Bab 1: Difrinaku
Pagi datang lebih dulu di rumah ini. Bukan karena jam weker atau panggilan azan yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan, melainkan karena seberkas cahaya keemasan yang selalu tahu celah mana yang harus ia tembus di antara tirai jendela kamar kami. Cahaya itu, seperti malaikat kecil yang setia, mendarat tepat di wajah Difrina, menyoroti lekuk pipinya yang lembut dan bulu matanya yang lentik.
Dan seperti pagi-pagi lainnya, aku sudah terjaga sebelum cahaya itu datang.
Aku menahan napas, sebuah kebiasaan konyol yang kulakukan setiap kali memandangnya tertidur. Seolah-olah embusan napasku bisa mengusik kedamaian di wajahnya. Difrina, duniaku. Seluruh semestaku berpusat pada ritme napasnya yang teratur, pada gemerisik selimut saat ia sedikit bergerak dalam tidurnya. Tuhan, terima kasih. Kalimat itu selalu menjadi doa pertamaku setiap hari.
Dengan gerakan sepelan mungkin, aku menyingkirkan selimut dari tubuhku. Udara subuh yang sejuk langsung menyentuh kulit, tetapi kehangatan di dalam hatiku lebih dari cukup untuk melawannya. Aku berjinjit keluar kamar, membiarkannya terlelap sedikit lebih lama. Ia pasti lelah. Kemarin kami menghabiskan sore menata ulang taman kecil di halaman depan, dan tawa renyahnya saat tangannya berlumuran tanah masih terngiang jelas di telingaku.
Dapur menyambutku dengan keheningan yang akrab. Aroma kayu pinus dari meja makan yang kubuat sendiri bercampur dengan wangi embun yang terbawa angin dari jendela yang sedikit terbuka. Inilah istanaku. Bukan istana megah berlapis emas, tetapi sebuah surga kecil yang setiap sudutnya kubangun dengan keringat dan cinta. Aku mengusap permukaan dinding ruang tengah yang sengaja kubiarkan dengan tekstur kayu kasarnya. Setiap urat kayu ini adalah saksi bisu bagaimana aku menuangkan seluruh mimpiku ke dalam fondasi rumah ini. Mimpi untuknya. Untuk kami.
Suara air yang mulai mendidih di atas kompor menarikku dari lamunan. Kopi. Ritual pagiku yang tak pernah absen. Dua cangkir, satu untukku dengan sedikit gula, dan satu untuknya, lebih banyak susu, persis seperti yang ia suka. Saat uap panas mengepul dari cangkir keramik di tanganku, aku kembali ke kamar.
Difrina sudah bergerak. Matanya yang masih separuh terpejam mengerjap pelan saat melihatku. Sebuah senyum tipis, senyum paling indah di dunia, terukir di bibirnya.
"Pagi, Mas," suaranya serak dan manja.
"Pagi, Sayang," balasku, meletakkan cangkirnya di nakas. "Kopi untuk ratuku."
Ia terkekeh pelan, lalu berusaha duduk, rambut panjangnya yang berantakan jatuh menutupi sebagian wajahnya. Aku duduk di tepi ranjang, menyingkirkan helai rambut itu dengan jemariku. Kulitnya selembut sutra.
"Harusnya aku yang buatin kopi buat kamu," katanya, meraih cangkir itu dengan kedua tangannya, seolah mencari kehangatan.
"Tidak akan pernah," jawabku tegas. "Tugasku adalah memastikan kamu memulai hari dengan senyum. Itu saja sudah cukup."
Ia menatapku dari balik cangkirnya, matanya berkilau. "Kamu selalu tahu cara membuatku merasa istimewa."
Aku tersenyum, hatiku membuncah. Inilah kebahagiaan. Sederhana, nyata, dan begitu penuh. Kami menyesap kopi dalam diam yang nyaman, hanya ditemani kicau burung yang mulai ramai di luar. Aku menceritakan rencanaku untuk membuat rak buku baru di sudut ruang baca, dan ia mendengarkan dengan antusias, sesekali memberi usul dengan mata berbinar.
Namun, di tengah perbincangan kami, sebuah suara notifikasi singkat memecah keheningan. Ting.
Suara itu datang dari ponselnya yang tergeletak di nakas.
Itu hanya sepersekian detik, sebuah perubahan yang mungkin tak akan disadari oleh siapa pun. Tapi aku melihatnya. Saat mata Difrina melirik ke layar ponselnya, binar di matanya sedikit meredup. Senyumnya masih di sana, tetapi seolah membeku sesaat. Jemarinya yang memegang cangkir mengerat tanpa sadar.
"Siapa?" tanyaku ringan, lebih karena penasaran biasa.
"Oh," ia seolah tersentak, lalu senyumnya kembali cair, lebih lebar dari sebelumnya. "Cuma grup teman-teman SMA. Biasa, pagi-pagi sudah heboh." Ia meletakkan cangkirnya dan meraih ponsel itu. Dengan gerakan cepat yang terlalu wajar, ia membalikkan layarnya ke bawah setelah membacanya sekilas.
Aku mengangguk, tak menaruh curiga sedikit pun. Tentu saja, teman-temannya. Aku justru senang ia masih terhubung baik dengan masa lalunya.
"Nanti sore mau coba resep kue baru, nggak?" tanyanya, suaranya kembali ceria, mengalihkan pembicaraan. "Aku lihat di internet kemarin, kelihatannya enak."
"Apapun yang kamu masak, pasti enak," jawabku, kembali tenggelam dalam pesonanya.
Aku mengecup keningnya sebelum bangkit untuk bersiap-siap bekerja. Aroma sampo dari rambutnya memenuhi indraku, menenangkanku. Saat aku berjalan menuju kamar mandi, aku melirik ke belakang. Difrina masih duduk di ranjang, ponsel di tangannya. Kepalanya sedikit menunduk, dan kali ini, senyum di wajahnya telah hilang sepenuhnya. Ada seberkas tatapan kosong di matanya, menatap sesuatu di layar yang seolah membawanya ke dunia lain, dunia yang jauh dari rumah kecil kami.
Tapi itu hanya sesaat. Begitu ia sadar aku memperhatikannya, wajah itu kembali cerah. Ia melambai kecil padaku sambil tersenyum.
Dan aku, dengan hati yang terlalu penuh oleh cinta, membalas lambaian itu, meyakinkan diriku bahwa semua baik-baik saja di surga kecil kami.
Bab 2: Dunia di Luar Jendela
Aroma vanila dan kayu manis yang hangat seharusnya terasa menenangkan. Seharusnya. Di dapur ini, di rumah yang dibangun Rendra dengan tangannya sendiri, semua hal memang "seharusnya" terasa sempurna. Aku mengaduk adonan kue di dalam mangkuk porselen, gerakan tanganku mekanis, berulang-ulang hingga lenganku terasa pegal. Dari jendela dapur, aku bisa melihat punggung Rendra. Ia sedang berjongkok di taman kecil kami, tangannya yang kokoh dengan sabar membersihkan rumput liar di sekitar mawar-mawar kesayangannya.
Ia adalah pria yang baik. Bukan hanya baik, Rendra adalah pria terbaik yang pernah kukenal. Sabar, tulus, dan seluruh dunianya seolah berputar hanya untukku. Aku tahu itu. Setiap pagi saat ia membawakanku kopi, setiap kali ia menatapku seolah aku adalah satu-satunya keajaiban di dunia, aku tahu betapa beruntungnya aku.
Lalu kenapa, di tengah surga kecil ini, hatiku terasa sesak?
Aku berhenti mengaduk, membiarkan spatula kayu tergeletak di dalam mangkuk. Dinding dapur ini dilapisi kayu pinus yang sama dengan meja makan. Rendra bilang, ia ingin rumah kami terasa hidup, bernapas. Tapi bagiku, urat-urat kayu itu kini terasa seperti jeruji. Indah, hangat, namun tetap saja sebuah kungkungan yang membatasiku dari dunia di luar sana.
Aku jahat sekali. Pikiran itu datang seperti bisikan dingin, membuatku merasa mual. Rendra tidak pantas mendapatkan istri sepertiku, yang tersenyum di hadapannya sementara pikirannya melayang ke tempat lain.
Ponselku bergetar pelan di atas meja. Getaran singkat yang terasa seperti sengatan listrik. Aku melirik ke arah Rendra. Ia masih sibuk dengan mawarnya, bersenandung kecil, benar-benar tenggelam dalam dunianya yang sederhana. Dengan gerakan cepat, aku meraih ponsel itu, membawanya ke sudut dapur yang tak terlihat dari jendela.
Layar itu menyala, menampilkan sebuah dunia yang begitu berbeda.
Itu unggahan dari Adrian. Sebuah foto dirinya, tersenyum miring ke arah kamera, dengan latar belakang gemerlap lampu kota dari sebuah rooftop bar di Singapura. Gelas kristal berisi minuman berwarna amber tergenggam di tangannya, dan kilau jam tangan mewah di pergelangan tangannya seolah mengejekku. Keterangannya singkat: “Another deal closed. Cheers to the good life.”
Aku menelan ludah. Udara di sekitarku terasa menipis. Aku bisa membayangkan suara denting gelas, alunan musik jazz yang samar, dan aroma parfum mahal yang bercampur dengan udara malam kota metropolitan. Sangat jauh berbeda dengan aroma kue yang mulai menguar dari oven dan bau tanah basah dari taman Rendra.
"Sayang, wangi sekali kuenya!" Suara Rendra tiba-tiba terdengar dari ambang pintu dapur, membuatku tersentak.
Aku buru-buru mengunci layar ponsel dan meletakkannya terbalik di atas meja. Senyum kupasang di wajahku, senyum yang sudah terlatih dengan baik. "Sebentar lagi matang, Mas."
Ia masuk, membawa serta aroma tanah dan matahari. Ada sedikit noda tanah di pipinya, dan senyumnya begitu tulus, begitu polos. Ia mendekat dan mengecup puncak kepalaku. "Kamu memang paling jago bikin rumah ini terasa hangat."
Hangat, atau pengap? bisik suara jahat di kepalaku.
"Cuma kue biasa, kok," jawabku, berusaha agar suaraku terdengar ceria.
Ia mengamatiku sejenak, tatapannya lembut. "Kamu kelihatan pucat. Capek, ya?"
"Nggak, kok. Cuma sedikit pusing aja tadi." Sebuah kebohongan kecil yang meluncur begitu saja.
Rendra meraih tanganku, mengusapnya dengan ibu jarinya yang sedikit kasar karena bekerja. "Kalau capek istirahat saja. Biar aku yang selesaikan."
Lihat? Dia pria yang sempurna. Dan itu justru membuatku semakin merasa bersalah. "Nggak apa-apa, Mas. Sebentar lagi juga selesai."
Ia mengangguk, lalu kembali ke dunianya. "Aku mau perbaiki pagar belakang, ya. Kayunya ada yang sedikit lapuk."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Pagar, taman, rak buku. Dunia Rendra adalah rumah ini. Dan entah sejak kapan, dunia itu terasa tidak cukup lagi untukku.
Saat ia sudah kembali ke halaman belakang, tanganku kembali meraih ponsel. Ada sebuah pesan baru, dari Adrian.
“Lagi apa, Dif? Tiba-tiba kepikiran kamu.”
Jantungku berdebar lebih kencang. Ini salah. Aku tahu ini salah. Tapi jari-jariku seolah punya pikiran sendiri, mengetik balasan sebelum akal sehatku sempat mencegah.
“Lagi bikin kue. Kamu sendiri, kelihatan sibuk banget di SG.”
Balasannya datang hampir seketika. “Cuma kerjaan. Kapan-kapan kita ngopi bareng lagi, yuk? Kangen juga denger cerita-ceritamu.”
Aku menatap pesan itu lama. Kangen. Sebuah kata sederhana yang terasa begitu berbahaya. Aku teringat obrolan kami beberapa minggu lalu saat tidak sengaja bertemu di sebuah kafe. Ia mendengarkan semua keluhanku tentang kebosanan dengan tatapan penuh pengertian, tidak seperti Rendra yang akan langsung mencoba "memperbaiki" semuanya dengan solusi-solusi sederhananya.
Suara timer oven berbunyi nyaring, memecah lamunanku. Kue sudah matang.
Sore itu, kami duduk di teras, menikmati kue buatanku dengan teh hangat. Rendra memakannya dengan lahap, matanya berbinar-binar setiap kali ia menyuap.
"Ini kue terenak di dunia," katanya, persis seperti yang kuduga. "Tanganmu ini ajaib, Sayang."
Aku tersenyum, senyum yang terasa seperti topeng. "Syukurlah kalau kamu suka."
Aku memandangnya, pria baik hati yang mencintaiku lebih dari apa pun. Di belakangnya, mawar-mawar di taman kecil kami bermekaran dengan indah. Semuanya sempurna. Terlalu sempurna. Aku mengalihkan pandangan ke luar pagar, ke jalanan sepi di depan rumah kami. Di suatu tempat di luar sana, ada dunia yang lebih luas, lebih berkilau, lebih hidup. Dunia yang memanggil-manggil namaku.
Dan untuk pertama kalinya, aku sadar bahwa cinta Rendra yang begitu besar mungkin tidak akan pernah cukup untuk membuatku berhenti menatap ke luar jendela.
Bab 3: Secangkir Kopi di Dunia Lain
Kebohongan itu terasa seperti gumpalan kecil dan panas di tenggorokanku.
"Aku mau ke toko buku di kota, Mas. Ada beberapa buku resep baru yang lagi kucari," kataku pada Rendra siang itu. Aku berusaha menjaga suaraku tetap ringan, senormal mungkin, sambil melipat pakaian kering di ruang tengah.
Rendra, yang sedang mengamplas kursi kayu tua di teras, menoleh. Wajahnya berkeringat, tetapi matanya memancarkan kehangatan yang sama seperti biasanya. "Oh, ya? Bagus dong. Mau diantar?"
"Nggak usah, Mas. Aku bisa naik angkutan umum. Sekalian jalan-jalan," jawabku cepat. Terlalu cepat. Aku menunduk, fokus pada lipatan kemeja di tanganku, menghindari tatapannya yang selalu bisa membaca diriku.
"Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya, Sayang. Kalau sudah mau pulang, telepon saja, nanti aku jemput."
Rasa bersalah menusukku, tajam dan menyakitkan. Dia begitu percaya. Kepercayaan itu terasa seperti beban berat yang menekan pundakku. Aku hanya mengangguk, tidak berani mengucapkan sepatah kata pun, takut suaraku akan bergetar.
Satu jam kemudian, aku berdiri di depan lemari pakaian, merasakan debaran jantung yang tidak karuan. Ini hanya pertemuan teman biasa. Aku mengulang kalimat itu di kepalaku seperti mantra. Hanya teman. Hanya kopi. Tidak ada yang salah dengan itu.
Tanganku bergerak ragu, melewati daster dan kaus rumahan yang biasa kukenakan. Pilihanku jatuh pada sebuah blus berwarna krem yang sudah lama tidak kupakai dan celana bahan berwarna gelap. Tidak berlebihan, tapi jelas lebih rapi daripada penampilanku sehari-hari. Saat bercermin, aku melihat seorang wanita yang sedikit asing. Aku memoleskan sedikit lipstik, warna yang lebih cerah dari biasanya. Untuk siapa aku berdandan? Aku segera menepis pikiran itu. Untuk diriku sendiri, tentu saja.
Perjalanan ke kota terasa seperti melintasi dimensi. Suara klakson yang riuh, gedung-gedung tinggi yang menjulang, dan keramaian orang-orang yang berjalan cepat terasa begitu kontras dengan ketenangan rumah kami. Setiap kilometer yang menjauhkanku dari Rendra, gumpalan panas di tenggorokanku perlahan mencair, digantikan oleh debaran antisipasi yang memabukkan.
Kafe itu persis seperti yang kubayangkan dari foto-foto Adrian. Dinding bata ekspos, lampu gantung industrial, dan aroma kopi premium yang pekat memenuhi udara. Suara mesin espreso yang mendesis dan denting cangkir beradu menjadi musik latar yang terasa begitu modern, begitu hidup. Aku memilih meja di dekat jendela kaca besar yang menghadap ke jalanan sibuk, merasa menjadi bagian dari dunia yang selama ini hanya bisa kulihat dari layar ponsel.
Aku memesan latte dan menunggu. Setiap kali pintu kafe terbuka, jantungku berlonjak. Aku merasa seperti remaja yang menunggu kencan pertama, campuran antara gugup dan gembira yang terlarang.
Lalu ia datang.
Adrian berjalan masuk dengan langkah percaya diri. Kemeja linen yang ia kenakan terlihat santai namun mahal, dan senyumnya langsung tertuju padaku saat ia melihatku.
"Dif, maaf, lama ya?" katanya, suaranya hangat dan sedikit serak. Ia duduk di hadapanku, membawa serta aroma parfum yang maskulin dan segar.
"Nggak, kok. Aku juga baru sampai," dustaku lagi.
Ia tersenyum, tatapannya tajam, seolah bisa melihat lebih dari yang kutampilkan. "Kamu kelihatan... beda. Makin cantik."
Pujian itu membuat pipiku memanas. Rendra sering memujiku, tapi pujiannya terasa seperti bagian dari rutinitas yang nyaman. Pujian Adrian terasa seperti sorotan lampu panggung, membuatku merasa dilihat, benar-benar dilihat.
"Bisa aja kamu," jawabku malu-malu.
Percakapan kami mengalir begitu mudah. Ia tidak bertanya tentang hal-hal domestik seperti yang biasa Rendra tanyakan. Ia bertanya tentang mimpiku sebelum menikah, tentang buku-buku yang kubaca, tentang pandanganku terhadap dunia. Ia mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, membuatku merasa bahwa setiap kata yang kuucapkan itu penting.
"Jadi, kesibukannya apa sekarang selain jadi istri yang sempurna?" tanyanya di sela-sela obrolan kami. Pertanyaan itu terdengar tulus, tapi aku bisa merasakan subteks di baliknya.
Aku tertawa kecil, tawa yang terdengar hambar di telingaku sendiri. "Cuma di rumah aja. Ngurusin taman, bikin kue, baca buku." Aku sengaja tidak menyebut nama Rendra, seolah ingin menciptakan ilusi bahwa aku adalah entitas yang terpisah.
Adrian menatapku lekat, senyumnya sedikit memudar. "Sayang banget," katanya pelan. "Wanita secerdas dan seberbakat kamu harusnya punya panggung yang lebih besar. Rendra beruntung banget, tapi dunia rugi."
Kata-katanya menghantamku. Itulah kalimat yang selama ini kutakutkan dan sekaligus kurindukan. Validasi. Pengakuan bahwa aku lebih dari sekadar seorang istri yang membuat kue.
"Rendra suami yang baik," kataku lirih, lebih untuk meyakinkan diriku sendiri daripada dirinya.
"Aku nggak meragukan itu," balas Adrian cepat. "Tapi kebaikan saja kadang nggak cukup, kan? Kamu butuh stimulasi, butuh tantangan. Aku bisa lihat api di mata kamu, Dif. Jangan biarkan api itu padam hanya karena kamu sibuk menyiram mawar di halaman."
Setiap kalimatnya seperti anak kunci yang membuka pintu-pintu rahasia di dalam hatiku, melepaskan semua keinginan dan ketidakpuasan yang selama ini kupendam. Di hadapannya, aku tidak perlu berpura-pura bahagia dengan kesederhanaan. Aku bisa menjadi diriku sendiri: seorang wanita yang mendambakan lebih.
Waktu berlalu tanpa terasa. Saat aku melihat jam, hari sudah beranjak sore. Aku harus pulang.
"Kapan-kapan kita harus ngobrol lagi. Aku suka denger perspektif kamu," kata Adrian saat kami berdiri di depan kafe.
"Iya, kapan-kapan," jawabku, merasakan kekecewaan karena pertemuan ini harus berakhir.
Perjalanan pulang terasa berbeda. Lampu-lampu kota yang mulai menyala terlihat begitu indah, menjanjikan kehidupan yang penuh warna. Namun, semakin dekat aku dengan rumah, semakin berat langkahku. Aroma kopi premium di kafe tadi perlahan digantikan oleh aroma masakan Rendra yang pasti sudah ia siapkan untuk makan malam.
Aku membuka pintu rumah dengan kunci di tanganku. Rendra menyambutku di ambang pintu, senyumnya masih sama tulusnya seperti tadi pagi.
"Sudah pulang, Sayang? Gimana jalan-jalannya? Dapat buku yang dicari?" tanyanya, mengambil tas belanja berisi satu buku resep—sebuah alibi—dari tanganku.
"Dapat, Mas," jawabku, suaraku nyaris tak terdengar.
Ia mengecup keningku, tidak menyadari betapa dinginnya kulitku. "Syukurlah. Ayo masuk, aku sudah masak makan malam kesukaanmu."
Aku mengikutinya masuk ke dalam rumah kami. Rumah yang hangat, aman, dan penuh cinta. Rumah yang beberapa jam lalu terasa seperti surga, kini terasa seperti sangkar emas yang indah. Dan aku tahu, dengan rasa ngeri yang menusuk, bahwa aku baru saja belajar cara untuk terbang keluar dari sangkar itu.
Bab 4: Keluhan yang Tak Terdengar
Ada yang berbeda dari Difrina beberapa hari ini. Sesuatu yang tak bisa kujabarkan dengan kata-kata, tetapi terasa seperti perubahan samar pada udara di rumah kami. Tawanya masih ada, tetapi tidak lagi serenyah dulu. Senyumnya masih terukir, tetapi sering kali tidak mencapai matanya yang indah. Ia lebih banyak diam, sering kutemukan sedang melamun menatap ke luar jendela, seolah jiwanya sedang berkelana ke tempat yang tak bisa kujangkau.
"Mungkin dia hanya lelah," bisikku pada diriku sendiri. Tentu saja. Mengurus rumah, meskipun kecil, pasti melelahkan. Rutinitas bisa jadi membosankan. Aku harus melakukan sesuatu.
Sabtu pagi itu, aku bangun dengan sebuah rencana. Aku akan menciptakan akhir pekan yang sempurna untuknya, akhir pekan yang bisa mengembalikan binar di matanya. Aku memasak nasi goreng spesial kesukaannya, dengan udang dan telur mata sapi setengah matang, persis seperti yang ia suka. Aroma bawang putih dan terasi yang harum memenuhi dapur saat ia masuk, rambutnya masih sedikit basah sehabis mandi.
"Wangi banget, Mas," katanya, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Hanya untuk istriku tercinta," balasku, meletakkan sepiring nasi goreng di hadapannya. "Nanti malam kita nonton film, ya? Aku sudah siapkan proyektor di ruang tengah. Kita bisa bikin bioskop mini, lengkap dengan popcorn."
Aku menunggunya bereaksi dengan antusias, seperti dulu. Biasanya, ia akan memekik senang dan memelukku. Tapi kali ini, ia hanya mengangguk pelan. "Boleh, Mas."
Hanya itu. Boleh, Mas. Jawaban itu terasa hambar, seperti nasi tanpa garam.
"Kamu nggak apa-apa, Sayang?" tanyaku, mencoba menyelami tatapannya yang sulit kubaca. "Kelihatan capek banget beberapa hari ini."
"Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit lelah," jawabnya, jawaban yang sama seperti kemarin dan hari sebelumnya. Ia mulai makan, matanya tertuju pada piringnya, menciptakan dinding tak kasat mata di antara kami.
Aku mencoba mengabaikan perasaan ganjil di dadaku. Mungkin aku yang terlalu berlebihan. Aku menghabiskan sarapanku sambil berceloteh tentang rencana memperbaiki atap teras yang sedikit bocor, berharap bisa memancing percakapan. Ia menanggapinya dengan gumaman singkat, sesekali mengangguk, tetapi aku tahu pikirannya tidak di sana.
Setelah sarapan, saat aku sedang membereskan piring, aku melihatnya duduk di sofa ruang tengah. Bukan buku yang ada di tangannya, melainkan ponsel. Jarinya bergerak lincah di atas layar, dan sesekali, sebuah senyum samar yang bukan untukku, terukir di wajahnya. Senyum itu berbeda. Lebih misterius, lebih hidup.
Aku mendekat, berniat duduk di sampingnya dan memeluknya. Namun, begitu ia menyadari kehadiranku, senyum itu lenyap. Ia buru-buru meletakkan ponselnya dengan layar menghadap ke bawah di atas meja.
"Sudah selesai cuci piringnya?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit terlalu ceria.
"Sudah," jawabku, mencoba terdengar santai. "Lagi lihat apa? Serius sekali kelihatannya."
"Oh, ini... cuma lihat-lihat resep masakan online," katanya. Lagi-lagi sebuah jawaban yang terasa seperti jalan buntu.
Aku duduk di sampingnya, merangkul bahunya. Tubuhnya terasa sedikit kaku. Aku ingin bertanya lebih jauh, ingin merobohkan dinding yang entah sejak kapan mulai ia bangun. Tapi aku takut. Takut pertanyaanku justru akan membuatnya semakin menjauh.
Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di meja berdering. Bukan nada dering biasa, melainkan getaran singkat yang diikuti melodi yang asing di telingaku. Dengan gerakan yang lebih cepat dari kilat, ia menyambar ponsel itu.
"Halo?" sapanya, lalu ia bangkit dari sofa. "Oh, iya, Rin. Apa kabar?"
Ia berjalan menjauh ke arah dapur, suaranya merendah menjadi bisikan yang tak bisa kudengar. Ratna? Seingatku, teman dekatnya yang bernama Ratnasudah pindah ke luar pulau. Kenapa tiba-tiba menelepon?
Aku hanya bisa duduk termangu di sofa, merasakan kehampaan yang aneh di ruangan yang seharusnya penuh kehangatan ini. Suara tawanya yang tertahan terdengar samar dari dapur. Tawa yang berbeda dari tawa yang biasa ia berikan padaku.
Beberapa menit kemudian, ia kembali. Wajahnya terlihat lebih cerah, pipinya sedikit merona.
"Siapa?" tanyaku lagi, tak bisa menahan diri.
"Ratna, teman SMA-ku dulu. Cuma tanya kabar," jawabnya sambil lalu, seolah itu bukan hal penting. Ia tidak menatapku saat mengatakannya.
Malam itu, kami benar-benar membuat bioskop mini. Aku menggelar karpet tebal di depan dinding putih, menyetel proyektor, dan membuat semangkuk besar popcorn mentega. Aku memilih film komedi romantis favoritnya, film yang dulu bisa membuat kami tertawa bersama hingga sakit perut.
Difrina duduk di sampingku, kepalanya bersandar di bahuku. Semuanya terasa sempurna di permukaan. Tapi aku bisa merasakannya. Perhatiannya terbagi. Beberapa kali aku meliriknya, dan mendapatinya sedang menatap kosong ke layar, pikirannya jelas berada di tempat lain. Puncaknya, saat adegan paling lucu di film itu diputar, aku tertawa terbahak-bahak, tetapi ia hanya tersenyum tipis.
Di tengah film, ponselnya yang ia letakkan di sampingnya menyala sekilas, menampilkan notifikasi pesan. Aku tidak bisa membacanya, tapi aku melihat bagaimana matanya langsung tertuju ke sana, dan bagaimana ia dengan cepat meraih ponsel itu, membalas pesan dengan satu tangan sementara tangan lainnya masih berada dalam genggamanku.
Sebuah rasa dingin yang aneh mulai merayap di hatiku.
"Difrina," panggilku pelan setelah film selesai dan kami membereskan semuanya.
"Iya, Mas?"
Aku menatapnya lekat-lekat. "Kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa cerita sama aku, kan?"
Ia terdiam sejenak, tatapannya melembut. Ia mengulurkan tangan dan mengusap pipiku. "Nggak ada apa-apa, Mas. Aku cuma lagi banyak pikiran aja. Mungkin bosan dengan rutinitas. Kamu jangan khawatir, ya."
Sentuhannya masih terasa sama, tetapi kata-katanya terasa seperti sebuah penolakan halus. Ia memberiku alasan yang terdengar masuk akal, alasan yang membuatku merasa bersalah jika bertanya lebih jauh.
Malam itu, saat kami berbaring di tempat tidur, aku memeluknya dari belakang. Aku bisa mendengar napasnya yang teratur, tetapi aku tahu ia belum tidur. Ada jarak yang tak terlihat di antara kami, jarak yang lebih dingin dari udara malam. Aku mengeratkan pelukanku, berharap kehangatan tubuhku bisa mencairkan apa pun yang membeku di hatinya.
Aku harus berusaha lebih keras, pikirku dalam hati. Aku harus menemukan cara untuk mengembalikan Difrina-ku yang dulu, Difrina yang dunianya adalah aku. Aku memejamkan mata, tidak menyadari bahwa Difrina yang kucari mungkin sudah tidak ada lagi.
Bab 5: Ponsel di Genggamannya
Malam datang membawa keheningan yang berbeda. Dulu, sunyi di rumah kami terasa damai, seperti selimut hangat yang membungkus kami berdua. Kini, sunyi terasa berat, penuh dengan ruang-ruang kosong yang tak terisi kata-kata. Lampu ruang tengah yang kupasang memancarkan cahaya kuning yang hangat, tetapi bayangan di sudut-sudut ruangan terasa lebih pekat, lebih dingin. Di sanalah Difrina sering duduk.
Ia duduk di sofa tunggal favoritnya, meringkuk dengan bantal di pangkuan. Buku yang tadi sore ia baca tergeletak di meja, belum terbuka. Sumber cahaya satu-satunya di sudut itu berasal dari benda persegi di genggamannya. Cahaya putih kebiruan dari layar ponsel menyoroti wajahnya, membuatnya tampak seperti porselen yang dingin dan rapuh. Ia begitu terhanyut di dalamnya, seolah dunia di layar itu lebih nyata daripada aku yang duduk hanya beberapa meter darinya.
Kecurigaan adalah racun. Aku tahu itu. Aku mencoba menekannya kuat-kuat, meyakinkan diriku bahwa aku hanya terlalu banyak berpikir. Difrina hanya lelah. Ia hanya butuh ruang. Tapi instingku, bagian purba dari diriku, berteriak bahwa ada bahaya.
Aku bangkit dari kursi makanku, sengaja tidak menimbulkan suara. Aku berjalan perlahan ke arahnya, berpura-pura hendak mengambil gelas di dapur. Langkahku ringan di atas lantai kayu. Aku berhenti sejenak di belakang sofanya, mataku mencoba menangkap apa yang begitu menyita perhatiannya.
Aku hanya melihat sekilas. Sebuah kolom percakapan, gelembung-gelembung teks berwarna hijau. Aku tidak bisa membaca isinya, tapi aku melihat bagaimana ibu jarinya berhenti di atas layar, ragu, sebelum mengetik balasan. Dan aku melihat bagaimana ia tersenyum—senyum kecil yang sama seperti yang kulihat kemarin pagi. Senyum rahasia yang bukan untukku.
Mungkin ia merasakan kehadiranku. Dengan gerakan refleks yang begitu cepat, ia memiringkan layar ponselnya menjauh dan menguncinya. Saat ia menoleh padaku, senyum itu telah lenyap, digantikan oleh ekspresi datar yang tenang.
"Mas? Kok ngagetin," katanya, suaranya terdengar sedikit tegang.
"Mau ambil minum," jawabku, berusaha terdengar biasa saja sambil melanjutkan langkah ke dapur. Jantungku berdebar kencang. Aku merasa seperti pencuri di rumahku sendiri. "Kamu belum ngantuk?"
"Belum, Mas. Ini lagi koordinasi sama teman-teman buat proyek donasi. Agak ribet," jelasnya. Alasan itu terdengar begitu masuk akal, begitu mulia. Proyek donasi. Siapa aku yang berani meragukan niat baik seperti itu?
Aku kembali ke ruang tengah dengan segelas air. Aku duduk di sofa panjang, di seberangnya. Jarak di antara kami terasa seperti jurang.
"Proyek donasi apa?" tanyaku, mencoba membuka percakapan, mencoba meruntuhkan dinding di antara kami.
"Oh, buat panti asuhan di luar kota. Teman-teman kantor lama yang gagas," jawabnya lancar. Terlalu lancar. "Aku cuma bantu-bantu sebar info aja."
"Teman-temanmu baik, ya," kataku. Sebuah kalimat bodoh yang keluar begitu saja.
"Iya," jawabnya singkat. Ia kembali meraih ponselnya, seolah percakapan kami sudah selesai.
Aku menatapnya dalam diam. Cahaya ponsel itu kembali menari-nari di wajahnya. Aku melihat bagaimana alisnya sesekali berkerut, lalu bibirnya membentuk senyum tipis. Ia berada di sini, tetapi juga tidak. Aku merasa seperti sedang menonton sebuah film tanpa suara, mencoba menerka dialog dari ekspresi wajahnya.
Rasa frustrasi yang panas mulai membakar dadaku. Aku tidak tahan lagi.
"Difrina," panggilku. Nada suaraku terdengar lebih tajam dari yang kumaksud.
Ia mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. "Iya, Mas?"
Aku menarik napas, mencoba melembutkan suaraku. "Sepertinya... kamu lebih sering sibuk dengan ponselmu daripada denganku akhir-akhir ini."
Kalimat itu menggantung di udara, terasa berat dan penuh tuduhan. Aku langsung menyesalinya. Aku melihat perubahan di matanya. Kelembutan itu hilang, digantikan oleh kilat pertahanan diri yang dingin.
Ia meletakkan ponselnya di atas bantal, kali ini dengan gerakan yang disengaja. Ia menatapku lurus, tatapan yang membuatku merasa kecil.
"Maksud kamu apa, Mas?" tanyanya, suaranya tenang namun menusuk.
"Bukan... bukan begitu maksudku. Aku cuma merasa kita jadi jarang ngobrol," kataku, terdengar seperti anak kecil yang merajuk. Aku merasa bodoh. Aku adalah suaminya, kenapa aku harus merasa takut untuk berbicara?
"Aku kan sudah bilang, aku lagi sibuk koordinasi buat donasi. Apa aku nggak boleh punya kegiatan sendiri? Apa aku harus lapor setiap saat aku pegang ponsel?" Nada suaranya sedikit meninggi. "Kamu jadi posesif banget, sih."
Posesif. Kata itu menghantamku seperti tamparan. Aku? Posesif? Aku yang selalu memberinya kebebasan, yang tidak pernah mempertanyakan apa pun yang ia lakukan?
"Bukan posesif, Sayang. Aku cuma kangen sama kamu," ucapku lirih, merasa pertahananku runtuh.
Ia menghela napas, tatapannya sedikit melunak, tetapi jarak itu tetap ada. "Aku di sini, Mas. Aku nggak ke mana-mana. Cuma memang lagi banyak pikiran aja. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh, ya."
Ia membalikkan keadaan. Sekarang akulah yang tampak seperti pihak yang bermasalah, yang terlalu banyak menuntut, yang pencemburu. Ia memberiku jawaban yang menenangkanku di permukaan, tetapi di bawahnya, ia baru saja membangun benteng yang lebih tinggi. Ia memberitahuku dengan jelas: jangan bertanya lagi.
"Maaf," hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku merasa seperti seorang pengkhianat karena telah mencurigai istriku sendiri. Mungkin memang aku yang salah. Mungkin aku yang terlalu sensitif.
Ia bangkit dari duduknya, berjalan ke arahku. Ia membungkuk dan mengecup pipiku. Kecupan yang terasa seperti formalitas, dingin dan cepat. "Aku tidur duluan, ya. Kepalaku agak pusing."
Aku hanya bisa mengangguk, menatapnya berjalan menuju kamar tidur kami. Ia tidak menoleh ke belakang.
Aku tetap duduk di sofa, dalam keheningan yang kini terasa memekakkan. Cahaya hangat dari lampu terasa mengejekku. Aku menatap ponselnya yang tergeletak di sofa seberang, benda itu tampak seperti kotak pandora yang menyimpan semua rahasia yang kutakutkan. Keinginan untuk mengambilnya dan membukanya begitu besar, begitu kuat.
Tapi aku tidak melakukannya. Karena di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tahu. Aku takut pada apa yang akan kutemukan di dalamnya.
Bab 6: Retakan di Dinding Surga
Hujan turun malam itu. Bukan gerimis syahdu yang biasa meninabobokan, melainkan badai yang mengamuk, menghantam jendela kaca dengan amarah yang terasa personal. Guntur menggelegar di kejauhan, disusul kilat yang sesekali merobek kegelapan, menerangi ruang tengah kami dalam kilasan cahaya putih yang dingin dan sesaat.
Aku duduk sendirian dalam remang-remang. Sudah lewat tengah malam. Difrina sudah tertidur pulas di kamar kami sejak dua jam yang lalu, napasnya yang tenang sama sekali tidak terganggu oleh badai di luar maupun badai yang berkecamukur di dalam dadaku.
Mataku terpaku pada satu benda di atas meja kopi. Ponselnya.
Ia meninggalkannya di sana, sebuah kelalaian yang tidak biasa. Biasanya, benda itu selalu berada dalam jangkauannya, seperti perpanjangan dari tangannya sendiri. Kini, benda itu tergeletak di sana, layarnya yang gelap seolah menyimpan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tak berani kuucapkan.
Aku bangkit, berjalan mondar-mandir di atas lantai kayu yang dingin. Setiap derit lantai terdengar seperti teriakan di tengah keheningan yang berat. Jangan. Suara hatiku memperingatkan. Jangan lakukan itu. Percayalah padanya. Dia istrimu. Dia hanya lelah.
Tapi instingku, seekor binatang buas yang terluka di dalam diriku, mengaum. Ia tahu ada yang salah. Ia bisa mencium bau kebohongan di udara.
Aku berhenti di depan meja, menatap benda persegi itu. Cahaya dari kilat kembali menyambar, memantulkan bayanganku yang gemetar di permukaannya yang mengilap. Aku mengulurkan tangan, lalu menariknya kembali. Aku merasa seperti pengkhianat. Melanggar privasinya adalah hal terakhir yang ingin kulakukan. Itu akan menghancurkan fondasi kepercayaan yang kubangun dengan susah payah.
Fondasi apa yang tersisa? bisik suara lain yang lebih kejam. Fondasi yang sudah retak?
Pertarungan itu berlangsung entah berapa lama. Setiap detak jam dinding di dapur terasa seperti palu godam yang menghantam kepalaku, menghitung mundur menuju kehancuran yang tak terhindarkan. Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi, tercekik oleh keraguan, tersiksa oleh senyumnya yang hampa. Aku butuh tahu. Aku harus tahu, meskipun kebenaran itu akan menghancurkan sisa-sisa duniaku.
Dengan tangan yang terasa berat seperti timah, aku meraih ponsel itu. Dinginnya kaca terasa menjalar hingga ke tulangku. Aku menekan tombol samping, dan layarnya menyala, meminta kata sandi.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku mencoba tanggal ulang tahunnya. Gagal. Aku mencoba tanggal pernikahan kami. Gagal. Jantungku berdebar semakin kencang, setiap kegagalan terasa seperti sebuah penolakan. Aku merasa bodoh, terasing dari dunianya yang paling pribadi.
Lalu aku teringat sesuatu. Beberapa hari yang lalu, ia menyebut sebuah tanggal dengan antusias, "deadline proyek donasi" katanya. Sebuah tanggal yang tidak berarti apa-apa bagiku. Dengan jari yang gemetar, aku memasukkan kombinasi angka itu.
Ponsel itu terbuka.
Perutku terasa melilit. Untuk sesaat, aku hanya menatap deretan ikon aplikasi di layar, berharap tidak menemukan apa-apa, berharap kecurigaanku salah. Tapi mataku langsung tertuju pada ikon aplikasi pesan berwarna hijau. Aku membukanya.
Duniaku berhenti berputar.
Daftar percakapan itu muncul, dan sebuah nama di bagian paling atas seolah melompat dari layar dan meninjuku tepat di ulu hati. Adrian.
Tanganku bergerak sendiri, membuka percakapan itu. Waktu seolah melambat dan sekaligus melesat dengan kecepatan cahaya. Kata-kata di layar itu kabur, terfragmentasi, setiap kalimat adalah serpihan beling yang merobek hatiku.
“Aku nggak bisa berhenti mikirin obrolan kita tadi. Kamu benar-benar membuka mataku.”
“Andai aku ketemu kamu lebih dulu, Dif. Pasti ceritanya beda.”
“Dia pria yang baik, tapi dia nggak pantas buat kamu. Kamu itu elang, jangan mau dikurung di sangkar emas sekecil itu.”
Napas ku tercekat. Aku terus menggulir ke atas, mataku melahap setiap kata pengkhianatan itu dengan rakus dan ngeri. Aku melihat balasan-balasan dari Difrina. Emoji senyum, tawa kecil, dan kalimat-kalimat yang menunjukkan kerinduan yang tersembunyi.
Lalu aku melihatnya. Sebuah foto. Foto yang dikirim Adrian beberapa hari yang lalu. Foto mereka berdua di kafe itu. Difrina tertawa lepas, kepalanya sedikit miring ke belakang, matanya berbinar dengan kebahagiaan murni. Tawa yang sudah berbulan-bulan tidak pernah kulihat lagi di rumah ini. Di bawah foto itu, ada balasan dari Difrina yang menghancurkanku berkeping-keping.
“Ini hari terbaikku dalam waktu yang sangat lama. Terima kasih.”
Ponsel itu terlepas dari genggamanku yang lemas, jatuh ke atas karpet tebal tanpa suara. Suara hujan di luar dan detak jam di dinding mendadak menjadi satu-satunya suara di dunia. Ruangan ini, rumah ini, surga yang kubangun dengan cinta dan pengabdian, terasa seperti runtuh menimpaku.
Tidak ada teriakan. Tidak ada amarah yang meledak. Yang ada hanyalah kekosongan. Sebuah lubang hitam yang dingin dan melumpuhkan menganga di dadaku, menelan semua kehangatan, semua harapan, semua cinta.
Aku menatap dinding kayu di hadapanku, dinding yang dulu kusentuh dengan penuh kebanggaan. Kini, urat-urat kayunya tampak seperti retakan-retakan yang menjalar, cerminan dari hatiku yang telah hancur. Surga kecilku ternyata hanyalah sebuah ilusi. Dan aku, sang pengabdi yang buta, baru saja dipaksa untuk membuka mata.
Bab 7: Pagi yang Berbeda
Aku terbangun dengan perasaan ringan yang aneh, seolah sisa-sisa percakapan menyenangkan dengan Adrian semalam terbawa hingga ke dalam mimpi. Badai telah berlalu, menyisakan udara pagi yang bersih dan sejuk. Dari celah tirai, cahaya matahari masuk dengan malu-malu, melukis garis-garis keemasan di atas lantai kayu. Aku meregangkan tubuh, sebuah senyum kecil tersungging di bibirku tanpa kusadari.
Namun, perasaan ringan itu menguap begitu aku melangkah keluar dari kamar.
Rendra sudah di dapur. Itu bukan hal yang aneh. Yang aneh adalah keheningan yang menyelimutinya. Biasanya, saat ini aku akan disambut oleh aroma kopi yang pekat dan suara siulan kecilnya yang sumbang namun menenangkan. Pagi ini, hanya ada suara denting pelan saat ia meletakkan cangkir di atas meja. Tidak ada siulan. Tidak ada sapaan hangat.
Ia berdiri membelakangiku, bahunya terlihat kaku.
"Pagi, Mas," sapaku, berusaha terdengar seceria mungkin untuk memecah kebekuan.
Ia menoleh sekilas, sangat sekilas, sebelum kembali fokus pada mesin pembuat kopi. "Pagi."
Hanya itu. Satu kata yang terasa dingin dan kosong. Jantungku sedikit berdesir tak nyaman. Mungkin dia kurang tidur karena badai semalam. Atau mungkin ada masalah pekerjaan yang mengganggunya.
Aku mendekat, berniat memeluknya dari belakang seperti biasa. "Kopinya wangi," kataku, mencoba lagi.
Ia meletakkan dua cangkir di atas meja makan, lalu berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun, seolah aku adalah udara. Ia duduk di kursinya, menatap ke luar jendela, ke arah taman yang basah oleh sisa hujan.
Aku termangu sejenak, bingung. Ini bukan Rendra yang kukenal. Aku duduk di hadapannya, mencoba mencari petunjuk dari wajahnya. Wajah itu tampak lelah, ada lingkaran hitam samar di bawah matanya. Tapi yang paling menggangguku adalah tatapannya yang kosong.
"Mas Rendra sakit?" tanyaku, nadaku kini dipenuhi kekhawatiran yang tulus.
"Tidak," jawabnya singkat, tanpa menoleh.
Aku menyesap kopiku. Rasanya sedikit lebih pahit dari biasanya, atau mungkin hanya perasaanku saja. Keheningan di antara kami terasa begitu tebal, begitu memekakkan. Aku benci ini. Aku mencoba mengisi kekosongan itu dengan celotehan.
"Hujannya deras banget ya semalam. Aku sampai kaget dengar suara gunturnya," kataku.
"Ya."
Aku menarik napas, mencoba lagi. "Mawar di taman pasti senang dapat banyak air. Kelihatannya makin segar pagi ini."
Tidak ada jawaban. Ia hanya terus menatap ke luar jendela, seolah pemandangan tetesan air yang jatuh dari daun lebih menarik daripada istrinya sendiri.
Rasa jengkel mulai merayap di hatiku. Apa salahku? Kenapa dia tiba-tiba bersikap seperti ini? Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya mencoba memulai pagi dengan normal. Perasaan bersalahku karena mengobrol dengan Adrian semalam perlahan tergantikan oleh pembenaran diri. Lihat? Dia yang aneh. Dia yang memulai.
Aku mencoba satu kali lagi, kali ini dengan sentuhan. Aku mengulurkan tangan ke seberang meja, berniat menyentuh lengannya, memberinya sedikit kehangatan, menunjukkan bahwa aku ada di sini untuknya.
"Mas..."
Saat ujung jariku hampir menyentuh kulitnya, ia menarik lengannya. Gerakan itu cepat, nyaris tak terlihat, sebuah refleks yang lahir dari penolakan murni.
Aku membeku. Tanganku menggantung canggung di udara sebelum akhirnya kuturunkan kembali ke pangkuanku. Jantungku terasa seperti jatuh ke perut. Selama kami bersama, Rendra tidak pernah sekalipun menolak sentuhanku. Tidak pernah.
Mataku memanas. Aku merasa ditolak, diasingkan di mejaku sendiri. Kebingunganku kini bercampur dengan rasa sakit yang tajam.
"Aku... ada salah ngomong?" tanyaku, suaraku bergetar.
Akhirnya, ia menoleh padaku. Untuk pertama kalinya pagi itu, matanya menatap mataku. Dan apa yang kulihat di sana membuatku ngeri. Bukan kemarahan. Bukan kekecewaan. Melainkan sesuatu yang lebih buruk: kekosongan. Seolah api yang biasanya menyala hangat di matanya telah padam, meninggalkan abu yang dingin.
Ia menggeleng pelan. "Tidak ada," katanya, suaranya datar, tanpa emosi. Lalu ia bangkit dari kursinya. "Aku mau ke halaman belakang."
Ia meninggalkanku sendirian di meja makan, dengan dua cangkir kopi yang mulai mendingin dan keheningan yang kini terasa seperti sebuah tuduhan. Aku menatap punggungnya yang menjauh, punggung yang sama yang selalu terasa seperti tempat berlindung yang aman, kini terasa seperti dinding benteng yang tak bisa kutembus.
Aku menunduk, menatap tanganku sendiri. Penolakan itu masih terasa, seperti sengatan hantu di ujung jariku. Aku tidak mengerti. Aku benar-benar tidak mengerti.
Ponselku bergetar di saku dasterku. Sebuah pesan masuk. Dari Adrian.
“Selamat pagi, elang. Sudah siap terbang hari ini?”
Aku membaca pesan itu, dan tanpa sadar, sebuah senyum tipis terukir di bibirku. Di tengah pagi yang dingin dan membingungkan ini, pesan itu terasa seperti seberkas kehangatan. Setidaknya, ada seseorang di luar sana yang melihatku.
Bab 8: Dinding yang Runtuh
Makan malam kami lewati dalam keheningan yang menyesakkan. Suara denting sendok dan garpu di atas piring terdengar seperti gema di sebuah ruangan kosong, bukan di rumah yang seharusnya penuh kehangatan. Difrina mencoba beberapa kali untuk memulai percakapan—tentang cuaca, tentang tetangga—tetapi setiap usahanya mati di hadapan jawabanku yang hanya satu kata.
Setelah makan, ia menyerah. Ia duduk di sofa, menyalakan televisi tanpa benar-benar menontonnya. Aku membereskan meja makan dengan gerakan yang kaku dan terukur, setiap gerakanku terasa berat, seolah udara di sekelilingku telah berubah menjadi air.
Aku meletakkan ponselnya di atas meja kopi, tepat di antara kami. Benda itu tergeletak di sana, layarnya yang gelap memantulkan cahaya lampu yang temaram. Sebuah bom waktu. Sebuah peti mati kecil yang menyimpan kematian pernikahan kami.
Ia melirik ponsel itu, lalu melirikku. Ada kebingungan di matanya, bercampur dengan sedikit rasa jengkel yang tak terucapkan.
"Kamu kenapa sih, Mas?" akhirnya ia bertanya, memecah keheningan yang menyiksa. "Aneh banget dari pagi. Kalau ada masalah, cerita."
Aku tidak langsung menjawab. Aku berjalan ke arahnya, menarik sebuah kursi kayu dari meja makan dan duduk tepat di hadapannya. Aku ingin menatap matanya saat aku menghancurkan dunia kami.
"Aku baik-baik saja," kataku, suaraku terdengar asing di telingaku sendiri. Tenang, dingin, dan tanpa emosi. "Aku hanya ingin bertanya sesuatu."
"Tanya apa?"
Aku menunjuk ponsel di atas meja dengan daguku. "Siapa Adrian?"
Aku melihatnya. Perubahan itu terjadi begitu cepat, seperti kilat yang menyambar. Kebingungan di matanya lenyap, digantikan oleh kepanikan murni yang tak bisa ia sembunyikan. Wajahnya yang tadi merona sehat kini menjadi pucat pasi. Bibirnya sedikit terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar.
"Aku tanya, siapa Adrian?" ulangku, setiap kata terasa seperti batu yang kuletakkan di atas pundaknya.
"Dia... dia cuma teman lama, Mas," jawabnya, suaranya nyaris berbisik. Matanya bergerak gelisah, tidak berani menatapku.
Aku tersenyum. Senyum yang tidak terasa seperti senyum. Rasanya lebih seperti seringai seekor binatang yang terluka. "Teman lama?" Aku mengulurkan tangan, mengambil ponsel itu. Dengan gerakan yang disengaja dan lambat, aku membuka kuncinya—dengan tanggal "proyek donasi" palsunya—dan membuka aplikasi pesan. Aku meletakkan ponsel itu kembali di meja, dengan layar menyala, menampilkan percakapan mereka.
Ia tersentak seolah tersengat listrik. Matanya terpaku pada layar, pada kata-kata pengkhianatan yang kini terpampang nyata di bawah cahaya lampu.
"Itu... itu nggak seperti yang kamu pikirkan!" katanya, suaranya kini bergetar, dipenuhi penyangkalan yang lemah.
"Oh, ya?" balasku, masih dengan ketenangan yang mengerikan. "Lalu seperti apa yang harus kupikirkan, Difrina? Saat seorang teman berkata, ‘Andai aku ketemu kamu lebih dulu’? Atau saat ia berkata, ‘Kamu itu elang, jangan mau dikurung di sangkar emas sekecil itu’?" Aku mengutip kata-kata itu dengan presisi yang tajam, setiap suku katanya adalah belati yang menusuknya.
Ia menatapku, matanya membelalak ngeri. Ia tahu aku telah membaca semuanya.
"Dan balasanmu," lanjutku, suaraku mulai bergetar oleh kemarahan yang kutahan. "Balasanmu, ‘Ini hari terbaikku dalam waktu yang sangat lama’. Hari terbaikmu, Difrina? Saat kamu minum kopi dengan pria lain? Bukan saat aku membangun rumah ini untukmu? Bukan saat aku membawakanmu kopi setiap pagi? Bukan di hari pernikahan kita?"
Penyangkalannya runtuh. Wajahnya yang pucat kini memerah karena campuran rasa malu dan amarah. Ketakutannya berubah menjadi pertahanan diri.
"Aku kesepian!" teriaknya, suaranya pecah. "Kamu pikir aku bahagia di sini? Terkurung di rumah ini setiap hari, melakukan hal yang sama berulang-ulang!"
"Terkurung?" Aku tertawa, tawa yang terdengar serak dan penuh luka. "Aku memberimu surga, dan kamu menyebutnya kurungan?"
"Ini surgamu, Rendra! Bukan surgaku!" pekiknya, kini ia berdiri, menatapku dengan mata yang menyala-nyala. "Surgamu adalah dinding kayu dan taman kecil ini! Duniaku di luar sana! Kamu tidak pernah benar-benar mengerti aku! Kamu hanya memberiku rumah, tapi kamu tidak pernah memberiku dunia!"
Kata-katanya menghantamku, meremukkan sisa-sisa hatiku. Jadi ini salahku. Pengabdianku, cintaku, semua usahaku untuk membuatnya bahagia, ternyata adalah sebuah kesalahan di matanya.
"Dunia yang seperti apa yang kamu mau?" tanyaku, suaraku kini hanya bisikan kosong. "Dunia yang ada di genggaman pria itu?"
"Setidaknya dia melihatku!" balasnya sengit. "Dia melihat potensiku! Dia tidak hanya melihatku sebagai istri yang tugasnya membuat kue dan menyiram mawar!"
Cukup. Aku sudah mendengar cukup. Api di mataku yang tadi padam kini menyala kembali, bukan dengan kehangatan, melainkan dengan amarah yang membakar segalanya hingga menjadi abu.
Aku bangkit, berdiri menjulang di hadapannya. Untuk pertama kalinya, aku tidak melihatnya sebagai wanita yang kucintai, melainkan sebagai orang asing yang telah menghancurkan hidupku.
"Kalau begitu, pergilah," kataku, suaraku kembali datar, final. "Pergilah ke duniamu. Cari panggung besarmu. Jangan pernah kembali ke sangkar kecil ini lagi."
Ia terdiam, terkejut oleh finalitas dalam suaraku. Mungkin ia mengharapkan aku memohon, menangis, atau marah besar. Tapi ia tidak mendapatkan apa-apa selain kekosongan.
Malam itu, dinding surga kami benar-benar runtuh. Dan di antara puing-puingnya, kami berdiri sebagai dua orang asing, dipisahkan oleh jurang pengkhianatan yang tak akan pernah bisa dijembatani lagi.
Bab 9: Pintu yang Tertutup
Kata-kata terakhirnya—“Jangan pernah kembali ke sangkar kecil ini lagi”—terngiang di telingaku, lebih keras dari guntur yang masih sesekali bergemuruh di luar. Kakiku terasa lemas, tetapi amarah dan harga diri yang terluka menjadi penopang yang lebih kokoh daripada tulang mana pun.
Aku berbalik, berjalan menuju kamar tidur kami—kamarku—dengan langkah yang kuusahakan mantap. Pintu kubanting di belakangku, suara debamnya terasa memuaskan, sebuah pernyataan perang yang sunyi. Syok. Jantungku berdebar begitu kencang hingga terasa sakit, tetapi tidak ada air mata. Belum. Saat ini, yang ada hanyalah badai amarah yang membakar habis semua rasa bersalah dan ketakutan.
Sangkar. Dia menyebut rumah ini sangkar. Setelah semua yang kulakukan untuk membuatnya terasa seperti rumah?
Aku menarik koper dari atas lemari dengan kasar, melemparkannya ke atas ranjang yang seprainya masih beraroma tubuh kami berdua. Aroma yang kini terasa memuakkan. Aku membuka lemari dengan sentakan. Mataku memindai deretan pakaian di dalamnya, memisahkan hidupku menjadi dua bagian: sebelum dan sesudah Rendra.
Daster-daster katun sederhana yang ia belikan di pasar. Kulewati. Kemeja kebesaran miliknya yang sering kupakai tidur. Kulewati. Gaun bunga-bunga yang ia puji selangit saat kami merayakan ulang tahun pernikahan. Aku menariknya dari gantungan, meremasnya di tanganku, lalu melemparkannya ke sudut ruangan.
Tanganku bergerak cepat, nyaris panik. Aku hanya mengambil blus-blus terbaikku, celana bahan yang kubeli dengan sisa uang jajanku dulu, gaun satu-satunya yang kumiliki sebelum bertemu dengannya. Benda-benda yang menjadi milikku, sepenuhnya milikku. Suara ritsleting koper yang kututup terdengar seperti jeritan di tengah keheningan.
Di atas nakas, sebuah kotak kayu kecil tergeletak. Hadiah ulang tahun pertama darinya. Sebuah kalung perak sederhana dengan liontin berbentuk daun. Dulu, aku memakainya setiap hari. Kini, benda itu terasa seperti belenggu. Aku membukanya, menatap kilau dinginnya sejenak, lalu menutupnya kembali dan meninggalkannya di sana. Aku tidak akan membawa apa pun yang bisa mengingatkanku pada sangkar ini.
Setiap kali secuil rasa bersalah mencoba merayap masuk—bayangan wajahnya yang tulus saat memasak untukku, sentuhannya yang hangat saat aku sakit—aku segera menepisnya dengan mengingat ekspresinya barusan. Dingin, kosong, menghakimi. Ia yang mengusirku. Ia yang tidak pernah benar-benar mengerti aku. Pembenaran diri itu menjadi perisai yang kubangun di sekeliling hatiku yang gemetar.
Aku harus pergi. Sekarang juga.
Aku meraih ponselku, benda yang menjadi awal dari semua ini. Tanganku sedikit gemetar saat mencari sebuah nama di daftar kontak. Aku menekan tombol panggil, menempelkan ponsel ke telinga yang terasa berdengung.
Satu nada sambung. Dua. Tiga. Angkat, kumohon, angkat.
"Halo?" Suara Adrian di seberang sana terdengar hangat dan sedikit terkejut.
"Adrian?" suaraku pecah, lebih rapuh dari yang kuinginkan. Aku berdeham, mencoba menguatkan diri. "Ini aku, Difrina."
"Dif? Kamu nggak apa-apa? Suaramu..."
"Bisa... bisa jemput aku?" tanyaku, kata-kata itu keluar dalam satu embusan napas yang tergesa-gesa. Aku memejamkan mata, membakar jembatan terakhir di belakangku.
Hening sejenak di seberang sana, hanya terdengar suara napasnya. Lalu, dengan nada yang tenang dan penuh kepastian, ia berkata, "Di mana kamu? Aku akan menjemputmu. Semuanya akan baik-baik saja sekarang."
Semuanya akan baik-baik saja sekarang. Kalimat itu adalah pelampung yang kurengkuh di tengah lautan badai. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya jatuh, bukan karena kesedihan, melainkan karena kelegaan yang luar biasa. Aku memberinya alamat rumah ini, rumah yang sebentar lagi akan menjadi masa laluku.
Setelah menutup telepon, aku menarik napas dalam-dalam. Aku menyeret koperku keluar dari kamar.
Rendra masih di sana. Ia tidak lagi duduk, melainkan berdiri di dekat jendela, membelakangiku, menatap ke arah hujan yang mulai mereda. Punggungnya yang biasanya terlihat kokoh dan melindungiku, kini tampak seperti siluet seorang pria yang kalah. Tapi aku tidak merasakan iba. Yang kurasakan hanyalah dorongan kuat untuk segera pergi dari hadapannya.
Aku berjalan melewatinya. Lantai kayu tidak berderit di bawah langkahku. Kami berada dalam keheningan yang absolut. Aku berharap ia akan mengatakan sesuatu—memohon, marah, apa pun. Tapi ia tidak melakukannya. Ia hanya diam, seolah aku sudah tidak ada lagi di dunianya.
Saat tanganku menyentuh gagang pintu depan yang dingin, aku berhenti. Aku menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya. Ia masih di sana, tidak bergerak. Cahaya lampu ruang tengah menyoroti separuh wajahnya, dan untuk sesaat, aku melihat kilau basah di matanya. Atau mungkin itu hanya pantulan cahaya. Aku tidak tahu. Dan aku memilih untuk tidak peduli.
Aku membuka pintu. Udara malam yang basah dan dingin menerpa wajahku, terasa seperti sebuah sambutan ke dunia baru, ke kebebasanku.
Aku melangkah keluar, menutup pintu di belakangku tanpa menoleh lagi. Suara klik pelan saat pintu itu terkunci terdengar seperti titik di akhir sebuah kalimat. Babak kehidupanku di rumah ini telah selesai.
Bab 10: Rumah yang Kosong
Suara klik dari pintu depan yang tertutup terdengar begitu final, begitu absolut. Bunyinya menggema di ruang tengah yang tiba-tiba terasa terlalu luas, terlalu sunyi. Aku masih berdiri di dekat jendela, tidak bergerak, menatap ke arah hujan yang kini hanya menyisakan gerimis tipis. Punggungku masih terasa hangat di tempat ia terakhir kali melihatku, tetapi seluruh sisa tubuhku terasa membeku.
Ia sudah pergi.
Kalimat itu berputar di kepalaku, tetapi otakku menolak untuk memprosesnya. Aku berdiri di sana entah berapa lama. Sepuluh menit? Satu jam? Waktu seolah kehilangan maknanya. Suara tetesan air dari talang di luar menjadi satu-satunya penanda berjalannya detik, setiap tetesnya terasa seperti palu kecil yang memaku peti mati kebahagiaanku.
Akhirnya, dengan gerakan yang terasa seperti milik orang lain, aku berbalik. Rumah ini terasa asing. Setiap benda di dalamnya—sofa tempat kami biasa duduk, meja kopi tempat ponselnya tergeletak—semuanya tampak sama, tetapi jiwanya telah pergi. Rumah ini hanyalah cangkang kosong. Sebuah museum dari kehidupan yang baru saja berakhir.
Kakiku bergerak sendiri, membawaku menuju kamar tidur kami. Pintu yang tadi ia banting kini sedikit terbuka. Aku mendorongnya pelan. Aroma parfumnya yang lembut—wangi melati dan vanila—masih tertinggal di udara, samar namun menusuk. Aroma itu terasa seperti hantu, sebuah pengingat kejam dari apa yang baru saja hilang.
Mataku langsung tertuju pada sudut ruangan. Gaun bunga-bunga itu tergeletak di sana, kusut dan tak berbentuk, seperti bangkai kenangan yang indah. Aku ingat hari saat aku memberikannya. Matanya yang berbinar, tawanya yang renyah saat ia berputar-putar di depanku. Kenangan itu kini terasa seperti belati yang memilin isi perutku.
Aku berjalan mendekati ranjang. Sisi tempatnya biasa tidur terlihat dingin dan rapi. Terlalu rapi. Seolah ia tidak pernah ada di sana. Aku duduk di tepiannya, merasakan dinginnya seprai di bawah telapak tanganku. Mataku tertuju pada nakas di sisinya.
Kotak kayu kecil itu ada di sana. Dengan tangan gemetar, aku membukanya. Kalung perak dengan liontin daun itu berkilau dingin di bawah cahaya lampu. Ia meninggalkannya. Ia tidak hanya meninggalkan pakaian atau hadiah, ia meninggalkan simbol dari awal mula kami. Sebuah pernyataan bahwa semua yang pernah kami miliki tidak lagi berarti apa-apa baginya.
Rasa sakit yang sejak tadi kutahan akhirnya meledak. Bukan dalam bentuk teriakan atau amarah. Melainkan dalam bentuk kehampaan yang begitu pekat hingga aku sulit bernapas. Dadaku terasa seperti diremukkan oleh beban yang tak terlihat. Aku merebahkan diri di sisinya yang kosong, memeluk bantalnya, mencoba mencari sisa-sisa aroma tubuhnya, sisa-sisa kehadirannya. Tapi yang kutemukan hanyalah wangi deterjen yang netral dan dinginnya kain.
Aku tidak tahu di mana letak kesalahanku.
Pikiran itu terus berulang. Apakah cintaku terlalu mengekang? Apakah pengabdianku terasa seperti beban? Aku memutar kembali setiap percakapan, setiap tatapan, setiap keheningan di antara kami beberapa minggu terakhir. Aku mencoba mencari petunjuk, sebuah tanda yang kulewatkan. Tapi yang kutemukan hanyalah kebutaanku sendiri. Aku terlalu sibuk membangun surga versiku, hingga aku tidak sadar bahwa ia sedang merencanakan pelariannya.
Aku gagal. Sebagai seorang suami. Sebagai seorang pria. Aku telah gagal menjaganya, gagal membuatnya bahagia.
Aku tidak tahu berapa lama aku terbaring di sana, tenggelam dalam lautan penyesalan. Ponselku di saku bergetar, menampilkan nama Ibu di layar. Aku mengabaikannya. Bagaimana aku bisa menjelaskan padanya bahwa wanita yang ia sayangi seperti putrinya sendiri telah meninggalkanku? Bagaimana aku bisa mengucapkan kata-kata itu tanpa ikut hancur? Aku menolak panggilan itu, mematikan ponselku, dan memutus satu-satunya hubunganku dengan dunia luar.
Pagi datang tanpa kusadari. Aku tidak tidur semalam. Cahaya abu-abu yang masuk melalui jendela terasa menusuk mata. Rumah ini terasa lebih dingin, lebih kosong di pagi hari. Aku bangkit, berjalan seperti zombi menuju dapur.
Tanganku bergerak secara otomatis, sebuah rutinitas yang telah terpatri selama bertahun-tahun. Aku mengambil bubuk kopi, gula, dan dua cangkir keramik dari rak. Aku menyeduh kopi, menuangkannya ke dalam dua cangkir. Satu dengan sedikit gula, satu lagi dengan lebih banyak susu.
Aku meletakkan kedua cangkir itu di atas meja makan.
Dan saat itulah aku melihatnya. Kursi di seberangku. Kosong.
Kenyataan menghantamku dengan kekuatan penuh, tanpa ampun. Ia tidak akan duduk di sana. Ia tidak akan tersenyum padaku dari balik cangkir kopinya. Ia tidak akan mengeluh jika kopiku terlalu pahit. Ia tidak ada di sini.
Ia tidak akan pernah kembali.
Cangkir di tanganku gemetar. Aku menatap cangkir kedua, cangkir untuknya, uap panasnya yang mengepul seolah mengejekku. Dengan gerakan lambat, aku mengangkat cangkir itu, berjalan ke wastafel, dan menuangkan isinya. Suara cairan kopi yang terbuang ke saluran pembuangan adalah satu-satunya suara di rumah yang kosong ini. Suara dari surgaku yang sedang terkuras habis.
Bab 11: Sangkar Emas
Kebebasan beraroma seperti parfum mahal yang disemprotkan ke udara—wangi, memabukkan, tetapi tidak benar-benar nyata. Aku berdiri di depan jendela kaca yang membentang dari lantai hingga langit-langit di apartemen Adrian. Di bawah sana, Jakarta terhampar seperti permadani permata yang berkelip-kelip, lautan cahaya yang tak berujung. Ini adalah pemandangan yang selama ini hanya bisa kulihat di film atau di unggahan media sosial orang lain. Pemandangan dari puncak dunia.
"Bagaimana? Suka?" Suara Adrian terdengar dari belakangku, lembut dan penuh percaya diri.
Aku berbalik. Ia berdiri di ambang pintu kamar, tersenyum menawan sambil memegang sebuah kotak pipih berlogo merek ternama. "Ini lebih dari sekadar suka, Adrian. Ini... seperti mimpi."
"Mimpi ini sekarang milikmu," katanya, berjalan mendekat. Ia membuka kotak itu, memperlihatkan sehelai gaun sutra berwarna zamrud yang berkilau di bawah cahaya lampu. Kainnya terlihat begitu ringan, begitu lembut. "Coba pakai. Ada pesta yang harus kita datangi malam ini."
Aku menyentuh kain itu dengan ujung jariku. Dingin dan licin, sangat berbeda dari katun sederhana yang biasa membungkus tubuhku. Di rumah Rendra, pakaian adalah tentang kenyamanan. Di sini, pakaian adalah tentang pernyataan. Sebuah deklarasi status.
Satu jam kemudian, aku menatap pantulan diriku di cermin besar di dalam walk-in closet Adrian. Wanita di cermin itu adalah orang asing. Gaun zamrud itu memeluk tubuhku dengan sempurna, punggungnya yang terbuka terasa berani di kulitku. Rambutku ditata dengan riasan yang membuat mataku terlihat lebih tajam. Aku terlihat... mahal. Aku terlihat seperti wanita yang pantas berdiri di samping Adrian.
Aku mengambil ponselku, membuka kamera depan. Aku tersenyum, senyum yang kupelajari dari para selebgram—sedikit miring, mata menyipit, memancarkan kepercayaan diri yang kupinjam. Aku mengambil beberapa foto, memilih yang terbaik, lalu mengunggahnya dengan keterangan: “Malam baru saja dimulai.” Notifikasi suka langsung berdatangan, membanjiri layarku seperti hujan validasi yang menenangkan.
Inilah hidup. Aku meyakinkan diriku sendiri. Inilah kebahagiaan yang selama ini kurindukan.
Adrian masuk, sudah rapi dengan setelan jas tanpa dasi. Ia menatapku dari atas sampai bawah, matanya menyiratkan kekaguman seorang kolektor yang baru saja mendapatkan barang langka.
"Sempurna," katanya. "Gaun itu terlihat luar biasa padamu. Investasi yang bagus."
Investasi. Kata itu sedikit menggangguku, tetapi aku segera menepisnya. Tentu saja ini investasi. Penampilan adalah segalanya di dunianya. Aku adalah bagian dari citranya sekarang.
"Terima kasih," jawabku, mencoba terdengar anggun, seolah aku terlahir untuk ini.
Kami duduk di bar mini di sudut ruang tengahnya yang luas, menikmati segelas anggur sebelum berangkat. Alunan musik lounge yang samar mengalun dari pengeras suara tersembunyi. Denting es batu di gelas kristal kami adalah satu-satunya suara lain di ruangan yang didominasi oleh warna abu-abu, hitam, dan kilau krom ini. Semuanya begitu bersih, begitu tertata, begitu... dingin. Tidak ada tumpukan buku di sudut ruangan, tidak ada sketsa arsitektur Rendra yang berceceran di meja, tidak ada jejak kehidupan yang hangat dan sedikit berantakan.
"Nanti di pesta, aku akan kenalkan kamu dengan beberapa klien penting," kata Adrian, mengaduk minumannya. "Cukup tersenyum dan jadi dirimu yang menawan seperti biasa. Mereka akan suka padamu."
Aku mengangguk, merasa seperti sedang diberi pengarahan untuk sebuah peran. Peran sebagai pendamping yang cantik. Bukan sebagai Difrina, tapi sebagai aksesori Adrian.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ia melirik layarnya, dan senyum di wajahnya lenyap, digantikan oleh ekspresi bisnis yang tajam. "Sebentar, ya," katanya padaku, lalu mengangkat telepon itu.
"Tidak, aku tidak mau dengar alasan," suaranya berubah, menjadi dingin dan tegas. "Aku bayar kamu bukan untuk dapat hasil yang biasa-biasa saja. Selesaikan malam ini juga, atau cari pekerjaan lain."
Aku memalingkan wajah, menatap kembali ke arah lautan cahaya di luar jendela, merasa seperti penyusup yang tidak sengaja mendengar percakapan rahasia. Kehangatan semu di antara kami menguap seketika. Aku menyadari betapa sedikitnya aku tahu tentang pria ini, tentang dunia di mana orang bisa "diselesaikan" semudah itu.
Ia menutup telepon dengan sentakan kasar, lalu menoleh padaku, senyumnya kembali terpasang seolah tidak terjadi apa-apa. "Maaf, Sayang. Bisnis."
"Nggak apa-apa," jawabku, suaraku terdengar kecil.
Ia meraih tanganku, tetapi perhatiannya sudah tidak lagi sepenuhnya padaku. Matanya melirik jam tangan mahalnya. "Sebaiknya kita berangkat sekarang."
Pesta itu persis seperti yang kubayangkan. Dipenuhi orang-orang berpenampilan sempurna, tawa yang terdengar terlalu keras, dan percakapan tentang saham, properti, dan perjalanan ke Eropa. Adrian menggandengku dengan erat, memperkenalkanku ke sana kemari sebagai "Difrina, partnerku." Aku tersenyum, berjabat tangan, dan mengucapkan kalimat-kalimat basa-basi yang terasa asing di mulutku. Aku merasa seperti sedang berakting dalam sebuah drama yang naskahnya tidak pernah kubaca. Aku mengamati para wanita lain, cara mereka tertawa, cara mereka memegang gelas, mencoba meniru gerakan mereka agar tidak terlihat salah tempat.
Di tengah keramaian, saat Adrian sedang asyik berbicara dengan seorang pria tua berjas, aku merasa sedikit kedinginan. Pendingin ruangan di gedung ini terasa menusuk kulitku yang terbuka. Secara refleks, aku memeluk lenganku sendiri, dan sebuah ingatan melintas di benakku tanpa diundang. Ingatan tentang Rendra yang akan langsung menyadari saat aku kedinginan, yang akan segera melepaskan jaketnya yang usang dan menyampirkannya di bahuku, membawa serta aroma kayu dan keringat yang menenangkan. Aroma yang nyata.
Aku menggelengkan kepala pelan, mencoba mengusir bayangan itu. Jangan pikirkan itu. Itu masa lalu. Masa lalu yang sederhana dan membosankan.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Adrian, menyadari aku sedikit melamun. Perhatiannya kembali padaku.
"Iya, baik-baik saja. Cuma sedikit dingin," jawabku.
"Oh," katanya, lalu ia melambai pada seorang pelayan. "Tolong bawakan segelas sampanye lagi untuk nona ini." Ia tidak menawarkan jaketnya. Tentu saja tidak. Itu akan merusak penampilannya yang sempurna. Di dunia ini, kehangatan datang dalam bentuk alkohol, bukan dari jaket usang seorang suami.
Malam itu, saat kami kembali ke apartemen, aku merasa lelah hingga ke tulang. Bukan lelah fisik, melainkan lelah jiwa. Adrian langsung masuk ke ruang kerjanya, mengatakan ada beberapa email penting yang harus ia balas. Ia mengecup pipiku sekilas, kecupan yang terasa seperti formalitas.
Aku sendirian lagi. Di tengah kemewahan yang memekakkan.
Aku melepaskan sepatu hak tinggiku yang menyiksa, berjalan tanpa suara di atas lantai marmer yang dingin. Aku kembali berdiri di depan jendela kaca raksasa itu. Kota di bawah sana masih berpesta, cahayanya masih berkelip dengan janji-janji yang memabukkan. Janji-janji yang kini terasa sedikit hampa.
Aku meraih ponselku, membuka galeri. Aku menatap fotoku dengan gaun zamrud itu. Wanita di foto itu tersenyum lebar, matanya berbinar, tampak begitu bahagia. Aku menatap pantulan wajahku di kaca jendela. Wanita di sana tampak pucat, matanya kosong, dan tidak ada senyum sama sekali. Dua orang yang berbeda, hidup di dunia yang sama.
Inilah yang kuinginkan. Aku terus mengulanginya. Inilah duniaku yang baru. Sebuah sangkar emas yang indah, dengan pemandangan paling menakjubkan di dunia. Tapi dari ketinggian ini, aku baru sadar, aku belum pernah merasa sekecil dan sesepi ini.
Bab 12: Gema di Ruang Hampa
Waktu berhenti di rumah ini. Aku tidak yakin sudah berapa hari berlalu sejak pintu itu tertutup. Tiga? Lima? Seminggu? Hari-hari melebur menjadi satu siklus abu-abu yang monoton: tidur, terjaga, menatap dinding, lalu kembali tidur. Rumah yang dulu kubangun dengan cinta, kini menjadi makamku sendiri, dan aku adalah hantu yang menghuninya.
Lapisan debu tipis mulai menyelimuti perabotan kayu yang dulu selalu kukilapkan setiap akhir pekan. Permukaannya yang dulu hangat kini terasa dingin di bawah sentuhan jariku yang ragu. Di wastafel, piring-piring kotor bekas makan malam terakhir kami menumpuk, sisa makanan di atasnya mulai mengering dan berbau asam, sebuah monumen kecil dari peradaban kami yang runtuh. Aku tidak peduli. Rasa lapar sudah lama menjadi sensasi asing, digantikan oleh kekosongan yang menggerogoti dari dalam.
Dari sofa tempatku menghabiskan sebagian besar waktuku, aku bisa melihat taman kecil kami melalui jendela. Rumput liar mulai tumbuh di antara mawar-mawar yang dulu dirawat Difrina dengan penuh kasih sayang. Beberapa kelopaknya telah layu, warnanya memudar menjadi cokelat yang rapuh, kepalanya menunduk seolah ikut berduka. Taman itu adalah cerminan hatiku: terbengkalai dan sekarat. Setiap kelopak yang jatuh terasa seperti serpihan lain dari diriku yang terlepas.
Aku berhenti bekerja. Telepon dari kantor berhenti berdering beberapa hari yang lalu. Mungkin mereka sudah menyerah, menganggapku hilang ditelan bumi. Ponselku mati, dayanya habis, dan aku tidak punya keinginan sedikit pun untuk mengisinya. Dunia di luar sana tidak lagi penting. Duniaku telah pergi malam itu.
Sesekali, dalam momen kelemahan yang menyiksa, aku akan mengambil laptopku, satu-satunya benda elektronik yang masih kunyalakan. Aku akan membuka media sosial, sebuah bentuk penyiksaan diri yang aneh. Dan aku akan melihatnya. Unggahan Difrina. Foto-fotonya di tempat-tempat yang berkilau, mengenakan pakaian yang tidak pernah kulihat sebelumnya, tersenyum di samping pria yang bukan aku. Ada satu foto yang menghantuiku: ia tertawa lepas di sebuah balkon yang menghadap ke laut, segelas sampanye di tangannya, angin menerbangkan rambutnya. Di belakangnya, matahari terbenam melukis langit dengan warna jingga dan ungu. Ia tampak begitu hidup, begitu bebas. Setiap foto adalah sebilah pisau baru yang kutancapkan ke dadaku sendiri. Ia tampak bahagia. Ia telah melanjutkan hidupnya. Sementara aku membusuk di sini.
Gedoran di pintu depan terdengar seperti ledakan di tengah keheningan. Awalnya, aku mengabaikannya. Mungkin hanya kurir yang salah alamat. Tapi gedoran itu tidak berhenti. Semakin keras, semakin memaksa, seolah ingin merobohkan pintu kayu yang kubangun dengan tanganku sendiri.
"Rendra! Aku tahu kamu di dalam! Buka pintunya atau aku dobrak!"
Suara itu... aku kenal suara itu. Suara yang tegas dan tidak suka basa-basi. Maya.
Aku tetap diam, memejamkan mata, berharap ia akan pergi. Tapi aku seharusnya tahu lebih baik. Maya tidak pernah menyerah. Gedoran itu berhenti, digantikan oleh suara kunci yang dimasukkan ke lubang pintu, diikuti bunyi klik yang tajam. Sial. Aku lupa ia masih punya kunci duplikat sejak kami kuliah dulu, untuk "keadaan darurat" katanya. Ternyata inilah keadaan darurat itu.
Pintu terbuka, dan ia masuk. Maya berdiri di ambang pintu, matanya yang tajam memindai keadaan rumah yang kacau—debu, piring kotor, tirai yang tertutup rapat—lalu berhenti padaku. Ia membawa sebuah kantong kertas yang menebarkan aroma makanan hangat, sebuah aroma yang terasa begitu asing di rumah yang kini hanya berbau debu dan keputusasaan.
"Ya, Tuhan, Rendra," desisnya, lebih terdengar jengkel daripada iba. "Lihat dirimu. Kamu terlihat seperti mayat hidup."
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Energi untuk membentuk kata-kata terasa terlalu besar.
Ia berjalan masuk, meletakkan kantong makanan itu di atas meja kopi yang berdebu, menimbulkan kepulan kecil. Ia tidak mencoba merapikan apa pun. Ia hanya berdiri di hadapanku, tangannya bersedekap, menatapku dengan tatapan seorang dokter yang sedang mendiagnosis penyakit parah.
"Jadi ini rencanamu?" tanyanya, suaranya tajam. "Mati perlahan di sini? Membiarkan dirimu membusuk bersama kenangan?"
Aku masih diam. Kata-katanya tidak terasa menyakitkan. Tidak ada yang bisa terasa sakit lagi saat hatimu sudah menjadi abu.
Ia mendengus, seolah tahu keheninganku adalah bentuk perlawanan. "Aku lihat unggahannya. Dia kelihatan bahagia, Rendra. Dia makan malam di restoran mewah, dia pergi ke pesta, dia memakai gaun yang harganya mungkin lebih mahal dari seluruh perabotan di sini."
Setiap kata adalah tamparan. Ia tidak mencoba menghiburku. Ia justru menaburkan garam di atas lukaku yang menganga, memaksaku melihat kenyataan yang coba kuhindari.
"Difrina sudah melanjutkan hidupnya," lanjutnya, nadanya kini sedikit melunak, tetapi tetap menusuk. "Kapan giliranmu?"
"Pergilah, May," akhirnya aku bersuara. Suaraku serak, seperti sudah tidak digunakan selama berabad-abad.
"Tidak akan," balasnya tegas. "Aku tidak akan pergi dan membiarkan sahabatku bunuh diri secara perlahan. Kamu pikir dengan begini dia akan kembali? Dia tidak akan kembali, Rendra. Dia sudah memilih dunianya. Dan dunia itu bukan di sini."
Sesuatu di dalam diriku bergerak. Secercah kemarahan yang samar, seperti bara api kecil di tengah tumpukan abu yang dingin. "Kamu tidak tahu apa-apa."
"Oh, aku tahu," katanya. "Aku tahu kamu mencintainya lebih dari apa pun. Aku tahu kamu membangun rumah ini untuknya. Tapi aku juga tahu bahwa cinta saja tidak cukup jika salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri."
"Ini salahku," bisikku, lebih pada diriku sendiri. "Aku tidak cukup baik untuknya."
"Bukan itu masalahnya!" suaranya meninggi, penuh frustrasi. "Masalahnya adalah kalian menginginkan hal yang berbeda! Dan kamu tidak bisa memaksakan surgamu pada orang yang mendambakan neraka yang berkilauan!"
Kata-katanya yang kasar terasa seperti kejutan listrik. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, aku merasakan sesuatu selain kehampaan. Rasa sakit yang tajam. Sebuah pengakuan bahwa apa yang ia katakan adalah kebenaran yang menyakitkan.
Maya melihat perubahan di mataku. Ia menghela napas, lalu duduk di ujung sofa, menjaga jarak. "Dengar, aku tidak di sini untuk menghakimimu atau dia. Aku di sini karena aku peduli padamu. Makanlah. Aku bawakan soto ayam kesukaanmu dari warung dekat kampus dulu."
Ia membuka kantong kertas itu, mengeluarkan sebuah mangkuk. Aroma kaldu yang kaya dan hangat—campuran serai, jahe, dan kunyit—memenuhi udara, bertarung dengan bau apek di ruangan itu. Aroma itu membawa serta kenangan masa lalu yang lebih sederhana, masa di mana masalah terbesarku adalah tugas kuliah yang menumpuk.
"Aku tidak lapar."
"Aku tidak peduli," katanya. "Makan. Atau aku akan menyuapimu seperti anak kecil. Jangan uji kesabaranku, Rendra."
Ia mendorong mangkuk itu ke arahku. Aku menatap cairan kuning keemasan itu, uapnya yang mengepul seolah membawa serta kehidupan. Aku menatap Maya, wajahnya yang keras kepala namun dipenuhi kekhawatiran yang tulus.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk bangkit atau bahkan jika aku menginginkannya. Tapi malam itu, di tengah reruntuhan hidupku, di hadapan semangkuk soto ayam dan seorang sahabat yang menolak untuk menyerah padaku, aku mengambil sendok. Sendok itu terasa berat di tanganku yang gemetar. Dan untuk pertama kalinya setelah waktu yang terasa seperti selamanya, aku makan.
Bab 13: Dunia Baru yang Berkilau
Mobil Adrian melaju membelah malam Jakarta dengan keheningan yang nyaris absolut. Tidak ada suara derit atau gemeretak seperti di mobil Rendra yang terasa akrab dan penuh cerita. Hanya ada desis ban di atas aspal basah dan alunan musik instrumental yang mengalun lembut dari pengeras suara yang tersembunyi. Aroma kulit mahal yang melapisi interior mobil terasa pekat, bercampur dengan wangi parfum Adrian yang samar. Di luar, lampu-lampu kota berkelebat, berubah menjadi garis-garis neon yang kabur. Aku merasa seperti berada di dalam sebuah kapsul waktu, melesat menuju masa depan yang selama ini hanya ada dalam angan-anganku.
"Gugup?" tanya Adrian, matanya tetap lurus menatap jalanan, tetapi sebuah senyum tipis bermain di bibirnya.
"Sedikit," aku mengaku, suaraku nyaris berbisik. "Aku belum pernah ke tempat seperti ini sebelumnya."
"Anggap saja ini pelajaran pertama," katanya, nadanya ringan namun penuh makna. "Pelajaran tentang bagaimana seharusnya kamu diperlakukan."
Kata-katanya membuatku merasa istimewa sekaligus sedikit canggung. Seolah-olah semua kebaikan Rendra selama ini adalah sesuatu yang salah, sesuatu yang harus diperbaiki. Seolah kesederhanaan adalah sebuah penyakit yang perlu disembuhkan.
Restoran itu terletak di lobi sebuah hotel bintang lima yang megah. Seorang pelayan berseragam membukakan pintu mobil untukku, sebuah gestur yang membuatku merasa seperti seorang putri sekaligus seorang penipu. Saat kami melangkah masuk, aku merasa seperti memasuki dunia lain. Lantainya terbuat dari marmer hitam yang mengilap, memantulkan bayangan lampu kristal raksasa yang menggantung di langit-langit yang tinggi. Udara di sekeliling kami terasa dingin dan beraroma bunga lili yang segar dan artifisial. Semua orang berbicara dengan suara pelan, denting garpu dan pisau di atas piring terdengar begitu sopan, sebuah orkestra keanggunan yang terasa asing.
Aku secara refleks merapatkan diri ke sisi Adrian, mencari perlindungan dari tatapan-tatapan asing yang terasa menilai. Aku sadar betapa berbedanya aku. Meskipun aku mengenakan gaun terbaikku, aku merasa seperti seorang gadis desa yang tersesat di istana. Aku melihat wanita-wanita lain, duduk dengan punggung tegak, tertawa dengan gerakan yang terkendali, seolah mereka terlahir di lingkungan seperti ini.
"Meja untuk Adrian," katanya pada seorang wanita di podium penyambutan, tanpa perlu menyebut nama belakang. Wanita itu tersenyum hormat dan langsung mengantar kami ke sebuah meja di sudut ruangan yang sedikit terpencil, dengan pemandangan langsung ke taman hotel yang diterangi lampu-lampu temaram.
Seorang pelayan lain menarik kursi untukku, dan aku duduk dengan gerakan yang kuusahakan seanggun mungkin. Adrian duduk di hadapanku, tampak begitu nyaman, begitu menyatu dengan lingkungan ini, seperti seekor singa di habitat aslinya.
Pelayan itu menyodorkan sebuah buku menu bersampul kulit tebal padaku. Aku membukanya, dan jantungku seolah berhenti berdetak. Angka-angka yang tercetak di sana terasa tidak masuk akal. Harga satu hidangan pembuka saja lebih mahal daripada biaya belanja kami selama seminggu di rumah Rendra. Aku teringat bagaimana Rendra akan tersenyum bangga saat berhasil menawar harga sayuran di pasar, sebuah kemenangan kecil yang kami rayakan bersama dengan secangkir teh di teras. Di sini, uang seolah tidak ada artinya, hanya alat tukar untuk status.
Aku menelan ludah, rasa kagumku bercampur dengan perasaan malu dan tidak pantas. Aku tidak tahu harus memesan apa. Aku bahkan tidak mengenali sebagian besar nama hidangan yang tertulis dalam bahasa Prancis itu.
Adrian sepertinya menyadari kebingunganku. Dengan senyum yang menenangkan, ia mengulurkan tangan dan mengambil buku menu dari tanganku. "Biar aku yang urus," katanya lembut.
Ia memanggil pelayan dan mulai memesan dengan lancar, menyebutkan nama-nama hidangan dengan fasih, bahkan merekomendasikan sebotol anggur putih untuk menemani makan malam kami. Aku hanya bisa duduk diam, merasa seperti anak kecil yang sedang didampingi orang dewasa. Aku merasa aman, tetapi di saat yang sama, aku merasa kehilangan kendali atas diriku sendiri. Rendra akan selalu bertanya, "Kamu mau makan apa, Sayang?" bahkan jika kami hanya makan di warung soto pinggir jalan.
"Kamu akan suka pan-seared scallop di sini," katanya setelah pelayan itu pergi. "Salah satu yang terbaik di kota."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, mencoba terlihat antusias.
Saat makanan kami datang, aku semakin merasa canggung. Ada begitu banyak jenis garpu dan pisau yang tertata rapi di samping piringku. Aku meniru gerakan Adrian dengan hati-hati, berdoa agar tidak melakukan kesalahan yang memalukan.
"Jadi, apa rencanamu sekarang, setelah kamu... bebas?" tanyanya, matanya menatapku lekat dari seberang meja.
"Aku belum tahu," jawabku jujur. "Mungkin mencari pekerjaan."
Ia tertawa pelan, tawa yang terdengar meremehkan. "Pekerjaan? Untuk apa? Kamu tidak perlu bekerja, Dif. Tugasku sekarang adalah memastikan kamu mendapatkan semua yang tidak pernah kamu miliki."
"Tapi aku tidak bisa hanya bergantung padamu," kataku, secercah harga diriku memberontak.
"Kenapa tidak?" balasnya. "Anggap saja ini kompensasi dari dunia karena telah menyia-nyiakan wanita sepertimu di tempat yang salah."
Pujiannya terasa seperti madu sekaligus racun. Di satu sisi, egoku terangkat. Ia melihatku sebagai sesuatu yang berharga. Di sisi lain, aku merasa seperti sebuah objek, sebuah proyek yang sedang ia perbaiki.
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya yang tampak penting berhenti di meja kami. "Adrian! Kebetulan sekali bertemu di sini."
Adrian bangkit, menjabat tangan pria itu dengan akrab. "Pak Hartono, apa kabar? Kenalkan, ini Difrina."
Pak Hartono menatapku, senyumnya sopan tetapi matanya memindai diriku dari atas ke bawah, sebuah penilaian cepat yang membuatku merasa telanjang.
"Wanita yang sangat menawan," kata Pak Hartono.
"Tentu saja," balas Adrian sambil meletakkan tangannya di bahuku, sebuah gestur posesif yang membuatku sedikit menegang. "Aku selalu punya selera yang bagus."
Aku hanya bisa tersenyum kaku. Di matanya, aku adalah bukti dari "selera bagus"-nya. Sebuah piala baru yang bisa ia pamerkan.
Setelah pria itu pergi, suasana di antara kami sedikit berubah. Euforia awalku mulai memudar, digantikan oleh perasaan terasing yang aneh. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan—makan malam mewah, pakaian mahal, perhatian dari pria sukses—tetapi di tengah semua kilau ini, aku merasa semakin jauh dari diriku sendiri.
Di tengah makan malam, ponsel Adrian berdering. Ia melihat layarnya, lalu berkata, "Maaf, ini penting. Aku harus ambil." Ia bangkit dan berjalan sedikit menjauh, berbicara dengan nada bisnis yang tajam.
Aku ditinggal sendirian di meja. Tiba-tiba, aku merasa semua mata di ruangan itu tertuju padaku. Aku mendengar tawa pelan dari meja sebelah, bisikan-bisikan yang tak bisa kudengar tapi seolah aku tahu ditujukan untukku. Aku merasa seperti pajangan yang ditinggal pemiliknya. Aku meraih gelas airku dengan tangan yang sedikit gemetar, mencoba terlihat tenang. Di sinilah aku, di tengah kemewahan, merasa lebih kesepian daripada saat aku sendirian di rumah Rendra yang sunyi.
Saat Adrian kembali, ia tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. "Maaf soal itu."
Aku hanya menggeleng. "Nggak apa-apa."
Aku menatap pantulan diriku di sendok perak yang mengilap. Wanita di sana tersenyum, tetapi matanya tidak. Ia terlihat seperti sedang memainkan sebuah peran dalam drama yang megah, sebuah peran yang ia sendiri tidak yakin bisa ia mainkan dengan baik.
Bab 14: Mawar yang Tumbuh Kembali
Maya pergi hari itu, meninggalkan semangkuk soto yang separuhnya kumakan dan keheningan yang terasa sedikit berbeda. Bukan lagi keheningan yang mematikan, melainkan keheningan yang kini memiliki gema—gema dari kata-katanya yang tajam dan tak kenal ampun. Aku membencinya karena telah mengusik kuburanku yang nyaman, tetapi aku juga tahu, di bagian diriku yang paling dalam dan paling jujur, bahwa ia benar.
Namun, pengetahuan itu tidak serta-merta memberiku kekuatan. Beberapa hari berikutnya, aku kembali ke rutinitas hampaku. Aku tidak lagi membiarkan piring menumpuk, sebuah konsesi kecil untuk Maya, tetapi jiwaku masih terbaring di dasar jurang. Aku akan duduk di sofa, menatap dinding, dan membiarkan jam-jam berlalu seperti butiran pasir yang tak berarti. Rumah ini masih menjadi mausoleum, dan aku adalah penjaganya yang setia.
Lalu, ia datang lagi.
Kali ini tanpa gedoran. Ia langsung masuk dengan kunci duplikatnya, seolah rumah ini adalah miliknya juga. Ia tidak membawa makanan. Ia hanya membawa dirinya sendiri, dengan ekspresi wajah yang menunjukkan bahwa kesabarannya telah habis.
"Cukup," katanya, suaranya datar. Ia berdiri di tengah ruangan, menatapku yang meringkuk di sofa. "Waktu berkabungmu sudah selesai."
"Ini bukan berkabung, May," bisikku. "Ini hukuman seumur hidup."
"Omong kosong," balasnya tajam. "Ini kemalasan. Ini sikap pengecut. Kamu menikmati penderitaanmu karena itu lebih mudah daripada mencoba untuk sembuh." Ia berjalan melewatiku, menuju pintu kaca di belakang rumah yang mengarah ke taman. Pintu yang sudah berminggu-minggu tidak pernah kubuka.
Ia menyentak tirai hingga terbuka. Cahaya matahari sore yang brutal menerobos masuk, menyilaukan mataku yang sudah terbiasa dengan remang-remang. Aku memicingkan mata, melihat siluetnya yang berdiri menantang di depan pintu.
"Lihat," perintahnya.
Aku tidak bergerak.
"Aku bilang, lihat, Rendra!" suaranya meninggi. Ia membuka paksa pintu kaca yang sedikit macet karena lama tak digunakan, menimbulkan suara decitan yang memekakkan. Udara luar yang lembap dan beraroma pembusukan samar masuk ke dalam ruangan.
Dengan enggan, aku mengangkat kepalaku. Dan aku melihatnya. Tamanku. Atau lebih tepatnya, apa yang tersisa dari tamanku. Rumput liar tumbuh tinggi dan subur, mencekik petak-petak bunga yang dulu tertata rapi. Daun-daun kering berserakan seperti karpet cokelat yang kotor. Dan mawar-mawar itu... Ya Tuhan, mawar-mawar itu.
Batang-batangnya yang dulu kokoh kini kurus dan menghitam, daun-daunnya layu dan bergelantungan menyedihkan. Bunga-bunga yang dulu mekar dengan warna merah merona, kini hanya menyisakan kelopak-kelopak kering yang menghitam, seperti air mata yang telah mengering di pipi. Taman itu adalah cerminan sempurna dari diriku: sebuah reruntuhan yang ditinggalkan.
"Mawar-mawar ini sekarat, sama sepertimu," kata Maya, suaranya kembali tenang namun menusuk. "Kamu mau membiarkannya mati begitu saja?"
Aku memalingkan wajah. "Untuk apa?" kataku, suaraku parau. "Dia tidak akan pernah kembali untuk melihatnya."
"Ini bukan lagi tentang dia!" seru Maya, ia berjalan kembali ke arahku, kemarahan berkilat di matanya. "Ini tentangmu! Apakah kamu juga akan membiarkan dirimu mati bersamanya? Apakah kamu akan membiarkan semua yang telah kamu bangun—rumah ini, hidupmu, dirimu sendiri—ikut membusuk hanya karena dia pergi?"
Ia meraih sepasang sarung tangan kebun yang tergeletak di rak dekat pintu, lalu melemparkannya ke pangkuanku. Kain kasarnya terasa asing di kulitku.
"Bangun," perintahnya. "Kita akan membersihkan sampah ini."
"Aku tidak mau," tolakku, mendorong sarung tangan itu hingga jatuh ke lantai. "Pergilah, May. Tinggalkan aku sendiri."
"Tidak," katanya keras kepala. Ia menarik lenganku dengan paksa. Tenaganya mengejutkanku. "Kamu tidak akan sendirian. Aku tidak akan membiarkanmu. Sekarang bangun!"
Ia menyeretku, secara harfiah, dari sofa. Aku terlalu lemas dan terkejut untuk melawan dengan sungguh-sungguh. Ia mendorongku ke arah pintu belakang. Saat kakiku menginjak rumput liar yang basah, aku merasa seperti sedang melangkah ke medan perang. Setiap jengkal tanah ini dipenuhi ranjau kenangan.
"Mulai dari mana?" tanyanya, seolah ini adalah proyek biasa.
Aku hanya diam, menatap nanar pada sebatang mawar merah yang paling parah kerusakannya. Aku ingat hari saat kami menanamnya. Difrina tertawa saat tanah mengenai hidungnya, dan aku mengusapnya dengan punggung tanganku, meninggalkan noda cokelat yang membuatnya semakin tertawa. Kenangan itu, yang dulu begitu manis, kini terasa seperti asam yang membakar.
"Rendra?"
"Aku tidak bisa," bisikku. "Setiap tanaman di sini... adalah dia."
"Bagus," kata Maya tanpa simpati. "Kalau begitu, cabut dia dari sini. Cabut kenangannya satu per satu sampai tidak ada yang tersisa."
Ia memungut sarung tangan yang tadi jatuh dan menyodorkannya kembali padaku. "Pakai. Atau kamu mau tanganmu terluka oleh duri-durinya?"
Aku menatapnya, lalu menatap tanganku sendiri yang pucat dan kurus. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang brutal itu, sesuatu yang akhirnya berhasil menembus kabut apatisku. Cabut kenangannya. Mungkin... mungkin hanya itu satu-satunya cara.
Dengan gerakan lambat dan berat, aku memakai sarung tangan itu. Aku berjongkok di depan mawar merah yang sekarat. Tanganku gemetar saat menyentuh batang keringnya. Dingin dan rapuh. Aku mulai mencabut rumput liar yang melilit di pangkalnya. Akarnya kuat, menancap dalam ke tanah, seperti kesedihanku. Aku menariknya dengan sekuat tenaga. Tanah yang lembap memberontak sebelum akhirnya menyerah. Aku melempar rumput itu ke samping dengan kasar. Napasku terengah-engah.
Satu rumput liar. Lalu satu lagi. Dan satu lagi.
Maya tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengambil sebuah karung kosong dan mulai mengumpulkan sampah daun kering, memberiku ruang untuk bertarung dengan iblis-iblisku sendiri.
Aku berpindah ke petak lavender. Aku ingat bagaimana Difrina memilihnya, katanya wanginya menenangkan. Kini, tanaman itu terkulai lemas, warnanya ungu pucat yang menyedihkan. Saat aku menyentuhnya, beberapa daunnya rontok. Aku teringat malam saat ia tidak bisa tidur, dan aku memetik beberapa tangkai lavender ini, meletakkannya di samping bantalnya. Ia tersenyum dalam tidurnya. Rasa sakit yang tajam menghantam dadaku. Aku mencabut rumput di sekitarnya dengan lebih ganas, menyalurkan rasa sakit itu ke ujung jariku.
Setiap tanaman adalah sebuah cerita. Melati putih di dekat pagar, tempat kami pertama kali berciuman di bawah sinar bulan. Pohon jeruk kecil yang buahnya tidak pernah sempat kami panen. Petak bunga matahari yang ia tanam karena katanya mengingatkannya pada keceriaan. Semuanya kini sekarat, dan membersihkannya terasa seperti sedang melakukan autopsi pada pernikahanku. Aku mencabut, memotong, dan membersihkan, sementara air mata yang tak kuketahui masih kumiliki, mulai mengalir tanpa suara, bercampur dengan keringat di wajahku.
"Untuk apa?" tanyaku lagi pada Maya setelah waktu yang terasa begitu lama, suaraku serak karena emosi. "Semua ini tidak akan mengembalikannya."
Maya berhenti bekerja, menatapku dengan tatapan yang kini lebih lembut. "Bukan, ini tidak akan mengembalikannya," katanya. "Tapi ini akan mengembalikanmu, Rendra. Lihat tanganmu."
Aku menunduk. Tanganku kotor oleh tanah, ada beberapa goresan kecil di lenganku. Tapi untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, aku merasakan sesuatu selain kehampaan. Aku merasakan ototku yang pegal. Aku merasakan tanah di bawah kuku-kukuku. Aku merasakan sengatan matahari di punggungku. Aku merasa... hidup.
Saat itulah aku melihatnya. Di antara batang-batang mawar yang tampak mati, di salah satu cabang yang paling rendah, ada satu titik hijau yang mungil dan keras kepala. Sebuah tunas baru. Kecil, rapuh, nyaris tak terlihat, tetapi ada di sana. Hidup. Berjuang untuk tumbuh di tengah kematian.
Aku menyentuhnya dengan ujung jariku yang kotor. Tunas itu terasa kokoh. Sebuah janji yang sunyi.
Aku tidak tahu apakah aku bisa sembuh. Aku tidak tahu apakah taman ini akan kembali berbunga. Tapi hari itu, di tengah reruntuhan surgaku, sambil menatap tunas kecil yang menolak untuk menyerah, untuk pertama kalinya aku berpikir, mungkin, mungkin saja, aku juga bisa tumbuh kembali.
Bab 15: Sketsa di Atas Kertas Kosong
Ruang kerjaku bersih. Terlalu bersih. Maya, dalam efisiensinya yang tanpa ampun, telah membantuku membereskannya beberapa hari yang lalu. Debu yang telah mengendap seperti selubung duka kini telah lenyap. Tumpukan kertas tua dan sketsa-sketsa lama yang berbau kenangan telah ia buang tanpa bertanya. Kini, ruangan itu terasa steril, impersonal, seperti kamar hotel yang menunggu tamu berikutnya. Kehangatan yang dulu terpancar dari kekacauan kreatifku telah ikut pergi bersama debu.
Di tengah ruangan itu, berdiri meja gambarku. Sebuah bidang kayu solid yang telah menemaniku selama bertahun-tahun, menjadi saksi lahirnya puluhan desain. Di atasnya, terhampar musuh terbesarku saat ini: selembar kertas putih yang kosong. Ukurannya A2, permukaannya halus, dan warnanya begitu murni hingga terasa mengejek. Di sampingnya, pensil-pensil mekanikku tertata rapi dalam sebuah wadah, ujung-ujungnya yang tajam seolah menantangku.
Sudah tiga jam aku duduk di sini, hanya menatap kertas itu.
Ponselku, yang kini selalu terisi dayanya berkat paksaan Maya, bergetar di sudut meja. Aku meliriknya. Nama Maya muncul di layar. Aku menghela napas, lalu menjawabnya.
"Ya?"
"Bagaimana?" suaranya di seberang sana terdengar tajam, tidak ada basa-basi. "Kliennya menanyakan progres. Setidaknya kirimkan sketsa kasar denah lantainya hari ini. Jangan membuatku terlihat bodoh karena sudah menjaminkan namaku untukmu."
"Aku sedang mengerjakannya," dustaku. Suaraku terdengar datar.
"Bagus. Kirim sebelum jam lima sore." Klik. Panggilan itu berakhir.
Tekanan. Sebuah sensasi yang sudah lama tidak kurasakan. Selama berminggu-minggu, satu-satunya tekanan dalam hidupku adalah beban kesedihanku sendiri. Kini, ada tenggat waktu. Ada klien. Ada tanggung jawab. Rasanya asing dan menakutkan.
Aku kembali menatap kertas kosong itu. Proyeknya sederhana. Sebuah renovasi kecil untuk rumah pasangan muda yang baru memiliki anak. Mereka menginginkan ruang keluarga yang lebih terbuka, hangat, dan terhubung dengan taman belakang. Konsep yang ribuan kali pernah kugambar. Seharusnya mudah.
Tanganku terulur, mengambil sebuah pensil 2B. Benda itu terasa aneh di genggamanku, canggung, seolah aku baru pertama kali memegangnya. Aku mencoba meletakkan ujungnya di atas kertas. Tanganku sedikit gemetar. Aku ingin menggambar sebuah garis, garis dinding pertama yang akan membatasi ruang. Tapi pikiranku kosong.
Ruang keluarga yang hangat.
Bayangan itu muncul tanpa diundang, begitu jelas hingga menyakitkan. Difrina, berdiri di tengah ruang tengah kami yang masih kosong saat kami pertama kali pindah. Ia merentangkan tangannya, berputar-putar di bawah cahaya matahari yang masuk dari jendela. "Aku mau jendela yang besar di sini, Mas," katanya, suaranya dipenuhi mimpi. "Besaaar sekali. Biar cahaya mataharinya bisa masuk sampai ke sini, biar rumah kita selalu terang." Ia menatapku, matanya berbinar dengan kebahagiaan yang begitu murni, begitu menular.
Pensil itu terlepas dari genggamanku, jatuh ke atas kertas dengan suara ketukan pelan yang terdengar seperti ledakan di tengah keheningan. Napasku tercekat di tenggorokan. Bagaimana aku bisa mendesain ruang keluarga yang hangat untuk orang lain, saat ruang keluargaku sendiri telah menjadi reruntuhan yang dingin? Bagaimana aku bisa menggambar jendela besar yang membawa cahaya, saat duniaku sendiri telah diliputi kegelapan?
Aku bangkit, berjalan mondar-mandir. Aku butuh kopi. Aku berjalan ke dapur, melakukan ritual yang dulu selalu kulakukan bersama Difrina. Tapi kini, setiap gerakan terasa salah. Mengambil dua sendok bubuk kopi terasa seperti pengkhianatan. Aku berhenti, lalu hanya mengambil satu sendok. Aku menyeduh kopi hitam, pahit, tanpa gula. Rasa pahitnya menjalar di lidahku, sebuah hukuman kecil yang pantas kuterima.
Sambil memegang cangkir yang panas, aku berdiri di depan pintu kaca, menatap taman. Mawar-mawar itu, setelah kubersihkan, mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Tunas hijau kecil yang kulihat tempo hari kini telah sedikit lebih besar, beberapa daun muda mulai merekah. Sebuah keajaiban kecil yang keras kepala. Taman itu berjuang untuk hidup, tanpaku, tanpa Difrina. Ia hanya terus tumbuh. Ada sesuatu yang menyakitkan sekaligus menenangkan dari pemandangan itu.
Aku kembali ke ruang kerja. Kopi pahit ini mungkin bisa membantuku fokus. Aku duduk kembali, menyingkirkan sketsa denah lantai dari pikiranku. Mungkin aku bisa mulai dari taman. Klien itu menginginkan taman belakang yang simpel dan tidak butuh banyak perawatan, tempat anak mereka bisa bermain dengan aman.
Aku mengambil pensil lagi. Aku mencoba membayangkan petak rumput hijau, beberapa tanaman perdu di sudut, dan sebuah ayunan kayu sederhana.
Lalu aku teringat lavender. Aku teringat bagaimana Difrina memilihnya di toko tanaman, hidungnya mengendus setiap pot dengan ekspresi serius seperti seorang ahli parfum. "Wanginya menenangkan, Mas," katanya. Aku teringat malam saat ia gelisah tidak bisa tidur, dan aku memetik beberapa tangkai lavender, meletakkannya di samping bantalnya. Aku ingat bagaimana ia tersenyum dalam tidurnya, dan bagaimana aku merasa seperti pahlawan hanya karena sebuah bunga.
Aku membanting pensil itu ke atas meja. "Sialan!" umpatku pada ruangan yang kosong.
Kenapa semuanya harus tentang dia? Setiap sudut, setiap garis, setiap ide, semuanya terhubung padanya. Seolah-olah ia telah menanamkan dirinya begitu dalam di dalam jiwaku, hingga aku tidak bisa lagi membedakan mana diriku dan mana kenangan tentangnya. Arsitektur adalah duniaku, tempat perlindunganku. Kini, tempat itu pun telah ia jajah.
Aku menunduk, menyandarkan kepalaku di atas lengan di meja gambar. Rasa putus asa yang pekat kembali menyelimutiku. Aku tidak bisa. Aku benar-benar tidak bisa. Untuk siapa aku membangun semua ini sekarang? Dulu, setiap garis yang kugoreskan adalah untuknya. Setiap desain yang kubuat adalah sebuah janji untuk masa depan kami. Sekarang, semuanya terasa sia-sia. Sebuah gema di ruang hampa.
Lalu, suara Maya kembali terngiang di kepalaku, sejelas saat ia mengucapkannya di taman. “Ini bukan lagi tentang dia. Ini tentangmu.”
Tentangku? Siapa aku tanpa dirinya? Aku adalah suami Difrina. Aku adalah pria yang membangun rumah untuk Difrina. Aku adalah arsitek yang merancang mimpi untuk Difrina. Tanpa semua itu, aku hanyalah... Rendra. Nama yang terasa asing.
Aku mengangkat kepalaku. Aku menatap tanganku. Tangan yang sama yang telah membangun rumah ini dari nol. Tangan yang sama yang telah membersihkan taman yang sekarat. Tangan ini tahu cara membangun. Tangan ini tahu cara memperbaiki. Mungkin... mungkin ia juga bisa memperbaiki pemiliknya.
Aku harus menemukan alasan baru. Alasan yang tidak melibatkan dirinya. Alasan yang hanya tentangku.
Aku mengambil pensil itu untuk ketiga kalinya. Kali ini, aku tidak mencoba membayangkan ruang keluarga yang hangat atau taman yang indah. Aku tidak membiarkan diriku berpikir tentang emosi atau kenangan. Aku hanya berpikir tentang satu hal: struktur.
Aku berpikir tentang garis. Tentang sudut. Tentang presisi. Tentang matematika dingin yang menjadi dasar dari setiap bangunan yang kokoh. Aku berpikir tentang fondasi.
Aku meletakkan penggaris T di atas kertas. Aku menekan ujung pensil yang tajam ke permukaan putihnya. Aku menarik napas.
Lalu, aku menggambar sebuah garis.
Sebuah garis lurus horizontal, dari satu sisi kertas ke sisi lainnya. Garis itu tidak sempurna. Sedikit gemetar di bagian tengah. Tapi garis itu ada di sana. Tegas. Nyata. Itu bukan garis untuk jendela besar Difrina. Itu bukan garis untuk petak lavendernya. Itu hanyalah sebuah garis. Garisku.
Aku menatap garis itu lama. Sebuah awal yang begitu kecil di atas lautan putih yang luas. Sebuah pernyataan pemberontakan yang sunyi terhadap kehampaan.
Ponselku bergetar lagi. Pesan dari Maya. “Progress?”
Aku mengambil ponselku, mengetik balasan dengan satu jari.
“Sudah dimulai.”
Aku mengirim pesan itu, lalu kembali menatap kertas di hadapanku. Aku belum tahu akan membangun apa di atas fondasi rapuh ini. Tapi untuk pertama kalinya setelah waktu yang terasa begitu lama, aku merasa bahwa membangun kembali adalah sesuatu yang mungkin.
Bab 16: Gema di Sangkar Emas
Ballroom hotel itu terasa seperti sebuah galaksi yang berbeda. Langit-langitnya begitu tinggi hingga seolah tak berujung, dihiasi tiga lampu kristal raksasa yang menumpahkan cahaya dingin ke lautan manusia di bawahnya. Udara terasa tipis dan beraroma campuran aneh antara parfum mahal, bunga lili yang dipajang di setiap sudut, dan ambisi. Alunan musik dari orkestra mini di panggung terdengar anggun, tetapi nadanya tidak menyentuhku; itu hanyalah musik latar untuk tawa-tawa yang terdengar terlatih dan denting gelas sampanye yang tak henti-hentinya.
Aku berdiri di samping Adrian, lenganku terselip di lengannya, senyum terpaku di wajahku. Gaun rancangan desainer yang ia pilihkan untukku terasa seperti baju zirah—indah, mahal, tetapi berat dan membatasi gerak. Setiap beberapa menit, seseorang akan berhenti untuk menyapa Adrian, dan ia akan memperkenalkanku dengan kalimat yang sama, "Kenalkan, ini Difrina, partner saya." Aku akan mengulurkan tangan, mengucapkan namaku dengan suara yang kuusahakan terdengar percaya diri, dan menerima tatapan menilai dari mata-mata yang terlatih untuk mengukur harga seseorang dalam sekejap.
Malam ini adalah acara penggalangan dana untuk sebuah yayasan anak-anak. Ironis. Orang-orang ini berkumpul, mengenakan perhiasan yang harganya bisa memberi makan seratus keluarga selama setahun, untuk berbicara tentang kemiskinan.
"Adrian, senang sekali melihatmu di sini," sapa seorang wanita paruh baya dengan gaun merah menyala dan bibir yang ditarik terlalu kencang oleh operasi plastik. Matanya yang tajam melirikku sekilas, dari ujung kepala hingga ujung kaki, sebelum kembali fokus pada Adrian.
"Tentu saja, Tante Diana. Untuk tujuan yang baik, saya selalu ada," jawab Adrian dengan pesonanya yang tak pernah gagal.
Mereka terlibat dalam percakapan ringan tentang saham dan perjalanan Tante Diana ke Swiss. Aku hanya berdiri di sana, menjadi bagian dari pemandangan, mengangguk dan tersenyum di saat yang tepat. Aku merasa seperti sedang berjalan di atas panggung, memainkan sebuah peran yang dialognya belum kuhafal. Aku mencoba terlibat saat mereka menyinggung tentang pentingnya pendidikan seni untuk anak-anak.
"Saya setuju," kataku, mencoba menyumbangkan sesuatu yang tulus. "Seni bisa menjadi pelarian yang indah untuk mereka. Di rumah... dulu, saya sering melihat bagaimana anak-anak tetangga bisa begitu gembira hanya dengan krayon dan kertas kosong."
Tante Diana menoleh padaku, senyumnya sopan tetapi matanya kosong. "Oh, begitu ya? Manis sekali." Ia langsung kembali menoleh pada Adrian. "Ngomong-ngomong, Adrian, aku dengar proyekmu di Bali..."
Aku merasa seperti baru saja berbicara dalam bahasa asing yang tidak dimengerti siapa pun. Opiniku, yang lahir dari pengamatan tulus, dianggap naif dan tidak relevan. Pipi ku memanas. Aku merasa bodoh, seperti seorang anak kecil yang mencoba ikut campur dalam obrolan orang dewasa. Adrian, yang menyadari kecanggunganku, meremas lenganku pelan, sebuah gestur yang entah berarti menenangkan atau menyuruhku untuk diam.
Setelah Tante Diana pergi, Adrian berbisik di telingaku, "Di sini, orang lebih suka bicara tentang angka, bukan perasaan, Sayang. Kamu akan terbiasa nanti."
Kata-katanya tidak terdengar seperti nasihat, melainkan seperti sebuah aturan. Aku hanya tersenyum tipis.
Aku permisi ke toilet, lebih untuk mencari jeda bernapas daripada kebutuhan biologis. Saat berjalan sendirian melewati kerumunan, aku merasa tatapan-tatapan menusuk punggungku. Aku melihat sekelompok wanita sosialita berbisik sambil melirik ke arahku. Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Siapa dia? Wanita baru Adrian? Berapa lama akan bertahan? Aku mempercepat langkahku, merasa seperti seekor ikan kecil yang tersesat di akuarium hiu.
Setelah keluar dari toilet, aku tidak langsung kembali ke keramaian. Aku berjalan ke arah balkon yang sedikit terpencil. Udara malam yang lembap terasa melegakan di kulitku. Dari sini, aku bisa melihat kolam renang hotel yang berkilauan dan taman yang tertata rapi.
Di sudut balkon, jauh dari keramaian, aku melihat sepasang suami istri yang sudah berumur. Mungkin sekitar enam puluhan. Sang suami sedang membantu istrinya merapikan selendang yang tersingkap karena angin. Mereka tidak berbicara, tetapi gerakan mereka penuh dengan keakraban yang telah terjalin selama puluhan tahun. Setelah merapikan selendang itu, sang suami berbisik sesuatu, dan istrinya tertawa—tawa yang tulus dan renyah, bukan tawa sopan yang kudengar di dalam. Mereka saling menatap dengan kelembutan yang begitu nyata, menciptakan gelembung keintiman mereka sendiri di tengah pesta yang megah ini.
Pemandangan itu menghantamku dengan kekuatan yang tak terduga. Sebuah ingatan melintas di benakku: Rendra, di teras rumah kami yang sederhana, membantuku mengeringkan rambut dengan handuk setelah aku kehujanan. Ia mengomeliku karena tidak membawa payung, tetapi tangannya begitu lembut saat menggosok kepalaku, dan matanya dipenuhi kekhawatiran yang tulus. Saat itu, aku hanya merasa kesal karena omelannya. Kini, aku sadar, momen sederhana itu jauh lebih berharga daripada semua kemewahan di ballroom ini.
Rasa rindu yang tajam dan menyakitkan menusuk hatiku. Rindu akan sesuatu yang nyata. Sesuatu yang hangat.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayangan Rendra. Aku tidak boleh begini. Ini adalah pilihanku. Aku kembali masuk, memasang kembali topengku.
Aku menemukan Adrian sedang tertawa akrab dengan seorang wanita yang sangat cantik. Wanita itu mengenakan gaun perak yang berkilauan, dan rambut pirangnya ditata dengan sempurna. Mereka berdiri begitu dekat, dan tangan Adrian sesekali menyentuh lengan wanita itu saat ia tertawa. Tawa mereka terdengar begitu lepas, begitu intim.
Aku berhenti beberapa langkah dari mereka, merasa seperti orang ketiga yang tak terlihat. Adrian melihatku, tetapi ia tidak langsung memanggilku. Ia menyelesaikan dulu leluconnya dengan wanita itu, membuat wanita itu tertawa lagi, sebelum akhirnya menoleh padaku.
"Ah, ini dia," katanya, senyumnya masih tertuju pada wanita itu. "Difrina, kenalkan, ini Clarissa. Teman lama."
Clarissa menatapku, senyumnya manis tetapi matanya dingin. "Oh, jadi ini wanita yang sedang ramai dibicarakan," katanya, suaranya terdengar seperti beludru yang menyindir.
Aku hanya tersenyum kaku.
"Jangan dengarkan gosip," kata Adrian sambil tertawa, merangkul pinggangku. Rangkulannya terasa posesif, bukan melindungi. "Difrina ini spesial."
"Tentu saja," balas Clarissa, matanya masih menatapku. "Semua 'investasi' Adrian selalu spesial pada awalnya."
Aku membeku. Adrian hanya tertawa, seolah itu adalah lelucon paling lucu di dunia. Ia tidak membelaku. Ia tidak mengklarifikasi. Ia justru ikut menertawakan penghinaan yang baru saja dilemparkan padaku. Saat itu, aku sadar. Di matanya, aku memang tidak lebih dari itu. Sebuah investasi. Sebuah pajangan. Sesuatu yang bisa ia pamerkan, dan mungkin, sesuatu yang bisa ia gantikan jika sudah tidak lagi "spesial".
Sisa malam itu terasa seperti kabut. Aku tersenyum, aku mengangguk, aku tertawa di saat yang tepat, tetapi jiwaku telah pergi dari sana. Aku hanya sebuah boneka cantik yang digerakkan oleh tali tak terlihat.
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, keheningan terasa berat. Adrian sepertinya merasakan perubahanku.
"Kamu kenapa? Tadi kelihatannya senang," tanyanya.
"Cuma lelah," jawabku singkat.
"Jangan terlalu dipikirkan ucapan Clarissa. Dia memang suka begitu," katanya, seolah itu bisa menyelesaikan semuanya.
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap ke luar jendela, ke arah lampu-lampu kota yang kini terlihat dingin dan asing. Aku telah mendapatkan dunia yang berkilau. Tapi di tengah semua kilau itu, aku baru sadar bahwa aku telah menukar kehangatan sebuah rumah dengan kemegahan sebuah sangkar emas. Dan di dalam sangkar ini, gema dari kesepianku sendiri terdengar begitu nyaring.
Bab 17: Membangun Kembali
Ruang kerjaku kini memiliki detak jantungnya sendiri. Beberapa minggu yang lalu, ruangan ini adalah sebuah vakum, steril dan sunyi setelah pembersihan paksa yang dilakukan Maya. Kini, ia bernapas. Dinding yang dulu kosong sekarang ditempeli sketsa-sketsa kasar, denah lantai yang dicoret-coret, dan catatan-catatan teknis yang kutulis dengan tergesa-gesa. Udara dipenuhi aroma kopi hitam yang pekat, wangi serutan kayu dari pensil-pensilku, dan bau khas debu penghapus karet yang menempel di mana-mana. Di atas meja gambarku, kertas yang dulu terhampar putih dan mengintimidasi, kini hidup dengan garis-garis, angka, dan arsiran yang membentuk sebuah janji. Janji akan sebuah rumah. Bukan rumahku, tetapi tetap sebuah rumah.
Pekerjaan telah menjadi jangkarku. Sebuah struktur kokoh di tengah lautan kekacauan emosional yang masih bergolak di dalam diriku. Setiap pagi, aku tidak lagi terbangun dengan kehampaan, melainkan dengan sebuah masalah yang harus dipecahkan: bagaimana memaksimalkan cahaya alami di ruang keluarga yang sempit, atau di mana meletakkan pilar penyangga tanpa merusak estetika ruangan. Masalah-masalah ini konkret. Mereka memiliki solusi. Tidak seperti lubang menganga di hatiku.
Proyek pertama ini, renovasi rumah pasangan muda yang dicarikan Maya, terasa seperti ujian akhir. Setiap garis yang kugoreskan adalah sebuah pertempuran melawan hantu-hantu kenangan. Gerakan tanganku kini lebih mantap, tidak lagi gemetar seperti saat pertama kali aku mencoba. Aku telah menemukan kembali ritme kerjaku, sebuah tarian presisi antara penggaris, pensil, dan imajinasi yang sudah lama tidak kurasakan.
Aku sedang mengerjakan detail area dapur saat Maya datang siang itu. Ia tidak mengetuk, hanya masuk begitu saja, membawa dua kotak makan siang dan aura efisiensi yang selalu berhasil membuatku sedikit tegang.
"Bagaimana?" tanyanya, meletakkan kotak makan di satu-satunya sudut meja yang tidak dipenuhi kertas. Matanya langsung memindai sketsa yang sedang kukerjakan.
"Hampir selesai dengan revisinya," jawabku, tidak mengangkat kepala. Aku sedang mencoba mencari cara terbaik untuk menempatkan kitchen island tanpa membuat ruangan terasa sempit.
"Klien suka idemu soal jendela sudut itu," katanya, mengunyah sepotong apel yang ia ambil dari sakunya. "Brilian, katanya. Tapi mereka minta sedikit modifikasi di area dapur. Istrinya mau ada lebih banyak ruang penyimpanan, tapi tidak mau ada kabinet atas yang masif. Katanya bikin ruangan terasa sesak."
Aku mengangguk, jariku mengetuk-ngetuk pensil di atas kertas. Aku tahu masalahnya. Ruang yang terbatas adalah musuh abadi setiap arsitek. "Aku sedang memikirkannya. Mungkin pantry ramping setinggi langit-langit di sudut sana..."
Saat aku mengucapkan kata pantry, kenangan itu datang tanpa permisi, menghantamku seperti gelombang pasang. Difrina, berdiri di dapur kami, menunjuk ke sebuah dinding kosong. "Nanti kalau ada rezeki lebih, aku mau ada pantry di sini, Mas," katanya, matanya berbinar. "Biar semua toples kue keringku bisa dipajang rapi. Biar dapur kita kelihatan seperti di majalah."
Aku tidak pernah membangun pantry itu untuknya.
Tanganku berhenti bergerak. Ujung pensil menekan kertas terlalu keras, meninggalkan titik hitam kecil yang jelek. Rasa sakit yang familiar, tumpul namun dalam, kembali terasa di dadaku. Hantu itu, hantu dari apa yang seharusnya bisa terjadi, selalu menemukan cara untuk muncul.
"Rendra?" Suara Maya menarikku kembali ke masa kini.
Aku berdeham, mencoba mengusir bayangan Difrina dari pikiranku. "Ya?"
"Kamu melamun," katanya, bukan sebagai pertanyaan, melainkan sebagai fakta. "Dia lagi?"
Aku tidak menjawab. Aku hanya mengambil penghapus dan dengan hati-hati mencoba menghilangkan titik hitam di kertasku. Bekasnya masih ada, samar, seperti luka yang telah sembuh namun meninggalkan bekas.
"Dengar," kata Maya, nadanya kini lebih lembut, sebuah hal yang langka. "Kamu tidak akan pernah bisa melupakannya. Jangan mencoba. Itu hanya akan membuatmu gila. Terima saja bahwa kenangan itu akan selalu ada. Akui kehadirannya, rasakan sakitnya sejenak, lalu kembali bekerja. Gunakan rasa sakit itu. Jadikan bahan bakar."
Aku menatapnya. Nasihatnya brutal, tetapi jujur. "Bagaimana caranya?"
"Setiap kali kamu teringat padanya saat mendesain jendela, buatlah jendela itu menjadi jendela terindah yang pernah kamu rancang," katanya. "Buktikan padamu sendiri, bukan padanya, bahwa kamu bisa menciptakan keindahan bahkan dari puing-puing."
Aku merenungkan kata-katanya. Mungkin ia benar. Berperang melawan kenangan hanya menghabiskan energi. Mungkin aku harus belajar untuk menari bersamanya.
Aku kembali fokus pada desain dapur. Ruang penyimpanan. Dapur yang lapang. Aku teringat keluhan Difrina tentang dapur kami yang selalu terasa penuh sesak. Aku teringat bagaimana ia harus berjongkok untuk mengambil panci dari kabinet bawah. Rasa sesal yang tajam menusukku.
Baiklah. Aku akan mendesain dapur terbaik untuk klien ini. Dapur yang tidak pernah bisa kuberikan pada Difrina.
Aku bekerja tanpa henti sore itu. Ide-ide mulai mengalir. Aku menyingkirkan konsep pantry yang memakan tempat. Sebagai gantinya, aku merancang serangkaian laci-laci dalam di bawah meja utama, memaksimalkan setiap sentimeter ruang. Untuk dinding, aku merancang rak-rak terbuka dari kayu ek ringan, memberikan kesan lapang namun tetap fungsional. Aku bahkan menambahkan sebuah sudut kecil di dekat jendela untuk sebuah pot tanaman herbal, sebuah detail yang kutahu akan disukai oleh istri klien. Sebuah detail yang mungkin akan disukai Difrina.
Aku mengakuinya. Aku merasakan sengatan sakitnya. Lalu aku kembali fokus pada dimensi, pada material, pada pencahayaan. Aku tenggelam dalam pekerjaanku, dalam kepuasan intelektual saat berhasil memecahkan sebuah teka-teki ruang.
Malam itu, aku menyelesaikan draf finalnya. Aku bekerja hingga larut, ditemani secangkir kopi ketiga dan alunan musik instrumental dari laptopku. Saat aku menggambar garis terakhir, sebuah perasaan aneh menyelimutiku. Bukan kebahagiaan yang meluap-luap. Melainkan sebuah kelegaan yang tenang. Sebuah rasa bangga yang sunyi. Aku telah menyelesaikan sesuatu. Aku telah menciptakan sesuatu dari ketiadaan.
Aku memindai gambar-gambar itu, mengubahnya menjadi format PDF, lalu melampirkannya dalam sebuah email untuk Maya. Subjeknya: Revisi Desain - Proyek Rumah Permata Hijau. Aku menatap kursor yang berkedip di atas tombol "Kirim" selama beberapa saat. Ini terasa lebih dari sekadar mengirim email pekerjaan. Ini terasa seperti sebuah langkah maju. Aku menekannya.
Keesokan siangnya, saat aku sedang menyiram mawar-mawar di taman yang kini mulai menunjukkan tunas-tunas baru, ponselku berdering. Maya.
"Sudah kubilang jangan meneleponku sebelum jam makan siang," kataku, mencoba terdengar jengkel, sebuah sandiwara kecil di antara kami.
"Tutup mulut dan dengarkan," balasnya. "Aku baru saja selesai rapat dengan klien. Mereka melihat desain revisimu."
Aku menahan napas.
Hening sejenak di seberang sana. Lalu aku mendengarnya tertawa. Tawa yang tulus. "Mereka bukan hanya suka, Rendra. Mereka jatuh cinta. Istrinya hampir menangis saat melihat desain dapur itu. Katanya, persis seperti yang selalu ia impikan tapi tidak pernah bisa ia jelaskan. Mereka menyetujui semuanya. Tanpa revisi lagi."
Sebuah gelombang kelegaan yang begitu besar menghantamku hingga aku harus bersandar pada pilar teras. Aku berhasil. Aku benar-benar berhasil.
"Kerja bagus, Ren," kata Maya, suaranya kini dipenuhi kehangatan yang tulus. "Selamat datang kembali."
Setelah panggilan itu berakhir, aku tidak langsung bergerak. Aku menatap taman di hadapanku. Mawar-mawar itu, yang berjuang untuk hidup. Tunas-tunas baru yang keras kepala. Aku merasakan sebuah perasaan hampa yang familiar—keinginan untuk berbagi berita ini dengan Difrina, untuk melihat matanya berbinar bangga. Rasa sakit itu masih ada, seperti gema di ruang yang kosong.
Tetapi kali ini, ada perasaan lain yang lebih kuat. Kepuasan. Kebanggaan. Pengakuan dari diriku sendiri.
Aku telah membangun sesuatu yang baru. Bukan dari kayu dan beton, melainkan dari puing-puing hatiku. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa fondasi itu cukup kuat untuk menopang diriku sendiri.
Bab 18: Harga Sebuah Pilihan
Apartemen ini memiliki seribu cermin. Bukan secara harfiah, tentu saja, tetapi setiap permukaan di dalamnya—lantai marmer hitam, dinding kaca, meja krom yang mengilap—memantulkan bayanganku kembali padaku. Aku melihat diriku di mana-mana: seorang wanita bergaun mahal yang duduk sendirian di sofa kulit putih, seorang wanita yang menatap kosong ke arah pemandangan kota yang tak berperasaan, seorang wanita yang terlihat seperti bagian dari dekorasi yang dingin dan tak bernyawa.
Sudah beberapa minggu aku tinggal di sini, tetapi rasa asing itu tidak kunjung hilang. Euforia kebebasan yang kurasakan di awal telah menguap, meninggalkan residu kecemasan yang aneh. Adrian sering bepergian untuk urusan bisnis, meninggalkanku sendirian di sangkar emas ini selama berhari-hari. Awalnya, aku menikmati kesendirian itu, menjelajahi setiap sudut apartemen, mencoba semua gaun di walk-in closet, dan memesan makanan dari restoran-restoran terbaik.
Tapi kemewahan, ternyata, adalah teman yang membosankan.
Keheningan di tempat ini berbeda dari keheningan di rumah Rendra. Di sana, sunyi terasa damai, diisi oleh suara-suara kehidupan—derit kayu, desau angin di taman, detak jam dinding yang familiar. Di sini, sunyi terasa hampa, hanya dipecah oleh dengungan pendingin udara yang monoton, suara mesin yang tak punya jiwa.
Sore itu, aku merasa kerinduan akan sesuatu yang nyata begitu kuat hingga terasa sakit. Aku merindukan aroma masakan rumahan. Dengan dorongan impulsif, aku memutuskan untuk memasak. Aku menemukan bahan-bahan dasar di dapur Adrian yang canggih dan jarang terpakai. Aku memutuskan untuk membuat sup ayam jahe, resep sederhana dari ibuku yang selalu berhasil membuatku merasa hangat.
Saat aku memotong sayuran di atas meja dapur yang terbuat dari batu pualam dingin, aroma jahe dan bawang putih yang tajam mulai memenuhi udara. Untuk sesaat, aku merasa seperti kembali ke rumah. Bukan rumah Rendra, tetapi rumah masa kecilku. Sebuah kehangatan yang telah lama hilang.
Ponselku berdering. Kakak perempuanku.
"Halo, Mbak?" sapaku, mencoba menyembunyikan getaran dalam suaraku.
"Difrina? Kamu di mana? Kok susah banget dihubungi?" suaranya terdengar cemas.
"Maaf, Mbak. Aku lagi sibuk," dustaku.
"Ibu..." suaranya tercekat. "Ibu sakit lagi, Dif. Demamnya tinggi dari kemarin. Kamu bisa pulang?"
Jantungku terasa seperti diremas. "Sakit apa, Mbak? Sudah dibawa ke dokter?"
"Sudah. Kata dokter cuma kecapekan, tapi Ibu terus manggil-manggil namamu. Dia kangen."
Rasa bersalah menghantamku seperti gelombang pasang. Aku meninggalkan Rendra, dan tanpa sadar, aku juga meninggalkan keluargaku. "Iya, Mbak. Aku... aku usahakan pulang besok."
Setelah menutup telepon, aku berdiri termangu di tengah dapur. Aroma sup ayam yang tadi terasa menenangkan kini terasa menyesakkan. Aku harus pulang. Aku harus bertemu Ibu.
Saat Adrian pulang malam itu, aku sudah menunggunya dengan perasaan cemas. Ia masuk, melepaskan dasinya, dan mengecup pipiku sekilas.
"Malam, Sayang," sapanya, lalu hidungnya sedikit berkerut. "Bau apa ini? Seperti bau... bawang."
"Aku masak sup ayam," kataku pelan.
Ia melirik ke arah panci di atas kompor dengan ekspresi aneh, campuran antara geli dan jijik. "Untuk apa? Kamu kan bisa pesan apa saja yang kamu mau."
"Aku hanya sedang ingin," jawabku. Aku menarik napas. "Adrian, aku mau bicara."
"Tentu," katanya, sambil menuang segelas wiski untuk dirinya sendiri.
Aku mengikutinya ke ruang tengah. Aku duduk di tepi sofa, sementara ia bersandar dengan santai. "Tadi Mbakku telepon. Ibuku sakit. Aku mau pulang besok, menjenguknya."
Adrian menyesap minumannya, matanya menatapku dari balik gelas kristal. "Oh, ya? Sakit apa? Nanti aku suruh asistenku kirimkan dokter terbaik ke sana. Atau kirimkan bunga dan buah-buahan."
Responsnya yang transaksional membuatku tercekat. "Bukan itu, Adrian. Aku mau pulang. Aku mau ada di sana untuknya."
Ia meletakkan gelasnya, senyum di wajahnya memudar. "Untuk apa? Kamu bukan dokter, Difrina. Kehadiranmu tidak akan mengubah apa-apa. Kirim saja uang. Itu lebih berguna dan lebih efisien."
Kata-katanya begitu dingin, begitu pragmatis, hingga aku merasa seperti baru saja disiram air es. "Ini ibuku, Adrian! Bukan masalah bisnis yang bisa diselesaikan dengan uang!"
"Justru karena itu ibumu," katanya, nadanya kini berubah, menjadi tajam dan merendahkan. "Aku tidak mau kamu kembali ke lingkungan itu. Lingkungan yang... sederhana."
Aku menatapnya, tidak percaya dengan apa yang kudengar. "Lingkungan sederhana? Itu keluargaku!"
"Dan kamu sudah bukan lagi bagian dari itu," balasnya, kini ia berdiri, menatapku dari atas. "Kamu sudah jadi bagian dari duniaku sekarang, Difrina. Kamu harus mulai terbiasa. Teman-teman lamamu, keluargamu... mereka tidak selevel lagi dengan kita."
Setiap kata adalah sebuah tamparan. Hinaan yang begitu telanjang, begitu kejam. Aku teringat Rendra. Jika aku mengatakan ibuku sakit, ia akan langsung berkata, "Ayo kita pulang sekarang juga," tanpa berpikir dua kali, tanpa menghitung untung rugi.
"Kamu tidak berhak melarangku bertemu keluargaku!" seruku, suaraku bergetar karena amarah dan rasa sakit.
"Aku tidak melarang," katanya dengan tenang yang mengerikan. "Aku hanya memberimu pilihan. Kamu bisa pergi, tentu saja. Tapi jangan harap pintu apartemen ini masih terbuka untukmu saat kamu kembali."
Ancaman itu menggantung di udara, dingin dan final. Aku menatapnya, pria yang kuanggap sebagai penyelamatku. Pesonanya kini telah luntur sepenuhnya, meninggalkan sosok asing yang dingin, posesif, dan kejam. Aku melihat topengnya telah terlepas.
"Jadi ini," bisikku, lebih pada diriku sendiri. "Ini harga yang harus kubayar?"
"Ini bukan harga, Difrina. Ini adalah investasi," katanya. "Aku berinvestasi padamu. Aku memberimu kehidupan yang tidak pernah bisa kamu impikan. Dan aku berharap kamu cukup pintar untuk tidak menyia-nyiakannya hanya karena sentimentalitas murahan."
Sentimentalitas murahan. Cinta pada seorang ibu ia sebut sentimentalitas murahan.
Saat itulah aku sadar. Aku tidak melarikan diri dari sebuah sangkar. Aku hanya menukar sangkar kayu yang hangat dengan sangkar emas yang dingin dan berduri. Sangkar ini mungkin lebih luas, pemandangannya mungkin lebih indah, tetapi jerujinya jauh lebih kuat, dan penjaganya jauh lebih tak kenal ampun.
Aku tidak menjawab. Aku hanya duduk diam di sofa, merasakan dinginnya kulit yang melapisi sofa itu menjalar ke seluruh tubuhku. Di luar, lampu-lampu kota masih berkelip dengan indah. Tapi kini, aku tidak lagi melihatnya sebagai janji kebebasan. Aku melihatnya sebagai ribuan mata yang menatapku, menjadi saksi dari kesalahanku yang fatal.
Aku telah mendapatkan dunia yang kuinginkan. Dan dalam prosesnya, aku telah kehilangan satu-satunya hal yang benar-benar penting: diriku sendiri.
Bab 19: Penyesalan di Puncak Dunia
Aku tidak tidur semalam. Setelah pertengkaran itu, Adrian masuk ke kamar tidur utama dan menutup pintunya dengan pelan, sebuah tindakan yang terasa lebih final dan kejam daripada jika ia membantingnya. Pintu kayu solid yang berat itu berderit pelan sebelum bunyi klik lembut menandakan ia terkunci dari dalam. Terkunci. Seolah aku adalah ancaman yang perlu dijauhkan. Aku ditinggalkan sendirian di ruang tengah yang luas dan dingin, kata-katanya yang tajam menggantung di udara seperti pecahan kaca. “Jangan harap pintu apartemen ini masih terbuka untukmu saat kamu kembali.”
Aku duduk di sofa kulit putih itu selama berjam-jam, memeluk lututku, menatap ke arah lautan cahaya kota yang tak peduli. Pemandangan yang dulu tampak seperti janji kebebasan, kini terlihat seperti ribuan mata yang menatapku dengan dingin, menjadi saksi bisu dari kebodohanku. Setiap gedung pencakar langit yang menjulang terasa seperti jeruji penjara vertikal. Aku telah menukar kehangatan sebuah rumah dengan kemegahan sebuah sangkar, dan kini, aku baru menyadari betapa tajamnya jeruji-jeruji emas itu.
Pagi datang tanpa kehangatan. Cahaya matahari yang pucat menembus jendela kaca, menyoroti kekacauan sunyi dari malam sebelumnya. Gelas wiski Adrian yang setengah kosong masih tergeletak di meja, meninggalkan cincin basah di permukaan marmer yang mahal, seperti bekas air mata yang tak sempat kering. Dan di dapur, panci berisi sup ayam jahe yang kubuat dengan secercah harapan, kini teronggok dingin di atas kompor. Lapisan lemak tipis telah membeku di permukaannya, seperti selubung es di atas hatiku. Aroma jahe dan bawang yang semalam terasa seperti kehangatan rumah, kini hanya berbau seperti penolakan yang basi.
Rasa hampa di perutku terasa melilit, tetapi bukan karena lapar. Ini adalah kekosongan yang lebih dalam, kekosongan jiwa. Aku berjalan ke dapur, menatap panci sup itu. Sebuah pemberontakan kecil yang gagal. Sebuah upaya naif untuk membawa sepotong duniaku yang lama ke dalam dunianya yang baru. Sebuah usaha untuk membuktikan bahwa aku masih bisa menciptakan kehangatan di tengah kemewahan yang dingin ini. Dan ia telah menolaknya mentah-mentah, bahkan tanpa mencicipinya. Dengan gerakan lambat, aku mengangkat panci itu dan menuangkan isinya ke wastafel. Cairan kuning keruh itu mengalir deras ke lubang pembuangan, lenyap, sama seperti sisa-sisa harga diriku.
Aku harus menelepon Mbak Laras, kakakku. Janjiku untuk pulang terasa seperti batu besar yang menggantung di leherku. Aku meraih ponselku, benda yang terasa begitu berat di tanganku. Aku menatap layar, menekan nomornya dengan jari yang gemetar. Setiap nada sambung terasa seperti detak jantung yang menghitung mundur menuju kebohonganku selanjutnya.
"Halo, Dif? Kamu jadi pulang, kan? Ibu dari tadi nanyain terus," suara Mbak Laras terdengar penuh harap. Harapan itu terasa seperti belati di telingaku.
Aku memejamkan mata, bersandar pada meja dapur yang dingin, permukaannya yang licin terasa seperti kulit reptil. "Mbak... maaf," bisikku, suaraku serak karena kurang tidur dan tangis yang tertahan. "Aku... aku nggak bisa pulang hari ini."
Hening sejenak di seberang sana. Aku bisa membayangkan keningnya yang berkerut. "Kenapa? Ada masalah? Kamu sakit?"
"Nggak, Mbak. Bukan itu," aku berbohong, setiap kata terasa seperti duri di lidahku. "Ada... ada urusan mendadak. Penting sekali. Aku nggak bisa tinggal." Kebohongan itu terdengar lemah, bahkan di telingaku sendiri. Urusan apa yang lebih penting dari seorang ibu yang sakit?
"Urusan apa, Dif? Lebih penting dari Ibu?" Nada suara kakakku berubah, dari cemas menjadi kecewa yang tajam.
"Penting, Mbak. Pekerjaan... ada proyek besar yang tidak bisa ditinggal," aku merangkai kebohongan yang lebih kompleks, membuatnya semakin terasa menjijikkan. "Maaf sekali. Tolong sampaikan maafku pada Ibu." Rasa malu membakar pipiku. Aku mengorbankan ibuku yang sakit demi pria yang semalam menghinanya. Siapa aku ini? Wanita macam apa yang kulaknat menjadi diriku?
"Ya sudah kalau begitu," kata Mbak Laras, suaranya kini terdengar dingin dan berjarak. "Nanti biar Mbak yang bilang ke Ibu. Jaga diri baik-baik." Panggilan itu berakhir.
Aku menatap ponsel di tanganku, merasa mual. Aku baru saja memutuskan tali terakhir yang menghubungkanku dengan duniaku yang lama, dengan kehangatan yang tulus. Aku sendirian sekarang. Benar-benar sendirian.
Saat itulah sebuah ingatan menghantamku dengan kekuatan penuh. Ingatan tentang Rendra. Beberapa tahun yang lalu, ayahku pernah dirawat di rumah sakit karena demam berdarah. Aku panik, menelepon Rendra—yang saat itu masih pacarku—sambil menangis tersedu-sedu di telepon umum rumah sakit. Ia sedang berada di tengah presentasi penting dengan klien besar, sebuah proyek yang bisa menentukan karirnya. Tanpa ragu, tanpa jeda bahkan untuk berpikir, ia berkata, "Aku ke sana sekarang. Jangan ke mana-mana."
Aku ingat bagaimana ia datang setengah jam kemudian, napasnya terengah-engah, dasinya sedikit miring. Ia meninggalkan rapatnya, mengabaikan konsekuensi pada pekerjaannya, hanya untuk menemaniku di koridor rumah sakit yang berbau disinfektan. Ia memelukku saat aku gemetar, membiarkanku menangis di bahu kemejanya yang rapi. Ia membuatkanku teh hangat di kantin, mendengarkan semua ketakutanku, dan tidak pergi dari sisiku sampai ayah dinyatakan stabil keesokan paginya. Ia tidak pernah mengeluh. Ia tidak pernah menyebutnya sebagai gangguan. Baginya, keluargaku adalah keluarganya juga. Ketulusannya begitu murni, begitu tanpa syarat.
Dan aku telah menukar pria itu dengan Adrian. Pria yang menyebut cinta pada seorang ibu sebagai "sentimentalitas murahan".
Penyesalan itu datang bukan lagi seperti kerinduan samar, melainkan seperti gelombang tsunami yang menghancurkan semua pembenaran diri yang telah kubangun. Aku terisak, tangis tanpa suara yang mengguncang seluruh tubuhku. Aku menunduk di atas wastafel yang dingin, menangisi kebodohanku, menangisi Rendra, menangisi diriku yang telah hilang. Aku menangisi wanita naif yang berpikir bahwa kilau emas bisa menggantikan kehangatan matahari.
Pintu kamar tidur utama terbuka. Aku buru-buru mengusap air mataku dengan punggung tangan, mencoba menenangkan diri, memasang kembali topengku yang retak. Adrian keluar, sudah rapi dengan kemeja dan celana bahan yang mahal. Ia tampak segar, seolah pertengkaran semalam tidak pernah terjadi, seolah kata-kata kejamnya hanyalah angin lalu. Ia berjalan melewatiku di dapur tanpa menoleh, langsung menuju mesin kopi otomatisnya yang berdengung pelan.
Ia tidak perlu lagi bersikap manis. Ia sudah menang.
Setelah membuat kopinya, ia bersandar di meja bar, menatapku dengan senyum tipis yang tidak mencapai matanya. "Jadi," katanya, nadanya ringan namun penuh kuasa. "Sudah memutuskan untuk tinggal?"
Pertanyaan itu bukan pertanyaan. Itu adalah penegasan kendalinya. Ia tidak meminta maaf. Ia tidak menawarkan kompromi. Ia hanya memastikan bahwa aku telah memahami posisiku, bahwa aku telah belajar dari pelajaranku.
Aku menatapnya, pria yang telah menghancurkan ilusiku. "Aku tidak punya pilihan lain, kan?" jawabku, suaraku datar, tanpa emosi.
Senyumnya sedikit melebar. "Kamu selalu punya pilihan, Difrina," katanya, menikmati kemenangannya. "Dan aku senang kamu membuat pilihan yang cerdas." Ia menyesap kopinya, matanya menilaiku dari balik cangkir. "Bersiaplah. Malam ini kita ada acara lagi. Pakai gaun yang warna biru."
Itu bukan permintaan. Itu adalah perintah. Sebuah penegasan lain bahwa aku adalah bagian dari penampilannya, properti yang harus diatur sesuai keinginannya.
Ia menghabiskan kopinya dalam diam, lalu meletakkan cangkirnya di wastafel—tepat di samping panci supku yang kosong. Ia berjalan ke arah pintu depan, mengambil tas kerjanya. Sebelum pergi, ia berhenti dan menoleh padaku, seolah baru teringat sesuatu.
"Aku akan suruh asistenku mengirimkan sejumlah uang ke rekening ibumu," katanya. "Anggap saja sebagai permintaan maaf karena kamu tidak bisa pulang."
Ia bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menolak. Ia telah mengambil alih segalanya, bahkan caraku berbakti pada orang tuaku. Ia telah mengubah cinta menjadi transaksi, mereduksi perasaanku menjadi angka-angka di rekening bank.
Pintu apartemen tertutup di belakangnya, meninggalkan keheningan yang lebih berat dari sebelumnya. Aku kembali sendirian di puncak dunia. Aku menatap pantulan diriku di permukaan kulkas stainless steel yang mengilap. Wanita di sana tampak pucat dan kalah.
Aku telah membuat pilihanku. Aku memilih sangkar emas ini. Dan kini, aku harus hidup dengan kenyataan bahwa untuk bisa tetap berada di dalamnya, aku harus rela sayapku dipatahkan, satu per satu.
BERSAMBUNG