Bab 1: Lingkaran Bergerigi Tajam
"Mentari, kini kehidupanku telah sedikit lebih baik, telah ada sumber penghasilan tetap yang bisa kudapatkan setiap bulan. Aku sudah diangkat menjadi guru tetap di yayasan tempatku mengajar, gajiku lumayan besar. Bila kamu dan ibumu mau kembali ke rumahku, aku akan dengan tangan terbuka menerima," ucap Purnama, suaranya terdengar tulus, tanpa sedikit pun nada dendam atau cemooh.
Pria itu duduk di kursi kayu yang sudah usang, sama seperti kursi yang Mentari duduki. Di antara mereka, sebuah meja kecil dengan taplak yang warnanya telah memudar menjadi saksi bisu. Dari celah dinding papan, seberkas cahaya senja masuk, menyorot debu-debu yang beterbangan di udara, seolah ikut mengintip percakapan yang terasa berat itu.
Mentari tidak berani mengangkat wajahnya. Pandangannya terpaku pada pola retak di lantai plesteran di bawah kakinya. Setiap kata yang diucapkan Purnama adalah sebuah kebaikan yang terasa seperti tamparan keras di wajahnya.
"Tidak, Mas. Kami malu," jawab Mentari lirih, suaranya nyaris bergetar. "Kami malu dengan semua perlakuan dan ucapan tidak baik kami kepadamu. Aku akan tetap di sini, bersama ibu, dengan kehidupan seadanya. Mas Jaya, yang dulu menjamin kehidupan kami memang sudah pergi, karena sudah mendapatkan wanita lain yang lebih cantik, lebih menarik, meninggalkan aku dan ibu yang terpaksa harus bekerja serabutan jadi pembantu di rumah orang. Tapi untuk kembali kepadamu, aku sudah tidak punya muka lagi, Mas."
Hening sejenak. Purnama menarik napas panjang, mencoba mencari kata yang tepat. "Aku... aku masih mencintaimu, Mentari."
Pengakuan itu, alih-alih melegakan, justru terasa seperti belati yang menghunjam lebih dalam ke ulu hati Mentari. Cinta yang tak seharusnya masih ada. Kesetiaan yang tak pantas ia terima.
"Terima kasih, Mas. Terima kasih banyak," Mentari akhirnya berhasil memaksakan seulas senyum getir, meski matanya mulai panas. "Aku tahu hatimu tulus dan ikhlas. Tapi, justru itulah yang membuatku merasa tidak pantas. Biarlah aku dan ibu tetap di sini, menjalani kehidupan kami. Sengsara memang, tapi anggaplah ini sebagai tebusan untuk kesalahan kami dulu yang telah keterlaluan kepadamu. Pulanglah, Mas!"
Mentari menunduk semakin dalam. Pelupuk matanya tak mampu lagi menampung air mata yang terus menggenang. Setetes darinya jatuh ke lantai, pecah membentuk lingkaran bergerigi tajam, setajam serpihan kaca yang kini terasa memenuhi dadanya. Setajam ingatan akan hardiknya pada Purnama dulu, setajam keputusannya untuk melangkah pergi meninggalkan pria itu dalam keterpurukan.
Purnama menghela napas berat, terdengar pasrah. Ia mengerti. Mungkin memang belum saatnya. Tanpa berkata-kata lagi, ia bangkit dari kursinya, melangkah pelan menuju pintu, dan menghilang di balik senja yang semakin temaram.
Sepeninggal Purnama, hanya suara jangkrik dari pekarangan dan detak jam dinding tua yang mengisi kekosongan. Mentari masih terpaku di kursinya, membiarkan air matanya mengalir tanpa suara. Setiap tetesnya adalah pengakuan atas dosa yang tak terucap, sebuah janji bisu untuk menjalani hukuman yang ia ciptakan sendiri. Lingkaran bergerigi tajam di lantai itu seakan terus melebar, menjeratnya dalam labirin penyesalan yang tak berujung.
Bab 2: Debu Batako dan Air Cucian
Fajar baru saja memecah langit Cirebon yang kelabu saat suara batuk kering dari kamar sebelah membangunkan Mentari. Itu adalah alarm paginya, penanda bahwa ibunya, Lastri, sudah terjaga dan bersiap untuk pertarungannya sehari-hari. Mentari bangkit, meregangkan punggungnya yang terasa kaku karena tidur di atas dipan bambu yang keras.
Di dapur yang sempit, Lastri sudah sibuk menanak nasi di atas tungku kayu. Wajahnya yang keriput tampak lebih lelah dari biasanya, dengan kantung mata yang menghitam. Setiap kali ia menarik napas, ada bunyi berderit pelan dari dadanya.
"Ibu tidak apa-apa?" tanya Mentari sambil menuangkan air ke dalam cerek.
Lastri tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. "Hanya debu batako kemarin, Nduk. Biasa," jawabnya, diselingi batuk kecil. Tangannya yang kapalan dan dipenuhi guratan hitam bekas semen meraih segelas air putih.
Mentari menatap tangan itu dengan hati perih. Tangan yang dulu lembut merawatnya, kini menjadi sekeras batu yang setiap hari dicetak oleh ibunya. Di tempat percetakan batako yang panas dan berdebu, Lastri mengangkat adukan semen dan pasir, menekannya ke dalam cetakan, lalu menjemurnya di bawah terik matahari. Upahnya tak seberapa, hanya cukup untuk makan hari itu. Inilah tebusan dosa itu, pikir Mentari getir, hukuman yang harus mereka jalani bersama.
Setelah sarapan seadanya dengan nasi dan sejumput garam, Mentari pun berangkat. Hari ini jadwalnya adalah rumah Bu Siska, seorang istri pejabat kecil di kompleks perumahan yang cukup mentereng.
"Mentari, cucian yang kemarin warnanya agak kusam, ya? Kamu pakai pemutihnya kurang banyak?" sapa Bu Siska tanpa basa-basi begitu Mentari tiba, matanya meneliti sehelai kemeja putih suaminya.
"Maaf, Bu. Kemarin sudah saya beri sesuai takaran," jawab Mentari sopan, menundukkan kepala.
"Lain kali tambahkan saja. Lalu tolong setrika semua baju ini, jangan sampai ada satu lipatan pun. Bapak paling tidak suka kalau kemejanya lecek," perintahnya lagi, menunjuk tumpukan pakaian yang menggunung.
Selama berjam-jam, Mentari berkutat dengan panasnya setrika, bau deterjen yang menyengat, dan lantai keramik yang harus mengilap tanpa bekas. Ia bekerja dalam diam, menelan setiap perintah dan keluhan kecil yang sesekali dilontarkan majikannya. Ia adalah bayangan tak terlihat yang memastikan rumah itu tetap bersih dan nyaman, sementara dirinya sendiri basah oleh keringat dan diliputi lelah.
Sore harinya, saat Mentari menerima upahnya—beberapa lembar uang puluhan ribu yang terasa begitu berharga—ia kembali berjalan pulang di bawah sisa-sisa panas matahari. Ia melihat ibunya sudah duduk di teras, memijat-mijat bahunya sendiri. Napasnya masih terdengar berat.
Mereka bertatapan dalam diam. Tak perlu ada kata-kata. Keduanya mengerti. Lelah yang mereka rasakan bukan sekadar lelah fisik. Itu adalah lelah jiwa yang terperangkap dalam rutinitas tanpa harapan. Setiap hari adalah pengulangan dari hari sebelumnya: debu batako yang menyesakkan dada dan air cucian yang membuat tangan kasar, semua demi menebus satu kesalahan besar di masa lalu. Dan Mentari tahu, ia harus mencari jalan lain sebelum tebusan ini merenggut sisa-sisa kehidupan dari wanita yang paling ia cintai.
Bab 3: Rumah di Ujung Jalan
Seminggu berlalu, dan batuk Lastri tak kunjung reda. Malah, kini sering kali disertai dengan sesak napas yang membuat wanita paruh baya itu harus berhenti bekerja lebih awal. Uang simpanan mereka semakin menipis, terkuras untuk membeli obat batuk warungan yang sepertinya tak memberi efek apa-apa. Keputusasaan mulai merayap di hati Mentari, terasa dingin dan berat.
Harapan datang dari sumber yang tak terduga. Saat sedang beristirahat di sela pekerjaannya di rumah lain, ia tak sengaja mendengar percakapan antara dua pembantu lain. Mereka membicarakan kepala yayasan pendidikan yang baru, seorang pensiunan guru terpandang dari kota besar yang kini menempati rumah dinas di ujung jalan.
"Katanya Pak Darsono itu cari pembantu yang bisa tinggal di dalam. Kasihan, hidup sendirian," kata salah seorang dari mereka. "Gajinya pasti besar. Rumahnya saja paling megah di kompleks ini."
Jantung Mentari berdebar kencang. Bekerja dan tinggal di dalam. Itu artinya penghasilan tetap, tidak perlu lagi berpindah-pindah setiap hari. Dan yang terpenting, ia bisa membawa ibunya pergi dari rumah reyot mereka, menjauhkannya dari debu batako yang perlahan merenggut napasnya.
Namun keraguan segera membayangi. Kepala yayasan. Itu adalah lingkungan tempat Purnama bekerja. Bagaimana jika mereka bertemu? Bagaimana jika Purnama tahu ia bekerja sebagai pembantu di rumah atasannya? Rasa malu kembali mencengkeramnya.
Malam itu, saat mendengar ibunya terbatuk-batuk hebat dalam tidurnya, Mentari membulatkan tekad. Ia menyingkirkan semua egonya. Kesembuhan ibunya jauh lebih penting daripada rasa malunya sendiri.
Keesokan paginya, dengan pakaian terbaik yang ia miliki—sebuah blus batik pudar dan rok panjang—Mentari memberanikan diri mendatangi rumah besar di ujung jalan itu. Pagar besinya yang tinggi tampak mengintimidasi. Setelah menarik napas dalam-dalam, ia menekan bel.
Seorang pria tua dengan rambut yang sepenuhnya memutih dan kacamata tebal membukakan pintu. Wajahnya memancarkan aura bijaksana dan tenang. Itulah Pak Darsono.
"Ada yang bisa saya bantu, Nduk?" tanyanya dengan suara yang ramah.
"Permisi, Pak. Saya Mentari. Saya dengar Bapak sedang mencari asisten rumah tangga untuk tinggal di sini," ucap Mentari dengan suara sedikit bergetar, menundukkan pandangan.
Pak Darsono tersenyum ramah. "Oh, iya, benar. Silakan masuk, masuk."
Di ruang tamu yang luas dan sejuk, jauh berbeda dari rumahnya yang pengap, Mentari menceritakan pengalamannya bekerja. Ia tidak menyembunyikan apa pun, termasuk kondisi ibunya.
Pak Darsono mendengarkan dengan saksama. Ada sorot iba di matanya saat Mentari berbicara tentang ibunya. "Saya ini hidup sendiri. Istri saya di Lampung, tidak bisa ikut karena sudah sepuh," jelas Pak Darsono. "Saya butuh seseorang yang bisa dipercaya untuk mengurus rumah ini. Dan sepertinya kamu anak yang jujur dan pekerja keras."
Singkat cerita, Mentari diterima. Gajinya jauh di atas yang pernah ia bayangkan. Pak Darsono bahkan mengizinkannya untuk membawa ibunya tinggal di paviliun kecil di belakang rumah utama.
Saat Mentari melangkah keluar dari gerbang rumah itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan secercah harapan. Mungkin ini adalah awal dari kehidupan yang lebih baik. Mungkin ini adalah cara Tuhan menjawab doanya. Ia belum tahu, bahwa rumah di ujung jalan itu, yang tampak seperti surga penyelamat, kelak akan menjadi persimpangan baru yang jauh lebih rumit dalam hidupnya.
Bab 4: Suara dari Seberang Pulau
Dua minggu pertama di rumah Pak Darsono terasa seperti mimpi bagi Mentari. Ibunya bisa beristirahat total di paviliun yang nyaman, dan batuknya perlahan membaik berkat udara yang lebih bersih dan makanan yang bergizi. Mentari sendiri bekerja dengan sepenuh hati. Ia membersihkan setiap sudut rumah hingga berkilau, memasak hidangan yang lezat, dan menata taman kecil di halaman belakang.
Pak Darsono tampak sangat puas. Ia sering memuji pekerjaan Mentari, menyebutnya sebagai "berkah" di masa tuanya. Sikapnya yang kebapakan dan bijaksana membuat Mentari merasa aman dan dihormati, sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Namun, ketenangan itu mulai terusik pada suatu Minggu malam. Saat sedang menyajikan teh di ruang kerja Pak Darsono, Mentari mendengar dering telepon. Pak Darsono mengangkatnya, dan raut wajahnya langsung berubah lembut.
"Halo, assalamu'alaikum, Dik," sapanya. "Bagaimana kabarmu? Sudah minum obat?"
Mentari tahu itu adalah telepon dari istri Pak Darsono di Lampung. Ia segera undur diri, tak ingin mengganggu percakapan pribadi mereka. Namun, dari balik pintu yang sedikit terbuka, ia masih bisa menangkap beberapa potong kalimat.
"Bapak di sini baik-baik saja... Iya, sudah ada yang bantu-bantu, anaknya baik sekali... Oh, kamu jangan berpikir macam-macam..."
Terdengar jeda cukup lama. Pak Darsono hanya mendengarkan. Lalu, suaranya terdengar lagi, kali ini dengan nada yang sedikit berbeda, seolah menutupi sesuatu.
"Sudahlah, Dik. Bapak ini sudah tua, tidak ada pikiran ke sana. Kamu jaga kesehatan saja baik-baik, ya. Sudah, assalamu'alaikum."
Setelah menutup telepon, Pak Darsono terdiam lama di kursinya, menatap kosong ke arah jendela. Mentari tidak tahu apa yang dikatakan istrinya, tapi ia bisa merasakan ada yang berubah dari suasana hati majikannya.
Di seberang pulau, seorang wanita tua yang ringkih baru saja mengatakan sesuatu yang tak terduga. "Pak," katanya dengan suara lemah, "Kalau Bapak kesepian di sana, dan ada wanita baik yang bisa merawat Bapak, menikahlah lagi. Aku ikhlas. Aku tidak mau Bapak sendirian di sisa hidupmu."
Di depan istrinya, Pak Darsono menolak gagasan itu mentah-mentah. Itu adalah hal yang tidak pantas bagi seorang pria seusianya. Namun, di dalam hatinya yang sunyi, ucapan itu seperti benih yang jatuh di tanah kering. Sebuah gagasan yang berbahaya mulai tumbuh.
Sejak malam itu, tatapan Pak Darsono pada Mentari mulai terasa berbeda. Pujiannya bukan lagi sekadar pujian seorang majikan pada pekerjanya. Ada sesuatu yang lain di sana, sesuatu yang membuat Mentari merasa sedikit resah. Saat Mentari menyajikan makanan, Pak Darsono akan menatap tangannya lebih lama dari biasanya. Saat Mentari membersihkan ruangan, ia akan memperhatikan sosoknya dalam diam.
Aura kebapakan yang dulu membuat Mentari merasa aman, kini perlahan terkikis, digantikan oleh sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Benih yang ditanam oleh suara dari seberang pulau itu telah berkecambah, dan akarnya mulai merayap, mengancam akan mengubah surga kecil yang baru saja Mentari temukan.
Bab 5: Umpan di Air Tenang
Purnama sedang memeriksa hasil ulangan murid-muridnya ketika seorang staf tata usaha memberitahunya bahwa ia dipanggil oleh Ketua Yayasan. Dengan sedikit rasa cemas—karena panggilan mendadak dari atasan tertinggi jarang membawa kabar biasa—ia segera menuju kantor Pak Darsono.
Di luar dugaan, Pak Darsono menyambutnya dengan senyum lebar dan dua set alat pancing yang bersandar di dinding. "Purnama, kamu suka memancing?" tanyanya, tanpa basa-basi.
"Dulu sesekali, Pak. Sekarang sudah jarang," jawab Purnama, masih sedikit bingung.
"Bagus. Temani saya sore ini. Ada tempat pemancingan yang bagus di pinggir kota. Kita cari angin segar," ajak Pak Darsono.
Purnama tak bisa menolak. Sebuah kehormatan diajak pergi secara pribadi oleh atasannya. Ia melihatnya sebagai pertanda baik, sebuah pengakuan atas kerja kerasnya selama ini. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya sedang digiring ke sebuah percakapan yang akan menjungkirbalikkan dunianya.
Mereka duduk di tepi sebuah danau kecil yang tenang. Airnya yang kehijauan memantulkan bayangan pepohonan rindang di sekelilingnya. Selama hampir satu jam, mereka memancing dalam diam, hanya bertukar komentar sesekali tentang umpan atau tarikan ikan kecil.
Setelah merasa cukup nyaman, Pak Darsono memulai. "Purnama," katanya sambil menatap permukaan air yang tenang. "Menurutmu, apa yang paling ditakuti seorang pria saat memasuki usia senja?"
Purnama berpikir sejenak. "Mungkin... kesepian, Pak?"
Pak Darsono mengangguk pelan. "Tepat. Kesepian. Dikelilingi harta, dihormati banyak orang, tapi saat pulang ke rumah, yang menyambut hanya dinding yang bisu. Itu adalah penjara yang paling menyiksa."
Purnama hanya diam mendengarkan, merasa percakapan ini mulai mengarah ke ranah yang sangat pribadi.
"Bagaimana pendapatmu," lanjut Pak Darsono, matanya masih terpaku pada pelampung pancingnya, "jika ada seorang pria di posisi saya, yang masih memiliki istri sah tapi hidup terpisah jauh, lalu ia berpikir untuk menikah lagi demi mengusir sepi? Apa itu pantas?"
Purnama menjawab dengan hati-hati, memilih kata-katanya dengan bijak. "Selama niatnya baik, untuk ibadah dan saling merawat di hari tua, saya rasa tidak ada yang salah, Pak. Kebahagiaan adalah hak setiap orang, tidak memandang usia."
Pak Darsono tersenyum tipis, seolah puas dengan jawaban itu. "Tapi, bagaimana jika wanita itu jauh lebih muda? Dan bagaimana dengan nama baik? Reputasi? Apa masyarakat tidak akan mencibir dan kehilangan rasa hormat?"
Ini adalah pertanyaan jebakan, dan Purnama merasakannya. Ia berpikir lebih panjang sebelum menjawab. "Masyarakat akan selalu punya pendapatnya sendiri, Pak. Tapi pada akhirnya, yang menjalani hidup adalah orang itu sendiri. Selama semua dilakukan sesuai kaidah dan tidak ada pihak yang dirugikan, saya rasa nama baik bisa dijaga."
Pak Darsono terdiam cukup lama, seolah menimbang-nimbang jawaban Purnama. Lalu, dengan nada yang lebih pelan, ia melemparkan umpan terakhirnya. "Wanita itu... adalah pembantu di rumah saya. Namanya Mentari."
DEG.
Dunia Purnama seakan berhenti berputar. Joran pancing di tangannya bergetar hebat, nyaris terlepas dan jatuh ke dalam air. Ia mencengkeramnya erat-erat, buku-buku jarinya memutih. Mentari. Nama itu berdengung di telinganya, mengalahkan suara angin dan desiran air.
"Bagaimana menurutmu, Purnama?" tanya Pak Darsono lagi, kini menoleh dan menatap langsung ke matanya. "Apa kata orang nanti? Seorang kepala yayasan terpandang, menikahi pembantunya sendiri?"
Purnama terbungkam. Lidahnya kelu. Pikirannya kalut. Jadi ini alasannya. Batu besar yang ia khawatirkan itu kini bukan lagi menggelinding, tapi sudah jatuh tepat di hadapannya, menghalangi jalannya. Pria yang memegang nasib pekerjaannya, pria yang ia hormati, kini adalah saingannya untuk mendapatkan kembali satu-satunya wanita yang pernah dan masih ia cintai.
Bab 6: Jawaban yang Tertunda (Revisi)
Keheningan di tepi danau itu terasa memekakkan telinga. Pertanyaan Pak Darsono menggantung di udara, menuntut jawaban yang tidak dimiliki Purnama. Otaknya bekerja keras, mencari jalan keluar dari percakapan yang terasa seperti ranjau darat ini. Salah langkah sedikit saja, karier dan masa depannya bisa hancur. Tapi di sisi lain, hatinya menjeritkan nama Mentari.
Ia menelan ludah, mencoba membasahi tenggorokannya yang kering. "Maaf, Pak," jawabnya dengan suara serak, memaksakan diri untuk tetap tenang. "Saya rasa... saya tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan sepenting itu."
Pak Darsono menatapnya dengan kening berkerut, menanti kelanjutan kalimatnya.
"Maksud saya," lanjut Purnama, memilih kata-katanya dengan sangat hati-hati, "saya ini hanya seorang guru, Pak. Waktu dan pikiran saya selama ini lebih banyak saya habiskan untuk memikirkan bagaimana cara mengajar yang baik, bagaimana agar anak-anak didik kita bisa nyaman belajar dan meraih prestasi. Soal rumah tangga, apalagi yang menyangkut reputasi sebesar ini, saya... saya benar-benar tidak banyak tahu."
Ia sengaja merendahkan dirinya, menempatkan dirinya sebagai bawahan yang hanya fokus pada pekerjaannya, yang tidak pantas ikut campur urusan pribadi atasannya. Itu adalah satu-satunya jawaban aman yang bisa ia pikirkan.
Setelah mengucapkan itu, Purnama segera bangkit. "Mohon maaf sekali lagi, Pak. Sepertinya saya harus segera pamit. Tiba-tiba saya teringat ada keperluan mendesak yang harus saya urus."
Pak Darsono tampak sedikit kecewa dengan jawaban yang mengambang itu, tapi ia hanya mengangguk. "Oh, baiklah kalau begitu."
Tanpa berani menatap wajah atasannya lagi, Purnama segera membereskan alat pancingnya dengan gerakan cepat dan kaku. Ia berpamitan dengan singkat, lalu setengah berlari menuju sepeda motornya.
Di sepanjang perjalanan pulang, pikirannya berkecamuk hebat. Angin sore yang menerpa wajahnya sama sekali tak mampu mendinginkan kepalanya yang terasa panas. Mentari dan Pak Darsono. Dua nama itu terus berputar di benaknya. Ia teringat detail lain dari ucapan Pak Darsono di tepi danau tadi.
"Dia tinggal bersama ibunya di paviliun belakang rumah dinas saya," kata Pak Darsono saat itu, dengan nada kasihan. "Ibunya sakit-sakitan, kasihan kalau harus bolak-balik."
Detail itu, yang tadinya hanya terdengar seperti informasi biasa, kini terasa seperti alamat tujuan yang paling mendesak. Kecemasan mencengkeram hatinya. Ia sadar, waktunya sempit. Pak Darsono juga pasti akan segera pulang. Ia harus tiba di sana, berbicara dengan Mentari, dan pergi sebelum atasannya itu tiba. Ketahuan oleh Pak Darsono di rumahnya sendiri akan menjadi bencana.
Dengan pikiran itu, ia memutar gas motornya hingga penuh. Mesin tua itu meraung, meluncur secepat mungkin membelah jalanan kota yang mulai ramai. Tujuannya bukan lagi rumah kontrakan tua yang pengap, melainkan kompleks perumahan megah tempat rumah dinas Ketua Yayasan berada. Ia harus tiba di sana sebelum semua terlambat, sebelum batu besar itu benar-benar menutup jalannya untuk selamanya.
Bab 7: Aku Takut Kehilanganmu
Hari sudah sangat sore saat motor Purnama memasuki gerbang kompleks perumahan yang megah itu. Jantungnya berdebar kencang saat ia melambatkan laju motornya di depan rumah dinas Ketua Yayasan. Dari kejauhan, ia melihat sosok yang dicarinya. Di halaman belakang paviliun kecil yang sederhana, tampak Mentari sedang menjemur sisa pakaian. Pemandangan itu—wanita yang dicintainya melakukan pekerjaan rumah tangga di kediaman pria lain—terasa seperti sayatan pisau di hatinya.
Ia memarkir motornya dan berjalan cepat menghampiri. Mentari, yang tidak menyadari kedatangannya, sedikit terperanjat saat mendengar langkah kaki di belakangnya. Ia berbalik dan matanya membelalak kaget.
"Mas Purnama? Sedang apa di sini?" tanyanya, suaranya terdengar cemas.
Purnama tidak membuang waktu. Wajahnya tegang, sorot matanya penuh kekalutan. "Mentari, jawab jujur. Apakah ada pria lain yang mencoba mendekatimu?"
Mentari mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu. "Mendekati? Tidak ada, Mas. Sehari-hari aku hanya sibuk bekerja di rumah ini."
"Tapi ada seorang pria yang sedang tertarik padamu," desak Purnama.
"Siapa?" tanya Mentari heran.
Purnama menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Pak Darsono."
Dunia Mentari seakan berguncang. Ia mundur selangkah, tangannya yang memegang pakaian basah terkulai lemas. "Bagaimana... bagaimana Mas bisa tahu?" bisiknya, tak percaya.
"Aku bekerja di yayasan miliknya, Mentari. Aku guru di salah satu sekolahnya," jelas Purnama, suaranya kini melirih, dipenuhi ketakutan yang tak bisa lagi ia sembunyikan. "Aku takut kehilanganmu, Mentari."
Ia melangkah maju, tatapannya memohon. "Kedatanganku kemari... aku ingin mencoba untuk kedua kalinya. Aku ingin mengajakmu kembali padaku. Kumohon, Mentari."
Melihat keputusasaan di mata pria yang pernah ia sakiti itu, hati Mentari terasa hancur. Rasa bersalah yang selama ini ia pendam meluap, berubah menjadi penolakan yang dingin dan tajam—bukan untuk menyakiti Purnama, tapi untuk menghukum dirinya sendiri.
"Tidak perlu takut kehilangan wanita berhati jahat sepertiku, Mas," ucap Mentari, suaranya datar namun bergetar. "Wanita tidak setia yang meninggalkan suaminya saat berada di titik terendah tidak pantas untuk diinginkan. Wanita semacam itu... harus kamu jauhi, Mas. Bukan kamu tarik kembali ke dalam hidupmu."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Mentari segera berbalik, tak sanggup lagi menatap wajah Purnama. Ia buru-buru menyelesaikan pekerjaannya, memunggungi pria itu, seolah membangun dinding di antara mereka.
Purnama terpaku di tempatnya, membeku. Penolakan kedua ini terasa seribu kali lebih menyakitkan daripada yang pertama. Karena kali ini, ia tahu ada alasan lain di baliknya. Ada bayangan pria lain yang lebih berkuasa, dan ada dinding rasa bersalah Mentari yang ternyata jauh lebih tinggi dan lebih kokoh dari yang pernah ia bayangkan.
Bab 8: Fragmen Kenangan Pahit
Purnama telah pergi, menyisakan keheningan yang lebih pekat dari sebelumnya. Mentari terduduk lemas di bangku kayu di luar paviliun, tumpukan pakaian yang setengah kering terlupakan begitu saja. Kata-katanya sendiri—"wanita berhati jahat"—bergaung di telinganya, terasa seperti vonis yang ia jatuhkan untuk dirinya sendiri.
Ia memejamkan mata, namun kegelapan di balik kelopak matanya justru memutar proyektor kenangan yang paling ingin ia lupakan. Fragmen-fragmen masa lalu itu muncul tanpa diundang, tajam dan menyakitkan.
Rumah kontrakan petak itu terasa pengap dan panas. Purnama baru saja pulang, wajahnya kuyu dan basah oleh keringat setelah seharian bekerja sebagai kuli bangunan. Di tangannya hanya ada beberapa lembar uang lecek, cukup untuk membeli beras dan lauk seadanya.
Di sudut ruangan, Jaya duduk dengan angkuh. Pria itu, teman lama Mentari, datang dengan mobil mengilap dan mengenakan kemeja wangi. Ia datang membawa janji-janji tentang kehidupan yang lebih baik, tentang toko kelontong yang akan ia bukakan untuk ibu Mentari.
"Lihat dirimu, Mas! Pulang hanya membawa lelah!" hardik Mentari, suaranya melengking, dipengaruhi oleh bisikan ibunya dan pesona sesaat yang dibawa Jaya. "Lelaki macam apa kamu? Lihat Mas Jaya, dia datang menawarkan masa depan! Bukan hanya makan dengan nasi dan garam setiap hari seperti ini! Aku muak, Mas! Aku dan Ibu pantas mendapatkan yang lebih baik!"
Purnama hanya diam, menatapnya dengan sorot mata yang terluka begitu dalam. Tak ada pembelaan. Hanya keheningan seorang suami yang martabatnya baru saja diinjak-injak oleh istrinya sendiri di depan pria lain. Dan keheningan itulah yang kini terasa lebih menusuk daripada seribu makian.
Ingatan itu membuat dada Mentari sesak. Ia membuka mata, terengah-engah seolah baru saja tenggelam. Tapi proyektor di kepalanya belum berhenti. Adegan berganti.
Beberapa bulan setelah meninggalkan Purnama, ia tinggal di rumah yang lebih bagus bersama Jaya dan ibunya. Makanan selalu tersedia, pakaian selalu baru. Tapi rumah itu terasa dingin. Setiap malam, Mentari mengunci pintu kamarnya rapat-rapat.
Jaya mulai tidak sabar. "Mentari," katanya suatu malam, mencoba menahan lengan Mentari saat ia hendak masuk ke kamar. "Aku sudah memberikan semua yang kamu dan ibumu mau. Kapan kamu akan memberikan apa yang aku mau?"
Napas Jaya berbau alkohol. Tatapannya liar. Mentari merinding ketakutan. "Aku lelah, Mas Jaya. Besok saja," elaknya, menarik tangannya dengan paksa dan segera masuk ke kamar, membanting pintu dan menguncinya.
Kejadian seperti itu terus berulang. Rayuan berubah menjadi paksaan, paksaan berubah menjadi ancaman. Mentari selalu berhasil menghindar, tapi ia hidup dalam ketakutan terus-menerus. Ia sadar, ia telah salah langkah. Ia lari dari kemiskinan, tapi masuk ke dalam sangkar emas yang menuntut bayaran berupa kehormatannya.
Puncaknya adalah saat Jaya pulang dengan marah besar. "Dasar perempuan tidak tahu diuntung!" bentaknya, melemparkan tas ke lantai. "Di luar sana banyak perempuan yang lebih cantik dan lebih tahu cara berterima kasih! Aku sudah menemukan yang baru! Kalian berdua, pergi dari rumah ini besok pagi!"
Mentari tersentak kembali ke masa kini. Air matanya sudah membanjiri pipi. Ia terisak tanpa suara.
Kini ia mengerti. Rasa bersalahnya bukan hanya karena telah meninggalkan Purnama. Tapi juga karena kebodohannya sendiri. Ia meninggalkan pria tulus demi fatamorgana kemewahan, dan pada akhirnya ia tidak mendapatkan apa-apa selain rasa malu dan kehinaan. Ia telah gagal sebagai seorang istri, dan ia juga telah gagal dalam usahanya mencari kehidupan yang lebih baik.
Bagaimana mungkin ia bisa kembali pada Purnama dengan membawa semua kotoran ini? Purnama adalah kanvas putih yang bersih, sementara dirinya adalah kain lap yang penuh noda. Menerima cinta Purnama terasa seperti kejahatan terbesar, seperti dengan sengaja menumpahkan tinta hitam ke atas kanvas putih itu. Tidak. Ia tidak akan melakukannya. Biarlah ia tetap menjadi kain lap, terbuang dan terlupakan. Itu adalah takdir yang pantas ia terima.
Bab 9: Langkah Sang Tuan
Setelah pertemuan yang canggung dengan Purnama, Mentari berusaha membangun kembali benteng pertahanannya. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan, berharap rutinitas bisa menjadi perisai dari gejolak hatinya. Namun, ia segera menyadari bahwa ancaman tidak hanya datang dari masa lalunya, tetapi juga dari masa kini, tepat di dalam rumah tempat ia berlindung.
Pak Darsono, yang sebelumnya hanya bersikap ramah selayaknya atasan, kini mulai menunjukkan perhatian yang lebih pribadi. Perubahan itu terjadi secara perlahan, namun terasa nyata dan membuat Mentari semakin resah.
Suatu pagi, ketika ibu Mentari terbatuk lebih keras dari biasanya, Pak Darsono muncul di paviliun membawa sekotak obat batuk herbal yang harganya mahal. "Ini coba diminum, Bu," katanya pada Lastri. "Saya dengar ini bagus untuk membersihkan paru-paru. Jangan khawatir soal biayanya."
Lastri tentu saja sangat berterima kasih, melihatnya sebagai kebaikan hati seorang majikan. Tapi Mentari merasakan hal lain. Ia melihatnya sebagai sebuah langkah, sebuah investasi kebaikan yang menuntut imbalan.
Perhatian itu tidak berhenti di situ. Saat Mentari memasak, Pak Darsono akan datang ke dapur, duduk di meja makan, dan mengawasinya dalam diam. "Masakanmu selalu mengingatkanku pada masakan almarhumah ibuku, Nduk. Enak dan menenangkan," pujinya suatu hari. Pujian yang tulus beberapa minggu lalu, kini terdengar seperti sanjungan yang memiliki tujuan.
Di akhir pekan, ia memberikan Mentari bonus kecil. "Untuk jajan," katanya sambil tersenyum. "Anggap saja ucapan terima kasih karena sudah merawat rumah ini dengan baik."
Mentari ingin menolak, tapi ia tahu penolakan itu akan dianggap tidak sopan dan tidak tahu berterima kasih. Ia menerima uang itu dengan tangan gemetar, merasa seolah baru saja menerima rantai pertama dari belenggu emas.
Setiap langkah yang diambil Pak Darsono terasa seperti jaring yang dilemparkan secara perlahan ke sekelilingnya. Ia tidak bisa lari. Kebaikan pria itu mengikatnya, kebaikannya pada ibunya menyandera baktinya. Ia merasa terpojok. Di satu sisi, ada Purnama yang menawarkan cinta tulus dari masa lalu yang ingin ia kubur. Di sisi lain, ada Pak Darsono yang menawarkan keamanan dan kenyamanan masa kini, namun dengan harga yang tidak berani ia bayangkan.
Suatu malam, ketika ia mengantarkan kopi ke ruang kerja Pak Darsono, pria itu menatapnya lebih lama dari biasanya. "Mentari," katanya dengan suara berat. "Kamu betah kerja di sini?"
"Betah, Pak," jawab Mentari, menunduk.
"Baguslah," kata Pak Darsono. "Karena saya berharap kamu bisa tinggal di sini untuk waktu yang sangat lama."
Kalimat itu, dengan segala makna tersiratnya, terasa seperti gembok yang terkunci. Jerat itu kini terasa semakin kencang, dan Mentari sadar, ia tidak bisa terus menghindar. Cepat atau lambat, ia harus menghadapi tuan rumah yang langkahnya semakin mendekat.
Bab 10: Lamaran di Meja Makan
Malam itu, setelah Mentari selesai membereskan dapur, Pak Darsono memanggilnya ke ruang makan. Pria itu tidak duduk di kursi kerjanya yang biasa, melainkan di kursi utama meja makan yang besar. Lampu gantung di atasnya menyorot wajahnya yang serius, menciptakan bayangan-bayangan tegas yang membuat auranya terasa lebih berat.
"Duduklah, Mentari. Ada yang ingin Bapak bicarakan," katanya, menunjuk kursi di seberangnya.
Jantung Mentari mulai berdebar tak karuan. Ia menuruti perintah itu, duduk dengan gelisah di ujung kursi, kedua tangannya bertaut di pangkuan.
Pak Darsono menatapnya lurus-lurus, tatapannya tajam namun tidak mengancam. "Mentari, selama kamu bekerja di sini, Bapak melihatmu sebagai wanita yang baik, pekerja keras, dan penuh tanggung jawab. Kamu merawat rumah ini dan juga ibumu dengan sangat baik."
Mentari hanya menunduk, tidak tahu harus merespons apa.
"Kamu tahu Bapak hidup sendirian," lanjutnya. "Dan Bapak sudah tidak muda lagi. Harta dan jabatan, ternyata tidak bisa membeli kehangatan sebuah rumah. Bapak kesepian."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.
"Bapak tidak akan berbicara tentang cinta seperti anak muda," kata Pak Darsono, nadanya kini berubah menjadi lebih pragmatis, seperti seorang pebisnis yang sedang mengajukan sebuah proposal. "Bapak ingin menawarkan sebuah kesepakatan hidup. Sebuah kemitraan."
Mentari mengangkat wajahnya, bingung.
"Menikahlah dengan Bapak," ucap Pak Darsono, lugas dan tanpa emosi. "Bapak tidak akan menuntut banyak darimu. Cukup temani Bapak di sisa hidup Bapak, rawat rumah ini sebagai rumahmu sendiri. Sebagai imbalannya, Bapak akan menjamin kehidupanmu dan ibumu. Kalian tidak perlu lagi memikirkan soal uang. Ibumu akan mendapatkan perawatan terbaik. Kamu akan menjadi seorang nyonya, bukan lagi pembantu. Statusmu akan terangkat."
Dunia Mentari seakan runtuh. Ini dia. Momen yang ia takuti telah tiba. Lamaran itu diucapkan bukan dengan bahasa cinta yang bisa ia tolak dengan mudah, melainkan dengan logika dingin yang menusuk tepat ke jantung kebutuhannya. Keamanan. Martabat. Kesembuhan ibunya. Semua yang tidak bisa ia berikan untuk dirinya sendiri, kini ditawarkan di atas piring perak.
Melihat Mentari yang pucat pasi dan membisu, Pak Darsono menghela napas. "Bapak tahu ini mengejutkan. Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang," katanya dengan nada yang lebih lembut, seolah menunjukkan kemurahan hatinya. "Pikirkanlah baik-baik. Pikirkan tentang masa depanmu, dan terutama, pikirkan tentang ibumu. Bapak akan memberimu waktu."
Setelah itu, Pak Darsono bangkit dan meninggalkan Mentari sendirian di meja makan yang besar itu. Mentari masih terpaku di kursinya, merasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Tawaran itu bukan sebuah pertanyaan, melainkan sebuah beban. Sebuah pilihan antara menebus dosa masa lalunya dengan tetap hidup dalam kesulitan, atau mengkhianati hatinya demi sebuah kehidupan yang aman dan terjamin. Dan ia tidak tahu mana yang lebih menyakitkan.
Bab 11: Air Mata Seorang Ibu
Mentari melangkah kembali ke paviliun dengan kaki yang terasa berat, seolah menyeret beban yang tak terlihat. Pikirannya kosong. Lamaran Pak Darsono berdengung di kepalanya, menenggelamkan semua suara lain.
Ia menemukan ibunya, Lastri, sedang duduk di tepi ranjang sambil melipat pakaian. Melihat wajah putrinya yang pucat dan kebingungan, Lastri langsung merasa cemas.
"Ada apa, Nduk? Kamu sakit?" tanyanya, tangannya yang keriput terulur untuk menyentuh dahi Mentari.
Mentari menggeleng pelan. Ia duduk di samping ibunya, tak sanggup menatap mata wanita tua itu. Setelah hening beberapa saat, dengan suara yang nyaris berbisik, ia menceritakan semuanya. Tentang tawaran Pak Darsono, tentang janji kehidupan yang terjamin, tentang status sebagai seorang nyonya.
Semakin banyak yang ia ceritakan, mata Lastri semakin berbinar. Kerutan lelah di wajahnya seolah tersapu oleh secercah harapan yang begitu terang. Saat Mentari selesai berbicara, Lastri tidak bisa menahan diri. Air mata mengalir deras di pipinya yang tirus. Tapi itu bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan.
"Ya Gusti... Alhamdulillah..." bisik Lastri, tangannya gemetar saat menggenggam tangan putrinya. "Ini... ini jawaban dari semua doa Ibu, Nduk! Ini jalan keluar kita!"
Mentari hanya diam, hatinya terasa semakin berat.
"Kamu harus terima, Mentari!" desak Lastri, suaranya kini penuh semangat. "Pikirkanlah! Ibu tidak perlu lagi melihatmu banting tulang jadi pembantu. Kamu tidak perlu lagi menahan malu. Kita bisa hidup layak. Bapak Darsono itu orang baik, orang terhormat. Ini adalah berkah, Nduk! Berkah!"
"Tapi, Bu..." Mentari mencoba menyela, "Aku tidak mencintainya. Hatiku..."
"Cinta?" potong Lastri cepat, sorot matanya yang bahagia kini berubah menjadi tajam. "Cinta tidak bisa mengisi perut kita, Nduk! Cinta tidak bisa membeli obat untuk batuk Ibu! Kita sudah merasakan hidup susah karena terlalu percaya pada cinta yang tak menghasilkan apa-apa!"
Kata-kata itu, merujuk pada Purnama, terasa seperti tamparan bagi Mentari.
Lastri melembutkan suaranya, melihat perubahan di wajah putrinya. Ia mengelus rambut Mentari. "Dengar, Nduk. Rasa sayang itu bisa tumbuh karena terbiasa. Pak Darsono itu orang baik. Dia menghormatimu. Itu jauh lebih penting. Ibu mohon padamu, jangan sia-siakan kesempatan ini. Lakukan ini untuk Ibu. Anggap saja ini baktimu pada ibumu yang sudah tua ini. Ibu ingin melihatmu bahagia dan hidup tenang sebelum Ibu mati."
Permohonan itu, yang diucapkan dengan air mata tulus dari seorang ibu yang putus asa, adalah belati terakhir yang menghunjam jantung Mentari. Tekanan dari majikannya sudah cukup berat, kini ditambah lagi dengan desakan dari satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Ia merasa terperangkap. Di satu sisi ada hatinya yang masih terpaut pada masa lalu dan rasa bersalah yang tak terhingga. Di sisi lain, ada wajah ibunya yang penuh harap, memohon padanya untuk meraih masa depan yang aman. Menolak lamaran Pak Darsono kini bukan lagi hanya berarti menolak seorang pria, tapi juga berarti menghancurkan impian dan harapan ibunya.
Bab 12: Pengakuan di Bawah Langit Senja
Dua hari berlalu dalam siksaan sunyi. Siang hari, Mentari menghindari tatapan bertanya Pak Darsono. Malam hari, ia menghadapi sorot mata penuh harap dari ibunya. Rumah besar yang tadinya terasa seperti surga, kini berubah menjadi penjara yang dindingnya terbuat dari kebaikan yang menjerat dan harapan yang membebani. Ia merasa tercekik, tidak bisa bernapas.
Pada sore hari ketiga, saat langit mulai berwarna jingga, Mentari mencapai batasnya. Ia tidak tahan lagi. Dengan pikiran kalut, ia membuat keputusan impulsif. Hanya ada satu orang di dunia ini yang tahu siapa dirinya sebelum semua kehancuran ini terjadi. Hanya ada satu orang yang kepadanya ia merasa perlu menumpahkan semua beban ini, bukan untuk meminta solusi, tapi sekadar untuk melepaskan racun yang menggerogoti jiwanya.
Dengan alasan ingin membeli sesuatu di warung, ia menyelinap keluar dari gerbang belakang. Jantungnya berdebar kencang saat ia berjalan cepat menuju sekolah tempat Purnama mengajar. Ia tidak punya rencana, hanya ada dorongan putus asa yang menuntun langkahnya.
Sekolah sudah sepi. Hanya ada beberapa guru yang masih membereskan pekerjaan mereka. Mentari bertanya pada seorang penjaga sekolah dan diarahkan ke sebuah ruang kelas di ujung koridor. Dari jendela, ia melihat Purnama sedang sendirian, menghapus tulisan di papan tulis.
Ia berdiri di ambang pintu, ragu-ragu. Purnama, yang merasakan kehadiran seseorang, berbalik. Matanya membelalak kaget melihat Mentari berdiri di sana, dengan wajah pucat dan mata yang sembap.
"Mentari? Ada apa?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.
Pertanyaan lembut itu adalah kunci yang membuka bendungan air matanya. Semua pertahanan yang ia bangun runtuh seketika. Ia melangkah masuk, dan di tengah ruang kelas yang kosong itu, ia menangis sejadi-jadinya. Tangis yang keluar bukan hanya dari matanya, tapi dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Purnama mendekat, bingung dan panik, tak tahu harus berbuat apa.
"Pak Darsono... dia melamarku," ucap Mentari di sela-sela isak tangisnya. "Ibu... Ibu memintaku untuk menerimanya. Mereka bilang ini jalan keluar, ini kebahagiaan..."
Ia menggelengkan kepalanya dengan hebat. "Tapi mereka tidak mengerti!" serunya putus asa. "Bagaimana aku bisa menerima lamaran siapapun? Bagaimana aku bisa bahagia?"
Ia menatap Purnama, matanya yang basah memancarkan luka dan kebencian pada diri sendiri. "Aku ini kotor, Mas! Aku wanita yang meninggalkan suaminya demi janji kemewahan. Aku wanita gagal yang akhirnya juga ditinggalkan. Aku tidak pantas mendapatkan kebahagiaan! Aku tidak pantas menerima pria baik seperti Bapak Darsono, dan aku... aku lebih tidak pantas lagi untuk kembali padamu!"
Pengakuan itu keluar seperti semburan lahar, panas dan menghancurkan. "Penolakan ini... lamaran ini... semua ini adalah hukumanku, Mas! Hukuman yang harus kujalani! Dan aku tidak tahu harus berbuat apa lagi..."
Mentari merosot ke lantai, tenaganya habis terkuras setelah menumpahkan semua isi hatinya. Ia terisak dalam diam, bahunya berguncang hebat.
Purnama hanya berdiri mematung, mendengarkan setiap kata. Untuk pertama kalinya, ia melihat apa yang ada di balik dinding penolakan Mentari. Bukan kesombongan, bukan ketidakpedulian, melainkan rasa bersalah yang begitu besar hingga menghancurkan jiwa wanita itu dari dalam. Ia akhirnya mengerti. Lawannya bukanlah Pak Darsono. Lawan sebenarnya yang harus ia hadapi adalah iblis di dalam diri Mentari sendiri—iblis penyesalan yang membuat wanita itu percaya bahwa ia tidak pantas untuk dicintai.
Dan di bawah langit senja yang memerah, di tengah ruang kelas yang sunyi, Purnama merasakan tujuan yang baru. Bukan lagi sekadar untuk memenangkan kembali hati Mentari, tapi untuk menyelamatkannya dari dirinya sendiri.
Bab 13: Strategi Sang Guru
Melihat Mentari yang hancur dan rapuh di lantai, semua rasa cemburu dan panik dalam diri Purnama menguap seketika. Ia tidak lagi melihat bayangan Pak Darsono atau pria lain. Yang ia lihat hanyalah wanita yang dicintainya sedang tenggelam dalam lautan rasa bersalah, dan ia adalah satu-satunya orang yang bisa melemparkan pelampung.
Dengan lembut, ia membantu Mentari berdiri dan mendudukkannya di salah satu kursi murid. Ia mengambilkan sebotol air mineral dari tasnya dan memberikannya pada Mentari.
"Minumlah dulu. Tenangkan dirimu," ucapnya dengan suara yang mantap dan tenang.
Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya diisi oleh isak tangis Mentari yang mulai mereda. Purnama tidak lagi mendesak atau bertanya. Ia hanya duduk di hadapan Mentari, memberinya ruang untuk bernapas. Pengakuan Mentari tadi telah memberinya kejelasan yang ia butuhkan. Ini bukan lagi perebutan seorang wanita; ini adalah sebuah misi penyelamatan.
Ia sadar, melawan Pak Darsono secara terang-terangan adalah sebuah bunuh diri. Mengatakan, "Jangan nikahi dia, dia adalah mantan istri saya yang ingin saya ajak kembali," hanya akan mengubah Pak Darsono dari seorang atasan menjadi lawan. Itu akan membuatnya terlihat picik, dan nasib pekerjaannya akan berada di ujung tanduk. Ia akan kehilangan segalanya, termasuk kesempatan untuk menolong Mentari.
Tidak. Ia tidak bisa menggunakan emosi. Ia harus menggunakan logika. Senjata apa yang paling ditakuti oleh orang terpandang seperti Pak Darsono? Jawabannya adalah cemoohan masyarakat dan hancurnya reputasi. Pak Darsono sendiri yang menyuarakan ketakutan itu di tepi danau. Dan itulah celah yang harus ia manfaatkan.
Sebuah strategi mulai terbentuk di benak Purnama, jernih dan terstruktur, layaknya sebuah rencana pengajaran yang ia siapkan untuk murid-muridnya. Ia tidak akan menyerang Pak Darsono. Sebaliknya, ia akan bertindak seolah-olah sedang "melindungi" atasannya itu dari sebuah keputusan yang bisa menjadi bumerang. Ia akan menggunakan kekhawatiran Pak Darsono sebagai cermin, memantulkan kembali ketakutan itu hingga terlihat lebih besar dan lebih nyata.
Ia harus membuat Pak Darsono percaya bahwa membatalkan niatnya adalah sebuah tindakan bijaksana yang berasal dari pemikirannya sendiri, bukan karena tekanan dari seorang guru biasa.
"Mentari," kata Purnama akhirnya, suaranya memecah keheningan. "Pulanglah. Istirahat. Jangan berikan jawaban apa pun dulu pada Pak Darsono. Minta waktu beberapa hari lagi. Serahkan ini padaku."
Mentari menatapnya dengan mata yang masih basah dan penuh keraguan. "Apa yang akan Mas lakukan?"
Purnama tersenyum tipis, sebuah senyum yang menenangkan. "Seorang guru tidak hanya mengajar di depan kelas. Terkadang, ia juga harus memberikan pelajaran di luar kelas."
Ia mengantar Mentari hingga ke gerbang sekolah, memastikannya berjalan pulang dengan selamat. Setelah sosok Mentari menghilang di tikungan jalan, Purnama kembali ke ruang kelasnya yang sunyi. Ia berdiri di depan papan tulis yang bersih, namun di benaknya, ia sedang menuliskan poin-poin rencananya. Ia bukan lagi seorang pria yang kalut karena cinta, melainkan seorang guru yang sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi muridnya yang paling sulit.
Bab 14: Menyelamatkan Buah yang Matang
Keesokan paginya, Purnama meminta waktu untuk bertemu dengan Pak Darsono. Permintaan itu ia sampaikan melalui staf tata usaha dengan alasan ingin mendiskusikan proposal kegiatan siswa, sebuah alasan yang terdengar profesional dan tidak mencurigakan. Mereka setuju untuk bertemu di kantor Ketua Yayasan setelah jam sekolah berakhir.
Purnama melangkah masuk ke ruangan yang sejuk dan berwibawa itu dengan ketenangan yang ia paksakan. Ia duduk di kursi di hadapan Pak Darsono, sama seperti saat ia dipanggil beberapa hari yang lalu. Namun kali ini, peran mereka seolah terbalik. Meskipun secara jabatan ia adalah bawahan, hari ini ia datang untuk menjadi guru.
"Terima kasih atas waktu Bapak," mulai Purnama dengan nada hormat.
Setelah berbasa-basi sejenak tentang proposal kegiatan siswa yang memang sudah ia siapkan, Purnama mengarahkan percakapan ke inti tujuannya.
"Pak, mohon maaf sebelumnya jika saya lancang," katanya, menatap lurus ke arah Pak Darsono dengan sorot mata yang serius dan penuh hormat. "Ada hal lain yang lebih penting yang ingin saya sampaikan, bukan sebagai seorang guru, tetapi sebagai bawahan yang loyal dan peduli pada yayasan ini."
Pak Darsono mengangkat alis, tertarik.
Purnama melanjutkan, "Bapak adalah nakhoda bagi kapal besar ini. Semua guru, staf, dan murid-murid bergantung pada arah dan kebijaksanaan Bapak. Reputasi Bapak adalah reputasi yayasan kita."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kalimat itu meresap. Ia tidak menyebut nama Mentari, tidak menyinggung soal pernikahan. Ia hanya berbicara tentang yayasan.
"Saya mendengar desas-desus di luar, Pak," lanjut Purnama, menggunakan taktik seolah-olah ia hanya penyampai pesan dari keresahan orang banyak. "Tentang... niat baik Bapak untuk menolong seorang wanita dengan mengangkat derajatnya melalui sebuah ikatan suci."
Wajah Pak Darsono menegang.
"Niat Bapak sungguh mulia, saya yakin itu," kata Purnama cepat, sebelum Pak Darsono sempat merasa dituduh. "Namun, masyarakat di luar sana tidak akan melihatnya dengan kacamata yang sama, Pak. Mereka tidak akan melihatnya sebagai kisah cinta atau sebuah pertolongan. Mereka akan melihatnya sebagai penyalahgunaan kuasa. Mereka akan bertanya-tanya tentang penilaian Bapak. Mereka akan berbisik-bisik di belakang."
Purnama mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya kini lebih pelan namun penuh penekanan.
"Pernikahan ini, dengan segala hormat, Pak... alih-alih membawa kebahagiaan, justru bisa menjadi lalat pembawa belatung yang Bapak khawatirkan. Lalat kecil yang hinggap di buah yang sudah matang dan ranum, lalu diam-diam menaruh telur busuk di dalamnya. Dari luar buah itu masih tampak indah, tapi dari dalam, ia mulai hancur. Ini bukan tentang Bapak atau wanita itu, Pak. Ini tentang citra dan masa depan sekolah-sekolah yang kita bangun bersama dengan susah payah."
Setiap kata Purnama dipilih dengan cermat, dirancang untuk menusuk tepat pada ego dan ketakutan terbesar Pak Darsono: kehilangan rasa hormat dan kegagalan dalam memimpin.
"Maafkan kelancangan saya, Pak," tutup Purnama sambil kembali bersandar di kursinya, seolah telah selesai menyampaikan tugasnya. "Saya hanya merasa berkewajiban untuk melindungi nakhoda kapal saya dari badai yang mungkin tidak terlihat dari anjungan. Permisi, Pak."
Purnama bangkit, mengangguk hormat, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan. Ia tidak menunggu jawaban. Ia telah menanam benih keraguan itu.
Sepeninggal Purnama, Pak Darsono termenung sendirian di kursinya. Ruangan yang tadinya terasa penuh wibawa, kini terasa sunyi dan dingin. Kata-kata Purnama—penyalahgunaan kuasa, bisik-bisik di belakang, lalat pembawa belatung—berdengung di telinganya. Cermin yang disodorkan Purnama memantulkan bayangan yang tidak ingin ia lihat: bukan seorang penyelamat yang bijaksana, melainkan seorang lelaki tua egois yang hampir menghancurkan warisannya sendiri demi mengusir sepi.
Bab 15: Cermin di Ruang Kerja
Purnama telah lama pergi, namun kata-katanya tertinggal di ruang kerja itu, menggema di antara dinding-dinding yang bisu. Pak Darsono tidak beranjak dari kursinya. Ia menatap kosong ke luar jendela, namun yang ia lihat bukanlah taman yang terawat, melainkan refleksi dari tindakannya sendiri.
Penyalahgunaan kuasa. Bisik-bisik di belakang. Lalat pembawa belatung.
Kata-kata itu, yang disampaikan dengan hormat oleh seorang guru yang ia segani, justru terasa lebih menampar daripada tuduhan kasar. Purnama tidak menyerangnya. Ia hanya menyodorkan sebuah cermin, dan Pak Darsono terpaksa melihat bayangan dirinya yang selama ini coba ia abaikan.
Ia mencoba membela diri dalam benaknya. Niatnya tulus, bukan? Ia hanya ingin menolong seorang wanita yang hidupnya susah. Ia hanya ingin mengusir sepi di hari tuanya. Tidak adakah yang salah dengan itu?
Namun, cermin itu memantulkan kebenaran yang lebih jujur. Apakah ia benar-benar ingin menolong Mentari, atau ia hanya ingin memiliki ketaatan dan kehadiran wanita itu? Apakah ia benar-benar ingin mengusir sepi, atau ia hanya ingin menggunakan kuasa dan hartanya untuk membeli teman hidup, seolah-olah kehangatan sebuah hubungan bisa ditransaksikan seperti barang?
Ia teringat pada istrinya yang sakit-sakitan di seberang pulau. Wanita yang telah menemaninya berpuluh-puluh tahun, yang dengan ikhlas memberinya izin untuk menikah lagi. Keikhlasan itu ia salah artikan sebagai lampu hijau untuk memuaskan egonya, bukan sebagai bukti cinta tanpa syarat yang seharusnya ia hargai.
Perlahan, Pak Darsono bangkit dari kursinya. Ia berjalan menuju sebuah cermin besar berbingkai ukiran yang tergantung di dinding ruang kerjanya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia benar-benar menatap bayangannya sendiri.
Yang ia lihat bukanlah seorang Ketua Yayasan yang terpandang, bukan seorang pemimpin yang bijaksana. Yang terpantul di cermin adalah seorang lelaki tua dengan rambut yang sepenuhnya memutih, kulit yang kendur di sekitar rahang, dan sorot mata yang menyiratkan kesepian yang dalam. Seorang lelaki tua yang hampir saja menukar sisa kehormatannya demi menambal lubang di hatinya.
Ia menghela napas panjang, sebuah helaan napas yang melepaskan beban berat dari pundaknya. Keputusan itu akhirnya terbentuk, bukan karena takut pada cemoohan masyarakat, bukan pula karena kalah dari Purnama. Keputusan itu datang dari kesadarannya sendiri. Ia telah salah langkah. Dan seorang pemimpin yang baik, seorang pria yang terhormat, harus punya keberanian untuk mengakui kesalahannya dan berbalik arah.
Ia tidak akan membiarkan seekor lalat pun hinggap di buah yang telah ia rawat seumur hidupnya. Dan yang lebih penting, ia tidak akan membiarkan dirinya sendiri menjadi lalat itu.
Bab 16: Pembatalan yang Bijaksana
Malam harinya, Mentari dipanggil lagi ke ruang kerja Pak Darsono. Dengan hati yang berdebar cemas, ia melangkah masuk, siap untuk memberikan jawaban menolak yang sudah ia siapkan, apa pun risikonya. Namun, suasana di ruangan itu terasa sangat berbeda. Pak Darsono tidak duduk dengan angkuh di kursi kebesarannya, melainkan di sofa yang lebih santai. Wajahnya tampak tenang, dan ada seulas senyum tipis yang tulus di bibirnya.
"Duduklah, Mentari," sapanya dengan nada yang kembali kebapakan, nada yang pertama kali Mentari dengar saat ia datang melamar pekerjaan.
Mentari duduk dengan ragu.
"Saya sudah memikirkan percakapan kita tempo hari," mulai Pak Darsono, menatap Mentari dengan sorot mata yang jernih. "Dan saya ingin meminta maaf."
Permintaan maaf itu begitu tak terduga hingga membuat Mentari tertegun.
"Saya telah bersikap egois," lanjut Pak Darsono. "Saya hanya memikirkan kesepian saya sendiri, tanpa benar-benar memikirkan dampak buruknya padamu. Saya hampir saja menempatkanmu dalam posisi yang sangat sulit. Seorang gadis baik sepertimu tidak pantas menjadi bahan gunjingan orang hanya karena seorang lelaki tua sepertiku tidak bisa berdamai dengan kesendiriannya."
Ia menghela napas. "Reputasimu, dan juga reputasi yayasan ini, jauh lebih berharga. Saya tidak akan merusaknya."
Pak Darsono kemudian mengambil sebuah amplop tebal dari atas meja dan menyodorkannya pada Mentari.
"Tolong, terimalah ini," katanya. "Anggap ini sebagai ucapan terima kasih saya atas semua kerja kerasmu selama ini. Dan juga... sebagai permintaan maaf saya karena telah membuatmu tidak nyaman."
Mentari menatap amplop itu dengan bingung.
"Saya ingin kamu bebas, Mentari," jelas Pak Darsono. "Bebas untuk memulai hidup baru, bebas untuk mencari kebahagiaanmu sendiri tanpa terikat pada siapa pun. Mulai besok, kamu tidak perlu bekerja lagi di sini. Gunakan uang ini sebagai modal. Bukalah usaha sendiri seperti yang mungkin pernah kamu impikan, atau gunakan untuk hal lain yang lebih baik. Rawat ibumu baik-baik."
Mentari terpaku, tak bisa berkata-kata. Beban yang selama ini menghimpit dadanya seolah terangkat begitu saja. Rasa takut, cemas, dan keterpojokan yang ia rasakan selama berhari-hari lenyap, digantikan oleh gelombang kelegaan yang luar biasa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun kali ini, itu adalah air mata haru.
Dengan tangan gemetar, ia menerima amplop itu. "Terima kasih, Pak... Terima kasih banyak," hanya itu yang bisa ia ucapkan, suaranya serak karena emosi.
Pak Darsono mengangguk, senyumnya semakin tulus. "Sama-sama, Nduk. Kamu anak yang baik. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik."
Malam itu, Mentari kembali ke paviliun bukan sebagai seorang pembantu yang terikat, melainkan sebagai seorang wanita bebas. Ia memegang modal untuk masa depannya, dan yang lebih penting, ia mendapatkan kembali hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Belenggu emas itu telah dilepaskan oleh tangan yang sama yang memasangnya, memberinya kesempatan untuk akhirnya menghadapi masa lalunya dengan kepala tegak.
Bab 17: Tebusan yang Selesai
Dua hari setelah percakapan terakhirnya dengan Pak Darsono, suasana di paviliun kecil itu terasa lapang dan damai. Kardus-kardus berisi pakaian dan perabotan sederhana mereka sudah tertata rapi, siap untuk memulai lembaran baru. Lastri, ibu Mentari, tampak jauh lebih sehat. Wajahnya tidak lagi dihiasi kecemasan, dan batuknya pun sudah sangat berkurang.
Sore itu, saat Mentari sedang menyapu halaman paviliun untuk terakhir kalinya, sesosok tubuh yang sangat ia kenal muncul di gerbang. Purnama datang, langkahnya tampak ragu, wajahnya menyiratkan kecemasan karena tidak tahu apa yang telah terjadi.
Melihatnya, Mentari tersenyum. Senyum pertama yang benar-benar tulus dan tanpa beban yang ia berikan pada Purnama setelah sekian lama.
"Mas..." sapanya lembut.
Melihat senyum itu, ketegangan di wajah Purnama sedikit mereda. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya hati-hati.
"Kami akan pindah, Mas," jawab Mentari, menunjuk ke arah kardus-kardus di teras. "Pak Darsono... beliau membatalkan niatnya. Beliau orang yang sangat baik. Beliau memberiku pesangon yang lebih dari cukup untuk kami memulai usaha kecil."
Purnama menghela napas lega, rasa hormatnya pada Pak Darsono semakin dalam. Ia menatap Mentari, yang kini berdiri di hadapannya dengan kepala tegak. Tidak ada lagi bayangan Pak Darsono, tidak ada lagi jerat kemewahan, tidak ada lagi tekanan dari ibunya. Hanya ada mereka berdua, dan satu dinding terakhir yang tersisa: dinding rasa bersalah di dalam diri Mentari.
Purnama melangkah mendekat. "Mentari," katanya dengan suara yang dalam dan penuh perasaan. "Tebusanmu sudah selesai."
Mentari menatapnya, tidak mengerti.
"Selama ini kamu menghukum dirimu sendiri," lanjut Purnama. "Tapi kamu sudah membuktikan segalanya. Kamu menolak jalan mudah bersama Jaya demi menjaga kehormatanmu. Dan kamu, dalam hatimu, sudah siap menolak kemewahan dari Pak Darsono demi menjaga prinsipmu. Bagiku, tidak ada wanita yang lebih pantas untuk dicintai."
Ia mengulurkan tangannya, bukan untuk menyentuh, melainkan sebagai sebuah undangan.
"Kesalahan masa lalu tidak mendefinisikan siapa dirimu sekarang. Semua orang pernah salah, termasuk aku yang dulu tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Izinkan aku berjalan bersamamu, Mentari. Bukan untuk kembali ke masa lalu yang kelam, tapi untuk memulai hari yang baru, bersama-sama."
Tawaran itu begitu murni. Tidak ada desakan, tidak ada tuntutan. Hanya ada sebuah ajakan tulus untuk saling menyembuhkan dan membangun masa depan.
Dinding terakhir di hati Mentari itu pun runtuh. Air mata kembali mengalir di pipinya, namun kali ini adalah air mata pembebasan. Ia tidak lagi merasa kotor. Di hadapan cinta Purnama yang begitu besar, semua nodanya terasa luruh dan bersih.
Dengan anggukan pelan yang mantap, ia menerima undangan itu. Ia siap untuk memulai hari yang baru, di mana mentari paginya tidak lagi terhalang oleh awan penyesalan, dan purnamanya akan selalu setia menerangi malam-malamnya.
Epilog: Mentari di Pelukan Purnama
Langit Cirebon enam bulan kemudian tampak lebih cerah. Di sebuah rumah sederhana yang kini terasa hangat dan penuh kehidupan, sebuah akad nikah berlangsung dengan khidmat. Tidak ada pesta mewah atau ratusan tamu undangan. Hanya ada beberapa kerabat dekat, beberapa rekan guru Purnama, dan senyum tulus yang menghiasi wajah setiap orang yang hadir.
Mentari duduk di samping Purnama, mengenakan kebaya putih sederhana yang membuatnya tampak anggun dan berseri. Wajahnya memancarkan ketenangan yang dalam. Saat Purnama dengan lantang dan mantap mengucapkan ijab kabul, Mentari menatapnya dengan tatapan penuh cinta dan rasa syukur. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi rasa tak pantas. Yang ada hanyalah kepastian.
Di sudut ruangan, Lastri menyeka air mata harunya dengan ujung kerudungnya. Wanita itu kini tampak jauh lebih sehat dan bugar. Di depan rumah, sebuah warung kelontong kecil yang mereka rintis dengan modal dari Pak Darsono sudah mulai ramai dikunjungi para tetangga. Impian Mentari untuk mandiri, untuk tidak lagi hidup di bawah orang lain, telah terwujud. Ia membangunnya dengan tangannya sendiri, didampingi oleh pria yang selalu percaya padanya.
Sore harinya, setelah acara selesai, Purnama dan Mentari duduk berdua di teras belakang, menatap senja yang perlahan turun.
"Dulu, aku selalu merasa seperti kain lap yang kotor," bisik Mentari, menyandarkan kepalanya di bahu Purnama.
Purnama tersenyum, lalu menggenggam tangan istrinya dengan erat. "Bagiku, kamu tidak pernah seperti itu. Kamu hanya sebuah cermin yang sedikit berdebu. Dan sekarang, debu itu telah hilang, memantulkan cahaya yang lebih terang dari sebelumnya."
Mentari mengeratkan pelukannya. Ia tahu, perjalanan hidupnya tidak akan selalu mudah. Akan ada kerikil dan badai kecil lainnya. Namun kini, ia tidak lagi berjalan sendirian dalam kegelapan. Ia telah menemukan purnamanya, bulan yang setia menerangi malam-malamnya, menuntunnya pulang ke sebuah tempat yang disebut rumah. Dan di pelukan purnamanya, sang mentari pagi siap untuk bersinar kembali.

.jpg)
Bagus bangerrt
BalasHapusTerima kasih Kak, sudah membaca dan singgah dengan komentarnya
Hapus