Bab 7: Bangkit dari Reruntuhan
Keesokan paginya, Rio tidak pergi ke kantor. Ia pergi ke bank, mencairkan sisa gajinya, dan menyerahkannya kepada ayahnya untuk biaya perawatan dan obat-obatan. Setelahnya, ia langsung kembali ke rumah, mengunci diri di kamar. Ruangan itu kini bukan lagi sekadar tempat tidur, melainkan markas operasi darurat. Di sana, di tengah tumpukan berkas dan layar laptop yang menyala terang, Rio memulai pertempuran barunya.
Ia tidak lagi terganggu oleh dering ponsel atau pesan masuk. Ia telah mematikan notifikasi. Fokusnya hanya satu: bekerja. Ia menghubungi klien paruh waktu yang setuju memberinya kesempatan. Klien tersebut adalah sebuah agensi periklanan kecil yang membutuhkan desain logo dan beberapa konsep iklan dalam waktu singkat. Pekerjaan ini menuntut kreativitas dan dedikasi penuh, dan Rio, yang biasanya akan menunda-nunda, kini bekerja tanpa henti.
Malam berganti pagi. Rio tidak tahu sudah berapa banyak cangkir kopi yang ia habiskan. Matanya lelah, tetapi otaknya bekerja lebih cepat dari sebelumnya. Ia tidak lagi memikirkan Adrian, Sarah, Damar, atau Kevin. Ia tidak lagi memikirkan pengkhianatan mereka. Semua energi yang dulu ia buang untuk membantu orang lain kini ia gunakan untuk dirinya sendiri.
Ketika fajar menyingsing, ia menyelesaikan presentasi pertama. Ini adalah karya terbaik yang pernah ia buat, jauh lebih baik dari ide yang ia berikan pada Damar. Ia meninjau setiap detail, memperbaiki setiap piksel, memastikan semuanya sempurna. Ada rasa bangga yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ini bukan ide yang dicuri. Ini adalah buah dari kerja kerasnya sendiri, untuk tujuan yang nyata: menyelamatkan ibunya.
Ia mengirimkan presentasi itu kepada klien, dan dalam beberapa jam, balasan datang. Klien itu sangat terkesan. Mereka tidak hanya menyetujui desainnya, tetapi juga menawarkan proyek tambahan dengan bayaran yang lebih besar. Rio merasa jantungnya berdebar kencang. Ini adalah awal. Sebuah pintu telah terbuka.
Sejak saat itu, Rio bekerja tanpa henti. Ia mengerjakan proyek-proyek kecil, mengambil setiap kesempatan yang datang, tidak peduli seberapa kecil bayarannya. Uang yang ia hasilkan langsung ia transfer ke rekening ayahnya untuk biaya pengobatan ibunya. Di sela-sela pekerjaannya, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk ibunya di rumah sakit. Ia akan duduk di sampingnya, memegang tangannya, menceritakan proyek-proyeknya.
"Bu, Rio sekarang sibuk banget. Tapi ini pekerjaan yang Rio suka, Bu," bisiknya suatu sore. "Semua ini buat Ibu. Ibu harus cepat sembuh, ya."
Wajah ibunya yang pucat terlihat tersenyum. Ayahnya menatap Rio dengan tatapan bangga. "Ayah tidak tahu apa yang terjadi denganmu, Nak, tapi kamu sudah berubah. Kamu lebih kuat dari yang Ayah duga."
Rio hanya tersenyum. Ia tahu. Luka pengkhianatan itu masih ada, tetapi tidak lagi menguasai dirinya. Ia telah mengubah rasa sakit menjadi kekuatan. Ia telah berhenti menjadi "penolong" yang naif dan menjadi seorang "pejuang" yang fokus. Ia tidak lagi memberikan dirinya kepada orang-orang yang tidak peduli. Ia kini memberikan semua kemampuannya untuk orang-orang yang paling ia cintai.
Kini, setiap pekerjaan yang ia selesaikan, setiap uang yang ia hasilkan, bukan hanya sekadar angka. Itu adalah sebuah kemenangan kecil. Kemenangan atas pengkhianatan, kemenangan atas keputusasaan, dan kemenangan atas dirinya yang lama. Rio bangkit dari reruntuhan, dan ia tahu, jalan di depannya mungkin akan sulit, tetapi ia tidak akan pernah lagi merasa sendirian.
