Bab 11: Pertemuan di Tengah Badai
Kafe 'Kalam & Kopi' adalah tempat yang sempurna untuk bekerja. Aroma biji kopi yang baru digiling bercampur dengan bau buku-buku lama, menciptakan suasana yang menenangkan. Musik jazz yang diputar perlahan mengalir di latar belakang, meredam suara percakapan dan dering ponsel. Di salah satu sudut, Rio duduk di depan laptopnya, dikelilingi oleh tumpukan buku dan cangkir kopi yang hampir kosong.
Layar laptopnya dipenuhi dengan sketsa desain. Ini adalah proyek terbesarnya sejauh ini, sebuah kampanye visual untuk startup teknologi. Rio bekerja dengan gairah yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia tidak lagi bekerja untuk membuktikan diri kepada orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri. Setiap goresan digital, setiap pilihan warna, adalah representasi dari tekadnya yang baru ditemukan. Ia melupakan waktu, melupakan dunia di sekitarnya.
Ia begitu fokus sehingga tidak menyadari kehadiran seorang perempuan di meja sebelah. Perempuan itu memiliki rambut panjang yang diikat sederhana, dan kemeja polosnya dipenuhi coretan pulpen. Ia sibuk dengan buku catatan yang penuh dengan tulisan tangan dan laptop yang menampilkan dokumen kosong. Ia adalah seorang penulis. Sesekali, ia akan melirik ke arah Rio, senyum tipis terukir di wajahnya. Ada sesuatu yang menarik dalam cara Rio bekerja, sesuatu yang intens dan penuh gairah.
Rio, yang sedang mencapai puncaknya, mengambil pulpennya untuk mencoret sebuah ide di buku catatannya, tetapi pulpen itu terlepas dari tangannya dan menggelinding ke lantai, tepat di bawah meja Luna. Rio berjongkok untuk mengambilnya, dan ketika ia mendongak, matanya bertemu dengan mata Luna.
Luna tersenyum dan mengambil pulpen itu. "Ini?" tanyanya lembut.
"Ah, iya. Makasih," jawab Rio, sedikit canggung. Ia mengambil pulpennya dan kembali ke kursinya.
"Desainnya bagus," kata Luna, suaranya tenang. "Ide-ide visualnya kuat." Ia melihat sekilas layar laptop Rio saat ia mengambil pulpen. "Terlihat seperti ada cerita di dalamnya."
Rio terkejut. Ia biasanya hanya mendengar pujian yang diikuti dengan "Bisa bantu gue?" atau "Ide lo bagus, bisa pinjam?" Pujian Luna tulus, tanpa ada agenda tersembunyi. Rio merasa sedikit malu. "Terima kasih," jawabnya, sedikit tergagap. "Saya... cuma iseng aja."
"Isengnya profesional," Luna tertawa kecil. "Saya seorang penulis, dan saya tahu kapan sebuah ide visual memiliki narasi yang kuat. Itu tidak mudah."
Keduanya memulai percakapan ringan. Luna menceritakan bagaimana ia sedang kesulitan menulis bab pertama novelnya. Rio mendengarkan dengan seksama. Ia merasa aneh, tetapi nyaman. Mereka tidak membicarakan masalah atau hutang atau keluhan. Mereka membicarakan seni, gairah, dan mimpi. Mereka membicarakan bagaimana sulitnya memulai, bagaimana sulitnya bertahan, dan bagaimana kepuasan yang didapat ketika sebuah karya selesai. Rio merasakan sebuah koneksi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Luna tertarik pada siapa Rio sebenarnya, bukan pada apa yang bisa Rio berikan.
Rio, tanpa ia sadari, menceritakan sedikit tentang masa lalunya. Ia tidak menyebutkan nama, tetapi ia berbicara tentang bagaimana ia belajar untuk menghargai dirinya sendiri dan membangun karier dari awal. Luna mendengarkan dengan penuh empati. "Terkadang, kita harus kehilangan segalanya untuk menemukan diri kita sendiri," katanya. "Sebuah bab baru tidak bisa dimulai jika kita terus-menerus kembali ke bab yang lama."
Kata-kata itu beresonansi dengan Rio. Itu adalah versi lain dari apa yang Tika katakan padanya. Namun, dari Luna, kata-kata itu terasa lebih ringan, lebih puitis. Tiba-tiba, suara Kevin terdengar. "Yo! Gila, sibuk banget lo, ya?"
Rio dan Luna menoleh. Kevin berdiri di samping meja mereka, dengan senyum ramah yang terlihat terlalu sempurna. Rio merasakan kembali pola lama yang akan muncul. Tapi kali ini, ia tidak mengalah. Ia melihat Luna di sampingnya, dan ia menyadari ia tidak lagi membutuhkan Kevin untuk merasa dihargai. Ia telah mendapatkan pengakuan yang lebih tulus dari orang yang baru ia kenal.
"Kevin," sapa Rio, suaranya mantap. "Ya, lagi sibuk banget."
Kevin melihat ke arah Luna, lalu kembali ke Rio. "Lo lagi ngerjain proyek keren, kan? Boleh dong, nanti kita ngopi-ngopi lagi. Lo bisa bagi-bagi ilmu."
Rio tersenyum. "Makasih, Kev. Tapi gue lagi fokus di sini. Ada banyak proyek yang harus gue selesaikan, dan gue nggak bisa diganggu. Mungkin lain kali, ya."
Wajah Kevin terlihat bingung. Penolakan ini tidak pernah ia dengar dari Rio. "Oh... oke. Gue cuma denger-denger lo lagi ngerjain sesuatu yang besar, jadi gue pikir..."
"Udah, ya, Kev," potong Rio dengan sopan. "Gue balik kerja."
Kevin pergi, terlihat sedikit bingung. Rio kembali menatap Luna. Luna tersenyum. "Dia temanmu?" tanyanya.
"Dulu," jawab Rio, suaranya tenang. "Tapi sekarang, aku hanya berteman dengan orang-orang yang bisa melihat aku apa adanya."
Percakapan mereka berlanjut sampai malam. Mereka bertukar ide, inspirasi, dan cerita. Tidak ada agenda tersembunyi, tidak ada tuntutan. Hanya ada dua orang yang saling berbagi gairah. Ketika mereka berpisah, mereka bertukar kontak.
Rio berjalan pulang, langkahnya terasa ringan. Ia tidak hanya mendapatkan kenalan baru, tetapi juga mendapatkan sebuah konfirmasi yang kuat: ia telah berhasil memutus rantai masa lalu. Ada harapan baru yang membentang di depannya, dan kali ini, ia tidak akan sendirian.
