Bab 1: Pagi yang Sama, Senyum yang Berbeda
Suara semprotan air yang menghantam logam adalah musik pembuka hari bagi Sumirah. Bukan kokok ayam jantan atau deru motor yang lalu-lalang di jalan kampung, melainkan bunyi ritmis air yang menyapu bersih debu dari bodi motor kinclong di seberang jalan. Setiap pagi, pemandangan itu menyambutnya di depan gerbang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tempat putranya belajar.Sebuah motor bebek keluaran terbaru, berwarna hitam legam dengan strip merah menyala, berdiri gagah di atas standar gandanya. Busa sabun wangi lemon menggunung di atas jok dan spakbor, lalu luruh perlahan seperti salju yang mencair. Di bawah siraman cahaya matahari pagi, butiran-butiran air yang tersisa di atasnya berkilauan laksana permata. Motor itu tampak begitu terawat, begitu bangga, cerminan dari pemiliknya.Dan di sanalah pemiliknya. Mas Paijo.Lelaki itu mengenakan kaus oblong putih yang sedikit basah di bagian depan dan celana kolor selutut. Tangannya yang kokoh dengan cekatan menggerakkan selang air, membersihkan sisa-sisa sabun dengan presisi seorang seniman. Kulitnya sawo matang, lengannya padat berisi—tanda lelaki yang tak hanya duduk di belakang meja. Sumirah tahu, Mas Paijo adalah seorang PNS di kantor kecamatan. Mapan, begitu kata orang-orang.Sumirah menghentikan langkahnya sejenak, membiarkan genggaman tangan mungil Bima, putranya, sedikit mengendur. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, ia terpaku pada ritual sederhana itu. Ada ketenangan dalam cara Paijo merawat motornya, sebuah dedikasi yang entah kenapa terasa menarik.Seolah merasakan ada yang mengamati, Paijo menghentikan semprotan airnya. Ia menoleh, dan tatapan mereka bertemu, melintasi jalanan kampung yang masih lengang. Seketika, sebuah senyum terbit di wajah Paijo. Bukan senyum basa-basi, bukan pula seringai iseng. Senyum itu tulus, lebar, memperlihatkan deretan gigi yang rapi. Senyum yang seolah berkata, "Selamat pagi, dunia," namun terasa begitu personal bagi Sumirah.Bagi seorang perempuan yang hari-harinya diisi oleh rengekan anak, tumpukan cucian, dan perjuangan untuk menata kembali harga dirinya, senyum itu seperti secangkir kopi hangat di pagi yang dingin. Menghangatkan sesuatu yang telah lama beku di dalam dadanya. Ada percik kecil yang menyala, rasa diakui, rasa dilihat sebagai seorang perempuan utuh, bukan hanya sebagai "ibunya Bima" atau "janda yang ditinggal Mas Joko demi perempuan lain".Sebuah senyum kecil yang ragu-ragu terbalas dari bibir Sumirah, sebuah refleks yang tak mampu ia cegah.Namun, senyum itu tak sempat bertahan lama. Dinding kesadaran yang dingin dan keras tiba-tiba terbangun di dalam benaknya, membisikkan satu fakta yang tak terbantahkan.Suami orang.Rumah besar di belakang Paijo adalah buktinya. Istrinya, Mbak Mumun, kadang terlihat di teras, menyapu atau menyiram tanaman. Senyum hangat Paijo mungkin untuk semua orang, tapi hatinya, hidupnya, adalah milik perempuan lain. Ironis, pikirnya. Ia ditinggalkan oleh seorang suami, dan kini hatinya terusik oleh suami orang lain.Kehangatan yang tadi menjalari pipinya surut, digantikan oleh kekakuan yang ia kenal baik. Senyum di bibirnya memudar, berubah menjadi sebuah anggukan formal yang nyaris tak terlihat. Singkat dan menjaga jarak. Ia tak akan memulainya. Ia tak akan memberi harapan pada dirinya sendiri.Di seberang jalan, Paijo melihat anggukan itu. Senyum di wajahnya sedikit memudar, meski tak sepenuhnya hilang. Ia menghela napas pelan, sebuah desahan yang nyaris tak terdengar oleh deru air. Pandangannya beralih sejenak ke pintu rumahnya yang masih tertutup rapat. Di baliknya, ada dunia yang teratur, mapan, namun entah kenapa terasa sunyi pagi ini. Ia kembali menyemprotkan air ke motornya, namun ritmenya sedikit berubah, seolah ada pikiran lain yang ikut tersapu bersama buih sabun."Ayo, Bima, salim sama Ibu dulu," kata Sumirah, suaranya sedikit lebih tegas dari biasanya. Ia mengalihkan seluruh perhatiannya pada sang putra, berjongkok untuk menerima ciuman di punggung tangannya.Saat ia kembali berdiri, ia tak lagi melirik ke seberang jalan. Ia mendorong pelan punggung Bima menuju gerbang PAUD yang sudah terbuka, tempat beberapa anak lain sudah berlarian di halaman. Ia memaksa dirinya untuk fokus pada suara tawa anak-anak, pada lambaian tangan Bima, pada apa pun selain lelaki di seberang jalan. Lelaki dengan senyum yang indah sekaligus berbahaya. Senyum milik suami orang.Bab 2: Kantin dan Kebaikan yang MeresahkanJam istirahat adalah waktu yang paling riuh di PAUD. Suara tawa dan teriakan anak-anak yang berebut ayunan di halaman menjadi musik latar bagi para ibu yang menunggu. Sebagian besar memilih untuk berkumpul di bawah pohon mangga, bertukar cerita sambil mengawasi buah hati mereka. Sumirah, seperti biasa, memilih tempat yang sedikit menjauh: kantin sekolah.Kantin itu tak lebih dari sebuah ruangan kecil dengan beberapa bangku plastik dan sebuah etalase kaca sederhana. Aroma mi instan yang baru diseduh berpadu dengan wangi manis dari es teh dan aneka jajanan anak-anak. Sumirah duduk di salah satu bangku, matanya mengawasi Bima yang sedang asyik bermain perosotan. Ia sudah membawakan bekal untuk putranya, tapi Bima tetap saja merengek minta dibelikan sosis goreng yang dipajang di etalase."Nanti ya, Nak. Habiskan dulu rotinya," bujuk Sumirah pelan.Tiba-tiba, sebuah bayangan menutupi cahaya dari pintu kantin. Sumirah mendongak. Mas Paijo berdiri di sana, tersenyum padanya seolah pertemuan ini adalah sebuah kebetulan yang menyenangkan. Ia melangkah masuk, membawa aura wangi sabun mandi dan parfum maskulin yang kontras dengan aroma kantin. Kehadirannya terasa janggal di ruang yang didominasi oleh perempuan ini."Beli minum, Mbak," katanya ramah kepada ibu kantin, sebelum mengalihkan pandangannya pada Sumirah. "Ikut berteduh, di luar panas sekali."Pagi itu, sarapan di rumah Paijo terasa hambar. Hanya ada suara denting sendok dan garpu, tanpa obrolan. Mumun, istrinya, lebih banyak diam akhir-akhir ini, sibuk dengan pikirannya sendiri. Paijo merindukan interaksi yang ringan, sebuah percakapan tanpa beban. Melihat Sumirah dan putranya di kantin terasa seperti sebuah kesempatan.Sumirah hanya membalas dengan senyum tipis, lalu kembali memusatkan perhatian pada Bima. Jantungnya mulai berdebar sedikit lebih cepat. Kehadiran Paijo di ruang sekecil ini terasa begitu mendominasi.Paijo tidak langsung pergi setelah mendapatkan minumannya. Ia bersandar di dekat etalase, membuka tutup botolnya, dan meneguk isinya perlahan. Matanya melirik ke arah Bima, lalu ke Sumirah."Anaknya minta jajan, Mbak?" tanyanya, suaranya rendah dan santai."Biasa, Mas. Lihat temannya jajan jadi ikut-ikutan," jawab Sumirah, berusaha terdengar sesantai mungkin."Sudah, biarin aja ambil apa yang dia mau," kata Paijo. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya kini nyaris berbisik, seolah berbagi rahasia. "Biar saya yang bayar. Anggap saja traktiran dari Om Paijo buat Bima."Tawaran itu, meski diucapkan dengan nada ringan, terasa berat bagi Sumirah. Ada sedikit rasa tersanjung, sebuah kehangatan kecil karena diperhatikan. Namun, matanya tanpa sadar melirik ke luar jendela kantin. Dari sudut itu, sebagian dapur rumah Paijo terlihat jelas. Samar-samar ia bisa melihat siluet Mbak Mumun yang sedang bergerak, mungkin menyiapkan makan siang. Pemandangan itu adalah pengingat yang nyata dan menyakitkan. Kebaikan yang ditawarkan Paijo ini terasa seperti sebuah transaksi terlarang, dilakukan di bawah bayang-bayang istrinya.Sumirah menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatannya. "Tidak usah, Mas. Terima kasih banyak," tolaknya dengan halus namun tegas. "Saya sudah bawa bekal banyak buat Bima."Ia segera bangkit, menghampiri Bima, dan membujuknya kembali ke kantin. Dengan sengaja, ia mengeluarkan selembar uang dua ribuan dari dompetnya dan meletakkannya di meja. "Bu, sosis satu," katanya pada ibu kantin, suaranya terdengar jelas dan mantap.Itu adalah tindakan penegasan. Sebuah deklarasi kecil bahwa ia mampu, bahwa ia tidak membutuhkan kebaikan dari suami orang.Paijo tertegun sejenak melihat penolakan yang begitu jelas itu. Senyum di wajahnya sedikit kaku. Ia melihat harga diri yang kokoh di balik kelembutan perempuan itu, sebuah kualitas yang entah kenapa membuatnya semakin tertarik. Ia mengangguk kecil, senyumnya kini berubah menjadi senyum yang sulit diartikan—campuran antara kekaguman dan sedikit rasa kecewa. Ia menghabiskan minumannya, lalu pamit pergi."Wah, rezeki nomplok kok ditolak, Mir," celetuk ibu kantin dengan nada menggoda sambil menyerahkan sosis goreng pada Bima.Sumirah hanya tersenyum tipis menanggapinya. Kebaikan yang meresahkan itu tetap tertinggal di udara, lama setelah Paijo menghilang dari pandangan. Ia duduk kembali, menatap sosis di tangan Bima dengan perasaan campur aduk. Ia telah berhasil memenangkan sebuah pertempuran kecil, tetapi kemenangan itu terasa menguras energinya, dan ia sadar, perang yang sesungguhnya mungkin belum lagi dimulai.Bab 3: Sebuah Pintu DigitalBeberapa hari berlalu sejak insiden di kantin. Sumirah menjadi lebih waspada. Ia membangun benteng tak kasat mata di sekelilingnya, mengatur waktunya agar tidak berpapasan dengan Paijo. Ia akan datang beberapa menit lebih lambat, dan saat jam pulang, ia akan segera menarik tangan Bima dan bergegas pergi, menghindari obrolan tak perlu dengan ibu-ibu lain yang bisa menahannya lebih lama. Setiap kali berhasil melewati pagi tanpa melihat senyum itu, sebagian dirinya merasa lega, sementara sebagian kecil lainnya merasakan kekosongan yang aneh.Namun, benteng itu runtuh pada suatu sore yang mendung. Hujan gerimis yang turun tiba-tiba memaksa para ibu untuk berteduh di teras sempit di depan ruang kelas, menunggu hujan sedikit reda. Sumirah terjebak. Ia berdiri di sudut, memeluk tasnya erat-erat, sementara Paijo berdiri tak jauh darinya, bersandar di pilar. Ia baru saja tiba untuk menjemput, tampaknya.Suasana terasa canggung. Paijo sepertinya merasakan hal yang sama. Setelah beberapa saat hening yang hanya diisi oleh suara rintik hujan dan celoteh anak-anak, ia berdeham dan melangkah mendekat."Belum reda juga ya hujannya," sapanya, memulai percakapan ringan."Iya, Mas. Tumben sore-sore begini," jawab Sumirah sekenanya, matanya menatap tirai air di depannya."Biar nambah teman, Mbak. Siapa tahu ada info penting soal sekolah atau kegiatan kampung," lanjut Paijo, nadanya begitu santai, seolah itu adalah hal paling wajar di dunia. "Kita kan tetangga dekat, tapi jarang ngobrol. Punya Facebook, Mbak?"Pertanyaan itu, meski sederhana, membuat Sumirah terdiam. Ini dia. Langkah selanjutnya yang ia takuti. Sebuah permintaan untuk masuk ke ruang pribadinya, sebuah ruang di mana ia tidak bisa bersembunyi di balik kesibukan mengurus anak atau penolakan halus."Saya jarang buka Facebook, Mas," elaknya cepat, sebuah kebohongan putih yang terasa tipis bahkan di telinganya sendiri."Ah, masa? Zaman sekarang semua orang punya Facebook," Paijo tertawa kecil, membuat beberapa ibu lain menoleh. "Buat lihat-lihat kabar teman lama juga bisa. Ayolah, Mbak, biar saya add. Nanti saya kenalkan juga ke grup RT di Facebook kalau ada."Dalih "grup RT" itu cerdas. Paijo membingkai permintaannya dalam konteks sosial yang sulit ditolak. Ada nada sedikit memaksa dalam keramahannya. Sumirah merasa terpojok. Menolak terus-menerus akan membuatnya terlihat aneh, atau lebih buruk lagi, sombong di mata ibu-ibu lain yang kini terang-terangan melirik ke arah mereka. Dalam kebingungan dan tekanan sesaat itu, pertahanannya jebol."Sumirah... 45," jawabnya pelan, nyaris tak terdengar, berharap Paijo tidak mendengarnya dengan jelas.Tapi Paijo mendengarnya. "Oke, Sumirah 45. Nanti saya cari," katanya sambil tersenyum puas. Tepat pada saat itu, hujan mulai mereda. Seolah alam memberi Sumirah jalan untuk melarikan diri. Ia segera menarik tangan Bima dan pamit pulang, berjalan cepat menembus gerimis yang tersisa.Malam itu, setelah Bima tertidur pulas dan semua pekerjaan rumah selesai, Sumirah merebahkan diri di tempat tidur. Hanya ditemani cahaya dari layar ponselnya. Ia membuka aplikasi Facebook, menggulir beranda yang terasa hambar dan sepi. Lalu, notifikasi itu muncul di bagian atas layarnya.Paijo meminta untuk menjadi teman Anda.Nama itu terpampang jelas di samping foto profil seorang pria tersenyum dengan kemeja batik. Jantung Sumirah berdebar kencang. Ini adalah titik di mana ia harus membuat keputusan. Menolak permintaan itu akan menjadi pernyataan yang jelas, sebuah penegasan atas batas yang ia coba pertahankan. Tapi itu juga akan terasa seperti sebuah kekalahan, seolah ia terlalu takut.Menerima... menerima terasa seperti sebuah petualangan kecil yang berbahaya. Sebuah pintu yang jika dibuka, ia tidak tahu akan membawanya ke mana. Jarinya melayang di atas layar. Ia menatap tombol biru bertuliskan "Konfirmasi" itu lama sekali. Ia memikirkan senyum Paijo, kebaikannya yang meresahkan, dan yang paling utama, rasa sepinya sendiri yang menggigit setiap malam. Ia lelah merasa aman tetapi sendirian.Dengan satu tarikan napas panjang, seolah sedang terjun dari tebing, jarinya menekan tombol itu.Permintaan pertemanan itu hilang, digantikan oleh profil Paijo yang kini sudah masuk dalam daftar temannya. Sumirah merasa ada sesuatu yang berubah. Sebuah garis tak terlihat telah ia lewati. Pintu digital itu kini telah terbuka, dan ia melangkah masuk dengan sengaja.
Bab 4: Curhat di Ujung JariSebelum Paijo masuk ke dalam daftar temannya, beranda Facebook Sumirah adalah sebuah etalase kehidupan yang aman dan terprediksi. Isinya adalah potret digital seorang ibu tunggal pada umumnya: foto-foto Bima dengan pipi cemong karena cokelat, tautan resep bolu kukus yang berhasil ia praktikkan, dan sesekali kutipan motivasi tentang kesabaran dan keikhlasan yang ia bagikan ulang dari halaman lain. Semuanya rapi, sopan, dan tidak mengundang kontroversi. Itu adalah citra yang ingin ia tampilkan, seorang perempuan yang tegar meski telah ditinggalkan.Namun, setelah menekan tombol "Konfirmasi" malam itu, Facebook terasa seperti dunia yang berbeda. Rasa penasaran yang tak bisa ia bendung menuntun jarinya untuk mengetik nama Paijo di kolom pencarian. Ia menggulir profil lelaki itu, halaman demi halaman, seperti seorang detektif yang sedang menyusun kepingan puzzle.Ia melihat foto-foto Paijo bersama Mbak Mumun, tersenyum bahagia di sebuah acara pernikahan. Ia melihat foto liburan mereka, dengan latar belakang pegunungan yang sejuk. Ada juga foto keluarga lengkap dengan anak-anak mereka yang sudah remaja. Setiap foto adalah tusukan kecil di hatinya. Sebuah penegasan akan dunianya yang terpisah, sebuah pengingat akan kebahagiaan yang bukan miliknya. Ia merasa seperti pengintip, melihat ke dalam sebuah rumah yang hangat dari luar jendela di malam yang dingin.Beberapa hari kemudian, interaksi pertama terjadi. Sumirah mengunggah foto Bima yang sedang tertawa lebar sambil memegang gambar buatannya di PAUD. Sebuah unggahan yang normal dan aman. Tak lama, sebuah notifikasi muncul.Paijo menyukai foto Anda.Hanya sebuah 'like'. Sebuah tindakan sepele yang mungkin dilakukan Paijo pada puluhan unggahan lain setiap harinya. Tapi bagi Sumirah, 'like' itu terasa berbeda. Rasanya seperti sebuah kedipan mata rahasia, sebuah pengakuan bahwa Paijo memperhatikannya, bahkan di dunia maya. Jantungnya berdesir oleh sensasi yang ganjil, campuran antara senang dan bersalah.Perasaan itu terus menumpuk di dalam dadanya, tak tersalurkan. Ia tak bisa menceritakannya pada siapa pun. Mengakui bahwa ia terusik oleh perhatian suami orang akan membuatnya tampak menyedihkan, atau lebih buruk lagi, murahan. Rasa frustrasi itu butuh jalan keluar.Malam itu, setelah menidurkan Bima, Sumirah berbaring dalam gelap, hanya diterangi layar ponsel. Jari-jarinya membuka aplikasi Facebook dan berhenti di kotak "Apa yang Anda pikirkan?". Kata-kata itu seolah mengejeknya. Apa yang ia pikirkan? Pikirannya kacau, penuh dengan senyum Paijo, foto keluarga Paijo, dan rasa sepinya sendiri.Ia mulai mengetik, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, menghapus lagi. Terlalu jujur, terlalu berisiko. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengunggah sesuatu yang lebih samar, sebuah kutipan yang ia temukan di internet."Terkadang, yang paling kita butuhkan bukanlah seseorang yang sempurna, tapi seseorang yang hadir."Ia menatap tulisan itu. Cukup aman. Bisa diartikan macam-macam. Dengan sedikit ragu, ia menekan tombol "Kirim". Ia menunggu beberapa saat, namun tak ada reaksi dari Paijo. Hanya beberapa 'like' dari teman-teman perempuannya. Ada sedikit rasa kecewa. Umpannya yang samar tidak dimakan.Beberapa malam kemudian, didorong oleh perasaan yang semakin tak menentu, ia mencoba lagi. Kali ini, kata-katanya datang dari dirinya sendiri, sebuah curahan hati yang lebih jujur, namun masih berusaha ia samarkan.Kamu itu seperti hantu. Terlihat, tapi tak bisa disentuh. Mengganggu, tapi dirindukan.Ia membaca ulang tulisan itu. Terlalu puitis, terlalu telanjang. Ia hampir menghapusnya. Tapi kemudian, sebuah ide terlintas. Ia menambahkan satu detail kecil di akhir kalimat. Sebuah topeng.🤣Dengan tambahan emoji tertawa terbahak-bahak itu, seluruh kalimat seolah berubah makna. Dari sebuah pengakuan yang menyakitkan menjadi sebuah lelucon iseng, sebuah candaan yang bisa dengan mudah ia sangkal jika ada yang bertanya. "Cuma iseng," begitu ia akan menjawab.Dengan jantung berdebar kencang, ia menekan tombol "Kirim". Status itu kini terpampang di berandanya, terlihat oleh semua temannya, termasuk Paijo. Sumirah merasakan gelombang adrenalin yang aneh—campuran antara rasa takut dan kelegaan. Ia telah mengatakannya, meski dengan cara bersembunyi di balik layar dan emoji. Sekarang, ia hanya bisa menunggu.Bab 5: Percakapan Tanpa SuaraKeesokan paginya, Sumirah mengantar Bima ke sekolah dengan jantung berdebar. Ia sengaja memakai kacamata hitam, seolah benda itu bisa menyembunyikan rasa malunya. Saat melewati rumah Paijo, ia menunduk, tak berani menatap. Namun, tak ada sapaan, tak ada senyum. Paijo tidak ada di sana. Sumirah merasakan campuran antara lega dan sedikit kecewa.Rasa cemas itu berlanjut sepanjang hari. Setiap notifikasi yang masuk ke ponselnya membuat ia terlonjak. Ia takut Paijo akan marah, atau lebih buruk lagi, mengabaikannya sepenuhnya. Tapi tak ada apa-apa. Hening.Di kantornya, Paijo duduk di depan komputernya, namun pikirannya tidak pada tumpukan berkas. Status Sumirah semalam terus terngiang di kepalanya: Kamu itu seperti hantu. Terlihat, tapi tak bisa disentuh. Mengganggu, tapi dirindukan. 🤣Ia tersenyum tipis. Ia mengerti permainannya. Emoji di akhir kalimat adalah sebuah undangan untuk bermain, bukan sebuah pengakuan serius. Ia merasa tersanjung. Di tengah kehidupannya yang monoton dan hubungannya dengan Mumun yang terasa semakin berjarak, perhatian tersembunyi ini terasa seperti percikan api yang menyenangkan. Ia memutuskan untuk membalas, namun dengan cara yang sama cerdasnya.Sore itu, Paijo mengunggah sebuah status di berandanya sendiri. Bukan kutipan, melainkan kalimat pendek yang ia karang sendiri.Terkadang, hantu yang paling menakutkan adalah penyesalan karena tidak pernah berani menyapa.Sebuah kalimat yang bisa berarti apa saja. Bisa tentang peluang bisnis yang terlewat, atau teman lama yang tak pernah ditegur. Tapi Paijo tahu, Sumirah akan mengerti bahwa kalimat itu ditujukan untuknya.Benar saja. Malam itu, saat Sumirah menggulir berandanya, ia melihat status Paijo. Jantungnya berhenti berdetak sejenak. Ia membacanya sekali, dua kali, tiga kali. Tak salah lagi. Ini adalah jawaban. Sebuah balasan langsung untuk status "hantu"-nya. Paijo tidak marah. Ia justru ikut bermain.Keberanian Sumirah tumbuh. Rasa takutnya digantikan oleh semacam kecanduan akan adrenalin. Mereka sedang bercakap-cakap, di depan semua orang, namun tak ada yang tahu. Hanya mereka berdua. Perhatian dari Paijo, yang kini terasa seperti sebuah dialog rahasia, adalah setetes air di gurun pasir kesepiannya. Ia ingin lebih.Beberapa hari kemudian, terinspirasi oleh penampilan Paijo yang pagi itu mengenakan kemeja kotak-kotak yang membuatnya terlihat lebih muda, Sumirah kembali membuka kotak status. Kali ini, tulisannya lebih spesifik, lebih berani, sebuah pujian yang terbungkus dalam lelucon yang sama.Dia tampan, gemoy, hitam manis, rajin kerja, penyayang & suaranya bikin candu, pokonya tipeku...Minusnya cuma satu: dia suami orang 🤣Ia menekan tombol "Kirim" dengan rasa percaya diri yang baru. Ia tahu Paijo akan membacanya. Dan benar saja, tak sampai satu jam, notifikasi 'like' dari Paijo muncul. Tak ada komentar, tak ada status balasan. Hanya sebuah 'like'. Tapi dalam permainan mereka, 'like' itu sudah cukup sebagai sebuah anggukan setuju, sebuah senyum puas dari seberang layar.Di dunia nyata, interaksi mereka tidak berubah. Hanya anggukan singkat di depan gerbang PAUD. Namun di dunia maya, percakapan tanpa suara itu terus berlanjut, semakin intens dan berbahaya, dan tak ada satu pun dari mereka yang tahu kapan harus berhenti.Bab 6: "Hay Sayang"Permainan di beranda Facebook itu terasa seperti menari di atas panggung, dengan Paijo sebagai satu-satunya penonton yang penting. Didorong oleh keberanian semu dan 'like' yang terasa seperti tepuk tangan meriah, Sumirah melancarkan serangan berikutnya. Status kali ini adalah puncak dari kegalauannya, dibungkus dalam bentuk pertanyaan retoris yang jenaka, sebuah cara untuk memancing reaksi yang lebih besar.BELOK KIRI Bujang, BELOK KANAN Duda, MUNDUR Mantan...MAJU Suami Orang.BINGUNG BESTIE, jalan mana yang harus kutempuh? 🤣Status ini berbeda. Tak hanya dilihat oleh Paijo, tapi juga mengundang banyak komentar dari teman-teman Facebook Sumirah yang lain. "Maju aja, tabrak lari!" tulis seorang teman SMA-nya. "Mundur, balikan sama mantan lebih jelas!" sahut yang lain. "Belok kiri lah, Mir, cari yang masih segel!" timpal seorang sepupunya.Di rumahnya, Paijo membaca semua itu. Ia duduk di ruang tengah, televisi menyala tanpa ditonton. Di sofa seberang, Mumun sibuk dengan ponselnya, sesekali tersenyum pada apa pun yang ia lihat di layarnya. Mereka berada di ruangan yang sama, namun terpisah ribuan kilometer.Paijo tertawa kecil membaca komentar-komentar di status Sumirah. Tapi kemudian, sebuah perasaan aneh menyelinap masuk. Bujang. Duda. Mantan. Nama-nama itu, meski hanya dalam konteks candaan, terasa seperti pesaing sungguhan. Status itu, untuk pertama kalinya, membuatnya merasa sedikit terancam. Bagaimana jika Sumirah benar-benar memilih "belok kiri"? Bagaimana jika ada bujangan di luar sana yang siap merebut perhatian "pengagum"-nya ini?Permainan ini tiba-tiba terasa sedikit lebih nyata. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk memastikan posisinya tetap "di depan". Mengomentari status itu secara terbuka terlalu berisiko. Memberi 'like' saja rasanya tidak cukup kuat untuk menjawab pertanyaan yang begitu provokatif.Ia menatap foto profil Sumirah, lalu tanpa sadar membuka jendela percakapan Messenger. Jari-jarinya ragu-ragu melayang di atas papan ketik.Ia tahu ini tindakan bodoh. Sangat bodoh. Mengirim pesan pribadi adalah sebuah langkah sadar yang melintasi batas tak terlihat antara permainan publik dan intensi pribadi. Ini adalah sebuah undangan, sebuah eskalasi.Namun, perasaan terancam oleh sosok bujangan imajiner itu terus mengganggunya. Ego lelakinya terusik. Selama ini, ia adalah pusat dari drama kecil ini, sang "suami orang" yang menjadi objek fantasi. Ia tidak rela posisi itu digantikan.Dengan satu gerakan impulsif, didorong oleh ego, kebosanan, dan sedikit rasa penasaran, jari-jarinya mengetik dua kata. Singkat, akrab, dan berbahaya.Hay sayang.Ia menatap tulisan itu sejenak, jantungnya berdebar. Lalu tanpa berpikir panjang lagi, ia menekan tombol kirim. Tanda centang biru langsung muncul. Pesan terkirim. Tak ada jalan untuk kembali. Ada debaran aneh di dadanya, debaran yang sudah lama tidak ia rasakan dari kehidupannya yang datar. Permainan ini baru saja memasuki babak baru.
Bab 7: Bola Panas di BerandaDi rumahnya yang sederhana, Sumirah baru saja selesai menyetrika tumpukan terakhir pakaian Bima. Ia merebahkan diri di kasur, meraih ponselnya untuk sekadar melihat jam. Sebuah notifikasi pesan dari Messenger menyala di layar. Jantungnya berhenti berdetak sejenak saat melihat nama pengirimnya: Paijo.Tangannya sedikit gemetar saat membuka pesan itu. Dan di sana, dua kata itu bersinar di layar gelap.Hay sayang.Sumirah menahan napas. Ruangan itu tiba-tiba terasa pengap. Kata "sayang" itu melompat dari layar dan menamparnya dengan keras. Ada ledakan perasaan di dalam dirinya. Pertama, sebuah getaran kemenangan—ia berhasil, ia telah membuat Paijo melintasi batas. Lalu, datanglah rasa senang yang terlarang, sebuah pengakuan yang ia dambakan.Namun, perasaan itu dengan cepat tersapu oleh gelombang yang lebih besar: rasa takut dan marah. Marah pada Paijo karena begitu lancang. Marah pada dirinya sendiri karena telah memulai permainan berbahaya ini. Ini bukan lagi lelucon di beranda. Paijo telah membawa drama itu ke dalam ruang pribadinya, dan dengan satu kata itu, ia seolah mengklaim sesuatu yang bukan haknya.Permainan ini tidak lagi seimbang. Ia merasa kendalinya terlepas. Ia harus merebutnya kembali. Ia harus menunjukkan pada Paijo—dan pada dirinya sendiri—bahwa ia yang memegang aturan main. Mengabaikan pesan ini akan terasa seperti kekalahan. Membalasnya secara pribadi akan menjadi sebuah persetujuan. Satu-satunya pilihan adalah membawa bola panas ini kembali ke panggung yang sama tempat semua ini dimulai.Dengan jari-jari yang kini dikendalikan oleh amarah dan adrenalin, ia membuka aplikasi Facebook. Ia tidak lagi merasa perlu bersembunyi di balik kiasan. Tantangan harus dibalas dengan tantangan.Ia mengetik dengan cepat, kata-kata mengalir deras dari ujung jarinya yang gemetar.Berani kamu manggil aku "SAYANG"...Akan ku jemput kamu di depan "ISTRI MU".Berani gak kamu, Suami Orang?Ia membaca ulang tulisan itu. Terlalu keras, terlalu nyata. Ini bukan lagi permainan, ini deklarasi perang. Tapi ia sudah terlalu jauh untuk mundur. Ia butuh tameng terakhir, sebuah kedok jenaka untuk menutupi ultimatum yang sesungguhnya. Jarinya menambahkan dua emoji di akhir kalimat.🤗🤣Emoji pelukan dan tawa. Sebuah kombinasi absurd yang diharapkan bisa meredam ketajaman kata-katanya. Dengan perasaan campur aduk antara teror dan kekuatan, ia menekan tombol "Kirim".Bola panas itu kini ia lempar kembali ke tangan Paijo, di tempat terbuka, agar semua orang bisa melihatnya. Namun setelah melakukannya, tidak ada rasa kemenangan. Yang ada hanyalah rasa mual dan jantung yang berdebar begitu kencang hingga terasa sakit. Permainan ini telah menjadi monster, dan ia tidak yakin apakah ia pemburu atau mangsanya.Bab 8: Mulut Ember Bernama TutiPagi setelah Sumirah mengunggah status tantangannya, udara di depan PAUD terasa berbeda. Lebih berat, lebih tegang. Paijo memang keluar rumah untuk memandikan motornya, tetapi ritual itu terasa hampa. Tak ada lagi senyum yang dilemparkan ke seberang jalan. Bahkan, ia seolah sengaja memunggungi gerbang sekolah, fokus pada pekerjaannya dengan intensitas yang dibuat-buat. Ponselnya, yang biasanya ia letakkan di bangku teras, kini tak terlihat. Ia tidak menoleh sedikit pun.Bagi Sumirah, keheningan itu jauh lebih menakutkan daripada kemarahan. Statusnya yang berani kini terasa seperti bumerang yang melayang di udara, siap menghantamnya kapan saja. Adrenalin yang semalam memompanya telah surut, menyisakan endapan cemas dan penyesalan. Ia merasa bodoh, gegabah. Permainan yang ia ciptakan telah sampai pada babak yang tidak bisa lagi ia kendalikan.Ia duduk di bangku di bawah pohon mangga, pikirannya berkecamuk. Ia butuh teman bicara, seseorang yang bisa membantunya menurai benang kusut di kepalanya. Tapi siapa? Mengakui perasaannya pada suami orang adalah aib."Mikirin apa, Mir? Kok serius amat?"Sebuah suara ceria membuyarkan lamunannya. Tuti sudah duduk di sampingnya, membawa aroma minyak telon dari anaknya. Tuti adalah salah satu ibu yang paling populer di kalangan penunggu PAUD. Ia ramah, mudah bergaul, dan selalu punya topik pembicaraan. Matanya yang bundar selalu berbinar, seolah tak pernah lelah mencari cerita baru."Eh, Tuti. Nggak, lagi pusing aja," jawab Sumirah sekenanya."Pusing mikirin status Facebook ya?" goda Tuti sambil tertawa kecil. "Aku lihat lho, statusmu yang terakhir itu. Ganas banget! Lagi ada masalah sama siapa sih? Cerita dong!"Pertanyaan itu, meski dilontarkan sebagai candaan, terasa seperti anak panah yang menancap tepat di sasaran. Sumirah menatap Tuti. Di wajah perempuan itu, ia melihat rasa ingin tahu yang tulus, bukan tatapan menghakimi. Dalam keputusasaannya, Sumirah membuat keputusan impulsif. Ia butuh melepaskan beban ini, sekarang juga."Tut, jangan di sini," bisik Sumirah, menarik lengan Tuti menuju sudut kantin yang lebih sepi. "Ada yang mau aku ceritain. Tapi janji ya, jangan bilang siapa-siapa."Mata Tuti langsung berbinar. Ini dia, berita eksklusif. "Iya, Mir, tenang aja. Mulutku aman," janjinya, suaranya penuh semangat.Dengan suara pelan dan ragu-ragu, Sumirah mulai bercerita. Ia tidak menceritakan semuanya, hanya potongan-potongan penting. Tentang interaksi mereka di Facebook. Puncaknya, ia menunjukkan pesan di Messenger itu."Dia manggil aku 'sayang', Tut," bisik Sumirah, suaranya bergetar. "Aku panik, makanya aku bikin status kayak gitu. Aku bingung harus gimana sekarang. Aku takut."Tuti mendengarkan dengan saksama, sesekali menghela napas seolah ikut merasakan beban Sumirah. Ia memegang bahu temannya itu, memberinya tatapan penuh simpati."Ya ampun, Mir. Sabar ya," katanya dengan nada prihatin. "Rumit juga ya urusannya. Kamu harus hati-hati. Tapi tenang aja, aku nggak bakal cerita ke siapa-siapa. Rahasiamu aman sama aku."Sumirah merasa sedikit lega. Beban di dadanya seolah terangkat sedikit. Ia berterima kasih pada Tuti, merasa bersyukur memiliki teman yang bisa dipercaya.Namun, setelah mereka berpisah dan Tuti berjalan menjauh, ekspresi di wajahnya perlahan berubah. Simpati itu memudar, digantikan oleh kilatan lain di matanya. Rahasia Sumirah terasa seperti bara panas di dalam genggamannya. Terlalu berharga, terlalu menarik untuk disimpan sendiri. Pikirannya sudah mulai bekerja. "Kasihan Mbak Mumun," pikirnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa niatnya baik. "Dia berhak tahu apa yang terjadi di belakangnya. Ini demi kebaikan rumah tangga mereka."Dan dengan pembenaran itu, ia sudah tahu kepada siapa cerita ini akan berlabuh selanjutnya.Bab 9: Investigasi Seorang IstriBagi Mumun, dunia berputar pada poros yang jelas dan teratur. Pagi hari adalah tentang menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya yang sudah beranjak remaja. Siang hari adalah tentang cucian, setrikaan, dan memastikan rumah tetap rapi. Sore hari adalah tentang menyiram tanaman di teras. Ia adalah seorang perempuan yang hidup di dunia nyata, dunia dengan aroma bumbu dapur dan deterjen, bukan di dunia maya yang penuh drama.Ia tahu suaminya, Paijo, ramah pada semua orang. Itu adalah salah satu sifat yang dulu membuatnya jatuh cinta. Paijo bisa menyapa tukang sayur, berbasa-basi dengan petugas ronda, dan tersenyum pada ibu-ibu di depan PAUD sebelah rumah. Mumun tidak pernah menaruh curiga. Baginya, itu hanyalah bagian dari karakter suaminya yang supel.Gosip adalah hal terakhir yang menarik perhatiannya. Jadi, ketika suatu sore Tuti "kebetulan" lewat di depan rumahnya saat ia sedang menyapu teras dan berhenti untuk mengobrol, Mumun hanya menanggapinya dengan setengah hati."Eh, Mbak Mumun, rajin banget," sapa Tuti dengan senyum lebarnya yang khas."Biasa, Tut. Biar nggak jadi sarang nyamuk," jawab Mumun sambil terus mengayunkan sapu lidinya.Tuti bersandar di pilar pagar, mengipasi wajahnya dengan tangan. "Ngomong-ngomong, Mbak, kasihan juga ya si Sumirah itu," katanya, memulai dengan nada prihatin yang dibuat-buat.Mumun berhenti menyapu. "Sumirah yang anaknya sekolah di PAUD itu?""Iya, betul. Status Facebook-nya itu lho, galau terus. Kayaknya kesepian banget ditinggal suaminya," lanjut Tuti, matanya mengamati reaksi Mumun dengan cermat.Mumun hanya mengangguk. "Namanya juga hidup sendiri, pasti berat," komentarnya, bersiap untuk kembali menyapu. Ia tidak tertarik membahas kehidupan orang lain.Melihat umpannya tidak dimakan, Tuti memutuskan untuk melempar pancingan yang lebih dalam. Ia mendekat, merendahkan suaranya seolah berbagi rahasia besar."Tapi yang bikin kasihan itu, katanya dia lagi digangguin sama suami orang, Mbak. Ya ampun, udah jatuh tertimpa tangga. Siapa ya laki-laki yang tega begitu?"Kali ini, kata-kata Tuti berhasil menembus dinding ketidakpedulian Mumun. Suami orang. Dua kata itu terasa janggal. Rumahnya persis di sebelah PAUD. Suaminya setiap pagi ada di depan rumah. Sebuah koneksi yang tidak menyenangkan mulai terbentuk di benaknya, sebuah koneksi yang segera ia tepis. Tidak mungkin. Paijo tidak akan seperti itu."Ah, ada-ada saja gosip itu," kata Mumun datar, lalu segera pamit masuk ke dalam rumah dengan alasan mau mengangkat jemuran, meninggalkan Tuti yang tersenyum tipis penuh kemenangan.Namun, benih keraguan itu telah ditanam. Malam itu, Mumun tidak bisa tidur. Kata-kata Tuti terus terngiang di kepalanya. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebelumnya ia abaikan: cara Paijo tersenyum sendiri menatap ponselnya akhir-akhir ini, atau bagaimana suaminya itu jadi lebih sering membawa ponselnya bahkan ke kamar mandi.Puncaknya adalah saat ia terbangun tengah malam dan mendapati Paijo sudah tertidur pulas dengan ponsel tergeletak di samping bantalnya. Biasanya, Mumun tidak akan pernah menyentuh privasi suaminya. Tapi malam ini, didorong oleh bisikan curiga yang semakin kencang, ia memberanikan diri.Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponsel itu. Jantungnya berdebar kencang saat membuka kuncinya—ia tahu polanya. Ia membuka aplikasi Facebook. Apa yang harus ia cari? Ia teringat nama yang disebut Tuti. Sumirah.Ia membuka daftar teman Paijo, menggulirnya perlahan hingga menemukan nama itu: Sumirah 45. Fotonya adalah seorang perempuan tersenyum dengan anaknya. Mumun menekan nama itu.Beranda profil Sumirah terbuka di hadapannya. Awalnya biasa saja, foto anak, resep masakan. Tapi saat ia terus menggulir ke bawah, napasnya mulai tertahan.Maju kena, mundur kenaMaju dia suami orang, mundur keingetan terusBINGUNG BESTIE 🤣Dan yang terakhir, yang paling menusuk:Berani kamu manggil aku "SAYANG"... Akan ku jemput kamu Di depan "ISTRI MU" 🤗🤣Potongan-potongan puzzle itu menyatu dengan sempurna di benak Mumun. Emoji tertawa di setiap akhir status tidak lagi terlihat lucu. Di mata Mumun, itu adalah sebuah ejekan, sebuah tantangan yang ditujukan langsung padanya. Wajahnya mengeras di bawah cahaya ponsel. Tak ada air mata, tak ada amarah yang meledak. Hanya keheningan yang dingin dan mematikan. Investigasinya baru saja dimulai.Bab 10: Konfrontasi SenyapPagi itu, ada yang berbeda di rumah Paijo. Udara di ruang makan terasa lebih dingin dari biasanya. Mumun bergerak seperti robot, meletakkan piring nasi goreng di depan suaminya tanpa sepatah kata pun. Wajahnya datar, gerakannya presisi, dan matanya tidak pernah bertemu pandang dengan mata Paijo.Paijo merasakan perubahan itu. Ia mencoba memulai percakapan, "Nasinya enak, Dik." Mumun hanya membalas dengan dehaman singkat. Tak ada senyum, tak ada sahutan hangat seperti biasa. Paijo mengira istrinya mungkin sedang tidak enak badan atau lelah. Ia tidak tahu bahwa semalam, istrinya telah menjadi detektif yang menemukan bukti kejahatan di ponselnya.Saat Paijo mengambil kunci motor dan selang air untuk memulai ritual paginya, Mumun tiba-tiba bangkit. "Aku temani di depan, Mas. Sekalian mau menyiram bunga," katanya, suaranya tanpa emosi.Paijo sedikit terkejut, tapi ia hanya mengangguk. Maka, pagi itu, pemandangan di depan rumah mereka berubah. Paijo menyemprotkan air ke motornya, sementara Mumun berdiri di teras dengan selang di tangan, menyiram tanaman aglonema dalam pot dengan gerakan lambat dan penuh perhitungan. Kehadirannya terasa seperti seorang penjaga yang mengawasi wilayahnya.Tak lama kemudian, Sumirah muncul di ujung jalan, menggandeng tangan Bima. Jantungnya sudah berdebar-debar, bersiap untuk menghadapi keheningan canggung dari Paijo. Ia melihat Paijo yang memunggunginya, lalu pandangannya beralih dan berhenti.Di teras itu, berdiri Mbak Mumun.Waktu seolah melambat. Sumirah merasa kakinya terpaku di aspal. Ia ingin berbalik, tetapi sudah terlambat. Paijo, mungkin karena kebiasaan atau mendengar langkah kaki, sedikit menoleh. Ia hanya memberikan anggukan kecil yang kaku, sebuah pengakuan minimalis atas kehadiran Sumirah.Tepat pada saat itulah, Mumun menghentikan siramannya. Ia meletakkan selang air dan perlahan mengangkat wajahnya. Ia tidak melihat suaminya. Matanya menatap lurus, melintasi jalanan, dan mengunci pandangan langsung pada Sumirah.Tidak ada amarah di mata itu. Tidak ada teriakan atau makian. Yang ada hanyalah tatapan yang dingin, tajam, dan menusuk. Sebuah tatapan yang dengan jelas mengatakan: Aku tahu. Tatapan seorang istri yang telah dilukai, yang memegang semua kartu, dan kini sedang menikmati kemenangannya dalam diam. Di sudut bibirnya, tersungging senyum yang sangat tipis, nyaris tak terlihat, sebuah senyum kemenangan yang dingin.Wajah Sumirah terasa panas seolah terbakar. Udara di sekelilingnya menjadi pengap. Seluruh drama di Facebook, semua status dan emoji, semua kata-kata yang tersembunyi, kini terasa begitu bodoh dan kekanak-kanakan di hadapan tatapan senyap seorang istri. Permainan ini sudah berakhir.Dengan panik, ia mendorong punggung Bima. "Ayo, Nak, cepat masuk," bisiknya, suaranya bergetar. Ia tidak berani menatap lagi. Ia bergegas menuju gerbang PAUD, merasakan tatapan Mumun terus menusuk punggungnya seperti jarum es.Konfrontasi itu terjadi tanpa satu kata pun terucap, namun pesannya lebih keras daripada teriakan mana pun. Perang dingin telah dimulai, dan Sumirah tahu, ia sudah kalah telak bahkan sebelum pertempuran itu resmi diumumkan.Bab 11: Keputusan di Ujung JariHari-hari setelah konfrontasi senyap itu terasa seperti berjalan di atas lapisan es yang tipis. Sumirah mengubah seluruh rutinitasnya. Ia tidak lagi berlama-lama di depan PAUD. Ia akan mengantar Bima tepat di depan gerbang, menyerahkannya pada guru piket, lalu segera berbalik dan pulang melalui jalan memutar di belakang kampung, meskipun lebih jauh. Ia menghindari rumah Paijo seperti menghindari wabah.Dunia mayanya pun ikut berubah. Ia merasa mual setiap kali membuka Facebook. Status-status genitnya yang dulu terasa berani dan menyenangkan, kini terlihat bodoh dan memalukan. Itu adalah monumen digital dari kebodohannya. Dengan tangan gemetar, ia membuka profilnya dan menghapus semua unggahan yang berhubungan dengan "suami orang", satu per satu. Setiap kali menekan tombol hapus, ia merasa sedikit lebih ringan, seolah sedang membersihkan noda dari pakaian putihnya.Ia merasa terus-menerus diawasi. Setiap kali ia melihat Mbak Mumun di kejauhan—entah sedang menjemur pakaian atau berbelanja di tukang sayur—ia merasakan tatapan dingin itu lagi, menusuknya bahkan dari jarak puluhan meter.Di rumahnya, Paijo merasakan kehampaan. Perang dingin yang dilancarkan istrinya membuatnya tertekan. Tak ada lagi candaan, tak ada lagi obrolan hangat. Ia menatap punggung istrinya yang diam setiap malam, sebuah dinding yang tak bisa ia tembus.Ia teringat kembali pada perubahan sikap Mumun. Dinginnya tatapan istrinya saat ia ikut menyiram bunga di teras. Caranya menjawab pertanyaannya dengan satu atau dua kata. Paijo akhirnya mengerti. Mumun tidak sedang dalam suasana hati yang buruk. Mumun tahu. Mungkin ia tidak tahu semuanya, tidak tahu tentang pesan pribadi itu, tetapi ia tahu cukup banyak untuk membangun dinding es di antara mereka.Rasa panik yang dingin mulai menjalari tulang punggungnya. Ini bukan lagi tentang kehilangan seorang "pengagum". Ini tentang kehilangan segalanya. Ia memikirkan anak-anaknya, reputasinya sebagai PNS, dan kehidupan yang telah ia bangun bata demi bata bersama Mumun. Dan ia mempertaruhkan semua itu untuk apa? Untuk beberapa debaran sesaat dari fantasi murahan di dunia maya?Rasa jijik pada dirinya sendiri mulai membuncah.Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Hanya ada satu jalan keluar. Bukan konfrontasi, bukan pula pengakuan. Itu semua terlalu berisiko. Satu-satunya pilihan adalah mundur. Menghilang. Menghapus jejak.Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, ia meraih ponselnya. Ia membuka Facebook, mengetik nama "Sumirah 45" untuk terakhir kalinya. Profil perempuan itu muncul. Ia menatapnya sejenak—wajah yang telah mengisi fantasinya selama beberapa minggu terakhir. Kini, wajah itu tidak lagi tampak menarik. Wajah itu tampak seperti sumber bencana.Jarinya bergerak ke tombol titik tiga di sudut kanan atas. Sebuah menu muncul. Matanya terpaku pada satu kata: Blokir.Ini adalah tindakan pengecut, ia tahu itu. Tapi ini juga satu-satunya tindakan yang masuk akal. Memblokir Sumirah berarti memotong semua akses. Ia tidak akan bisa melihat status Paijo, dan yang lebih penting, Paijo tidak akan tergoda untuk melihat statusnya. Ini adalah cara untuk memadamkan api secara paksa.Ia menekan tombol itu. Sebuah jendela konfirmasi muncul, menanyakan apakah ia yakin. Tanpa ragu, ia menekan "Blokir". Profil Sumirah lenyap, digantikan oleh pesan bahwa konten ini tidak tersedia.Langkah selanjutnya. Ia membuka Messenger, mencari percakapan mereka. Di sana, pesan singkatnya masih ada, bersinar seperti bara api. Hay sayang. Ia menekan dan menahan percakapan itu hingga sebuah menu muncul. Ia memilih "Hapus". Dalam sekejap, bukti digital paling memberatkan itu lenyap selamanya dari ponselnya.Ia meletakkan ponselnya kembali. Ada perasaan hampa yang aneh di dalam dirinya. Bukan rasa kehilangan atas Sumirah, tetapi rasa kehilangan atas kebodohannya sendiri. Ia telah bermain-main dengan korek api dan kini ia harus hidup dengan rasa takut bahwa rumahnya bisa terbakar kapan saja. Permainan telah usai, dan kini penebusan dosanya yang panjang dan sunyi baru saja dimulai.Bab 12: Jalan yang Lurus ke DepanTiga bulan berlalu. Musim kemarau telah berganti, membawa serta hujan sore yang membasahi tanah dan menumbuhkan aroma petrichor yang khas. Di depan gerbang PAUD, suasana telah menemukan normalitasnya yang baru, sebuah ritme yang tenang tanpa getaran drama di bawah permukaan.Pagi itu, Sumirah mengantar Bima dengan langkah ringan. Tak ada lagi kacamata hitam yang menutupi mata, tak ada lagi jantung yang berdebar saat melewati rumah bercat krem di seberang jalan. Ia kini datang lebih awal, menyempatkan diri mengobrol dengan ibu-ibu lain, bertukar cerita tentang harga cabai yang naik atau kelucuan anak-anak mereka. Ia telah kembali menjadi bagian dari komunitas itu, bukan lagi seorang pengamat yang terisolasi oleh rahasianya sendiri.Di seberang jalan, pemandangan juga telah berubah. Ritual memandikan motor kini tak lagi menjadi pertunjukan tunggal. Terkadang, Paijo terlihat sedang membersihkan mobil keluarga bersama putra sulungnya, diselingi tawa dan canda. Di lain waktu, Mumun ada di teras, memangkas daun-daun kering dari tanaman bunganya, sementara Paijo menyapu halaman. Mereka bergerak dalam harmoni yang tenang, sebuah kemitraan yang dipamerkan secara halus namun jelas. Tak ada lagi senyum yang dilemparkan ke seberang jalan, hanya anggukan kepala yang sopan dan formal jika tatapan mereka tak sengaja bertemu. Anggukan yang sama yang diberikan kepada semua orang.Bagi Sumirah, rasa tertarik yang dulu membara itu telah lama padam, menyisakan abu penyesalan dan rasa malu yang samar. Melihat Paijo sekarang tidak lagi menimbulkan debaran. Yang ia rasakan hanyalah kelegaan yang luar biasa, seperti seseorang yang berhasil turun dari wahana roller coaster yang menegangkan dan akhirnya bisa menjejakkan kaki di tanah yang kokoh.Dunia maya Sumirah juga telah bertransformasi. Berandanya kini dipenuhi foto-foto kue pesanan yang ia buat. Setelah drama itu berakhir, Sumirah menyadari ia butuh kesibukan yang produktif. Ia mulai menerima pesanan kue basah dari para tetangga dan ibu-ibu di sekolah. Risoles, lemper, bolu kukus. Pesanan kecil-kecilan yang membuat dapurnya terus mengepul dan pikirannya sibuk. Facebook bukan lagi panggung curhat, melainkan etalase usahanya. Statusnya kini berbunyi: "Open PO bolu pisang untuk hari Sabtu. Slot terbatas!"Suatu hari di akhir pekan, pasar desa terasa lebih ramai dari biasanya. Sumirah sedang sibuk memilih sayuran, dengan Bima yang setia mengekor di belakangnya. Saat ia berbalik setelah membayar kangkung, ia nyaris menabrak seseorang."Eh, maaf, Mbak."Sumirah mendongak. Di hadapannya berdiri Mumun, sedang menenteng keranjang belanja yang penuh. Dan di sampingnya, berdiri Paijo, membawa kantong kresek besar berisi buah-buahan.Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Ini adalah pertama kalinya mereka bertiga berada dalam satu ruang yang begitu dekat sejak semua drama itu berakhir. Udara terasa berat. Sumirah merasakan pipinya mulai panas. Paijo tampak salah tingkah, pandangannya langsung beralih ke tumpukan kelapa di sampingnya, pura-pura tertarik. Ia terlihat seperti seorang terdakwa yang menghindari tatapan hakim.Namun, Mumun tetap tenang. Ia menatap Sumirah, dari atas ke bawah, tatapannya tidak lagi dingin menusuk, melainkan datar dan penuh evaluasi. Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Mumun memberikan sebuah anggukan kecil. Sangat kecil, nyaris tak terlihat. Di sudut bibirnya, ada seulas senyum yang sangat tipis. Bukan senyum persahabatan, bukan pula senyum kemenangan. Itu adalah senyum pengakuan. Sebuah gestur tanpa kata dari seorang perempuan kepada perempuan lain, yang seolah berkata, "Kita telah melewati badai itu. Semuanya sudah selesai. Mari kita lanjutkan hidup masing-masing."Sumirah, yang tadinya sudah menyiapkan diri untuk diabaikan atau bahkan disindir, merasa terkejut. Ia mengerti pesan di balik anggukan itu. Dengan napas yang sedikit bergetar, ia membalas anggukan itu. Sebuah perjanjian damai tanpa suara telah ditandatangani di tengah riuh rendah pasar."Mari, Mbak," kata Mumun pelan, lalu menarik lengan suaminya untuk berjalan melewatinya. Saat mereka lewat, Sumirah samar-samar mendengar Mumun berkata pada suaminya dengan nada datar namun jelas, "Makanya kalau jalan itu lihat ke depan, Mas."Paijo hanya bisa bergumam pelan, mengikuti langkah istrinya seperti kerbau dicucuk hidungnya.Sumirah berdiri mematung sejenak, menatap punggung pasangan itu yang menjauh. Kalimat terakhir Mumun adalah penutup yang sempurna. Beban terakhir yang selama ini masih menggantung di hatinya terasa terangkat. Ia telah dimaafkan, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan sebuah gestur yang jauh lebih bermakna.Sore itu, setelah menyelesaikan semua pesanannya, Sumirah duduk di teras rumahnya yang sederhana, menatap Bima yang sedang asyik menggambar di buku gambarnya. Ia membuka Facebook di ponselnya. Bukan untuk mencari perhatian, bukan untuk mengintip kehidupan orang lain. Ia membuka galeri fotonya dan memilih sebuah foto yang ia ambil tadi pagi: foto kue-kue buatannya yang tertata rapi di dalam nampan, siap untuk diantar.Ia mengunggah foto itu dengan sebuah keterangan singkat:Alhamdulillah untuk rezeki hari ini. Semangat!Tak ada kiasan, tak ada kode rahasia, tak ada emoji yang menyembunyikan makna lain. Hanya sebuah ungkapan syukur yang tulus. Ia menatap unggahan itu dengan perasaan damai. Ia akhirnya sadar, jalan yang selama ini ia cari-cari bukanlah belok kiri menuju bujangan, belok kanan menuju duda, atau maju merebut suami orang. Bukan pula mundur pada masa lalu yang menyakitkan.Jalan yang harus ia tempuh selalu ada di sana, lurus di depan matanya. Jalan di mana ia melangkah dengan kakinya sendiri, menggandeng tangan putranya, dengan kepala tegak dan hati yang lapang. Sendiri, tapi utuh. Dan untuk pertama kalinya setelah waktu yang sangat lama, itu terasa lebih dari cukup.

