"Kemala, aku sudah tidak pantas lagi menjadi suamimu."
Kalimat itu meluncur dari bibir Sagara tanpa getar, datar seperti permukaan kolam ikannya yang kini sunyi ditinggal para penghuninya. Kata-kata itu menggantung di udara remang rumah kayu mereka, di antara aroma nasi hangat dan tumis daun singkong sisa yang bisa diselamatkan dari amukan babi hutan beberapa minggu lalu.
Kemala, yang sedang membereskan piring makan mereka yang terbuat dari kaleng, menghentikan gerakannya. Ia tidak terkejut, tidak juga menangis. Selama berbulan-bulan, ia telah melihat suaminya itu perlahan-lahan tenggelam ke dalam lautan keputusasaannya sendiri. Ia melihatnya dalam sorot mata yang semakin sering kosong, pada bahu yang kian hari kian terkulai, dan pada keheningan yang menjadi dinding tebal di antara mereka.
Ia meletakkan piring itu kembali ke atas meja anyaman bambu, lalu menatap lekat-lekat pria yang dicintainya itu. Wajah Sagara, yang dulu selalu bersinar oleh optimisme bahkan di bawah terik matahari sekalipun, kini keruh oleh bayang-bayang kegagalan.
“Aku sudah menyeretmu terlalu lama dalam kesengsaraan ini,” lanjut Sagara, matanya menatap nanar ke lantai papan. “Lihatlah ladang kita, Kemala. Kering kerontang. Sementara di seberang bukit, ladang Gilang hijau royo-royo, siap panen lagi untuk yang ketiga kalinya tahun ini. Orang-orang di desa membicarakannya. Membicarakanku.”
Ia akhirnya mengangkat wajah, dan di matanya Kemala melihat luka yang begitu dalam, luka yang diperparah oleh rasa malu. “Aku tidak mau kamu sengsara bersamaku. Aku ingin memulangkanmu kepada orang tuamu. Kamu berhak mendapatkan kehidupan yang bahagia dan layak.”
Kemala menarik napas panjang, mengumpulkan semua kekuatan dan keyakinan yang menjadi pondasi hidupnya. Ia beringsut mendekat, meraih tangan Sagara yang kasar dan dingin.
“Kehidupan bahagiaku hanya bersamamu, Mas,” jawabnya lembut namun tegas.
“Bahagia macam apa?” potong Sagara cepat, suaranya meninggi untuk pertama kali. “Makananmu, lihatlah! Hanya nasi dan rumput-rumputan dari kebun yang kutanam seadanya. Sementara istri Gilang memakai perhiasan baru setiap bulan. Apa itu yang kau sebut bahagia?”
“Memangnya harus apa?” balas Kemala, tatapannya tak goyah. “Harus daging setiap hari? Harus pakai perhiasan baru? Apa Mas kira aku akan bahagia dengan semua itu? Aku senang dengan kehidupan seperti ini. Belum tentu kehidupanku akan lebih baik bila banyak makan mewah. Bisa jadi makanan mewah malah membuatku menjadi sarang penyakit.”
Ia menghela napas sejenak, membiarkan ilmunya sebagai sarjana kesehatan menuntun kata-katanya. “Dan sepanjang ilmu yang kudapat saat kuliah, itu tidak baik buat badan. Aku suka kok, Mas, setiap hari kamu bawa ke sawah. Sebenarnya aku ingin membantumu mencangkul, membersihkan pematang, tapi kamu selalu melarang dan menyuruhku menepi ke saung. Katamu biar kulitku terus bersih, tapi sebenarnya aku lebih suka kotor-kotoran bersamamu.”
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Sagara, namun ia menahannya sekuat tenaga. Rasa malunya jauh lebih besar dari kesedihannya. Ketulusan Kemala, alih-alih menenangkan, justru terasa seperti menyorot kegagalannya dengan lebih tajam di bawah tatapan seluruh desa.
Kemala mengeratkan genggamannya. “Mas, impianku sejak kuliah bukanlah kehidupan yang mewah. Bukan rumah yang megah. Tapi kehidupan sederhana yang lebih esensial, bersama seorang suami yang aku bisa mencintai dan berbakti kepadanya, apa pun keadaannya. Saat aku bisa sabar menjalani kehidupan bersama seorang suami, itulah kebanggaanku, Mas.”
Ia menatap sekeliling ruangan kecil mereka yang diterangi satu lampu bohlam. “Dan ternyata kehidupanku selama ini tidaklah susah. Aku bahagia. Rumah kayu ini, lingkungan sunyi ini, makanan asli pegunungan ini, inilah sesungguhnya yang kucari.”
Sagara menarik tangannya perlahan dari genggaman Kemala. Ia bangkit dari kursi, berjalan menuju jendela yang terbuka, membiarkan angin malam pegunungan yang dingin menerpa wajahnya. Tatapannya tidak lagi hanya tertuju pada ladangnya yang gagal, tetapi jauh ke seberang bukit, ke arah di mana lampu-lampu dari rumah Gilang yang lebih besar tampak berkelip mengejek.
“Sudah malam,” desisnya tanpa menoleh. “Tidurlah.”
Hanya itu. Tidak ada bantahan, tidak ada persetujuan. Hanya sebuah perintah halus yang terasa seperti jurang pemisah. Kemala menatap punggung suaminya yang tegap namun rapuh itu. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa takut. Bukan takut pada kemiskinan atau kegagalan panen, tetapi takut pada hantu perbandingan dan gunjingan yang mulai meracuni pikiran pria yang paling ia cintai.
