Bab 9: Batasan Baru
Dua minggu setelah pertemuannya dengan Tika, Rio kembali ke rumah sakit untuk menemani ayahnya menjenguk ibu. Kondisi ibunya semakin membaik. Ia sudah bisa tersenyum dan berbicara, meski masih lemah. Rio merasa lega. Beban finansial perlahan terangkat, tetapi ia tahu, perjalanan pemulihannya belum berakhir.
Ia duduk di kursi tunggu, menunggu ayahnya kembali dari apotek, ketika ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan dari Adrian. Rio menghela napas. Ia hampir saja mengabaikannya, tetapi ia teringat kata-kata Tika tentang batasan dan belajar untuk berkata "tidak." Ini adalah kesempatan pertamanya untuk mempraktikkannya.
Pesan itu berbunyi: Yo, gue minta tolong dong. Laptop gue kena virus, mati total. Lo kan jago IT, bisa bantuin gue benerin nggak? Gue butuh cepet nih.
Dulu, Rio akan langsung menjawab "oke" dan meluncur ke tempat Adrian, menghabiskan berjam-jam untuk memperbaiki laptop tanpa dibayar. Tapi sekarang, ia tidak akan melakukannya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengetik balasannya, dengan hati-hati memilih setiap kata.
Adrian, gue lagi sibuk banget. Ada banyak proyek yang harus gue selesaikan. Gue nggak bisa bantu. Coba lo bawa ke tukang servis aja.
Ia menekan tombol kirim. Rasanya aneh, ada sedikit rasa bersalah, tetapi juga kelegaan yang luar biasa. Ia menolak untuk pertama kalinya.
Tidak lama kemudian, balasan datang. Yah, Yo... kok gitu sih? Lo kan tahu gue nggak percaya sama tukang servis. Lo kan temen gue, masa gitu doang nggak bisa sih?
Rio membaca pesan itu, dan ia tidak lagi merasa bersalah. Ia hanya merasa lelah dengan pola yang sama. Adrian tidak pernah peduli dengan kesibukan Rio, dengan proyek-proyeknya, atau dengan kehidupannya. Ia hanya peduli dengan apa yang bisa Rio berikan padanya.
Rio memutuskan untuk tidak membalas. Ia mengabaikan pesan Adrian. Ia duduk di sana, dengan hati yang lebih tenang. Ia tidak lagi terbebani oleh ekspektasi orang lain. Ia tidak lagi merasa harus menjadi pahlawan. Ia hanya menjadi dirinya sendiri, dan ia fokus pada hal-hal yang benar-benar penting.
Tiga hari kemudian, saat Rio sedang berada di kafe untuk mengerjakan proyek, ia mendapat telepon dari Sarah. Rio tidak mengangkatnya, dan Sarah mengirim pesan.
Rio, kenapa nggak angkat? Lo marah ya sama gue? Gue lagi di kafe 'Rasa Hujan' nih. Lo tahu kan? Gue butuh lo... lagi-lagi putus sama pacar gue. Temenin gue dong, please.
Rio tersenyum tipis. Ia teringat sore yang ia korbankan hanya untuk mendengarkan cerita yang sama berulang kali. Ia mengambil ponselnya dan mengetik balasan.
Sarah, gue lagi sibuk kerja. Lo tahu, gue sekarang lagi fokus banget sama karier gue. Lo bisa hubungin temen-temen lo yang lain aja, ya. Gue doain lo kuat.
Balasan Sarah datang hampir seketika. Lo kenapa sih, Rio? Kok jadi beda? Lo sombong ya sekarang?
Rio mematikan ponselnya. Ia tidak sombong. Ia hanya belajar. Ia belajar bahwa persahabatan tidak boleh menjadi beban. Ia belajar bahwa ia memiliki hak untuk memiliki waktu dan energi untuk dirinya sendiri. Ia belajar bahwa "tidak" adalah sebuah jawaban yang valid, dan ia tidak berutang penjelasan kepada siapa pun.
Di tengah kesibukan proyek, Rio mulai menemukan dirinya yang baru. Ia tidak lagi hidup untuk orang lain. Ia hidup untuk dirinya, untuk keluarganya, dan untuk masa depannya. Ia membangun batasan-batasan baru, yang mungkin terlihat seperti tembok bagi orang lain, tetapi bagi Rio, itu adalah fondasi sebuah rumah yang kokoh. Rumah yang ia bangun untuk dirinya sendiri.
