Dinding-dinding kios pulsa itu terasa semakin mendekat setiap harinya, menekan Soni dalam kungkungan pengap beraroma kamper dan debu. Di luar, kehidupan desa berjalan seperti biasa, tetapi bagi Soni, semua terasa berbeda. Setiap tawa terdengar seperti ejekan, setiap tatapan terasa seperti tuduhan. Setelah insiden di gardu malam itu, bahkan anak-anak yang biasa membeli pulsa recehan kini melewatinya begitu saja, seolah ada perintah tak terlihat dari orang tua mereka.
Ia terperangkap dalam penjara tanpa jeruji, dan satu-satunya orang yang memegang kunci untuk membebaskannya—atau setidaknya menjadi sesama narapidana—berada jauh di kota. Satiah.Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mencari nama wanita itu di kontak teleponnya. Harapan adalah makhluk aneh; meski sudah babak belur oleh paranoia, ia tetap saja merayap kembali. Mungkin Satiah akan membelanya. Mungkin mereka bisa menghadapi ini bersama. Jari Soni menekan tombol panggil, dan ia menempelkan telepon ke telinganya.Nada sambung yang panjang dan monoton terasa seperti siksaan. Satu detik. Dua detik. Tiga. Saat ia hampir menyerah, panggilan itu diangkat."Halo?" Suara Satiah terdengar, tetapi bukan suara yang ia kenal. Suara itu tajam, tidak sabar, dan di latar belakangnya terdengar hiruk pikuk klakson dan deru mesin yang bising. Suara kota yang kejam."Tiah, ini aku, Soni," ia memulai, suaranya lebih lemah dari yang ia harapkan."Iya, aku tahu. Ada apa? Aku lagi sibuk."Kesibukan. Kata itu terasa seperti tamparan. "Di sini... di desa... orang-orang mulai membicarakan kita," kata Soni, mencoba menjaga suaranya agar tidak bergetar. "Oding...""Oding kenapa?" potong Satiah, nadanya terdengar jengkel. "Son, aku di sini kerja, bukan untuk mengurusi drama desa. Itu urusanmu, selesaikan sendiri. Jangan ganggu aku lagi."Tut... tut... tut...Panggilan itu ditutup begitu saja. Soni masih menempelkan telepon di telinganya, mendengarkan keheningan yang memekakkan. Suara bising kota telah lenyap, digantikan oleh kesunyian kiosnya yang terasa seribu kali lebih menindas. Tangannya yang memegang telepon terasa lemas, lalu terkulai di sisinya. Ia menatap layar yang sudah gelap dengan pandangan kosong. Harapan terakhirnya telah padam, dipadamkan tanpa ampun. Ia sendirian. Benar-benar sendirian.Di teras belakang rumah ibunya, Oding sedang menyerut sebilah kayu nangka, aroma manisnya menguar di udara sore. Ponsel tuanya berdering, menampilkan nama sepupunya yang bekerja sebagai kuli bangunan di kota."Ada apa, Din?" sapa Oding tenang."Kang, cuma mau kasih kabar," suara di seberang terdengar ragu. "Tadi aku lihat Satiah. Di pasar, jadi pelayan di warung makan. Kelihatannya capek sekali, Kang."Oding berhenti menyerut. Ia menatap serat kayu di tangannya sejenak. Tak ada senyum kemenangan di wajahnya, tak ada percik kegembiraan di matanya. Ia hanya menghela napas pelan. "Ya sudah. Jaga dirimu baik-baik di sana," katanya, sebelum menutup telepon.Ia menyimpan informasi itu di dalam benaknya, seperti seorang petani menyimpan benih terbaiknya, menunggu musim tanam yang tepat. Kesabarannya adalah senjatanya yang paling tajam. Ia tidak perlu terburu-buru. Mangsanya sedang melelahkan dirinya sendiri dalam sangkar lain yang ia pilih.Soni masih duduk terpaku di dalam kiosnya yang sepi. Langit di luar mulai berubah warna menjadi jingga. Ia merasa seperti orang asing di tanah kelahirannya sendiri. Dengan lunglai, ia mengangkat kepalanya dan memandang ke seberang jalan.Pemandangan yang menyambutnya adalah sebuah pukulan telak yang meremukkan sisa-sisa kekuatannya. Di warung Bi Asih, Oding sedang duduk santai, secangkir kopi mengepul di depannya. Ia tidak sendirian. Di sampingnya ada Pak RT, Mang Udin, dan beberapa warga lain yang tadi malam menghakiminya dengan keheningan. Kini mereka tertawa bersama, suara tawa Oding yang renyah terdengar jelas sampai ke kios Soni.Oding, sang korban, diterima dengan hangat di jantung desa. Sementara Soni, yang kini menjadi sang pemangsa, terkurung sendirian di dalam sangkarnya yang sepi, hanya bisa menonton dari kejauhan.
