Bab 5: Ketika Badai Datang
Seminggu setelah insiden galeri, hidup Rio berubah drastis. Ia tidak lagi menjawab telepon yang tidak ia kenal, dan ia menolak ajakan yang terdengar mencurigakan. Ia membangun dinding perlindungan, berusaha menjauh dari orang-orang yang hanya ingin mengambil darinya. Namun, kesendirian yang ia cari perlahan berubah menjadi rasa hampa. Ia menyadari, setelah semua pengorbanan yang ia berikan, ia tidak memiliki siapa-siapa.
Pagi itu, di tengah perjalanan menuju kantor, ponselnya berdering. Itu adalah panggilan dari nomor rumahnya. Jantungnya langsung berdegup kencang. Ia segera menepi dan mengangkatnya. Di ujung sana, suara ayahnya terdengar panik. "Rio... Ibu... Ibu masuk rumah sakit."
Dunia Rio terasa berhenti. Ia menanyakan detailnya, dan ayahnya menjelaskan bahwa ibunya tiba-tiba pingsan dan dilarikan ke UGD. Kondisinya kritis, membutuhkan penanganan segera dan beberapa obat-obatan khusus yang biayanya tidak sedikit. Rio berusaha menenangkan ayahnya, tetapi ketakutan itu merayap di dadanya. Ia segera memutar balik mobilnya, menuju rumah sakit, otaknya bekerja cepat menghitung biaya dan kemungkinan.
Ketika sampai di rumah sakit, ibunya sudah berada di ruang perawatan intensif. Dokter menjelaskan bahwa ada masalah dengan jantungnya, dan ia memerlukan pengobatan serta perawatan khusus. Ayahnya terlihat lelah dan bingung. Rio mencoba tegar, tetapi ia tahu bahwa beban ini terlalu berat untuk dipikulnya sendiri.
Ia membuka ponselnya, menatap daftar kontak. Ini adalah saatnya. Ini adalah ujian bagi semua "persahabatan" yang selama ini ia jalani. Ia butuh dukungan, ia butuh kehadiran. Yang paling ia butuhkan sekarang adalah uluran tangan, bukan sekadar kata-kata manis.
Pikiran pertamanya jatuh pada Adrian. Adrian masih berutang Rp5 juta padanya. Ini adalah waktu yang tepat untuk menagihnya, sekaligus meminta bantuan. Rio menelepon. Setelah beberapa dering, suara Adrian yang ceria terdengar.
"Yo! Wih, tumben lo telepon!"
"Adrian, lo di mana? Gue butuh lo sekarang," kata Rio, suaranya tercekat. "Ibu gue masuk rumah sakit."
Hening sejenak. "Hah? Sakit apa, Yo? Aduh, gue lagi di luar kota, lagi ada proyek nih. Sorry banget, nggak bisa nyamperin."
"Bukan soal nyamperin, Yan. Ini… ini soal uang. Lo tahu kan, utang lo yang Rp5 juta? Gue butuh itu, Yan. Buat biaya rumah sakit," Rio menjelaskan dengan cepat, berharap Adrian akan mengerti urgensinya.
Adrian menghela napas. "Duh, kenapa pas gini sih, Yo? Gue bener-bener lagi nggak pegang uang. Pemasukan gue lagi ketahan. Lo sabar sebentar, ya? Nanti gue usahain secepatnya."
"Tapi Yan, ini mendesak," Rio mencoba meyakinkan, suaranya mulai bergetar.
"Iya, gue tahu. Makanya, sabar ya. Nanti gue usahain. Lo tenang dulu, jangan panik," kata Adrian, terdengar sedikit tidak sabar. "Udah ya, gue mau lanjut kerja nih. Nanti gue telepon lagi!"
Adrian menutup teleponnya. Rio menatap layar ponselnya yang kini gelap. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa marah atau sedih. Adrian, orang yang pernah ia anggap sebagai sahabat terbaik, yang ia pinjami uang hasil pengorbanan mimpinya, kini tidak bisa dihubungi saat ia sendiri membutuhkan.
Air mata Rio mulai menetes. Ia menyeka air matanya dengan kasar dan menelepon Sarah. Ia tidak butuh uang dari Sarah, tetapi ia butuh seseorang untuk menjadi teman curhat, seseorang yang bisa memberinya dukungan emosional.
"Halo, Sar?"
"Rio? Tumben. Kenapa?" suara Sarah terdengar ceria, nada yang tidak pernah ia dengar sebelumnya.
"Ibu gue di rumah sakit. Kondisinya serius. Gue lagi di sini," kata Rio.
"Ya ampun! Kok bisa? Kasihan banget," Sarah terdengar simpatik, tetapi nada suaranya tetap datar. "Gue nggak bisa ke sana, Rio. Gue lagi di luar kota, mau liburan sama pacar baru gue. Lo tahu, kan? Yang kemarin gue cerita."
Rio terdiam. Pacar baru. Liburan. Hal-hal yang terasa begitu jauh dari duka yang sedang ia alami. "Oh, iya. Oke, deh. Hati-hati ya, Sar."
"Thanks! Semoga ibu lo cepat sembuh, ya! Kabarin aja kalo ada apa-apa," jawab Sarah, dan teleponnya langsung terputus.
Rio melihat daftar kontaknya lagi. Ia bisa menelepon Damar, atau Kevin. Tapi untuk apa? Mereka tidak akan peduli. Mereka sudah mendapatkan apa yang mereka mau. Adrian butuh uang, Sarah butuh telinga, Damar butuh ide, dan Kevin butuh koneksi. Mereka datang hanya untuk mengambil, dan kini, ketika Rio adalah yang membutuhkan, ia menyadari ia tidak lebih dari sebuah benda yang tidak lagi memiliki nilai guna bagi mereka.
Di tengah lorong rumah sakit yang sepi, Rio berdiri sendiri. Ia tidak lagi marah. Hanya ada kehampaan dan kesadaran yang pahit. Badai telah datang, dan ia menyadari, perahu penyelamatnya, yang ia bangun untuk orang lain, tidak pernah bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Ia harus belajar untuk berenang sendiri.
