ISTRI PERTAMA SOEKARNO
Bab 1
Bau Minyak Kayu Putih
Dunia Siti Oetari, enam belas tahun, menyusut menjadi satu aroma: bau tajam minyak kayu putih.
Bau itu menusuk, menempel di pori-pori kain kebayanya, meresap di bantal yang ia gunakan untuk tidur, dan bahkan, ia yakin, telah mendarah daging dalam napasnya sendiri. Itu adalah bau penyakit. Bau kamar ibunya.
Setiap pagi, sebelum matahari Surabaya sempat membakar halaman, Oetari sudah bangun. Ia akan mengambil air bersih di sumur, membasuh kain kompres, dan memerasnya dengan tangan yang terasa terlalu kecil untuk tugas itu. Lalu ia akan duduk di kursi kayu di samping ranjang.
Ibunya, Suharsikin, terbaring di sana. Selalu.
Napasnya terdengar dangkal, diselingi batuk kering yang menyayat. Tubuhnya yang dulu berisi kini hanya tinggal tulang berbalut kulit pucat. Mata yang dulu selalu tertawa itu kini lebih sering terpejam.
"Lak..."
Suara ibunya lirih, nyaris tak terdengar.
"Oetari di sini, Ibu," bisik Oetari, mengusapkan kain basah itu ke dahi ibunya. "Minum obat, nggih?"
Itulah dunianya. Ritual hening yang diulang-ulang. Obat, kompres, bubur, dan doa dalam hati yang dipenuhi ketakutan.
Ada aroma lain di rumah Peneleh itu, tentu saja.
Aroma kopi kental, tembakau kretek yang pekat, dan keringat puluhan laki-laki yang berdebat. Itu adalah bau pergerakan. Bau ayahnya, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Bau ruang depan.
Tapi dua aroma itu—minyak kayu putih dan tembakau—tidak pernah bercampur. Mereka dipisahkan oleh lorong kayu temaram yang kini terasa seperti perbatasan dua negara. Dunia Oetari ada di belakang. Dunia ayahnya ada di depan.
Dan pagi ini, dunia di ruang depan terdengar lebih berisik dari biasanya.
"TIDAK BİSA! KİTA TİDAK BİSA MERDEKA DENGAN MENGEMİS! KİTA HARUS REBUT!"
Suara itu. Menggelegar. Kerasnya membuat gelas obat di nakas Oetari bergetar.
Ibunya tersentak pelan dalam tidurnya, keningnya berkerut cemas.
Oetari menghela napas, setengah jengkel.
Itu suara Mas Karno.
Kusno Sosrodihardjo. Soekarno. Pemuda dua puluh tahun yang kos di rumah mereka. Murid kesayangan ayahnya, yang paling cerdas, paling berani, dan paling berisik.
Bagi Oetari, Soekarno adalah sebuah "gangguan" yang mengagumkan. Dia adalah kakak yang sering menggodanya, yang kadang membawakan oleh-oleh gula-gula jahe dari pasar. Tapi di saat lain, dia adalah orator yang seolah dirasuki api. Pria yang berbicara tentang hal-hal yang tidak Oetari pahami: Marxisme, Imperialisme, Hindia.
Kata-kata besar. Kata-kata yang tidak ada hubungannya dengan demam yang tak kunjung turun.
"Kemerdekaan adalah jembatan emas!" suara itu berteriak lagi. "Dan di seberang jembatan itulah kita..."
BRUKK!
Soekarno pasti menggebrak meja. Lagi.
Oetari memejamkan mata, mencoba mengabaikannya, memfokuskan diri pada ritme napas ibunya. Ia mengambil mangkuk bubur yang sudah mendingin.
"Ibu, makan sedikit, nggih?"
Suharsikin menggeleng lemah.
Oetari merasa matanya memanas. Ketakutan itu datang lagi, merayap di tenggorokannya. Ia harus memanggil ayahnya. Ayahnya pasti tahu cara membujuk Ibu.
Dengan langkah pelan, Oetari keluar dari kamar. Bau minyak kayu putih itu seketika berganti dengan bau asap rokok yang pekat. Semakin ia melangkah menyusuri lorong, suara-suara itu semakin jelas.
Ia berhenti di ambang pintu ruang depan, bersembunyi di balik bayangan.
Ruangan itu penuh. Ayahnya duduk di kursi rotan utama, matanya terpejam, mendengarkan dengan khusyuk. Di sekelilingnya, pemuda-pemuda lain duduk di lantai.
Kecuali satu.
Soekarno berdiri di tengah ruangan. Kemeja putihnya basah oleh keringat, lengannya digulung. Dia tidak sedang berbicara. Dia sedang—Oetari tidak tahu kata yang tepat—meledak.
"Mereka,"—Soekarno menunjuk ke luar jendela, ke arah jalanan tempat para serdadu Belanda biasa lewat—"Mereka tidak akan memberikan apa pun secara sukarela! Kekuasaan harus diambil, bukan diminta!"
Matanya... ya Tuhan, matanya.
Oetari sering melihat mata Mas Karno. Tapi mata yang ini berbeda. Bukan mata kakak yang jenaka. Mata itu terbakar. Ada api di dalamnya, api yang seolah bisa melahap seluruh ruangan.
Dia berbicara tentang "Hindia," tentang "Rakyat Marhaen," tentang "Masa Depan."
Oetari hanya memikirkan "obat," "kompres," dan "napas."
Dua dunia itu menatapnya, dan Oetari merasa begitu kecil, begitu tidak penting.
Tiba-tiba, dari kamar belakang, terdengar suara batuk yang keras. Batuk yang menyakitkan, panjang, dan diakhiri dengan suara tercekat yang mengerikan.
Dunia Oetari kembali.
"Ibu!" pekiknya.
Semua perdebatan di ruang depan langsung berhenti. Musik yang menggelegar itu seolah diputus paksa.
Oetari berbalik dan berlari. "Bapak! Bapak, Ibu..."
Ia mendengar ayahnya berseru panik di belakangnya. Ia mendengar derit kursi dan langkah kaki yang berlarian.
Oetari sampai di kamar, tangannya gemetar. Ibunya berusaha duduk, wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal-sengal.
"Lak... sakit..."
"Iya, Ibu, iya..." Oetari panik, tidak tahu harus berbuat apa.
"Oetari, beri jalan." Ayahnya masuk, wajahnya pias, segera memeluk Suharsikin, mencoba menenangkannya.
Tapi bukan hanya ayahnya yang datang.
Di ambang pintu, terengah-engah, berdiri Soekarno.
Api di matanya telah padam. Lenyap. Yang tersisa hanyalah kekagetan dan... sesuatu yang lain. Sesuatu yang Oetari tidak mengerti.
Dia menatap Suharsikin yang rapuh, lalu dia menatap Oetari, yang berdiri gemetar dengan mangkuk bubur di tangan. Dia melihat ketakutan di mata gadis itu.
Soekarno terdiam. Sang orator ulung itu kehabisan kata-kata. Dia, yang baru saja berbicara tentang mengguncang dunia, kini terdiam membisu di depan pemandangan duka domestik yang sederhana namun brutal.
Dia melangkah maju sedikit.
"Butuh bantuan... Nduk?" tanyanya.
Suaranya, yang tadi menggetarkan rumah, kini terdengar pelan dan canggung.
Oetari, dalam kepanikannya, hanya bisa menggelengkan kepala.
Soekarno tidak pergi. Dia hanya berdiri di sana, di ambang pintu kamar yang berbau minyak kayu putih itu. Seorang pemuda berapi-api yang terdiam di perbatasan dua dunia.
Oetari merasakan tatapannya. Tatapan itu tidak lagi memandanginya sebagai adik kecil yang bisa digoda. Itu adalah tatapan yang intens, penuh perhatian. Sebuah simpati yang begitu pekat, hingga rasanya Oetari bisa menyentuhnya.
Tatapan itu membuatnya lebih gugup daripada semua teriakannya tadi.
Bab 2
SUARA DARI RUANG DEPAN
Krisis di kamar itu berlalu secepat datangnya.
Ayahnya, Tjokroaminoto, dengan kelembutan yang kontras dengan citranya sebagai "Radja van Java", berhasil menenangkan Suharsikin. Ia membaringkan istrinya kembali, mengusap keningnya, dan membisikkan kata-kata yang Oetari tidak bisa dengar. Kehadirannya yang kokoh seolah menyerap semua kepanikan di ruangan itu.
Di ambang pintu, Soekarno berdeham.
"Pak," katanya, suaranya kini kembali normal, "Saya... saya tinggal dulu. Kalau ada apa-apa, panggil saya."
Tjokroaminoto hanya mengangguk sekilas, perhatiannya tercurah penuh pada istrinya.
Soekarno mundur perlahan. Oetari melihatnya berbalik, bahunya yang tadi tegang kini tampak sedikit melengkung. Dia kembali ke dunianya di ruang depan. Ke dunianya yang penuh asap, buku, dan kata-kata besar.
Oetari membiarkan ayahnya mengambil alih. Ia mundur, membereskan mangkuk bubur yang tumpah, dan mengganti kompres baru. Ia lega ayahnya ada di sini. Ayahnya selalu tahu apa yang harus dilakukan.
Tapi bayangan Soekarno yang berdiri canggung di pintu itu—tatapan matanya yang intens penuh simpati—sulit ia hapus.
Bagi Oetari, Soekarno adalah dua orang yang berbeda.
Ada Mas Karno. Ini adalah Mas Karno yang ia kenal pertama kali. Pemuda kurus yang datang ke rumah mereka dengan mata berbinar, memanggil ayahnya "Guru" dengan rasa hormat yang begitu dalam. Mas Karno ini yang sering duduk di pendopo, mengajarinya beberapa kata bahasa Belanda ("Zon itu matahari, Lak. Dan kau itu kleine bloem, bunga kecil"). Mas Karno ini yang akan tertawa terbahak-bahak saat adik Oetari menceritakan lelucon, dan yang akan membelikannya onde-onde jika kebetulan punya uang sisa.
Oetari menyukai Mas Karno yang itu. Dia adalah kakak laki-laki yang tidak pernah ia miliki; cerdas, jenaka, dan protektif.
Lalu ada Soekarno.
Soekarno adalah orang asing yang merasuki tubuh Mas Karno saat ia berdiri di ruang depan. Soekarno tidak tertawa; dia berpidato. Dia tidak mengajarinya kata-kata lucu; dia meneriakkan "Imperialisme!" dan "Kapitalisme!". Mata Soekarno tidak jenaka; mata itu membara.
Oetari takut pada Soekarno.
Dia takut pada energi mentah yang pria itu bawa, yang membuat piring-piring di rak dapur bergetar. Dia takut pada gairah yang begitu besar, yang membuatnya—dengan urusan kompres dan buburnya—merasa seperti sebutir debu.
Sore itu, rumah terasa lebih tenang. Rapat politik sudah bubar. Oetari selesai dengan tugasnya di kamar ibunya, yang kini tertidur pulas setelah minum obat.
Ia menemukan ayahnya duduk sendirian di beranda belakang, menatap pohon sawo kecik di halaman. Asap rokok klembak menyan mengepul di sekelilingnya. Wajahnya tampak lelah. Bukan lelah seorang pemimpin pergerakan, tapi lelah seorang suami dan ayah.
Oetari mendekat perlahan, membawa dua cangkir teh nasgitel.
"Bapak," sapanya pelan.
Tjokroaminoto menoleh, dan gurat-gurat lelah di wajahnya langsung melembut saat melihat putrinya. "Lho, Nduk cah ayu. Sini, duduk."
Oetari duduk di bangku kayu di sampingnya, menyodorkan secangkir teh. "Teh untuk Bapak."
"Wah, terima kasih." Ayahnya menyesap teh itu. "Ibumu bagaimana?"
"Sudah tidur, Pak. Kelihatannya lebih tenang," jawab Oetari.
Mereka terdiam sejenak. Keheningan di antara mereka selalu terasa nyaman. Oetari adalah putri kesayangannya, "Lak"-nya. Dan ayahnya adalah sandarannya.
Oetari memberanikan diri. "Tadi... Mas Karno bersemangat sekali di depan."
Tjokroaminoto tersenyum kecil ke dalam cangkir tehnya. "Dia memang begitu. Semangatnya lebih besar dari tubuhnya."
"Apa... apa yang Bapak bicarakan tadi? Sampai dia berteriak-teriak begitu?"
Ayahnya menatapnya, pandangannya menerawang. "Masa depan, Nduk. Masa depan tanah ini." Dia menghela napas. "Mas Karno itu istimewa."
"Tapi dia membuat Ibu kaget," kata Oetari pelan, lebih sebagai keluhan seorang anak perempuan.
Tjokroaminoto tertawa kecil. "Maafkan dia. Kusno itu... dia punya api, Lak. Api yang tidak dimiliki pemuda lain." Ayahnya meletakkan cangkirnya. "Bapak sudah tua. Bapak bisa bicara, Bapak bisa menulis. Tapi Bapak butuh seseorang yang bisa menyalakannya."
Dia menatap putrinya dengan serius. "Dia pemuda yang baik, Oetari. Sangat baik. Hatinya lurus. Hanya saja... caranya berbeda."
Oetari mencoba memahami. Ayahnya, pria yang paling ia hormati di dunia, menaruh kepercayaan begitu besar pada pemuda yang membuatnya takut itu. "Bapak... sangat sayang padanya?"
"Seperti anak sendiri," jawab Tjokroaminoto tanpa ragu. "Bapak melihat diriku yang lebih muda dalam dirinya. Yang lebih berani. Dia adalah masa depan."
Oetari merenung. Jika ayahnya begitu mempercayai Mas Karno, mungkin api itu tidak berbahaya. Mungkin api itu... baik.
"Tapi api itu panas, Pak," bisik Oetari. "Kadang... menakutkan."
Tjokroaminoto merangkul bahu putrinya. "Memang. Api selalu menakutkan bagi mereka yang tidak terbiasa. Tapi api juga yang memasak nasimu. Api juga yang memberi terang saat gelap." Dia tersenyum. "Jangan khawatir. Selama ada Bapak, api itu tidak akan membakarmu."
Oetari menyandarkan kepalanya di bahu ayahnya. Dia merasa sedikit lebih tenang. Dia mencintai ayahnya. Dan ayahnya mencintai Mas Karno. Itu menjebak Soekarno dalam posisi yang aneh di hatinya.
Malam itu, saat ia berjalan menuju kamarnya, ia melewati ruang depan yang kini gelap dan kosong. Ia melihat siluet Soekarno yang masih duduk di sana sendirian, diterangi satu lampu minyak kecil.
Dia tidak berpidato. Dia sedang membaca.
Dia kembali menjadi Mas Karno. Tapi Oetari kini tahu. Di dalam tubuh yang diam membaca itu, tersimpan api yang dibicarakan ayahnya. Api yang menakutkan, api yang penting, api yang dicintai ayahnya.
Dan entah kenapa, Oetari merasa simpati yang tadi ia lihat di mata Soekarno bukan hanya untuk ibunya. Tapi juga untuk dirinya.
Bab 3
Lamaran di Bawah Duka
Harapan adalah hal yang rapuh. Dalam tiga hari, harapan yang tersisa di rumah Peneleh hancur berkeping-keping.
Dokter Belanda yang dipanggil sebagai usaha terakhir telah pergi, tas kulitnya ditutup dengan gerakan final yang tegas. Ia tidak mengucapkan kata-kata penghiburan. Ia hanya menggeleng pelan pada Tjokroaminoto, dan itu sudah cukup.
Bau minyak kayu putih kini terasa sia-sia. Suharsikin tidak lagi merespons. Napasnya dangkal, matanya terpejam dalam tidur koma yang tidak lagi bisa ditembus oleh suara Oetari. Rumah itu kini tidak lagi tegang oleh antisipasi; rumah itu berat oleh penantian akan kematian.
Oetari duduk di samping ranjang, memegang tangan ibunya yang terasa dingin. Ia sudah tidak menangis. Air matanya kering. Ia hanya duduk, mati rasa.
Di luar kamar, di ruang tengah yang kini senyap, duka mengambil wujud yang berbeda.
Tjokroaminoto duduk di kursinya, tetapi ia tidak tampak seperti "Sang Radja". Bahunya terkulai. Wajahnya, yang biasa tegas memimpin rapat, kini hancur oleh kesedihan seorang suami. Di seberangnya duduk Pakde Harun, adik dari Suharsikin, seorang pria pragmatis yang datang dari Jombang.
"Mas Tjokro, kowe kudu ikhlas," kata Harun pelan, suaranya serak.
Tjokroaminoto hanya mengangguk, matanya menatap kosong ke lantai.
"Tapi," lanjut Harun, "sing urip kudu terus dipikirke." (Tapi, yang hidup harus terus dipikirkan).
Tjokroaminoto tidak merespons.
Harun berdeham, lebih lugas. "Oetari, Mas. Pikirkan Oetari."
Nama itu membuat Tjokroaminoto mengangkat kepalanya sedikit.
"Dia baru nembelas tahun," kata Harun. "Dia perempuan. Sebentar lagi... dia bakal tanpa ibu. Siapa sing arep jogo? Siapa sing arep bimbing?" (Siapa yang akan menjaga? Siapa yang akan membimbing?)
Ini adalah kekhawatiran yang nyata, kekhawatiran praktis di dunia di mana seorang gadis muda tanpa perlindungan seorang ibu adalah sasaran empuk gosip dan nasib buruk.
"Aku..." Tjokroaminoto memijat pelipisnya. "Aku... aku nggak tahu, Run. Pikiranku buntu. Aku sibuk. Sarekat Islam... perjuangan..."
"Perjuangan itu penting, Mas. Tapi keluarga itu wajib," potong Harun. "Oetari butuh perlindungan. Sekarang."
Di ruang depan, di balik sekat kayu, Soekarno sedang tidak membaca. Dia duduk dalam gelap, mendengarkan.
Dia telah mendengar setiap kata. Siapa sing arep jogo?
Kata-kata itu bergaung, bercampur dengan gambaran yang ia lihat beberapa hari lalu: Oetari yang panik di ambang pintu kamar ibunya, kecil dan rapuh. Ia teringat tatapan simpati yang ia rasakan.
Dan kini, ia mendengar gurunya—pria yang ia puja, pria yang memberinya ilmu dan tujuan—terdengar hancur dan putus asa. Tjokroaminoto tidak bisa melindungi putrinya sendiri karena sibuk melindungi bangsanya.
Bagi Soekarno, ini bukan sekadar masalah keluarga. Ini adalah sebuah ketidakadilan. Sebuah masalah yang menuntut solusi.
Dan Soekarno adalah seorang pemecah masalah. Dia bukan tipe orang yang duduk diam saat melihat masalah. Dia bertindak.
Hatinya berdebar. Ini adalah sebuah ide gila, sebuah impuls yang didorong oleh idealismenya yang meluap-luap. Dia menghormati Bapak. Dia menyayangi Oetari seperti adiknya. Dia bersimpati pada Ibu Suharsikin.
Ini adalah sebuah tindakan heroik. Sebuah pengorbanan yang pantas. Dia bisa meringankan beban gurunya. Dia bisa menjaga Oetari.
Dengan langkah mantap yang tidak mencerminkan keraguan sedikit pun, Soekarno bangkit. Dia berjalan melewati sekat, masuk ke ruang tengah yang berat oleh duka.
Pakde Harun dan Tjokroaminoto mendongak, kaget melihat pemuda itu menyela percakapan keluarga yang intim.
"Karno?" tanya Tjokroaminoto, suaranya lemah.
Soekarno berdiri tegak. Api itu ada di matanya lagi, tapi ini bukan api kemarahan. Ini api keyakinan.
"Bapak. Pakde Harun," sapanya, suaranya terkendali. "Maaf saya menyela. Saya... saya mendengar kekhawatiran Pakde."
Harun menatapnya curiga.
Soekarno menatap lurus ke mata Tjokroaminoto. "Bapak sudah saya anggap seperti ayah saya sendiri. Rumah ini adalah rumah saya. Dan Oetari... Oetari sudah seperti adik saya."
Ia mengambil napas dalam-dalam. "Jika Bapak mengizinkan... biarkan saya yang menjaga Oetari."
Keheningan total.
Harun memicingkan mata. "Menjaga bagaimana maksudmu, Nak?"
"Izinkan saya menikahi Oetari, Pak," kata Soekarno. Lugas. Tanpa basa-basi.
Ruangan itu seolah kehabisan oksigen. Pakde Harun ternganga.
Tjokroaminoto, yang tadi terkulai, kini duduk tegak. Kabut duka di matanya tersibak oleh keterkejutan. "Karno... apa yang kau... kau..." Dia mencari kata yang tepat. "Kau mencintai Oetari?"
Ini adalah pertanyaan krusial.
Soekarno tidak berbohong. Tapi dia juga tidak ragu. "Saya menyayanginya, Pak. Seperti adik saya. Saya menghormati keluarga ini lebih dari apa pun. Saya bersimpati pada kondisi Ibu."
Dia melangkah maju sedikit. "Dan saya tidak tahan melihat Bapak menanggung beban ini sendirian. Ini adalah kewajiban saya. Sebagai murid Bapak. Sebagai anak Bapak. Biarkan saya meringankan beban Bapak. Biarkan saya yang melindungi Oetari."
Ini bukan lamaran cinta. Ini adalah lamaran bakti.
Harun menatap Tjokroaminoto, alisnya terangkat, seolah berkata, 'Ini gila, tapi... ini solusi.'
Tjokroaminoto menatap pemuda di depannya. Pemuda yang brilian, yang berapi-api, yang baru saja menawarkan masa depannya untuk "menjaga" putrinya karena simpati. Di tengah keputusasaannya, tawaran Soekarno terasa seperti pelampung yang dilempar oleh Tuhan. Ini menyelesaikan masalah Harun. Ini memberi Oetari perlindungan. Ini memberi Suharsikin—mungkin—sedikit kedamaian terakhir.
"Kau serius, Karno?" bisik Tjokroaminoto.
"Saya tidak pernah seserius ini, Pak."
Tjokroaminoto memejamkan mata sejenak, lalu mengangguk pelan. "Beri aku waktu. Aku harus bicara dengan Oetari."
Soekarno mengangguk, lalu mundur dengan hormat.
Oetari tersentak dari lamunannya saat pintu kamar berderit. Ayahnya masuk, wajahnya terlihat sangat aneh. Campuran antara duka, keraguan, dan sesuatu yang Oetari tidak kenali.
"Lak..."
"Nggih, Pak?" Oetari berdiri. "Ibu..."
"Bukan soal Ibumu." Ayahnya memegang kedua bahu Oetari, memaksanya menatap mata beliau. "Ini... ini soal Mas Karno."
Oetari membeku. Mas Karno? Kenapa sekarang?
"Dia... dia baru saja melamarmu, Nduk."
Oetari tidak mengerti. Telinganya berdengung. Melamar? Apa maksudnya?
"Dia bilang, dia ingin menjagamu," lanjut ayahnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Dia bersimpati pada Ibu. Dia ingin meringankan bebanku."
Oetari menatap ranjang tempat ibunya berbaring, tak bergerak. Lalu ia menatap ayahnya, yang terlihat begitu rapuh. Dan ia teringat tatapan mata Mas Karno di ambang pintu beberapa hari lalu. Tatapan simpati yang intens.
Ini bukan lamaran yang ia baca di buku-buku roman Belanda. Ini bukan cinta.
Ini adalah sesuatu yang lain.
Oetari membuka mulutnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Di antara bau minyak kayu putih dan bayang-bayang kematian, sebuah keputusan telah dibuat untuknya. Dan dia, dalam kebingungannya, tidak tahu bagaimana cara menolaknya.
Bab 4
Manut
Kata-kata itu menggantung di udara yang pekat oleh bau obat.
Melamar.
Oetari menatap ayahnya. Jantungnya tidak berdebar. Jantungnya seolah berhenti. Ini tidak masuk akal. Mas Karno adalah... Mas Karno. Dia adalah diskusi di ruang depan. Dia adalah api, gairah, dan kata-kata besar. Dia adalah kakak yang mengaguminya dari jauh.
Dia bukan suami.
Konsep itu begitu asing, begitu salah, hingga Oetari tidak bisa memprosesnya.
"Bapak... apa maksud Bapak?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Tjokroaminoto memegang bahu putrinya lebih erat, seolah-olah Oetari-lah yang menopangnya, bukan sebaliknya. "Karno pemuda yang baik, Lak. Kau tahu itu. Bapak percaya padanya."
"Tapi... menikah?"
"Ini... ini keadaan darurat, Nduk," kata Tjokroaminoto, dan Oetari bisa mendengar keputusasaan dalam suaranya. "Ibumu... Ibumu tidak akan lama lagi."
Ayahnya memalingkan muka, matanya memerah.
"Pakde Harun benar," lanjutnya, lebih pelan. "Kau akan sendirian. Bapak sibuk. Pergerakan ini... kadang Bapak lupa pada rumah. Tapi Karno... dia di sini. Dia di rumah ini. Dia menawarkan diri untuk menjagamu. Melindungimu."
Oetari mundur selangkah. Melindungi. Menjaga. Kata-kata itu terdengar dingin. Seperti kontrak. Bukan pernikahan.
"Dia tidak mencintaiku," bisik Oetari. Itu bukan pertanyaan; itu adalah fakta.
Ayahnya menatapnya dengan sedih. "Dia menyayangimu, Lak. Dia bersimpati. Dan di zaman ini, simpati dan rasa hormat kadang lebih kuat dari... dari hal-hal yang kau baca di buku roman itu."
Tjokroaminoto duduk di kursi kayu, menundukkan kepalanya yang terasa berat. Sang Singa Podium itu tampak kalah. "Aku gagal menjagamu, Nduk. Aku terlalu sibuk dengan Hindia, sampai lupa pada putriku sendiri. Dan sekarang... sekarang aku tidak tahu harus bagaimana."
Pengakuan ayahnya itu—kelemahan yang baru pertama kali Oetari lihat—menghantamnya lebih keras daripada lamaran itu sendiri.
Ayahnya hancur. Ibunya sedang sekarat. Dan dia, Oetari, adalah masalah yang perlu diselesaikan.
"Beri Oetari waktu, Pak," katanya, suaranya gemetar. "Sebentar saja."
Dia tidak menunggu jawaban ayahnya. Dia berbalik dan melangkah pelan kembali ke satu-satunya tempat yang terasa nyata: kamar ibunya.
Dia duduk di kursi di samping ranjang.
Bau minyak kayu putih kini telah bercampur dengan aroma samar dupa cendana. Seseorang—mungkin Pakde Harun—telah menyalakannya di sudut ruangan, sebuah persiapan spiritual untuk sebuah pelepasan. Bau kematian kini terasa manis.
Oetari menatap wajah ibunya. Sangat tenang. Sangat jauh.
Dia mencoba membayangkan dirinya sebagai istri Soekarno.
Dia membayangkan sarapan pagi. Akankah dia harus membicarakan "Marhaen" sambil menyajikan kopi? Dia membayangkan malam hari. Akankah api di mata pria itu akan menatapnya di dalam kamar? Akankah dia berteriak-teriak tentang "Imperialisme" saat mereka hanya berdua?
Rasa takut yang dingin menjalarinya. Dia takut pada "Soekarno".
Tapi kemudian dia teringat "Mas Karno". Yang membawakannya gula-gula. Yang mengajarinya bahasa Belanda. Yang menatapnya dengan simpati begitu dalam di ambang pintu.
Dan dia teringat ayahnya. Pria terkuat yang ia kenal, kini terduduk rapuh di ruang tengah. Lamaran Soekarno bukan untuk Oetari. Lamaran itu adalah pelampung yang dilemparkan Soekarno untuk ayahnya.
Bapak percaya padanya. Dia akan menjagamu. Ibumu tidak akan lama lagi.
Perlahan, realitas itu mengendap. Ini bukan tentang keinginannya. Ini tidak pernah tentang keinginannya. Ini tentang kewajiban.
Peran Oetari bukanlah untuk bahagia. Perannya adalah untuk meringankan beban.
Jika pernikahannya dengan Mas Karno bisa memberi ayahnya kedamaian... Jika pernikahannya bisa membuat ibunya pergi dengan tenang, tahu bahwa putrinya "terjaga"... Maka apa arti ketakutannya?
Dia adalah putri H.O.S. Tjokroaminoto. Dia diajarkan tentang pengorbanan untuk sesuatu yang lebih besar. Dia hanya tidak menyangka "sesuatu yang lebih besar" itu adalah kedamaian pikiran ayahnya sendiri.
Ia memegang tangan ibunya yang dingin. "Ibu," bisiknya pada keheningan. "Oetari akan baik-baik saja. Oetari akan dijaga."
Ia duduk di sana selama sepuluh menit lagi. Saat ia bangkit, ia merasa sepuluh tahun lebih tua.
Dia berjalan kembali ke ruang tengah. Ayahnya masih di sana. Pakde Harun telah bergabung dengannya. Soekarno berdiri di dekat ruang depan, tegang, menunggu.
Oetari berjalan melewati Soekarno tanpa menatapnya. Dia berhenti di depan ayahnya.
Tjokroaminoto mendongak, matanya penuh harap yang menyakitkan.
Oetari berlutut dan memegang tangan ayahnya.
"Bapak," katanya, suaranya kini stabil. "Oetari manut."
Aku ikut.
Satu kata itu. Bukan "ya". Bukan "aku mau". Tapi "manut". Sebuah kata Jawa yang merangkum segala kepasrahan, bakti, dan cinta seorang anak.
Tjokroaminoto memejamkan mata, dan setetes air mata akhirnya jatuh. Dia menarik Oetari ke dalam pelukan erat. "Terima kasih, Nduk," bisiknya, dan Oetari merasa hancur mendengar ayahnya berterima kasih untuk pengorbanan sebesar ini.
Dari balik bahu ayahnya, Oetari bisa melihat Soekarno. Dia tidak tersenyum. Dia tidak terlihat bahagia. Dia terlihat... lega. Seolah-olah proposalnya yang rumit baru saja diterima oleh komite. Dia mengangguk sekali pada Tjokroaminoto, sebuah anggukan tegas.
Masalah telah terpecahkan.
"Kita laksanakan secepatnya," kata Pakde Harun, suaranya penuh kelegaan praktis. "Besok lusa. Selagi... selagi Mbakyu Suharsikin masih bersama kita."
Kabar itu menyebar dalam bisikan. Pernikahan. Bukan perayaan.
Malam itu, Oetari duduk di kamarnya, mendengarkan suara-suara lirih di luar. Suara orang mengatur tikar untuk akad. Suara ayahnya berbicara pelan dengan penghulu.
Tidak ada tawa. Tidak ada musik gamelan.
Hanya ada suara duka yang hening, dan persiapan tergesa-gesa untuk sebuah pernikahan yang terasa seperti upacara terakhir sebelum pemakaman yang sesungguhnya.
Bab 5
Jas, Dasi, dan Api
Hari itu tiba, dua hari kemudian. Cepat, tanpa jeda, seolah mengejar napas terakhir Suharsikin.
Tidak ada kemeriahan. Rumah Peneleh yang biasanya riuh oleh diskusi, kini sunyi oleh duka yang tertahan. Tidak ada gamelan. Tidak ada tamu undangan. Hanya ada keluarga inti, Pakde Harun, dan seorang penghulu dari KUA setempat yang dipanggil tergesa-gesa.
Di kamarnya, Oetari didandani oleh seorang kerabat jauh. Kebaya yang ia kenakan adalah kebaya terbaiknya, tapi bukan kebaya pengantin. Rambutnya disanggul sederhana. Hanya wangi melati yang ditusukkan di sanggulnya yang menandakan ini adalah sebuah upacara.
Tapi wangi melati itu terasa salah. Ganjil. Ia bertabrakan dengan aroma dominan di rumah itu: bau minyak kayu putih dari kamar ibunya yang hanya berjarak beberapa langkah.
Oetari merasa seperti boneka. Didandani, disiapkan, dan akan segera diserahkan. Ia duduk kaku di tepi ranjangnya, mendengarkan.
Jantungnya berdebar bukan karena antisipasi romantis. Jantungnya berdebar karena takut.
Dari kamarnya, ia bisa mendengar suara-suara pelan di ruang tengah. Suara ayahnya, Tjokroaminoto, yang terdengar serak. Suara Pakde Harun yang memberi instruksi lirih.
Lalu, ia mendengar langkah kaki yang ia kenali. Tegas, cepat, dan penuh percaya diri.
Mas Karno telah tiba di ruang tengah.
Keheningan melanda sesaat. Keheningan yang tidak wajar. Lalu, Oetari mendengar suara baru. Suara seorang pria yang berat dan berwibawa, yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Pasti itu sang penghulu.
"Mohon maaf, Nakmas," kata suara itu. Terdengar nada tidak setuju yang ditahan-tahan.
Oetari menahan napas.
"Ada apa, Kiai?" Itu suara Mas Karno. Tenang. Terlalu tenang. Dingin.
"Pakaiannya," kata sang penghulu. Suaranya kini lebih jelas, lebih tegas. "Ini akad nikah, Nakmas. Bukan pertemuan di societeit. Pakaianmu itu... tidak pantas."
Oetari memejamkan mata. Dia tahu persis apa yang dikenakan Mas Karno tanpa perlu melihat. Jas putihnya yang kaku. Kemeja berkanji. Dan, tentu saja, dasi kupu-kupu. Pakaian "Londo"-nya. Seragam perangnya melawan inferioritas.
"Pakaian saya?" ulang Soekarno, seolah kata-kata itu adalah sebuah hinaan.
"Sebaiknya diganti," sang penghulu melanjutkan, tidak menyadari di atas bara apa ia baru saja menuang minyak. "Pakai beskap. Atau setidaknya baju koko dan sarung. Hormati prosesi suci ini."
Keheningan yang menyusul terasa lebih berat. Oetari bisa membayangkan rahang Mas Karno mengeras.
"Apakah Tuhan hanya menerima beskap, Kiai?" tanya Soekarno. Kata-katanya tajam, membelah keheningan. "Apakah Islam saya ternoda oleh selembar kain di leher saya ini?"
"Karno, sudahlah..." Itu suara Pakde Harun, mencoba menengahi.
"Bukan begitu, Nakmas," sang penghulu mulai kehilangan kesabaran. "Ini adab. Ini adat. Kebiasaan kita. Tunjukkan rasa hormatmu!"
"Hormat?" Suara Soekarno kini bergetar. Api itu mulai menyala.
Oetari mencengkeram seprai di bawahnya. Jangan, Mas. Jangan sekarang.
"Hormat adalah saat Kiai menghargai saya sebagai diri saya!" Suara Soekarno mulai naik. Ini bukan lagi suara "Mas Karno". Ini adalah suara orator di ruang depan.
"Saya tidak mau didikte! Pakaian adalah kulit saya, Kiai! Dan jika Kiai menolak saya karena kulit ini..."
Terdengar suara kursi berderit, didorong ke belakang dengan kasar.
"PERSETAN!"
Bentakan itu menggema di seluruh rumah. Oetari tersentak hebat, seolah ditampar. Di kamar sebelah, ia mendengar ibunya mengerang pelan dalam tidurnya yang gelisah.
"PERSETAN DENGAN ADAT YANG MENGEKANG INI! SAYA PEMBERONTAK!" teriak Soekarno. Suaranya memenuhi setiap sudut, penuh amarah yang murni. "DAN SAYA AKAN MEMBERONTAK, BAHKAN DI HARI PERNIKAHAN SAYA!"
"Astaghfirullah! Jaga mulutmu, Nak!" balas sang penghulu, kini sama marahnya. "Kau di rumah gurumu! Ini akad suci!"
"Suci? Suci jika saya harus menjadi orang lain? Kalau begitu, tidak ada yang suci di sini!"
"KARNO!"
Itu suara ayahnya. H.O.S. Tjokroaminoto. Bukan suara Singa Podium, tapi suara ayah yang putus asa. "Karno, sabar, Nak. Sabar..."
"SABAR BAGAIMANA, PAK?" raung Soekarno. "HARGA DIRI SAYA DIINJAK-INJAK DI DEPAN CALON ISTRI SAYA! JIKA BEGINI CARANYA..."
Soekarno mengambil napas yang terdengar gemetar oleh amarah.
"BARANGKALI LEBIH BAIK TIDAK KITA LANJUTKAN HAL INI SEKARANG!"
Ancaman itu menggantung di udara. Membatalkan pernikahan.
Oetari menutup mulutnya dengan kedua tangan. Air mata panas menggenang di matanya. Air mata malu, takut, dan putus asa. Pernikahan yang diniatkan untuk meringankan beban, kini malah menjadi sumber keributan yang memalukan.
Dia mendengar ayahnya memohon. "Pak Penghulu... mohon dimaklumi... dia masih muda. Emosinya..."
"TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN EMOSI, PAK! INI PRINSIP!"
Terdengar langkah kaki yang berat dan marah. Menghentak. Menjauh dari ruang tengah.
Oetari mendengar pintu depan berderit terbuka, lalu dibanting menutup dengan keras.
BRAKK!
Suara itu final.
Dia pergi. Mas Karno telah pergi.
Di ruang tengah, hanya tersisa keheningan yang pecah. Oetari duduk terpaku di kamarnya. Mengenakan kebaya pengantinnya yang sederhana, riasannya mulai luntur oleh air mata yang tak tertahan.
Pernikahannya bahkan belum dimulai, dan rasanya sudah berakhir.
Bab 6
Pertanda Buruk
Keheningan yang ditinggalkan oleh pintu yang dibanting itu seribu kali lebih buruk daripada teriakannya.
Di dalam kamar, Oetari duduk membeku. Selesai. Semuanya selesai.
Dia telah gagal. Gagal menjadi solusi. Dia hanya menjadi pemicu masalah baru. Dia telah mempermalukan ayahnya. Dia telah membuat marah Mas Karno. Dan di kamar sebelah, ibunya, yang setengah sadar itu, pasti mendengar bentakan yang mengerikan tadi.
Air mata yang tadi sempat ia tahan, kini mengalir deras. Tangannya mencengkeram kebaya pengantinnya. Dia ingin merobeknya.
Ruang tengah di luar sana terasa vakum. Oetari bisa mendengar bisikan-bisikan panik. Suara Pakde Harun yang gusar, "Gusti... bocah edan! Edan tenan! Terus iki piye?" (Ya Tuhan... anak gila! Gila betul! Terus ini bagaimana?).
Lalu ia mendengar suara ayahnya, H.O.S. Tjokroaminoto. Lelah, sabar, dan penuh duka. "Biar saya bicara dengannya, Run. Tenanglah. Kau jaga Pak Penghulu."
Oetari mendengar langkah kaki ayahnya yang berat, melintasi ruangan, dan membuka pintu depan. Kali ini dengan pelan.
Dia sendirian lagi. Menunggu. Setiap detik terasa seperti satu jam.
Dia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan di luar sana. Yang ia dengar hanya gemerisik angin dan detak jantungnya sendiri yang memalu di telinga.
Di luar, di bawah terik matahari Surabaya yang mulai menyengat, Soekarno berdiri di pinggir jalan Peneleh.
Dia gemetar. Bukan karena takut, tapi karena luapan adrenalin dan amarah. Prinsipnya telah diinjak-injak. Dia, yang sedang berjuang membebaskan bangsanya dari adat kolonial, kini dipaksa tunduk pada adat lokal yang menurutnya sama kolotnya. Di hari pernikahannya!
Dia merogoh saku jasnya, tangannya masih gemetar. Dia butuh rokok.
Dia menarik sebatang kretek, meletakkannya di bibir. Tangan kirinya melindungi, sementara tangan kanannya menyalakan korek api kayu.
Srreet!
Api menyala.
Karena tangannya yang masih bergetar hebat oleh sisa-sisa kemarahan, api itu berkobar sedikit terlalu besar, tepat saat ia mendekatkannya ke ujung rokok. Lidah api itu menjilat, bukan hanya tembakau, tapi juga jari telunjuknya.
"Sial!"
Sebuah umpatan pelan dan tajam.
Rasa sakit yang tiba-tiba itu—panas, menyengat, dan nyata—memecah kabut amarah di kepalanya. Dia mengibaskan tangannya, menjatuhkan korek api itu.
Soekarno berhenti. Dia menatap jarinya. Kulitnya memerah. Detik berikutnya, sebuah lepuhan kecil mulai terbentuk. Putih dan jelek.
Dia menatap luka bakar kecil itu.
Sebuah firasat.
Dingin dan tajam, lebih tajam dari rasa sakit di jarinya.
Sebuah firasat buruk. Sebuah pertanda.
Pernikahan yang didasari simpati. Akad nikah yang dimulai dengan amarah. Dan kini, sebuah tanda fisik. Api.
Seolah alam semesta berbisik padanya: Kau bermain dengan api, Karno. Dan kau akan terbakar.
"Nak..."
Suara Tjokroaminoto di belakangnya terdengar begitu letih. "Masuklah. Selesaikan."
Soekarno tidak berbalik. Dia masih menatap jarinya yang melepuh. Kemarahannya telah lenyap. Yang tersisa kini hanyalah perasaan pasrah yang dingin. Sebuah fatalisme. Dia sudah terlanjur. Dia telah mengucap janji pada gurunya. Dia tidak bisa mundur.
Dia harus menelan pertanda buruk ini.
Dia mengambil napas panjang, menghisap rokoknya yang akhirnya menyala. Asap itu terasa pahit. "Baik, Pak," katanya datar.
Dia mematikan rokoknya, membuangnya ke tanah, dan berbalik. Wajahnya pucat, kaku, seperti topeng.
Oetari tersentak saat mendengar pintu depan dibuka lagi. Pelan.
Langkah kaki itu kembali. Berat. Teratur.
Dia melihat ayahnya masuk lebih dulu, wajahnya penuh kelegaan yang dipaksakan. Di belakangnya, Mas Karno.
Dia masih mengenakan jas dan dasinya. Dia telah menang. Tapi dia tidak terlihat seperti pemenang.
Wajahnya dingin. Matanya tidak lagi berapi-api. Mata itu kosong.
Dia berjalan lurus ke tikar tempat akad, duduk bersila di depan sang penghulu. Dia tidak menatap Oetari, yang masih berdiri gemetar di ambang pintu kamarnya. Dia tidak menatap siapa pun.
Sang penghulu, yang jelas-jelas masih tersinggung namun telah dibujuk oleh Tjokroaminoto, berdeham dengan kencang. "Kita... kita ulangi," katanya kaku.
"Kita lanjutkan," potong Soekarno, suaranya datar. "Tidak perlu diulangi. Lanjutkan."
Sang penghulu menelan ludah, lalu mengangguk kaku.
Prosesi itu dilanjutkan dengan kecepatan yang ganjil. Semua formalitas yang tersisa dilewati begitu saja. Doa-doa diucapkan seperti hafalan yang ingin cepat diselesaikan.
Lalu tibalah saatnya. Tjokroaminoto menjabat tangan Soekarno.
Ijab kabul itu diucapkan. Suara Soekarno terdengar jelas, mantap, dan tanpa emosi sedikit pun. Seperti sedang membacakan undang-undang.
"Saya terima nikah dan kawinnya Siti Oetari binti Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dengan maskawin tersebut, dibayar tunai."
"Sah!"
Kata itu terdengar seperti sebuah vonis.
"Alhamdulillah," bisik Pakde Harun, menyeka keringat di dahinya.
Oetari didorong pelan dari belakang oleh seorang kerabat. "Sana, Nduk. Sungkem suamimu."
Kakinya terasa seperti terbuat dari kapas. Dia melangkah pelan, berlutut di depan pria yang kini resmi menjadi suaminya. Pria yang beberapa menit lalu mengancam akan membatalkan semuanya.
Dengan tangan gemetar, Oetari meraih tangan kanan Soekarno.
Saat itulah dia melihatnya.
Di jari telunjuk suaminya, tepat di buku jari, ada bekas luka bakar baru. Merah, bengkak, dengan lepuhan kecil yang mengkilat.
Oetari tersentak pelan. Panas dari luka itu masih samar-samar terasa di kulitnya.
Dia mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan mata Soekarno.
Mata itu dingin. Sedingin es. Dia tidak sedang menatap Oetari. Dia sedang menatap melalui Oetari. Pikirannya ada di tempat lain. Jauh. Memikirkan pertanda buruknya.
Oetari dengan cepat menunduk, mencium tangan itu, menghindari luka bakarnya. Tangan itu terasa kaku dan tidak membalas.
Dia adalah Nyonya Soekarno.
Tapi yang ia rasakan di sentuhan pertama mereka sebagai suami-istri bukanlah kehangatan. Melainkan sisa-sisa panas dari api kemarahan, dan dingin yang menusuk dari sebuah firasat yang baru saja dimulai.
Bab 7
Guling di Antara Kami
Selamatan itu terasa seperti upacara pemakaman.
Tidak ada yang tertawa. Nasi kuning yang disajikan terasa hambar di lidah Oetari. Ruang tengah itu penuh, tetapi kosong oleh percakapan. Hanya ada denting sendok yang canggung.
Oetari didudukkan di samping Soekarno. Suaminya.
Kata itu terasa begitu asing. Suami.
Oetari bisa merasakan panas tubuh pria itu di sampingnya, meski mereka tidak bersentuhan. Dia bisa mencium aroma samar keringat sisa kemarahannya tadi, bercampur dengan wangi tembakau dan melati dari sanggulnya sendiri.
Dia tidak berani menatapnya. Dia hanya menunduk, mengaduk-aduk nasinya.
Soekarno sendiri tampaknya telah melupakan drama di akad nikahnya. Dia juga sudah melupakan Oetari. Dia sudah kembali ke dunianya.
"Rapat Sarekat Islam di Garut harus kita kawal, Pak," Oetari mendengar suaminya berbicara dengan ayahnya, melewati kepala Oetari, seolah Oetari adalah vas bunga di antara mereka. "Strategi non-co harus dipertegas. Belanda mulai menginjak-injak kita lagi."
Ayahnya, Tjokroaminoto, mengangguk. "Kau benar, Karno. Fokusmu harus ke sana."
Oetari membeku.
Mereka sedang membahas politik. Sekarang. Sepuluh menit setelah akad nikah yang penuh amarah itu, mereka sudah kembali membahas Sarekat Islam.
Oetari merasa dirinya tembus pandang. Dia adalah Nyonya Soekarno, sebuah status yang baru saja ia sandang, namun ia adalah orang yang paling tidak penting di ruangan itu.
Makanan itu selesai dalam keheningan yang berat. Satu per satu kerabat pamit, wajah mereka penuh belas kasihan yang tidak terucapkan. Pakde Harun menepuk bahu Oetari, "Sing sabar, Nduk." Sabar untuk apa?
Malam akhirnya tiba.
Seorang kerabat perempuan yang lebih tua, buliknya, menyentuh lengan Oetari. "Sudah malam, Nduk. Masuklah ke kamar."
Ini dia. Momen yang ia takuti sejak kata "melamar" itu diucapkan.
Jantung Oetari serasa jatuh ke perutnya. Kakinya kaku. Kamar pengantin mereka adalah kamar Soekarno. Kamar kosnya.
Dia berjalan seperti robot, didorong pelan oleh buliknya. "Layanilah suamimu dengan baik," bisik wanita itu.
Oetari masuk ke kamar itu. Kamar itu berbau seperti Mas Karno: buku-buku tua, kertas, dan rokok. Tidak ada hiasan bunga. Hanya ranjang besi yang sama tempat Soekarno biasa tidur.
Dia duduk di tepi ranjang. Kaku. Menunggu.
Dia tidak tahu berapa lama dia menunggu. Setengah jam. Satu jam. Dia mendengar suara ayahnya dan Mas Karno masih berdiskusi di luar. Suara mereka semakin pelan, lalu dia mendengar langkah kaki ayahnya menjauh.
Lalu, langkah kaki itu. Langkah kaki suaminya. Mendekat.
Pintu berderit terbuka.
Soekarno masuk. Dia tidak terlihat seperti pengantin baru yang bersemangat. Dia tampak lelah. Jasnya sudah dilepas, kemejanya kusut.
Dia berhenti saat melihat Oetari di ranjangnya. Duduk kaku, gemetar, dengan sanggul melati yang mulai layu.
Oetari menatapnya, ketakutan terlihat jelas di matanya.
Soekarno menghela napas panjang. Dia memijat pelipisnya, lalu menatap Oetari. Api di matanya telah lama padam. Yang ada kini adalah kelelahan. Dan, sekali lagi, simpati. Simpati yang sama seperti saat di kamar ibunya.
Dia melihat Oetari bukan sebagai seorang istri. Dia melihatnya sebagai seorang gadis kecil yang ketakutan, yang terjebak dalam situasi yang diciptakan oleh orang dewasa.
"Lak," panggilnya pelan. Suaranya serak.
Oetari hanya bisa menatap.
Soekarno berjalan, tapi bukan ke arahnya. Dia mengambil bantalnya sendiri dari ranjang. Lalu dia mengambil bantal guling yang tersandar di dinding.
"Kau tidur di sini," katanya, menunjuk ranjang itu.
Oetari mengerjap.
"Aku... aku akan tidur di lantai," kata Soekarno.
"Mas!" Oetari terkejut. "Jangan. Ini... ini kamar Mas Karno."
"Dan kau istriku." Soekarno mengucapkan kata itu dengan berat. "Istri yang masih kanak-kanak."
Dia menatap Oetari lurus-lurus. "Lak, dengar. Aku menikahimu karena aku menghormati Bapak. Aku menyayangimu seperti adikku sendiri. Dan aku bersimpati pada Ibumu."
Oetari menunduk. Dia tahu semua itu.
"Tapi kau masih terlalu muda. Enam belas tahun," lanjut Soekarno. "Aku... aku boleh saja dianggap tukang bercinta, tapi aku bukan pembunuh gadis remaja."
Oetari mengangkat wajahnya. Bingung. "Maksud, Mas?"
Soekarno tampak frustrasi mencari kata yang tepat. "Maksudku... kita akan... kawin gantung."
Kawin gantung. Istilah itu pernah Oetari dengar. Pernikahan di atas kertas.
"Kita akan tidur di ranjang yang sama," Soekarno akhirnya mengalah, menyadari betapa tidak pantasnya dia tidur di lantai sementara istrinya di ranjang. "Tapi... ada batasnya."
Dia berjalan ke ranjang. Dan di depan mata Oetari, dia meletakkan guling itu. Tepat di tengah-tengah. Membelah kasur itu menjadi dua wilayah yang terpisah.
"Ini batasnya," katanya tegas. "Aku akan menjagamu sebagai kakak. Aku bersumpah akan melindungimu dengan nyawaku. Tapi aku tidak akan menyentuhmu. Tidak sampai kau siap. Tidak sampai... ah, sudahlah."
Oetari menatap guling itu. Tembok kapas yang kokoh.
Perasaannya campur aduk.
Pertama, gelombang kelegaan yang luar biasa. Begitu besar hingga kakinya terasa lemas. Dia tidak perlu takut pada api itu. Dia aman.
Tapi sedetik kemudian, rasa malu yang dingin menjalari pipinya. Dia tidak diinginkan. Dia hanya "kanak-kanak" di mata suaminya. Dia adalah seorang istri, tapi bukan wanita.
"Sekarang tidurlah," kata Soekarno, nadanya final. "Hari ini sangat panjang."
Dia tidak menunggu jawaban Oetari. Dia berbaring di sisi ranjangnya, di balik guling itu. Dia membelakangi Oetari. Dan dalam hitungan menit, dari kelelahan fisik dan emosional, Oetari bisa mendengar napasnya yang teratur. Dia tertidur.
Oetari tetap duduk kaku di sisinya.
Dia menatap punggung suaminya. Di luar sana, di ruang tengah, ayahnya mungkin berpikir putrinya kini telah aman. Di kamar sebelah, ibunya mungkin sedang bermimpi putrinya telah bahagia.
Tapi di sini, di kamar pengantinnya, Oetari berbaring perlahan di samping guling itu, menjaga jarak. Dia tidak berani bergerak. Dia memejamkan mata, mencium aroma melati yang layu dan bau tembakau yang asing dari bantal suaminya.
Dia seorang istri. Dia seorang perawan. Dan dia tidak pernah merasa lebih sendirian seumur hidupnya.
Bab 8
Duka dan Dakon
Tiga hari setelah akad nikah yang riuh rendah itu, rumah Peneleh kembali tenggelam dalam keheningan yang sesungguhnya.
Suharsikin meninggal dunia.
Oetari sedang tertidur di kursi samping ranjang ibunya, kelelahan setelah tiga hari menjadi "pengantin" yang canggung di siang hari dan gadis kesepian di malam hari. Ia terbangun oleh ketiadaan suara. Hal yang paling menakutkan. Bukan batuk. Bukan erangan. Tapi keheningan total dari napas yang berhenti.
Dia mengguncang bahu ibunya. "Ibu? Ibu?"
Tangisnya yang pecah di pagi buta itu membangunkan seisi rumah.
Di upacara pemakaman, Oetari berdiri di samping ayahnya, H.O.S. Tjokroaminoto. Keduanya adalah patung-patung duka.
Lalu Oetari merasakan sebuah tangan di bahunya. Bukan merangkul. Hanya menepuk. Pelan, sedikit kaku.
Dia menoleh. Mas Karno. Suaminya.
Wajah pria itu terlihat tulus berduka. Dia menghormati Suharsikin. Tapi tatapannya pada Oetari adalah tatapan seorang kakak yang menghibur adiknya yang kehilangan.
"Sing tabah, yo, Lak," bisiknya. "Yang tabah."
Hanya itu.
Oetari mengangguk, kembali menatap gundukan tanah yang basah.
Dia tiba-tiba menyadari sesuatu dengan kejernihan yang menyakitkan. Alasan utama pernikahan ini—simpati untuk ibunya, keinginan untuk meringankan beban ayahnya—kini telah tiada. Ibu sudah pergi. Pernikahan telah terjadi.
Pengorbanannya terasa sia-sia. Seperti sebuah transaksi yang kehilangan objeknya.
Kini, yang tersisa hanyalah konsekuensi. Yang tersisa hanyalah kewajiban murni. Dia terikat pada pria ini, bukan lagi karena alasan duka yang mendesak, tapi karena selembar kertas dan kata "Sah" yang diucapkan di bawah paksaan.
Kehidupan "kawin gantung" mereka dimulai dengan sungguh-sungguh setelah masa berkabung berlalu.
Ritme yang aneh terbentuk. Pagi hari, Oetari akan bangun dari sisi ranjangnya, sementara di sisi lain, di balik benteng guling, Soekarno sudah bangun lebih dulu. Dia tidak pernah melihat suaminya itu terbangun. Dia selalu sudah rapi, sudah berpakaian, dan sudah berada di ruang depan.
Di ruang depan, dunianya dimulai.
"Bapak, baca ini!" Suara Soekarno akan menjadi suara pertama yang Oetari dengar setiap hari. Bukan "Selamat pagi, Dik," tapi "Surat kabar ini menghina Sarekat Islam!"
Oetari akan membuatkan mereka kopi. Dia meletakkan cangkir untuk ayahnya, dan cangkir untuk suaminya. Ayahnya akan tersenyum padanya. Suaminya akan mengangguk ("Makasih, Lak,") tapi matanya tidak pernah beranjak dari lembaran koran di tangannya.
Dia tidak melihat Oetari.
Semakin hari, Soekarno semakin tenggelam dalam dunia Tjokroaminoto. Statusnya sebagai menantu—meski hanya menantu gantung—memberinya akses dan otoritas yang lebih besar. Dia bukan lagi sekadar murid kos. Dia adalah bagian dari keluarga. Dia adalah tangan kanan Tjokroaminoto.
Dia sibuk mengikuti rapat. Dia menulis pamflet. Dia berdebat. Dia berapi-api.
Dan Oetari?
Oetari kembali ke dunianya. Dunia domestik. Dia mengurus rumah tangga yang kini ditinggal ibunya. Dia memastikan adik-adiknya makan. Dan di sela-sela itu, dia... bosan.
Dia berusia enam belas tahun, terperangkap dalam status Nyonya Soekarno, tapi hatinya masih hati Siti Oetari.
Suatu sore, empat bulan setelah pernikahannya, rumah terasa sepi. Ayahnya dan Mas Karno sedang pergi ke rapat besar SI di luar kota. Oetari merasakan kebebasan yang langka.
Dia memanggil adik-adiknya. "Ayo, main dakon di pendopo!"
Adik-adiknya bersorak. Mereka sudah lama tidak bermain dengan kakak perempuan mereka, yang kini tampak selalu murung.
Oetari mengeluarkan papan dakon kayu yang sudah tua. Dia duduk bersila di lantai pendopo belakang yang sejuk.
Dan untuk sesaat, dia lupa.
Dia lupa bahwa dia seorang istri. Lupa pada guling di ranjangnya. Lupa pada rasa malu dan tatapan dingin suaminya.
Dia tertawa. Tawanya lepas, renyah, saat biji-biji sawo kecil berjatuhan di lubang-lubang kayu. "Satu... dua... tiga... Kena! Haha! Giliranmu kalah, Di!"
Tawanya itu, tawa seorang gadis remaja yang bahagia, menggema di rumah yang telah lama sunyi oleh tawa.
"Lak!"
Suara itu. Tajam. Keras.
Tawa Oetari mati seketika. Seolah disiram air es. Biji-biji dakon membeku di genggamannya.
Dia menoleh perlahan.
Di ambang pintu pendopo, berdiri Soekarno. Dia pulang lebih cepat. Wajahnya kusut, kemejanya basah oleh keringat. Dia pasti baru saja pulang dari rapat yang panas, pikirannya penuh dengan strategi melawan Belanda.
Dan dia pulang, menemukan istrinya. Istrinya. Duduk di lantai, bermain permainan anak-anak.
Adik-adik Oetari, melihat raut wajah kakak ipar mereka, segera bangkit dan lari terbirit-birit tanpa permisi.
Tinggallah Oetari sendirian. Terduduk di lantai, di samping papan dakonnya.
"Mas..." bisiknya, merasa kecil. "Sudah... sudah pulang?"
Soekarno tidak menjawab. Dia berjalan mendekat. Dia tidak terlihat marah. Dia terlihat... putus asa. Frustrasi.
"Aku baru saja berdebat," katanya, suaranya lelah, "berdebat tentang nasib jutaan kaum buruh di pelabuhan yang diperas oleh lintah darat. Aku memikirkan bagaimana cara kita membebaskan bangsa ini."
Dia berhenti, menatap Oetari dan papan dakonnya.
"Dan kau... kau bermain?"
Oetari merasakan pipinya memanas. Dia merasa bodoh. Dia merasa tertangkap basah. "Aku... aku hanya..."
"Apa kau tidak punya hal lain untuk dikerjakan?" tanya Soekarno, suaranya tidak membentak, tapi menuntut. "Tidak bisakah kau membaca koran? Membantu Bapak mengetik naskah pidatonya? Melakukan sesuatu yang... berguna?"
Oetari menunduk. Dia tidak tahu cara mengetik. Dia tidak mengerti isi koran.
"Aku... aku tidak tahu, Mas," cicitnya.
Soekarno menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kasar. Dia sadar nadanya terlalu keras. Tapi dia tidak bisa menahan kekecewaannya.
"Sudahlah," katanya, lebih pelan. "Lanjutkan saja permainanmu."
Dia berbalik, melangkah masuk, kembali ke ruang depan, ke dunianya yang penuh kertas dan ide-ide besar.
Meninggalkan Oetari yang mematung di pendopo. Biji-biji sawo di tangannya kini terasa berat. Tawa renyah itu telah hilang.
Dia benar. Dia kanak-kanak.
Malam itu, Oetari tidak bisa tidur. Dia menatap punggung suaminya di balik guling. Jurang di antara mereka bukan lagi sekadar guling itu. Jurang itu adalah papan dakonnya. Jurang itu adalah isi kepala mereka yang begitu berbeda. Dia tidak akan pernah bisa mengimbanginya.
Dia hanyalah seorang istri kanak-kanak.
Bab 9
Kabar dari Bandung
Setelah insiden dakon itu, keheningan di antara mereka menjadi sebuah benda padat.
Guling di tengah ranjang kini terasa berlebihan. Sebuah formalitas yang tidak perlu. Soekarno bisa saja tidur di ranjang yang sama tanpa guling, Oetari tahu, dan jarak di antara mereka akan tetap ada. Jurang itu ada di dalam kepala mereka.
Oetari berhenti mencoba.
Dia tidak lagi mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya. Dia tidak lagi menghabiskan waktu di pendopo. Dia menyibukkan diri di dapur, di sumur, di kamar-kamar belakang. Dia membuat dirinya sibuk, membuat dirinya tidak terlihat. Dia adalah bayangan yang mengurus rumah, hantu domestik yang memastikan kopi suaminya tersaji di ruang depan tepat pukul enam pagi.
Dia adalah Nyonya Soekarno. Sebuah nama, sebuah fungsi. Bukan seorang istri.
Soekarno, di sisi lain, tampak semakin gelisah. Dia telah mendapatkan apa yang ia inginkan—status menantu Tjokroaminoto. Tapi itu tidak cukup. Rumah Peneleh, yang dulu adalah kawah candradimuka baginya, kini terasa sempit. Dia adalah singa yang membutuhkan panggung lebih besar dari sekadar ruang depan sebuah rumah kos.
Dia telah mengalahkan penghulu dengan dasinya. Dia telah memimpin rapat-rapat kecil. Tapi istrinya... istrinya bermain dakon.
Dia butuh lingkungan baru. Dia butuh tantangan baru. Dia butuh lawan bicara yang sepadan.
Jawabannya datang pada suatu sore yang gerah, dibawa oleh tukang pos.
Oetari sedang menjemur cucian di halaman belakang ketika dia mendengar sorakan. Bukan sorakan pidato. Bukan teriakan marah. Itu adalah pekik kegembiraan yang murni dan meledak-ledak.
"DITERIMA! HAHA! AKHIRNYA! DITERIMA!"
Itu suara Mas Karno.
Oetari menjatuhkan sehelai kebaya yang sedang dipegangnya. Dia berlari kecil ke dalam, jantungnya berdebar. Dia melihat suaminya di ruang tengah, melompat kecil, selembar surat terjepit di tangannya. Dia memeluk Tjokroaminoto, yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Saya diterima, Pak! Diterima!"
"Diterima di mana, Karno?" tanya Tjokroaminoto, ikut tersenyum melihat kebahagiaan muridnya itu.
"THS, Pak! Technische Hoogeschool te Bandoeng!" seru Soekarno. Sekolah Teknik Tinggi. Universitas. "Saya akan jadi insinyur! Saya akan ke Bandung, Pak! Bandung!"
Oetari berdiri di ambang pintu, membeku.
Bandung.
Kota pegunungan yang dingin. Jauh dari Surabaya. Jauh dari rumah ini.
Dia melihat api di mata suaminya. Tapi ini api yang berbeda lagi. Ini bukan api kemarahan, bukan api pergerakan. Ini api ambisi pribadi. Api kegembiraan seorang pemuda yang baru saja melihat masa depannya terbuka lebar.
Dan Oetari sadar, dalam seluruh kegembiraan itu, Soekarno tidak sekalipun menoleh ke arahnya. Dia tidak ada dalam gambaran masa depan itu.
Tjokroaminoto menepuk-nepuk punggung menantunya. "Syukurlah, Nak. Ini kesempatan besar. Kau pantas mendapatkannya. Kapan kau berangkat?"
"Secepatnya, Pak! Bulan depan! Ah, Bandung! Kota para intelektual! Saya bisa membangun studieclub di sana!"
Oetari mundur perlahan. Dia kembali ke cuciannya. Tangannya gemetar.
Mas Karno akan pergi.
Dia akan pergi ke Bandung untuk menjadi insinyur, untuk bertemu para intelektual. Dan dia... dia akan ditinggal di sini. Di Surabaya. Kembali menjadi Oetari, putri ayahnya. Status "istri gantung"-nya akan menjadi semakin gantung, terpisah jarak ratusan kilometer.
Perasaan aneh menjalari dirinya. Sebagian dari dirinya merasa sedih, tentu saja. Ditinggalkan.
Tapi bagian terbesarnya... merasa lega.
Napasnya terasa lebih ringan. Tidak akan ada lagi tatapan kecewa saat dia melakukan hal "kanak-kanak". Tidak akan ada lagi punggung yang membelakanginya di malam hari. Dia akan mendapatkan kamarnya kembali. Dia akan bebas.
Dia akan kembali menjadi Oetari.
Dia sibuk dengan pikirannya sendiri, melipat cucian kering, saat bayangan menutupi matahari sore.
Dia mendongak. Soekarno berdiri di depannya. Wajahnya masih memerah karena gembira, tapi kini ekspresinya lebih terkendali.
"Lak," katanya.
"Nggih, Mas. Selamat... Oetari dengar Mas diterima di Bandung."
"Ya," katanya singkat. Dia menatap Oetari, menatap tumpukan cucian, menatap ke dalam rumah. Dia tampak berpikir.
"Mas... akan berangkat bulan depan?" tanya Oetari hati-hati, berusaha menyembunyikan nada harap dalam suaranya.
"Benar." Soekarno mengangguk. "Dan kau juga."
Oetari menjatuhkan kebaya yang baru saja ia lipat.
"Apa... Mas?"
"Kau ikut denganku ke Bandung," kata Soekarno. Itu bukan pertanyaan. Itu bukan ajakan. Itu adalah pernyataan fakta. Perintah. "Sudah sepantasnya istri ikut suami. Siapkan barang-barangmu."
Dia tidak menunggu jawaban. Dia berbalik, melangkah kembali ke ruang depan, mungkin untuk mulai merencanakan studieclub-nya di Bandung.
Oetari terduduk di dingklik kayu. Kakinya lemas.
Bandung. Ikut.
Rasa lega yang tadi ia rasakan lenyap, digantikan oleh ketakutan yang familier. Dia tidak akan bebas. Dia akan dibawa. Dibawa ke kota asing, di mana dia tidak mengenal siapa pun. Dia akan semakin terikat pada pria ini.
Tapi kemudian... sebuah pikiran kecil yang rapuh muncul di benaknya.
Mungkin... mungkin ini adalah sebuah kesempatan.
Di Surabaya, dia adalah putri Tjokroaminoto. Di Surabaya, dia dibayangi oleh duka ibunya. Di Surabaya, dia adalah "kanak-kanak" yang bermain dakon.
Tapi di Bandung... mereka akan sendirian. Hanya mereka berdua. Tidak ada Bapak. Tidak ada adik-adik. Tidak ada bayang-bayang politik Peneleh.
Di kota yang baru, di udara yang dingin, mungkin mereka bisa memulai sesuatu yang baru.
Mungkin di sanalah, guling itu akhirnya bisa disingkirkan. Mungkin di sanalah, suaminya akhirnya akan melihat-nya.
Dengan tangan gemetar, Oetari mengambil kembali kebaya yang jatuh itu. Dia akan mengemas yang terbaik.
Dia akan ikut ke Bandung.
Bab 10
Perjalanan Kereta Api
Bulan berikutnya adalah kabut yang sibuk.
Bagi Soekarno, ini adalah kesibukan yang menggairahkan. Dia seperti orang yang akan berangkat ke medan perang; memilah-milah "senjata"-nya. Tapi senjatanya bukanlah keris atau senapan. Senjatanya adalah buku.
Oetari menghabiskan hari-harinya di kamar, melipat kebaya dan jarit. Dia memilih yang terbaik, kebaya sutra berwarna gading peninggalan ibunya, kain batik tulis yang warnanya paling cerah. Dia ingin terlihat berbeda di Bandung. Dia tidak ingin terlihat seperti "kanak-kanak". Dia juga mengemas guci kecil berisi jamu kunyit asam dan beras kencur, resep yang ia hafal dari ibunya. Dia mengemas peralatan dapur. Dia mengemas untuk sebuah rumah tangga.
Di kamar seberang, kamar suaminya, Soekarno juga berkemas.
Oetari mengintip suatu sore. Lantai kamar itu penuh. Tapi bukan dengan pakaian. Lantai itu dipenuhi tumpukan buku. Buku-buku tebal berbahasa Belanda dan Jerman yang sampulnya sudah kusam. Das Kapital. De Javaan. Pamflet-pamflet politik. Dan di sudut lain, tumpukan kertas kosong dan tiga botol tinta.
Soekarno sedang membungkus buku-bukunya satu per satu dengan koran bekas, seolah itu adalah benda pusaka.
"Mas... butuh bantuan?" tawar Oetari pelan dari ambang pintu.
Soekarno mendongak, matanya berbinar, tapi bukan untuk Oetari. "Ah, Lak. Tidak usah." Dia mengangkat satu buku tebal. "Lihat ini! Buku ini yang akan kita bedah di studieclub nanti. Bayangkan, Lak, di Bandung! Kota para pemikir! Kita tidak akan bicara soal dakon lagi di sana."
Dia tertawa, tidak sadar bahwa kata-katanya adalah tamparan kecil.
Oetari hanya tersenyum tipis. "Oetari... siapkan jamu untuk di perjalanan, nggih?"
"Ya, ya, terserah," kata Soekarno, kembali fokus pada bukunya. "Yang penting, pastikan surat-surat THS dan tiket kereta api jangan sampai hilang. Itu yang paling penting."
Oetari mengangguk dan mundur perlahan. Dia mengemas untuk sebuah pernikahan. Suaminya berkemas untuk sebuah revolusi intelektual.
Hari keberangkatan itu akhirnya tiba.
Stasiun Surabaya Kota riuh rendah. Suara peluit uap, teriakan kuli angkut, dan bau asap batu bara yang pekat. Halaman stasiun terasa sesak.
Ini adalah perpisahan yang sesungguhnya.
Ayahnya, H.O.S. Tjokroaminoto, berdiri di depan mereka. Wajahnya berusaha tegar, tapi matanya memerah. Dia akan kehilangan dua orang sekaligus: putri kesayangannya dan murid kesayangannya.
Adik-adik Oetari menangis, memeluk pinggangnya erat-erat. "Mbak Lak jangan pergi... Nanti siapa yang main dakon?"
Oetari memeluk mereka, air matanya mulai menggenang. "Nanti Mbak kirim surat, ya. Kalian jadi anak baik, jaga Bapak."
Lalu ayahnya menariknya ke dalam pelukan. Pelukan itu erat, seolah tak mau melepaskan. "Nduk, cah ayu..." bisiknya di telinga Oetari. "Bandung itu kota Londo. Dingin. Orangnya beda sama orang Surabaya."
Oetari mengangguk dalam pelukan ayahnya.
"Jaga dirimu baik-baik," lanjut ayahnya. "Kau itu istri. Manut sama suamimu. Tapi,"—dia melepaskan pelukannya sedikit, menatap mata putrinya—"jangan lupakan siapa dirimu. Kau putri Tjokroaminoto. Kau punya harga diri."
Oetari menangis dalam diam.
Kemudian, Tjokroaminoto beralih ke Soekarno. Nada suaranya berubah. Bukan lagi seorang ayah, tapi seorang guru pada muridnya.
"Karno."
"Nggih, Pak."
"Ilmu yang kau cari di Bandung itu untuk rakyat. Jangan lupakan itu," kata Tjokroaminoto tegas.
"Tidak akan, Pak. Saya janji."
"Dan..."—Tjokroaminoto meletakkan tangannya di bahu Soekarno, genggamannya kuat—"Saya titipkan putri saya."
Itu adalah kalimat yang berat. Sebuah serah terima formal.
Soekarno mengangguk dengan keyakinan yang sama seperti saat ia berpidato. "Bapak tenang saja. Oetari aman bersama saya."
Peluit kereta berbunyi nyaring. Final.
Oetari mencium tangan ayahnya untuk terakhir kali. Soekarno menjabatnya. Mereka naik ke gerbong kelas tiga yang sesak.
Oetari menempel di jendela, melambaikan tangan. Dia melihat ayahnya berdiri sendirian di peron, semakin kecil dan semakin kecil, sosok Singa Podium yang kini tampak tua dan kesepian.
Lalu stasiun itu hilang. Surabaya, satu-satunya dunia yang pernah ia kenal, telah lenyap di balik kepulan asap.
Perjalanan kereta api itu panjang dan berisik. Mereka duduk di bangku kayu yang keras, berhadapan. Di sekeliling mereka ada pedagang ayam, keluarga yang membawa bakul besar, dan bau kretek yang memenuhi gerbong.
Oetari duduk di dekat jendela, membiarkan angin menerpa wajahnya. Dia menatap sawah-sawah yang berlarian. Hatinya campur aduk antara sedih, takut, dan sebersit harapan yang rapuh itu.
Di depannya, Soekarno diam.
Selama satu jam pertama, suaminya itu hanya menatap ke luar jendela, matanya bersinar, seolah dia bisa melihat Bandung dari kejauhan.
Lalu, setelah kereta meninggalkan Mojokerto, dia tidak tahan lagi.
Soekarno membuka tas jinjingnya. Bukan mengeluarkan bekal makanan yang Oetari siapkan. Dia mengeluarkan sebuah buku.
Buku bersampul merah marun. Dia membukanya, dan dalam sekejap, dia hilang.
Oetari memperhatikannya. Dia membaca dengan intensitas yang sama seperti saat dia berpidato. Alisnya bertaut, bibirnya kadang bergerak-gerak pelan, menggumamkan kalimat-kalimat yang tidak Oetari mengerti. Dia benar-benar lupa bahwa Oetari ada di depannya.
Saat matahari mulai condong ke barat, udara terasa lebih dingin. Kereta mulai mendaki dataran tinggi Priangan. Oetari merapatkan selendangnya.
Dia memberanikan diri. "Mas..."
Soekarno tidak mendongak.
"Mas Karno," panggilnya sedikit lebih keras.
"Hmm?" Soekarno mendongak dari bukunya, matanya masih separuh berada di dunia lain. "Ada apa, Lak?"
"Udaranya... udaranya mulai dingin, ya," kata Oetari pelan.
Soekarno menatap ke luar jendela sesaat. "Tentu saja. Ini sudah masuk Priangan. Sebentar lagi kita sampai."
Dan dia kembali menunduk, tenggelam dalam bukunya.
Oetari menelan ludah. Keheningan yang canggung itu kembali mengisi ruang di antara mereka. Jauh lebih dingin daripada angin Priangan yang masuk dari jendela.
Dia menatap suaminya, pria brilian yang duduk di depannya. Secara fisik, mereka tidak pernah sedekat ini. Mereka terkurung dalam satu kotak besi yang melaju kencang.
Tapi Oetari merasa, suaminya itu sudah ribuan kilometer jauhnya. Dia sudah tiba di Bandung, di studieclub-nya, di tengah para intelektual.
Oetari mengalihkan pandangannya kembali ke jendela. Senja di Priangan tampak indah, tetapi terasa asing. Dia memeluk lututnya, dan harapan rapuh yang ia bawa dari Surabaya kini terasa semakin tipis dan dingin.
Bab 11
Wilujeng Sumping, Nyi Oetari
Peluit kereta terakhir melengking panjang, membelah udara pagi yang terasa tipis dan menggigit. Jauh berbeda dari Surabaya yang berat dan lengket.
"Kita sampai, Lak! Bandung!"
Soekarno meloncat berdiri bahkan sebelum kereta benar-benar berhenti. Wajahnya bersinar, matanya menyapu peron Stasiun Bandung seolah ingin melahap seluruh kota. Dia tidak tampak lelah sedikit pun setelah perjalanan semalam suntuk. Dia tampak hidup.
Oetari, sebaliknya, merasa kaku dan kedinginan. Dia menarik selendang batiknya lebih erat. Dia menggosok-gosok lengannya, berusaha mencari kehangatan.
Stasiun ini berbeda dari Stasiun Kota di Surabaya. Lebih teratur. Lebih bersih. Dan... lebih putih.
Ada begitu banyak Meneer dan Nonik Belanda. Para prianya mengenakan setelan wol dan topi fedora, para wanitanya mengenakan gaun-gaun cantik, tertawa-tawa dalam bahasa yang tidak Oetari mengerti. Para pribuminya pun tampak berbeda. Para pelajar laki-laki mengenakan pantalon necis dan sepatu kulit mengkilap.
Oetari menunduk, melihat sandalnya yang berdebu. Dia merasa kumal.
"Ayo, Lak! Cepat!" Soekarno sudah melompat turun, menyambar koper bukunya yang paling berharga. Oetari dan kuli angkut tertatih-tatih di belakangnya, membawa perabotan dan pakaian mereka.
"Ke rumah Haji Sanusi, Mang!" seru Soekarno pada kusir delman, nadanya penuh semangat.
Delman itu berderak menyusuri jalanan Bandung yang rapi. Rumah-rumahnya besar, berpagar, dan penuh bunga. Udaranya sejuk dan berbau pinus. Sangat indah. Tapi keindahan itu terasa dingin dan asing.
Delman berhenti di depan sebuah rumah yang rapi di area permukiman pribumi kelas menengah. Rumah kayu yang terawat baik, dengan halaman kecil yang penuh pot-pot kembang sepatu. Jauh lebih teratur daripada kekacauan di rumah Peneleh.
Soekarno melompat turun, hampir berlari ke pintu.
"Assalamu'alaikum! Pak Haji Sanusi!"
Oetari berdiri kaku di samping delman, menunggu kuli menurunkan peti-peti mereka. Dia merasa seperti tamu yang tidak diundang.
Pintu berderit terbuka.
Yang muncul bukanlah seorang haji tua.
Seorang wanita berdiri di ambang pintu. Dia tidak lagi muda, mungkin tiga puluhan akhir, tapi wajahnya memancarkan kehangatan dan ketenangan. Dia mengenakan kebaya Sunda berwarna ungu muda yang pas di badan, rambutnya disanggul rapi. Dia cantik, dengan kecantikan seorang wanita yang matang.
"Wa'alaikumussalam," katanya, suaranya halus dan merdu. Matanya menyipit ramah. "Ah, ieu téh Cép Karno, nya?" (Ah, ini pasti Mas Karno, ya?)
Oetari melihat suaminya berubah. Ketegangan di bahunya, yang selalu ada saat di Surabaya, kini mengendur. Dia tersenyum lebar, senyum yang begitu tulus.
"Leres, Bu! Saya Soekarno!" katanya riang. "Dan ini..." Dia berbalik, seolah baru teringat, dan melambaikan tangannya ke arah Oetari yang masih berdiri di dekat jalan. "...ini istri saya, Oetari."
Kata "istri" itu terdengar seperti tambahan. Seperti catatan kaki.
Wanita itu—yang Oetari tebak adalah Inggit Garnasih, istri Haji Sanusi—mengalihkan pandangannya pada Oetari. Senyumnya melembut, menjadi... keibuan.
"Gusti nu agung... mangga atuh, Nyi Oetari, kalebet," katanya, suaranya terdengar prihatin. "Mangga, Cép." (Ya Tuhan... silakan, Nyi Oetari, masuk. Silakan, Mas.)
Nyi Oetari. Bukan Nyonya Soekarno.
Oetari melangkah masuk. Rumah itu beraroma bedak dan bunga. Bersih sekali. Lantainya mengkilap.
"Pasti capek sekali, nya? Perjalanan jauh," kata Inggit. Dia bergerak dengan efisiensi yang tenang. "Mangga calik heula. Sebentar Ibu buatkan teh hangat." (Silakan duduk dulu.)
Soekarno menjatuhkan koper bukunya. "Aduh, Bu. Terima kasih sekali. Udaranya dingin betul, tidak seperti di Surabaya!"
"Ah, biasa atuh Priangan mah, Cép," InggSait tertawa pelan. Tawanya renyah. "Haji Sanusi sedang ke luar kota, nanti juga pulang. Anggap saja rumah sendiri."
Soekarno duduk di kursi rotan, tubuhnya rileks. Dia terlihat seperti sudah tinggal di sana bertahun-tahun. Dia seperti seseorang yang akhirnya pulang.
Oetari duduk di tepi kursi, kaku, memeluk tas kecilnya. Dia tidak mengerti beberapa kata yang mereka ucapkan. Obrolan itu mengalir dalam campuran bahasa Indonesia pasar dan bahasa Sunda yang tidak ia kenali.
Inggit kembali dengan nampan berisi tiga cangkir teh poci yang mengepul.
"Nyi Oetari," kata Inggit ramah, menyerahkan secangkir. "Kelihatannya masih muda sekali, geulis pisan."
Oetari hanya bisa tersenyum kaku. "Tujuh belas, Bu," ia berbohong sedikit, menaikkan umurnya.
"Gusti!" Inggit berdecak lagi, kali ini menatap Soekarno dengan tatapan menggoda. "Masih budak (anak-anak) atuh, Cép! Ini bawa istri atau bawa adik?"
Soekarno tertawa terbahak-bahak. Tawa lepas yang tidak pernah Oetari dengar di Peneleh.
"Dua-duanya, Bu! Memang seperti adik saya sendiri!"
Mereka berdua tertawa bersama. Inggit dan Soekarno. Seolah mereka adalah kawan lama yang berbagi lelucon yang hanya mereka berdua pahami.
Oetari menunduk.
Dia menatap uap yang mengepul dari cangkir tehnya. Panas, tapi tangannya tetap terasa dingin.
Kanak-kanak.
Kata itu telah mengikutinya ratusan kilometer. Dari rumah ayahnya di Surabaya, ke rumah kos barunya di Bandung.
Harapan rapuh yang ia bawa—harapan bahwa di kota baru ini dia akan menjadi "Nyonya Soekarno" yang dewasa, yang sepadan—hancur berkeping-keping di menit pertama ia tiba.
Dia masih "Lak" yang kanak-kanak bagi suaminya. Dan kini, dia adalah "budak" bagi wanita pemilik rumah ini.
Dia sendirian. Dan di kota ini, dia bahkan tidak punya kamar ibunya untuk bersembunyi.
Bab 12
Teh Hangat dan Intelektualitas
Tawa mereka—tawa Soekarno yang lepas dan tawa Inggit yang renyah—mengisi ruang tengah yang hangat itu. Bagi mereka, itu adalah lelucon sesaat. Bagi Oetari, itu adalah vonis.
Istri atau adik? Dua-duanya! Masih budak!
Oetari menunduk, menatap cangkir tehnya. Tangannya yang memegang cangkir itu gemetar. Dia berharap uap panasnya bisa menyembunyikan air mata yang tiba-tiba menggenang di pelupuknya. Dia sudah menempuh perjalanan ratusan kilometer, hanya untuk mendengar kata yang sama, yang paling ia benci: kanak-kanak.
Inggit Garnasih, dengan kepekaan seorang wanita yang telah banyak makan asam garam, segera menyadari perubahan suasana hati itu. Tawanya mereda.
"Ah, maaf atuh, Nyi," katanya lembut, nadanya kini kembali keibuan. "Ibu cuma bercanda. Tentu saja Nyi Oetari ini Nyonya Soekarno."
Kata-kata itu dimaksudkan untuk menghibur, tapi terasa hampa.
"Ayo," lanjut Inggit, bangkit dengan sigap. "Ibu antarkan ke kamar. Pasti capek sekali. Cép Karno, Nyi, mangga."
Oetari bangkit seperti robot.
Inggit membimbing mereka ke sebuah kamar di paviliun samping. Kamar itu tidak besar, lebih kecil dari kamar Soekarno di Peneleh. Tapi kamar itu... sempurna.
Lantainya bersih mengkilap. Seprai di ranjang besi tampak kaku disetrika. Ada satu lemari kayu kecil, dan di sudut, sebuah meja tulis yang kokoh menghadap jendela. Sebuah vas kecil berisi bunga pikok ungu diletakkan di atasnya. Kamar itu berbau kapur barus dan bunga segar.
Oetari, yang terbiasa dengan kekacauan heroik di Peneleh—tumpukan buku, noda tinta, dan bau kretek—merasa semakin kerdil. Rumah ini dikelola dengan standar yang tidak ia kenali.
"Tidak besar, tapi cukuplah, nya," kata Inggit. "Silakan istirahat. Nanti sore kita makan malam bersama."
"Wah, bersih sekali, Bu!" Soekarno berseru, matanya tidak tertuju pada ranjang, tapi pada meja tulis. "Ini... ini sempurna! Ada meja tulis!"
Bagi Oetari, kamar adalah tempat tidur. Bagi Soekarno, kamar adalah tempat kerja.
Inggit tersenyum. "Ibu tinggal dulu, nya. Mangga."
Pintu ditutup.
Dan untuk pertama kalinya di kota ini, mereka berdua. Sendirian.
Keheningan di kamar itu terasa berat. Soekarno, dengan energi yang seolah tak ada habisnya, langsung membuka koper terbesarnya. Bukan koper pakaian. Koper bukunya.
Oetari, di sisi lain, mulai membuka buntalan kainnya. Dia mengeluarkan kebaya-kebaya yang sudah ia lipat rapi, sisir tanduknya, dan... guling. Guling kapas yang sama, yang telah menjadi saksi bisu pernikahan gantung mereka di Surabaya.
Dia memegang guling itu.
Inilah Bandung. Ini adalah awal yang baru. Dia menatap suaminya, yang sedang bersiul pelan sambil menata Das Kapital di meja tulis barunya. Dia sama sekali tidak memperhatikan Oetari. Dia sudah ada di dunianya. Di dunianya yang baru, yang sempurna.
Harapan Oetari yang tadi hancur, kini terasa konyol.
Perlahan, dengan gerakan pasrah, Oetari meletakkan guling itu. Tepat di tengah-tengah ranjang besi yang rapi itu.
Batas itu telah ditegakkan kembali.
Soekarno melirik sekilas dari mejanya. Dia melihat guling itu. Dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangguk sekali. Sebuah persetujuan diam. Lalu dia kembali menata buku-bukunya.
Sore harinya, Oetari terbangun dari tidur yang gelisah. Dia mendengar suara-suara dari dapur. Berpikir untuk menjadi berguna, untuk menunjukkan bahwa dia bukan sekadar "budak", Oetari berjalan ke belakang.
Dia berhenti di ambang pintu dapur.
Itu adalah dunia Inggit Garnasih.
Dapur itu begitu hidup. Wangi lengkuas, serai, dan santan menguar di udara. Inggit bergerak dengan efisiensi seorang jenderal. Tangannya lincah mengulek bumbu di cobek batu, sementara matanya mengawasi panci nasi liwet di atas tungku.
"Eh, Nyi? Sudah bangun?" sapa Inggit ramah, tanpa menghentikan gerakannya. "Kenapa ke dapur? Istirahat saja."
"Saya... saya mau bantu, Bu," tawar Oetari, suaranya terdengar kecil.
Inggit tertawa pelan. "Aduh, tidak usah, Nyi. Nanti malah kotor kebayanya. Ini sudah biasa," katanya. "Lagipula, masakan Sunda beda lho sama masakan Jawa Timur. Nanti Nyi malah bingung sama bumbunya."
Itu adalah penolakan yang paling lembut, paling keibuan, dan paling telak yang pernah Oetari terima.
Dia tidak hanya dianggap kanak-kanak. Dia juga dianggap tidak kompeten.
"Wah! Bau apa ini? Harum sekali!"
Suara Soekarno memenuhi dapur. Dia masuk, tidak mencari Oetari, tapi mengikuti hidungnya.
"Nasi liwet, Cép!" jawab Inggit cerah. "Kesukaan orang Sunda. Cép Karno pasti suka. Coba cicipi ini, sambal terasinya."
Inggit menyendokkan sedikit sambal. Soekarno mencicipinya.
"Luar biasa, Bu! Pedasnya pas!" seru Soekarno.
Mereka langsung jatuh ke dalam percakapan yang mudah. Tentang perbedaan bumbu, tentang kehidupan di Bandung, tentang Haji Sanusi yang akan segera pulang. Mereka berbicara seperti dua orang yang selevel. Dua orang dewasa.
Oetari berdiri di ambang pintu, tak terlihat.
Dia adalah orang asing di kamar suaminya, yang kini telah menjadi ruang kerja. Dan dia adalah orang asing di dapur, yang merupakan wilayah wanita lain.
Dia tidak punya tempat.
Dengan langkah pelan, Oetari berbalik dari dapur yang hangat dan beraroma itu. Dia kembali ke paviliun samping. Kembali ke kamar mereka yang kini terasa dingin.
Dia duduk di tepi ranjangnya, di sisinya yang sempit, di sebelah guling yang menjadi penanda batas wilayahnya.
Bab 13
Teh Hangat dan Intelektualitas
Hawa dingin Bandung di malam hari ternyata jauh lebih menggigit daripada yang Oetari bayangkan. Di Surabaya, malam hari adalah istirahat dari panas. Di sini, malam hari adalah sesuatu yang harus dilawan.
Nasi liwet yang lezat itu telah selesai mereka santap. Haji Sanusi masih di luar kota, menyisakan mereka bertiga: Soekarno, Inggit, dan Oetari.
Mereka duduk di ruang tengah yang hangat. Ada anglo kecil berisi arang membara di sudut, memancarkan kehangatan yang nyaman. Inggit, dengan keanggunan seorang nyonya rumah yang sempurna, menuangkan teh panas dari poci gerabah. Uapnya mengepul, membawa aroma wangi melati yang pekat.
Oetari memegang cangkir kecilnya dengan kedua tangan, mencoba menyerap kehangatan dari tembikar itu.
Di seberangnya, suaminya tidak terlihat lelah sedikit pun. Matanya berbinar, lebih hidup daripada saat di Surabaya. Dia baru saja mandi, berganti pakaian, dan tampak segar. Dia seperti tanaman yang akhirnya disiram.
"Jadi, Bu Inggit," Soekarno memulai, nadanya penuh semangat, seolah ini adalah kelanjutan dari obrolan yang tertunda, "Saya tidak sabar untuk memulai di THS. Tapi yang lebih penting... saya harus segera mendirikan studieclub."
Oetari menyesap tehnya. Studieclub. Klub belajar. Dia pernah mendengarnya disebut-sebut di Peneleh.
Inggit meletakkan cangkirnya. Dia tidak hanya mendengarkan. Dia menatap Soekarno lurus-lurus, seolah menimbang-nimbang. "Itu bagus, Cép. Tapi, studieclub untuk siapa?"
"Untuk kaum inlander terpelajar, tentu saja!" seru Soekarno. "Kita harus mempertajam onderwijs (pendidikan) kita. Kita harus membedah buku. Membedah marxisme, membedah nationalisme..."
Oetari terdiam. Marxisme. Kata itu lagi. Kata yang sering diteriakkan Mas Karno di ruang depan Peneleh. Baginya, itu hanyalah salah satu dari sekian banyak kata-kata marah yang tidak ia mengerti, seperti "Imperialisme" atau "Kapitalisme".
Tapi Bu Inggit, dia tidak terlihat bingung.
"Membaca buku itu bagus, Cép," kata Inggit tenang, suaranya yang merdu terdengar sangat logis. "Tapi rakyat di Ciguriang sana... mereka tidak butuh marxisme. Mereka butuh makan. Mereka butuh harga beras yang stabil."
Oetari tersentak. Itu adalah sanggahan. Sanggahan yang cerdas.
Mata Soekarno membelalak. Dan dia tertawa. Tawa gembira yang penuh penghargaan.
"TEPAT SEKALI, BU! TEPAT!" serunya, menunjuk Inggit dengan cangkirnya, nyaris tumpah. "Itu dia masalahnya! Intelektualitas kita terpisah dari Volk! Terpisah dari rakyat!"
Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, cangkirnya dilupakan. Api itu menyala di matanya. Api yang Oetari kenali. Tapi kali ini, api itu bukan diarahkan pada seseorang. Api itu dibagikan.
"Itu sebabnya, Bu, kita tidak bisa hanya bicara pakai bahasa Londo. Kita harus bicara pakai bahasa rakyat! Itulah kenapa kita butuh bahasa persatuan..."
Mereka tenggelam.
Mereka berdua—Soekarno dan Inggit—terjun ke dalam pusaran ide. Mereka berdebat tentang strategi, tentang bahasa, tentang Belanda, tentang rakyat jelata. Inggit tidak hanya mengangguk; dia bertanya, dia menyanggah, dia memprovokasi. Dan Soekarno, dia memakan itu semua. Dia membalas dengan argumen yang lebih berapi-api, lebih bersemangat.
Mereka menciptakan sebuah gelembung. Gelembung hangat yang penuh energi, penuh kata-kata besar, penuh tawa intelektual.
Oetari duduk di luar gelembung itu.
Dia hanya duduk di sana. Diam. Teh di cangkirnya mulai mendingin.
Dia mencoba mengikuti. Dia mencoba memahami. Tapi yang ia dengar hanyalah potongan-potongan: ...sistem tanam paksa..., ...Haji Misbach di Solo..., ...onderneming...
Ini bukan obrolan para gadis di Surabaya, yang berbicara tentang kain batik baru atau lelucon tentang pemuda yang lewat. Ini adalah dunia lain. Dunia yang berat dan rumit.
Oetari merasa dirinya menyusut. Dia bukan Nyonya Soekarno. Dia adalah anak kecil yang kebetulan diizinkan duduk di ruang tamu orang dewasa.
Dia merasa kedinginan, meskipun anglo di sudut masih menyala. Dia merapatkan selendangnya.
Gerakannya itu menarik perhatian Inggit. Sang nyonya rumah itu langsung menghentikan kalimatnya.
"Gusti... Nyi Oetari kedinginan, nya?" kata Inggit, rasa bersalah langsung terlihat di wajahnya. "Maafkan kami, Nyi. Kalau bicara sama Cép Karno ini suka lupa waktu. Udaranya menusuk, ya?"
Soekarno berhenti di tengah kalimat, seolah baru tersadar ada orang ketiga di ruangan itu. "Oh. Iya. Lak. Kau kedinginan?" tanyanya, tapi pikirannya jelas masih melayang di antara marxisme dan nationalisme.
Oetari merasa wajahnya memanas karena malu. Dia tidak ingin dikasihani. "Ti-tidak, Bu. Tidak apa-apa. Hanya... sedikit," katanya, suaranya terdengar lemah.
"Nanti Ibu ambilkan selimut wol," kata Inggit.
"Tidak usah, Bu," potong Oetari cepat, terlalu cepat. Dia tidak bisa menahan ini lagi. Dia merasa sangat bodoh. "Oetari... Oetari mengantuk. Perjalanannya... Oetari lelah."
Dia berdiri. Gerakannya kaku.
"Oetari ke kamar dulu, nggih? Permisi, Bu... Mas..."
Soekarno mengibaskan tangannya pelan, sebuah gerakan 'silakan', pikirannya sudah kembali ke topik tadi. "Oh, ya, ya, Lak. Istirahat saja. Selamat tidur."
Dia bahkan tidak menatapnya. Dia langsung berbalik kembali ke Inggit. "Nah, jadi Bu, soal strategi studieclub itu. Menurut saya, kita harus..."
Oetari tidak menunggu untuk mendengar kelanjutannya.
Dia berbalik dan berjalan keluar dari ruang tengah yang hangat dan penuh kehidupan itu. Dia berjalan sendirian menyusuri lorong paviliun yang gelap dan dingin.
Dia membuka pintu kamar mereka.
Hawa di kamar itu terasa pengap dan menusuk tulang. Dia menatap ranjang besi itu. Di bawah cahaya bulan yang masuk dari jendela, dia bisa melihat siluetnya dengan jelas.
Guling itu tergeletak diam di tengah-tengah.
Oetari duduk di tepi ranjang, di sisinya yang sempit. Dia tidak menyalakan lampu.
Dia akhirnya mengerti. Soekarno tidak membawanya ke Bandung untuk menjadi istrinya. Dia membawanya karena "sudah sepantasnya istri ikut suami". Dia adalah bagasi. Dia adalah formalitas.
Rumah Mas Karno yang sebenarnya bukanlah kamar ini. Rumahnya ada di luar sana. Di ruang tengah yang hangat itu. Bersama teh hangat dan kawan bicara barunya.
Bab 14
Rutinitas yang Asing
Hal pertama yang Oetari pelajari tentang Bandung adalah: pagi hari di sini terasa seperti jarum-jarum es kecil yang menusuk kulit.
Dia terbangun dalam selimutnya, di sisi ranjangnya yang sempit, bukan karena cahaya. Dia terbangun oleh suara.
Sret. Sret. Sret.
Di sisi lain guling, suaminya sudah bangun. Oetari pura-pura masih tertidur, memejamkan mata rapat-rapat. Dia mendengar Soekarno bergerak dalam gelap yang dingin. Suara kemeja yang diambil dari gantungan. Suara sisir yang membelah rambut.
Di Surabaya, paginya dimulai dengan aroma dapur. Di sini, paginya dimulai dengan suara seorang pria yang bersiap-siap dalam keheningan yang kaku.
"Lak," suara Soekarno terdengar, pelan, tidak ingin mengganggu. "Aku berangkat. Kopi sudah ada di meja. Jangan lupa sarapan."
Dia tidak menunggu jawaban. Pintu berderit pelan, lalu tertutup.
Dia pergi. Ke THS. Ke dunianya.
Oetari membuka mata. Sendirian.
Dia bangkit, rasa dingin langsung menerkamnya. Dia berjalan ke meja tulis. Benar saja, secangkir kopi hitam mengepul di sana. Tapi Oetari tahu, bukan Mas Karno yang membuatnya. Mas Karno tidak tahu cara membuat kopi.
Ini pasti buatan Bu Inggit.
Bahkan di dalam kamar pengantin mereka, di sentuhan pertama suaminya di pagi hari, ada tangan wanita lain.
Hari-hari Oetari kini memiliki ritme yang hampa.
Pagi itu, setelah Soekarno pergi, Oetari memberanikan diri. Dia harus melakukan sesuatu. Dia tidak bisa hanya duduk di kamar yang dingin ini. Dia adalah seorang istri, dan istri punya tugas.
Dia berjalan ke rumah induk, ke dapur yang hangat.
Dia terlambat.
Dapur itu sudah hidup. Inggit Garnasih, dengan kebaya rumahan yang sederhana namun bersih, sedang cekatan menata nasi timbel di atas daun pisang.
"Eh, Nyi Oetari? Sudah bangun?" sapa Inggit, senyumnya tulus. "Mau sarapan? Ayo duduk. Ibu buatkan..."
"Saya... saya mau bantu, Bu," potong Oetari, merasa canggung. "Saya bisa masak."
Inggit menatap Oetari sejenak, dari atas ke bawah. Menatap tangannya yang halus. Lalu dia tersenyum, senyum keibuan yang sama. "Aduh, Nyi. Tidak usah repot-repot. Dapurnya kotor, nanti kebaya Nyi kena jelaga."
"Tidak apa-apa, Bu. Saya biasa..."
"Sudah, sudah," Inggit memotong dengan lembut namun tegas. "Nyi Oetari itu kan tamunya Ibu di sini. Istrinya Cép Karno. Masa Ibu biarkan kerja di dapur? Duduk saja, Nyi. Anggap saja Ibu ini ibumu sendiri di Bandung."
Dia didudukkan di meja makan. Disajikan nasi timbel hangat, lengkap dengan ikan asin dan sambal.
Oetari menatap makanan itu. Dia ingin menangis.
Dia tidak diperlakukan sebagai istri yang setara. Dia tidak diperlakukan sebagai menantu. Dia diperlakukan seperti anak kos yang masih kecil, anak titipan yang harus dilayani. Dia tidak hanya tidak kompeten di ruang tengah; dia juga tidak diinginkan di dapur.
Inggit, dengan segala kebaikan hatinya, telah mengambil alih semua peran Oetari. Dia yang membuatkan kopi untuk Soekarno. Dia yang menyiapkan sarapan. Dia yang menjadi kawan bicara suaminya.
Lalu, apa yang tersisa untuk Oetari?
Sisa harinya ia habiskan sendirian di paviliun. Dia mencoba merapikan kamar yang sudah rapi. Dia membersihkan debu dari buku-buku Soekarno, memandangi judul-judul berbahasa Belanda itu. Over de Nationalisme. Sociaal Democratie. Dia mengejanya, tapi kata-kata itu tidak ada artinya.
Dia merasa bodoh. Sangat bodoh.
Di Surabaya, dia adalah putri Tjokroaminoto. Dia punya status. Dia punya kesibukan. Di sini, dia adalah 'Nyi Oetari', istri 'kanak-kanak' yang tidak tahu cara berdebat dan tidak diizinkan memasak.
Dia hanyalah hantu yang menghuni kamar paviliun yang dingin.
Sore menjelang. Oetari berdandan. Dia menyisir rambutnya, memakai sedikit bedak. Dia memakai kebaya terbaiknya. Dia akan menyambut suaminya pulang.
Dia menunggu di beranda paviliun, menggosok-gosok tangannya yang kedinginan.
Pukul lima, gerbang depan berderit. Itu dia. Mas Karno.
Hati Oetari berdebar. Dia berdiri.
Soekarno berjalan masuk ke halaman, langkahnya cepat, wajahnya berkerut, jelas sedang memikirkan sesuatu yang rumit. Dia melihat Oetari di beranda.
"Eh, Lak. Sudah sore," sapanya singkat.
"Mas... sudah pulang?" tanya Oetari, suaranya terdengar konyol di telinganya sendiri. "Mau Oetari buatkan..."
"Nanti, Lak. Nanti," potong Soekarno, mengibaskan tangan.
Dan dia berjalan. Melewati Oetari. Melewati paviliun mereka.
Dia berjalan lurus ke rumah induk. Ke tempat yang hangat.
Oetari berdiri terpaku. Dia mendengar suaminya membuka pintu rumah induk.
"Bu! Bu Inggit! Saya harus cerita! Profesor di THS tadi... sinting betul! Dia bilang inlander tidak punya..."
Suara itu menghilang ke dalam.
Lima menit kemudian, Oetari mendengar tawa. Tawa Inggit yang renyah, disusul suara Soekarno yang berapi-api, menjelaskan argumennya.
Mereka sedang di ruang tengah. Minum teh hangat. Berbagi hari.
Dan dia, sang istri, berdiri sendirian di beranda yang gelap dan dingin, mengenakan kebaya terbaiknya.
Oetari berbalik. Dia masuk kembali ke kamarnya. Dia tidak menyalakan lampu.
Dia berjalan ke ranjang dan duduk. Dia menatap guling di tengah ranjang itu. Benda itu kini terasa seperti sebuah ejekan. Sebuah monumen untuk pernikahannya yang tidak pernah ada.
Malam itu, Oetari tidak tidur. Dia mendengarkan. Dia mendengarkan suara tawa dari rumah induk. Dia mendengarkan suara suaminya yang bersemangat, berdebat tentang ide-ide yang akan mengubah dunia.
Dan dia tahu, dengan kepastian yang mematikan, bahwa dunia yang akan diubah suaminya itu... tidak memiliki tempat untuknya.
Bab 15
Cemburu Pikiran
Minggu pertama di Bandung terasa seperti sebulan. Oetari kini tahu rutinitas rumah itu. Pagi-pagi, Mas Karno berangkat ke THS. Siang hari, rumah itu milik Bu Inggit. Sore hari, Mas Karno pulang dan rumah itu menjadi panggung diskusinya dengan Bu Inggit.
Malam hari, Mas Karno dan Oetari kembali ke paviliun. Dia akan duduk di meja tulisnya yang baru, di bawah cahaya lampu minyak, membaca dan menggarisbawahi buku-bukunya. Oetari akan berbaring di sisinya yang sempit, di balik guling, pura-pura tidur, mendengarkan suara halaman buku yang dibalik.
Malam ini, rasa frustrasi itu akhirnya memuncak. Dia tidak tahan lagi menjadi bayangan. Dia harus melakukan sesuatu. Dia harus mencoba.
Dia beringsut, duduk di ranjang.
"Mas..." panggilnya pelan.
Suara halaman dibalik berhenti. "Hmm?" Soekarno menjawab, matanya tidak beranjak dari buku.
"Mas... baca apa?"
Pertanyaan itu terdengar sangat bodoh di telinganya sendiri.
Soekarno tampak kaget dengan pertanyaan itu. Dia menurunkan bukunya sedikit. "Ini? Over de Nationalisme. Buku penting. Tentang kebangsaan."
"Oh." Oetari tidak tahu harus berkata apa lagi. "Penting, ya?"
"Tentu saja penting!" kata Soekarno, kini menatapnya, seolah terkejut Oetari bisa bertanya. "Ini adalah fondasi, Lak! Bagaimana kita bisa merdeka kalau kita tidak paham apa itu 'bangsa'?"
Oetari menciut. Dia hanya bertanya soal buku. Dia mendapatkan kuliah. "Oetari... tidak mengerti, Mas."
Soekarno menghela napas. Itu bukan napas marah. Itu napas lelah. "Aku tahu, Lak. Sudahlah. Tidur lagi."
Dia kembali ke bukunya.
Tapi Oetari tidak bisa tidur. Dia merasa ditampar. Aku tahu, Lak. Dia bahkan tidak mau mencoba menjelaskannya.
Dia berbaring, matanya menatap langit-langit yang gelap. Kecemburuan yang ia rasakan bukanlah kecemburuan yang ia dengar dari cerita-cerita. Dia tidak cemburu pada tubuh Bu Inggit. Dia tidak takut Mas Karno akan tidur dengannya.
Dia cemburu pada otak Bu Inggit.
Dia cemburu karena Bu Inggit bisa berdebat. Cemburu karena Bu Inggit mengerti kata-kata seperti "Marxisme". Cemburu karena Mas Karno mendengarkan pendapatnya. Cemburu karena Bu Inggit bisa berbagi api di kepala suaminya, sementara Oetari hanya bisa duduk kedinginan di luar.
Itu adalah cemburu pikiran. Dan itu seribu kali lebih menyakitkan.
Esok harinya, Oetari punya rencana.
Dia tidak bisa bersaing dalam pikiran. Tapi dia adalah seorang istri. Ada satu hal yang bisa ia lakukan. Dia akan melayani suaminya. Dia tidak akan membiarkan Bu Inggit melakukannya lagi.
Dia mengamati. Sore itu, dia melihat Bu Inggit mulai menata poci teh di ruang tengah.
"Bu," Oetari mendekat, memberanikan diri. "Biar Oetari saja."
Inggit menoleh, terkejut. "Eh, Nyi? Mau apa?"
"Biar Oetari yang buatkan kopi untuk Mas Karno," kata Oetari, berusaha terdengar mantap. "Oetari tahu seleranya. Dia suka pahit. Sangat pahit dan kental."
Inggit tersenyum, senyum yang sama. Senyum maklum. "Aduh, Nyi. Tidak usah repot-repot. Tangan Nyi nanti kena panas."
"Tidak apa-apa, Bu!" tegas Oetari. "Saya istrinya. Izinkan saya."
Nada tegas Oetari membuat Inggit terdiam sejenak. Lalu wanita itu mengangguk pelan. "Oh... nggih, atuh. Mangga, Nyi. Kopinya di kaleng itu, gulanya di sana."
Inggit mundur, memberikan wilayahnya.
Dengan tangan sedikit gemetar, Oetari mengambil bubuk kopi. Dia ingat Mas Karno di Peneleh. Dia memasukkan tiga sendok penuh bubuk kopi ke dalam cangkir—takaran yang berlebihan, tapi dia ingin membuatnya terkesan. Dia menuangkan air panas yang baru mendidih. Aromanya pekat, hampir hangus.
Dia mengaduknya. Sempurna. Pahit, kental, dan kuat. Seperti suaminya.
Dia mendengar gerbang depan berderit. Mas Karno pulang.
Dengan bangga, Oetari membawa cangkir itu ke ruang depan. Dia berpapasan dengan Mas Karno, yang baru saja masuk. Bu Inggit memperhatikan dari ambang pintu dapur.
"Mas!" sapa Oetari, suaranya lebih cerah dari biasanya. "Oetari buatkan kopi."
Soekarno tampak terkejut. Oetari tidak pernah menyambutnya seperti ini. "Oh. Tumben," katanya, tapi dia tersenyum. "Terima kasih, Lak."
Dia masih berdiri, tas bukunya masih di bahu. Dia mengambil cangkir itu dari tangan Oetari dan, tanpa banyak berpikir, langsung menyesapnya.
Wajahnya langsung berubah.
"Pah!" serunya, terbatuk. "Astaga, Lak! Ini kopi atau jamu pahit?"
Dia tidak marah. Dia tertawa. Tawa yang sama seperti saat Inggit memanggil Oetari "budak". Tawa yang meremehkan.
Wajah Oetari memerah padam. Dia membeku. Gagal.
"Aduh, Cép Karno ini," suara Inggit terdengar, menyelamatkan situasi. Dia melangkah maju, mengambil cangkir itu dari tangan Soekarno. "Selera Londo-nya keluar, ya? Kopi buatan Nyi Oetari ini istimewa."
Dengan gerakan cepat, Inggit kembali ke dapur. Oetari mendengar dia menambahkan sesuatu—mungkin lebih banyak air panas, mungkin gula batu.
Inggit kembali beberapa detik kemudian. "Nah, coba ini, Cép. Sudah Ibu 'betulkan' sedikit."
Soekarno, masih menyeka lidahnya, mengambil cangkir itu lagi. Dia menyesapnya.
"Ah..." desahnya lega. "Nah, ini baru pas. Pas sekali, Bu. Terima kasih."
Dia tersenyum pada Inggit. Bukan pada Oetari.
Lalu dia duduk, meletakkan cangkirnya, dan langsung memulai. "Bu, Ibu tidak akan percaya apa yang dikatakan Profesor Visser tadi siang. Dia bilang..."
Mereka tenggelam lagi dalam percakapan.
Oetari masih berdiri di tempat yang sama. Dia baru saja menyajikan kopi. Tapi kopi itu ditolak. Kopi itu "dibetulkan" oleh wanita lain. Dan suaminya berterima kasih pada wanita lain itu.
Dia telah gagal dalam satu-satunya ujian yang bisa ia menangkan.
Dia berbalik dalam diam. Tidak ada yang memperhatikan kepergiannya. Dia berjalan kembali ke paviliun yang dingin, rasa pahit di mulutnya jauh lebih pekat daripada kopi yang ia buat.
Bab 16: Badai di Ruang Belajar
Setelah insiden kopi yang gagal itu, Oetari menyerah.
Dia berhenti mencoba bersaing. Dia berhenti mencoba menjadi "istri". Dia menerima takdirnya. Dia adalah budak, seperti kata Bu Inggit. Anak kecil yang dititipkan.
Rutinitasnya kini adalah menghilang. Pagi hari, dia akan menunggu sampai Mas Karno berangkat, baru dia keluar dari paviliun. Dia akan makan sarapan sendirian di dapur, setelah Bu Inggit selesai. Dia akan menghabiskan sisa harinya di kamar, melakukan hal-hal yang tidak bersuara. Menjahit. Melipat pakaian. Menatap pohon pinus di luar jendela.
Dia adalah hantu di rumah kosnya sendiri.
Malam itu, Oetari sedang duduk di ranjang, di bawah cahaya lampu minyak yang redup. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Dia sedang menjahit. Sebuah lubang kecil di kaos kaki wol milik Soekarno. Sebuah tugas domestik yang nyata.
Dia mendengar gerbang depan dibuka. Sudah jamnya Mas Karno pulang.
Oetari menegang. Dia mendengarkan.
Biasanya, langkah kaki itu akan terdengar ringan, berjalan lurus ke rumah induk, diikuti sapaan ceria, "Bu Inggit! Kopi!"
Tapi malam ini... langkah kaki itu berbeda.
Berat. Cepat. Marah.
Dan langkah itu tidak menuju ke rumah induk. Langkah itu berbelok. Lurus menuju paviliun. Lurus ke arahnya.
Hati Oetari menciut. Jangan ke sini. Jangan ke sini.
BRAKK!
Pintu paviliun dibanting terbuka. Oetari terlonjak kaget, jarum di tangannya menusuk jarinya. Setetes darah merembes, tapi dia tidak merasakannya.
Soekarno berdiri di ambang pintu.
Dia adalah badai yang berjalan.
Tas bukunya dia lempar ke lantai. BLEDUG! Buku-buku di dalamnya berhamburan keluar. Dasi kupu-kupunya miring, kemejanya ditarik keluar dari pantalonnya. Rambutnya yang biasanya rapi kini acak-acakan, seolah dia baru saja menjambaknya dengan frustrasi.
Dan matanya. Api di matanya kini bukan api inspirasi. Itu api kemarahan murni.
"Mas..." bisik Oetari, suaranya gemetar. Dia menarik kakinya ke atas ranjang, membuat dirinya sekecil mungkin.
"DIAM!" bentak Soekarno.
Oetari membeku. Suaminya tidak pernah membentaknya seperti itu.
Soekarno tidak sedang melihat Oetari. Dia sedang melihat musuh-musuhnya. Dia berjalan mondar-mandir di kamar sempit itu, seperti singa yang terkurung di kandang kecil.
"SINTING!" teriaknya ke udara. "Profesor Visser itu SINTING! SIALAN!"
Dia menendang salah satu buku yang tergeletak di lantai.
"Dia bilang apa, Lak? KAU TAHU DIA BILANG APA?" teriaknya, kini menatap Oetari.
Oetari hanya bisa menggeleng, terlalu takut untuk bersuara.
"Dia bilang..."—Soekarno tertawa, tawa yang pahit dan menakutkan—"...dia bilang kaum inlander tidak punya 'abstraksi'! Dia bilang otak kita tidak dirancang untuk pemikiran tinggi! Pikiran kita, katanya, HANYA SEBATAS SAWAH DAN KERBAU!"
Dia meninju dinding kayu paviliun. DUK!
"Dia menghina kita, Lak! Dia menghina aku di depan seluruh kelas! Di depan para meneer sombong itu!"
Oetari duduk gemetar. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah dia menenangkannya? Haruskah dia mengambilkan minum?
"Mas... mungkin Mas lelah. Oetari buatkan..."
"BUATKAN APA?" potongnya, matanya membelalak. "Kopi pahitmu itu? Teh dingin? KAU PIKIR ITU YANG AKU BUTUHKAN?"
Soekarno berhenti mondar-mandir. Dia kini berdiri di tengah kamar, napasnya memburu. Dan dia menatap Oetari.
Dia benar-benar menatapnya.
Dia menatap Oetari yang meringkuk di ranjang. Dia menatap jarum dan benang di tangannya. Dia menatap kaos kaki wol yang sedang ia jahit.
Ekspresi kemarahannya berubah menjadi sesuatu yang lebih dingin. Sesuatu yang lebih menyakitkan. Kejijikan.
Bagi Soekarno, Oetari yang sedang menjahit kaos kaki itu... adalah perwujudan dari apa yang baru saja dituduhkan Profesor Visser.
Domestik. Sederhana. Tidak punya abstraksi. Sebatas sawah dan kerbau. Sebatas jarum dan benang.
"Dan kau..." desis Soekarno, suaranya kini pelan dan berbahaya. "Kau... kau puas, ya?"
Oetari mengerjap, air matanya mulai menggenang. "Puas... apa, Mas?"
"PUAS DUDUK DI SINI!" teriaknya lagi. "Puas menjahit kaos kaki! Puas bermain dakon! Sementara di luar sana suamimu dihina! Dibilang tidak punya otak!"
Ini tidak adil. Ini tidak rasional. Oetari tidak ada hubungannya dengan Profesor Visser.
"Bagaimana,"—Soekarno melangkah mendekati ranjang, Oetari semakin menyusut—"Bagaimana aku bisa menang berdebat, Lak? Bagaimana aku bisa membuktikan otak kita setara dengan otak Londo... kalau di rumahku sendiri aku tidak punya kawan bicara?"
Dia kini berdiri menjulang di atas Oetari.
"Aku butuh pendamping! Aku butuh seseorang untuk mempertajam otakku! Seseorang untuk mendebatku di malam hari! Bukan..."
Dia berhenti, menatap Oetari dengan frustrasi yang begitu dalam.
"...bukan anak kecil yang harus aku asuh!"
Oetari terisak pelan. "Oetari... Oetari cuma..."
"CUMA APA?" raungnya. "CUMA MENUNGGU? CUMA MENJAHIT?"
Dengan gerakan cepat dan marah, Soekarno menyambar kaos kaki itu dari tangan Oetari. Dia tidak memukul Oetari. Dia tidak perlu.
Dia melempar kaos kaki itu ke sudut ruangan yang gelap.
"AKU TIDAK BISA DI SINI!" geramnya, lebih pada dirinya sendiri.
Dia menatap Oetari sekali lagi, tatapan yang berisi semua kekecewaan dunia. Lalu dia berbalik, membanting pintu paviliun, dan pergi.
Oetari tersentak. Dia sendirian di kamar yang porak-poranda itu. Buku-buku berserakan. Kaos kaki suaminya teronggok di sudut.
Dia menangis. Tangisan yang hening dan putus asa.
Dia tahu persis ke mana suaminya pergi.
Dia tidak perlu mengintip. Dia tahu.
Soekarno telah pergi ke rumah induk. Dia telah pergi ke tempat yang hangat. Ke tempat di mana ada teh yang pas. Ke tempat di mana ada telinga yang mengerti.
Samar-samar, dari kejauhan, dia bisa mendengarnya. Suara Bu Inggit yang tenang, merdu, seperti air.
"Sabar, Cép... sabar. Tarik napas dulu. Coba ceritakan pelan-pelan ke Ibu. Apa yang si Londo Visser itu bilang..."
Suaminya telah menemukan rumahnya.
Dan itu bukan di sini.
Bab 17
Tangan di Atas Bahu
Tangisan itu akhirnya berhenti. Bukan karena bebannya terangkat, tapi karena Oetari sudah terlalu lelah untuk menangis.
Dia duduk dalam kehancuran. Di kamar yang dingin dan berantakan, diterangi seberkas cahaya bulan yang pucat, dia memeluk lututnya. Kaos kaki wol yang dilempar Mas Karno masih teronggok di sudut seperti bangkai hewan kecil. Buku-bukunya berserakan di lantai.
Ini adalah medan perang. Dan dia telah kalah telak.
Di luar, rumah itu hening. Keheningan itu terasa lebih menakutkan daripada bentakan tadi. Itu adalah keheningan yang menegaskan: dia tidak akan kembali.
Setidaknya, tidak kembali padanya.
Dia tahu suaminya ada di rumah induk. Dia bisa membayangkan adegannya. Dia sedang duduk di kursi rotan yang hangat. Bu Inggit sedang membuatkannya teh, mendengarkan keluh kesahnya.
Sebuah dorongan yang aneh, dorongan untuk menyakiti diri sendiri, merayapinya. Dia harus tahu. Dia tidak cukup hanya menduga. Dia harus melihat. Dia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, seperti apa rupa seorang "kawan bicara" itu.
Perlahan, kakinya turun dari ranjang. Dinginnya lantai kayu menusuk telapak kakinya yang telanjang. Dia tidak mengambil selendangnya. Dia berjalan keluar dari paviliun, melintasi halaman kecil berumput yang memisahkan mereka.
Udara malam Priangan memeluknya, membuat tubuhnya gemetar, tapi dia tidak peduli.
Dia mendekati rumah induk. Lampu di ruang tengah masih menyala, memancarkan cahaya oranye yang hangat ke halaman yang gelap.
Dia tidak berani mendekati pintu depan. Dia berjalan ke samping, ke jendela. Jendela itu sedikit terbuka untuk sirkulasi udara. Ada celah di antara daun jendela kayu dan kusennya. Celah yang cukup untuk satu mata.
Oetari menahan napas. Dia menempelkan dirinya ke dinding yang dingin, dan mengintip.
Di dalam, anglo arang masih menyala.
Dan di sana mereka.
Mas Karno tidak sedang berteriak. Dia duduk membungkuk di kursi, siku di atas lutut, kepalanya tertunduk di antara kedua tangannya. Dia terlihat... kalah. Remuk. Bukan Singa Podium. Hanya seorang pemuda yang lelah dan terhina.
Bu Inggit tidak duduk. Dia berdiri di dekatnya. Dia tidak sedang menceramahinya. Dia hanya diam, mendengarkan.
Lalu Oetari melihat wanita itu bergerak. Inggit Garnasih berjalan ke meja, menuangkan secangkir teh panas—Oetari bisa melihat uapnya. Dia meletakkan cangkir itu perlahan di meja, di depan Soekarno.
Soekarno tidak mengangkat kepalanya.
Inggit menatap puncak kepala pria itu sejenak. Lalu, dengan gerakan yang begitu tenang, begitu alami, dan begitu dewasa, dia meletakkan tangannya di bahu Soekarno.
Hanya itu. Sebuah tangan di atas bahu.
Bukan rangkulan kekasih. Bukan usapan sensual.
Itu adalah tangan seorang kawan. Tangan seorang ibu. Tangan seorang partner yang setara. Sebuah gestur yang berkata, "Aku di sini. Aku mengerti. Keluarkan semuanya."
Di bawah sentuhan tangan itu, Oetari melihat bahu suaminya yang tegang itu... sedikit mengendur. Dia tidak menepisnya. Dia menerima kekuatan itu.
Oetari mundur selangkah dari jendela. Dia tidak perlu melihat lagi.
Dia telah melihat semuanya.
Dia telah melihat keintiman yang seratus kali lebih dalam daripada apa pun yang bisa terjadi di atas ranjang.
Bagaimana cara dia bersaing dengan itu?
Dia, Oetari, yang akan menangis jika dibentak. Dia, yang akan panik. Dia, yang akan menyodorkan kopi pahit. Dia, yang hanya bisa menjahit kaos kaki.
Dia tidak akan pernah bisa menjadi itu. Dia tidak akan pernah bisa menjadi wanita yang tangannya bisa menenangkan badai di kepala Soekarno.
Air mata tidak datang. Yang datang adalah rasa dingin yang menusuk sampai ke tulang.
Dia berbalik dari cahaya hangat itu. Dia berjalan pelan, melintasi halaman yang gelap, kembali ke paviliunnya yang dingin.
Dia masuk ke kamar, menutup pintu tanpa suara.
Dia tidak membereskan buku-buku yang berserakan. Dia tidak mengambil kaos kaki di sudut.
Dia berjalan lurus ke ranjang. Dia menatap guling itu. Benda itu tampak konyol sekarang. Sebuah barikade yang sia-sia, menjaga sesuatu yang tidak pernah diinginkan oleh siapa pun.
Dia berbaring di sisinya yang sempit, menarik selimut menutupi tubuhnya yang menggigil.
Dia menatap langit-langit yang gelap.
Harapan itu. Harapan rapuh yang ia bawa dari Surabaya. Harapan bahwa di Bandung dia akan menjadi istri yang sepadan. Harapan bahwa guling itu akan disingkirkan.
Malam ini, harapan itu telah mati.
Dia tidak membencinya. Dia tidak membenci Bu Inggit. Dia tidak membenci Mas Karno. Dia hanya... mengerti.
Sudah selesai. Semuanya sudah selesai.
Bab 18
Keheningan Pagi Berikutnya
Oetari tidak tidur. Dia hanya berbaring, matanya terbuka menatap kegelapan, mendengarkan jarum jam di dinding rumah induk berdetak.
Dia mendengar suara-suara dini hari. Suara ayam berkokok di kejauhan. Suara Bu Inggit yang sudah beraktivitas di dapur, menimba air, suara air yang dituang.
Lalu, dia mendengar langkah kaki suaminya.
Langkah itu pelan, hati-hati. Bukan langkah marah seperti semalam. Bukan langkah energik seperti biasa. Ini langkah kaki seseorang yang tidak ingin membangunkan harimau yang tidur.
Pintu paviliun berderit pelan.
Oetari memejamkan mata, berpura-pura terlelap.
Soekarno masuk. Dia berdiri diam sejenak di tengah ruangan. Oetari bisa merasakannya. Dia bisa merasakan suaminya itu sedang mengamati kamar yang porak-poranda. Dia pasti melihat buku-bukunya yang berserakan, kaos kaki yang teronggok di sudut. Dia pasti melihat Oetari yang meringkuk di balik guling.
Dia berjingkat pelan. Dia tidak menuju ranjang. Dia menuju meja tulis, mengambil beberapa buku yang ia perlukan untuk THS hari ini. Gerakannya hening, penuh rasa bersalah.
Dia pikir Oetari masih tertidur.
Perlahan, Oetari duduk di ranjang.
"Mas..."
Suara serak Oetari memecah keheningan.
Soekarno membeku. Dia berbalik perlahan. Di cahaya pagi yang kelabu, Oetari bisa melihat wajahnya. Lelah. Pucat. Matanya merah, entah karena kurang tidur atau karena menahan emosi.
Dia tampak seperti seorang terdakwa.
"Lak..." suaranya pelan. "Aku... aku membangunkanmu."
Oetari hanya menatapnya. Tatapan yang kosong. Tidak ada kemarahan. Tidak ada air mata. Tidak ada tuntutan.
"Semalam..." Soekarno memulai, dia berdeham. "Aku... aku kalut. Profesor Visser itu... aku minta maaf, Lak. Aku tidak bermaksud..."
Oetari menggeser kakinya turun dari ranjang. Rasa dingin lantai kayu tidak ia rasakan.
"Mas perlu kopi?" tanyanya.
Pertanyaan itu memukul Soekarno lebih keras daripada tamparan.
Dia mengharapkan air mata. Dia siap menghadapi amukan. Dia siap untuk didiamkan. Dia tidak siap untuk... ini. Dia tidak siap untuk kesopanan yang dingin. Kesopanan seorang pelayan hotel pada tamunya.
"Ti-tidak," jawabnya tergagap. "Nanti... nanti Bu Inggit..."
Dia berhenti, menggigit lidahnya. Dia baru saja mengkonfirmasi apa yang Oetari lihat semalam.
Oetari hanya mengangguk. "Baik."
Dia berjalan, melewati suaminya. Dia berlutut di lantai dan mulai memunguti buku-buku yang berserakan. Das Kapital. Over de Nationalisme. Dia menumpuknya dengan rapi, seolah itu bukan benda keramat, tapi hanya tumpukan kertas.
"Lak, jangan. Biar aku saja," kata Soekarno cepat, berjongkok membantunya.
Tangan mereka nyaris bersentuhan saat memungut satu buku. Soekarno menarik tangannya seolah tersengat listrik.
Mereka membereskan kekacauan itu dalam keheningan yang memekakkan telinga. Soekarno lalu berjalan ke sudut dan memungut kaos kaki wol itu. Dia memegangnya, menatap noda darah kecil di tempat jari Oetari tertusuk jarum. Dia tampak sangat malu.
"Lak, aku minta maaf," ulangnya lagi, suaranya tulus.
Oetari mengambil tumpukan buku itu, meletakkannya di meja. Dia berbalik menatap suaminya.
"Tidak apa-apa, Mas," katanya, suaranya datar. "Mas benar."
Soekarno menatapnya bingung. "Benar... apa?"
"Oetari memang masih kanak-kanak," kata Oetari.
Itu bukan keluhan. Itu bukan isakan. Itu adalah pernyataan fakta. Sebuah pengakuan. Sebuah vonis yang ia terima.
Soekarno tidak bisa berkata-kata. Dia ingin menyangkalnya, tapi dia tahu dialah yang menanamkan pikiran itu. Dia ingin memeluknya, tapi dia tahu dia tidak punya hak. Dia telah memilih kawan bicaranya semalam.
Oetari yang berdiri di depannya kini adalah orang asing.
Soekarno mengambil tasnya. "Aku... aku berangkat ke THS."
"Nggih, Mas. Hati-hati," jawab Oetari, menunduk, mulai merapikan seprai.
Soekarno berdiri di ambang pintu sejenak, ingin mengatakan sesuatu lagi. Tapi tidak ada kata-kata yang tersisa. Dia telah menghabiskan semuanya semalam. Untuk Inggit.
Dia pergi.
Satu jam kemudian, Oetari masuk ke dapur rumah induk. Dia lapar.
Bu Inggit ada di sana, sendirian, sedang mengelap meja.
"Eh, Nyi Oetari," sapanya, senyumnya sedikit dipaksakan. Matanya penuh dengan sesuatu yang tidak pernah Oetari lihat sebelumnya ditujukan padanya: rasa iba. "Pagi, Nyi."
"Pagi, Bu."
"Ayo, sarapan." Inggit bergerak cepat. Terlalu cepat. Terlalu bersemangat untuk melayani. "Ibu buatkan bubur sumsum. Masih hangat. Nyi pasti suka."
Oetari duduk di meja dapur yang kecil. Bu Inggit meletakkan mangkuk bubur yang mengepul di depannya.
Wanita itu tidak langsung pergi. Dia duduk di seberang Oetari. Ada keheningan yang canggung.
"Nyi..." Inggit memulai, suaranya pelan dan penuh simpati. "Semalam... Cép Karno itu kalau lagi kalut memang begitu. Seperti anak laki-laki besar. Bicaranya tidak pakai saringan."
Oetari menatap bubur sumsum di depannya. Jadi, Mas Karno menceritakan semuanya pada Bu Inggit. Tentu saja. Dia menceritakan tentang bentakannya. Tentang "kanak-kanak". Tentang kaos kaki.
"Dia tidak bermaksud menyakiti Nyi," lanjut Inggit. "Dia hanya..."
"Tidak apa-apa, Bu."
Oetari mengangkat wajahnya. Dia menatap lurus ke mata Inggit Garnasih. Wanita yang telah mengambil alih semua perannya.
Oetari tersenyum. Senyum yang kecil, rapuh, namun penuh dengan pengertian.
"Oetari mengerti," katanya pelan.
Inggit terdiam. Dia langsung paham apa yang dimaksud Oetari.
Oetari bukan hanya mengerti soal bentakan semalam. Oetari mengerti segalanya. Dia mengerti posisi Bu Inggit. Dia mengerti posisinya sendiri. Dia mengerti bahwa permainan ini sudah selesai.
Inggit menunduk, mengaduk-aduk teh di cangkirnya sendiri. Rasa ibanya kini bercampur dengan rasa hormat yang aneh pada gadis muda di depannya ini.
"Makanlah buburnya, Nyi," bisik Inggit. "Nanti keburu dingin."
Oetari mengambil sendok. Dia mulai makan. Bubur itu terasa manis di lidahnya, tapi dia tidak merasakan apa-apa.
Di dapur yang hangat itu, kedua wanita itu sarapan dalam diam. Tidak ada pemenang. Tidak ada yang kalah. Yang ada hanya dua peran yang kini telah ditetapkan dengan jelas.
Bab 19
"Aku Akan Mengantarmu Pulang, Lak"
Minggu-minggu berikutnya di Bandung terasa seperti penantian di atas jarum.
Setelah bentakan dan pengakuan di ruang paviliun itu, Soekarno dan Oetari nyaris tidak berbicara. Soekarno semakin tenggelam dalam THS dan studieclub-nya. Dia pergi sebelum Oetari bangun dan baru kembali larut malam, setelah memastikan semua perdebatan di ruang tengah telah usai.
Dia tetap tidur di ranjang, di sisi gulingnya, tapi kehadirannya hanya formalitas dingin. Mereka adalah dua orang asing yang terikat oleh selembar surat nikah dan guling yang membagi kasur.
Oetari, di sisi lain, telah memasuki fase ketenangan yang dingin. Dia berhenti berusaha. Dia tidak lagi menunggu di beranda. Dia tidak lagi mencoba memasak. Dia makan bubur sumsum yang disajikan Bu Inggit dan mengangguk sopan setiap kali Inggit bertanya, "Bagaimana perasaan Nyi hari ini?"
Kelemahan Oetari telah berubah menjadi detasemen yang dingin. Dia telah menerima bahwa dia adalah kekalahan suaminya. Dan dia menunggu.
Malam itu, Oetari sedang duduk di meja tulis Soekarno, menyulam sarung bantal yang sudah ia mulai sejak di Surabaya. Ia tidak sedang membaca buku-buku tebal suaminya. Dia melakukan tugas domestik yang nyata.
Soekarno masuk ke paviliun. Dia tidak segera berganti pakaian. Dia berdiri di dekat jendela, menghadap udara dingin malam Bandung. Bahunya tampak berat.
"Lak," panggilnya.
Suara itu lembut, tapi kali ini, Oetari tahu, bukan suara untuk permohonan. Itu suara untuk sebuah keputusan.
Oetari meletakkan jarumnya. Dia berbalik. "Nggih, Mas."
Soekarno memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas panjang. Dia berjalan mendekati ranjang, tapi tetap berdiri, tidak duduk. Dia tidak melirik guling itu.
"Ini tidak bisa terus-menerus, Lak," katanya. "Kau tahu itu."
Oetari hanya diam, menunggu.
"Aku... aku telah egois," Soekarno mengakui, sebuah pengakuan yang langka. "Aku menikahimu karena aku harus meringankan beban Bapak. Aku menikahimu karena simpati dan kewajiban. Dan aku tahu, aku tidak bisa memberikan apa-apa selain status yang palsu ini."
Dia mulai berjalan mondar-mandir di kamar sempit itu.
"Aku akan dihukum, Lak. Aku akan melawan Belanda. Aku mungkin akan dipenjara. Aku akan dibuang. Itu adalah jalan hidupku. Jalan yang penuh api."
Dia berhenti, menatap Oetari. "Kau pantas mendapatkan hidup yang damai, Lak. Kau pantas mendapatkan suami yang menemanimu setiap pagi. Suami yang tidak sibuk memikirkan bagaimana cara membakar Hindia."
Oetari mengerti. Ini adalah cara mulia suaminya untuk mengatakan, Aku menceraikanmu karena aku harus menikah dengan takdirku.
Dia telah kehilangan perdebatan di THS, dan kini dia ingin memenangkan perdebatan dengan dirinya sendiri. Dengan membebaskan Oetari.
"Mas... ingin Oetari pulang?" tanya Oetari, suaranya tenang, tanpa getaran.
Soekarno mengangguk. "Aku ingin kau bahagia, Lak. Aku ingin kau memiliki kehidupan yang utuh. Aku ingin kau terbebas dari api yang akan aku nyalakan."
Dia menatap mata Oetari, mencari air mata, mencari amukan, mencari pertengkaran yang akan membenarkan keputusannya.
Tapi dia tidak menemukan apa-apa.
"Oetari mengerti, Mas," kata Oetari. "Mas benar. Oetari tidak bisa mengimbangi Mas. Oetari hanya akan menjadi beban."
Dia mengucapkan kata "beban" itu dengan kesadaran yang pahit, namun tanpa dendam.
Penerimaan Oetari yang tenang itu justru menghantam Soekarno lebih keras daripada pertengkaran apa pun. Dia membuat Oetari merasa kanak-kanak, namun Oetari membalasnya dengan kebijaksanaan seorang wanita dewasa.
Soekarno menundukkan kepalanya, didera rasa bersalah yang menusuk.
"Aku akan mengantarmu pulang," katanya. "Minggu depan. Aku akan bicara dengan Bapak. Kita selesaikan ini dengan hormat. Kau tidak perlu khawatir tentang apa pun."
Oetari membiarkan Soekarno menyelesaikan semua rencana logistiknya. Ketika Soekarno terdiam, Oetari berdiri, berjalan ke arahnya.
Dia tidak memeluknya. Dia hanya meletakkan tangan di lengan Soekarno. Sentuhan sederhana, bukan istri, tapi seorang sahabat yang menenangkan.
"Terima kasih, Mas," bisik Oetari.
Terima kasih karena telah jujur. Terima kasih karena telah mengakhirinya. Terima kasih karena telah membebaskannya.
Soekarno menatap Oetari. Dia melihat kematangan, keberanian, dan kesedihan yang hening. Dia telah pergi sejauh ini untuk menceraikannya, hanya untuk menyadari bahwa dia meninggalkan seorang wanita yang ternyata sudah dewasa.
Oetari mengambil guling itu dari tengah ranjang.
Dia tidak melemparnya. Dia melipatnya dengan rapi.
"Oetari akan bersiap," katanya. "Sampai jumpa di Surabaya, Mas."
Malam itu, mereka berdua tidur di ranjang yang sama, tanpa guling pemisah. Tapi ini bukan malam intim. Ini adalah malam perpisahan. Dan di dalam keheningan yang dingin itu, Oetari tahu, dia akhirnya bebas.
Bab 20
Percakapan di Ruang Depan
Minggu itu terasa sangat lambat sekaligus cepat. Oetari dan Soekarno berkemas dalam keheningan yang hormat.
Soekarno sibuk mengurus logistik: tiket kereta, surat pindah THS. Dia bergerak dengan efisiensi. Dia menghindari kontak mata, namun tidak ada lagi guling di ranjang mereka. Perpisahan telah menjadi ikatan yang lebih jujur daripada pernikahan mereka.
Di hari terakhir mereka di Bandung, saat semua barang sudah dimuat ke gerobak, Bu Inggit datang ke paviliun.
Inggit mendekati Oetari, yang sedang menutup koper terakhirnya. Ekspresi wanita itu campur aduk antara kesedihan dan rasa bersalah yang tak terucapkan.
"Nyi," kata Inggit lembut. "Ibu ingin minta maaf. Seandainya, tanpa sengaja, Ibu..."
Oetari membalikkan badan. Dia menatap Inggit. Dia melihat seorang wanita yang kuat, seorang kawan bicara yang diidam-idamkan suaminya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bu," kata Oetari, suaranya tenang, dewasa, dan penuh pengertian yang dingin. "Oetari mengerti sekarang. Oetari memang tidak bisa mengimbangi Mas Karno."
Dia melangkah maju dan, untuk pertama kalinya, memeluk Inggit. Pelukan itu singkat, tapi hangat. "Ibu lebih cocok untuknya. Oetari... Oetari butuh kedamaian."
Inggit membalas pelukan itu erat. "Semoga Nyi Oetari mendapatkan semua yang Nyi pantas dapatkan."
Perpisahan di antara dua wanita itu diselesaikan dengan kejujuran yang pahit, tanpa pertengkaran, hanya dengan penerimaan peran masing-masing.
Perjalanan kereta api dari Bandung kembali ke Surabaya terasa seperti menonton film yang sama untuk kedua kalinya. Tapi kali ini, Oetari tahu akhir ceritanya.
Masih ada asap tebal, kursi kayu yang keras, dan bau kretek. Tapi suasananya berbeda. Soekarno tidak lagi tenggelam dalam bukunya. Dia duduk di seberang Oetari, diam, matanya mengikuti pergerakan pemandangan di luar jendela. Dia adalah pria yang didera rasa bersalah.
Kadang, dia akan menoleh ke Oetari, membuka mulut seolah ingin bicara, namun selalu menutupnya kembali.
Oetari, di sisi lain, tidak lagi mencoba. Dia memandang ke luar, membiarkan dinginnya Priangan digantikan oleh panasnya Jawa Timur. Dia menghabiskan perjalanan itu untuk melepaskan diri. Dengan setiap stasiun yang dilewati, lapisan demi lapisan trauma pernikahan gantung itu mengelupas dari jiwanya.
Dia akan pulang ke rumahnya.
Mereka tiba di Gang Peneleh saat matahari sudah tinggi. Panas, lengket, dan berbau tembakau dan kopi yang familier.
H.O.S. Tjokroaminoto menunggu mereka. Wajahnya yang bijaksana tampak khawatir.
Soekarno tidak membawa koper bukunya masuk. Dia langsung mengantar Oetari ke ruang tengah. Suasana di ruang itu mencekik.
Tjokroaminoto meminta Oetari duduk. Dia menatap Soekarno. Tidak ada sapaan. Hanya tatapan yang menuntut kejujuran.
Soekarno, sang orator, tampak seperti remaja yang dipanggil menghadap guru besarnya. Dia berdiri, kaku.
"Pak," Soekarno memulai, suaranya terdengar tercekat. "Saya... saya datang untuk mengembalikan putri Bapak."
Tjokroaminoto tidak bereaksi. "Kenapa, Karno?"
"Saya... saya tidak bisa menjadi suaminya, Pak. Saya gagal. Saya tidak adil." Soekarno menundukkan kepala. "Hidup saya bukan untuk rumah. Hidup saya penuh dengan api dan... dan penjara. Oetari pantas mendapatkan kehidupan yang damai."
"Apa Oetari tidak menghormatimu?" tanya Tjokroaminoto, suaranya tajam.
"Tidak, Pak. Dia adalah istri yang baik. Tapi saya... saya bukan suami yang baik. Saya tidak bisa membagi api saya. Dan itu tidak adil baginya." Soekarno mengakui kegagalannya.
Tjokroaminoto menghela napas panjang. Dia sudah menduga ini. Dia melihat keheningan dan jarak di antara mereka saat di Surabaya, dan dia tahu semangat Soekarno terlalu besar untuk rumah tangga.
Dia mengalihkan pandangannya ke putrinya.
"Lak," panggilnya lembut. "Kau sudah dengar. Apa ini maumu juga?"
Oetari mengangkat wajahnya. Dia melihat ayahnya yang duka, dan suaminya yang merasa bersalah.
Dia tidak menangis. Dia tidak melawan. Dia hanya berbicara dengan suara yang tenang, dewasa, yang tidak dimiliki oleh gadis yang dinikahi Mas Karno dua tahun lalu.
"Ikhlas, Bapak," katanya. "Oetari ingin pulang. Oetari mengerti, Mas Karno tidak butuh istri. Mas Karno butuh kawan berjuang. Dan Oetari... Oetari butuh kedamaian."
Penerimaan Oetari yang jujur dan tanpa dendam itu adalah pukulan telak bagi Soekarno.
Tjokroaminoto memejamkan mata. Dia mengangguk pelan. Semua sudah jelas.
"Baiklah," katanya, nadanya final. "Kalian berpisah dengan baik-baik. Tanpa pertengkaran, tanpa sakit hati. Itu adalah satu-satunya kehormatan yang bisa kalian berikan pada pernikahan ini."
Dia menatap Soekarno. "Kau tetap anakku, Karno. Tapi kau harus ingat, janji pada hatimu sendiri adalah yang paling penting."
Soekarno mengangguk, lega, namun hatinya perih. Dia telah membayar hutang budi, tapi dengan harga yang mahal.
Dia berdiri, memberikan salam hormat pada Tjokroaminoto.
Lalu dia menatap Oetari. "Jaga dirimu, Lak."
Oetari berdiri, membalas dengan tatapan hormat. "Mas juga. Berjuanglah yang benar."
Soekarno berbalik dan melangkah keluar. Dia meninggalkan Surabaya tanpa menoleh lagi, menuju takdirnya yang besar.
Oetari berdiri di ambang pintu, melihat punggung suaminya menghilang. Dia telah kembali ke rumahnya. Dia seorang janda di usia delapan belas tahun.
Dia seorang yang gagal. Tapi juga seorang yang bebas.
Dia berbalik ke ayahnya, dan di dalam ruang tengah yang panas itu, Oetari tahu bahwa babak pertama kehidupannya telah selesai.
Bab 21
Cap "Janda Perawan"
Oetari telah kembali ke rumahnya.
Panas Surabaya yang lembap dan lengket terasa seperti pelukan yang familier setelah udara dingin Bandung yang menusuk. Ia kembali ke kamar lamanya, kamar seorang gadis, bukan kamar pengantin. Guling yang dulu menjadi batas, kini terlipat rapi di lemari, disimpan.
Dia bebas. Bebas dari kewajiban yang tidak ia pahami. Bebas dari guling dan api.
Namun, kebebasan itu datang dengan harga yang dibayar di muka: sebuah status sosial yang aneh.
Oetari adalah seorang janda.
Dua kata yang saling bertentangan itu terasa seperti beban tak terlihat di bahunya: janda di usia delapan belas tahun.
Di rumah Peneleh, ia mendapat perlindungan. Tjokroaminoto dan adik-adiknya menyambutnya dengan kasih sayang tanpa syarat. Mereka tidak bertanya banyak. Namun, dunia di luar pagar rumah itu bergerak dengan hukumnya sendiri.
Hari itu, Oetari memberanikan diri ke warung di sudut gang untuk membeli bumbu dapur. Hanya lima menit berjalan kaki.
Saat ia menyerahkan uang dan menunggu kembalian, ia menangkap suara-suara lirih. Bisikan-bisikan yang disamarkan di balik kipas dan obrolan pedagang.
"Itu putrinya Pak Tjokro, ya?" "Iya, yang baru pulang dari Bandung itu." "Ditinggal... kasihan. Padahal masih kinyis-kinyis." "Baru dua tahun menikah, sudah randha (janda). Pasti ada yang tidak beres..."
Kata randha itu menghantam Oetari, membuatnya tersentak. Dia memegang kantong belanjanya erat-erat. Janda. Gelar yang dibawa oleh wanita yang telah melewati malam perkawinan dan kini ditinggal suaminya.
Dia seorang janda. Padahal dia masih perawan.
Dia lari dari warung itu, melupakan uang kembaliannya.
Di kamarnya, Oetari berdiri di depan cermin kecil. Dia menatap dirinya sendiri. Wajahnya masih wajah seorang gadis remaja yang belum sepenuhnya matang. Kulitnya, tubuhnya, semuanya sama seperti saat ia menikah dengan Soekarno dua tahun lalu. Tidak ada bekas sentuhan. Tidak ada bekas kepemilikan.
Dia adalah sebuah ironi hidup. Sebelah kakinya berdiri di dunia kemerdekaan, sebelah kakinya tersangkut dalam cengkeraman adat dan gosip.
Dia bisa menghadapi api kemarahan Soekarno. Tapi dia tidak tahu cara menghadapi bisikan tetangga.
Minggu-minggu berlalu, Oetari semakin jarang keluar. Dia sibuk di rumah, kembali mengurus urusan domestik. Dia berusaha mengalihkan pikirannya dengan resep-resep lama ibunya.
Dia mencoba berbicara dengan ayahnya tentang hal ini suatu malam.
"Bapak," Oetari memulai, saat ayahnya sedang duduk sendirian di pendopo. "Apa... apa salah kalau Oetari kembali ke sini?"
Tjokroaminoto menghela napas. Dia tahu apa yang membuat putrinya gelisah. "Kau tidak salah, Nduk. Sama sekali tidak."
"Tapi kata orang-orang..."
"Orang-orang akan selalu bicara," potong Tjokroaminoto, suaranya kini tenang dan tegas. "Orang-orang melihat status, Nak. Bapak melihat hatimu. Dan hati Bapak tahu kau pergi dalam keadaan suci, dan kau pulang dalam keadaan suci."
Ayahnya memegang tangannya. "Kau adalah korban dari takdir yang terlalu besar, Lak. Kau tidak gagal sebagai istri; kau hanya salah peran. Kau terlalu kecil untuk dimuati ambisi sebesar itu."
"Tapi status ini, Pak," bisik Oetari. "Status ini... menakutkan."
Tjokroaminoto tersenyum bijak. "Status hanyalah sebutan, Nduk. Itu tidak mendefinisikan jiwamu. Justru, kau sekarang lebih berharga. Kau tahu apa yang kau inginkan. Kau tahu apa yang tidak kau inginkan. Kau matang tanpa harus melalui kepahitan yang sesungguhnya."
Kata-kata ayahnya memberinya fondasi untuk kembali berdiri.
Oetari menyadari: dia memang tidak mendapatkan cinta suaminya. Tapi dia mendapatkan kasih sayang dan perlindungan ayahnya yang tak tergoyahkan.
Malam itu, Oetari kembali ke kamarnya. Dia tidak lagi bersembunyi. Dia mengambil cermin kecil itu, menatap dirinya lagi.
Dia adalah janda perawan.
Status itu kini terasa seperti lencana. Lencana perjuangan pribadinya. Dia telah pergi ke medan perang ambisi, dikalahkan oleh ideologi, dan pulang dalam keadaan utuh. Dia telah melalui api, dan kini ia bebas.
Dia akan menerima cap itu. Biarkan masyarakat Surabaya berbisik. Bisikan mereka tidak akan mengubah fakta bahwa guling di ranjangnya telah ia singkirkan sendiri, dan kini, tidak ada yang akan bisa memaksanya meletakkan guling lagi di sana.
Mulai sekarang, hidupnya adalah miliknya. Dan dia harus mulai mencari tahu, apa yang diinginkan oleh Oetari yang sudah dewasa ini.
Bab 22
Menemukan Diri
Kepulangan Oetari ke rumah Peneleh menandai dimulainya fase tenang yang panjang dan penuh kerja keras. Ia tidak lagi menghabiskan waktu di kamar dengan kesedihan. Ia telah menemukan satu hal yang dapat ia lakukan untuk melawan status "kanak-kanak" yang diberikan suaminya: menjadi dewasa melalui tanggung jawab.
Dia memilih untuk menguasai dunia yang ditinggalkan ibunya.
Oetari mengambil alih urusan rumah tangga. Dia belajar dari Pakde Harun dan kerabat lainnya tentang seluk-beluk mengelola rumah kos sebesar rumah Tjokroaminoto. Dia belajar membaca neraca sederhana: berapa biaya beras, berapa pemasukan dari uang kos, berapa pengeluaran untuk kayu bakar.
Ini adalah dunia yang berbeda dari onderwijs di THS. Ini adalah dunia nyata yang dapat ia sentuh.
Di Bandung, dia merasa bodoh karena tidak mengerti Marxisme. Di Surabaya, dia merasa kompeten karena mengerti neraca.
Dia tidak lagi mencoba menjadi wanita yang berdebat tentang ideologi. Dia memilih menjadi wanita yang memastikan semua orang di rumah itu, termasuk ayahnya yang sibuk, mendapatkan makanan yang layak. Ini adalah bentuk perlawanan pribadinya terhadap cap "tidak berguna" yang dilemparkan Soekarno padanya.
Setiap pagi, setelah menyelesaikan urusan dapur, Oetari akan duduk di pendopo depan. Bukan lagi untuk bermain dakon. Tapi untuk membaca koran.
Dia tidak lagi mencari artikel tentang Soekarno, yang kini namanya mulai sering disebut-sebut di koran-koran Batavia sebagai tokoh pergerakan yang menjanjikan. Dia membalik halaman politik. Dia langsung menuju halaman ekonomi. Harga gula. Harga beras. Berita impor. Hal-hal yang praktis.
Tjokroaminoto akan memperhatikan putrinya dari ruang depan, dan senyum puas selalu muncul di wajahnya. Putrinya tidak hancur. Putrinya sedang membangun kembali dirinya.
Rumah Peneleh selalu ramai, meskipun Soekarno telah pergi. Ada saja pemuda-pemuda lain yang kos, murid-murid Tjokroaminoto yang lain, yang datang dan pergi.
Mereka semua memperlakukannya berbeda. Ada yang menatapnya dengan rasa iba, seolah melihat korban perang. Ada yang menatapnya dengan canggung, takut menyinggung statusnya sebagai "janda perawan".
Kecuali satu orang.
Sigit Bachroensalam.
Sigit bukan orator. Dia bukan tokoh pergerakan. Dia adalah seorang pemuda, sedikit lebih tua dari Oetari, yang juga tinggal di rumah itu. Dia sedang meniti karir kecil-kecilan di bidang perdagangan di pelabuhan. Dia pendiam, rapi, dan matanya selalu tenang.
Dia adalah kebalikan dari Soekarno dalam segala hal.
Oetari pertama kali menyadari ketenangan Sigit pada suatu siang. Dia sedang duduk di kursi rotan di pendopo, mengamati daftar harga koran di tangannya, sambil menghela napas melihat harga minyak kelapa yang naik.
Sigit datang, tidak langsung menyapa. Dia duduk di bangku kayu, sibuk memperbaiki tali sandalnya yang putus.
"Minyak kelapa naik lagi, ya, Mbak Oetari?" tanya Sigit, suaranya pelan dan tidak menuntut perhatian.
Oetari terkejut, suaranya terdengar canggung. "Nggih, Mas Sigit. Kalau begini, kasihan yang punya warung kecil."
Sigit mengangkat bahu. "Berita politik memang panas, Mbak. Tapi yang lebih penting bagi rakyat kecil itu harga minyak kelapa. Kalau minyak naik, ibu-ibu di dapur tidak bisa masak."
Komentar itu sederhana. Tapi itu menghantam Oetari dengan kekuatan yang aneh.
Itu adalah validasi. Itu adalah pengakuan bahwa dunianya—dunia dapur, harga, dan minyak kelapa—adalah dunia yang penting. Soekarno akan mencemooh komentar seperti itu sebagai pemikiran yang "kecil" dan "tidak berabstraksi". Tapi Sigit... Sigit melihatnya sebagai fakta kehidupan yang nyata.
Oetari tersenyum. Senyum yang tulus, bukan senyum yang dipaksakan.
"Mas Sigit benar," katanya. "Saya lebih mengkhawatirkan harga beras daripada nasib THS di Bandung."
Sigit mendongak, matanya bertemu mata Oetari. Dia tidak menertawakan komentarnya. Dia hanya tersenyum hangat. "Kalau begitu, mari kita pikirkan, Mbak. Apa yang membuat harga itu naik?"
Mereka tidak berdiskusi tentang revolusi. Mereka tidak berdebat tentang imperialisme. Mereka berdiskusi tentang logistik. Tentang kapal. Tentang harga jual.
Oetari menyadari: bersama Soekarno, dia merasa harus melompat ke ketinggian. Bersama Sigit, dia merasa dipijakkan ke bumi.
Pria ini adalah air yang tenang.
Dia tidak akan pernah menanyakan pendapat Oetari tentang Marxisme. Dia akan menanyakan pendapat Oetari tentang harga minyak kelapa. Dan Oetari, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, merasa pintar, berguna, dan sepenuhnya terlihat.
Dia telah menemukan kedamaian yang dijanjikan Soekarno, namun tidak pernah bisa ia berikan. Dan kedamaian itu memiliki nama: Sigit Bachroensalam.
Bab 23
Pria di Latar Belakang
Waktu di rumah Peneleh memiliki kecepatan yang berbeda. Ia berjalan lambat, diukur oleh pergantian musim hujan dan musim kemarau, bukan oleh gemuruh rapat politik atau tergesa-gesanya perjalanan kereta api. Dalam ketenangan itulah, Oetari dan Sigit Bachroensalam semakin dekat.
Hubungan mereka tidak dimulai dengan api yang menyambar, melainkan dengan air yang meresap.
Sigit selalu ada di latar belakang. Ia bukan tipe pria yang menuntut perhatian; ia bekerja dengan diam dan efisien. Ia adalah seorang pedagang muda yang sibuk mengurus pengiriman di pelabuhan dan memastikan surat-surat perizinannya lengkap.
Oetari menyadari bahwa Sigit memperhatikan hal-hal yang tidak pernah Soekarno lihat.
Suatu pagi, Oetari sedang kesulitan memperbaiki daun jendela di kamarnya yang miring, akibat angin kencang semalam. Dia mencoba mendorongnya, tetapi engselnya berdecit dan terlepas.
"Mbak Oetari," suara Sigit terdengar. Dia tidak mendekat, hanya berdiri di ambang pintu, kemejanya sudah rapi dan bersih. "Jangan dipaksa. Nanti engselnya patah. Biar saya yang perbaiki sepulang dari pelabuhan."
Oetari tersipu, merasa malu karena tertangkap basah sedang kesulitan. "Ah, tidak usah, Mas Sigit. Nanti merepotkan."
"Itu bukan repot," katanya lembut. "Itu kewajiban seorang laki-laki yang tinggal di sini. Mas Karno tidak pernah memperhatikan engsel yang miring. Dia terlalu sibuk memperhatikan sistem yang miring," candanya.
Sigit pergi, dan Oetari merasa aneh. Soekarno akan mencemooh seorang pria yang membuang waktunya untuk engsel jendela, alih-alih untuk debat politik. Tapi Sigit—Sigit memahami bahwa rumah yang stabil dimulai dari engsel yang lurus.
Sore harinya, Sigit menepati janjinya. Dia tidak terburu-buru. Dia duduk di depan jendela Oetari dengan peralatan sederhananya, dan dengan kesabaran luar biasa, dia memperbaiki engsel itu. Oetari duduk di dekatnya, memegang obeng sesekali.
"Ambisi saya, Mbak Oetari," kata Sigit tanpa mendongak, matanya fokus pada kayu yang rapuh, "sederhana. Saya ingin membangun usaha yang jujur. Saya ingin bisa diandalkan oleh mereka yang bekerja dengan saya. Kepercayaan, Mbak. Itu fondasi paling kuat."
Oetari merenung. Ambisi suaminya yang dulu adalah menggebrak dunia, bahkan jika harus dengan risiko penjara. Ambisi Sigit adalah membangun kepercayaan. Ambisi yang satu adalah tentang api. Ambisi yang ini adalah tentang tanah yang kokoh.
"Dulu," Oetari akhirnya bersuara, suaranya sedikit gemetar, "saya pikir ambisi harus besar. Harus membuat orang takut. Harus tentang... revolusi."
Sigit tersenyum kecil. "Revolusi yang sebenarnya, Mbak, bukan dimulai dengan teriak-teriak. Tapi dimulai saat seorang istri tahu suaminya akan pulang, dan lampu di rumahnya akan menyala setiap malam."
Oetari memandang pria itu. Kata-kata itu. Kedamaian itu. Itu adalah kebalikan dari semua yang ia pelajari dari pernikahannya yang pertama.
Dia mulai menantikan pertemuan dengan Sigit. Bukan karena gairah yang membara, tapi karena rasa nyaman yang ia berikan. Dia menantikan saat-saat mereka membahas daftar harga. Dia menantikan saat-saat Sigit menanyakan pendapatnya tentang warna cat terbaik untuk pintu depan. Hal-hal yang kecil, nyata, dan penting bagi kehidupan sehari-hari.
Dia menyadari, dengan Soekarno, dia merasa harus mengangkat dirinya setinggi-tingginya untuk mencapai ketinggian suaminya. Dengan Sigit, dia merasa bisa menurunkan dirinya, menjadi dirinya sendiri seutuhnya, dan Sigit akan tetap menghargainya.
Di sisi lain, Tjokroaminoto memperhatikan.
Suatu malam, ia melihat Sigit dan Oetari duduk di beranda, tidak berdebat, hanya berbicara pelan sambil melihat bintang. Tjokroaminoto tidak menyela.
Dia melihat kedamaian di wajah putrinya yang sudah lama hilang. Tidak ada lagi ketegangan, tidak ada lagi sorot mata takut.
Tjokroaminoto menghela napas. Dia mencintai Soekarno seperti anak sendiri, tapi dia tahu, Soekarno adalah badai. Dan dia tahu, setelah badai, yang dibutuhkan putrinya adalah seorang pria yang bisa memperbaiki engsel jendela.
Ia menyadari bahwa ini bukan hanya awal yang baru bagi putrinya. Ini adalah penyembuhan.
Dan Oetari, memandang Sigit yang kini tersenyum sambil mengencangkan sekrup terakhir, menyadari bahwa ia telah jatuh cinta. Bukan dengan api, melainkan dengan air yang tenang, yang menawarkan keteduhan dan kepastian.
Bab 24
Percakapan tentang Beras
Malam-malam di rumah Peneleh kini menjadi milik Oetari dan Sigit.
Mereka sering duduk di meja makan yang panjang, meja yang dulunya menjadi saksi bisu perdebatan politik yang panas, kini menjadi saksi bisu kesabaran dan ketelitian. Mereka duduk di bawah cahaya lampu minyak yang tenang, di antara tumpukan catatan pemasukan dan pengeluaran rumah tangga.
Oetari kini sudah fasih membaca neraca. Matanya cepat menemukan ketidakcocokan antara harga beli dan harga jual.
"Lihat ini, Mas Sigit," kata Oetari, menunjuk kolom di buku besar dengan pensilnya. "Harga beras jenis Mentik naik tiga sen di pasar minggu ini. Tapi pedagang di pelabuhan bilang persediaan stabil. Ada yang tidak beres."
Sigit mendekat, kepalanya miring. Bukan untuk merayu, tapi untuk menganalisis. Oetari bisa mencium aroma rempah dari kainnya, aroma yang jujur.
"Tepat," kata Sigit. "Itu bukan inflasi normal. Itu pasti permainan spekulan di Tambak Bayan. Mereka menahan kapal, menciptakan kelangkaan palsu."
Mereka berdua menganalisisnya. Bukan dengan teori Marxisme tentang konflik kelas, melainkan dengan logika praktis perdagangan. Solusi mereka bukan revolusi, tapi menyewa gerobak langsung dari petani di luar kota.
"Mengapa harus susah-susah mengurus spekulan itu, Mas?" tanya Oetari. "Bukankah lebih mudah kalau kita beli dari orang yang kita kenal saja?"
Sigit tersenyum. Senyum itu tidak menjanjikan panggung dunia, hanya sebuah kepastian. "Karena itulah rumah tangga ini stabil, Mbak Oetari. Kita harus tahu apa yang terjadi di luar pagar kita, agar kita bisa menjaga apa yang ada di dalamnya."
Keheningan yang nyaman meliputi mereka. Di luar, suara jangkrik bersahutan.
Sigit menutup buku besar itu. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, kini bukan lagi sebagai rekan kerja.
"Mbak Oetari," katanya, suaranya melunak. "Terkadang, saya melihat... ada kesedihan lama yang tertinggal di sini." Dia menyentuh meja di antara mereka. "Dulu, di rumah ini, yang dibicarakan selalu hal-hal besar. Selalu berteriak tentang cita-cita setinggi langit."
Oetari menunduk. Bayangan Soekarno langsung melintas, dengan api di matanya.
"Mas Karno memang hebat," kata Sigit. "Dia adalah api yang akan membersihkan hutan. Dia akan menjadi pemimpin yang dibutuhkan oleh bangsa ini."
Oetari memaksakan diri untuk menanyakan pertanyaan yang sudah lama ia hindari. "Dan saya... apa saya tidak cukup baik untuk api itu, Mas?"
Sigit menarik tangannya dan memegang tangan Oetari. Genggaman itu lembut, tapi kokoh. Tidak ada getaran amarah, hanya kehangatan.
"Api itu, Oetari," katanya lembut, menggunakan nama aslinya, bukan panggilan Mbak atau Nyi yang formal, "akan selalu butuh pengorbanan. Dan pengorbanan terbesarnya adalah rumah. Mas Karno tidak pernah benar-benar meninggalkanmu karena dia tidak cinta. Dia meninggalkanmu karena dia mencintai api itu lebih dari segalanya. Dia tidak bisa membagi hatinya."
Oetari merasakan matanya memanas, tapi tidak ada air mata. Ini adalah pemahaman yang ia butuhkan.
"Saya," lanjut Sigit, menatap mata Oetari, "saya bukan ombak yang memecah karang. Saya adalah pelabuhan. Saya adalah orang yang percaya bahwa kebahagiaan terbesar tidak ada di panggung politik, tapi di dapur yang hangat dan di kamar tidur yang tenang."
Dia mengusap punggung tangan Oetari dengan ibu jarinya.
"Saya ingin membangun rumah, Oetari. Rumah yang fondasinya bukan dari pidato, tapi dari beras, dari kepercayaan, dan dari kesabaran yang sama yang Mbak tunjukkan saat mengurus buku ini."
Oetari menyadari: dia tidak ingin dipuja sebagai "inspirasi." Dia hanya ingin dilihat sebagai dirinya sendiri. Dia tidak ingin berada di samping pria yang terpesona oleh gagasannya sendiri. Dia ingin berada di samping pria yang terpesona olehnya.
"Saya... saya sudah lelah dengan api, Mas Sigit," bisik Oetari. "Saya hanya ingin air yang tenang."
Sigit tersenyum. "Air yang tenang tidak berjanji akan mengubah dunia, Oetari. Tapi air yang tenang berjanji akan selalu ada di sana."
Oetari mengangguk. Dia telah menemukan jawabannya.
Malam itu, Oetari tidak lagi melihat Sigit sebagai "anti-Soekarno." Dia melihat Sigit sebagai Sigit. Sebagai takdir yang diberikan kepadanya, sebagai hadiah kedamaian setelah badai.
Dia menarik tangannya perlahan, tapi hanya untuk merapatkan jarinya di antara jari-jari Sigit.
"Kapan kita harus mulai mengurus logistik rumah yang tenang itu, Mas Sigit?" tanya Oetari, dan dia tahu, itu adalah bentuk persetujuan yang paling tulus.
Bab 25
Pilihan Hati yang Tenang
Pagi hari setelah perbincangan tentang beras itu, Oetari bangun dengan kepastian yang menenangkan. Tidak ada lagi kebingungan. Tidak ada lagi ketakutan.
Dia tahu. Ini adalah jalannya.
Sigit Bachroensalam datang menemuinya di pendopo depan, tidak lama setelah Soekarno meninggalkan Bandung untuk selama-lamanya. Sigit tampak gugup—pipinya sedikit memerah—tapi matanya mantap. Dia telah menyiapkan keberaniannya semalaman.
Oetari tidak menunggu Sigit bicara. "Mas Sigit," katanya, suaranya lembut. "Tangan saya tidak gemetar lagi."
Sigit tersenyum, senyum yang menjanjikan keteduhan.
"Oetari," kata Sigit, melangkah mendekat. Dia tidak mengambil tangannya, dia hanya berdiri di depannya dengan penuh hormat. "Saya tahu saya bukan pria yang sering dibicarakan di koran. Saya tidak bisa menjanjikan kekayaan, tapi saya menjanjikan kecukupan."
Dia berhenti, lalu berbicara dengan kejujuran yang menenangkan. "Saya melamarmu, Oetari. Bukan karena simpati, dan bukan karena kewajiban kepada Bapakmu. Tapi karena saya melihat ketenangan di matamu saat kau menghitung neraca. Saya melihat kebaikan di tanganmu saat kau mengurus adik-adikmu. Saya mencintai Oetari, seutuhnya."
Dia membungkuk sedikit. "Saya ingin membangun rumah, Oetari. Bukan markas pergerakan. Hanya rumah yang damai. Maukah kau... menjadi istri saya?"
Oetari merasakan air mata haru menggenang. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata pengakuan. Dia teringat kata "manut" yang ia ucapkan pada pernikahan pertamanya—sebuah kata yang dipenuhi kepasrahan. Kali ini, dia akan mengucapkan kata yang dipenuhi pilihan.
"Saya mau, Mas Sigit," jawab Oetari, dan dia mengangguk. "Saya mau."
Sore harinya, Oetari dan Sigit duduk bersama di ruang tengah, menanti Tjokroaminoto pulang dari pertemuan Sarekat Islam.
Tjokroaminoto masuk ke rumah, melepas pecinya, dan menatap kedua pemuda-pemudi di ruang tengah itu. Dia langsung mengerti. Tidak ada lagi ketegangan. Yang ada hanya aura kedamaian.
"Jadi, Sigit," Tjokroaminoto memulai, sambil duduk. "Sudah sejauh mana kalian mengatur logistik rumah yang tenang itu?"
Sigit dan Oetari tersenyum.
Sigit mengutarakan lamarannya secara formal, dengan nada yang penuh hormat, menjelaskan ambisinya yang membumi: fokus pada perdagangan, keluarga, dan integritas.
"Saya tahu sejarah yang mengikat Oetari, Pak," kata Sigit dengan mantap. "Saya tahu ia baru saja terlepas dari api yang besar. Saya tidak akan meminta dia untuk melupakan masa lalunya. Saya hanya ingin memastikan bahwa di rumah yang akan kami bangun, Oetari tidak perlu takut terbakar lagi."
Tjokroaminoto mendengarkan, matanya yang bijak menimbang setiap kata. Dia melihat kejujuran Sigit. Dia melihat betapa bahagia putrinya di samping pria ini.
"Kau pemuda yang baik, Sigit," kata Tjokroaminoto. Dia menghela napas. "Dulu, Bapak memilihkan api untuk Oetari, karena Bapak berpikir api adalah takdir terbesarnya. Bapak ingin dia berdiri di samping pemimpin bangsa."
Dia menatap Oetari. "Api itu membakar Oetari, Nduk. Tapi tidak memusnahkannya. Justru api itu mengajarkan Oetari betapa berharganya air."
Dia tersenyum pada mereka berdua. "Bapak mengizinkan. Kali ini, Bapak membiarkan Oetari yang memilih jalannya sendiri."
Dia merentangkan kedua tangannya. "Kau pantas bahagia, Nduk. Kali ini, pilihlah kedamaian."
Oetari menghambur ke pelukan ayahnya, air mata haru akhirnya tumpah. Bukan air mata kesedihan seperti di pernikahan pertamanya, tapi air mata kepastian.
Sigit duduk diam, menunggu. Dia mengerti bahwa momen ini adalah momen Ayah dan Anak.
Ketika Oetari kembali duduk, tangannya menggenggam tangan Sigit.
"Kami akan menikah secepatnya, Pak," kata Sigit. "Sangat sederhana. Tidak perlu pesta besar."
"Sederhana itu baik," kata Tjokroaminoto. "Yang penting, hatinya tidak ada guling pemisah."
Oetari tersenyum. Guling. Kata itu kini hanya menjadi kenangan pahit.
Malam itu, Oetari dan Sigit duduk berdua di pendopo. Mereka tidak membahas politik. Mereka membahas anggaran. Mereka membahas nama anak mereka kelak. Mereka membahas logistik rumah tangga.
Oetari memandang ke langit malam. Dia tidak lagi melihat bintang-bintang yang jauh dan abstrak. Dia melihat lampu-lampu di rumah-rumah sekitar yang menyala.
Dan dia tahu, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang nyata, yang bisa dipegang, dan yang bisa dinikmati setiap malam.
Bab 26
Akad Penuh Kedamaian
Pernikahan kedua Siti Oetari, yang dilangsungkan di tahun 1924, adalah kebalikan dari pernikahan pertamanya.
Kali ini, Oetari bangun tanpa rasa takut. Dia tidak merasa seperti boneka yang dipersiapkan untuk pertunjukan. Dia bangun sebagai seorang wanita yang sadar akan pilihan hatinya. Dia tahu siapa yang akan ia nikahi, dan apa yang ia harapkan dari pernikahan ini: kedamaian.
Dia mengenakan kebaya putih sederhana, dan kali ini, wangi melati di sanggulnya tidak bercampur dengan bau minyak kayu putih. Hanya ada aroma bersih dan sejuk.
Dia tidak tergesa-gesa. Dia mendengar tawa lembut di ruang depan, bukan bisikan panik. Tidak ada lagi ancaman duka. Rumah Peneleh, untuk kali ini, bernapas lega.
Oetari melangkah ke ruang tengah. Ruangan itu terlihat sama—kursi rotan, lantai kayu, udara yang panas. Tapi suasana hatinya mengubah segalanya.
Di sana duduk Sigit Bachroensalam.
Dia tidak mengenakan jas Eropa yang melambangkan pemberontakan. Dia mengenakan beskap hitam Jawa yang rapi dan elegan, blangkon yang menutupi rambutnya, menunjukkan rasa hormatnya pada adat dan lingkungan. Dia duduk tenang, punggungnya tegak, tidak gelisah atau dipenuhi amarah yang membara.
Oetari mencatat semua kontras ini dalam hati.
Di sampingnya duduk Tjokroaminoto, yang kini tampak lebih muda. Kegembiraan yang tulus menghiasi wajahnya. Dia tidak lagi disibukkan oleh pemikiran tentang utang budi. Dia di sini sebagai seorang ayah yang melihat putrinya akhirnya mendapatkan apa yang ia pantas dapatkan.
Acara dimulai dengan tenang. Penghulunya, seorang Kiai yang ramah, tersenyum dan berbicara tentang kewajiban suami-istri dengan nada menenangkan.
Tidak ada bentakan. Tidak ada perdebatan tentang pakaian. Tidak ada interupsi tentang ideologi.
Pernikahan ini adalah tentang komitmen yang nyata, bukan komitmen ideologi.
Saat tiba giliran ijab kabul, Oetari menatap Sigit. Pria itu menatapnya, dan matanya adalah mata yang paling stabil yang pernah ia lihat. Mata itu menjanjikan meja yang teratur, dan pintu yang akan selalu terbuka saat ia pulang.
Sigit meraih tangan Tjokroaminoto. Suaranya, saat mengucapkan sumpah, terdengar mantap, jelas, dan penuh keyakinan. Tidak ada nada tergesa-gesa, tidak ada getaran amarah. Hanya kejujuran yang menenangkan.
Selesai.
Kata "Sah" diucapkan oleh para saksi, bukan sebagai vonis, melainkan sebagai berkah yang dalam.
Oetari membungkuk. Ini adalah momen yang paling ia nantikan. Dia melakukan sungkem, mencium tangan suaminya.
Dia menatap tangan Sigit. Tangan itu bersih, kuat, dan hangat. Tidak ada luka bakar yang membengkak, tidak ada pertanda buruk dari api. Hanya tangan seorang pria yang bekerja keras di pelabuhan dan di balik neraca.
Oetari menempatkan bibirnya di punggung tangan Sigit. Itu adalah sentuhan pertama seorang istri yang sah. Tidak dingin. Tidak kaku.
Sigit kemudian mengangkat tangan Oetari, dan dengan gerakan yang tidak dilakukan Soekarno, dia menarik istrinya mendekat.
Dia tidak mencium kening Oetari sebagai seorang adik. Dia menciumnya sebagai seorang suami. Ciuman di kening itu singkat, murni, dan penuh janji.
"Aku akan menjagamu, Oetari," bisiknya, hanya untuk didengar Oetari. "Aku akan selalu ada di sini."
Oetari memejamkan mata. Janji itu, yang sederhana dan membumi, terasa seribu kali lebih bermakna daripada janji untuk membebaskan jutaan rakyat.
Setelah upacara selesai, Tjokroaminoto memeluk mereka berdua.
"Bapak sangat bahagia, Nak," kata Tjokroaminoto, suaranya sedikit serak. Dia menatap Sigit. "Kau adalah pria yang tepat untuk putriku. Kau tidak akan pernah memaksanya untuk menjadi sesuatu yang bukan dirinya."
Oetari merasakan rasa syukur yang mendalam. Dia telah melewati api. Dia telah mendapatkan kebebasan. Dan sekarang, dia mendapatkan penyembuhan.
Dia adalah Nyonya Bachroensalam. Sebuah nama baru, untuk sebuah awal yang baru, dibangun di atas fondasi integritas, bukan idealisme.
Dia menoleh ke Sigit. Mereka tersenyum.
Di mata Sigit, dia tidak melihat gambaran tentang panggung politik atau buku-buku. Dia melihat pantulan ruang tengah yang tenang, dan janji sebuah rumah yang akan selalu terang menunggunya.
Bab 27
Tanpa Guling
Oetari masuk ke kamar mereka.
Ini bukanlah kamar pengantin yang mewah, hanya kamar sederhana yang disiapkan dengan seprai baru dan beberapa tangkai sedap malam. Bau dupa dan melati menguar, tapi kali ini, aromanya murni, tidak tercemar oleh aroma obat atau tembakau kretek yang cemas.
Dia berdiri di tengah ruangan. Tadi, dia adalah Nyonya Bachroensalam yang tenang dan dewasa di hadapan para kerabat. Sekarang, di sini, dia hanyalah Oetari yang gugup.
Dia berjalan ke ranjang.
Ranjang itu bersih, kokoh, dan rapi. Dan yang paling penting: kosong.
Tidak ada guling di tengahnya.
Oetari mengangkat tangannya, menyentuh bagian tengah kasur. Rasanya lembut dan rata. Tidak ada pembatas. Tidak ada monumen kesepian, tidak ada barikade yang memisahkan jiwa dan raga.
Perasaan lega yang membanjirinya terasa begitu besar, begitu tulus, hingga ia hampir menangis. Dia telah melewati neraka ketakutan dan penolakan selama dua tahun.
Suara pintu berderit. Sigit masuk.
Dia tidak tergesa-gesa. Dia tidak membawa buku atau kertas. Dia hanya membawa dirinya sendiri. Dia tampak gugup, sama seperti Oetari, tapi matanya fokus padanya. Tidak ada lagi pikiran yang berkelana ke THS atau studieclub.
Sigit berjalan mendekat, dan duduk di samping Oetari. Dia tidak berbicara tentang politik. Dia berbicara tentang masa lalu.
"Oetari," katanya lembut, meraih tangan Oetari. Tangannya hangat, kuat, dan stabil. "Aku tahu kau telah melewati malam yang sangat dingin di pernikahanmu yang pertama. Aku tahu kau membawa trauma."
Oetari menunduk. Dia tidak bisa menyembunyikannya.
"Aku tidak akan memaksamu," lanjut Sigit, suaranya mantap dan penuh hormat. "Aku tidak ingin kau merasa tertekan. Jika kau perlu waktu, aku akan menunggumu. Aku akan menjadi suamimu, tapi aku tidak akan pernah menjadi Mas Karno. Aku tidak akan pernah memaksamu menjadi sesuatu yang bukan dirimu."
Pernyataan itu—penghargaan penuh atas penderitaannya—merupakan hadiah terbesar yang bisa ia terima. Soekarno telah memberinya guling dan janji perlindungan. Sigit memberinya pilihan dan rasa aman.
Oetari mengangkat wajahnya. Tidak ada lagi rasa takut.
"Aku tidak takut, Mas Sigit," bisik Oetari. "Aku sudah menunggu air yang tenang ini terlalu lama."
Dia merapatkan tubuhnya ke arah Sigit. Untuk pertama kalinya, ia berani mengambil inisiatif. Dia memeluk suaminya.
Sigit merangkulnya dengan kelembutan yang sangat ia butuhkan. Tidak ada lagi energi yang berapi-api, hanya kehangatan yang stabil.
Malam itu, di kamar yang sunyi, Oetari akhirnya melepaskan masa lalunya. Sigit tidak melihatnya sebagai "anak-anak yang harus diasuh", melainkan sebagai wanita yang dicintai dan dihormati.
Dia memeluknya dengan kesabaran, kelembutan, dan pemujaan yang mendalam. Setiap sentuhan terasa seperti penyembuhan, menghapus kenangan dingin dan penolakan yang ia rasakan di pernikahan pertamanya.
Malam itu, di samping pria yang tidak akan pernah menanyakan pendapatnya tentang ideologi, Siti Oetari, sang janda perawan, akhirnya menjadi seorang istri seutuhnya.
Dia tidak lagi menjadi tumpukan kontradiksi. Dia menjadi utuh. Dan dia tahu, rasa damai yang ia rasakan itu jauh lebih berharga daripada semua api revolusi di dunia.
Bab 28
Rumah yang Dihidupi
Hari-hari Oetari dan Sigit setelah pernikahan tidak memiliki ledakan gairah yang sering dibicarakan para tetangga. Namun, hari-hari itu dipenuhi oleh sesuatu yang jauh lebih berharga: kehangatan yang stabil dan kepastian yang menenangkan.
Mereka membangun rutinitas yang sederhana, yang merupakan penawar sempurna bagi trauma Oetari. Pagi hari, Sigit tidak buru-buru melompat ke THS. Dia akan duduk bersama Oetari di meja makan, membahas daftar belanjaan atau harga jual kayu di pelabuhan. Mereka sarapan bersama. Ada percakapan, tapi bukan perdebatan.
Oetari menemukan dirinya berkembang dalam lingkungan yang penuh respek ini. Dia tidak lagi merasa terintimidasi. Sigit selalu bertanya pendapatnya tentang risiko dagang, dan dia benar-benar mendengarkan jawabannya.
Malam hari, tidak ada guling di antara mereka. Hanya ada keintiman yang lembut, yang menegaskan bahwa ia dicintai dan dihargai, bukan hanya sebagai istri, melainkan sebagai seorang wanita.
Beberapa bulan berlalu dalam kebahagiaan yang tenang itu.
Suatu pagi, saat Oetari sedang menyiapkan bubur, aroma jahe yang biasanya ia suka tiba-tiba terasa begitu menusuk, membuatnya mual. Dia menepisnya dengan tangan, perasaannya tidak enak.
Ia segera tahu.
Perasaan itu begitu asing, namun begitu pasti. Tubuhnya, yang selama dua tahun pernikahan pertamanya seolah "diam" dan "terlindungi," kini mengirimkan sinyal kehidupan yang tak terbantahkan.
Oetari berjalan ke kamar, duduk di ranjang. Tangannya menyentuh perutnya yang masih rata. Senyum perlahan merekah di wajahnya. Senyum yang penuh kekaguman.
Dia telah hamil.
Dia tidak bisa menahan kegembiraannya. Dia tidak memberitahu Sigit saat sarapan. Dia menunggu hingga malam tiba, setelah mereka selesai memeriksa laporan pasar.
"Mas Sigit," panggil Oetari.
Sigit menutup buku besarnya, memberikan perhatian penuh pada istrinya.
Oetari mengambil tangan Sigit. Dia menatap mata suaminya, mata yang tenang dan penuh kejujuran itu.
"Saya... saya punya kabar, Mas."
Sigit tersenyum. "Kabar apa, Oetari? Stok gula aman?"
"Lebih penting dari gula," bisik Oetari. Air mata haru kini menggenang di matanya. "Saya rasa... rumah kita akan lebih ramai."
Sigit membutuhkan waktu beberapa detik untuk memprosesnya. Lalu, senyumnya melebar. Itu bukan tawa heroik seperti Soekarno. Itu adalah tawa bahagia yang dalam, dari dasar jiwanya.
"Anak?" bisiknya, matanya berbinar.
Oetari mengangguk, air matanya menetes.
Sigit tidak melompat. Dia tidak berteriak. Dia meraih tangan Oetari dan menciumnya. "Alhamdulillah. Terima kasih, Oetari. Terima kasih."
Dia memeluk Oetari erat-erat. Pelukan itu terasa membumi dan aman. "Kita akan punya anak, Oetari. Kita akan menjadi keluarga yang seutuhnya." Dia tidak berbicara tentang bagaimana anak itu akan menjadi "pemimpin bangsa." Dia berbicara tentang bagaimana anak itu akan membuat rumah mereka "lebih ramai."
Kabar itu disambut gembira oleh Tjokroaminoto. Pahlawan itu menangis haru.
"Inilah pernikahan yang sesungguhnya, Nduk," kata ayahnya, memeluk Oetari. "Pernikahan yang didasari cinta, bukan kewajiban. Kau pantas mendapatkannya."
Sembilan bulan kemudian, di rumah Peneleh yang kembali tenang, Oetari melahirkan putra pertamanya. Bayi laki-laki itu diberi nama Harjono Sigit.
Saat bidan menyerahkan bayi itu kepadanya, Oetari menatap wajah kecil itu. Keajaiban kehidupan.
Sigit berdiri di samping ranjang, wajahnya penuh kekaguman. "Selamat, Istriku," katanya, mencium kening Oetari.
Oetari memeluk bayinya. Dia melihat kebahagiaan yang ia ciptakan bersama Sigit.
Dia telah melewati api besar. Dia telah menjadi istri, kemudian janda, kemudian kembali menjadi pengantin. Dia telah belajar bahwa harga dari ambisi besar adalah kehampaan. Dan harga dari kedamaian adalah keutuhan.
Dia memilih untuk meninggalkan pria yang ditakdirkan untuk panggung dunia, pria yang mengajarkannya tentang Marxisme dan revolusi.
Dan dia memilih pria yang mengajarinya tentang neraca dan tanggung jawab.
Oetari memejamkan mata, memeluk putranya erat-erat. Tidak ada lagi keraguan. Dia telah memilih jalan yang benar. Jalannya, yang dipenuhi oleh air yang tenang.
Bab 29
Kabar dari Sukamiskin
Tahun-tahun berlalu dengan kelembutan. Oetari tidak pernah menyangka bahwa kebahagiaan bisa begitu sunyi.
Harjono Sigit, putra pertama Oetari dan Sigit, kini berusia dua tahun. Ia adalah matahari kecil di rumah Peneleh. Kehidupan mereka adalah sebuah ode untuk hal-hal yang nyata: tawa Harjono saat mengejar ayam di halaman, aroma kopi yang pas, diskusi tenang tentang harga jual di musim panen. Oetari akhirnya menemukan arti sejati dari rumah.
Namun, di luar dinding rumah yang damai itu, api yang dilepaskan Soekarno tidak pernah padam.
Suatu pagi di tahun 1930, kedamaian itu terganggu oleh selembar koran.
Oetari sedang duduk di pendopo, mengawasi Harjono yang sibuk bermain di lantai, saat Sigit datang dengan wajah muram.
"Oetari," kata Sigit, suaranya berat. Dia menyerahkan koran itu.
Headline-nya tebal, berteriak: "SOEKARNO DITANGKAP! PIMPINAN PNI MASUK PENJARA BELANDA."
Jantung Oetari berdebar, bukan karena cinta yang lama, tapi karena terkejut. Itu adalah nama suaminya yang dulu. Nama yang ia kenal sebagai sumber dari badai.
Dia membaca beritanya. Penangkapan para pemimpin PNI (Partai Nasional Indonesia). Soekarno dituduh makar. Dia dipenjara di Banceuy, Bandung.
Sore harinya, Oetari dan Sigit mendiskusikan berita itu. Sigit, sebagai pedagang yang rasional, merasa khawatir.
"Dia tahu risikonya," kata Sigit, sambil mengusap kepala putranya yang merangkak naik ke pangkuannya. "Tapi dia tidak pernah berhenti. Sekarang Bapak Tjokro pasti sangat sedih dan khawatir."
"Dia harus melakukannya, Mas Sigit," kata Oetari, sambil menatap api di luar, tempat mereka membakar sampah. "Api itu harus dibiarkan menyala. Itu takdirnya."
"Dan takdir kita bukan itu," balas Sigit, memeluknya. "Takdir kita adalah menjaga anak ini."
Oetari menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. Perbandingan itu begitu nyata, begitu kuat. Di satu sisi, ada dinding dingin Banceuy. Di sisi lain, ada kehangatan bahu suaminya. Dia tidak menyesal.
Berbulan-bulan berikutnya, Soekarno menghilang dari pandangan, tetapi tidak dari pembicaraan. Kabar tentang proses pengadilan yang dramatis, tentang pledoinya yang melegenda, "Indonesia Menggugat," merambat hingga ke Surabaya.
Oetari membaca setiap kata. Dia mengenali gaya bicaranya, keberaniannya, kejeniusannya. Dia mengenali api yang membakar setiap kalimatnya.
Oetari merasakan kekaguman yang aneh. Dia mengagumi pria itu dari kejauhan, sebagai seorang pahlawan, sebagai seorang tokoh sejarah. Tapi bukan sebagai seorang suami.
Pledoi itu membuatnya menyadari: Soekarno tidak pernah meninggalkannya karena dia jahat. Dia meninggalkannya karena dia tidak punya ruang di hatinya untuk wanita mana pun, kecuali untuk Indonesia.
Tjokroaminoto sendiri datang dari Bandung untuk tinggal lebih lama di Peneleh, tampak lelah, namun bangga.
"Kau tahu, Lak," kata Tjokroaminoto pada Oetari, sambil duduk di ruang tengah, memandangi cucunya yang sedang bermain. "Anak itu... dia memang pantas menjadi yang terdepan. Dia adalah badai yang kita butuhkan."
"Dia di penjara yang dingin, Pak," balas Oetari, suaranya penuh simpati.
"Ya. Itulah harga dari api, Nduk. Harga yang harus dia bayar."
Oetari tahu, di dalam penjara itu, Soekarno tidak sendirian. Inggit Garnasih ada di sana. Inggit—sang kawan bicara—yang membawakan buku, makanan, dan menjaga semangatnya. Wanita yang pantas berada di sisi api itu.
Pada akhir tahun 1931, kabar pembebasan Soekarno dari Sukamiskin akhirnya datang.
Rumah Tjokroaminoto dipenuhi kelegaan. Oetari tahu bahwa ayahnya pasti akan pergi ke Bandung untuk menjemput murid sekaligus putranya itu.
"Kita harus ke Bandung, Oetari," kata Tjokroaminoto.
Oetari tidak ragu. Meskipun itu berarti bertemu kembali dengan masa lalunya, dia harus pergi. Dia harus berdiri di samping ayahnya.
"Kita semua," tambah Sigit, dengan tenang. "Saya, Oetari, dan Harjono. Kita akan pergi. Keluarga harus ada di sana."
Oetari menatap Sigit. Dia telah memilih kedamaian, dan kedamaian itu memberinya kekuatan untuk menghadapi badai masa lalunya. Dia akan bertemu kembali dengan Soekarno. Bukan sebagai istri, tapi sebagai saudara, sebagai bagian dari keluarga yang dulu ia korbankan.
Dia siap.
Bab 30
Pertemuan Terakhir di Gerbang
Bandung, Desember 1931.
Pagi hari itu terasa menggigit. Oetari merapatkan selendang wolnya, menarik kerah jas suaminya agar menutupi lehernya. Dia berdiri di tengah kerumunan yang dingin dan padat di depan gerbang Penjara Sukamiskin.
Udara di sana dipenuhi dengan gairah yang tegang. Ratusan orang, sebagian besar anggota PNI dan kaum terpelajar, menanti. Bendera-bendera kecil dikibarkan. Di udara ada bau harapan, bau keringat, dan bau tegar perjuangan.
Oetari berdiri tegak. Dia tidak merasa kedinginan. Di satu sisi, ia menggenggam tangan Sigit yang hangat dan kokoh. Di sisi lain, ia menggendong Harjono, putranya yang berusia dua tahun, yang menatap keramaian itu dengan mata lebar.
Dia adalah unit yang lengkap: Ibu, Istri, dan Anak. Sebuah rumah tangga yang utuh.
Di dekat barisan depan, dia melihat ayahnya, H.O.S. Tjokroaminoto, berdiri diapit oleh kerabat dan kawan lama. Dan di samping Tjokroaminoto, Oetari melihatnya. Inggit Garnasih.
Inggit berdiri dengan kebanggaan yang tenang. Dia tampak lelah setelah berbulan-bulan bolak-balik menjenguk, tapi matanya bersinar. Inggitlah yang memegang obor api itu, merawatnya di dalam dinginnya penjara. Oetari menatap wanita itu. Tidak ada lagi rasa iri. Hanya pengakuan yang dalam.
Tiba-tiba, kerumunan bergemuruh.
Gerbang besi Sukamiskin yang kokoh berderit, ditarik terbuka.
Dan dia muncul.
Soekarno.
Dia mengenakan pakaian sipilnya. Tubuhnya kurus, rambutnya sedikit panjang. Tapi langkahnya—langkahnya tidak patah. Dia berjalan keluar dari kegelapan penjara, dan cahaya matahari langsung menyambutnya.
Dia tidak lagi berbicara. Dia berteriak.
"MERDEKA!"
Teriakannya parau karena berbulan-bulan di sel, tapi suara itu adalah petir. Kerumunan meledak. Teriakan "Hidup Bung Karno!" memekakkan telinga. Pahlawan itu telah kembali.
Soekarno disambut pertama kali oleh Tjokroaminoto. Pelukan mereka adalah pelukan antara mentor dan murid yang dibanggakan, antara ayah dan anak yang terpisah. Lalu Soekarno beralih ke Inggit. Dia memeluknya erat, dan di depan seluruh rakyat, dia mencium kening wanita itu. Itu adalah pengakuan publik Soekarno terhadap kawan bicaranya.
Akhirnya, Soekarno berjalan ke arah Oetari. Api di matanya kini diredam oleh nostalgia yang lembut.
"Lak..." sapanya. Suaranya penuh kasih sayang, suara Mas Karno yang jenaka kembali.
"Selamat datang kembali, Mas," kata Oetari, suaranya tenang dan mantap.
Dia melangkah mundur sedikit. Dia membiarkan Sigit maju.
"Mas Karno," kata Oetari, penuh hormat. "Perkenalkan. Ini suami saya, Sigit Bachroensalam. Dan ini Harjono, putra kami."
Soekarno menatap pria di depannya. Pria yang stabil, rapi, dengan mata yang jujur. Pria yang memegang anak Oetari. Api bertemu Air.
Dia melihat kedamaian di wajah Oetari, kedamaian yang tidak pernah bisa ia ciferitakan. Dia melihat keutuhan keluarga itu.
Soekarno mengangguk. Dia mengulurkan tangannya, bukan dengan api, tapi dengan rasa hormat. "Terima kasih, Sigit. Terima kasih sudah menjaga Lak untukku."
Sigit menjabat tangan Soekarno. Jabat tangan itu mantap. "Saya menjaganya, Bung. Itu sudah tugas saya."
Lalu Soekarno menatap Harjono, cucu Tjokroaminoto. Dia tersenyum, senyum yang tulus. Dia telah dikalahkan oleh takdir, tetapi dia tidak menyimpan dendam pada kehidupan.
Dia menatap Oetari untuk terakhir kalinya. Dia mengangguk, sebuah anggukan yang membebaskan mereka berdua sepenuhnya.
"Berjuanglah yang benar, Mas," kata Oetari.
"Dan berbahagialah, Lak," balas Soekarno.
Tiba-tiba, kerumunan kembali bergerak. Massa mendesak. Soekarno diangkat ke bahu, diarak menuju mobil. Dia kini milik publik, milik bangsa.
Oetari berdiri diam. Dia melihat Soekarno diangkat tinggi-tinggi, melambaikan tangan, menjeritkan janji-janji revolusi.
Dia melihat api. Api yang akan membakar sejarah.
Oetari berbalik. Dia merapatkan diri pada Sigit. Dia memeluk Harjono ke dadanya.
"Ayo kita pulang, Mas Sigit," bisiknya. "Ke Surabaya."
Mereka berdua berjalan menjauh dari gerbang Sukamiskin, menjauh dari teriakan, menjauh dari api. Mereka berjalan ke arah yang berlawanan dari takdir Soekarno.
Oetari tidak lagi cemburu. Dia hanya bersyukur. Dia telah memilih jalan yang benar. Jalannya mungkin tidak akan pernah tertulis di buku sejarah, tetapi jalan itu tertulis di hati putranya, di tangan suaminya, dan di kehangatan rumahnya.
Dia telah memilih air yang tenang. Dan di situlah, ia menemukan kemerdekaannya yang abadi.
TAMAT