Pagi setelah malam pengakuan itu tidak datang dengan badai. Ia datang dengan keheningan. Keheningan yang lebih berat, lebih menindas, dan lebih kejam daripada caci maki paling keras sekalipun. Ketika Soni, dengan mata bengkak dan kepala berdenyut sisa alkohol, membuka pintu kiosnya, ia tidak disambut oleh tatapan marah. Ia disambut oleh ketiadaan. Jalanan desa yang biasanya mulai ramai kini seolah sengaja mengosongkan diri di depan kiosnya. Orang-orang yang berjalan di kejauhan akan mengambil rute memutar yang lebih jauh. Ibu-ibu yang berpapasan dengannya akan menundukkan kepala dalam-dalam, pura-pura sibuk dengan ujung selendangnya. Ia tidak lagi dibenci; ia telah dihapus. Ia telah menjadi hantu di tanah kelahirannya sendiri.
Ia duduk di dalam kiosnya sepanjang hari. Tak ada satu pun pelanggan yang datang. Bahkan anak-anak kecil yang biasanya tak peduli dengan urusan orang dewasa pun seolah dilarang oleh orang tua mereka untuk mendekat. Ia menatap tumpukan kartu perdana yang berdebu, etalase kaca yang retak di sudut, dan kalender tahun lalu yang masih tergantung di dinding. Semua benda itu terasa seperti artefak dari kehidupan lain, kehidupan milik orang lain. Menjelang sore, ia akhirnya menyerah. Dengan tangan gemetar, ia mengambil sepotong kardus bekas dan spidol hitam yang tintanya hampir habis. Ia menulis satu kata di atasnya: DIJUAL. Setiap goresan spidol terasa seperti mengiris kulitnya sendiri.Kepulangannya ke rumah disambut oleh keheningan yang berbeda, keheningan yang terbuat dari kekecewaan dan perpisahan. Ia menemukan istrinya, Siti, di dalam kamar. Wanita itu tidak menangis, tidak berteriak. Dengan punggung menghadap Soni, ia dengan tenang melipat pakaian anak-anak mereka satu per satu dan memasukkannya ke dalam sebuah tas kain usang. Setiap lipatan rapi, setiap gerakan terkendali. Keheningan dan ketenangan Siti dalam melakukan tugas itu terasa lebih menyakitkan daripada tamparan."Kau mau ke mana?" tanya Soni, suaranya serak, nyaris tak terdengar.Siti tidak menoleh. Ia hanya berhenti sejenak, tangannya masih memegang sebuah baju kecil berwarna biru. "Pulang," jawabnya singkat. Pulang ke rumah orang tuanya. Sebuah kata yang menyiratkan bahwa tempat ini bukan lagi rumahnya. "Aku tidak bisa membesarkan anak-anak di desa ini lagi. Tidak dengan cara seperti ini."Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Soni hanya berdiri di ambang pintu, menyaksikan dunianya dibongkar dan dikemasi, potong demi potong. Ia melihat Siti mengambil foto pernikahan mereka dari dinding, menatapnya sejenak, lalu meletakkannya di atas meja dengan posisi terbalik. Sebuah akhir yang sunyi untuk sebuah janji yang pernah diucapkan dengan begitu lantang. Sore itu, dengan diantar oleh kakaknya, Siti dan kedua anaknya pergi, meninggalkan Soni sendirian di dalam rumah yang kini terasa seperti gua yang kosong dan dingin.Di bagian lain desa, di dalam sebuah kamar yang jendelanya selalu tertutup, Satiah juga hidup di dalam sangkarnya sendiri. Rumah orang tuanya yang seharusnya menjadi tempat berlindung kini terasa seperti penjara. Ia tidak dikurung dengan kunci, tetapi dengan tatapan mata. Tatapan ibunya yang penuh kekecewaan saat mengantarkan makanan ke kamarnya. Tatapan ayahnya yang menghindar, seolah melihat Satiah adalah sebuah pengingat akan kegagalan. Ia menghabiskan hari-harinya di atas ranjang, menatap langit-langit yang bercak-bercak oleh jamur.Malu adalah teman setianya. Ia menolak untuk keluar, bahkan untuk sekadar ke kamar mandi jika ia mendengar ada tamu di ruang depan. Suara-suara dari luar—tawa anak-anak, obrolan tetangga—terdengar seperti berasal dari dunia lain yang tak bisa lagi ia masuki. Kadang, di sore hari, saat angin bertiup dari arah yang tepat, ia bisa mendengar suara ketukan palu yang ritmis dari kejauhan. Suara Oding yang sedang bekerja.Setiap kali mendengar suara itu, dadanya terasa sesak. Suara itu adalah bukti nyata dari dunia yang terus berputar tanpanya. Suara itu adalah melodi dari kehidupan yang terhormat dan produktif, kehidupan yang pernah ia miliki dan ia buang begitu saja. Ia akan membenamkan wajahnya ke bantal, mencoba meredam suara itu, tetapi suara itu justru semakin jelas, bergema di dalam kepalanya. Ia melihat bayangan Oding dari kejauhan beberapa kali, saat ia memberanikan diri mengintip dari celah jendela. Oding yang sedang mengobrol santai dengan Pak RT, Oding yang sedang mengangkut kayu dengan bahu tegapnya. Pria yang ia tinggalkan karena dianggap gagal itu kini adalah pilar desa, sementara ia, yang mengejar mimpi gemerlap, kini tak lebih dari aib yang bersembunyi di dalam kamar.Seminggu setelah malam pengakuan itu, kios pulsa Soni akhirnya laku. Dibeli oleh seorang pendatang dengan harga murah. Dengan uang seadanya di saku dan satu tas pakaian di tangan, Soni berjalan melewati jalan utama desa untuk terakhir kalinya. Ia tidak menoleh ke kiri atau ke kanan. Ia hanya menatap lurus ke depan, ke jalan beraspal yang akan membawanya pergi dari satu-satunya tempat yang pernah ia sebut rumah.Ia naik ke dalam bus antarkota yang reyot dan bau solar. Ia memilih kursi paling belakang, di dekat jendela yang kacanya buram. Tak ada yang mengantarnya. Tak ada lambaian tangan. Kepergiannya sama sunyinya dengan kehidupannya beberapa hari terakhir.Saat bus mulai berjalan dengan deru mesin yang parau, perlahan meninggalkan batas desa, Soni memberanikan diri menoleh ke belakang. Ia melihat hamparan sawah hijau, deretan atap rumah yang familier, dan pohon beringin besar di alun-alun. Pemandangan itu kabur, bukan karena air mata—matanya sudah kering—tetapi karena jarak yang semakin jauh. Desa itu, dengan segala isinya, telah menghapusnya dari sejarah mereka.Ia memalingkan wajahnya kembali ke depan, menatap pantulan dirinya di kaca jendela yang kotor. Wajah yang menatapnya balik adalah wajah seorang asing. Tak ada amarah di sana. Tak ada kesedihan. Hanya kekosongan. Sebuah kanvas yang telah terhapus bersih, tanpa ada lagi cerita yang tersisa untuk dilukis.
