Malu adalah sejenis racun yang bekerja lambat. Ia tidak membunuhmu seketika, tetapi merayap ke dalam aliran darah, mengubah setiap kenangan indah menjadi sumber penderitaan, setiap wajah ramah menjadi topeng hakim. Bagi Soni, racun itu telah mencapai jantungnya. Setelah drama di depan warung Bi Asih, ia tidak pulang ke rumah. Ia tidak kembali ke kiosnya. Ia berjalan tanpa tujuan ke tepian sungai, ke tempat di mana ia dan Oding biasa memancing saat remaja, dan duduk di atas sebuah batu besar yang dingin. Di tangannya, tergenggam sebotol arak oplosan murah yang ia beli dengan sisa uang terakhir di sakunya.
Dunia telah menyempit menjadi lingkaran kecil di sekelilingnya. Di luar lingkaran itu, hanya ada tatapan-tatapan yang menghakimi. Di dalam lingkaran itu, hanya ada kehangatan alkohol yang membakar tenggorokannya dan gema dari pertengkarannya dengan Satiah. Pengecut! Kata itu terus berulang, dilontarkan oleh suara Satiah, suara istrinya, suara warga desa, dan yang paling parah, oleh suaranya sendiri. Setiap tegukan arak adalah upaya sia-sia untuk menenggelamkan gema itu, tetapi cairan itu justru membuatnya semakin nyaring.Ia melihat bayangan Oding di mana-mana. Dalam riak air sungai, dalam siluet pepohonan, dan yang paling jelas, dalam keheningannya yang memekakkan. Oding tidak melakukan apa-apa. Justru itu masalahnya. Keheningan Oding adalah sebuah kanvas kosong, dan Soni, dengan rasa malunya yang meluap-luap, melukis sendiri sosok monsternya di atas kanvas itu. Oding yang merencanakan, Oding yang menjebak, Oding yang kini tertawa dalam diam melihat kehancurannya.Rasa kasihan pada diri sendiri bermetastasis menjadi amarah yang membara. Didorong oleh keberanian cair dari dasar botol, sebuah keputusan terbentuk di benaknya yang kacau. Ini harus diakhiri. Bukan dengan melarikan diri, tetapi dengan konfrontasi. Ia akan mendatangi sumber dari segala penderitaannya. Ia akan membuat Oding bicara, membuatnya mengaku, membuatnya bereaksi.Perjalanan dari tepi sungai menuju rumah ibu Oding adalah sebuah ziarah menuju neraka pribadinya. Desa yang tertidur di bawah selimut malam kini terasa seperti labirin yang penuh ancaman. Setiap jendela rumah yang gelap seolah memiliki mata yang mengawasinya. Setiap gonggongan anjing di kejauhan terdengar seperti seruan yang menuduhnya. Botol arak di tangannya terasa berat, bukan karena isinya, tetapi karena beban dari semua keputusan bodoh yang membawanya ke titik ini.Ia tiba di depan rumah itu. Dari celah pagar bambu, ia melihatnya. Di halaman belakang, di dalam bengkel kayu beratapkan seng yang sederhana, sebuah bohlam kuning menggantung, memancarkan cahaya remang-remang. Di bawah cahaya itu, Oding sedang bekerja. Sendirian. Ia sedang mengasah pahat di atas batu asahan, gerakannya tenang, ritmis, dan penuh konsentrasi. Aroma serbuk kayu dan kopi hitam yang baru diseduh menguar tipis, menciptakan sebuah pulau kedamaian yang terasa seperti sebuah penghinaan bagi Soni.Soni mendorong pagar itu dengan kasar, menimbulkan suara derit yang membelah keheningan malam. Oding berhenti mengasah. Ia mengangkat kepalanya, matanya yang tenang menatap Soni tanpa keterkejutan, seolah ia memang sudah menunggunya."Kau!" Soni melangkah masuk ke dalam lingkaran cahaya, terhuyung-huyung. Bau alkohol dan keringat asam menguar dari tubuhnya, mengotori udara yang bersih. "Kau puas sekarang?"Oding tidak menjawab. Ia hanya meletakkan pahatnya dengan hati-hati di atas meja kerja, lalu menyandarkan tubuhnya di sana, melipat tangan di dada. Menunggu.Keheningan itu membuat Soni meledak. Monolog panjang yang kacau itu tumpah dari mulutnya seperti air bah yang menjebol bendungan."Ini semua salahmu!" teriaknya, menunjuk Oding dengan jari gemetar. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau merencanakan semua ini! Sejak awal! Kau sengaja membiarkan Satiah pergi, kau sengaja membuatku terlihat buruk, kau sengaja membuat seluruh desa membenciku! Kau menikmati ini, kan? Melihatku hancur seperti ini!"Ia berhenti, dadanya naik turun, napasnya tersengal. Oding tetap diam, wajahnya tak terbaca di bawah cahaya yang redup. Keheningannya adalah bahan bakar."Kau pikir kau siapa? Orang suci?" lanjut Soni, suaranya semakin melengking. "Kau hanya seorang pecundang yang ditinggal istri! Tapi kau membalikkan semuanya! Kau membuatku jadi penjahatnya! Padahal Satiah yang memulai! Dia yang terus mengeluh! Dia yang terus merayuku! 'Kang Soni, belikan aku ini', 'Kang Soni, aku bosan hidup miskin'. Apa yang bisa kulakukan? Aku hanya mencoba membantunya! Membantu istri temanku sendiri!"Ia tertawa, tawa yang terdengar seperti isak tangis. Ia meneguk arak langsung dari botolnya, sebagian tumpah membasahi bajunya."Janji-janji..." racau Soni, matanya menerawang. "Dia terus menagih janji! Janji akan kubawa ke kota, janji akan kuberi hidup enak. Aku tertekan, Ding! Kau tidak tahu rasanya! Dikejar-kejar oleh keinginan seorang wanita sementara kau punya keluarga sendiri yang harus kau urus! Aku hanya... aku hanya tersesat. Tapi kau... kau tidak menolongku. Kau mendorongku lebih dalam ke jurang! Kau diam saja! Kau hanya menonton!"Amarahnya mulai terkikis, digantikan oleh lapisan keputusasaan yang paling murni. Ia melangkah lebih dekat, tatapannya kini memohon."Kenapa, Ding?" suaranya pecah. "Kenapa kau lakukan ini padaku? Kita kan teman. Sejak kecil. Kita memancing bersama, kita mencuri mangga bersama. Aku selalu menganggapmu saudara. Kenapa kau tega sekali?"Ia terisak, air mata bercampur dengan keringat membasahi wajahnya. Ia telah menumpahkan semua isi perutnya—semua tuduhan, semua pembenaran diri, semua kepahitan—dan tanpa sadar, ia telah mengakui segalanya. Pengkhianatannya, kelemahannya, kebohongannya. Ia telah menelanjangi jiwanya sendiri di bawah sorotan lampu kuning itu.Akhirnya, ia kehabisan kata-kata. Yang tersisa hanyalah suara napasnya yang terengah-engah dan isak tangisnya yang tertahan. Ia berdiri di sana, gemetar, menunggu vonis.Setelah keheningan yang terasa seperti selamanya, Oding akhirnya bergerak. Ia mengambil cangkir kopinya, menyeruputnya pelan. Lalu, ia menatap lurus ke mata Soni dan bertanya dengan suara yang tenang, datar, dan tanpa emosi sedikit pun."Dari semua yang kau teriakkan barusan, adakah satu hal yang bohong, Son?"Pertanyaan itu. Begitu sederhana, begitu tenang, namun menghantam Soni dengan kekuatan seribu pukulan. Seluruh pertahanannya runtuh menjadi debu. Tidak ada lagi amarah, tidak ada lagi pembenaran. Yang ada hanyalah kebenaran yang telanjang dan mengerikan.Napasnya tercekat. Ia ingin menjawab, tetapi mulutnya terasa kaku. Keheningan di bengkel itu kini terasa absolut, memekakkan telinga.Lalu, dari batas kegelapan di luar lingkaran cahaya, terdengar suara batuk yang tertahan.Soni menoleh dengan gerakan lambat, seperti dalam mimpi buruk. Matanya yang membelalak perlahan-lahan mengenali siluet-siluet yang berdiri di sana. Wajah Pak RT yang keras. Wajah Mang Udin yang ternganga. Wajah Bu Lastri yang menatapnya dengan campuran rasa jijik dan kasihan. Wajah-wajah yang ia kenal seumur hidupnya. Mereka semua ada di sana. Mendengar semuanya.Ia berdiri gemetar di tengah panggung yang ia ciptakan sendiri, terperangkap dalam sorotan lampu kuning yang kini terasa sepanas api neraka.
