Bab 6: Titik Balik
Di lorong rumah sakit yang dingin dan sepi, ponsel Rio bergetar lagi. Kali ini bukan panggilan, melainkan pesan. Pesan dari Kevin. Rio tidak peduli. Ia hanya menatap pintu ruang perawatan ibunya, di mana cahaya lampu berkedip-kedip, seolah-olah mengisyaratkan ketidakpastian. Ia mengabaikan pesan itu dan berusaha menenangkan ayahnya yang terlihat sangat kelelahan.
Ayah Rio, dengan suara yang parau, mencoba menjelaskan situasi finansial mereka. "Tabungan kita... sudah tidak cukup, Rio. Biaya obat dan perawatan di sini sangat mahal."
Kata-kata itu bagai pukulan telak. Rio tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa lagi bergantung pada orang lain. Tidak ada lagi Adrian, Sarah, Damar, atau Kevin yang bisa ia andalkan. Ia sendirian. Kesadaran itu, alih-alih membuatnya putus asa, justru menyulut sebuah api kecil di dalam dirinya. Sebuah api kemarahan dan tekad.
Ia teringat akan semua pengorbanannya. Lensa kamera yang dijual, sore yang hilang untuk mendengarkan curhatan, ide yang dicuri, dan koneksi yang disalahgunakan. Selama ini, ia menganggap dirinya sebagai pahlawan, seorang teman yang baik hati. Tapi sekarang ia melihat dirinya sebagai apa ia sebenarnya: sebuah objek yang dimanfaatkan, sebuah sumber daya yang bisa habis kapan saja.
"Ayah, jangan khawatir," kata Rio, suaranya mantap, penuh dengan keyakinan yang baru ditemukan. "Aku akan urus ini."
Ia bangkit, berjalan menjauh dari ayahnya, dan menyandarkan punggungnya ke dinding. Ia membuka ponselnya lagi, mencari nama-nama yang pernah ia bantu. Ia tahu, mereka tidak akan datang, tetapi ia akan mencobanya, satu kali terakhir.
Pertama, ia menghubungi Damar. Ia mengirim pesan singkat. Damar, ini Rio. Ibu gue sakit. Butuh biaya. Lo tahu kan ide yang lo pakai buat proyek lo? Itu ide gue. Gue butuh uang sekarang.
Pesan itu terkirim, tapi hanya tanda centang ganda abu-abu yang muncul. Tidak ada balasan. Rio tidak terkejut. Ia menghapus nama Damar dari daftar kontaknya.
Selanjutnya, ia menelepon Kevin. Ia tidak punya harapan. "Kevin, gue lagi butuh banget nih. Ada acara apa gitu yang bisa lo bantu?"
"Rio? Tumben lo telepon. Gue lagi di acara nih, penting banget. Lo butuh apa? Besok aja, ya!" jawab Kevin, suaranya menghilang di tengah-tengah musik dan tawa riang. Rio mematikan teleponnya tanpa kata.
Rio kembali ke ayahnya, duduk di sampingnya. Ayahnya memegang tangannya. "Nak, jangan terlalu dipikirkan. Kita akan cari jalan lain. Jangan paksa dirimu."
Rio hanya mengangguk. Ia sudah tahu. Ia tidak akan mencari jalan lain. Ia akan menciptakan jalan itu sendiri. Ia mengeluarkan laptopnya dan membuka kembali berkas proyeknya. Proyek yang selama ini ia abaikan karena sibuk membantu orang lain. Ia mulai mencari klien-klien lama yang pernah ia tolak. Ia menelepon mereka, meminta kesempatan.
"Tolong berikan saya satu kesempatan lagi, Pak. Saya janji, saya akan berikan hasil terbaik," ucap Rio, suaranya penuh dengan semangat yang baru.
Tidak semua orang merespons. Tetapi satu klien lama, yang pernah ia tolak demi membantu Damar, akhirnya setuju. Rio ditawari pekerjaan paruh waktu, yang akan memberinya uang di muka. Jumlahnya tidak besar, tetapi cukup untuk membayar beberapa obat penting ibunya.
Rio tidak lagi marah pada teman-temannya. Kemarahannya telah berubah menjadi bahan bakar untuk bangkit. Ia bekerja sepanjang malam, membuat presentasi, mengirim email, dan mencari peluang. Ia tidak lagi peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Ia hanya peduli pada ibunya, pada ayahnya, dan pada dirinya sendiri.
Keesokan paginya, Rio tidak hanya datang dengan pakaian kerja. Ia datang dengan aura yang berbeda. Ia memiliki tujuan, dan ia tahu ia bisa mencapainya. Ia tidak lagi menunggu perahu penyelamat. Ia akan membuat perahunya sendiri, dan kali ini, ia akan berlayar ke arah yang benar.
