Musim telah berganti. Angin kering yang dulu membawa debu dan daun-daun rapuh kini telah digantikan oleh semilir basah yang membawa aroma tanah yang siap menyambut hujan pertama. Beberapa bulan telah berlalu sejak bus reyot itu membawa Soni pergi, dan desa, seperti tubuh yang menyembuhkan lukanya sendiri, telah menutup bekasnya dengan lapisan tipis kehidupan sehari-hari yang normal. Kios pulsa itu kini memiliki pemilik baru, seorang pemuda pendiam dari desa seberang. Dan nama Soni, seperti nama Satiah sebelumnya, perlahan-lahan tenggelam dari obrolan di warung, menjadi tidak lebih dari sebuah cerita pengantar tidur yang memperingatkan tentang bahaya pengkhianatan.
Di halaman belakang rumah ibunya, dunia Oding justru mekar. Bengkel kayunya yang dulu sederhana kini telah sedikit lebih luas, dengan atap seng baru yang berkilauan saat tertimpa cahaya matahari. Tumpukan kayu jati dan nangka tersusun rapi di sudut, menebarkan aroma wangi yang khas. Dua orang pemuda desa kini membantunya, menangani pekerjaan-pekerjaan kasar, sementara Oding sendiri fokus pada detail ukiran dan penyelesaian akhir. Pesanan datang silih berganti, tidak hanya dari desa sendiri, tetapi juga dari kecamatan sebelah. Lemari, kursi, kusen pintu—setiap karya yang keluar dari tangannya membawa stempel kualitas yang tak terbantahkan. Oding, pria yang dulu diremehkan, kini telah menjadi seorang empu, sosok yang dihormati karena keahlian dan kerja kerasnya.Sore itu, saat langit mulai diwarnai sapuan kuas jingga dan nila, Oding sedang sendirian. Para pembantunya sudah pulang. Ia baru saja menyelesaikan sebuah kursi goyang pesanan kepala desa. Dengan selembar kain katun halus, ia menggosok permukaan lengan kursi itu berulang-ulang, merasakan kehalusan serat kayu di bawah telapak tangannya. Setiap lekukan, setiap sambungan, semuanya sempurna. Ia mundur selangkah, memandangi karyanya dengan tatapan seorang seniman yang puas. Ada rasa bangga di sana, tetapi bukan kebahagiaan yang riuh. Itu adalah kepuasan yang dingin dan sunyi, kepuasan dari sebuah dunia yang berhasil ia tata dengan tangannya sendiri.Ia menyeduh secangkir kopi hitam, kental dan pahit, lalu duduk di sebuah bangku panjang di depan bengkelnya, menghadap ke hamparan sawah yang mulai remang-remang. Dari kejauhan, ia bisa mendengar suara riang anak-anak yang bermain layangan, tawa mereka terdengar seperti lonceng-lonceng kecil yang terbawa angin. Ia mengamati mereka, tetapi tidak merasakan apa-apa. Tidak ada kerinduan, tidak ada keinginan untuk bergabung. Ia adalah seorang penonton di teater kehidupannya sendiri, duduk di barisan paling nyaman, terpisah dari panggung oleh sebuah dinding kaca yang tak terlihat.Ibunya keluar dari dapur, membawa sepiring pisang goreng yang masih hangat. Wanita tua itu kini terlihat lebih sehat, gurat-gurat kekhawatiran di wajahnya telah banyak memudar. Ia duduk di samping Oding, meletakkan piring itu di antara mereka."Sudah selesai kursinya, Nak?" tanyanya lembut, suaranya sarat akan kebanggaan.Oding mengangguk, menyeruput kopinya. "Sudah, Bu. Besok pagi tinggal diantar."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman selama beberapa saat, menikmati senja yang perlahan turun. Ibunya memandangi punggung Oding yang tegap, bahunya yang kini lebih berisi. Ia melihat putranya telah bangkit, lebih kuat dari sebelumnya. Namun, sebagai seorang ibu, ia juga melihat sesuatu yang lain di mata Oding—sebuah ketenangan yang nyaris sempurna, tetapi juga terasa begitu jauh."Oding," panggil ibunya pelan, memecah keheningan. "Hidupmu sekarang sudah mapan. Usahamu lancar. Orang-orang menghormatimu."Ia berhenti, mencari kata-kata yang tepat. "Tidakkah kamu ingin menikah lagi, Nak? Mencari pendamping hidup yang baru?"Pertanyaan itu menggantung di udara yang beraroma kopi dan tanah basah. Oding tidak langsung menjawab. Ia meletakkan cangkirnya, pandangannya masih tertuju pada cakrawala yang warnanya semakin pekat. Kenangan tentang Satiah atau Soni tidak muncul sebagai luka. Mereka muncul sebagai data, sebagai variabel dalam sebuah persamaan yang kini telah ia selesaikan."Dulu," Oding akhirnya angkat bicara, suaranya tenang dan dalam. "Saya pernah punya sangkar, Bu. Sangkar yang bagus, tapi saya tidak bisa mengisinya dengan baik. Burungnya tidak bahagia, lalu ia terbang pergi mencari langit yang lain."Ia menoleh pada ibunya, dan untuk pertama kalinya sore itu, seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. Senyum yang tidak menyimpan kehangatan, hanya pemahaman."Sekarang," lanjutnya, sambil mengayunkan tangannya ke arah bengkel kayunya yang remang-remang, ke arah tumpukan kayu dan peralatan yang tertata rapi. "Saya sudah membangun sangkar yang baru. Sangkar ini mungkin tidak punya nyanyian merdu. Tapi setiap sudutnya saya yang buat. Setiap papannya saya yang pilih. Saya tahu persis isinya apa. Di sini, tidak ada yang akan menuntut lebih dari yang bisa saya berikan. Di sini, semuanya berada di bawah kendali saya."Ia berhenti, lalu menatap ibunya dengan tatapan yang lembut namun tegas. "Sangkar yang satu ini sudah cukup nyaman, Bu."Ibunya terdiam. Ia mengerti. Mungkin tidak sepenuhnya, tetapi ia mengerti bahwa putranya telah menemukan sejenis kedamaian—kedamaian yang mungkin tidak akan pernah ia pahami. Ia menghela napas, menepuk lutut Oding dengan lembut, lalu bangkit dan masuk kembali ke dalam rumah, meninggalkan Oding sendirian dengan senjanya.Oding kembali menatap cakrawala. Matahari telah sepenuhnya tenggelam, meninggalkan semburat warna ungu terakhir sebelum malam mengambil alih. Suara anak-anak bermain telah lenyap, digantikan oleh nyanyian pertama dari para jangkrik. Ia merasakan ketertiban. Semuanya berada di tempat yang seharusnya. Soni telah pergi. Satiah terkurung dalam penyesalannya. Dan ia, Oding, duduk di sini, di pusat dunianya yang ia ciptakan sendiri. Ia telah memenangkan permainannya.Ia menghabiskan kopinya hingga tetes terakhir. Udara malam mulai terasa dingin di kulitnya. Ia bebas, tetapi kebebasannya adalah kebebasan sebuah pulau di tengah lautan luas. Ia damai, tetapi kedamaiannya adalah kedamaian sebuah ruangan yang tertata rapi namun kosong. Panennya telah selesai, dan hasilnya melimpah. Sebuah kemenangan yang sunyi.TAMAT

Bagus kkkkk
BalasHapusMakasih Kakak
Hapus