketagihan.Aku bahkan mulai dapat pesanan untuk acara kecil-kecilan.Tapi di balik itu semua, rasa lelah semakin menjadi-jadi. Badan ini sering gemetar karena kurang tidur. Malam harus menyiapkan bahan, pagi mulai menggoreng, siang melayani pembeli.Kadang aku bertanya pada diriku sendiri,“Mampukah aku terus begini?”Namun setiap kali aku melihat anakku makan lahap dari hasil kerja keras ini, aku kembali menguatkan hati.“Aku harus kuat. Aku tidak boleh menyerah.”Malam itu, sambil menatap wajan besar yang masih berkilau, aku tersenyum kecil.Api pertama sudah kutyalakan. Kini aku harus menjaga agar api ini tak pernah padam.Bab 14 – Bisik-Bisik di Balik PagarHari-hari belakangan, warung gorenganku tak pernah sepi. Dari pagi sampai sore, selalu saja ada orang yang mampir.Awalnya aku senang. Rasanya semua kerja keras ini mulai terbayar. Tapi ternyata, kesuksesan kecil ini juga membawa masalah baru.Suatu pagi, saat aku sedang menyiapkan adonan, telingaku menangkap suara lirih dari luar pagar.“Lihat tuh si Jumini. Dulu diusir mertua, sekarang sok kaya gara-gara gorengan.”“Ah, palingan ada yang ngedukung di belakang. Mana mungkin janda bisa segitu cepat naiknya.”Dadaku panas mendengar kata-kata itu. Aku pura-pura tidak dengar, tapi hatiku seperti ditusuk.Siangnya, seorang tetangga lain datang, bukan untuk membeli, tapi hanya melirik-lirik dengan senyum sinis.“Wah, Bu Jumini, warungnya makin rame ya. Hati-hati lho, nanti orang sirik.”Aku hanya tersenyum kaku. Dalam hati aku berkata:Orang ini bukan mengingatkan, tapi sebenarnya ikut nyindir.Yang paling membuatku sedih adalah ketika ada gosip sampai ke telinga anakku.“Bu, tadi temanku bilang katanya kita kaya karena Ibu punya laki-laki yang bantu. Itu benar nggak, Bu?”Anakku menatapku polos, dengan mata bening penuh rasa ingin tahu.Aku hampir menangis saat itu juga. Kutegakkan punggungku dan kuusap rambutnya.“Tidak, Nak. Semua ini dari kerja keras kita berdua. Orang boleh bicara apa saja, tapi yang tahu kebenarannya hanya kita.”Malamnya aku terdiam lama di depan tikar bambu. Gosip itu membuatku sadar:Di dunia ini, bahkan ketika kau berusaha jujur dan bekerja keras, selalu ada yang berusaha meruntuhkanmu dengan lidah mereka.Tapi aku menggenggam erat kedua tanganku.Aku tidak akan tumbang hanya karena omongan orang. Mereka bisa bicara apa saja. Yang penting, aku terus berjalan.Bab 15 – Bayangan dari Masa LaluSiang itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya. Aku baru saja selesai mengangkat gorengan terakhir ketika sebuah suara asing—tapi familiar—memanggil namaku dari depan warung.“Jumini…”Aku terdiam. Suara itu membuat bulu kudukku meremang. Perlahan aku menoleh.Dan di sanalah dia berdiri—Topan. Laki-laki yang dulu kusebut suami, tapi tak pernah membelaku saat aku dihina, bahkan diusir dari rumah orang tuanya.Wajahnya tampak lebih tua, tubuhnya kurus, matanya sayu. Tapi senyumnya masih sama, senyum yang dulu pernah membuatku rela mengorbankan segalanya.Bedanya, kini senyum itu tak lagi berarti apa-apa bagiku.“Aku… cuma ingin melihatmu,” katanya pelan. “Dan anak kita.”Darahku mendidih. Aku ingin sekali melemparinya dengan minyak panas. Ingin kuteriakkan semua luka yang masih menempel di dadaku.Tapi aku hanya menatapnya dingin.“Untuk apa kau datang, Topan?” suaraku gemetar, bukan karena takut, tapi karena menahan amarah.“Bukankah dulu kau diam saja ketika ibumu menyeretku keluar rumah? Ketika bajuku dilempar ke jalan? Ketika aku dipanggil perempuan hina?”Topan menunduk. Jemarinya bergetar.“Aku… aku menyesal, Jumini. Aku bodoh. Aku pengecut. Aku tidak bisa melawan orang tuaku waktu itu.”Aku tertawa pendek, getir.“Menyesal? Hahaha… Kau pikir penyesalanmu bisa menghapus delapan tahun pengabdianku yang kau biarkan terinjak-injak? Kau pikir aku butuh penyesalanmu sekarang, setelah aku membangun semua ini dari nol dengan darah dan air mata?”Orang-orang mulai memperhatikan dari kejauhan. Aku tahu gosip baru akan segera lahir dari momen ini.Tapi aku tidak peduli.Topan mendekat selangkah, suaranya memohon, “Aku cuma ingin… kau mau memaafkan. Biar aku bisa sedikit lega.”Aku menatap matanya, dalam-dalam. Ada rasa sakit yang kembali menganga.Tapi aku juga tahu, aku bukan lagi Jumini yang dulu.“Aku tidak butuh kau. Aku tidak butuh penyesalanmu. Aku hanya ingin kau tahu: aku berhasil tanpa dirimu. Jadi jangan pernah lagi kau datang mengusik hidupku.”Aku membalikkan badan, meninggalkannya berdiri kaku di depan warung.Tapi dalam hati, luka lama yang kupikir sudah kering… terasa perih kembali.Bab 16 – Lidah Lebih Tajam dari PisauSejak kedatangan Topan kemarin, suasana kampung jadi seperti pasar malam: ramai, gaduh, penuh suara-suara yang menusuk telinga.Bukan suara musik, tapi suara gosip.Aku tahu, dari bisikan kecil di warung tetangga sampai obrolan keras di pos ronda, semua orang membicarakan aku.“Katanya Topan datang lagi, nyari Jumini.”“Pantas saja Jumini bisa kaya. Ternyata masih ada main sama mantan suami.”“Kasihan anaknya, dibesarkan di tengah aib begitu.”Aku pura-pura tak dengar. Tapi kupingku tak bisa menutup. Lidah-lidah itu lebih tajam daripada pisau dapur yang kugunakan setiap hari.Anakku pun ikut jadi korban. Pulang sekolah, ia menunduk, wajahnya merah padam.“Bu…” suaranya pelan, nyaris tak terdengar. “Teman-teman bilang aku anak haram. Mereka bilang Ayah datang ke sini karena masih sayang sama Ibu.”Jantungku serasa diremas. Aku meraih bahunya, memaksanya menatap mataku.“Dengar, Nak. Kau bukan anak haram. Kau lahir sah dari pernikahan. Dan apa pun yang orang bilang, mereka tidak tahu kebenaran kita. Kau harus kuat.”Ia mengangguk, tapi matanya basah. Saat itu aku ingin sekali menyeret mulut-mulut yang berani menyakiti anakku, menyumpalinya dengan gorengan panas.Malamnya, aku duduk lama di beranda, menatap jalan yang sepi.Kenangan saat diusir dulu kembali menghantui. Saat itu aku terhina, tapi diam. Kini, aku punya kekuatan, tapi tetap saja jadi sasaran hinaan.Aku menggenggam tanganku erat-erat.Kalau dulu aku bisa bertahan saat tak punya apa-apa, sekarang aku harus lebih kuat. Aku tidak boleh kalah hanya karena omongan manusia.Tapi jauh di lubuk hati, aku tahu: luka yang dirobek oleh kata-kata lebih sulit sembuh daripada luka fisik.Bab 17 – Kedatangan yang Membakar LukaPagi itu, ketika aku sedang menyapu halaman, sebuah suara serak memanggil dari luar pagar.“Jumini…”Aku langsung tahu siapa pemilik suara itu.Aku menegakkan badan, menatap dengan dingin. Dan benar saja, di depan rumahku berdiri Marsih—perempuan tua yang dulu melempar bajuku ke jalan, yang meludahiku sambil menyebutku perempuan hina.Kini tubuhnya kurus, wajahnya keriput, matanya cekung. Ia berpegangan pada tongkat kayu, napasnya terengah.Tapi bagiku, semua itu tidak menghapus ingatan tentang bagaimana ia menginjak harga diriku dulu.“Apa lagi maumu?” tanyaku ketus.Marsih menarik napas panjang, seolah sedang menahan gengsi.“Aku dengar orang-orang ngomong yang macam-macam. Katanya Topan sering datang ke sini. Katanya kalian masih ada hubungan. Aku datang untuk… menengahi. Jangan sampai nama baik keluarga kita makin hancur.”Aku tertawa, sinis.“Nama baik? Kau bicara tentang nama baik? Waktu kau usir aku, kau teriak-teriak di depan tetangga, bilang aku bawa sial. Waktu itu, apa kau peduli dengan nama baikku?”Marsih menunduk, wajahnya makin keruh.“Aku… aku salah, Jumini. Aku memang keterlaluan dulu. Tapi sekarang, apa salahnya kita berdamai? Aku ini sudah tua. Aku ingin meninggal dengan tenang, tanpa dendam.”Kata-katanya menusuk, tapi bukannya meluluhkan, justru membuat darahku mendidih.Aku mendekat, menatap matanya tajam.“Dendam ini bukan aku yang cari, Bu. Dendam ini kau yang tanam. Sekarang kau datang membawa kata ‘damai’, setelah aku berhasil bangkit sendiri? Jangan pikir aku selemah dulu.”Marsih terdiam. Aku bisa melihat matanya berkaca-kaca.Tapi aku sudah kebal dengan air mata orang yang dulu tak peduli pada tangisku.“Pergi, Bu,” kataku dingin. “Kalau kau masih ingin hidup lama, jangan pernah injakkan kakimu di rumahku lagi.”Aku berbalik masuk, menutup pintu dengan keras.Tapi di balik ketegasanku, ada sesuatu yang mengganggu dada: sebuah perasaan samar, entah iba, entah sekadar bayangan luka lama yang kembali mengintip.Bab 18 – Mimpi yang Menggores LukaMalam itu aku tak bisa tidur nyenyak. Pikiranku masih panas oleh kedatangan Marsih.Kata-katanya terngiang-ngiang di kepala: “Aku ingin meninggal dengan tenang, tanpa dendam.”Aku tertidur dalam gelisah, lalu mimpi itu datang.Dalam mimpi, aku kembali ke masa lalu. Aku berdiri di halaman rumah mertua, tubuhku gemetar, tangan menggenggam anakku yang masih balita.Di depanku, Marsih berteriak, wajahnya merah, matanya penuh kebencian.“Pergi kau, perempuan pembawa sial! Bawa anak haram itu jauh dari rumahku!”Aku menangis, memohon.“Bu, jangan usir saya… saya nggak punya tempat lagi…”Tapi jawabannya adalah baju-bajuku yang dilempar ke jalan, sandal yang dihempaskan, dan tawa sinis orang-orang yang menonton.Aku berlari, menembus gelap malam dengan kaki telanjang, anakku menangis di gendongan.Aku terbangun dengan teriakan, napasku memburu, keringat dingin membasahi punggungku.Aku menatap sekeliling kamar, memastikan bahwa itu hanya mimpi. Tapi rasa sakitnya nyata, sama seperti dulu.Anakku yang sudah remaja masuk tergesa, wajahnya cemas.“Bu, Ibu kenapa? Tadi teriak…”Aku tersenyum hambar, mengusap keringat di wajah.“Tidak apa-apa, Nak. Cuma mimpi buruk.”Ia masih menatapku khawatir, lalu memelukku.Pelukan itu membuat dadaku sesak. Aku sadar, dendamku bukan hanya padaku sendiri, tapi juga membebani anakku.Aku menatap langit-langit kamar, bergumam dalam hati:Kenapa luka itu terus menghantui, bahkan setelah sepuluh tahun? Kenapa bayangan masa lalu masih menjeratku, seolah aku tak pernah benar-benar bebas?Bab 19 – Pertanyaan yang MengusikPagi menjelang, tapi hatiku masih muram. Aku duduk di beranda rumah, menatap sawah yang mulai menguning.Udara segar tak mampu menenangkan batinku.Aku teringat mimpi buruk semalam, teringat wajah Marsih yang penuh keriput saat memohon.Aneh rasanya, aku yang dulu selalu menjadi pihak lemah kini punya kekuatan penuh. Tapi kenapa rasa puas itu tak benar-benar ada?Aku menghela napas panjang.Apa dendam ini benar-benar membahagiakan aku? Atau hanya membuat luka lama tetap terbuka?Anakku keluar membawa teh hangat. Ia duduk di sampingku, menyerahkan cangkir.“Bu, tadi malam Ibu teriak-teriak lagi. Ibu sering mimpi buruk ya?”Aku terdiam sebentar sebelum menjawab.“Iya, Nak. Kadang masa lalu itu nggak gampang hilang, meskipun sudah lama sekali.”Ia menatapku, matanya polos tapi tajam.“Kalau gitu… kenapa Ibu masih terus simpan dendam? Bukannya itu bikin Ibu sakit sendiri?”Pertanyaannya membuat dadaku seperti ditusuk.Aku menatap wajahnya yang sudah beranjak dewasa. Dialah alasanku bertahan dulu, saat aku diusir, saat aku terpuruk. Tapi kini, kata-katanya justru jadi cermin yang memantulkan semua kelemahanku.Aku meneguk teh perlahan, mencoba menelan gumpalan emosi di tenggorokan.“Kadang… dendam itu jadi bahan bakar. Kalau bukan karena itu, mungkin Ibu nggak akan bisa berdiri sejauh ini.”Anakku mengangguk, tapi wajahnya murung.“Kalau bahan bakarnya sudah bikin mesin rusak, apa masih perlu disimpan, Bu?”Aku terdiam.Kata-katanya terus berputar di kepalaku. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar mempertanyakan: benarkah aku masih butuh dendam ini?Bab 20 – Kabar Tentang TopanSiang itu, aku sedang menata laporan keuangan usahaku ketika suara pintu digedor keras.Aku mengangkat kepala, sedikit kesal. Seorang lelaki paruh baya berdiri di ambang pintu, wajahnya lusuh, matanya sayu. Aku mengenalnya: itu paman jauh dari pihak Topan.“Jumini…” suaranya bergetar, seperti orang menahan sesuatu.Aku menatapnya datar. “Ada apa datang ke sini?”Ia menunduk, lalu berkata lirih, “Topan… sakit keras. Sudah berminggu-minggu. Keadaannya makin parah. Kami datang… berharap kau bisa menjenguk.”Tanganku berhenti menulis. Dadaku terasa seperti dipukul. Nama itu—Topan—masih mampu mengguncang hatiku, meski sudah sepuluh tahun aku membangun hidup tanpa dirinya.Aku tertawa kecil, getir.“Menjenguk? Setelah dia diam saja waktu aku diusir dari rumahnya? Setelah dia membiarkan istrinya dipermalukan, dicaci, dihinakan di depan orang-orang?”Paman itu menunduk makin dalam.“Aku tahu. Tapi sekarang dia terbaring, lemah, nggak bisa berbuat apa-apa. Dia terus menyebut namamu… dan nama anakmu. Katanya, dia ingin minta maaf sebelum terlambat.”Kata-kata itu menamparku. Ada bagian kecil dari diriku yang masih bergetar mendengarnya. Tapi amarah yang menahun segera mengalir lagi, menutup semua keraguan.Aku mendengus, menatap paman itu dengan tajam.“Sepuluh tahun dia diam, sepuluh tahun aku yang menanggung semua luka. Sekarang setelah tubuhnya hancur, dia baru ingat aku? Terlambat.”Paman itu tak membantah, hanya menatapku dengan mata penuh iba. Lalu ia pamit dengan wajah murung, meninggalkan aroma getir di udara.Aku kembali duduk, tapi tanganku gemetar. Pena yang kupegang jatuh.Air mataku menetes, entah karena marah atau karena luka lama yang tiba-tiba terbuka lagi.Aku berbisik pada diriku sendiri:Topan… kenapa harus sekarang? Kenapa kau baru ingat aku ketika dunia sudah menelanjangi kelemahanmu?Bab 21 – Luka yang MengangaMalam itu aku tak bisa tidur.Aku berbaring, menatap langit-langit kamar, tapi bayangan wajah Topan muncul terus. Wajahnya dulu saat masih gagah, wajahnya saat diam membisu ketika aku dipermalukan, dan kini bayangan tentang tubuhnya yang terbaring lemah, menyebut-nyebut namaku.Aku memejamkan mata, mencoba menepis semua itu. Tapi semakin aku mengusir, semakin kuat kenangan itu menempel.Kenapa aku harus peduli? bisikku pada diri sendiri.Dia bukan siapa-siapa lagi bagiku. Lelaki itu sudah mati dalam hidupku sejak hari aku diusir.Tapi… suara paman siang tadi kembali terngiang: “Dia terus menyebut namamu… dan nama anakmu.”Aku menggeliat gelisah. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.Aku benci—benci karena masih ada ruang dalam hatiku untuk merasa peduli. Benci karena luka lama yang kukira sudah tertutup ternyata masih menganga, mengeluarkan darah setiap kali namanya disebut.Anakku masuk ke kamar, wajahnya khawatir.“Bu, kenapa nangis?”Aku buru-buru menghapus air mata. “Nggak, nggak apa-apa.”Tapi ia duduk di tepi ranjang, menatapku dalam.“Aku dengar tadi siang ada kabar tentang Ayah. Apa Ibu nggak mau jenguk?”Aku terdiam.“Ayahmu… bukan ayah yang baik. Dia membiarkan Ibu diinjak-injak, tidak membela, tidak melindungi. Kenapa aku harus menjenguk orang seperti itu?”Anakku menggenggam tanganku.“Tapi dia tetap ayahku, Bu. Bagaimanapun, darahku mengalir dari dia. Aku nggak bisa bohong kalau aku pengin lihat dia, walau cuma sekali.”Dadaku sesak. Kata-kata itu seperti belati, mengoyak dinding yang selama ini kupertahankan.Aku ingin berkata tegas: jangan harap aku mau.Tapi suaraku tercekat.Aku hanya bisa menunduk, menahan tangis yang kian deras.Di dalam hati, pertanyaan itu terus berputar:Apakah aku cukup kuat untuk menghadapi dia lagi? Atau aku akan kembali hancur saat menatap wajahnya?Bab 22 – Keputusan yang PahitPagi buta aku sudah duduk di meja makan, secangkir kopi hitam mengepul di hadapanku. Tapi pahitnya kopi itu tak seberapa dibanding getir yang sedang kurasakan.Aku memikirkan ucapan anakku semalam—tentang ayahnya.Dan aku memikirkan diriku sendiri, luka yang belum sembuh, dendam yang belum tuntas.Lalu aku membuat keputusan:“Aku tidak akan datang.”Kalimat itu kuucapkan lirih, tapi mantap. Aku menegaskan pada diriku sendiri, seolah harus mengikat janji di dalam hati.“Sepuluh tahun aku membangun hidup dari nol. Sepuluh tahun aku dipaksa kuat setelah diinjak harga diriku. Kalau aku datang sekarang, semua sia-sia.”Aku meneguk kopi, pahitnya menempel di lidah.Namun entah kenapa, setelah membuat keputusan itu, bukannya lega, aku malah merasa kosong. Ada ruang hampa di dadaku yang tak bisa kuisi.Hari-hari berikutnya, kabar tentang Topan semakin sering kudengar. Ada yang bilang kondisinya makin kritis. Ada yang bilang ia terus menyebut namaku, memohon aku datang.Aku menutup telinga. Berpura-pura sibuk dengan pekerjaanku.Tapi setiap malam, saat sendiri, aku kembali teringat.Aku ingin kuat, ingin tetap berdiri di sisi dendamku.Tapi hatiku goyah.Dan pada malam keempat, aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri.“Jumini,” kataku pada diri sendiri, “sampai kapan kau mau membiarkan luka lama ini mengendalikanmu? Kau benar-benar nggak mau menemuinya, meski mungkin itu kesempatan terakhir?”Pertanyaan itu menusuk, membuatku tercekat.Aku belum punya jawaban.Yang aku tahu, hatiku berperang—antara dendam yang sudah menjadi bagian dari hidupku, dan sisa-sisa cinta lama yang tak mau mati.Bab 23 – Tekanan yang MenghimpitSiang itu, aku baru pulang dari pasar ketika Bu Ratmi, tetangga yang sudah seperti kakak sendiri, menghampiriku.“Min, aku dengar kabar Topan makin parah. Katanya sudah nggak bisa bangun dari ranjang.”Aku hanya diam, menunduk, sibuk menata barang belanjaan ke meja dapur.“Min…” suara Bu Ratmi melembut, “bagaimanapun dia mantan suamimu, ayah dari anakmu. Apa kamu nggak mau jenguk? Kasihan, Min. Orang sakit itu hatinya lembek. Mungkin ini saatnya kamu dan dia saling maafkan.”Aku mendengus, menahan getir.“Maafkan? Apa gampang gitu aja, Rat? Delapan tahun aku diinjak-injak, dipermalukan, ditelantarkan. Sekarang cukup dengan satu kata ‘maaf’ semua selesai? Aku nggak segampang itu.”Bu Ratmi terdiam, menatapku penuh iba.Aku tahu dia bukan ingin menyudutkanku, tapi kalimatnya tetap menusuk.Tak berhenti di situ, malamnya seorang kerabat datang. Paman yang dulu membawakan kabar sakitnya Topan.“Min, kau boleh dendam sama Marsih. Tapi Topan… dia cuma salah karena jadi anak yang takut sama ibunya. Sekarang dia sakit, mungkin nggak lama lagi. Apa kamu tega kalau dia pergi tanpa sempat bertemu anak-istrinya lagi?”Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Kata-katanya seperti palu menghantam dinding pertahananku.Aku ingin berteriak: aku sudah cukup menderita! Jangan suruh aku tambah menderita!Tapi yang keluar hanya air mata, jatuh tanpa bisa kutahan.Semakin hari, semakin banyak orang yang mendesak. Tetangga, saudara jauh, bahkan tokoh kampung. Semua seakan kompak menasehatiku agar menjenguk Topan.Aku merasa terpojok.Seolah-olah dendamku, lukaku, semua dianggap remeh hanya karena ada orang sakit yang ingin ditemui sebelum mati.Padahal… akulah yang pernah mati berkali-kali karena perlakuan mereka.Malam itu aku duduk di beranda, angin dingin menusuk tulang.Aku berbisik pada langit:“Tuhan… apakah aku salah kalau aku tetap tidak mau menemuinya?”Tak ada jawaban, hanya sunyi.Tapi sunyi itulah yang membuat hatiku semakin kacau.Bab 24 – Anak yang MembangkangAku baru selesai menutup pintu toko ketika suara pintu kamar anakku terdengar terbanting keras.“Bu, aku nggak tahan lagi!” serunya dengan wajah merah menahan emosi.Aku menatapnya, bingung sekaligus kaget.“Apa maksudmu, Nak?”Ia menatapku dengan mata berkaca-kaca.“Sudah seminggu aku dengar kabar Ayah makin parah. Semua orang ngomongin itu. Aku nggak bisa diem aja. Kalau Ibu nggak mau jenguk, biar aku yang pergi!”Dadaku terasa diremas.“Jangan coba-coba, Nak! Kau nggak tau rasanya dihina, ditelantarkan, diusir kayak binatang dari rumah itu!” suaraku meninggi, penuh kemarahan.Anakku menahan air mata, tapi tatapannya tegas.“Aku memang nggak tau semua sakit yang Ibu rasain. Tapi aku tau satu hal: Ayah tetap ayahku. Aku berhak melihat dia, meski untuk terakhir kali.”Kalimat itu membuat kakiku gemetar. Aku ingin menampar kata-katanya, tapi lidahku kelu.Aku hanya bisa terdiam, membiarkan anakku melangkah pergi ke kamar, meninggalkanku dengan perasaan campur aduk.Malamnya aku duduk sendirian di ruang tengah, lampu sudah kupadamkan. Gelap.Aku mendengar isak tertahan dari kamar anakku.Suara yang dulu sering kudengar dari diriku sendiri, bertahun-tahun lalu, ketika aku ditinggalkan tanpa daya.Aku ingin masuk, memeluknya. Tapi tubuhku terpaku.Aku takut jika aku sendiri yang akhirnya luluh, hanya karena tangisan itu.Namun dalam hati kecilku, aku tahu: aku tidak akan bisa menahan anakku terlalu lama.Karena ia punya hak atas ayahnya, hak yang tak bisa kuhapus meski dengan dendam sebesar apapun.Dan itu membuatku semakin terhimpit.Bab 25 – Kepergian Diam-DiamPagi itu, rumah terasa terlalu sunyi.Biasanya anakku sudah ribut mencari seragam atau sarapan, tapi kali ini tak ada suaranya sama sekali.Aku panggil namanya. Tak ada jawaban.Kuketik pesan di ponselnya. Centang satu.Panik mulai merayapi dada.Kukitari rumah, kamar, dapur, halaman. Kosong.Lalu aku menemukan sebuah kertas kecil di atas meja makan. Tulisan tangannya yang tergesa:"Bu, maaf. Aku harus pergi melihat Ayah. Aku nggak mau nyesel seumur hidup."Tanganku gemetar memegang kertas itu. Lututku terasa lemas, aku hampir jatuh.“Astaga… Nak… kenapa kau tega begini?” suaraku tercekat, hanya bisa berbisik pada ruangan kosong.Kemarahan menyergap, bercampur rasa takut.Aku ingin marah karena anakku berani membangkang.Tapi di sisi lain, hatiku dihantam rasa bersalah.Mungkin memang aku yang terlalu keras.Mungkin dendamku yang menutup mataku, sampai aku lupa kalau anakku juga punya perasaan sendiri.Aku duduk di kursi rotan, memeluk kertas itu seakan-akan itu adalah tubuh anakku.Air mataku menetes, tapi aku cepat-cepat mengusapnya.Tidak, aku tidak boleh rapuh.Kalau aku rapuh, aku akan kalah oleh masa lalu.Namun malam itu, ketika angin berdesir lewat jendela, bayangan anakku yang sedang duduk di samping ranjang Topan menghantui pikiranku.Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.Aku tidak tahu bagaimana perasaan anakku saat melihat ayahnya yang sakit.Yang aku tahu, perlahan, dinding yang kubangun bertahun-tahun ini mulai retak.Bab 26 – Kabar dari Rumah SakitSiang itu, ponselku bergetar. Nomor anakku muncul di layar.Aku buru-buru mengangkat.“Hallo, Nak? Kamu di mana?!” suaraku terdengar cemas, lebih cemas daripada marah.Hening sebentar. Lalu suara lirih anakku terdengar, serak, seperti habis menangis.“Bu… aku di rumah sakit.”Jantungku serasa berhenti berdetak.“Rumah sakit? Kenapa? Kamu sakit?”“Bukan aku, Bu…” suaranya pecah. “Ayah… Ayah kritis. Dokter bilang mungkin waktunya nggak lama lagi.”Aku terdiam. Ruangan mendadak gelap.Topan. Lelaki itu. Lelaki yang dulu membiarkanku diusir, membiarkanku dipermalukan, membiarkanku menanggung beban seorang diri.Kupikir aku tidak akan peduli.Kupikir aku hanya akan merasa puas mendengar kabar itu.Tapi nyatanya, dadaku sesak.“Bu… datanglah. Tolong…” suara anakku memohon, membuat mataku panas.“Aku nggak sanggup sendirian. Aku butuh Ibu di sini.”Aku menggenggam ponsel erat-erat, hingga jemariku sakit.Air mataku jatuh, meski aku buru-buru menyekanya.“Aku… aku nggak tahu, Nak,” jawabku terbata.Suara hatiku berperang—antara dendam yang masih membara, dan kasih sayang pada anakku yang minta ditemani.Telepon terputus.Aku terduduk lemas di kursi, menatap kosong ke arah pintu rumah.Dendamku masih ada. Luka itu belum sembuh.Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama… aku mulai goyah.Bab 27 – Pertarungan BatinAku duduk di tepi ranjang, menatap koper hitam yang sudah lama tak kugunakan.Di dalam hatiku, ada suara yang saling berteriak."Pergi! Anakmu butuh kamu. Topan sedang sekarat. Kalau kau tak datang, anakmu akan menanggung semua sendirian."Lalu ada suara lain, lebih keras, lebih dingin."Jangan pergi! Ingat bagaimana mereka memperlakukanmu. Ingat hinaan, ingat tubuhmu yang dilempar keluar rumah. Ingat tangisanmu malam itu."Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan.Tiba-tiba semua kenangan buruk berloncatan kembali: wajah Marsih yang marah, baju-bajuku berserakan di jalan, Topan yang hanya berdiri tanpa suara, membiarkan aku diusir seperti sampah.Tanganku gemetar.Aku meraih koper, lalu meletakkannya lagi.Aku berjalan ke pintu, lalu kembali ke ranjang.“Ya Allah…” bisikku pelan, “kenapa Kau uji aku begini? Kenapa setelah aku kuat berdiri, Kau pertemukan aku lagi dengan luka lama ini?”Di luar, hujan mulai turun deras. Seolah-olah langit ikut menertawakan kebimbanganku.Anakku kembali mengirim pesan:"Bu, kalau Ibu nggak mau ketemu Ayah, tolong temani aku saja. Aku butuh Ibu di sini."Pesan itu membuat dadaku seperti ditusuk.Bukan lagi soal Topan, bukan lagi soal Marsih.Ini tentang anakku. Tentang darah dagingku yang memohon.Aku menutup mata, mengambil napas panjang.Keputusan harus dibuat.Aku sadar, apapun yang kulakukan nanti… akan mengubah sisa hidupku.Bab 28 – Jalan Menuju Rumah SakitPagi itu aku berdiri di depan cermin. Wajahku tampak letih, tapi mataku menyala—antara ragu dan tekad.Aku akhirnya membuka koper dan memasukkan beberapa baju seadanya.Bukan untuk menjenguk Topan.Aku bilang pada diriku sendiri, ini semua untuk anakku.Bukan untuk dia. Tidak akan pernah.Aku memesan mobil sewaan. Saat pintu terbuka, udara dingin pagi menusuk kulitku, membawa kembali aroma masa lalu—aroma debu, tanah basah, dan luka lama yang belum kering.Sepanjang perjalanan, aku terdiam. Jalanan yang kulalui perlahan memunculkan ingatan: warung kecil tempat aku dulu membeli sayur untuk mertua, gang sempit tempat aku sering menunggu Topan pulang kerja, dan tikungan jalan di mana dulu aku berdiri menangis saat mereka melempar bajuku.Dadaku sesak.Tapi kali ini aku tidak lagi perempuan lemah yang mereka hina. Aku datang sebagai Jumini yang berbeda—yang sudah ditempa sakit hati, yang sudah berdiri di atas kakiku sendiri.Setibanya di rumah sakit, langkahku berat. Aroma obat-obatan bercampur dengan suara mesin medis membuat bulu kudukku meremang.Aku melihat anakku berdiri di depan ruang ICU, matanya sembab, tubuhnya gemetar.“Bu…” panggilnya lirih, lalu ia memelukku erat.Pelukan itu membuat pertahananku runtuh.Aku menangis, tapi tangisku diam, hanya bergemuruh di dada.Lalu mataku menatap pintu ruang ICU.Di balik pintu itu, Topan berbaring antara hidup dan mati.Lelaki yang kucintai, sekaligus yang menghancurkan hidupku.Kakiku melangkah pelan, mendekati pintu itu.Aku tidak tahu apakah aku siap melihatnya.Tapi satu hal jelas: aku sudah berada di sini, dan aku tidak bisa mundur lagi.Bab 29 – Pertemuan yang Tak TerdugaAku melangkah masuk ke ruang ICU dengan tubuh gemetar. Bau antiseptik menusuk hidungku, suara mesin monitor berdetak pelan—seolah-olah menghitung detik terakhir yang dimiliki seseorang.Di sana, di ranjang putih dengan selang dan jarum menempel di tubuhnya, terbaringlah Topan.Lelaki itu kurus, jauh berbeda dengan sosok yang dulu kukenal.Wajahnya pucat, bibirnya kering, matanya setengah terbuka seperti masih berusaha melawan.Aku tercekat.Semua rasa marah yang selama ini kujaga tiba-tiba bercampur aduk dengan iba.Aku ingin berteriak, ingin menampar wajah itu, ingin bertanya kenapa dulu dia diam saat aku dihina, diusir, diludahi martabatku.Tapi di saat yang sama, aku juga ingin menangis dan mengatakan betapa aku pernah mencintainya sepenuh hati.Tanganku terangkat, ragu-ragu menyentuh lengannya.Topan perlahan membuka mata.Aku melihatnya berkedip, berusaha mengenali wajahku.“Jum… ini… ni…,” suaranya parau, hampir tak terdengar.Air mataku jatuh seketika.Aku ingin marah.Aku ingin mengatakan, “Ya! Aku Jumini, perempuan yang kau biarkan dipermalukan!”Tapi lidahku kelu.Topan tersenyum tipis, lalu mencoba mengangkat tangannya. Aku mendekat, membiarkan jari-jarinya menyentuh punggung tanganku.Sentuhan itu dingin, lemah, seperti ranting rapuh yang hampir patah.“Ma… af…” katanya terputus-putus.Hanya satu kata itu, tapi rasanya menusuk jantungku lebih dalam dari semua hinaan yang pernah kudengar.Aku berdiri terpaku, tidak tahu apakah harus menerima atau menolak kata-kata itu.Dan untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun, aku benar-benar kehilangan kendali atas hatiku sendiri.Bab 30 – KeputusanAku berdiri di samping ranjang itu cukup lama, menatap wajah Topan yang lemah.Satu kata “maaf” darinya seperti menghantam benteng keras yang kubangun bertahun-tahun.Aku teringat semua:Bagaimana aku diusir dengan hinaan, bagaimana bajuku dilempar ke jalan, bagaimana aku berjalan dengan anak kecil di pelukan, menangis tanpa arah.Tapi aku juga teringat malam-malam ketika Topan dulu pernah menemaniku makan seadanya, tertawa bersamaku, membisikkan janji sederhana yang pernah membuatku percaya.Air mataku jatuh deras.Aku berbisik pelan, suara tercekat, “Topan… kalau saja waktu bisa diputar, mungkin semua tak akan begini.”Ia berusaha bicara lagi, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Matanya basah, menatapku penuh penyesalan.Aku tahu, meski aku ingin mendengar lebih banyak, ia tidak lagi punya tenaga untuk berkata panjang.Tanganku menggenggam tangannya erat.Bukan lagi karena cinta, bukan pula karena benci.Aku hanya ingin mengakhiri semua ini tanpa meninggalkan luka baru.“Topan… aku tidak bisa melupakan semua yang terjadi. Tapi aku tidak mau hidup dengan dendam lagi. Aku memaafkanmu…” suaraku pecah, “…meski aku tak bisa kembali jadi istrimu.”Mata Topan berkaca-kaca. Senyum tipis muncul di wajahnya, lalu perlahan kelopak matanya tertutup kembali.Aku mundur, menatapnya sekali lagi sebelum keluar ruangan.Di luar, anakku berdiri menungguku dengan wajah cemas.Aku mengusap kepalanya dan tersenyum.“Mulai hari ini, kita bebas dari masa lalu,” kataku mantap.Aku berjalan keluar rumah sakit dengan langkah tegak.Di belakangku, suara mesin medis masih berdetak, tapi di dalam diriku—ada ruang baru yang akhirnya lapang.Bukan untuk Topan, bukan untuk Marsih, tapi untuk diriku sendiri.Aku, Jumini, akhirnya merdeka.Epilog – Jalan BaruLima tahun setelah hari itu, aku duduk di beranda rumah besar yang dulu hanya bisa aku bayangkan.Di hadapanku, sawah membentang hijau, angin sore membawa aroma tanah basah yang menenangkan.Anakku kini sudah beranjak dewasa.Ia tumbuh menjadi sosok yang teguh, tidak manja, dan tahu betul arti kerja keras.Kadang aku merasa, luka yang dulu kutanggung justru menjadikannya lebih kuat dari siapapun yang kukenal.Marsih sudah lama tiada.Topan pun pergi tak lama setelah pertemuan terakhir kami di rumah sakit.Aku menangis saat itu, tapi bukan karena kehilangan suami—melainkan karena kehilangan bagian dari diriku yang pernah mencintai dan disakiti dalam waktu yang sama.Hidupku sekarang lebih tenang.Aku tetap bekerja, bukan lagi karena ingin membuktikan sesuatu, tapi karena ingin bermanfaat.Orang-orang di kampung rantau mengenalku sebagai perempuan tangguh, tapi aku hanya ingin dikenal sebagai seorang ibu yang tak menyerah.Malam itu, aku menulis di Story WA:"Hidup bukan soal membalas dendam atau menunggu karma. Hidup adalah soal memilih—apakah kita ingin tetap terikat pada luka, atau melepaskan dan melangkah bebas."Aku menutup buku itu dengan senyum.Aku, Jumini, bukan lagi perempuan yang diusir dengan hinaan.Aku adalah perempuan yang berdiri di atas kakinya sendiri—dan memilih untuk bahagia.

