Aku melihat pantulan diriku di jendela restoran, sosok yang kini mengenakan jas mahal dan memegang kunci mobil mewah. Di balik bayangan siluet kami di kaca, terlihat keramaian jalan raya yang sama sekali tidak tahu betapa ironisnya pemandangan di dalam sini. Itu bukan aku yang dulu—bukan aku yang rela menghabiskan sisa uang di dompet demi traktir kalian makan, bukan aku yang menunggu di rumah sakit saat orang tua kalian sakit, dan bukan aku yang mengangkat telepon tengah malam untuk mendengarkan keluhan kalian tentang cinta yang kandas.
Dulu, aku adalah sebuah tempat singgah, sebuah perahu penyelamat yang selalu siap berlayar saat badai datang menghampiri hidup kalian. Aku percaya persahabatan adalah tentang memberi tanpa menghitung, tentang hadir di saat yang paling dibutuhkan. Aku memberi, memberi, dan terus memberi, hingga tak ada lagi yang tersisa untuk diriku sendiri.
Dan ketika giliran badai menghampiriku—saat duniaku runtuh dan aku benar-benar sendiri—perahuku karam. Aku mencari kalian. Aku memanggil. Aku mengirim pesan. Tapi tidak ada yang datang. Yang ada hanya keheningan, alasan-alasan klise, dan janji-janji kosong. Aku berdiri di reruntuhan hidupku, sendirian.
Sekarang, pemandangan itu terulang kembali. Meja makan di restoran mahal ini ramai oleh tawa kalian, tawa yang sama yang dulu kalian sembunyikan dariku. Kalian bercerita tentang kesuksesan, tentang masa depan, seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi. Kalian datang dengan senyum manis dan pertanyaan tentang bagaimana aku bisa mencapai semua ini. Aku hanya bisa tersenyum.
Di mata kalian, aku adalah sosok yang sukses. Tapi aku tahu, kebahagiaan yang kalian lihat hanyalah ilusi. Di balik jas dan mobil mewah ini, ada luka yang belum sembuh, pengkhianatan yang mengendap, dan sebuah pertanyaan yang menggantung, tak pernah terucapkan. Sebuah pertanyaan yang kini menjadi inti dari siapa aku.
Bab 1: Panggilan Tengah Malam
Rio menyentuh layar ponselnya, mematikan alarm. Pukul 02.15 dini hari. Rasa lelahnya terasa berat, bahkan setelah lima jam tidur. Ia meraih ponselnya, berniat membalas pesan kerja yang menumpuk, tetapi layar tiba-tiba menyala dengan nama yang dikenalnya. Adrian.
Bukannya kaget, Rio malah menghela napas. Panggilan dari Adrian di jam segini hampir tidak pernah membawa kabar baik. Pasti ada sesuatu yang mendesak. Sesuatu yang membutuhkan Rio.
"Halo, Yan?" suara Rio terdengar serak.
"Yo, maaf ganggu malam-malam gini," suara Adrian terdengar gelisah di ujung sana. "Gue tahu ini mendadak, tapi… gue butuh bantuan lo banget. Butuh sekarang."
"Ada apa? Lo kenapa?" Rio langsung bangkit dari kasur, instingnya sebagai penolong langsung aktif.
"Gue di kantor polisi. Ada masalah kecil, tapi harus diselesaikan malam ini. Butuh uang jaminan, Yo. Kalau nggak, gue nginap di sini sampai besok pagi." Adrian tidak menyebut angka, tetapi Rio tahu ini pasti bukan jumlah yang sedikit. Selama ini, "masalah kecil" bagi Adrian selalu berarti nominal yang besar.
Rio terdiam. Ia baru saja mendapatkan gajinya dua hari yang lalu. Sebagian besar sudah dialokasikan untuk biaya sewa apartemen kecilnya, membayar tagihan listrik, dan sisanya untuk kebutuhan sehari-hari sampai akhir bulan. Ia tidak punya uang sisa.
"Berapa, Yan?" tanya Rio, jantungnya berdebar. Ia sudah bisa menebak jawabannya.
"Rp5 juta, Yo. Gue sumpah demi Tuhan, besok sore langsung gue ganti. Lo tahu sendiri, kan, gue lagi ada proyek besar. Besok pas cair, langsung gue transfer." Suara Adrian penuh permohonan, nyaris seperti tangisan.
Rio memejamkan mata. Rp5 juta. Itu adalah tabungannya untuk membeli kamera baru yang sudah ia impikan selama berbulan-bulan, untuk memulai usaha fotografi paruh waktu. Ia sudah menabung dengan ketat, tidak membeli kopi mahal, menolak ajakan makan di luar. Selama ini, ia melakukannya untuk mimpinya.
Namun, Adrian adalah teman yang sudah bersamanya sejak SMA. Ia ingat bagaimana Adrian membantunya mengerjakan tugas matematika saat ia hampir tidak naik kelas. Ia merasa berutang. Lagipula, ini demi kebaikan Adrian. Rio selalu merasa bahwa membantu orang lain adalah hal yang benar untuk dilakukan. Itu adalah hal yang membuat dirinya merasa berharga.
"Oke, gue coba cari," kata Rio, suaranya mantap. "Tunggu di sana. Jangan ke mana-mana."
Rio mematikan telepon. Ia berjalan ke meja belajarnya, mengambil dompetnya. Isinya hanya beberapa lembar uang kertas dan kartu ATM. Ia mengambil laptopnya, membuka aplikasi perbankan. Saldo menunjukkan angka yang cukup, tetapi itu adalah tabungan yang tidak boleh ia sentuh.
Di sebelahnya, ada kotak kecil berwarna cokelat. Di dalamnya tersimpan lensa kamera bekas yang ia beli dengan susah payah. Rio sudah berencana untuk menjualnya sebagai tambahan modal. Ia mengeluarkan lensa itu dan menatapnya. Ini adalah harta paling berharganya saat ini.
Ia tidak bisa mengambil uang dari tabungan. Ia akan menjual lensa ini.
Rio mengangguk pada dirinya sendiri, seolah-olah meyakinkan hatinya yang sedikit menciut. Ini hanya sementara. Adrian akan mengembalikan uangnya. Ia akan membeli lensa yang lebih bagus nanti. Ia akan tetap bisa meraih mimpinya. Yang terpenting, ia membantu teman.
Pagi-pagi sekali, Rio sudah berada di depan sebuah toko kamera bekas di Pasar Senen. Lensa yang ia jual hanya dihargai Rp4 juta. Rio mencoba menawar, menjelaskan bahwa ini adalah lensa kesayangannya, tetapi pemilik toko hanya menggeleng.
"Harga pasaran segitu, Mas," kata pemilik toko. "Barangnya bagus, tapi bukan tipe yang lagi banyak dicari."
Akhirnya, Rio pasrah. Ia menerima uang itu dan langsung menuju bank. Sisa Rp1 juta ia tambahkan dari uang gajinya. Saldo tabungannya kini menipis drastis. Ia mengirimkan uang itu ke rekening Adrian, yang langsung meneleponnya dengan suara penuh kegembiraan.
"Gila, lo emang sahabat terbaik gue, Yo! Makasih banyak! Lo penyelamat gue, serius deh!" Adrian mengucapkannya dengan penuh emosi. "Besok sore, ya! Janji!"
"Iya, santai aja," jawab Rio, meskipun ia tidak merasa santai sama sekali. Ia merasa kosong, tetapi pada saat yang sama, ia merasakan kehangatan yang aneh di hatinya. Kehangatan karena bisa membantu.
Ia berjalan keluar bank, menatap ponselnya. Tidak ada pesan dari teman lain yang menanyakan kabarnya, tidak ada ajakan untuk bertemu. Hanya pesan singkat dari Adrian yang berisi ucapan terima kasih. Di balik semua kebahagiaan itu, Rio merasa sedikit... sendirian.
Pola ini akan berulang. Panggilan telepon dari teman-teman lain. Permintaan-permintaan yang membuat Rio harus mengorbankan waktu, uang, dan tenaganya. Ia akan terus memberi, percaya bahwa suatu saat, semua kebaikan itu akan kembali kepadanya. Tapi ia tidak menyadari, ia sedang membangun sebuah perahu yang hanya bisa berlayar satu arah.
BERSAMBUNG

