Bab 12: Fondasi Persahabatan Sejati
Setelah pertemuan pertama di kafe, Rio dan Luna bertukar nomor telepon. Hubungan mereka dimulai dengan perlahan, jauh dari intensitas hubungan Rio dengan teman-teman lamanya. Tidak ada panggilan panik tengah malam, tidak ada permintaan yang mendesak, atau ajakan yang terselubung. Sebaliknya, interaksi mereka terasa alami dan tenang, seperti dua sungai yang mengalir berdampingan.
Ponsel Rio, yang kini lebih sering senyap, sesekali akan bergetar dengan pesan dari Luna. Bukan pesan permintaan bantuan, melainkan hal-hal sederhana seperti, Gimana proyeknya hari ini? atau Aku baru saja menemukan kafe baru dengan kopi yang enak. Kapan-kapan kita ke sana, ya.
Rio merasakan sesuatu yang baru. Ia tidak merasa terbebani untuk membalas. Ia tidak merasa harus membalas dengan sebuah janji atau tawaran. Ia hanya membalas dengan kejujuran, Lancar. Tapi melelahkan.. Dan Luna akan membalas dengan empati, Semangat! Istirahat kalau sudah capek.
Satu minggu kemudian, mereka bertemu lagi di kafe yang sama. Kali ini, Rio datang tanpa beban. Ia membawa beberapa sketsa proyeknya, dan Luna membawa naskah novelnya. Mereka duduk berjam-jam, membicarakan ide, visi, dan perjuangan mereka. Rio menceritakan tantangan dalam pekerjaannya, bagaimana ia harus menawar harga yang pantas, menghadapi klien yang sulit, dan memilah ide-ide terbaiknya. Luna, di sisi lain, menceritakan tentang blokir penulis, bagaimana ia harus berjuang melawan keraguan, dan bagaimana ia harus berulang kali mengedit naskahnya.
Ada kesetaraan yang mendalam dalam hubungan mereka. Mereka saling memberi, tetapi bukan dalam bentuk materi atau emosi yang menguras tenaga. Mereka memberi dalam bentuk ide, inspirasi, dan dukungan moral. Rio memberikan masukan visual untuk novel Luna, dan Luna memberikan masukan naratif untuk proyek-proyek Rio. Mereka tidak lagi hanya mendengarkan. Mereka saling berbagi, saling membangun.
Suatu sore, saat mereka sedang makan siang, Rio bertanya, "Kenapa kamu mau berteman denganku, Luna? Maksudku... aku nggak punya banyak waktu luang. Aku juga lagi nggak punya banyak uang buat traktir kamu."
Luna menatapnya, bingung. "Memangnya kenapa? Aku berteman denganmu karena aku suka mendengarkanmu. Kamu punya semangat yang kuat, dan kamu orang yang baik. Aku tidak butuh traktir atau waktu luangmu. Aku butuh teman yang bisa menginspirasiku."
Kata-kata itu membuat Rio terdiam. Ia menyadari, selama ini ia mengukur nilai persahabatan dari apa yang bisa ia berikan. Ia percaya bahwa untuk mendapatkan teman, ia harus terus-menerus menawarkan sesuatu. Tapi Luna menunjukkan kepadanya bahwa persahabatan yang sejati tidak didasarkan pada transaksi, melainkan pada koneksi.
"Oh, ya," kata Luna, "ngomong-ngomong, aku juga butuh bantuanmu."
Jantung Rio berdebar. Ia merasa panik. Pola lama itu, ketakutan bahwa ia akan dimanfaatkan lagi, kembali muncul. Ia menelan ludah. "Bantuan apa, Lun?"
"Aku butuh bantuan untuk memilih font yang tepat untuk sampul novelku. Kamu kan desainer, pasti lebih jago. Kita bisa kerjakan itu nanti malam, ya?" Luna tersenyum.
Rio merasa lega. Bantuan yang diminta Luna adalah sesuatu yang ia sukai, sesuatu yang ia kuasai. Itu bukan sebuah beban, melainkan sebuah kolaborasi. Itu adalah hal yang sama sekali berbeda dari "bantuan" yang diminta Adrian, Sarah, Damar, atau Kevin. Rio mengangguk, senyum tulus merekah di wajahnya.
Ketika ia pulang malam itu, ia merasa berbeda. Ia tidak lagi merasa kosong. Ia merasa memiliki. Ia memiliki seorang teman yang menghargai dirinya apa adanya, yang melihat Rio sebagai seorang yang berharga, bukan sebagai sumber daya. Di tengah badai kehidupannya, ia telah menemukan fondasi yang kokoh untuk membangun sesuatu yang baru, sesuatu yang sejati: persahabatan yang tulus.
