Sore itu, langit di atas desa berwarna kelabu seperti abu sisa pembakaran. Soni duduk di dalam kiosnya, memandangi jalanan yang lengang. Keheningan terasa begitu pekat, seolah desa itu sedang menahan napas. Pertanyaan istrinya semalam—Besok anak-anak mau makan apa?—terus berdengung di telinganya, lebih nyaring dari suara apa pun. Ia merasa seperti sedang tenggelam dalam pasir hisap, perlahan tapi pasti.
Tiba-tiba, deru mesin sepeda motor memecah keheningan. Sebuah ojek berhenti tepat di persimpangan jalan, tidak jauh dari kiosnya. Soni tidak terlalu peduli, mungkin hanya warga yang pulang dari pasar. Namun, saat penumpang di belakang turun, seluruh udara seolah tersedot dari paru-paru Soni.Itu Satiah.Tapi bukan Satiah yang ia kenal. Bukan wanita dengan tawa renyah dan impian gemerlap yang pergi ke kota. Sosok yang berdiri di sana kurus dan ringkih, bahunya terkulai seolah menanggung beban yang tak terlihat. Pakaiannya yang dulu modis kini terlihat kusam dan lusuh. Wajahnya pucat dan cekung, matanya yang dulu berbinar kini redup dan kosong. Ia terlihat seperti seorang prajurit yang kalah perang, pulang ke rumah tanpa membawa apa-apa selain luka.Sengatan dingin menjalar dari perut Soni ke seluruh tubuhnya. Tanpa sadar, ia merunduk, bersembunyi di balik etalase kaca yang berdebu seolah Satiah adalah hantu yang datang untuk menagih utang. Napasnya tercekat di tenggorokan. Ini tidak mungkin. Satiah seharusnya menjadi jalan keluarnya, bukan jalan buntu yang kembali untuk menghantuinya. Kehadirannya di sini adalah bukti hidup dari semua gosip, manifestasi berjalan dari dosa dan kebodohannya.Di seberang jalan, beberapa ibu yang sedang menyapu halaman berhenti. Sapu lidi mereka membeku di udara. Mereka saling pandang, lalu berbisik di balik punggung tangan. Badai yang tadinya hanya berupa angin kini telah menemukan pusatnya.Dari bengkel kayunya, Oding melihat pemandangan yang sama. Ia sedang mengukur sebilah papan ketika suara ojek itu menarik perhatiannya. Ia melihat Satiah turun, melihat penampilannya yang hancur. Ia sudah menduga ini akan terjadi, tapi tidak secepat ini. Tangannya yang memegang meteran tetap stabil. Tak ada keterkejutan di wajahnya, hanya ketenangan seorang pengamat. Sejenak, hanya sepersekian detik, ia melihat gadis yang dulu ia janjikan kebahagiaan di pematang sawah. Bayangan itu lenyap secepat kilat, digantikan oleh wajah seorang asing yang tak lagi ia kenali. Ia kembali fokus pada garis ukur di atas papan kayu. Ia tidak bergerak, tidak bereaksi. Ia hanya menonton, membiarkan buah dari kesabarannya matang dengan sendirinya.Soni memberanikan diri untuk mengintip dari celah sempit di antara tumpukan kartu perdana. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia takut suaranya bisa terdengar sampai keluar. Ia melihat Satiah membayar ojek dengan beberapa lembar uang lecek, lalu mulai berjalan gontai menuju gang rumah orang tuanya. Setiap langkahnya terlihat berat, seolah kakinya terbuat dari timah.Tepat sebelum ia menghilang di tikungan, Satiah berhenti.Ia berbalik, menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru desa yang kini terasa seperti panggung raksasa. Matanya yang kosong dan putus asa itu seolah mencari sesuatu—atau seseorang. Selama sepersekian detik yang terasa seperti selamanya, Soni bersumpah tatapan itu berhenti dan terkunci tepat di kiosnya, menembus kaca dan debu, menusuk langsung ke tempat persembunyiannya. Seolah Satiah tahu ia ada di sana. Seolah ia datang untuknya.
