Kepanikan adalah predator. Ia menggerogoti akal sehat, meninggalkan naluri buta untuk bertahan hidup. Bagi Soni, naluri itu berteriak: temukan Satiah, hentikan dia, sebelum bom waktu ini meledak di depan wajahnya. Ia menunggu seperti pemburu di dekat pasar, jantungnya berdebar liar setiap kali melihat sosok wanita yang mirip dengannya. Akhirnya, ia melihat Satiah keluar dari sebuah warung, menenteng kantong kresek kecil. Soni tidak memanggilnya. Ia mengikutinya dari kejauhan, lalu mencegatnya tepat saat Satiah berbelok ke gang sempit di belakang pasar—sebuah lorong pengap yang berbau anyir dari tumpukan sampah sayuran yang membusuk.
"Untuk apa kamu kembali?" desis Soni, suaranya serak. Ia mencengkeram lengan atas Satiah, menariknya lebih dalam ke dalam bayangan gang.Satiah terkesiap, wajahnya yang pucat kini dipenuhi ketakutan. "Son, lepaskan! Sakit!""Jawab aku!" bentak Soni, cengkeramannya semakin erat. "Kau mau menghancurkan semua yang tersisa? Hidupku sudah hancur gara-gara kamu!"Mendengar itu, sesuatu di dalam diri Satiah patah. Ketakutannya menguap, digantikan oleh amarah yang membara. Ia menatap Soni dengan mata menyala-nyala, mata seorang yang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk ditakutkan. "Hidupmu yang hancur?" ia mendesis, suaranya bergetar. "Lalu aku ini apa? Dulu kau bilang apa padaku? Janji-janji manismu itu apa? 'Sabarlah, Tiah, nanti aku menyusul ke kota, kita mulai hidup baru'. Mana? Aku di sana seperti pengemis, sementara kau di sini bersembunyi seperti pengecut!""Aku tidak bisa meninggalkan keluargaku!" balas Soni, suaranya terdengar panik dan egois. "Itu semua hanya angan-angan! Seharusnya kau tahu itu!""Angan-angan?" Satiah tertawa, tawa yang terdengar serak dan penuh kepahitan. "Kau merusak rumah tanggaku demi sebuah angan-angan? Kau membiarkanku pergi demi sebuah angan-angan?"Ia menyentak lengannya hingga terlepas dari cengkeraman Soni. Aliansi rahasia mereka kini telah membusuk menjadi kebencian yang pekat. Tak ada lagi bisikan mesra, yang tersisa hanyalah racun tuduhan."Aku tidak peduli," kata Soni, mengambil langkah mundur. Wajahnya adalah topeng keputusasaan. "Pergilah dari desa ini. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Ini urusanmu sendiri."Penolakan telak itu membuat Satiah terdiam. Amarahnya yang panas tiba-tiba mendingin, berubah menjadi sesuatu yang lebih tajam dan berbahaya. Ia menatap Soni, tatapannya dingin menusuk."Baik," katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun setiap katanya terasa seperti bilah es. "Kalau kamu tidak mau bertanggung jawab..."Ia berhenti sejenak, membiarkan Soni tergantung dalam ketidakpastian yang menyiksa."...mungkin suamiku mau. Aku akan bicara pada Oding."Ancaman itu menghantam Soni seperti sambaran petir. Seluruh darah seolah surut dari wajahnya. Dunia di sekelilingnya—bau busuk, dengung lalat, cahaya matahari yang menyilaukan di ujung gang—semuanya lenyap. Yang ada hanyalah kata-kata itu, bergema di kepalanya. Aku akan bicara pada Oding.Ia membeku, tak mampu bergerak atau bersuara, sementara Satiah berbalik dan berjalan pergi, meninggalkannya sendirian di dalam keheningan gang yang menyesakkan.
