BAB 7
Ancaman adalah mata uang terakhir bagi orang yang putus asa. Dan Satiah, kini, adalah orang termiskin di seluruh desa. Dengan sisa-sisa keberanian yang ia kumpulkan, ia berjalan menuju Warung Bi Asih. Langkahnya berat, setiap injakan terasa seperti menelan harga diri. Di sana, di salah satu bangku depan, duduklah Oding, sedang menunggu ibunya yang berbelanja di dalam.Keramaian warung yang biasa riuh perlahan mereda saat Satiah mendekat. Seperti air yang menyingkir saat batu dijatuhkan, warga yang mengobrol memberi jalan, tatapan mereka mengikuti setiap gerak-geriknya. Udara menjadi tegang, sarat akan antisipasi.Dari seberang jalan, di dalam kiosnya yang sepi, Soni melihat semua itu. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Satiah benar-benar melakukannya. Kepanikan murni, dingin dan tajam, menjalari tulang punggungnya. Ia tidak berpikir. Ia hanya berlari.Ia menerobos kerumunan kecil itu, menabrak bahu Mang Udin hingga hampir terjatuh. "Mau apa kau?" teriaknya, napasnya tersengal. Ia mencengkeram lengan Satiah, menariknya menjauh dari Oding.Ledakan itu terjadi seketika."Ini bukan urusanmu!" jerit Satiah, mencoba melepaskan cengkeraman Soni. Wajahnya yang pucat kini memerah karena amarah dan malu. "Aku mau bicara dengan suamiku!"Kata "suamiku" terdengar seperti cambuk di udara yang tegang."Dia bukan suamimu lagi!" balas Soni, suaranya melengking karena panik. "Semua ini gara-gara kau! Kau kembali dan menghancurkan segalanya!""Aku yang menghancurkan?" Satiah tertawa histeris. "Kau yang menghancurkan hidupku dengan janji-janji busukmu! Kau pengecut!"Semua aktivitas di warung berhenti total. Sendok yang hendak masuk ke mulut membeku di udara. Gelas yang sedang diangkat tertahan. Seluruh desa kini menjadi penonton drama paling intim dan memalukan yang pernah mereka saksikan.Di tengah badai itu, Oding tidak bergerak. Ia adalah pusat yang tenang dari segala kekacauan. Ia tidak menatap Soni. Ia tidak menatap kerumunan. Matanya hanya tertuju pada Satiah.Setelah kehabisan kata-kata makian, Satiah menoleh pada Oding. Amarahnya lenyap, digantikan oleh permohonan terakhir yang sunyi. Matanya yang sembap seolah bertanya, memohon secercah pengakuan, secercah harapan.Oding menatapnya balik. Selama tiga detik yang terasa abadi, ia memandangi wanita yang pernah berbagi ranjang dengannya. Tak ada kemarahan di matanya. Tak ada kesedihan. Hanya kekosongan. Sebuah padang belantara yang luas dan sunyi.Lalu, ibunya keluar dari warung. Oding berdiri, mengambil kantong belanjaan dari tangan ibunya, dan tanpa sepatah kata pun, tanpa menoleh lagi, ia berbalik dan berjalan pergi.Kepergiannya yang tenang itu lebih memekakkan telinga daripada teriakan mana pun. Badai itu berhenti seketika. Yang tersisa hanyalah keheningan yang berat dan canggung.Soni dan Satiah membeku di tempat mereka berdiri, terperangkap di tengah lingkaran tatapan mata yang tak terhitung jumlahnya. Mereka tidak lagi dilihat sebagai tetangga, tetapi sebagai tontonan. Vonis sosial telah dijatuhkan dalam keheningan itu, dan palu hakim baru saja diketuk.
