Bab 1 – Langkah Pertama
Rehan menahan napas ketika jembatan bambu itu berderit di bawah pijakannya. Sungai di bawah mengalir deras, suaranya menabrak batu-batu besar seperti gemuruh perut bumi. Ia meremas pegangan koper yang berat oleh buku—buku yang menjadi alasan ia datang sejauh ini. Setiap langkah terasa licin; bilah bambu yang basah membuat telapak kakinya nyaris terpeleset.
“Pelan saja,” ucap seorang pemuda desa yang menuntunnya dari seberang. Suaranya tenggelam di antara gemuruh air, tapi cukup membuat dada Rehan sedikit lega.
Ketika akhirnya mencapai tepi, Rehan menunduk, menatap kakinya yang berdebu bercampur lumpur. Napasnya pendek, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena rasa gentar. Jalan panjang menunggu di depan—jalan yang tak lagi bisa ia putar kembali.
Langkah-langkah kecil membawa mereka ke jalur tanah yang menanjak. Udara sore menebarkan aroma dedaunan basah dan kayu bakar yang terbawa angin dari dapur-dapur rumah. Anak-anak kecil berlarian sambil menenteng ranting, menoleh sebentar ke arah lelaki asing dengan koper, lalu tertawa malu-malu sebelum menghilang di balik semak.
Di ujung jalan, rumah-rumah bambu berdiri sederhana, atapnya sebagian ditambal daun rumbia. Lampu-lampu minyak mulai dinyalakan, berkedip kecil di balik dinding anyaman. Desa itu terasa sunyi sekaligus hidup; jauh dari hiruk pikuk kota, namun penuh denyut yang khas.
Rehan berhenti sejenak, membiarkan pandangan menyapu sekeliling. Ia membayangkan suara tawa anak-anak yang akan memenuhi kelas, bau kapur yang mengapur di udara, dan meja-meja bambu yang menunggu disentuh ilmu. Semua bayangan itu membuat punggungnya yang pegal seolah lebih ringan.
“Ini dia, Pak Guru,” ujar pemuda desa, menunjuk bangunan sederhana di dekat pohon mangga besar. Sebuah papan kayu miring bertuliskan Sekolah Dasar Desa Harapan. Dinding bambu berwarna kusam, sebagian berlubang, dan di bawahnya tampak lantai semen yang retak-retak. Beberapa bagian sudah ditambal dengan papan tua.
Rehan menelan ludah. Bangunan itu jauh dari kata layak, tapi justru itulah alasan ia di sini. Ia melangkah mendekat, merasakan campuran takut dan harap bergetar di dadanya.
“Mungkin beginilah awal pengabdian,” bisiknya pelan, sebelum pintu bambu yang berat ia dorong terbuka, menyambut hari pertamanya di desa terpencil itu.
Bab 2 – Hari Pertama
Pagi itu, matahari muncul perlahan dari balik bukit, menyibak kabut tipis yang menggantung di antara pohon kopi. Rehan berdiri di depan bangunan sederhana yang kemarin baru ia lihat: dinding bambu kusam, lantai semen retak, sebagian ditambal papan bekas.
Anak-anak mulai berdatangan. Ada yang bertelanjang kaki, ada pula yang hanya membawa sebatang pensil pendek. Mereka menyapa dengan suara malu-malu.
“Selamat pagi, Pak Guru,” kata seorang anak lelaki kurus dengan rambut acak-acakan.
Rehan tersenyum. “Selamat pagi. Ayo, masuk.”
Begitu pintu bambu digeser, cahaya pagi menerobos masuk, menyorot papan tulis yang sudah pudar. Kapur hanya tersisa beberapa batang kecil, hampir habis. Rehan menggenggamnya, merasa seolah sedang memegang emas.
Kelas itu tidak ramai. Hanya belasan anak duduk di bangku bambu panjang. Namun mata mereka berbinar penuh ingin tahu.
Rehan menulis namanya di papan: Pak Rehan. Huruf putih berderit di permukaan papan tulis. Anak-anak memperhatikan dengan khidmat, seolah menyaksikan sesuatu yang sakral.
“Siapa di antara kalian yang bisa menulis namanya sendiri?” tanyanya.
Beberapa tangan terangkat ragu. Seorang anak perempuan maju ke depan, mencoretkan huruf-huruf belum sempurna. Rehan menatapnya dengan hangat.
“Bagus sekali. Tidak apa-apa kalau belum rapi. Kita belajar bersama-sama.”
Suasana kelas perlahan mencair. Anak-anak mulai berani berbicara, meski suara mereka masih pelan. Satu anak menceritakan perjalanan menyeberangi sungai, yang lain tentang membantu orang tua di kebun. Dari cerita sederhana itu, Rehan bisa merasakan satu hal: semangat mereka jauh lebih besar daripada gedung rapuh yang menaungi mereka.
Namun saat ia menoleh ke atas, terlihat atap rumbia yang bolong di beberapa sisi. Sinar matahari masuk lewat celah, meninggalkan garis-garis terang di dinding bambu. Ia tahu, bila hujan datang, air pasti akan menetes deras ke lantai retak itu.
Seketika hatinya mengencang. Tapi ia cepat menghela napas. Hari ini bukan saatnya menyerah. Hari ini adalah awal.
“Sekarang,” katanya sambil tersenyum, “ayo kita mulai petualangan kita di sekolah ini.”
Anak-anak menepuk meja bambu, tawa kecil mewarnai udara. Dan di tengah suara itu, Rehan merasakan keyakinan baru tumbuh dalam dirinya: meski genteng rapuh, meski kapur hampir habis, semangat belajar tak boleh padam.
Bab 3 – Malam yang Menentukan
Malam merayap pelan di desa. Angin gunung turun membawa dingin yang menusuk, menyelinap lewat celah dinding bambu kamar kecil tempat Rehan tinggal. Lampu minyak di sudut meja bergoyang, cahayanya redup, melempar bayangan panjang ke dinding.
Rehan duduk di tikar, memandangi buku catatan yang penuh coretan rencana mengajar. Tangannya lelah, matanya berat, tapi pikirannya masih berputar.
Tadi pagi wajah anak-anak itu begitu bersemangat. Ia teringat tatapan berbinar saat namanya ditulis di papan tulis. Tapi ia juga ingat atap rumbia yang bolong, kapur yang tinggal sisa, dan lantai yang retak. Bagaimana caranya ia bisa bertahan lama di tempat ini?
Di luar, suara jangkrik bersahutan. Sesekali gonggongan anjing terdengar dari kejauhan. Bukannya menenangkan, justru membuat kesepian terasa lebih pekat.
“Bisakah aku?” gumamnya, hampir tak terdengar.
Sejenak, bayangan kota kembali hadir: kelas luas dengan jendela kaca, lembar kerja berwarna, murid-murid yang duduk nyaman. Semua itu terasa seperti dunia lain, jauh sekali dari desa terpencil ini.
Namun tiba-tiba ingatan tentang tawa kecil tadi pagi menyingkirkan keraguannya. Anak-anak yang mengetuk meja bambu, seolah mengirim pesan: kami ada di sini, jangan pergi.
Rehan menutup mata. Ia mengingat alasan keberangkatannya: janji pada dirinya sendiri untuk mengabdi, memberi makna pada ilmu yang ia miliki. Kalau ia menyerah sekarang, apa arti semua langkah panjang menyeberangi jembatan bambu itu?
Ia menegakkan tubuh. Pena yang tadi tergeletak ia genggam kembali. Lalu di halaman kosong ia menulis:
“Hari pertama. Sulit, tapi bukan alasan untuk berhenti. Anak-anak ini pantas mendapatkan kesempatan.”
Tulisan itu miring-miring, tinta agak meleber karena kertas murah. Tapi Rehan tersenyum puas. Ia menutup buku, meniup lampu minyak, dan berbaring di tikar yang dingin.
Di luar, bulan sabit menatap diam dari balik awan tipis. Malam itu, tekadnya telah dipatri: apapun rintangannya, ia akan tetap bertahan.
Bab 4 – Antara Sekolah dan Kebun
Keesokan paginya, kelas terasa lebih sepi. Bangku paling depan kosong—bangku yang biasanya ditempati Mawar. Rehan melirik pintu berkali-kali, berharap wajah kecil itu muncul. Namun hingga pelajaran selesai, bayangan Mawar tak juga tampak.
Selesai kelas, Rehan menghampiri Sardi, anak lelaki kurus yang duduk di belakang. “Sardi, kau tahu kenapa Mawar tidak masuk hari ini?”
Sardi menunduk. “Ayahnya suruh ke kebun, Pak Guru. Katanya panen jagung.”
Jawaban itu membuat dada Rehan terasa sesak. Ia menutup buku catatan, lalu pamit kepada anak-anak. “Baiklah, hari ini cukup. Besok kita lanjut.”
Jalan setapak menuju kebun berkelok dan licin. Rehan menemukan Mawar sedang memungut jagung ke dalam karung besar. Tubuh mungilnya tenggelam di antara tumpukan tongkol kuning. Di sisi lain, seorang lelaki berwajah keras—ayahnya—sedang mengikat hasil panen.
“Mawar,” panggil Rehan pelan.
Anak itu menoleh. Ada cahaya senang di matanya, tapi segera padam ketika ayahnya ikut menoleh.
“Pak Guru,” sapa lelaki itu datar, suaranya berat. “Apa perlu anak saya dimarahi karena tidak masuk sekolah?”
Rehan menelan ludah. “Saya hanya ingin tahu kabarnya. Mawar sangat rajin belajar. Sayang sekali kalau ia harus berhenti.”
Lelaki itu berdiri, tangannya masih menggenggam parang kecil. “Pak Guru, sekolah itu penting, saya tahu. Tapi perut juga harus diisi. Kebun ini yang bikin kami hidup. Kalau tidak ada yang bantu, siapa yang akan menyiapkan makan malam?”
Mawar menunduk, jemarinya memeluk karung jagung yang hampir lebih besar dari tubuhnya.
Rehan menghela napas. “Saya mengerti, Pak. Tapi kalau Mawar bisa membaca, menghitung, ia juga bisa membantu kebun dengan cara yang lebih baik. Mungkin suatu hari bisa mencatat hasil panen, atau tahu harga yang adil di pasar.”
Lelaki itu terdiam sejenak, matanya menyipit. Lalu ia mengibaskan tangan. “Cukup, Pak Guru. Untuk sekarang, biarkan Mawar di sini.”
Suasana hening. Angin menggerakkan daun jagung, gemerisiknya seperti bisikan panjang. Rehan ingin berkata lebih banyak, tapi ia sadar tak semua bisa diselesaikan dalam sekali bicara. Ia menatap Mawar, tersenyum tipis.
“Aku tunggu di sekolah besok, ya.”
Mawar mengangguk kecil, meski ayahnya tidak melihat.
Rehan berbalik, meninggalkan kebun dengan langkah berat. Dalam hati ia tahu, perjuangan sebenarnya bukan hanya melawan hujan atau atap bocor—tapi juga melawan kebutuhan hidup yang nyata di desa ini.
Bab 5 – Kapur yang Hampir Habis
Hari itu, sebelum anak-anak datang, Rehan berdiri lama di depan papan tulis. Sisa kapur hanya tinggal setengah batang, kecil sekali, hampir tak bisa digenggam. Ia mengetuk-ngetuknya di telapak tangan, seakan berharap kapur itu tiba-tiba bertambah panjang.
Ketika kelas mulai ramai, ia terdiam sejenak. Apa jadinya kalau kapur habis? Bagaimana aku akan menulis?
Murid-murid duduk rapi, menunggu. Sunyi. Lalu Rehan tersenyum kecil. Ia menoleh ke luar jendela bambu, melihat tungku dapur di rumah seberang, masih menyisakan arang hitam.
“Anak-anak,” katanya, “siapa di antara kalian yang bisa membawa arang bekas dari dapur rumah?”
Mereka saling pandang, bingung. Sardi mengangkat tangan. “Arang buat masak, Pak?”
“Ya. Tapi kita bisa pakai untuk menulis. Seperti kapur, warnanya juga meninggalkan jejak.”
Beberapa anak langsung berlari keluar, kembali dengan tangan penuh arang. Ada yang hitam pekat, ada yang rapuh hingga berdebu.
Rehan mengambil satu batang arang, menuliskan angka 1, 2, 3 di papan tulis. Coretannya kasar, tapi jelas terbaca. Anak-anak bersorak kecil, seolah menyaksikan sulap.
“Lihat? Tidak harus selalu dengan kapur. Kalau kita mau, selalu ada cara.”
Suasana kelas yang tadi tegang berubah riang. Anak-anak bergantian maju, mencoba menulis huruf dengan arang. Tangan mereka belepotan hitam, wajahnya penuh tawa.
Rehan memperhatikan sambil menahan senyum. Debu arang beterbangan, menempel di bajunya, tapi ia tak peduli. Dalam hatinya ia tahu: inilah inti mengajar di desa terpencil—bukan soal kelengkapan, tapi soal akal dan semangat.
Ketika bel istirahat dibunyikan—sebuah kentongan bambu dipukul tiga kali—anak-anak berhamburan keluar, meninggalkan papan penuh coretan hitam. Rehan memandanginya sebentar. Tulisan arang itu mungkin cepat pudar, tapi semangat yang lahir darinya akan bertahan lebih lama.
Bab 6 – Hujan Pertama
Langit mulai menghitam sejak pagi. Awan kelabu menggantung rendah di atas bukit, seakan menahan sesuatu yang berat. Saat pelajaran berhitung baru setengah jalan, angin kencang tiba-tiba menerobos lewat celah dinding bambu. Anak-anak saling pandang, lalu suara hujan turun: deras, menimpa atap rumbia dengan bunyi gaduh.
“Pak Guru!” teriak seorang murid kecil, menunjuk ke atas. Dari celah atap, air mulai menetes deras, jatuh tepat di tengah kelas. Lantai semen yang retak-retak berubah jadi licin. Beberapa anak menggeser bangkunya ke sudut, berdesakan.
Rehan buru-buru mengangkat buku-buku yang mulai basah, menaruhnya di rak bambu yang agak tinggi. Tapi tak lama, tetesan lain muncul di dekat papan tulis, membuat coretan arang yang tadi jelas kini meleleh hitam.
Anak-anak riuh. Ada yang tertawa karena bajunya basah, ada yang meringis kedinginan.
“Tenang,” kata Rehan, meski ia sendiri cemas. Ia menyerahkan baskom kaleng bekas ke dua murid untuk menampung air, sementara yang lain diminta menyingkirkan bangku ke pojok yang lebih kering.
Suara hujan kian menderu, menenggelamkan suara Rehan. Ia harus mendekatkan wajah agar murid-murid mendengar instruksi. Kelas berubah jadi hiruk pikuk: suara hujan, denting tetesan ke baskom, tawa, dan keluhan.
Di tengah kekacauan itu, Rehan berdiri menatap ke atas. Air menetes tanpa henti, seolah menguji kesabaran. Ia menghela napas panjang, lalu menatap anak-anak yang masih setia bertahan.
“Baiklah,” katanya lebih keras, “hari ini kita belajar di luar. Ayo, bawa bangku kalian ke teras.”
Anak-anak segera bergerak. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah duduk berjajar di bawah pohon mangga besar, terhindar dari hujan. Lembaran tanah di depan mereka menjadi papan tulis baru; Rehan menuliskan angka dengan ranting, sementara anak-anak menjawab dengan kerikil yang mereka kumpulkan.
Hujan tetap turun, tapi tawa mereka tidak kalah nyaring. Rehan tersenyum kecil. Meski kelas bocor, semangat itu ternyata tidak ikut hanyut.
Namun di dalam hatinya, ia tahu: atap yang bolong bukan sekadar gangguan kecil—ini tanda bahaya. Kalau tidak diperbaiki, suatu hari bisa meruntuhkan seluruh sekolah.
Bab 7 – Rasa Ingin Menyerah
Malam itu, tubuh Rehan terasa berat. Seharian ia mengajar di kelas yang bocor, memindahkan bangku, menyelamatkan buku dari air. Bajunya masih lembap, kulitnya dingin. Di kamar kecilnya, ia duduk di tikar dengan kepala berdenyut.
Lampu minyak bergoyang ditiup angin. Bayangan Rehan di dinding tampak rapuh, seakan siap runtuh kapan saja.
Apakah aku bisa terus begini? pikirnya. Setiap hari selalu ada tantangan baru: kapur habis, atap bocor, murid-murid yang harus membantu orang tua di kebun. Tenaganya terkuras, semangatnya digerogoti perlahan.
Ia sempat membayangkan pulang. Jalan setapak kembali menyeberangi jembatan bambu, lalu kota yang nyaman menantinya: kelas bersih, listrik terang, buku lengkap. Godaan itu begitu kuat.
Namun bayangan lain segera menyusul: tatapan Mawar yang ingin sekali belajar, senyum Sardi ketika berhasil menulis huruf dengan arang, tawa anak-anak saat memindahkan bangku ke teras.
Rehan menghembuskan napas panjang. “Tidak boleh menyerah,” bisiknya pelan, seolah meyakinkan diri sendiri.
Ia meraih catatan di samping tikar, menulis dengan tangan gemetar:
“Hari ini berat. Tapi anak-anak lebih berat menanggung hidup mereka. Tugasku adalah menemani, bukan lari.”
Tulisannya goyah, tapi kalimat itu mengikat kembali hatinya.
Ia menutup buku, memejamkan mata, dan membiarkan suara malam membelai kelelahan. Hujan masih turun di kejauhan, tapi kali ini terdengar lebih seperti nyanyian pengantar tidur daripada ancaman.
Bab 8 – Suara dari Desa
Pagi itu, Rehan berangkat ke sekolah lebih awal. Jalan tanah masih basah sisa hujan semalam, menempel di sandal hingga berat melangkah. Dari kejauhan ia melihat beberapa orang laki-laki duduk di beranda rumah bambu, berbincang sambil menyeruput kopi panas.
Ia melambatkan langkah ketika samar-samar mendengar obrolan mereka.
“Anak-anak terlalu sering di sekolah,” kata seorang lelaki tua, suaranya serak. “Padahal di kebun banyak pekerjaan.”
Yang lain menimpali, “Betul. Belajar baca tulis memang bagus, tapi apakah bisa bikin perut kenyang?”
Tawa kecil menyusul. Rehan menunduk, memilih lewat tanpa menyapa. Kata-kata itu menempel di telinganya, menusuk lebih dalam daripada rasa dingin di kaki.
Di sekolah, anak-anak mulai berdatangan. Tapi jumlahnya berkurang. Beberapa bangku kosong. Rehan menghitung cepat—tiga murid tidak hadir.
Ia memulai pelajaran seperti biasa, tapi matanya sering melirik ke bangku kosong itu. Suara obrolan warga tadi pagi terus bergema di kepalanya. Apakah benar? Apakah aku hanya membuang waktu?
Saat istirahat, Mawar mendekat dengan wajah cemas. “Pak Guru… Ayah bilang mungkin aku tidak bisa sekolah setiap hari. Katanya aku harus lebih sering di kebun.”
Rehan berjongkok agar sejajar dengannya. “Kamu ingin sekolah, kan?”
Mawar mengangguk pelan.
“Kalau begitu, kita cari cara. Katakan pada ayahmu, aku tidak akan menahanmu seharian. Kalau pagi di sekolah, sore kau tetap bisa bantu di kebun. Setuju?”
Mawar menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Setuju, Pak Guru.”
Menjelang siang, kelas usai. Rehan duduk sendirian di depan papan tulis. Hujan kecil kembali turun, menetes dari celah atap yang sama. Ia menatap titik-titik air itu, lalu menghela napas panjang.
Bukan hanya atap sekolah yang bocor, pikirnya. Kepercayaan orang tua juga mulai retak.
Ia tahu, pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai.
Bab 9 – Atap yang Hampir Runtuh
Langit mendung sejak pagi, tapi anak-anak tetap datang. Mereka duduk di bangku bambu, sebagian masih basah karena hujan yang menetes dari daun di jalan. Rehan memulai pelajaran membaca, suaranya harus lebih keras dari deru angin yang makin kencang.
Tak lama, hujan turun deras. Atap rumbia bergetar dihantam air, suara tetesan memenuhi ruangan. Baskom kaleng yang biasanya menampung bocoran kini cepat meluap. Lantai semen retak menjadi licin, anak-anak menggeser bangkunya ke dinding.
Tiba-tiba terdengar krak! keras dari atas. Sebuah bilah bambu penyangga atap patah, jatuh menghantam meja di depan kelas. Anak-anak menjerit, beberapa berlari ke arah pintu.
“Tenang! Jangan panik!” Rehan berusaha menahan mereka. Tapi hujan dan angin membuat suaranya hampir tak terdengar.
Air kini mengucur deras lewat lubang besar di atap. Dinding bambu ikut bergetar diterpa angin. Rehan tahu, tinggal sedikit lagi bagian atap bisa runtuh sepenuhnya.
“Semua keluar! Cepat, bawa buku kalian!” teriaknya.
Anak-anak berhamburan keluar, menyeberang ke teras, lalu berlari ke bawah pohon mangga besar. Rehan memastikan satu per satu keluar dengan selamat. Baru setelah itu ia sendiri melangkah keluar, tubuhnya basah kuyup.
Dari kejauhan, mereka menatap kelas yang kini hampir roboh. Atapnya berlubang besar, air masuk tanpa ampun, meja-meja terendam.
Mawar mendekat, memeluk tas kainnya yang basah. “Pak Guru… kalau sekolahnya rusak, kita belajar di mana?”
Pertanyaan itu membuat Rehan terdiam. Ia menatap bangunan rapuh itu, hatinya seperti ikut runtuh. Tapi ia tahu tak boleh menunjukkan putus asa di depan anak-anak.
“Kita akan tetap belajar,” katanya akhirnya, berusaha tersenyum. “Kalau perlu di bawah pohon, atau di rumahku. Sekolah itu bukan bangunannya—sekolah itu kita.”
Anak-anak saling pandang. Sebagian masih takut, tapi kata-kata itu memberi sedikit tenang.
Rehan menggenggam erat koper berisi buku yang tadi berhasil ia selamatkan. Hujan masih mengguyur deras, tapi di dalam dadanya, tekad kembali menyalakan api: ia tidak boleh membiarkan semangat anak-anak padam bersama runtuhnya atap sekolah.
Bab 10 – Mencari Pertolongan
Hujan semalam masih meninggalkan jejak. Pagi ini, halaman sekolah becek, genangan air bercampur lumpur menutupi pijakan. Atap rumbia yang bolong menggantung miring, sebagian bilah bambu patah. Dari luar, bangunan itu tampak seperti siap ambruk bila diterpa hujan berikutnya.
Rehan berdiri lama di depan pintu, tak sanggup membayangkan anak-anak kembali duduk di dalam ruangan itu. Ini tak bisa dibiarkan.
Siang harinya, ia memberanikan diri mendatangi rumah Pak RT. Rumah bambu itu sederhana, dengan beranda kecil tempat beberapa warga duduk mengobrol. Bau kopi panas bercampur asap rokok menebar di udara.
“Assalamu’alaikum,” sapa Rehan sambil menunduk hormat.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Pak RT, lelaki berperawakan tinggi dengan wajah keriput tapi ramah. “Ada apa, Pak Guru?”
Rehan menatap sekeliling sebentar, lalu berkata, “Saya ingin membicarakan kondisi sekolah. Atapnya hampir roboh. Anak-anak tidak bisa belajar dengan aman.”
Beberapa warga langsung saling pandang. Salah seorang berdehem. “Memang rusak, tapi memperbaiki butuh biaya. Siapa yang sanggup?”
“Kalau hanya tenaga, mungkin bisa gotong royong,” timpal warga lain, nada suaranya setengah ragu.
Pak RT mengelus dagunya. “Saya paham, Pak Guru. Tapi orang-orang sini sibuk di kebun. Mereka butuh alasan kuat untuk meluangkan waktu.”
Rehan mengangguk pelan. “Anak-anak adalah alasan terkuat, Pak. Kalau sekolah hancur, masa depan mereka juga ikut hancur.”
Suasana hening sesaat. Hanya suara ayam berkokok dari kejauhan yang terdengar. Wajah Pak RT tampak bimbang, matanya menatap ke arah jalan becek menuju sekolah.
“Begini saja,” katanya akhirnya. “Nanti malam saya coba bicarakan di pertemuan warga. Tidak bisa janji, tapi saya akan sampaikan.”
Rehan menunduk hormat. “Terima kasih banyak, Pak.”
Dalam perjalanan pulang, langkah Rehan terasa ringan sekaligus berat. Ada harapan, tapi juga keraguan: apakah benar warga mau tergerak? Atau justru mereka akan menganggap sekolah hanya beban?
Ia menatap koper di tangannya, berisi buku-buku yang masih lembap. Apapun hasilnya, aku harus berjuang. Anak-anak tak boleh kehilangan tempat belajar.
Bab 11 – Musyawarah di Balai Desa
Malam itu, balai desa sederhana dipenuhi warga. Lampu petromaks menggantung di tengah ruangan, cahayanya kuning redup, memantulkan bayangan wajah-wajah lelah setelah seharian di kebun. Rehan duduk di sudut, menunggu giliran berbicara.
Pak RT berdiri di depan, batuk kecil sebelum membuka pertemuan. “Kita kumpul malam ini untuk membicarakan sekolah. Atapnya rusak parah, bisa membahayakan anak-anak. Bagaimana baiknya?”
Beberapa orang langsung bersuara.
Seorang lelaki paruh baya menggeleng. “Atap rusak, ya wajar. Dari dulu juga begitu. Anak-anak masih bisa belajar di luar, kan? Kenapa harus repot?”
Yang lain menimpali, “Kami ini kerja di kebun dari pagi sampai sore. Kalau harus memperbaiki sekolah, siapa yang akan urus ladang?”
Beberapa warga mengangguk setuju, suasana mulai riuh.
Pak RT menengok ke arah Rehan. “Pak Guru, mungkin bisa menyampaikan pendapat.”
Rehan berdiri perlahan. Suaranya sempat bergetar, tapi ia memaksa tetap tegas. “Bapak-bapak, Ibu-ibu… anak-anak sangat ingin belajar. Tapi atap sekolah bisa runtuh kapan saja. Kalau kita biarkan, bukan hanya buku yang basah—bisa saja anak-anak terluka.”
Ia berhenti sebentar, menatap satu per satu wajah di ruangan. “Sekolah memang tidak langsung memberi makan. Tapi kalau mereka bisa membaca, menulis, berhitung, bukankah itu akan membantu kebun juga? Mereka bisa menghitung hasil panen, menulis catatan jual beli, supaya tidak ditipu orang pasar.”
Beberapa wajah mulai berubah, tidak sekeras tadi. Namun ada juga yang tetap menggeleng, wajahnya tak mau luluh.
“Bagus memang, Pak Guru,” ujar seorang lelaki tua, “tapi kenyataannya kami butuh makan hari ini, bukan janji masa depan.”
Suasana kembali tegang. Hening panjang mengisi ruangan, hanya suara petromaks yang mendesis.
Pak RT akhirnya angkat bicara. “Begini saja. Kita tidak harus membangun besar-besaran. Kalau kita bergotong royong, sedikit demi sedikit memperbaiki atap, anak-anak bisa belajar dengan aman. Saya minta semua mempertimbangkan kembali.”
Rehan menunduk hormat. Ia tahu keputusan belum final. Tapi setidaknya benih sudah ditanam malam ini.
Bab 12 – Surat dari Yayasan
Pagi itu, seorang tukang pos desa datang bersepeda menembus jalan becek. Di tangannya ada beberapa surat, salah satunya untuk Rehan. Amplopnya lusuh, cap pos kota masih basah oleh embun.
Rehan membukanya dengan hati-hati di ruang kelas yang kosong. Tulisan resmi yayasan terbaca jelas, meski kertasnya agak lembap:
Kepada Relawan Pendidikan, Kami beritahukan dengan berat hati bahwa bantuan dana untuk sekolah desa akan dipangkas setengah mulai bulan depan. Keterbatasan anggaran membuat kami tidak bisa lagi menanggung biaya penuh. Kami harap Bapak/Ibu relawan dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Hormat kami, Pengurus Yayasan.
Tangan Rehan gemetar. Dana dipotong setengah berarti kapur, buku, bahkan perbaikan sekolah nyaris mustahil. Ia menatap papan tulis penuh coretan arang, lalu menunduk.
Saat anak-anak masuk, ia segera menyelipkan surat itu ke dalam tas. Wajah-wajah ceria menyapanya. “Selamat pagi, Pak Guru!”
Rehan tersenyum, meski dalam dadanya ada rasa sesak. Bagaimana aku menjelaskan pada mereka?
Pelajaran tetap berlangsung. Anak-anak menulis dengan arang, tangan mereka hitam tapi penuh tawa. Rehan memperhatikan, lalu menyadari sesuatu: mereka tidak tahu, dan mungkin tidak perlu tahu untuk saat ini.
Di akhir pelajaran, ia duduk sendiri di meja guru. Surat itu kembali ia baca, lalu diremas pelan.
“Kalau yayasan menyerah, aku tidak boleh ikut menyerah,” gumamnya.
Ia menatap langit-langit bocor, lalu ke wajah anak-anak yang berlarian di halaman. Tekanan bertambah, tapi semangat mereka justru membuatnya enggan berhenti.
Bab 13 – Arang dan Tawa
Keesokan paginya, Rehan datang ke sekolah masih dengan kepala penuh pikiran tentang surat yayasan. Matanya berat, senyumnya tipis. Namun begitu membuka pintu bambu kelas, ia tertegun.
Anak-anak sudah lebih dulu datang. Mereka duduk di lantai semen retak, sibuk menulis sesuatu. Tapi bukan dengan kapur—mereka menggunakan arang yang dibawa dari rumah masing-masing.
“Pak Guru, lihat!” seru Sardi sambil mengangkat tangannya yang hitam legam. Di papan tulis tampak coretan besar: huruf-huruf nama mereka, meski belum rapi.
Mawar maju, menuliskan kata ibu dengan hati-hati. Huruf u-nya terbalik, tapi wajahnya berseri-seri. “Aku belajar di rumah semalam, Pak,” katanya.
Rehan mendekat, lututnya hampir lemas oleh haru. “Kalian… melakukannya sendiri?”
Anak-anak mengangguk, tawa mereka memenuhi ruangan. Mereka menunjukkan jari-jari hitam, bangga dengan coretan kasar di papan.
Rehan menatap papan itu lama. Kemarin ia hampir putus asa karena surat yayasan. Tapi pagi ini, anak-anak membuktikan bahwa semangat belajar tak bisa dipotong separuh seperti dana.
Ia menepuk bahu Sardi. “Bagus sekali. Kalian semua hebat.”
Kelas berlangsung penuh riuh. Mereka menulis angka dengan arang, lalu saling menyalin di tanah memakai ranting. Lantai kotor, tangan belepotan, tapi wajah mereka cerah.
Di sudut ruangan, surat dari yayasan terselip di tas Rehan—terabaikan. Untuk pertama kalinya sejak kabar buruk itu, ia tersenyum lebar tanpa pura-pura.
Bab 14 – Mawar yang Ditahan
Hari itu, bangku di barisan depan kembali kosong. Rehan langsung tahu siapa yang tak hadir. Mawar.
Pelajaran tetap berjalan, tapi pikirannya terus melayang ke anak kecil itu. Seusai kelas, Rehan memutuskan pergi ke rumah Mawar.
Rumah itu sederhana, berdiri di tepi kebun jagung. Atapnya rumbia, dindingnya bambu. Dari luar, terdengar suara parang menghantam batang kayu.
“Permisi,” sapa Rehan pelan.
Seorang lelaki keluar, wajahnya keras, kulit legam terbakar matahari. Dialah ayah Mawar. Tangannya masih menggenggam parang kecil.
“Pak Guru,” katanya datar. “Mawar tidak bisa sekolah hari ini. Saya butuh dia di kebun.”
Rehan menelan ludah. “Saya mengerti, Pak. Tapi… Mawar anak yang rajin. Dia punya potensi besar. Kalau ia sering absen, sayang sekali.”
Ayah Mawar menatap tajam. “Sekolah memang bagus, tapi apakah bisa memberi makan? Kami harus panen. Kalau tidak ada yang bantu, siapa yang akan menyiapkan makanan untuk malam ini?”
Hening sejenak. Hanya suara dedaunan berdesir diterpa angin. Mawar muncul di balik pintu, matanya redup, seolah ingin bicara tapi takut.
Rehan menarik napas. “Pak, izinkan Mawar setidaknya sekolah setengah hari. Sore ia tetap bisa ke kebun. Pengetahuan kecil hari ini bisa jadi bekal besar di masa depan.”
Ayahnya terdiam. Parang di tangannya menurun sedikit. Tapi wajahnya masih keras. “Saya pikirkan. Tapi jangan harap dia selalu bisa hadir.”
Rehan mengangguk pelan. “Itu sudah cukup, Pak. Terima kasih.”
Mawar berani melangkah setengah keluar, lalu berbisik lirih pada Rehan. “Aku akan datang kalau bisa, Pak Guru.”
Rehan tersenyum tipis. “Aku tunggu.”
Dalam perjalanan pulang, dada Rehan terasa berat. Ia tahu, setiap anak di kelas punya cerita sendiri. Tapi melihat semangat Mawar terkekang membuat hatinya semakin gelisah.
Bagaimana aku bisa melawan kenyataan pahit ini? pikirnya. Sekolah kalah oleh kebun. Masa depan kalah oleh perut hari ini.
Namun di balik keputusasaan itu, ia berjanji: ia tak akan membiarkan Mawar—atau anak-anak lain—hilang begitu saja dari sekolah.
Bab 15 – Bukan Sekadar Mengajar
Malam itu, Rehan duduk di beranda rumah kecil yang ditempatinya. Langit gelap tanpa bintang, hanya suara serangga yang berisik di semak-semak. Lampu minyak di sampingnya berkedip tertiup angin.
Ia membuka buku catatan, mencoba menulis rencana pelajaran, tapi tangannya berhenti. Yang muncul di kepalanya bukan soal huruf atau angka—melainkan wajah Mawar yang menunduk di balik pintu, serta tatapan keras ayahnya.
Mengajar anak-anak ternyata hanya separuh dari perjuangan, pikirnya. Separuh lainnya adalah meyakinkan orang tua bahwa sekolah layak diperjuangkan.
Ia menuliskan kalimat itu di buku, huruf-hurufnya miring karena tangan gemetar. “Tugas guru di desa: bukan hanya mengajar murid, tapi juga mendidik harapan orang tua.”
Rehan memejamkan mata. Ia sadar, selama ini ia terlalu sibuk dengan papan tulis dan kapur, seakan itu inti masalah. Padahal, kepercayaanlah yang bocor lebih parah daripada atap sekolah.
Bayangan musyawarah warga beberapa malam lalu kembali terngiang. Kata-kata pedas: ‘Sekolah tidak bikin kenyang.’ Meski menyakitkan, ia tahu itu bukan kebencian—melainkan suara perut kosong yang lebih keras dari logika masa depan.
Rehan menggenggam pena lebih erat. Kalau begitu, aku harus mencari cara. Bukan hanya untuk membuat anak-anak betah di kelas, tapi juga agar orang tua melihat manfaatnya dengan mata sendiri.
Ia menutup buku catatan, menatap gelap malam yang pekat. Dalam hatinya tumbuh sebuah tekad baru: pendidikan di desa ini harus dibuktikan lewat tindakan nyata, bukan janji manis.
Bab 16 – Saat Guru Sakit
Sejak pagi tubuh Rehan terasa lemah. Tenggorokannya kering, kepalanya berat. Tapi ia tetap berangkat ke sekolah, memaksakan diri berdiri di depan kelas.
Baru setengah jam pelajaran berjalan, pandangannya mulai berkunang. Anak-anak menatap cemas ketika ia terbatuk keras, lalu harus duduk di kursi bambu. “Pak Guru tidak apa-apa?” tanya Mawar dengan suara kecil.
Rehan memaksakan senyum. “Sedikit pusing. Kalian lanjutkan membaca dulu.”
Tapi tubuhnya benar-benar tak sanggup. Siang itu ia pulang lebih awal, berjalan tertatih ke rumah kecilnya. Begitu sampai, ia rebah di tikar, membiarkan demam naik perlahan.
Menjelang sore, terdengar suara gaduh di depan pintu. Pintu bambu diketuk pelan. “Pak Guru… boleh kami masuk?”
Rehan membuka mata. Di hadapannya berdiri beberapa murid: Mawar, Sardi, dan dua anak lain. Mereka membawa sesuatu—bungkus kecil daun pisang, segelas air jahe hangat, dan seikat bunga liar yang baru dipetik.
“Kami dengar Pak Guru sakit,” kata Sardi. “Ini obat dari ibu saya.”
Rehan terharu. Ia duduk perlahan, menerima air jahe yang masih mengepul. Hangatnya mengalir ke tenggorokan, menenangkan rasa kering.
Mawar mendekat, meletakkan bunga di samping tikar. “Supaya rumah Pak Guru wangi,” katanya polos.
Hati Rehan bergetar. Ia memandang wajah-wajah kecil yang penuh kepedulian itu. Anak-anak yang seharusnya ia kuatkan, justru hari ini menguatkannya.
“Terima kasih, anak-anak,” ucapnya pelan, mata hampir berkaca-kaca. “Kalian tahu? Guru boleh sakit, tapi semangat guru sembuh karena murid-muridnya.”
Mereka tertawa kecil, lalu duduk mengelilinginya, bercerita ringan tentang kebun, sungai, dan permainan sederhana. Sore itu, sakit Rehan memang belum reda, tapi hatinya terasa jauh lebih kuat.
Bab 17 – Telepon dari Yayasan
Sore itu, Rehan baru saja pulang dari sekolah ketika ponselnya bergetar. Sinyal di desa jarang muncul, tapi kali ini cukup kuat untuk menerima panggilan. Layar menampilkan nomor tak dikenal—dari kota.
“Hallo, ini Pak Rehan?” suara di seberang terdengar formal.
“Ya, betul.”
“Saya dari yayasan. Kami ingin menegaskan kembali soal pemangkasan dana. Mulai bulan depan, bantuan benar-benar hanya setengah. Dan ada hal lain—” suara itu berhenti sejenak, lalu terdengar lebih berat. “Jika dalam satu bulan tidak ada laporan rencana kurikulum yang jelas, termasuk bukti sekolah masih layak digunakan, maka program di desa itu akan dihentikan.”
Rehan terdiam. “Dihentikan… maksudnya sekolah ditutup?”
“Bukan ditutup sepenuhnya, tapi bantuan dari kami akan dihentikan total. Kami mohon Bapak mengerti, ada banyak sekolah lain yang juga butuh dukungan. Kami harus memprioritaskan yang lebih siap.”
Suara itu formal, datar, tapi terasa seperti palu menghantam. Setelah panggilan berakhir, Rehan duduk terpaku. Ponselnya diletakkan di tikar, napasnya pendek.
Sebulan. Hanya sebulan untuk membuktikan bahwa sekolah ini masih layak hidup.
Ia menatap koper berisi buku-buku yang mulai kusam, atap sekolah yang bolong masih terbayang jelas di benaknya. Bagaimana ia bisa menyiapkan laporan kalau bangunan sendiri hampir roboh?
Namun ia teringat wajah anak-anak: Sardi dengan jarinya yang hitam oleh arang, Mawar dengan bunga liar di tangannya. Mereka bukan sekadar angka di laporan—mereka alasan kenapa sekolah ini harus tetap ada.
Rehan mengepalkan tangan. “Kalau yayasan ingin bukti, maka aku harus menunjukkannya. Dengan atau tanpa bantuan penuh.”
Suara hujan tipis kembali terdengar di luar. Tapi kali ini, di dalam dirinya ada tekad baru yang lebih keras dari derasnya air: ia harus membuat sekolah itu bertahan, apapun caranya.
Bab 18 – Anak-anak Membantu
Keesokan paginya, Rehan tiba di sekolah dengan kepala masih penuh beban dari telepon yayasan. Ia memandang bangunan rapuh itu dan bertanya dalam hati: Bagaimana aku bisa membuktikan sekolah ini layak, kalau beginipun hampir runtuh?
Saat pintu kelas dibuka, ia terkejut. Anak-anak sudah berkumpul lebih dulu. Mereka membawa sesuatu dari rumah masing-masing: potongan bambu, daun rumbia, bahkan seutas tali plastik bekas karung.
“Pak Guru!” seru Sardi dengan bangga. “Ini bambu dari kebun ayah. Bisa dipakai buat penyangga.”
Mawar mengangkat tumpukan daun rumbia yang hampir menutupi tubuh mungilnya. “Ibu kasih ini, katanya bisa jadi atap sementara.”
Rehan tercekat. “Kalian… sengaja membawa semua ini?”
Mereka mengangguk kompak. Wajah-wajah kecil itu berseri-seri, meski tangan mereka belepotan tanah.
Tanpa menunggu, mereka mulai bergerak. Beberapa anak memungut ember untuk menampung air bocor, yang lain membantu mengikat daun rumbia ke celah-celah atap dengan tali plastik. Suara tawa dan teriakan riang memenuhi kelas yang biasanya sepi.
Rehan ikut membantu, menahan bilah bambu sementara dua anak mengikatkan tali. Tangan kecil mereka bergerak kikuk, tapi penuh semangat.
“Lihat, Pak Guru! Sekarang tidak bocor lagi,” kata seorang anak setelah menempelkan selembar daun rumbia.
Tentu, hasilnya jauh dari sempurna. Bocoran besar tetap ada, tapi celah-celah kecil mulai tertutup. Yang lebih penting, kelas dipenuhi rasa memiliki.
Rehan berdiri, menatap mereka satu per satu. Inilah bukti nyata, pikirnya. Sekolah ini hidup karena hati anak-anak, bukan karena dana yayasan.
Ia tersenyum, menahan rasa haru. “Terima kasih, anak-anak. Kalian baru saja mengajarkan sesuatu pada Pak Guru: bahwa semangat tidak bisa dipotong setengah.”
Bab 19 – Benih Simpati
Sore itu, suara riuh terdengar dari arah sekolah. Beberapa warga yang sedang pulang dari kebun berhenti, menoleh penasaran. Dari celah pagar bambu, mereka melihat anak-anak memanjat bangku, menempelkan daun rumbia ke atap yang bocor.
Pak Dargo, lelaki tua berambut putih, mengerutkan dahi. “Apa-apaan itu? Anak-anak memperbaiki sekolah sendiri?”
Seorang ibu yang membawa ikatan kayu tertawa kecil. “Lihat si Mawar… tubuhnya hampir hilang di balik daun rumbia. Tapi wajahnya senang sekali.”
Beberapa orang berhenti lebih lama, menonton tanpa berkomentar. Di dalam kelas, Rehan ikut membantu, tangannya kotor oleh debu bambu. Tawa anak-anak pecah setiap kali tali plastik putus atau daun terjatuh.
Pak Dargo menggeleng pelan. “Kasihan juga ya, mereka. Harusnya bukan anak-anak yang memperbaiki sekolah.”
Ibu tadi menghela napas. “Mereka benar-benar ingin belajar, ternyata.”
Malamnya, obrolan kecil tentang itu menyebar di rumah-rumah. Ada yang merasa iba, ada yang tetap menganggap sekolah membuang waktu.
“Anak-anak kita rajin sekali, tapi apa gunanya kalau besok tetap kerja di kebun?” kata seorang ayah di beranda rumahnya.
“Tapi kalau mereka bisa berhitung, bukankah bisa membantu jualan hasil panen?” sahut istrinya, mencoba menimbang.
Pelan-pelan, percakapan semacam itu menyalakan api kecil di hati sebagian warga. Api yang belum besar, tapi cukup untuk menghangatkan keyakinan: mungkin sekolah memang pantas diperjuangkan.
Di kamar kecilnya, Rehan menulis catatan harian. Tangan masih pegal, tapi hatinya lebih ringan. “Hari ini anak-anak membuktikan bahwa mereka tidak menunggu bantuan. Dan orang dewasa… mulai melihat. Semoga besok mereka mau ikut turun tangan.”
Ia menutup buku, menatap lampu minyak yang bergoyang. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar yakin: perubahan sudah mulai bergerak.
Bab 20 – Gotong Royong
Pagi itu, Rehan datang ke sekolah dengan pikiran masih dipenuhi keraguan. Semalam ia menulis catatan penuh harapan, tapi tetap saja hatinya diliputi tanya: Apakah benar warga mau ikut membantu?
Namun begitu mendekati halaman, langkahnya terhenti.
Di sana, beberapa lelaki sudah berdiri. Ada Pak Dargo dengan palu kayu, dua pemuda menggendong bilah bambu, dan seorang ibu membawa gulungan daun rumbia. Anak-anak berlari di sekitar mereka, wajahnya berbinar.
“Pak Guru!” seru Sardi. “Bapak-bapak datang bawa bambu!”
Rehan nyaris tak percaya. “Ini… semua untuk sekolah?”
Pak RT muncul dari belakang, tersenyum lebar. “Kami rapat semalam. Akhirnya diputuskan, sekolah harus diperbaiki. Tidak bisa dibiarkan anak-anak bekerja sendiri.”
Rehan menunduk hormat, suaranya bergetar. “Terima kasih, Pak… terima kasih semuanya.”
Gotong royong pun dimulai. Suara palu kayu berpadu dengan tawa anak-anak. Lelaki dewasa memanjat rangka atap, menancapkan bambu baru sebagai penyangga. Ibu-ibu menyiapkan makanan sederhana: nasi jagung dan sayur daun singkong di piring anyaman.
Rehan ikut mengangkat bambu, meski tenaganya kalah dengan para petani yang terbiasa kerja keras. Peluh bercucuran, tapi senyum tak lepas dari wajahnya.
Anak-anak berlari membawa daun rumbia, menyerahkannya ke orang tua mereka. Mawar ikut sibuk, kali ini dengan restu ayahnya. Sesekali ia melirik ke arah Rehan dan tersenyum bangga.
Siang itu, atap yang sebelumnya bolong kini mulai tertutup rapat. Cahaya matahari tak lagi menembus celah besar, suara tetesan air tak lagi bergema di dalam kelas.
Ketika pekerjaan selesai, semua duduk di teras sekolah, menikmati nasi jagung bersama. Pak Dargo menepuk bahu Rehan. “Pak Guru, maaf kalau dulu saya meremehkan. Tapi melihat anak-anak ini… saya jadi yakin sekolah memang perlu.”
Rehan menatap wajah-wajah penuh peluh di sekitarnya. Hatinya penuh syukur. “Terima kasih, Bapak, Ibu. Hari ini bukan hanya sekolah yang diperbaiki, tapi juga harapan anak-anak.”
Bab 21 – Cahaya Baru
Keesokan paginya, suasana sekolah terasa berbeda. Ketika Rehan membuka pintu bambu, cahaya matahari masuk lembut tanpa disertai tetesan air. Atap yang kemarin rapuh kini berdiri kokoh dengan bilah bambu baru dan daun rumbia segar. Bau anyaman basah masih menyelimuti ruangan, tapi terasa menenangkan, seperti aroma kehidupan baru.
Anak-anak masuk dengan langkah riang. Mereka menatap ke atas, lalu berbisik kagum. “Tidak bocor lagi, Pak Guru!” teriak Sardi sambil tertawa.
Mawar duduk di bangkunya, wajahnya berbinar. Ayahnya ikut hadir sebentar di depan kelas, sekadar memastikan. Pandangannya bertemu dengan Rehan. Tidak ada kata, hanya anggukan singkat—tapi itu lebih berharga daripada seribu janji.
Pelajaran hari itu berjalan dengan semangat berbeda. Anak-anak menulis lebih berani, membaca lebih lantang. Rehan merasakan energi baru di setiap kata yang mereka ucapkan. Atap yang kokoh seolah menyalurkan keyakinan: mereka tidak lagi belajar di bawah bayangan runtuh, melainkan di bawah perlindungan kebersamaan.
Saat istirahat, anak-anak berlarian di halaman. Di sudut sekolah, beberapa warga masih sibuk merapikan sisa bambu dan menumpuk daun rumbia cadangan. Gotong royong tidak berhenti di hari kemarin, tapi berlanjut sebagai kebiasaan.
Rehan berdiri di teras, menatap pemandangan itu. Hatinya hangat. Inilah yang kuimpikan, pikirnya. Sekolah bukan hanya milikku dan anak-anak, tapi milik seluruh desa.
Malamnya, ia menulis di catatannya:
“Hari ini cahaya baru muncul. Sekolah berdiri lebih kokoh, anak-anak belajar lebih percaya diri, dan orang tua mulai melihat arti harapan. Jika pun yayasan datang menilai, semoga mereka melihat bukan hanya bangunan, tapi juga semangat yang menyala.”
Ia menutup buku, memadamkan lampu minyak, dan berbaring di tikar dengan senyum tipis. Untuk pertama kalinya sejak datang ke desa, ia tidur dengan hati benar-benar tenang.
Bab 22 – Penilaian Terakhir
Siang itu, sebuah mobil jeep tua memasuki desa, rodanya bergelut dengan lumpur jalan setapak. Warga yang sedang bekerja di kebun menoleh heran. Anak-anak berlari mengikuti, berbisik-bisik penasaran.
Dari mobil turun dua orang: seorang pria berjas tipis dan seorang perempuan dengan map tebal di tangan. Mereka memperkenalkan diri sebagai perwakilan yayasan.
“Pak Rehan?” tanya pria itu.
“Ya, saya.” Rehan berusaha tersenyum meski jantungnya berdebar.
“Kami datang untuk melihat kondisi sekolah dan kegiatan belajar. Sesuai surat dan telepon kemarin.”
Mereka berjalan menuju bangunan sekolah. Mata perwakilan yayasan sempat naik ke atap baru, melihat bilah bambu dan daun rumbia yang masih hijau. “Ini baru diperbaiki?” tanyanya.
“Ya,” jawab Rehan. “Bukan oleh kontraktor, tapi oleh warga desa. Gotong royong.”
Di dalam kelas, anak-anak duduk rapi. Tangan mereka hitam oleh arang, tapi papan tulis penuh tulisan nama, angka, dan kalimat sederhana. Sardi dengan lantang membaca, Mawar maju menulis kata ibu dengan huruf lebih rapi daripada sebelumnya.
Perempuan dengan map mencatat cepat. “Alat tulis terbatas, tapi… semangat anak-anak luar biasa,” gumamnya.
Rehan berdiri di samping, menahan napas. Ia tahu inilah saat yang menentukan.
Usai pelajaran, warga berdatangan. Pak RT, ibu-ibu, bahkan ayah Mawar ikut hadir. Mereka berdiri di teras, menyuguhkan kopi hitam dan singkong rebus kepada tamu yayasan.
Ayah Mawar angkat suara, suaranya tegas tapi hangat. “Dulu saya ragu, tapi sekarang saya lihat sendiri. Anak-anak kami bisa belajar sambil tetap membantu kebun. Sekolah ini harus bertahan.”
Kata-kata itu disambut anggukan warga lain.
Perwakilan yayasan saling pandang, lalu tersenyum. “Kami tidak bisa menjanjikan banyak dana. Tapi dengan bukti semangat ini—guru, murid, dan warga yang bergotong royong—program di desa ini akan dilanjutkan. Kami akan bantu sebisa kami.”
Sorak kecil pecah dari anak-anak. Rehan menutup wajah dengan tangannya, menahan air mata yang nyaris jatuh. Semua kerja keras, rasa sakit, dan keraguan yang ia tanggung terasa terbayar.
Ia menatap ke arah warga dan murid-murid. Sekolah ini selamat bukan karena surat atau laporan. Sekolah ini selamat karena hati yang percaya.
Epilog – Pengabdian
Beberapa bulan telah berlalu sejak hari penilaian. Musim hujan berganti panas, daun rumbia di atap sekolah mengering menjadi cokelat, tapi tetap kokoh. Suara anak-anak kini lebih lantang, memenuhi kelas setiap pagi.
Mawar duduk di bangku depan, tulisan tangannya semakin rapi. Ayahnya sesekali datang mengintip dari pintu, tak lagi melarang, bahkan sesekali membantu memperbaiki bangku yang patah.
Sardi bisa menghitung hasil panen dengan cepat, membuat ayahnya terkejut ketika ditunjukkan catatan sederhana di kertas lusuh. Perlahan, orang tua mulai melihat bahwa sekolah bukan musuh kebun, melainkan sahabatnya.
Di beranda rumah kecilnya, Rehan menulis catatan terakhir malam itu. Lampu minyak masih jadi penerang, tapi tangannya tidak lagi gemetar.
“Sekolah ini berdiri bukan karena dana, tapi karena hati yang percaya. Anak-anak mengajarkan padaku arti semangat, warga mengajarkan arti kebersamaan. Dan aku belajar bahwa pengabdian bukan tentang seberapa lama aku tinggal, melainkan seberapa dalam aku meninggalkan jejak.”
Ia menutup buku, memandang langit desa yang bertabur bintang. Di kejauhan, terdengar tawa anak-anak bermain di halaman, seolah menjadi nyanyian kecil yang menegaskan: pengabdian ini tidak sia-sia.
Rehan tersenyum. Ia tahu, jalan di depan masih panjang. Tapi malam itu, hatinya penuh tenang.
TAMAT

