Udara di kamar kami terasa menyesakkan, atau mungkin hanya paru-paruku yang menolak untuk bekerja sama. Di tanganku, selembar kertas terasa dingin, lebih dingin dari pendingin ruangan yang menyala dalam mode senyap. Sebuah buku rekening. Bukan milikku, bukan pula rekening bersama kami. Buku ini terselip di dalam buku agenda lama Mirza yang tak sengaja kujatuhkan saat membersihkan rak.
Nama yang tertera di atasnya membakar mataku: Mirza & Kalila.
Mirza, suamiku. Pria yang setiap pagi mengecup keningku sebelum berangkat kerja, yang genggaman tangannya selalu terasa seperti rumah. Dan Kalila, tetangga kami. Istri dari Halim, wanita dengan senyum ramah yang sering kami sapa di depan pagar.
Jantungku berdebar bukan karena amarah, melainkan karena kehampaan yang tiba-tiba menganga. Ini bukan sekadar nama. Ini adalah kemitraan, sebuah persekutuan rahasia yang dibuktikan oleh saldo tabungan yang jumlahnya membuatku mual. Tiga ratus juta rupiah. Angka yang tidak pernah kami bicarakan, bahkan dalam mimpi terliar kami sekalipun.
Pintu kamar terbuka. Mirza masuk dengan senyum letih yang selalu kusukai. Ia melonggarkan dasinya, melempar tas kerjanya ke sofa kecil di sudut.
"Malam, Sayang," sapanya, berjalan ke arahku untuk ciuman seperti biasa.
Aku sedikit memalingkan wajah, membuat bibirnya hanya mendarat di pipiku. Ia sedikit terkejut, tapi tak berkomentar.
"Sudah makan?" tanyanya, kini menatapku dengan lebih saksama. "Kamu pucat. Sakit?"
Aku menggeleng pelan. Suaraku terasa tercekat di tenggorokan. Kuletakkan buku rekening itu di atas meja rias, tepat di bawah sorot lampu yang hangat, membiarkan nama-nama itu terpampang jelas.
"Aku hanya... menemukan sesuatu yang menarik hari ini," kataku, suaraku bergetar tipis.
Mirza mengikuti arah pandanganku. Untuk sepersekian detik, aku melihat kepanikan melintas di matanya sebelum ia berhasil memasang topeng tenang. Terlambat. Aku sudah melihatnya.
"Oh, ini," katanya, nadanya dibuat ringan. Ia mengambil buku itu, meliriknya seolah itu adalah brosur tidak penting. "Aku lupa memberitahumu."
"Memberitahuku tentang apa, Mas?" tanyaku, setiap kata terasa berat. "Tentang rekening rahasiamu? Atau tentang partnermu, Kalila?"
Ia menghela napas, duduk di tepi ranjang, dan menepuk ruang kosong di sebelahnya. "Duduk sini dulu, Nabila. Jangan salah paham. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan."
Aku tetap berdiri. Menjaga jarak. "Lalu seperti apa? Jelaskan padaku."
"Ini... ini cuma rekening untuk proyek kecil, Sayang," jelasnya. Matanya menghindari mataku. "Proyek properti. Aku dan Kalila patungan. Dia kan jago soal desain interior, jadi aku mengajaknya kerja sama. Itu saja."
Penjelasannya terdengar masuk akal, tetapi hatiku menolaknya mentah-mentah. Sejak kapan Mirza tertarik dengan proyek properti? Dan mengapa harus Kalila? Mengapa harus diam-diam?
"Proyek kecil dengan dana tiga ratus juta?" balasku, nada sinis tak bisa kusembunyikan. "Dan kenapa harus dirahasiakan dariku? Apa aku tidak cukup kamu percaya untuk tahu 'proyek kecil'-mu ini?"
"Bukan begitu, Nabila," Mirza bangkit, mencoba meraih tanganku. "Aku hanya tidak mau membebanimu. Aku ingin ini jadi kejutan untuk kita nanti."
Tangannya terasa asing di kulitku. Kehangatan yang dulu selalu menenangkanku, kini terasa seperti ancaman. Aku menarik tanganku.
"Kejutan," ulangku pelan, lebih pada diriku sendiri. "Ya, ini memang kejutan."
Malam itu, kami tidur saling memunggungi di ranjang yang terasa terlalu luas. Aku memejamkan mata, tetapi bayangan nama "Kalila" tercetak di balik kelopak mataku. Setiap helaan napas Mirza di belakangku tidak lagi terdengar menenangkan, melainkan seperti desis ular yang bersembunyi di kegelapan.
Keesokan paginya, suasana canggung menyelimuti meja makan. Mirza berusaha bersikap normal, mengoleskan selai di rotinya, berbicara tentang cuaca. Aku hanya menjawab seperlunya. Saat aku sedang mencuci piring di dapur, aku melihatnya dari jendela. Kalila sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya. Ia tertawa, melambaikan tangan ke arah Mirza yang baru saja keluar menuju mobilnya.
Mirza membalas lambaian itu dengan senyum yang terlalu lebar. Senyum yang belum pernah ia berikan padaku pagi ini.
Tiba-tiba, ponsel Mirza yang tergeletak di meja makan bergetar. Sebuah pesan masuk. Tanpa berpikir, tanganku terulur mengambilnya. Nama "Kalila" tertera di layar notifikasi.
Jangan khawatir, Mas. Semalam Halim tidak curiga apa-apa. Semuanya aman.
Duniaku retak. Ini bukan tentang proyek. Ini tentang kebohongan yang jauh lebih dalam dan gelap. Aku meletakkan kembali ponsel itu, tanganku gemetar hebat.
Cinta saja tidak cukup. Aku butuh kebenaran. Dan aku akan menemukannya, dengan atau tanpa Mirza.
Bab 2: Aroma Kebohongan
Pagi datang tanpa kehangatan. Mirza bersiap kerja seolah pertengkaran kami semalam hanyalah mimpi buruk yang ia lupakan begitu terjaga. Ia menyimpul dasinya dengan gerakan yang sama, meminum kopinya dengan ketenangan yang sama. Namun, ada yang berbeda. Ponselnya, yang biasa tergeletak santai di meja makan, kini selalu berada dalam genggamannya atau terbalik di sisinya, layarnya yang gelap seolah menyimpan rahasia.
"Aku berangkat," katanya, mengecup keningku sekilas. Ciuman itu terasa seperti formalitas, sebuah kewajiban dingin yang tidak mencapai matanya.
Aku hanya mengangguk. Lidahku kelu untuk mengucapkan "hati-hati di jalan" yang dulu selalu menjadi mantra pengantar kami. Saat mobilnya menghilang di ujung jalan, rumah ini terasa begitu besar dan kosong. Aku, sang ratu di istana ini, kini merasa seperti seorang tahanan yang curiga pada setiap sudutnya.
Penyelidikanku dimulai dari hal-hal kecil. Aku mulai mencatat dalam benakku: Mirza pulang 15 menit lebih lambat dari Kalila. Mereka tidak lagi pulang bersamaan, seolah sadar sedang diamati. Aku mencoba membuka laptopnya, yang dulu terbuka untukku. Kini, sebuah kotak dialog meminta kata sandi. Nama pernikahan kami, tanggal lahirku, nama ibu kami—semua kut coba. Gagal. Sebuah dinding digital telah didirikan di antara kami.
Rasa putus asa membawaku ke keranjang pakaian kotor. Dulu, aku sering memeriksa saku-saku Mirza sebelum mencuci, sebuah kebiasaan penuh kasih untuk menyelamatkan kertas-kertas penting atau sekadar menemukan permen yang ia lupakan. Kini, kegiatan itu terasa seperti pekerjaan seorang mata-mata. Tanganku gemetar saat merogoh saku jas yang ia kenakan kemarin.
Dan di sanalah aku menemukannya. Bukan permen. Bukan catatan cinta. Sebuah kuitansi dari butik parfum mewah di pusat perbelanjaan. Eau de Parfum, Fleur de Lune. Harganya membuatku menahan napas. Ini bukan untukku. Ulang tahunku masih lama, dan Mirza tahu aku tidak suka aroma bunga yang terlalu kuat.
Lalu, sebuah ingatan menusukku. Minggu lalu, saat aku berpapasan dengan Kalila di depan gerbang, sebuah aroma lembut dan mahal menguar darinya. Aroma bunga lili dan melati di malam hari. Fleur de Lune. Bunga Bulan.
Dunia di sekelilingku seakan berputar. Ini dia. Bukti nyata yang tidak bisa disangkal dengan alasan "proyek kecil". Ini adalah bukti keintiman, sebuah hadiah personal yang diberikan seorang pria kepada wanita yang ingin ia pikat.
Aku menyimpan kertas itu, melipatnya dengan hati-hati seolah itu adalah bukti kejahatan—dan memang begitu. Kejahatan terhadap janji suci kami.
Malamnya, aku menunggu dengan jantung berdebar. Aku menyiapkan makan malam kesukaannya, menata meja dengan lilin, mencoba menciptakan kembali suasana romantis yang telah lama hilang, berharap kelembutan bisa melucuti kebohongannya.
Saat ia duduk, aku meletakkan kuitansi itu di samping piringnya.
"Hadiah untuk klien?" tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar.
Mirza menatap kertas itu, lalu menatapku. Tidak ada lagi kepanikan di matanya seperti saat aku menemukan buku rekening. Yang ada hanya kilat dingin dan rasa jengkel.
"Nabila, kumohon jangan mulai lagi," katanya, nadanya datar. "Ya, itu untuk klien. Seorang klien wanita yang penting. Ini bagian dari pekerjaan."
"Pekerjaan apa, Mas? Pekerjaan membangun hubungan baik dengan istri tetangga kita?" balasku, getir.
Ia meletakkan garpunya dengan kasar, menimbulkan bunyi denting yang memecah keheningan. "Cukup! Aku lelah dengan kecurigaanmu ini. Kamu menjadi posesif. Aku butuh ruang untuk bernapas!"
Ruang. Kata itu menggema di kepalaku. Ia butuh ruang, sementara aku merasa tercekik di dalam sangkar emas yang ia bangun untukku. Malam itu, tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Makan malam tetap tak tersentuh. Lilin-lilin meleleh sia-sia, menjadi saksi bisu dari jarak yang kini membentang tak terjembatani di antara kami.
Dari jendela kamar, aku menatap rumah seberang. Lampu di kamar Kalila dan Halim menyala. Aku membayangkan Kalila di sana, mungkin sedang menyemprotkan parfum pemberian suamiku ke pergelangan tangannya, tersenyum pada bayangannya di cermin.
Rasa sakit di dadaku kini bercampur dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih keras dan lebih dingin. Tekad. Jika Mirza tidak mau memberiku kebenaran, maka aku akan merenggutnya sendiri.
Bab 3: Memar di Pergelangan Tangan
Tekad adalah satu hal, keberanian adalah hal lain. Selama dua hari, aku hanya berani mengamati dari balik tirai jendelaku. Rumah bercat putih gading di seberang jalan itu, yang dulu tampak begitu ramah dan normal, kini menjelma menjadi sarang musuh. Setiap kali mobil Halim keluar dari garasi, aku menahan napas, bertanya-tanya apakah Mirza akan segera menyelinap masuk. Setiap kali aku melihat siluet Kalila di jendela, hatiku terasa seperti diremas.
Aku tidak bisa terus seperti ini. Menjadi hantu di rumahku sendiri, terobsesi pada kehidupan wanita lain. Aku harus menghadapinya. Bukan untuk konfrontasi, belum. Aku hanya perlu melihatnya dari dekat, menatap matanya, dan mencari tanda-tanda kemenangan atau rasa bersalah di sana.
Dengan jantung yang berdebar kencang, aku mengambil sebuah mangkuk kosong dari dapur. Gula. Aku akan meminjam gula. Sebuah alasan klasik yang begitu tipis, tetapi cukup untuk membawaku melintasi jalan aspal yang memisahkan duniaku dan dunianya.
Langkahku terasa berat saat mendekati pintu rumahnya. Taman kecilnya yang terawat rapi terasa seperti sebuah ejekan. Bagaimana bisa ia merawat bunga-bunga dengan begitu telaten sementara ia menghancurkan tamanku?
Aku menekan bel. Suaranya terdengar nyaring di telingaku sendiri. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Kalila berdiri di sana. Ia mengenakan daster rumahan yang sederhana, rambutnya diikat seadanya. Ia tampak terkejut melihatku.
"Nabila? Ada apa?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
"Maaf mengganggu, Kalila. Aku kehabisan gula, dan warung sepertinya masih tutup," kataku, berusaha menjaga suaraku tetap normal, ramah, seperti Nabila yang dulu.
"Oh, tentu, tentu saja. Sebentar ya," jawabnya cepat, terlalu cepat. Ia berbalik dan menghilang ke dalam rumahnya yang remang-remang.
Ia tidak mempersilakanku masuk. Aku berdiri di ambang pintu, merasa seperti seorang pengemis. Dari tempatku berdiri, aku bisa mencium aroma samar parfum Fleur de Lune yang bercampur dengan bau masakan. Perutku mual.
Tak lama, Kalila kembali dengan semangkuk kecil gula. Saat ia menyodorkan mangkuk itu padaku, lengan dasternya yang sedikit longgar tersingkap. Dan di sanalah aku melihatnya.
Sebuah memar keunguan melingkari pergelangan tangannya yang kurus. Bentuknya seperti bekas cengkeraman jari.
Aku pasti menatapnya terlalu lama, karena Kalila buru-buru menarik tangannya. Ia menarik lengan dasternya ke bawah hingga menutupi memar itu sepenuhnya, wajahnya pucat pasi.
"Ini," katanya, menyodorkan mangkuk itu lagi dengan tangan kirinya.
"Tanganmu kenapa?" tanyaku, pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibirku, lebih cepat dari yang bisa kucegah.
"Oh, ini? Bukan apa-apa," jawabnya gugup, matanya bergerak gelisah, tidak mau menatapku. "Semalam... semalam aku terbentur pintu kamar mandi. Ceroboh sekali."
Terbentur pintu. Alasan yang terdengar begitu klise, begitu dibuat-buat. Pintu tidak meninggalkan bekas jari.
Aku mengambil mangkuk gula itu. Jari-jari kami bersentuhan sesaat. Kulitnya terasa dingin. "Terima kasih banyak, ya," ucapku pelan.
"Sama-sama," jawabnya, dan ia langsung menutup pintu bahkan sebelum aku sempat berbalik.
Aku berjalan kembali ke rumahku dengan langkah gontai, mangkuk gula di tanganku terasa berat. Pikiranku kacau. Semua yang kulihat hari ini bertentangan dengan skenario yang telah kubangun di kepala. Wanita yang baru saja kutemui bukanlah seorang perayu yang percaya diri. Ia adalah seorang wanita yang ketakutan.
Memar itu... memar itu tidak cocok dengan gambaran seorang wanita simpanan yang dimanjakan dengan parfum mahal. Sesuatu yang lain sedang terjadi di rumah itu. Sesuatu yang gelap.
Kecurigaanku pada Mirza tidak hilang, tetapi kini ia ditemani oleh sebuah pertanyaan baru yang meresahkan. Apakah suamiku terlibat dalam sebuah perselingkuhan, atau ia terseret ke dalam masalah yang jauh lebih berbahaya?
Bab 4: Suami yang Sempurna
Pikiranku menjadi medan perang. Di satu sisi, ada bukti-bukti yang mengarah pada perselingkuhan: buku rekening rahasia, parfum mahal, kebohongan Mirza yang dingin. Di sisi lain, ada memar di pergelangan tangan Kalila dan tatapan matanya yang penuh ketakutan. Kedua narasi itu tidak bisa berjalan beriringan. Mereka saling bertabrakan, menciptakan kekacauan dalam benakku.
Aku mencoba mengabaikannya. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah, menyetel musik keras-keras, berusaha menulikan suara-suara kecurigaan di kepala. Sore itu, saat aku sedang memotong daun-daun layu di taman depan, sebuah suara ramah menyapaku.
"Selamat sore, Bu Nabila. Rajin sekali merawat tanamannya."
Aku mendongak dan melihat Halim, suami Kalila, tersenyum dari balik pagarnya. Ia baru saja memarkir mobilnya yang mengilap. Berbeda dengan Mirza yang selalu tampak lelah sepulang kerja, Halim terlihat segar dan penuh energi. Kemejanya masih licin, rambutnya tersisir rapi.
"Eh, Pak Halim. Selamat sore," jawabku sedikit canggung. Ini pertama kalinya aku berbicara dengannya berdua saja.
"Panggil Halim saja," katanya, melangkah mendekati pagar kami. Senyumnya tidak pernah pudar. "Saya selalu kagum dengan taman Ibu. Kalila sering bilang, ia ingin sekali punya 'tangan dingin' seperti Ibu untuk merawat bunga."
Pujian itu terasa aneh. Kalila tidak pernah sekalipun menyinggung soal taman.
"Istri Anda juga hebat, tamannya selalu rapi," balasku, mencoba bersikap normal.
Halim tertawa kecil, sebuah tawa yang terdengar tulus. "Oh, itu semua karena saya yang sedikit memaksa. Saya bilang padanya, rumah yang indah adalah cerminan dari kebahagiaan penghuninya. Jadi, saya pastikan ia punya semua yang ia butuhkan. Pupuk terbaik, pot yang cantik. Ia hanya perlu menyiramnya saja."
Sesuatu dalam kalimatnya membuatku sedikit tidak nyaman. Saya pastikan ia punya semua yang ia butuhkan. Terdengar seperti pujian, tetapi juga seperti sebuah kontrol.
"Anda suami yang baik," kataku, menguji.
"Saya hanya mencoba," jawabnya, matanya bersinar. "Wanita itu kan seperti bunga, Bu Nabila. Harus dirawat, disiram dengan perhatian, dilindungi dari hama. Kalau tidak, ia bisa layu. Apalagi istri saya, Kalila. Ia itu hatinya lembut sekali, rapuh. Saya harus menjaganya baik-baik."
Ia berbicara tentang istrinya seolah Kalila adalah sebuah benda porselen yang berharga. Aku teringat lagi pada memar di pergelangan tangannya. Apakah cengkeraman adalah cara Halim "melindungi" istrinya yang rapuh?
"Kalau begitu saya masuk dulu, ya. Mau menyiapkan air hangat untuk Kalila. Kasihan, pasti ia lelah seharian di rumah," pamitnya dengan senyum yang sama.
Aku hanya bisa mengangguk, melihatnya berjalan masuk ke rumahnya yang tampak sempurna. Di balik pintu yang tertutup itu, aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi. Pria yang baru saja berbicara denganku adalah citra suami idaman: perhatian, suportif, dan memuja istrinya. Sosoknya sama sekali tidak cocok dengan gambaran seorang pria kasar yang meninggalkan memar di tubuh istrinya.
Kebingunganku semakin menjadi. Jika Halim adalah suami sesempurna ini, mengapa Kalila tampak begitu ketakutan? Mengapa ia membutuhkan rekening rahasia bersama suamiku?
Skenario perselingkuhan yang tadinya begitu jelas kini menjadi kabur. Mungkin... mungkin aku salah menafsirkan segalanya. Mungkin Kalila memang ceroboh dan terbentur pintu. Mungkin Mirza memang hanya menolong seorang teman yang sedang kesulitan keuangan.
Tapi hatiku menolak kemungkinan itu. Parfum mahal itu bukan hadiah untuk teman. Dan ketakutan di mata Kalila terasa begitu nyata.
Malam itu, saat Mirza pulang, aku tidak lagi menatapnya dengan amarah seorang istri yang dikhianati. Aku menatapnya dengan tatapan baru yang penuh pertanyaan. Pria yang tidur di sampingku ini, siapa dia sebenarnya? Seorang penipu yang licik, atau seorang pahlawan yang terlibat dalam masalah yang tak bisa ia ceritakan? Keduanya sama-sama menakutkan.
Bab 5: Dinding Itu Bernama Posesif
Malam itu, aku berbaring di ranjang, memunggungi Mirza. Aku bisa merasakan kehadirannya, panas tubuhnya yang dulu selalu menjadi sumber ketenangan, kini terasa membakar. Aku tidak bisa tidur. Gambaran wajah Halim yang tersenyum sempurna dan memar di pergelangan tangan Kalila terus berkejaran dengan bayangan kuitansi parfum di benakku.
Aku tidak bisa hidup dalam ketidakpastian ini. Aku harus mencoba sekali lagi. Bukan dengan amarah atau tuduhan, tetapi dengan permohonan. Permohonan agar ia mau melihatku, benar-benar melihatku, dan mengembalikan kepingan-kepingan kepercayaan kami yang telah hancur.
Aku membalikkan badan. Mirza belum tidur, matanya menatap langit-langit kamar yang gelap.
"Mas," panggilku lirih.
Ia hanya bergumam sebagai jawaban, tanpa menoleh.
"Aku... aku bingung," kataku, suaraku bergetar. "Aku tahu aku marah soal rekening itu, soal parfum itu. Tapi hari ini... aku melihat sesuatu yang lain."
Aku berhenti sejenak, berharap ia akan menunjukkan sedikit ketertarikan. Tapi ia tetap diam.
"Aku bertemu Kalila. Dia tampak... ketakutan. Dan Halim, suaminya... dia berbicara seolah Kalila adalah miliknya, bukan istrinya." Aku sengaja tidak menyebutkan memar itu, takut itu akan membuatnya semakin menutup diri. Aku hanya menyajikan perasaanku, kerisauanku. "Aku hanya merasa ada yang tidak beres, Mas. Aku khawatir."
Akhirnya, Mirza menoleh. Tapi tatapan yang ia berikan bukanlah simpati. Itu adalah tatapan dingin yang penuh dengan kekecewaan, seolah aku adalah pasien yang sedang mengoceh tidak karuan.
"Nabila," katanya, suaranya rendah dan tajam. "Dengar dirimu sendiri. Beberapa hari yang lalu, kau yakin aku berselingkuh dengan Kalila. Kau menuduhku, kau marah-marah. Sekarang, tiba-tiba kau menciptakan sebuah drama kelam tentang tetangga kita? Kau bilang Kalila ketakutan? Kau bilang Halim aneh? Apa selanjutnya? Kau akan bilang mereka mata-mata?"
Setiap katanya menusukku seperti jarum es. Ia memutarbalikkan kekhawatiranku menjadi sebuah delusi.
"Ini bukan delusi, Mas. Aku merasakannya..."
"Kau merasakan apa yang ingin kau rasakan!" potongnya, kini ia sedikit bangkit, menopang tubuhnya dengan siku. "Pertama, kau cemburu. Sekarang, kau bosan dan mulai mengarang cerita. Aku lelah, Nabila. Aku bekerja keras seharian, dan saat pulang, aku harus menghadapi ini. Kecurigaanmu, paranoiamu."
"Ini bukan paranoia!" suaraku meninggi, tak sanggup lagi menahan sakit hati. "Ini tentang kau yang berbohong padaku! Tentang rekening itu! Jelaskan saja itu, dan semuanya akan selesai!"
"Sudah kujelaskan," desisnya. "Itu proyek. Kau saja yang tidak mau percaya. Kau lebih suka percaya pada imajinasimu sendiri."
Ia kemudian berbalik memunggungiku lagi, sebuah gerakan final yang menyatakan bahwa percakapan ini telah selesai. "Aku mau tidur. Besok aku harus bertemu klien pagi-pagi."
Dinding itu telah sempurna dibangun. Ia menamainya 'paranoia' dan 'posesif', tetapi aku tahu nama sebenarnya adalah 'rahasia'. Malam itu, aku tidak lagi menangis. Air mataku sudah kering. Yang tersisa hanyalah kehampaan yang dingin dan sebuah kesadaran yang pahit.
Aku sendirian dalam hal ini.
Aku tidak bisa lagi berharap pada suamiku untuk memberiku kebenaran. Jika aku menginginkan jawaban, aku harus mencarinya sendiri. Pertarungan ini bukan lagi untuk menyelamatkan pernikahanku, setidaknya tidak untuk saat ini. Ini adalah pertarungan untuk kewarasanku sendiri. Dan aku tidak akan membiarkan Mirza, atau siapa pun, membuatku merasa gila.
Bab 6: Folder Tersembunyi
Kesendirian bisa menjadi racun, atau bisa juga menjadi baja. Setelah pertengkaran malam itu, setelah Mirza menuduhku paranoia dan membangun dinding di antara kami, aku memilih yang kedua. Rasa sakit hati yang membakar kini mendingin menjadi amarah yang terfokus. Ia pikir aku gila? Aku akan tunjukkan padanya betapa warasnya aku saat menemukan kebenaran yang ia sembunyikan.
Targetku jelas: laptopnya. Benteng digital yang ia lindungi dengan sebuah kata sandi. Aku sudah mencoba semua tanggal penting kami, semua nama yang berarti bagi kami. Kini aku sadar, kata sandi itu mungkin tidak ada hubungannya denganku sama sekali.
Sambil menunggu Mirza berangkat kerja, aku mengamati kalender di dapur. Aku teringat obrolan basa-basi di awal kepindahan mereka, saat Kalila menyebutkan zodiaknya, Leo. Itu berarti ia lahir antara akhir Juli dan Agustus. Sebuah pencarian cepat di media sosial atas nama Halim memberiku jawabannya: sebuah foto pesta ulang tahun Kalila tahun lalu, diunggah pada tanggal 12 Agustus.
1208. Mungkin terlalu sederhana. Atau mungkin justru karena itu, Mirza akan menggunakannya.
Sore itu, saat rumah kembali menjadi milikku seorang, aku duduk di depan laptop Mirza. Jantungku berdebar saat aku mengetikkan kombinasi angka itu, diikuti tahun lahir yang juga kutemukan. 120888.
Layar berkedip, lalu menampilkan desktop Mirza. Aku berhasil.
Rasa kemenangan bercampur dengan rasa mual. Aku seperti seorang pencuri, menginvasi ruang paling pribadi milik suamiku sendiri. Selama hampir satu jam, aku menjelajahi semuanya. Riwayat peramban, aplikasi pesan, galeri foto. Tidak ada email cinta. Tidak ada foto mesra. Tidak ada satu pun bukti perselingkuhan yang vulgar seperti yang kubayangkan. Hanya pekerjaan, artikel berita, dan beberapa forum hobi otomotif.
Aku hampir menyerah, merasa bodoh dan semakin mirip dengan wanita paranoid yang dituduhkan Mirza. Namun, saat aku hendak menutup laptop, mataku menangkap sesuatu yang janggal di desktop. Sebuah folder dengan nama yang aneh: "Proyek Renovasi". Mirza tidak pernah tertarik dengan renovasi.
Dengan tangan gemetar, aku mengkliknya.
Isinya bukan gambar denah rumah atau daftar harga bahan bangunan. Isinya adalah serangkaian dokumen dan gambar yang membuat darahku seakan berhenti mengalir.
Ada beberapa jadwal keberangkatan bus malam dan kereta api menuju kota-kota kecil di Jawa Tengah. Ada beberapa artikel yang diunduh, judulnya: "Cara Memulai Hidup Baru dengan Identitas Berbeda", "Menghapus Jejak Digital Anda Secara Permanen".
Lalu, aku membuka satu dokumen teks terakhir. Isinya bukan tulisan, melainkan daftar riwayat pencarian yang telah disalin dan ditempel. Mataku terpaku pada baris-baris kalimat itu:
Rumah aman untuk korban KDRT di Jakarta.
Bantuan hukum untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Cara melaporkan KDRT tanpa bukti visum.
Tanda-tanda suami sosiopat.
Hukuman untuk KDRT yang menyebabkan trauma psikis.
KDRT. Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Kepingan-kepingan puzzle yang tadinya berserakan kini melompat dan menyatu dengan kekuatan yang mengerikan.
Ketakutan di mata Kalila.
Memar di pergelangan tangannya.
Alasannya yang gugup saat terbentur pintu.
Cara Halim berbicara tentang istrinya seolah ia adalah properti.
Kerahasiaan Mirza yang mati-matian.
Rekening bank itu... bukan untuk membiayai perselingkuhan. Itu adalah dana darurat. Dana pelarian.
Fleur de Lune. Mungkin itu bukan hadiah cinta. Mungkin itu adalah sebuah kode, sebuah pengingat akan tujuan mereka: lari di bawah naungan bulan.
Napasku tercekat di tenggorokan. Ini bukan tentang perselingkuhan. Ini tidak pernah tentang perselingkuhan. Ini adalah sebuah rencana penyelamatan. Suamiku tidak sedang mencoba merebut istri orang lain. Ia sedang mencoba menyelamatkan nyawa seorang wanita dari suaminya sendiri.
Rasa cemburu dan sakit hatiku menguap seketika, digantikan oleh jenis ketakutan yang benar-benar baru dan melumpuhkan. Musuhku bukanlah Kalila. Musuh kami adalah pria ramah dengan senyum sempurna di seberang jalan. Dan suamiku, dengan semua kebohongannya, telah menempatkan dirinya tepat di garis depan pertempuran berbahaya ini.
Aku sendirian dalam hal ini. Dan kini, aku benar-benar takut.
Bab 7: Topeng Keramahan
Aku menutup laptop itu dengan gerakan lambat, seolah takut suaranya akan membangunkan monster di seberang jalan. Aku bersandar di kursi, tubuhku dingin dan lemas. Ruangan yang tadinya terasa aman kini seakan menyusut, dindingnya merapat, menekan napasku.
Setiap suara dari luar membuatku tersentak. Deru motor yang lewat, gonggongan anjing tetangga, bahkan desau angin di ventilasi terdengar seperti ancaman. Dunia yang kukenal telah lenyap dalam sekejap, digantikan oleh sebuah versi horor di mana bahaya mengintai di balik senyum yang paling ramah sekalipun.
Pria itu, Halim. Suami yang sempurna. Pria yang berbicara tentang istrinya seolah ia adalah bunga porselen yang rapuh. Kini aku melihatnya dengan jelas: ia bukan pelindung, ia adalah hama itu sendiri. Cengkeramannya yang meninggalkan memar, kata-katanya yang manis adalah racun.
Aku merasa bersalah. Begitu bersalah. Selama ini aku membenci Kalila, menganggapnya perusak rumah tanggaku. Padahal, ia adalah seorang korban yang berjuang untuk hidup. Dan suamiku... Mirza... ia telah berbohong padaku, ya, tetapi ia melakukannya untuk melindungi wanita itu. Ia menempatkan dirinya di antara Kalila dan monsternya.
Ketakutan mencengkeramku begitu erat. Apa yang akan terjadi jika Halim tahu? Jika ia mencurigai Mirza? Aku bergidik membayangkan konsekuensinya.
Aku harus bersikap normal. Itu adalah satu-satunya pelindungku saat ini. Aku menghapus riwayat pencarianku di laptop, mengembalikannya persis seperti semula, lalu turun ke dapur untuk membuat teh. Tanganku gemetar hebat hingga cangkir itu bergetar di atas piring kecilnya.
Saat itulah aku melihatnya dari jendela dapur. Mobil Halim masuk ke pelataran rumahnya. Jantungku serasa jatuh ke perut. Aku cepat-cepat berbalik, berpura-pura sibuk, berharap ia tidak melihatku.
Terlambat.
Beberapa menit kemudian, bel rumahku berbunyi. Aku membeku. Haruskah aku tidak membukanya? Tapi itu akan lebih mencurigakan. Dengan langkah yang terasa seperti diseret, aku berjalan ke pintu.
Halim berdiri di sana, membawa sebuah piring berisi kue lapis. Senyumnya masih sama, lebar dan tanpa cela. Tapi kini, aku tidak lagi melihat keramahan di matanya. Aku melihat kegelapan yang hampa.
"Selamat sore, Bu Nabila," sapanya riang. "Maaf mengganggu. Tadi Kalila membuat kue, dan ia bersikeras saya harus mengantarkannya untuk tetangga terbaik kami."
Setiap kata-katanya terasa seperti kebohongan yang licin. Kalila yang ketakutan itu tidak mungkin sedang dalam mood untuk membuat kue. Ini adalah ulah Halim. Sebuah alasan untuk datang ke sini.
"Wah, terima kasih banyak, Pak Halim. Tidak perlu repot-repot," kataku, memaksakan seulas senyum. Tanganku berkeringat saat menerima piring itu.
"Tidak repot sama sekali," katanya, matanya menelusuri wajahku dengan tatapan yang terlalu tajam. "Ngomong-ngomong, suami Anda, Pak Mirza, sepertinya akhir-akhir ini sibuk sekali, ya? Sering pulang larut. Proyek besar?"
Pertanyaan itu terdengar biasa, obrolan basa-basi antar tetangga. Tapi aku tahu, ini bukan basa-basi. Ini adalah sebuah pancingan. Ia sedang menguji, mencari informasi.
"Iya, begitulah, Pak. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan," jawabku, berusaha terdengar sesantai mungkin.
Halim mengangguk-angguk pelan, senyumnya tidak goyah. "Saya mengerti. Kadang kita sebagai suami harus bekerja ekstra keras demi keluarga. Yang penting, kita tahu untuk siapa kita bekerja, dan kita pastikan tidak ada yang mengganggu apa yang sudah kita bangun di rumah."
Ancaman itu terselubung, tetapi aku mendengarnya dengan jelas. Tidak ada yang mengganggu apa yang sudah kita bangun di rumah. Ia tidak sedang berbicara tentang dirinya sendiri. Ia sedang memperingatkanku.
"Tentu saja, Pak," jawabku lirih.
"Baiklah, saya permisi dulu. Selamat menikmati kuenya," katanya, lalu berbalik dan berjalan santai kembali ke rumahnya, seolah ia baru saja melakukan perbuatan paling baik di dunia.
Aku menutup pintu dan bersandar lemas di baliknya. Piring kue di tanganku terasa dingin seperti batu nisan. Aku tidak akan memakan kue itu. Aku tidak akan membiarkan apa pun dari rumah itu masuk ke dalam rumahku.
Malam itu, saat Mirza pulang, aku tidak lagi melihatnya sebagai pembohong. Aku melihatnya sebagai seorang prajurit yang kelelahan, pulang dari medan perang yang tidak kuketahui. Aku menyambutnya dengan senyum, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu. Aku tidak akan bertanya apa-apa. Aku tidak akan mendesaknya.
Aku akan menjadi sekutunya, bahkan jika ia tidak tahu bahwa aku sudah berada di sisinya. Aku akan melindunginya dengan satu-satunya cara yang kubisa: dengan berpura-pura tidak tahu apa-apa, sambil mengawasi setiap gerak-gerik monster di seberang jalan.
Bab 8: Demi Keselamatanmu
Peran baruku sebagai sekutu rahasia mengubah dinamika di rumah kami secara drastis. Aku berhenti bersikap dingin. Aku menyambut Mirza pulang dengan senyum, menyiapkan makan malamnya tanpa sepatah kata pun tentang kecurigaanku yang lama. Aku tidak lagi mencoba mengintip ponselnya atau memeriksa kantong jasnya. Aku hanya mengamati.
Aku mengamati lingkaran hitam di bawah matanya yang semakin pekat. Aku mengamati caranya yang sering tersentak setiap kali ponselnya berdering. Aku mengamati bagaimana ia akan menatap kosong ke arah rumah seberang saat ia pikir aku tidak melihat. Ia adalah seorang pria yang tertekan, membawa beban yang terlalu berat sendirian.
Perubahan sikapku tampaknya membuatnya bingung. Ia menjadi lebih waspada, seolah kebaikanku yang tiba-tiba ini adalah sebuah jebakan. Keheningan di antara kami kini bukan lagi keheningan yang penuh amarah, melainkan keheningan yang tegang, penuh dengan kata-kata yang tak terucap.
Aku tidak tahan lagi. Aku tidak bisa hanya berdiri di pinggir lapangan sementara suamiku berada di tengah medan perang. Aku harus membuatnya tahu bahwa ia tidak sendirian.
Malam itu, setelah kami selesai makan dalam diam, aku memberanikan diri.
"Mas," panggilku lembut saat ia hendak beranjak ke ruang kerja.
Ia berhenti, menatapku dengan ekspresi lelah. "Ada apa, Nabila?"
"Aku mau bicara. Sebentar saja." Aku menunjuk ke sofa. Dengan ragu, ia duduk. Aku duduk di seberangnya, menjaga jarak agar ia tidak merasa terpojok.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku minta maaf," kataku, tulus. "Aku minta maaf karena sudah menuduhmu yang tidak-tidak. Aku salah."
Mirza tampak terkejut. Ia tidak menduga akan mendengar permintaan maaf dariku. "Sudahlah, lupakan saja," jawabnya, nadanya sedikit melunak.
"Aku tidak bisa melupakannya," lanjutku. "Karena sekarang aku tahu, ini bukan tentang itu." Aku menatap lurus ke matanya. "Ini bukan tentang perselingkuhan, kan? Ini tentang mereka. Tentang Kalila... dan Halim."
Seketika, semua kelembutan di wajah Mirza lenyap. Otot-otot di rahangnya menegang. Wajahnya yang tadinya lelah kini berubah menjadi topeng kepanikan yang dingin.
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," katanya, suaranya datar dan tanpa emosi.
"Aku tahu kau mencoba menolongnya, Mas," desakku, suaraku memohon. "Aku melihatnya di laptopmu. Rumah aman, bantuan hukum... KDRT. Aku tahu. Dan aku tidak marah. Aku hanya... takut. Aku takut terjadi apa-apa padamu."
Aku mengulurkan tangan untuk menyentuh lengannya, tetapi ia menarik diri seolah tanganku adalah api.
"JANGAN!" bentaknya, suaranya begitu keras hingga aku terlonjak kaget. "Jangan pernah kau sentuh laptopku lagi! Dan jangan pernah kau sebut nama-nama itu lagi di rumah ini! Kau mengerti?"
Matanya menyala-nyala, bukan dengan amarah, tetapi dengan teror murni. Ini adalah reaksi seorang pria yang terpojok, yang rahasianya yang paling berbahaya telah terbongkar.
"Aku hanya ingin membantu," bisikku, air mata mulai menggenang.
"Membantu?" ia tertawa sinis, sebuah tawa yang terdengar menyakitkan. "Kau mau membantu? Kalau begitu diam! Lupakan semua yang kau lihat. Anggap itu tidak pernah ada. Kembali menjadi Nabila yang dulu, yang hanya peduli pada resep kue dan warna gorden baru. Itu cara terbaikmu untuk membantuku!"
Kata-katanya menghantamku lebih keras dari tamparan. Ia tidak melihatku sebagai partner. Ia melihatku sebagai beban, sebagai titik lemah yang harus dilindungi dengan cara diasingkan.
"Aku tidak bisa, Mas. Aku istrimu."
"Justru karena kau istriku!" suaranya meninggi lagi, penuh dengan keputusasaan. "Aku melakukan ini semua agar kau aman! Agar hidup kita tetap normal! Dan kau, dengan rasa ingin tahumu, kau menghancurkan segalanya! Jadi kumohon, Nabila... demi keselamatanmu sendiri, berhentilah. Jangan ikut campur."
Ia bangkit, napasnya terengah-engah. Tanpa menoleh lagi, ia berjalan cepat masuk ke ruang kerjanya dan membanting pintu. Suara bantingan itu seolah menjadi penegas akhir dari percakapan kami.
Aku duduk membeku di sofa, air mataku akhirnya tumpah. Aku mencoba menawarkan bantuan, menawarkan persekutuan, tetapi yang kudapat adalah penolakan yang paling menyakitkan. Ia telah mengkonfirmasi semua ketakutanku, bukan dengan pengakuan, tetapi dengan kepanikannya. Bahaya itu nyata. Dan ia lebih memilih menghadapinya sendirian daripada membawaku serta.
Baiklah, Mas. Jika itu maumu. Aku akan berhenti bertanya. Aku akan berhenti mendesak.
Tapi aku tidak akan pernah berhenti mengawasi.
Bab 9: Ban yang Dikempiskan
Perkataan Mirza malam itu menjadi garis batas yang baru. Aku tidak lagi mencoba menembus dinding rahasianya. Aku menerima peranku sebagai orang luar, seorang penonton yang dipaksa duduk di barisan terdepan sebuah drama berbahaya. Aku memasak, membersihkan rumah, dan tersenyum saat ia pulang. Aku menjadi istri yang ia inginkan: istri yang tidak bertanya, istri yang tidak melihat.
Tapi mataku selalu awas.
Aku menjadi ahli dalam membaca keheningan. Aku tahu dari cara Mirza meletakkan kunci mobilnya, apakah harinya dipenuhi ketegangan atau tidak. Aku bisa membedakan dering ponsel untuk pekerjaan dan dering yang membuatnya tersentak—dering yang kemungkinan besar dari Kalila. Aku hidup dalam kewaspadaan tingkat tinggi, dan itu sangat melelahkan.
Suatu pagi, aku berencana pergi ke supermarket. Saat aku berjalan menuju mobilku di garasi, ada sesuatu yang salah. Sisi kanan depan mobil itu tampak lebih rendah dari biasanya. Aku mendekat dan jantungku mencelos. Ban mobilku kempes total, rata dengan lantai garasi yang dingin.
Ini bukan kempes biasa karena paku. Ini adalah perbuatan yang disengaja. Katup udaranya terbuka, sengaja dilonggarkan hingga semua angin keluar. Seseorang telah masuk ke garasiku. Seseorang telah mengirimiku pesan.
Tanganku gemetar saat aku berjongkok untuk memeriksanya. Udara di sekitarku terasa dingin. Garasi yang biasanya menjadi tempat yang aman kini terasa terekspos dan rentan.
"Ada masalah, Bu Nabila?"
Suara itu datang dari belakangku, begitu dekat hingga aku terlonjak kaget dan hampir terjatuh. Halim berdiri di ambang garasiku, entah sejak kapan. Ia mengenakan pakaian olahraga, tetapi tidak ada setetes pun keringat di dahinya. Senyumnya yang biasa tersungging di bibirnya.
"Pak Halim," sapaku, berusaha mengendalikan suaraku yang gemetar. "Anda mengagetkan saya."
"Maaf, maaf," katanya, tawanya terdengar hampa. "Saya sedang joging, lalu lihat pintu garasi Ibu terbuka. Saya lihat Ibu berjongkok, saya kira ada apa. Wah, bannya kempes, ya? Sayang sekali."
Ia mendekat, menatap ban mobilku dengan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. "Zaman sekarang memang harus lebih hati-hati. Banyak orang iseng. Atau mungkin... ada yang tidak suka dengan kita. Kita tidak pernah tahu, kan?"
Ia menatapku, matanya seolah menembus langsung ke dalam ketakutanku.
"Mobil itu seperti rumah tangga, Bu," lanjutnya, nadanya ringan tetapi matanya tajam. "Harus dijaga baik-baik. Kalau ada satu ban yang bermasalah, seluruh perjalanan bisa terganggu. Bisa celaka. Makanya, penting sekali untuk memastikan semua komponennya setia pada fungsinya masing-masing. Tidak ada yang berkhianat."
Setia. Berkhianat. Kata-kata itu ia tekankan dengan halus, seperti sebuah bisikan ular. Ini bukan lagi pancingan. Ini adalah ancaman langsung. Ia tahu, atau setidaknya ia mencurigai sesuatu. Dan ia ingin aku tahu bahwa ia mengawasiku.
"Terima kasih atas perhatiannya, Pak. Nanti saya panggil orang bengkel," jawabku kaku, bangkit berdiri dan menjaga jarak darinya.
"Tentu, tentu. Kalau butuh bantuan, jangan sungkan panggil saya, ya. Tetangga kan harus saling menjaga," ujarnya, senyumnya semakin lebar.
Ia berbalik dan melanjutkan "joging"-nya dengan langkah santai. Aku menatap punggungnya hingga ia menghilang di tikungan jalan. Aku tidak lagi merasa kedinginan. Yang kurasakan adalah amarah yang membara bercampur dengan rasa takut yang pekat.
Pesan itu sudah kuterima dengan jelas. Ini bukan lagi hanya tentang Mirza dan Kalila. Dengan rasa ingin tahuku, aku telah melangkah masuk ke dalam lingkaran bahaya. Aku bukan lagi sekadar penonton.
Aku adalah target.
Bab 10: Yayasan Bantuan Hukum
Ancaman Halim mengubah segalanya. Rumahku bukan lagi benteng pertahanan; ia telah menjadi sangkar kaca. Setiap derit lantai, setiap bayangan yang lewat di jendela, membuatku waspada. Aku mulai mengunci pintu bahkan di siang hari. Senyum ramah para tetangga kini tampak seperti topeng yang bisa menyembunyikan apa saja.
Rasa takut adalah motivator yang kuat. Peringatan Mirza untuk tidak ikut campur kini terdengar seperti sebuah kemustahilan. Bagaimana bisa aku tidak ikut campur saat keselamatanku sendiri kini dipertaruhkan? Aku tidak bisa lagi hanya menunggu dan mengamati. Aku butuh amunisi. Aku butuh informasi.
Malam itu, aku menunggu hingga deru napas Mirza terdengar teratur, menandakan ia telah tertidur lelap. Dengan hati-hati, aku menyelinap keluar dari kamar dan menuju ruang kerja. Cahaya bulan yang masuk melalui jendela menjadi satu-satunya peneranganku. Aku membuka laptop itu lagi, jari-jariku bergerak cepat, sudah hafal dengan kata sandi yang bukan milikku.
Kali ini, tujuanku berbeda. Aku tidak lagi mencari jadwal kereta atau artikel tentang KDRT. Aku butuh melihat gambaran yang lebih besar. Aku membuka riwayat peramban Mirza dan menemukan tautan yang tersimpan untuk mengakses rekening bank rahasia itu secara online.
Aku menahan napas saat memasukkan detail yang kuhafal dari buku rekening. Berhasil. Layar menampilkan saldo dan riwayat transaksi. Sebagian besar isinya sesuai dengan dugaanku: beberapa kali setoran dalam jumlah besar, lalu serangkaian penarikan tunai dalam jumlah yang signifikan selama beberapa minggu terakhir. Mereka sedang mengumpulkan uang tunai, bekal untuk melarikan diri. Itu masuk akal.
Namun, saat aku menggulir ke bawah, mataku terpaku pada satu transaksi yang janggal. Transaksi itu terjadi tiga minggu yang lalu. Bukan penarikan tunai. Sebuah transfer online. Jumlahnya cukup besar, lima puluh juta rupiah. Tapi bukan jumlahnya yang membuatku bingung, melainkan nama penerimanya.
Yayasan Bantuan Hukum Pelita Harapan.
Aku mengerutkan kening. Sebuah yayasan bantuan hukum? Untuk apa? Jika rencana mereka hanya untuk melarikan diri, menghilang tanpa jejak, mengapa mereka membutuhkan pengacara? Mengapa mereka mentransfer uang secara resmi, meninggalkan jejak digital yang begitu jelas, alih-alih menariknya secara tunai seperti transaksi lainnya?
Ini tidak cocok. Rencana pelarian seharusnya senyap dan tak terlihat. Transfer ke sebuah lembaga resmi adalah kebalikannya. Ini adalah sebuah langkah yang penuh perhitungan. Ini adalah langkah seseorang yang tidak hanya ingin lari, tetapi juga ingin melawan.
Pikiranku berputar kencang. Ini berarti rencana mereka jauh lebih terorganisir daripada yang kubayangkan. Mirza tidak hanya bertindak sebagai tetangga yang baik hati. Ia terlibat dalam sebuah strategi yang rumit, yang melibatkan aspek hukum. Ini menjelaskan mengapa ia begitu tertekan, mengapa ia begitu mati-matian menyembunyikannya dariku.
Skala masalah ini tiba-tiba terasa membengkak, jauh lebih besar dari sekadar drama rumah tangga di seberang jalan. Halim bukan hanya seorang suami yang kasar. Ia adalah seseorang yang membuat korbannya merasa perlu menyewa bantuan hukum yang serius. Seberapa berbahayanya dia sebenarnya?
Aku menutup laptop dengan perasaan yang lebih berat dari sebelumnya. Ketakutanku kini memiliki dimensi baru. Ini bukan lagi tentang kekerasan fisik acak; ini tentang sesuatu yang terstruktur, sesuatu yang mungkin melibatkan kekuasaan dan pengaruh.
Dan suamiku, dengan sengaja, telah menceburkan dirinya ke tengah-tengah pusaran itu. Sendirian.
Bab 11: Pelita Harapan
Nama itu terus bergaung di kepalaku, bahkan dalam tidurku yang gelisah. Yayasan Bantuan Hukum Pelita Harapan. Dua kata terakhir itu, ‘Pelita Harapan’, terasa seperti sebuah ironi yang kejam. Tidak ada pelita di rumahku, hanya bayang-bayang yang semakin memanjang. Tidak ada harapan, hanya jurang ketakutan yang semakin dalam. Penemuan itu tidak memberiku ketenangan; sebaliknya, ia merenggut sisa-sisa rasa aman yang masih kumiliki. Ini bukan lagi sekadar KDRT, sebuah tragedi personal yang tersembunyi di balik pintu tetangga. Ini adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang membutuhkan pengacara, yang membutuhkan dana puluhan juta, yang membuat suamiku, seorang arsitek yang hidupnya teratur, berubah menjadi seorang konspirator yang penuh rahasia.
Selama dua hari berikutnya, aku hidup seperti robot. Aku memasak sarapan Mirza, mengantarnya ke pintu dengan senyum palsu yang terasa kaku di bibirku, dan melambaikan tangan saat mobilnya menghilang. Lalu, aku akan mengunci pintu, menarik gorden, dan membiarkan diriku tenggelam dalam ketakutan. Setiap dering telepon membuatku melompat. Setiap mobil yang melambat di depan rumah membuat jantungku berdebar kencang. Aku mulai melihat wajah Halim di mana-mana—dalam senyum orang asing di televisi, dalam tatapan kasir supermarket. Ia telah menjadi hantu yang menghantui siang hariku.
Aku tidak bisa terus begini. Menjadi tawanan di rumahku sendiri, menunggu sesuatu yang buruk terjadi. Peringatan Mirza untuk tidak ikut campur, yang dulu terdengar seperti sebuah penolakan, kini kumaknai berbeda. Itu adalah permohonan putus asa dari seorang pria yang tahu persis seberapa dalam lumpur hisap yang sedang ia injak. Ia tidak mendorongku menjauh karena ia tidak mempercayaiku; ia mendorongku menjauh karena ia takut aku akan ikut terseret dan tenggelam bersamanya. Ban mobil yang dikempiskan adalah buktinya. Aku sudah terseret. Aku sudah menjadi bagian dari permainan ini, suka atau tidak suka. Dan jika aku akan bermain, aku tidak akan bermain buta.
Pagi itu, setelah Mirza berangkat, sebuah keputusan terbentuk di benakku, sekeras dan sedingin baja. Aku tidak akan lagi mengandalkan informasi sisa dari laptop Mirza. Aku akan mencari sumbernya langsung. Aku akan mendatangi Yayasan Bantuan Hukum Pelita Harapan.
Rencana itu terasa gila. Apa yang akan kukatakan? "Halo, saya Nabila, istri dari Mirza, pria yang diam-diam mentransfer uang ke sini untuk membantu tetangga kami melarikan diri dari suaminya yang berbahaya?" Tentu saja tidak. Aku harus punya alibi, sebuah cerita yang cukup meyakinkan. Aku akan menjadi seorang teman yang khawatir, mencari bantuan untuk sahabatnya yang sedang teraniaya. Sebuah kebohongan untuk mengungkap kebenaran yang lebih besar.
Perjalanan menuju alamat yayasan yang kutemukan secara online terasa seperti perjalanan menuju sarang singa. Alamat itu membawaku ke sebuah area di Jakarta yang lebih tua, jalanannya lebih sempit, dan gedung-gedungnya lebih rapat. Aku mengemudi dengan kewaspadaan penuh, mataku terus melirik kaca spion, mencurigai setiap sepeda motor yang tampak mengikutiku terlalu lama, setiap mobil sedan berwarna gelap yang berada di belakangku lebih dari dua persimpangan. Kota Jakarta yang biasanya terasa sibuk dan penuh kehidupan, hari ini terasa mengancam, sebuah labirin beton yang bisa menelanku kapan saja.
Kantor yayasan itu ternyata sebuah ruko tua dua lantai yang terjepit di antara toko kain dan warung makan. Catnya sedikit terkelupas, dan papannya bertuliskan nama yayasan dengan huruf sederhana. Tidak ada kemewahan, tidak ada kesan intimidatif dari sebuah firma hukum besar. Tempat ini tampak... tulus. Dan entah kenapa, itu membuatku semakin gugup.
Aku duduk di dalam mobil selama hampir lima belas menit, mengumpulkan sisa-sisa keberanianku. Akhirnya, dengan satu tarikan napas panjang, aku keluar dan melangkah masuk.
Ruang tunggunya kecil dan sederhana, hanya ada beberapa kursi plastik dan sebuah meja resepsionis tua. Seorang wanita muda menyambutku dengan senyum ramah.
"Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat siang, Mbak. Saya... saya ingin berkonsultasi. Tentang... teman saya," kataku, suaraku sedikit bergetar.
"Baik, Bu. Apakah sudah ada janji dengan salah satu pengacara kami?"
"Belum. Tapi ini... ini cukup mendesak."
Wanita itu menatapku dengan sorot mata yang penuh pengertian, seolah ia sudah sering mendengar kalimat itu. "Baik, Bu. Kebetulan Ibu Ratna sedang tidak ada klien. Mungkin Ibu bisa berbicara dengannya sebentar. Mari saya antar."
Aku mengikutinya menyusuri koridor pendek menuju sebuah ruangan kecil di belakang. Di dalamnya, seorang wanita berusia akhir empat puluhan duduk di belakang meja yang penuh tumpukan berkas. Ia mengangkat wajahnya saat kami masuk. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi matanya tajam dan penuh perhitungan. Ini adalah Ibu Ratna.
"Bu Ratna, ini ada Ibu... maaf, nama Ibu siapa?" tanya resepsionis itu.
"Nabila," jawabku cepat.
"Ibu Nabila ingin berkonsultasi sebentar mengenai temannya," lanjutnya.

.jpg)