Bab 2: Tempat Sampah Emosional
Dua minggu setelah malam yang panjang itu, hidup Rio kembali ke rutinitasnya. Saldo rekeningnya memang tipis, tetapi setidaknya ia tidak lagi tidur dengan perasaan cemas. Adrian sudah mengirim pesan beberapa kali, menjanjikan akan melunasi utangnya "secepatnya," meskipun "secepatnya" itu terasa seperti janji yang jauh dari kenyataan. Rio memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. Ia fokus pada pekerjaannya dan sisa tabungannya, mencoba untuk menabung kembali.
Sore itu, Rio berencana menghabiskan waktu luang satu-satunya dalam seminggu. Ia sudah membeli buku baru dan berencana untuk duduk santai di kafe langganan, menikmati secangkir kopi hangat. Rencana yang sederhana, namun terasa mewah bagi seseorang yang hidupnya sibuk. Ia baru saja mengenakan jaketnya ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar adalah Sarah.
Rio menghela napas. Sejak SMA, Sarah selalu menjadi teman yang paling emosional dan dramatis di antara mereka. Hubungan mereka berjalan seperti roller coaster: ia akan muncul tiba-tiba dengan cerita yang luar biasa sedih, menyedot semua energi Rio, lalu menghilang begitu masalahnya selesai.
"Halo, Sar?" sapa Rio, berusaha terdengar santai.
Suara Sarah di ujung sana terdengar pecah. "Rio… lo sibuk nggak? Gue lagi di kafe deket kantor lo… bisa nemenin gue bentar nggak?"
"Eh… gue baru mau keluar, sih. Kenapa? Lo nangis?" tanya Rio, nadanya berubah khawatir.
"Nggak apa-apa… cuma butuh lo. Butuh lo banget, Rio," isak Sarah. "Gue… gue putus lagi."
Rio memejamkan mata. Putus. Kata itu adalah pemicu yang paling sering ia dengar dari Sarah. Setiap kali Sarah putus, Rio-lah yang selalu menjadi tempat singgahnya. Ia akan mendengarkan semua cerita yang sama, keluh kesah yang diulang-ulang, tanpa pernah mendapatkan kesempatan untuk menimpali atau sekadar bertanya kabar balik.
"Gue di kafe 'Rasa Hujan'. Lo tahu, kan? Gue tunggu di sini," ucap Sarah, sebelum mematikan teleponnya.
Rio menatap tasnya, buku yang ingin ia baca, dan jaket yang baru ia kenakan. Ia tahu apa yang akan terjadi. Kopi hangatnya akan diganti dengan cerita yang dingin, dan sore tenangnya akan berubah menjadi sesi terapi gratis yang menguras emosi. Ia ingin menolak. Ia ingin mengatakan ia butuh istirahat. Namun, rasa bersalah dan perasaan bahwa ia harus selalu ada untuk teman-temannya membuat lidahnya kelu. Ia tidak bisa mengecewakan Sarah. Lagipula, apa gunanya teman jika tidak ada di saat mereka paling rapuh?
Rio mengunci pintu apartemennya dan berjalan menuju kafe. Ketika sampai, ia menemukan Sarah di sudut ruangan, matanya sembab dan wajahnya pucat. Sarah langsung memeluknya begitu Rio tiba.
"Rio… makasih lo mau datang," bisik Sarah.
Rio hanya mengangguk dan duduk di hadapannya. Ia memesan teh hangat, dan selama dua jam berikutnya, ia hanya mendengarkan. Sarah tidak berhenti berbicara, mengupas tuntas setiap detail hubungannya yang kandas, menyalahkan mantannya, menyalahkan dirinya sendiri, lalu kembali menyalahkan mantannya. Ia menceritakan setiap kata-kata yang diucapkan, setiap pesan teks, dan setiap air mata yang jatuh, seolah-olah Rio adalah arsip hidup yang harus mencatat setiap tragedi dalam hidupnya.
Rio hanya mengangguk, sesekali bergumam "Hmm," atau "Sabar ya,". Ia tidak diberi kesempatan untuk berbicara. Ia hanya ada di sana sebagai telinga, sebagai sosok yang memvalidasi kesedihan Sarah. Ketika Rio mencoba untuk bertanya, "Terus lo gimana sekarang, Sar?" Sarah hanya menjawab, "Nggak tahu, pokoknya gue sedih banget," dan kembali pada ceritanya.
Ketika malam semakin larut, Sarah mengakhiri monolognya. Wajahnya terlihat jauh lebih lega. "Makasih ya, Rio. Gue lega banget bisa cerita sama lo. Lo emang yang terbaik."
Rio hanya tersenyum samar. "Sama-sama, Sar."
Di luar kafe, Sarah langsung memesan taksi dan pulang, tanpa bertanya apakah Rio sudah makan atau bagaimana ia pulang. Rio kembali berjalan sendirian ke apartemennya, langkahnya terasa berat. Bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena kelelahan mental. Ia melihat refleksi dirinya di kaca jendela toko, dan ia tidak melihat dirinya sendiri. Ia hanya melihat bayangan sebuah tempat sampah, tempat semua orang bisa membuang emosi mereka tanpa perlu membereskan sampah itu setelahnya.
Pola ini terus berlanjut. Tidak ada yang pernah bertanya, "Rio, lo butuh apa?" Mereka hanya datang dengan satu pertanyaan, "Rio, gue butuh bantuan lo." Di balik semua kegembiraan itu, Rio merasa sedikit... sendirian.

