Bisikan-bisikan itu kini telah mereda, bukan karena gosipnya mati, tetapi karena ia telah mendarah daging menjadi sebuah kebenaran yang tak perlu lagi diperdebatkan. Tak ada lagi yang membicarakan Soni; mereka hanya menghindarinya. Keheningan yang ditinggalkan terasa jauh lebih brutal daripada gunjingan paling kejam sekalipun.
Di dalam kiosnya, waktu merayap begitu lambat hingga Soni bisa melihat partikel debu menari-nari di seberkas cahaya matahari yang menembus celah ventilasi. Lapisan tipis debu kini mulai melapisi etalase kaca, menutupi kartu-kartu perdana yang warnanya mulai memudar. Dulu, pada jam-jam seperti ini, kiosnya akan ramai oleh anak-anak sekolah yang membeli pulsa atau ibu-ibu yang membayar tagihan listrik. Kini, yang terdengar hanyalah dengung lalat dan detak jam dinding yang terasa seperti palu godam kecil yang menghantam kepalanya.Ia melihat Marni, tetangga sebelah rumahnya, berjalan tergesa-gesa melewati kiosnya. Marni menunduk, pura-pura tidak melihatnya, lalu terus berjalan menuju konter pulsa lain yang jaraknya hampir setengah kilometer di ujung desa. Hati Soni terasa seperti diremas. Itu bukan lagi sekadar gosip; ini adalah hukuman. Isolasi ini adalah panen pertama dari benih yang ditanam Oding.Di bagian lain desa, di sebuah rumah bercat hijau, aroma pernis kayu yang baru kering menguar di udara. Oding, bersama seorang pemuda yang membantunya, dengan hati-hati mengangkat sebuah meja makan dari kayu jati yang kokoh. Permukaannya mengilap, memantulkan cahaya sore dengan sempurna."Luar biasa, Ding! Lebih bagus dari yang saya bayangkan," kata pemilik rumah dengan wajah berbinar, mengelus permukaan meja itu dengan takjub.Oding hanya tersenyum rendah hati. "Alhamdulillah kalau Bapak suka."Ia menerima amplop tebal berisi upahnya, mengucapkan terima kasih, dan segera pamit. Saat berjalan pulang, beberapa warga menyapanya dengan ramah. Reputasinya sebagai tukang kayu yang teliti dan jujur menyebar lebih cepat daripada gosip mana pun. Dunianya yang dulu runtuh kini sedang ia bangun kembali, papan demi papan, dengan tangan yang mantap.Malam itu, di meja makan rumah Soni, hanya ada suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Nasi di piring Soni terasa seperti kerikil, sulit untuk ditelan. Istrinya, Siti, makan dengan kepala tertunduk. Wajahnya yang biasanya ceria kini kuyu dan menyimpan mendung yang pekat. Mereka duduk di meja yang sama, tetapi terpisah oleh jurang keheningan yang tak terseberangi.Soni ingin bicara, ingin menjelaskan, ingin membela diri. Tapi kata-kata apa yang bisa ia gunakan untuk melawan keheningan? Bagaimana ia bisa menjelaskan sebuah ketakutan yang bahkan ia sendiri tidak mengerti bentuknya?Setelah makan malam selesai dan anak-anak masuk ke kamar, Siti membereskan piring-piring dengan gerakan yang pelan dan mekanis. Soni hanya duduk mematung, menatap tangannya sendiri. Lalu, Siti kembali ke meja. Ia tidak berteriak, tidak membanting barang.Ia hanya meletakkan sebuah dompet kain yang tipis dan kempes di atas meja, tepat di depan Soni.Tanpa amarah, hanya dengan nada suara yang bergetar karena lelah dan putus asa, ia bertanya, "Uang belanja sudah habis, Pak. Besok anak-anak mau makan apa?"Pertanyaan itu tidak menuntut jawaban. Itu adalah sebuah vonis. Hukuman Soni kini telah merembes masuk dari jalanan desa, menembus dinding rumahnya, dan mendarat di atas meja makannya. Ini bukan lagi tentang harga diri; ini tentang sesuap nasi.
