Bab 8: Pertemuan di Tengah Badai
Minggu-minggu berikutnya adalah kabut yang sibuk. Rio bekerja tanpa henti. Malam dan siang terasa menyatu. Ia hanya tidur beberapa jam, mengisi tenaganya dengan kopi, dan terus bekerja. Ia tidak lagi peduli dengan dunia luar. Satu-satunya hal yang ia pedulikan adalah laptop, proyek-proyek, dan laporan dari ayahnya mengenai kondisi ibunya. Ia telah mengirimkan uang hasil kerja kerasnya, dan ibunya menunjukkan kemajuan yang signifikan.
Suatu sore, saat Rio sedang berada di rumah sakit untuk menjenguk ibunya, ia melihat sebuah papan pengumuman. Di sana tertera jadwal kunjungan konselor untuk pasien dan keluarga. Rio, yang biasanya akan mengabaikan hal-hal seperti itu, merasa dorongan aneh untuk melihatnya. Ia menyadari, di balik semua kerja kerasnya, ada kelelahan emosional yang ia coba sembunyikan. Luka pengkhianatan itu masih ada, dan ia tahu ia tidak bisa terus-menerus mengabaikannya.
Ia memutuskan untuk menunggu. Setelah satu jam, seorang perempuan muda dengan tatapan ramah dan senyum yang tulus menghampirinya. "Anda Rio?" tanyanya. "Saya Tika, konselor di sini. Ayah Anda bilang Anda ingin bertemu dengan saya."
Rio mengangguk canggung. Ia tidak tahu harus memulai dari mana. Ia tidak terbiasa menceritakan masalahnya. Biasanya, dialah yang mendengarkan.
"Saya tahu ini sulit," kata Tika dengan lembut. "Tapi terkadang, menceritakan beban kita bisa meringankannya."
Rio mulai berbicara. Awalnya ragu, tetapi perlahan, kata-kata mulai mengalir. Ia menceritakan semuanya: tentang Adrian, Sarah, Damar, Kevin, dan semua pengorbanan yang ia lakukan. Ia menceritakan bagaimana ia kehilangan uang, waktu, ide, dan reputasinya. Ia menceritakan bagaimana teman-temannya menghilang saat ia paling membutuhkan.
Tika mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Ketika Rio selesai, ia tidak mengucapkan kata-kata klise seperti "sabar ya" atau "semua akan baik-baik saja." Ia hanya menatap Rio, tatapan yang penuh pengertian.
"Terkadang," kata Tika, "kita terlalu fokus pada orang-orang yang datang dan pergi. Kita terlalu sibuk menjadi tempat singgah bagi mereka, sampai kita lupa membangun rumah untuk diri kita sendiri."
Kata-kata itu bagai pencerahan bagi Rio. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa ia membangun persahabatan, tetapi sebenarnya, ia hanya membangun sebuah tempat persinggahan. Tempat yang bisa digunakan orang lain, tetapi tidak pernah menjadi miliknya.
"Mereka tidak salah, Rio. Mereka hanya datang kepada Anda karena mereka tahu Anda akan selalu ada," Tika melanjutkan. "Yang salah adalah Anda. Anda membiarkan diri Anda dimanfaatkan karena Anda mengira itu adalah cara untuk dihargai. Tapi Anda harus ingat, penghargaan yang sejati datang dari diri Anda sendiri, bukan dari seberapa banyak Anda berkorban untuk orang lain."
Rio terdiam, mencerna setiap kata. Ia menyadari, ia bukan korban dari teman-temannya. Ia adalah pelaku dari pengorbanannya sendiri. Ia yang membiarkan dirinya dimanfaatkan. Ia yang memilih untuk tetap berada dalam lingkaran itu.
"Bagaimana saya bisa berubah?" tanya Rio, suaranya pelan.
"Mulailah dari diri Anda," jawab Tika. "Anda sudah memulai. Anda bekerja keras, Anda merawat keluarga Anda. Itu adalah langkah yang benar. Sekarang, lanjutkan. Beri batasan. Belajarlah untuk berkata 'tidak' tanpa merasa bersalah. Dan yang paling penting, temukan kebahagiaan Anda sendiri, tanpa harus bergantung pada persetujuan atau kehadiran orang lain."
Rio mengangguk. Pertemuan itu singkat, tetapi dampaknya luar biasa. Rio tidak lagi melihat dirinya sebagai korban yang menyedihkan. Ia melihat dirinya sebagai seorang yang sedang dalam perjalanan untuk menemukan kekuatan sejati. Ia menyadari, luka pengkhianatan itu adalah harga yang harus ia bayar untuk sebuah pelajaran berharga.
Ketika ia berjalan keluar dari rumah sakit, ia tidak lagi merasa berat. Ia merasa ringan, seolah-olah sebuah beban besar telah terangkat dari pundaknya. Badai belum usai, tetapi ia tidak lagi takut. Ia telah menemukan kompasnya, dan ia siap untuk berlayar sendiri.
