Bab 3: Pencurian Ide
Satu bulan berlalu. Saldo di rekening Rio masih dalam kondisi kritis, utang Adrian belum terbayar, dan ingatan akan monolog tanpa akhir dari Sarah masih sesekali membuat Rio merinding. Ia berusaha bangkit, fokus pada pekerjaannya, dan mencoba untuk tidak lagi terlalu peduli. Ia bahkan berhasil menolak dua panggilan dari teman lama yang meminta bantuan hal-hal sepele, sebuah langkah kecil yang terasa seperti kemenangan besar.
Pagi itu, di tengah kesibukan proyek yang menumpuk, sebuah pesan masuk dari Damar. Damar adalah teman kuliah Rio, seorang yang ambisius dan selalu mencari jalan pintas menuju puncak. Pesannya tidak meminta bantuan secara langsung.
Yo, lagi di mana? Ada waktu nggak? Gue mau curhat santai aja. Butuh masukan lo buat proyek kantor. Lo kan otaknya encer.
Tidak ada nada panik atau sedih. Ini adalah ajakan yang terdengar tulus, sebuah pujian yang membuat Rio sedikit tersanjung. Ia merasa dihargai. Akhirnya, seseorang datang kepadanya bukan karena uang atau emosi, tetapi karena otaknya. Rio menyetujuinya, merasa senang.
Mereka bertemu di sebuah kafe. Damar terlihat rapi dengan kemeja kerjanya, membawa laptop dan beberapa tumpuk kertas. Ia membuka presentasi di laptopnya dan menjelaskan masalah yang dihadapi timnya. "Proyek ini mandek, Yo. Bos butuh ide-ide baru yang segar, tapi tim gue mentok."
Rio mendengarkan dengan seksama. Ia adalah seorang yang ahli dalam memecahkan masalah. Begitu Damar selesai, pikiran Rio mulai bekerja. Ia mengajukan pertanyaan, menggali informasi, dan dalam waktu singkat, ide-ide inovatif mulai mengalir dari mulutnya. Rio berbicara dengan penuh gairah, menjelaskan strateginya, memvisualisasikan hasilnya, dan memberikan detail-detail yang cerdas. Damar mendengarkan dengan mata berbinar, mencatat setiap kata dan setiap ide yang keluar.
"Gila, Yo! Ini brilian! Kenapa gue nggak kepikiran, ya?" Damar tersenyum lebar. "Ini persis yang dibutuhkan bos. Lo emang penyelamat gue!"
Rio hanya tersenyum malu-malu. "Nggak usah berlebihan, Mar. Itu cuma ide. Lo yang harus kerja keras buat mewujudkannya."
"Tentu aja! Nanti kalau sukses, gue ceritain ke lo. Thanks banget, ya, bro!" Damar mengepuk pundak Rio. Mereka berpisah, dan Damar pergi dengan langkah ringan, sementara Rio merasa puas. Ini adalah jenis bantuan yang paling ia sukai—menggunakan akalnya untuk membantu, dan ia merasa dihargai.
Beberapa hari kemudian, Rio sedang berselancar di media sosial, mencari inspirasi untuk proyeknya sendiri, ketika sebuah artikel berita di LinkedIn menarik perhatiannya. Judulnya, "Damar Wijaya Pimpin Inovasi Baru, Bawa Kemenangan Besar untuk [Nama Perusahaan]". Rio membaca artikel itu dengan bangga, berharap melihat namanya disebut, atau setidaknya, ada ucapan terima kasih.
Namun, tidak ada. Artikel itu memuji Damar habis-habisan, menyebutnya sebagai "otak di balik ide-ide revolusioner" dan "kunci keberhasilan proyek." Rio terus membaca, mencari celah di mana namanya mungkin terselip, tetapi yang ia temukan hanyalah detail-detail ide yang ia berikan pada Damar malam itu—ide yang sama persis, kata per kata, yang kini disebut sebagai "karya orisinal Damar."
Rio menatap layar ponselnya, rasa dingin merayap dari ujung jari hingga ke dadanya. Bukan lagi kekecewaan, bukan lagi kelelahan, tetapi rasa dikhianati. Ini terasa lebih buruk dari kehilangan uang atau energi. Ide-ide adalah bagian dari dirinya, dan Damar telah mencurinya, menjualnya sebagai miliknya sendiri, dan mendapatkan pujian atas hal itu. Rio menyadari bahwa ia bukan hanya tempat sampah emosional atau bank berjalan. Ia juga adalah bank ide, yang bisa dibobol dan dikosongkan tanpa jejak.

