Jumat, 15 Agustus 2025, 16.05 WIB
Tanah ini masih basah dan berbau asing. Ajie Darmaji berlutut, jemarinya yang gemetar menyentuh gundukan merah yang kini menelan seluruh dunianya. Di atasnya, sebuah nisan kayu sederhana terasa seperti vonis. NINA BINTI NIMAN. Nama itu terasa salah. Dunia mengenalnya sebagai Mpok Alpa, pemilik senyum yang mampu membelah mendung Jakarta. Tapi bagi Ajie, dia adalah Nina, napasnya, rumahnya.
Kerumunan di sekelilingnya terdengar seperti dengungan lebah yang jauh. Kilatan kamera ponsel para pelayat menusuk matanya, tetapi ia tidak melihat apa-apa selain gundukan tanah itu. Pandangannya terpaku pada anak-anaknya, yang kini berdiri tercerai-berai dalam badai duka mereka sendiri.
Sherly, putrinya yang berusia sembilan belas tahun, berdiri tegak di sampingnya. Wajahnya pucat dan kaku, ia berusaha keras menjadi benteng bagi adik-adiknya, namun matanya yang memerah tak bisa menyembunyikan kerapuhannya. Di dekatnya, Alfatih yang berusia tujuh tahun menatap lubang yang kini tertutup tanah dengan tatapan bingung, sesekali menarik-narik lengan baju Sherly, seolah bertanya kapan semua ini akan berakhir.
Dan si kembar, Raffi dan Raffa, yang baru berusia satu tahun, berada dalam gendongan seorang kerabat. Mereka terlalu kecil untuk mengerti, namun mereka bisa merasakan kesedihan yang pekat di udara, membuat mereka gelisah dalam dekapan.
Ajie merasakan gelombang keputusasaan yang baru. Melihat keempat anaknya, empat kepingan hati yang ditinggalkan Nina, membuatnya sadar betapa berat tanggung jawab yang kini harus ia pikul sendirian. Bagaimana ia akan menjelaskan pada Alfatih bahwa Bunda tidak akan pulang? Bagaimana ia akan menjaga tawa si kembar tetap terdengar di rumah yang kini kehilangan sumber cahayanya?
Ia menunduk dalam-dalam, membiarkan topeng hitamnya menyembunyikan wajahnya yang hancur. Ia tidak menangis. Belum. Saat ini, yang ia rasakan hanyalah kehampaan yang begitu luas, sebuah lubang hitam yang mengisap semua suara, semua cahaya. Perpisahan ini bukan akhir. Ia tahu itu. Ini adalah awal dari sebuah kehidupan yang harus ia jalani tanpa kompasnya, tanpa senyum yang selalu menuntunnya pulang. Dan ia sama sekali tidak tahu bagaimana caranya.
Bab 1: Rahasia di Balik Senyum
Bisik-bisik itu menyelinap di antara doa-doa yang dipanjatkan. Samar, tapi cukup tajam untuk mengiris hati Ajie yang sudah compang-camping.
"Kenapa dirahasiain, ya?" "Katanya udah lama sakitnya..." "Kasihan, padahal lagi naik daun."
Ajie memejamkan mata, berusaha menulikan telinga. Ia menyiramkan air dari botol plastik ke atas makam. Tangannya tidak lagi gemetar, melainkan kaku. Setiap pertanyaan dari para pelayat itu membuka kembali luka yang sama, luka yang telah ia simpan bersama Nina selama berbulan-bulan.
Ingatan itu datang tanpa diundang, ditarik oleh aroma bunga kamboja yang menyengat.
Enam bulan yang lalu, di ruang tengah rumah impian mereka.
Bau obat-obatan dari sesi kemoterapi hari itu masih menempel di udara, bersaing dengan aroma masakan yang coba Ajie hangatkan. Nina terbaring di sofa, wajahnya pucat pasi seperti dinding yang baru dicat. Jilbab instan yang ia kenakan tak mampu menyembunyikan rambutnya yang mulai menipis, rontok helai demi helai seperti daun di musim gugur.
Ajie duduk di lantai, memijat kakinya yang dingin. Hatinya remuk. Wanita di hadapannya ini adalah Mpok Alpa yang super di televisi, yang tawanya bisa membuat satu studio bergetar. Tapi di sini, di rumah ini, ia adalah Nina-nya yang rapuh.
"Nin," panggilnya lirih, suaranya serak. "Nggak apa-apa, kan, kalau kita kasih tahu teman-teman? Raffi, Irfan, mereka pasti mau bantu. Kita nggak sendirian."
Nina membuka matanya perlahan. Ada sisa-sisa kelelahan di sana, tapi juga kilatan baja yang tak pernah padam. Senyum tipis terukir di bibirnya yang kering. Tangannya yang kurus terulur, menyentuh pipi Ajie.
"Terus kenapa, Bi?" bisiknya, suaranya lebih seperti desahan. "Penyakit ini dari Allah, buat aku. Kenapa harus jadi beban buat orang lain? Nanti mereka lihat aku bukan Mpok Alpa lagi, tapi orang sakit yang butuh dikasihani. Aku nggak mau."
"Tapi ini berat, Sayang. Kamu nggak harus nanggung ini sendirian," Ajie mencoba lagi, rasa putus asa mulai menjalari suaranya. Ia merasa gagal, tak berguna. Ia hanya bisa melihat istrinya kesakitan.
Nina menggeleng pelan, matanya menatap lurus ke mata Ajie. "Justru karena aku nggak sendirian. Ada kamu. Itu cukup." Ia berhenti sejenak, menarik napas yang terdengar berat. "Inget nggak, kamu yang dulu ngajarin aku? Waktu kita masih nyanyi di kondangan, kamu bilang tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Aku cuma lagi ngelakuin apa yang kamu ajarin, Bi."
Ajie terdiam. Skakmat. Kalimat itu, yang pernah ia ucapkan untuk menyemangati Nina saat mereka hanya dibayar dengan nasi kotak dan beberapa lembar uang lecek, kini kembali kepadanya seperti bumerang. Nina telah mengubah nasihat sederhana itu menjadi sebuah prinsip hidup yang kokoh, sebuah perisai untuk melindungi harga dirinya.
"Punya penyakit jangan dimanja," Nina sering berbisik pada dirinya sendiri saat mengira Ajie tak mendengar. "Nanti malah jadi-jadi."
Kembali ke pemakaman. Ajie membuka matanya. Pandangannya kini lebih jernih. Ia menatap nisan itu lagi. NINA BINTI NIMAN. Ia akhirnya mengerti. Nina tidak sedang menyembunyikan penyakitnya. Ia sedang melindungi warisannya. Warisan tawa. Warisan kekuatan. Dan Ajie, sebagai orang yang paling mencintainya, seharusnya tidak berduka atas itu. Ia seharusnya bangga.
Namun, rasa bangga itu terasa begitu berat, menekan pundaknya hingga ia nyaris tersungkur ke tanah.
Bab 2: Benjolan Asing di Payudara
Bulan-bulan pertama kehamilannya yang mengandung si kembar adalah sebuah simfoni kebahagiaan yang riuh. Perut Nina yang membuncit lebih besar dari biasanya menjadi pusat semesta di rumah kecil mereka. Namun, di tengah melodi itu, muncul sebuah nada sumbang yang ganjil. Sebuah benjolan kecil, seukuran kelereng, yang ia temukan tanpa sengaja di payudaranya saat mandi sore.
Ia tidak merasakan sakit, hanya sensasi aneh saat disentuh. Malam itu, di ranjang, ia menunjukkannya pada Ajie.
"Apaan, nih, Bi?" tanyanya, nadanya lebih penasaran daripada cemas. Tangannya menuntun jemari Ajie untuk merasakan benjolan itu.
Ajie mengernyitkan dahi. "Nggak tahu, Sayang. Sakit?"
"Nggak, sih. Cuma aneh aja," jawab Nina sambil menarik tangannya. Ia tertawa kecil, mencoba mengusir awan kekhawatiran yang sekilas melintas di wajah suaminya. "Paling juga kantong susu. Biasa, kan, kalau lagi hamil."
Ajie mengangguk, ingin sekali memercayai ucapan itu. Dan untuk sementara, mereka berdua memilih untuk percaya. Benjolan itu menjadi rahasia kecil mereka, sebuah catatan kaki dalam buku kehamilan Nina yang seharusnya sempurna.
Namun, setelah si kembar, Raffi dan Raffa, lahir dan tangis mereka mengisi rumah dengan kehidupan baru, benjolan itu tidak ikut pergi. Sebaliknya, ia tumbuh dalam diam, menjadi lebih keras dan sesekali mengirimkan denyut nyeri yang tajam. Nina mencoba mengabaikannya, menenggelamkan rasa takutnya dalam kesibukan mengurus dua bayi sekaligus. Tapi benjolan itu ada di sana, pengingat sunyi setiap kali ia menyusui atau berganti pakaian.
Suatu pagi, saat ia berdiri di depan cermin kamar mandi, ia melihatnya dengan jelas. Bentuk payudaranya sedikit berubah, tertarik ke dalam oleh benjolan yang kini terasa seperti batu kecil di bawah kulitnya. Jantungnya berdebar kencang. Kepanikan yang dingin merayap di punggungnya. Ini bukan kantong susu.
Malam itu, ia tidak bisa lagi menyembunyikannya. Saat Ajie memeluknya dari belakang, ia bisa merasakan tubuh istrinya menegang.
"Kenapa, Nin?" bisik Ajie.
Nina tidak menjawab. Ia hanya meraih tangan Ajie dan meletakkannya di payudaranya. Ajie langsung merasakan perbedaannya. Benjolan itu kini lebih besar, lebih keras. Rasa takut yang dulu hanya awan tipis kini menjadi badai di dalam dirinya.
"Besok kita ke dokter," kata Ajie tegas, tidak ada lagi ruang untuk tawar-menawar. "Sekarang."
Nina mengangguk pasrah. Topeng ketenangannya retak, dan air mata yang selama ini ia bendung akhirnya jatuh.
Ruang tunggu rumah sakit terasa seperti akuarium. Semua orang bergerak dalam gerakan lambat, wajah-wajah mereka buram di balik kecemasan masing-masing. Nina memilin-milin ujung jilbabnya, sementara jantungnya berdentum-dentum di telinga. Ia mencoba membaca majalah, tetapi huruf-hurufnya menari-nari tak beraturan. Pasti cuma infeksi biasa, batinnya berulang kali, sebuah mantra untuk menenangkan diri. Nggak mungkin kanker. Aku masih muda. Anak-anak masih kecil.
"Ibu Nina Binti Niman."
Suara perawat itu memecah lamunannya. Ajie menggenggam tangannya erat saat mereka berjalan masuk ke ruangan dokter.
Dokter yang menyambut mereka tersenyum ramah, tetapi matanya serius. Di atas mejanya, tergeletak beberapa lembar hasil pemeriksaan. Udara di ruangan itu terasa menipis.
Dokter itu berdeham, memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Ibu Nina, dari hasil mamografi dan biopsi..." Ia berhenti sejenak, tatapannya penuh simpati. "...kami menemukan adanya sel karsinoma di payudara sebelah kiri."
Dunia Nina berhenti berputar. Karsinoma. Kata itu terdengar asing, seperti bahasa dari planet lain. Tapi ia tahu artinya. Kanker.
Napasnya tercekat. Ia menatap kosong ke arah Ajie, mencari pegangan di tengah dunianya yang tiba-tiba runtuh. Air mata mengalir tanpa suara, bukan karena rasa sakit fisik, tapi karena hantaman kenyataan yang begitu brutal. Aku seorang ibu. Aku seorang istri. Aku Mpok Alpa. Dan kini, ada musuh yang tumbuh di dalam tubuhku sendiri, mengancam akan mengambil semuanya.
Bab 3: Perjuangan Tanpa Sorotan
Udara di ruang kemoterapi itu dingin dan berbau aneh, campuran antara alkohol dan zat kimia yang menusuk hidung. Bau itu tidak akan pernah bisa dilupakan Nina. Ruangan itu sunyi, hanya diramaikan oleh bunyi ‘bip’ mesin yang ritmis dan desis pelan dari kantong infus. Jauh berbeda dari riuhnya studio televisi yang penuh tawa, sorak-sorai, dan panasnya sorot lampu.
Nina duduk kaku di kursi recliner yang dingin, matanya terpaku pada selang bening yang terpasang di punggung tangannya. Ia bisa melihat cairan obat itu mengalir, tetes demi tetes, masuk ke dalam pembuluh darahnya. Setiap tetes terasa seperti es yang menjalar, membawa serta gelombang mual yang naik perlahan dari perutnya. Ia memejamkan mata, menggigit bibir bawahnya, menolak untuk menyerah pada rasa sakit itu. Tidak ada satu pun keluhan yang keluar.
Ajie duduk di kursi di sebelahnya, tak beranjak. Tangannya terus menggenggam tangan Nina yang bebas, seolah mencoba menyalurkan seluruh kekuatan yang ia miliki. Ia benci melihat istrinya seperti ini. Ia benci pada keheningan ruangan ini, pada bau obat, dan pada ketidakberdayaannya sendiri.
"Kita pulang, ya, Bi. Istirahat," bisik Ajie pelan setelah sesi hari itu selesai dan perawat melepaskan jarum dari tangan Nina.
Nina mengangguk lemah, terlalu lelah untuk berbicara. Perjalanan pulang terasa panjang dan bergelombang. Setiap guncangan mobil terasa seperti pukulan di perutnya. Namun, begitu tiba di rumah, ia tidak langsung menuju kamar. Langkah pertamanya adalah ke depan cermin besar di ruang ganti.
Pantulan di cermin itu adalah seorang wanita yang tidak ia kenali. Wajahnya pucat, kantung matanya menghitam, dan sorot matanya redup. Ia adalah cerminan dari pertempuran yang sedang ia jalani dalam sunyi. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia meraih tas riasnya. Ia memulaskan bedak untuk menutupi pucatnya, mengukir alisnya dengan pensil, dan mengoleskan lipstik merah cerah di bibirnya. Setiap gerakan adalah sebuah deklarasi perang. Ia tidak akan membiarkan kanker merenggut wajahnya.
"Kamu yakin mau syuting, Nin?" tanya Ajie dari ambang pintu, suaranya sarat akan kekhawatiran. "Badan kamu masih lemes gitu. Batalin aja, ya? Aku bisa telepon produsernya."
Nina menoleh, dan di cermin, Ajie melihat perubahan itu. Senyum ceria Mpok Alpa yang khas kini sudah kembali terukir di wajah yang tadi pucat. Seolah-olah, dengan lipstik itu, ia telah mengenakan sebuah topeng.
"Yakinlah, Bi," jawabnya, suaranya sudah kembali nyaring, logat Betawinya kental. "Punya penyakit jangan dimanja. Nanti malah jadi-jadi. Kalau kita banyak gerak, ketemu orang, ketawa, rasa sakitnya juga lupa."
Ajie hanya bisa menatap dengan takjub. Bagaimana istrinya bisa melakukan ini? Bagaimana ia bisa membelah dirinya menjadi dua pribadi yang begitu berbeda? Di rumah, ia adalah Nina yang rapuh dan lelah. Tapi begitu riasan itu menempel, ia berubah menjadi Mpok Alpa yang super, yang tak terkalahkan, siap untuk membuat seluruh Indonesia tertawa.
Di lokasi syuting, tidak ada yang tahu. Tidak ada yang tahu bahwa di balik tawa renyahnya saat melontarkan lelucon, ia sedang mati-matian menahan gelombang mual yang naik ke tenggorokan. Tidak ada yang tahu bahwa di balik wig dan topi modis yang ia kenakan, rambutnya perlahan rontok, meninggalkan jejak kesedihan di bantal setiap pagi. Sahabat-sahabatnya mungkin menyadari ia sedikit lebih kurus atau terkadang pucat, tapi ia selalu punya alasan. "Lagi diet, nih!" atau "Kurang tidur aja, semalem begadang nonton drama Korea."
Ia memilih berjuang sendirian dalam riuh. Dan di sinilah kekuatan Mpok Alpa yang sesungguhnya terpancar. Ia tidak membiarkan penyakit merenggut identitasnya. Ia akan terus menari di atas panggung kehidupan, bahkan ketika ia harus melakukannya dengan tubuh yang rapuh. Dan ia akan melakukannya dengan senyum yang paling tulus, senyum yang harganya tak ternilai.
Bab 4: Curhatan yang Mengubah Takdir
Tahun 2018.
Jauh sebelum bau aneh ruang kemoterapi menempel di indranya, satu-satunya aroma yang familier bagi Nina adalah campuran wangi sabun cuci piring, minyak telon, dan keringatnya sendiri. Hari itu adalah salah satu dari ribuan hari yang terasa sama. Rumah sudah rapi, cucian sudah dijemur, dan anak-anak sedang tenang di kamar. Sore itu, ia memutuskan untuk melakukan pemberontakan kecil.
Ia mandi lebih lama dari biasanya, membiarkan air hangat membasuh lelahnya. Lalu, ia membuka lemari dan memilih gamis terbaiknya, yang biasanya hanya ia pakai untuk kondangan. Di depan cermin, ia mematut diri dengan saksama. Alisnya ia rapikan hingga lurus sempurna, bedak tebal ia pulaskan hingga wajahnya terlihat cerah, dan terakhir, lipstik merah menyala ia oleskan di bibirnya. Merah adalah warna perlawanan.
Ia merasa cantik. Ia merasa seperti Nina yang dulu, sebelum hari-harinya ditelan oleh rutinitas tak berujung. Dengan hati berdebar, ia berjalan ke ruang tamu, tempat Ajie duduk di sofa, matanya terpaku pada layar ponsel, jempolnya bergerak lincah menggulirkan sesuatu yang tampaknya jauh lebih menarik daripada istrinya yang sudah berdandan total.
Nina berdiri di sana selama beberapa saat. Menunggu. Berharap Ajie akan mengangkat kepala dan berkata, "Kamu cantik banget, Sayang. Kita jalan, yuk?"
Tapi Ajie tidak mengangkat kepala.
Kekecewaan itu terasa seperti jarum kecil yang menusuk hatinya. Seharian ia menjadi ‘pembantu’ di rumahnya sendiri, dan satu-satunya impiannya sore itu hanyalah diajak keluar. Sekadar ke mal, makan bakso di pinggir jalan, apa saja. Asal keluar dari sangkar emas ini. Perasaan kesal, sedih, dan lucu bercampur aduk di dadanya.
Sebuah ide iseng melintas di benaknya. Tangannya meraih ponselnya sendiri, membuka kamera depan, dan menekan tombol rekam. Ia menatap pantulan wajahnya di layar, wajah seorang wanita yang sudah ‘menor’ dengan sia-sia.
"Kita udah rapih, udah menor, alis dilempeng-lempengin, bibir dimerah-merahin," ia mulai berbicara pada ponselnya, suaranya adalah campuran antara gerutuan dan komedi yang alami. Logat Betawinya yang kental keluar begitu saja. "Ajak ke mana kek ini kita ya, bang."
Ia melirik sekilas ke arah Ajie, yang masih tak bergeming.
"Ya Allah, begini amat yak saban hari. Pegang penggorengan, megangin panci, belum ngurusin anak. Ya Allah, bang. Ajak apa kita ini yang udah cakep ke mal," lanjutnya, setiap kata adalah luapan emosi yang jujur, tanpa skrip, tanpa pretensi. Itu adalah suara hati ribuan ibu rumah tangga di seluruh Indonesia, yang ia wakilkan tanpa sadar.
Setelah selesai, ia menekan tombol berhenti. Ia menonton ulang videonya, dan tawa geli meledak dari bibirnya sendiri. Ia terlihat konyol, tetapi juga sangat jujur. Tanpa berpikir panjang, dengan perasaan iseng yang masih tersisa, ia mengunggah video itu ke akun media sosialnya. "Biarin, ah. Curhat dikit," gumamnya.
Ia tidak mengharapkan apa-apa.
Namun, yang terjadi selanjutnya adalah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Ponselnya, yang biasanya sunyi, mulai bergetar. Satu notifikasi. Lalu dua. Sepuluh. Lima puluh. Getarannya tak berhenti, seolah ponsel itu mengalami kejang. Komentar, suka, dan permintaan pertemanan membanjiri layarnya. Video itu menyebar lebih cepat dari api membakar ilalang kering.
Malam itu, saat ia dan Ajie bersiap untuk tidur, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
"Selamat malam, Mpok. Saya dari tim Trans7. Kami melihat video Mpok yang viral. Apakah kami boleh mewawancarai Mpok besok?"
Nina mematung. Ia menatap layar ponselnya, lalu menatap Ajie dengan mata terbelalak. Ia sodorkan ponsel itu pada suaminya. Ajie membacanya, lalu menatap Nina dengan ekspresi yang sama terkejutnya.
Semalam suntuk Nina tidak bisa tidur. Jantungnya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk antara takut, bingung, dan secercah kegembiraan yang aneh. Ia yang dulunya hanya penyanyi panggung kondangan, kini diundang ke stasiun televisi nasional.
Ia tidak tahu, bahwa curhatannya yang spontan sore itu adalah sebuah ketukan di pintu takdir. Pintu yang akan membawanya keluar dari rutinitas dapurnya, menuju panggung yang jauh lebih besar, sekaligus menuju sebuah perjalanan yang akan menguji seluruh kekuatannya.
Bab 5: Dari Panggung Kondangan ke Layar Kaca
Jauh sebelum video curhatan itu meledak, panggung Nina adalah sepetak papan triplek yang didirikan di sudut-sudut gang sempit atau di pelataran rumah yang becek. Panggung hajatan. Di sanalah, di bawah terik matahari yang membakar kulit atau sorot lampu seadanya yang menarik perhatian serangga malam, ia mengasah bakatnya. Di panggung itulah, ia dikenal sebagai Nina, si biduan bersuara merdu yang goyangannya selalu berhasil membuat bapak-bapak mengeluarkan lembaran uang dari dompet mereka.
Hidup sebagai penyanyi panggung adalah sekolah kehidupan yang keras. Bayaran yang ia terima seringkali hanya cukup untuk ongkos pulang-pergi, sisanya ia kumpulkan dari saweran yang dilemparkan penonton. Ia harus belajar tersenyum dan bernyanyi dengan penuh energi, bahkan ketika perutnya melilit karena lapar atau ketika penonton lebih sibuk menyantap hidangan prasmanan daripada memperhatikannya.
"Yang penting kita menghibur, Bi," katanya pada Ajie suatu malam saat mereka menghitung uang saweran yang lecek dan berbau keringat. "Rezeki mah ngikutin."
Ia tidak pernah mengeluh. Setiap panggung, sekecil dan sesederhana apa pun, ia anggap sebagai ruang kelas. Ia belajar membaca suasana hati penonton dari sorot mata mereka. Ia belajar kapan harus melontarkan candaan agar tawa pecah, dan kapan harus menyanyikan lagu dangdut melankolis untuk menyentuh hati mereka. Sifatnya yang ramah, kocak, dan tidak pernah memandang rendah siapa pun membuatnya disukai, dari pemilik hajat hingga tukang sound system.
Pengalaman-pengalaman itu menempanya menjadi baja. Ia pernah mengalami panggung yang sepi penonton, pernah mendapat honor yang dipotong tanpa alasan, dan pernah pula harus terus bernyanyi di tengah hujan gerimis. Namun, ia tidak pernah menyerah. Setiap kegagalan adalah pelajaran.
Maka, ketika ia dan Ajie tiba di depan gedung Trans7 yang menjulang tinggi seperti raksasa kaca dan baja, Nina menarik napas dalam-dalam. Jantungnya berdebar kencang, tangannya terasa dingin. Lobi gedung itu begitu dingin dan senyap, sangat kontras dengan suasana panggung hajatan yang selalu hangat dan riuh. Orang-orang berjalan cepat dengan wajah serius, aroma parfum mahal menggantikan aroma sate dan gulai yang biasa ia hirup.
Sejenak, ia merasa kecil. Seorang ibu rumah tangga dari gang sempit yang tersesat di istana kaca. Ia meremas tangan Ajie, mencari kekuatan.
"Aku bisa, kan, Bi?" bisiknya, lebih pada dirinya sendiri.
Ajie balas meremas tangannya. "Kamu bukan cuma bisa. Kamu udah biasa begini, Nin. Anggap aja ini panggung kondangan paling gede yang pernah kamu datengin."
Kata-kata Ajie seperti kunci yang membuka sebuah memori. Nina teringat pada sebuah hajatan di pinggiran Bekasi bertahun-tahun lalu. Penontonnya cuek, sound system-nya bermasalah, dan ia hanya dibayar untuk tiga lagu. Tapi ia tidak menyerah. Ia turun dari panggung, berbaur dengan penonton, mengajak ibu-ibu berjoget, dan melontarkan pantun-pantun Betawi yang membuat semua orang tertawa. Di akhir acara, ia tidak hanya mendapat saweran paling banyak, tapi juga tepuk tangan paling meriah.
Ia tersenyum. Gedung ini mungkin dingin, dan orang-orangnya mungkin terlihat serius. Tapi di hadapannya tetaplah penonton. Dan tugasnya hanya satu: menghibur.
Viralnya video itu bukanlah keberuntungan semata. Itu adalah panen dari benih kerja keras yang telah ia tanam selama bertahun-tahun di panggung-panggung sederhana yang terlupakan. Logat Betawinya yang ‘nyablak’, yang dulu hanya ia gunakan untuk mengakrabkan diri dengan penonton, kini adalah aset terbesarnya.
Ia menegakkan punggungnya. Ia bukan lagi Nina si biduan kampung. Ia adalah Mpok Alpa. Dan ia siap mengambil alih panggung barunya.
Bab 6: Konsistensi Seorang Bintang
Lampu kamera yang menyilaukan itu terasa sepuluh kali lebih panas daripada matahari di panggung hajatan. Di hadapannya, bukan lagi kerumunan tetangga yang bisa ia sapa satu per satu, melainkan tiga kamera hitam yang menatapnya tanpa ekspresi, seperti mata serangga raksasa. Di seberangnya, seorang pembawa acara terkenal tersenyum lebar, giginya putih berkilau.
"Jadi, Mpok Alpa, gimana rasanya tiba-tiba viral?" tanya sang pembawa acara.
Jantung Nina berdebar begitu kencang hingga ia takut suaranya akan terdengar di mikrofon yang menempel di bajunya. Ini adalah wawancara pertamanya. Ia sadar betul, jutaan pasang mata di seluruh negeri sedang menilainya. Satu jawaban salah, satu lelucon yang garing, dan ia bisa menjadi bahan tertawaan.
Ia menarik napas, teringat nasihat Ajie: Anggap aja ini panggung kondangan paling gede.
Lalu, ia tersenyum. Bukan senyum yang dibuat-buat, melainkan senyum tulus Mpok Alpa. "Rasanya? Kayak abis ngulek sambel kebanyakan, Bang. Pedes di awal, bikin nangis, tapi abis itu nagih!" jawabnya spontan.
Satu studio tertawa. Pembawa acara itu pun terbahak. Seketika, es di dalam studio yang dingin itu mencair. Nina merasa ketegangannya mengendur. Ia kembali menjadi dirinya sendiri, melontarkan candaan-candaan ‘nyablak’ yang mengalir begitu saja, menceritakan kehidupannya sebagai ibu rumah tangga dengan kejujuran yang lucu dan menyentuh.
Wawancara itu sukses besar. Undangan ke acara-acara lain mulai berdatangan. Selama beberapa minggu, wajah Mpok Alpa ada di mana-mana. Namun, di tengah euforia itu, Nina tidak terlena. Setiap malam, setelah anak-anak tidur, ia akan duduk bersama Ajie di ruang tamu, menonton siaran ulang penampilannya.
"Tadi di bagian ini aku ngomongnya kecepetan, ya, Bi?" tanyanya sambil menunjuk layar. "Harusnya aku kasih jeda dulu biar lucunya dapet."
Ajie menatap istrinya dengan kagum. "Kamu hebat, Nin. Natural banget."
"Natural aja nggak cukup, Bi," sahut Nina serius. "Aku liat banyak yang viral kayak aku, sebulan dua bulan juga udah ilang. Aku nggak mau kayak gitu. Aku nggak mau cuma jadi ‘artis dadakan’."
Rasa takut itu nyata. Rasa takut untuk kembali ke dapur, kembali menjadi tak terlihat setelah merasakan terangnya sorotan lampu. Rasa takut itu menjadi bahan bakarnya. Ia tahu, viral adalah pintu gerbang, tapi untuk bisa bertahan di dalam istana, ia butuh lebih dari sekadar keberuntungan. Ia butuh kerja keras dan konsistensi.
Ia mulai melatih dirinya sendiri dengan disiplin seorang prajurit. Ia tidak lagi hanya bernyanyi di kamar mandi, tetapi mulai berlatih vokal secara rutin, menjaga suaranya agar tetap merdu dan stabil. Ia sadar, bernyanyi adalah akarnya, dan ia tidak akan pernah melupakannya.
Selain itu, ia juga mulai "sekolah". Sekolahnya adalah televisi. Ia menonton berbagai program, dari komedi hingga gelar wicara. Ia tidak hanya menonton untuk hiburan, tetapi untuk belajar. Ia mengamati bagaimana para komedian senior melontarkan lelucon dengan timing yang sempurna, bagaimana mereka berinteraksi dengan sesama artis, dan bagaimana mereka menguasai panggung.
Di lokasi syuting, ia tidak segan bertanya. "Bang, kalau kamera yang nyala yang mana, sih?" tanyanya pada seorang kamerawan. "Mpok, kalau ngomong enaknya madep mana, ya?" tanyanya pada pengarah acara. Ia menyerap semua ilmu seperti spons kering, tidak pernah menunjukkan gengsi.
Logat Betawinya yang khas, yang oleh beberapa orang disarankan untuk dikurangi agar terlihat lebih ‘nasional’, justru ia pertahankan. "Ini mah bukan gaya bicara, Bang. Ini Mpok Alpa," katanya. Itu adalah ciri khasnya, identitasnya, dan ia tidak akan menjualnya demi popularitas sesaat.
Kerja kerasnya mulai membuahkan hasil. Suatu sore, teleponnya berdering. Panggilan dari produser acara yang pernah mengundangnya.
"Mpok, kita suka banget sama gaya Mpok. Ada slot kosong nih buat jadi co-host di segmen baru kita. Mau, nggak?"
Nina terdiam, jantungnya berhenti berdetak sejenak. Bukan lagi sebagai bintang tamu. Tapi sebagai pengisi acara tetap. Sebuah tawaran reguler.
Ia menutup telepon, lalu menatap Ajie dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak perlu berkata apa-apa. Ajie sudah tahu. Ia menarik istrinya ke dalam pelukan. Ini bukan lagi tentang viral. Ini adalah bukti. Bukti bahwa Mpok Alpa bukan sekadar sensasi sesaat. Ia adalah seorang bintang yang siap untuk terus bersinar.
Bab 7: Kunci Bernama Kerendahan Hati
Tawa dari dalam studio bergaung hingga ke lorong belakang panggung yang sibuk. Nina, atau Mpok Alpa begitu ia melewati pintu studio, baru saja menyelesaikan sebuah segmen komedi. Langkahnya tidak terburu-buru saat berjalan menuju ruang rias. Di sepanjang jalan, ia adalah magnet kehangatan.
"Mpok, keren banget tadi!" sapa seorang kru yang sedang menggulung kabel.
Nina berhenti, menepuk bahu kru itu sambil tertawa. "Ah, bisa aje lu, Bang! Itu kabel jangan ampe nyerimpet, ntar gue jatoh, honor lu gue potong!" candanya, yang langsung disambut tawa renyah dari kru tersebut.
Ia melanjutkan langkahnya, menyapa setiap orang yang berpapasan. Senyumnya tulus, matanya memancarkan kehangatan yang sama, baik saat ia menyapa seorang produser senior maupun seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu lantai. Baginya, semua orang di gedung ini adalah keluarga.
Di ruang rias, suasana sedikit berbeda. Beberapa artis pendatang baru sedang berkumpul, asyik bergosip tentang seorang artis senior yang dianggap sulit diatur. Nina masuk, meletakkan tasnya, dan duduk di depan cermin. Ia hanya diam mendengarkan, tanpa ikut campur.
"Gila, ya, dia. Minta disiapin air mineral merek tertentu, dinginnya harus pas. Ribet banget," keluh salah satu dari mereka.
Nina hanya tersenyum tipis pada pantulan cerminnya. Ia teringat panggung hajatan, di mana ia sudah sangat bersyukur jika disediakan teh botol dingin. Ia mengambil botol air mineral biasa yang disediakan untuk semua orang dan meminumnya tanpa ragu.
Melihat obrolan itu tak kunjung usai, ia pun memecah suasana. "Eh, tau nggak? Tadi pas syuting, gue hampir salah ngomong lho! Masa mau bilang ‘ke pasar’, gue malah nyebut nama mantan!" ujarnya dengan ekspresi panik yang dibuat-buat.
Seketika, tawa meledak di ruangan itu. Topik gosip yang negatif langsung terlupakan, tergantikan oleh candaan yang meriah. Itulah Mpok Alpa. Ia bukan hanya seorang komedian di depan kamera, tetapi juga seorang pendamai di belakangnya.
Ajie, yang sering menunggunya di sudut ruang rias, menyaksikan semua itu dengan bangga. Ia melihat bagaimana istrinya tidak pernah terlambat, bagaimana ia selalu datang dengan skrip yang sudah dihafal di luar kepala, dan bagaimana ia selalu siap berimprovisasi tanpa pernah mengeluh. Bahkan ketika ia tahu Nina sedang menahan mual sisa kemoterapi, di depan semua orang, yang terlihat hanyalah energi dan profesionalisme.
Ia teringat sebuah malam, Nina pulang dengan wajah yang sangat lelah, namun matanya tetap berbinar.
"Bi, kamu tau nggak kenapa aku betah di sana?" bisiknya sambil bersandar di bahu Ajie. "Karena rasanya kayak kita di panggung kondangan dulu. Aku kenal semua orang, dari yang punya acara sampe yang jaga parkir. Mereka semua baik. Jadi, aku nggak ngerasa lagi kerja. Rasanya kayak lagi main ke rumah sodara."
Prinsip hidup yang ia pegang teguh, untuk lebih banyak memberi daripada menerima, kini ia terapkan dalam kariernya. Ia memberi tawa, memberi energi positif, dan memberi rasa hormat yang tulus kepada siapa pun.
Dan itulah rahasia terbesarnya. Kesuksesannya tidak dibangun dari popularitas viral semata. Ia dibangun di atas pondasi karakter yang kuat. Di dunia hiburan yang penuh dengan persaingan dan kepura-puraan, Mpok Alpa tahu bahwa attitude dan kerendahan hati adalah satu-satunya kunci yang bisa membuka semua pintu dan membuatnya tetap bersinar dalam jangka waktu yang lama.
Bab 8: Sebuah Mimpi Bernama Dapur
Suatu sore, di sela-sela waktu istirahat syuting, Nina duduk di sofa empuk di ruang rias yang sepi. Rekan-rekan artisnya yang lain sudah pulang atau sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya ada Ajie yang duduk di sebelahnya, setia menunggu. Kelelahan dari jadwal yang padat mulai terasa merayap di tulangnya, tetapi ada kelelahan lain yang lebih dalam, kelelahan dari pertarungan sunyi yang terus ia jalani di dalam tubuhnya.
Untuk mengalihkan pikirannya, ia menggulirkan layar ponselnya tanpa tujuan. Jari-jemarinya berhenti pada sebuah unggahan di media sosial. Raffi Ahmad, salah satu rekan kerjanya yang paling ia hormati, baru saja mengunggah serangkaian foto rumah barunya yang megah.
Nina memperbesar salah satu foto. Foto itu menampilkan sebuah dapur yang begitu luas dan modern, dengan sebuah meja besar di tengahnya. Dapurnya bergaya Amerika klasik, bersih, dan tampak begitu hangat. Jauh sekali dari dapur sempit di rumah kontrakan lamanya, tempat ia dulu merekam video curhatannya yang mengubah hidup.
Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Itu bukan senyum iri, melainkan senyum penuh kekaguman dan angan-angan.
"Bi, lihat deh," bisiknya pada Ajie, menyodorkan layar ponselnya. "Rumah kayak begini enak banget kayaknya, ya. Dapurnya gede, bisa buat masak-masak sambil ngeliatin anak-anak main."
Ajie melihat foto itu, lalu menatap wajah istrinya. Ia melihat binar di mata Nina, binar yang sama seperti saat ia pertama kali berhasil membuat penonton di panggung hajatan tertawa.
Bagi Nina, rumah bukan sekadar bangunan. Itu adalah pusat kehangatan, tempat di mana ia bisa melepas topeng Mpok Alpa dan kembali menjadi Nina seutuhnya. Dan dapur adalah jantung dari rumah itu. Ia membayangkan dirinya memasak dengan leluasa, aroma masakannya memenuhi ruangan, sementara anak-anaknya duduk di meja besar itu, mengerjakan PR atau sekadar berceloteh tentang hari mereka. Sebuah pemandangan yang terasa begitu mewah, jauh lebih mewah dari tas bermerek atau mobil sport.
Rumah Raffi Ahmad, dengan segala kemegahannya, telah memicu sebuah mimpi baru di hati Nina. Ia tidak ingin menjadi sekaya Raffi Ahmad, ia hanya ingin memiliki tempat yang nyaman untuk keluarganya. Sebuah sarang yang kokoh untuk melindungi anak-anaknya dari badai apa pun.
"Kita bisa, Nin," kata Ajie tiba-tiba, suaranya mantap. "Kita bisa punya yang kayak gitu."
Nina menoleh, sedikit terkejut. "Masa, sih, Bi? Mahal banget itu."
"Kita tabung. Setiap rupiah yang kamu dapet, kita sisihin buat rumah," kata Ajie sambil menggenggam tangan istrinya. "Anggap aja ini tujuan kita. Bukan buat pamer, tapi buat anak-anak."
Malam itu, di dalam mobil saat perjalanan pulang, mereka tidak banyak bicara. Tetapi keheningan itu dipenuhi oleh rencana dan harapan. Mimpi itu terasa begitu nyata dan bisa digapai. Setiap kali Nina merasa lelah setelah menjalani syuting yang padat atau menahan sakit setelah sesi pengobatan, ia akan kembali melihat foto dapur itu.
Itu menjadi pengingatnya. Bahwa setiap tetes keringatnya, setiap tawa yang ia paksakan saat tubuhnya terasa sakit, setiap momen jauh dari anak-anaknya, semuanya memiliki tujuan yang jelas. Bukan untuk popularitas atau kekayaan. Tetapi untuk membangun sebuah dapur yang hangat, di mana tawa keluarganya bisa bergema dengan bebas.
Bab 9: Tasyakuran di Rumah Impian
Udara pagi di Jakarta Selatan pada hari itu terasa berbeda, lebih cerah dan segar, seolah langit pun ikut merayakan. Di halaman depan sebuah rumah baru yang berdiri megah dengan pilar-pilar kokoh bergaya Amerika klasik, puluhan tamu undangan berkumpul. Karangan bunga berjejer di sepanjang jalan masuk, mengirimkan aroma wangi yang bercampur dengan bau cat yang masih baru. Ini adalah hari tasyakuran, hari di mana Nina dan Ajie secara resmi membuka pintu hunian impian mereka.
Nina, mengenakan gamis berwarna pastel yang cerah, berdiri di ambang pintu, menyambut setiap tamu dengan senyum paling tulus yang pernah ia miliki. Matanya berbinar-binar, memantulkan kebahagiaan yang meluap. Ia mengamati setiap sudut rumahnya, dari pilar-pilar yang ia pilih sendiri hingga jendela-jendela besar yang membuat sinar matahari menari di lantai marmer. Ini bukan lagi sekadar gambar di layar ponsel. Ini adalah istananya, yang dibangun dari keringat, tawa, dan air mata yang tak terlihat.
Bertahun-tahun telah berlalu sejak sore itu di ruang rias. Tahun-tahun yang diisi dengan kerja tanpa henti. Pagi menjadi malam, malam menjadi pagi. Nina mengambil setiap pekerjaan yang datang: program sahur yang membuatnya tidak tidur, acara off-air di luar kota yang memaksanya meninggalkan anak-anak, hingga endorsement produk yang ia rekam sendiri di sela-sela waktu istirahat. Di saat yang sama, ia diam-diam melanjutkan jadwal kemoterapinya, mengatur agar tidak bentrok dengan jadwal syuting. Ajie menjadi manajer, sopir, perawat, dan pilar kekuatannya, menyaksikan dalam diam bagaimana istrinya membakar dirinya sendiri di kedua ujungnya demi sebuah mimpi.
Para tamu, termasuk Raffi Ahmad, Irfan Hakim, dan rekan-rekan artis lainnya, berkeliling dengan takjub. Mereka memuji keindahan dan kenyamanan rumah itu. Namun, pusat perhatian semua orang adalah dapur. Dapur itu persis seperti yang Nina impikan: luas, terbuka, dengan sebuah meja besar di tengahnya yang terbuat dari kayu solid.
Dapur itu kini bukan lagi tempat untuk "megangin panci" seperti dalam curhatannya dulu. Itu adalah panggung utamanya, tempat di mana ia bisa meracik cinta dalam bentuk masakan untuk keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Namun, bagian favorit Nina adalah lantai dua. Enam kamar tidur ia siapkan di sana. Satu untuknya dan Ajie, empat untuk keempat anaknya, dan satu kamar tambahan untuk tamu atau orang tuanya jika menginap. "Biar anak-anak pada betah di rumah, Bang," katanya pada Raffi sambil tertawa. Di setiap kamar, ia sudah membayangkan tawa dan cerita anak-anaknya kelak. Ia tahu, ia telah memberikan yang terbaik untuk mereka.
Di tengah keramaian acara, ia menarik Ajie ke sudut balkon yang sepi. Dari sana, mereka bisa melihat halaman yang dipenuhi tawa dan obrolan.
"Gak nyangka ya, Bi," bisik Nina, suaranya bergetar karena haru. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Ajie. "Dulu kita cuma bisa ngeliatin rumah orang. Sekarang..."
Ajie tersenyum, merangkul istrinya dengan erat. Ia mencium puncak kepala Nina. Ia tahu harga dari setiap meter persegi rumah ini. Ia ingat malam-malam saat Nina menangis dalam diam karena menahan sakit, atau saat istrinya tertidur di mobil karena kelelahan, masih dengan riasan lengkap di wajahnya.
"Ini semua karena kamu, Nin. Kamu yang paling hebat," bisik Ajie.
Tasyakuran itu bukan hanya perayaan sebuah bangunan baru. Itu adalah perayaan atas ketekunan, pengorbanan, dan sebuah mimpi yang menolak untuk padam. Bagi Nina, ini adalah puncak dari perjalanan panjangnya. Ia tidak hanya berhasil sebagai seorang artis, tetapi juga sebagai seorang istri dan ibu yang berhasil membangun sebuah sarang yang kokoh untuk keluarganya. Ia merasa aman. Ia merasa telah menang.
Bab 10: Batuk yang Tak Kunjung Usai
Kebahagiaan di rumah impian itu terasa begitu nyata, seolah bisa disentuh. Dapur yang luas menjadi pusat semesta Nina. Di sanalah ia merayakan kemenangannya setiap hari, bukan dengan pesta, melainkan dengan hal-hal sederhana: aroma tumisan bawang yang wangi, suara tawa anak-anak yang berebut mencicipi adonan kue, dan kehangatan punggung Ajie saat memeluknya dari belakang ketika ia sedang mengaduk sayur.
Ia menikmati setiap detiknya. Ia bisa sepenuhnya menjadi dirinya sendiri: seorang ibu dan istri yang mencintai keluarganya. Meskipun jadwal syuting tetap padat, ia selalu memastikan ada waktu untuk berkumpul di meja makan besar di dapurnya. Di rumah ini, ia merasa aman. Penyakit itu terasa seperti mimpi buruk dari masa lalu, sebuah bab yang telah ia tutup rapat-rapat.
Namun, kebahagiaan itu, seindah apa pun, ternyata memiliki batasnya.
Semuanya dimulai dengan sebuah batuk kecil. Batuk kering yang mengganggu, yang awalnya ia anggap sebagai flu biasa atau alergi debu dari perabotan baru. "Kecapean aja kali, Bi," katanya pada Ajie, menepis kekhawatiran suaminya.
Tapi batuk itu menetap. Ia menjadi tamu tak diundang yang menolak untuk pergi. Ia akan datang di tengah malam, membangunkannya dari tidur lelap. Ia akan muncul di sela-sela dialognya saat syuting, memaksanya untuk berhenti sejenak dan berdeham. Nina mencoba melawannya dengan air hangat, permen pelega tenggorokan, dan senyum yang meyakinkan semua orang bahwa ia baik-baik saja.
Suatu sore, saat ia sedang bermain kejar-kejaran dengan putranya, Alfatih, di halaman belakang yang luas, ia merasakannya. Napasnya tiba-tiba menjadi pendek, seolah ada yang meremas paru-parunya. Dadanya terasa berat. Ia berhenti, bertumpu pada lututnya, terengah-engah. Alfatih, yang berlari di depannya, berhenti dan menatapnya dengan bingung.
"Bunda kenapa?"
Nina mengangkat kepala, memaksakan sebuah senyum. "Bunda... cuma capek, Sayang. Lari kamu kenceng banget, sih!" katanya sambil tertawa kecil. Tapi di dalam hatinya, es kepanikan mulai menjalari pembuluh darahnya.
Ia mulai menghindari menaiki tangga. Ia akan meminta tolong pada asisten rumah tangganya untuk mengambilkan sesuatu di lantai dua dengan alasan sedang malas. Ia tidak mau mengakui bahwa setiap anak tangga kini terasa seperti mendaki gunung.
Ia menyembunyikannya dari Ajie selama mungkin. Ia tahu suaminya akan langsung panik. Ia tidak mau melihat sorot ketakutan itu lagi di mata Ajie. Ia tidak mau kembali ke dunia steril rumah sakit, bau obat, dan tatapan kasihan. Ia baru saja mendapatkan hidupnya kembali.
Namun, Ajie terlalu mengenalnya. Ia memperhatikan bagaimana Nina sering terengah-engah setelah berbicara panjang, bagaimana istrinya diam-diam memegangi dadanya saat mengira tidak ada yang melihat.
Malam itu, saat mereka berdua di kamar, Ajie tidak bisa lagi menahan diri. Ia mendengar Nina batuk tanpa henti di kamar mandi.
"Nin," panggilnya dari balik pintu. "Kita ke dokter, ya, besok."
Hening sejenak, hanya terdengar suara air keran. Lalu pintu terbuka. Wajah Nina basah, entah karena air atau air mata.
"Aku takut, Bi," bisiknya, suaranya parau. Pertahanannya runtuh.
Keesokan harinya, mereka kembali ke ruangan yang paling mereka benci. Setelah serangkaian pemeriksaan, mereka duduk di hadapan dokter yang sama, yang dulu pernah memberikan vonis pertama. Wajah dokter itu kini terlihat lebih muram.
Dokter meletakkan hasil rontgen di atas meja bercahaya. Ada bercak-bercak putih yang mengerikan di gambar paru-paru Nina.
"Sel kankernya bermigrasi, Bu Nina," ucap dokter itu dengan suara pelan dan penuh penyesalan. "Sudah menyebar ke paru-paru."
Dunia Nina hancur untuk kedua kalinya. Rumah impian, dapur yang hangat, tawa anak-anak, semuanya terasa menjauh, menjadi pemandangan di seberang jurang yang dalam. Kemenangan yang ia rayakan ternyata hanyalah jeda singkat. Perang yang ia kira sudah usai, ternyata baru saja memasuki babak yang paling mematikan.
Bab 11: Perang Babak Kedua
Perjalanan pulang dari rumah sakit terasa hening dan menyesakkan. Ajie mencengkeram setir mobil begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia sesekali melirik ke arah Nina yang duduk di sampingnya. Istrinya itu hanya menatap lurus ke depan, ke jalanan Jakarta yang macet dan bising, tetapi tatapannya kosong.
Tidak ada air mata. Tidak ada isak tangis. Hanya keheningan yang dingin dan menakutkan. Bagi Ajie, keheningan Nina jauh lebih mengerikan daripada tangisan. Itu adalah keheningan seseorang yang dunianya baru saja direnggut, lagi.
"Nin..." panggil Ajie lirih, suaranya pecah. Ia tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata seperti "sabar" atau "semua akan baik-baik saja" terasa seperti kebohongan yang kejam.
Nina menoleh perlahan, seulas senyum tipis yang ganjil tersungging di bibirnya. "Aku nggak apa-apa, Bi," katanya, suaranya datar.
Justru karena itulah Ajie tahu, istrinya sama sekali tidak baik-baik saja.
Setibanya di rumah, Nina langsung masuk ke kamar anak-anaknya. Ia berdiri di ambang pintu, memandangi mereka yang sedang asyik bermain. Tawa mereka yang riang terdengar seperti musik dari dunia lain, dunia yang normal dan tanpa beban. Ia melihat masa depan mereka terbentang di hadapannya: hari pertama sekolah, kelulusan, pernikahan. Apakah ia akan ada di sana untuk melihat semua itu?
Rasa takut yang dingin mencengkeram hatinya begitu kuat hingga ia sulit bernapas. Ia bersandar di kusen pintu, memejamkan mata. Ia tidak akan membiarkan penyakit ini merampas semua itu darinya. Tidak akan.
Malam itu, setelah anak-anak tidur, ia menghampiri Ajie yang sedang duduk termenung di balkon. Ia membawa dua cangkir teh hangat.
"Minum dulu, Bi," katanya sambil menyodorkan secangkir teh.
Ajie menerimanya, tangannya gemetar. "Apa yang harus kita lakukan, Nin?" tanyanya putus asa.
Nina duduk di sebelahnya, menatap langit malam yang tak berbintang. "Sama seperti yang kita lakukan sebelumnya," jawabnya, suaranya kini terdengar lebih mantap. "Kita lawan."
"Tapi dokter bilang..."
"Aku nggak peduli apa kata dokter," potong Nina cepat. "Yang punya badan ini aku. Yang nentuin aku nyerah atau nggak, ya aku sendiri." Ia menatap Ajie, matanya menyala dengan kobaran semangat yang baru. "Aku mau kamu janji satu hal, Bi."
"Apa?"
"Jangan pernah lihat aku dengan tatapan kasihan. Jangan biarin anak-anak liat aku lemah. Dan jangan suruh aku berhenti kerja," katanya tegas. "Aku akan jalani radiasi itu, 15 kali atau berapa pun yang mereka minta. Tapi di luar rumah sakit, aku tetap Mpok Alpa. Aku butuh panggung itu, Bi. Aku butuh tawa orang-orang. Itu obatku."
Ajie menatap istrinya, melihat kobaran api di matanya yang lelah. Ia melihat pejuang yang sama yang dulu menaklukkan panggung-panggung hajatan yang sulit. Ia mengangguk pelan, menelan kembali air mata yang mendesak di pelupuk matanya. Jika Nina memilih untuk berperang, maka ia akan menjadi prajurit yang paling setia di sisinya.
"Oke," bisiknya. "Kita hadapi ini sama-sama."
Perang babak kedua telah dimulai. Kali ini, musuhnya lebih kuat dan medannya lebih berat. Nina kembali menjalani rutinitasnya: pagi hari syuting, melontarkan lelucon dan menyebarkan tawa. Siang hari, diam-diam ia pergi ke rumah sakit untuk menjalani terapi radiasi, menahan rasa sakit dan panas yang membakar tubuhnya.
Ia tidak akan membiarkan penyakit ini memenjarakannya di tempat tidur. Ia adalah Mpok Alpa. Dan Mpok Alpa memilih untuk tetap tertawa, bahkan ketika paru-parunya terasa berat dan masa depannya segelap malam tanpa bintang.
Bab 12: Senyum Terakhir
Batuknya kini telah menjadi monster. Bukan lagi sekadar batuk kering, melainkan serangan hebat yang datang tanpa henti, seolah ingin merobek paru-parunya dari dalam. Setiap tarikan napas adalah perjuangan yang menyakitkan, diiringi bunyi mengi yang coba ia sembunyikan. Kondisi Nina menurun drastis. Sebulan terakhir, ia benar-benar drop. Namun, bahkan di ambang batas kekuatannya, ia tetap menolak untuk menyerah pada kegelapan.
Di rumah, tempat tidurnya menjadi markas utamanya. Tapi begitu ia mendengar suara tawa anak-anaknya dari luar kamar, sebuah kekuatan supernatural seolah merasukinya. Dengan seluruh sisa tenaganya, ia akan memaksa tubuhnya untuk bangkit.
"Bunda, main yuk!" panggil si bungsu dari ambang pintu.
Nina, yang lima menit lalu terbaring lemah, kini tersenyum lebar. "Yuk! Kita main apa hari ini? Petak umpet, ya? Bunda yang jaga!" katanya dengan suara ceria yang dipaksakan.
Ia akan berjalan perlahan ke ruang keluarga, menahan pusing dan sesak napas. Ia akan duduk di lantai, menjadi wasit dalam permainan ular tangga atau mendongeng dengan suara yang bergetar. Anak-anaknya tidak tahu, di balik setiap tawa yang ia berikan, ia sedang menahan rasa sakit yang luar biasa. Ia menyembunyikan napasnya yang berat di antara jeda kalimat, berusaha agar mereka tidak melihat ibunya yang super kini begitu rapuh.
Rekan-rekan artisnya, yang mendengar kondisinya memburuk, sering datang menjenguk. Mereka membawa buah tangan dan doa. Nina menyambut mereka dengan riasan lengkap dan senyum Mpok Alpa yang khas.
"Ah, cuma batuk biasa ini mah, kebanyakan makan gorengan!" dalihnya saat Irfan Hakim bertanya dengan tatapan khawatir. Ia akan melontarkan lelucon, membuat suasana menjadi cair, seolah-olah ia tidak sedang menghadapi vonis mati. Ia tidak ingin melihat tatapan kasihan di mata mereka. Ia ingin mereka mengenangnya sebagai Mpok Alpa yang selalu ceria, bukan Nina yang sedang sekarat.
Namun, ada satu orang yang tidak bisa ia bohongi: Ajie Darmaji.
Setiap malam, Ajie akan duduk di sampingnya, membantunya minum, dan memijat punggungnya yang sakit. Ia melihat bagaimana istrinya menahan sakit di balik senyumnya. Ia melihat bagaimana napas Nina semakin berat, dan bagaimana tubuhnya semakin kurus, seolah dimakan dari dalam oleh penyakit itu.
"Biarin aja aku jalan, Bi," bisik Nina suatu malam, suaranya parau setelah serangan batuk yang panjang. "Jangan dimanja. Kalau diem di kasur terus, malah jadi sakit beneran."
Ia tetap beraktivitas, seolah ingin membuktikan bahwa ia tidak bisa dikalahkan. Bahkan ketika tubuhnya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan ke kamar mandi sendiri, ia masih ingin mencoba.
Hingga akhirnya, pada pertengahan bulan Agustus, tubuhnya benar-benar menyerah. Pagi itu, ia tidak bisa lagi bangkit dari tempat tidur. Napasnya begitu pendek dan cepat. Matanya sayu. Ajie, dengan hati yang hancur, segera memanggil ambulans.
Di ruang perawatan RS Dharmais, dikelilingi oleh bunyi mesin dan bau disinfektan, Nina masih sempat melontarkan candaan pada perawat yang memasang infus. Namun, energinya terkuras dengan cepat.
Sore itu, ia menatap Ajie yang duduk di sampingnya, menggenggam tangannya tanpa henti.
"Aku mau tidur, Bi," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya terlihat sangat lelah. "Aku capek."
Itu adalah kalimat terakhir yang ia ucapkan dengan sadar. Setelah itu, Mpok Alpa tertidur. Untuk selamanya.
Bab 13: Napas Terakhir
Detik-detik itu terasa begitu lambat, namun pada saat yang sama, begitu cepat. Jarum jam di dinding ruang ICU Rumah Sakit Dharmais berdetak dengan suara yang tajam, mengukur waktu yang semakin menipis. Ajie Darmaji menggenggam erat tangan istrinya. Tangan yang dulu begitu lincah di atas panggung, yang begitu hangat saat memeluknya, kini terasa dingin dan diam di dalam genggamannya.
Di balik alat-alat medis yang berkedip dan berbunyi dengan ritme yang monoton, wajah Nina terlihat tenang. Sangat tenang. Seolah ia sedang tertidur lelap setelah hari yang sangat panjang. Tidak ada lagi kerutan menahan sakit di dahinya. Tidak ada lagi napas yang terengah-engah. Hanya kedamaian.
"Aku mau tidur, Bi. Aku capek."
Kata-kata terakhir itu terus terngiang di telinga Ajie, sebuah bisikan yang kini menjadi gema di dalam ruang hatinya yang kosong. Ia akhirnya mengerti. Nina-nya memang sudah terlalu lelah untuk berjuang.
Di sampingnya, anak-anak mereka berdiri dalam keheningan yang memilukan. Sherly, yang berusia sembilan belas tahun, berdiri paling dekat dengan Ajie. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menjadi kuat untuk adik-adiknya, namun bahunya yang bergetar hebat mengkhianati usahanya. Si kembar digendong oleh seorang kerabat di dekat pintu, terlalu kecil untuk mengerti, namun mulai rewel merasakan ketegangan di ruangan itu.
Dan Alfatih, yang berusia tujuh tahun, berdiri mematung di sisi lain ranjang, matanya yang polos menatap lurus ke wajah ibunya.
Tiba-tiba, ritme monoton dari monitor jantung di sebelah ranjang berubah. Irama yang stabil itu tersendat, lalu menjadi sebuah garis lurus yang panjang dan tanpa kehidupan. Bunyi ‘biiiiip’ yang tajam dan memekakkan telinga memecah keheningan, terdengar seperti jeritan panjang dari mesin itu sendiri.
Tangan Nina di dalam genggaman Ajie terasa semakin dingin. Napasnya berhenti.
Mata Ajie terpejam. Pertahanannya runtuh. Air mata yang selama ini ia tahan, yang ia sembunyikan di balik senyum tegar, kini mengalir deras membasahi pipi. Tangis yang tertahan di dadanya meledak menjadi sebuah isakan yang parau dan menyakitkan.
"Nina... Jangan, Nin... Jangan tinggalin aku..." racaunya di antara isak tangis.
Melihat ayahnya menangis, pertahanan Sherly pun jebol. Ia terisak dalam diam, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Di tengah suara tangis itu, terdengar suara kecil Alfatih, penuh kebingungan.
"Ayah, kok mesinnya bunyi terus? Kapan Bunda bangun?"
Pertanyaan itu menghantam Ajie lebih keras dari suara monitor yang memilukan. Ia tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa menarik Alfatih ke dalam pelukannya, membiarkan tangis mereka bersatu, menjadi lagu duka yang paling menyayat hati.
Mpok Alpa, sang komedian yang selalu menebarkan tawa, kini telah mengakhiri perjalanannya. Di hari Jumat, 15 Agustus 2025, pukul 08.00 WIB, senyum terakhirnya telah terukir abadi, bukan lagi di wajahnya, tetapi di dalam hati setiap orang yang mencintainya. Perjuangannya telah usai.
Bab 14: Warisan Senyum
Beberapa minggu setelah pemakaman, rumah impian itu terasa terlalu besar dan sunyi. Kehangatan yang dulu diciptakan Nina seolah ikut pergi bersamanya, meninggalkan kekosongan yang dingin di setiap sudut. Ajie Darmaji berusaha sekuat tenaga untuk menjadi jangkar bagi anak-anaknya yang terombang-ambing dalam duka. Ia harus belajar menenangkan si kembar, Raffi dan Raffa, yang baru berusia satu tahun dan sering menangis mencari ibunya. Ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dari Alfatih yang berusia tujuh tahun tentang ke mana Bunda pergi. Dan di saat yang sama, ia harus menjadi tempat bersandar bagi Sherly yang berusia sembilan belas tahun, yang mencoba tegar di tengah dukanya sendiri.
Setiap malam adalah bagian yang terberat. Setelah memastikan anak-anak tertidur, Ajie akan duduk sendirian di dapur yang luas itu. Dapur yang dulu menjadi jantung rumah, kini terasa seperti monumen bisu. Ia akan memandangi meja kayu besar di tengahnya, dan bayangan Nina akan muncul di sana, sedang tertawa sambil mengaduk adonan kue. Rasa rindu itu datang seperti gelombang pasang, begitu kuat hingga membuatnya sesak napas.
Malam itu, saat ia sedang duduk termenung seperti biasa, Sherly menghampirinya. Anak sulungnya itu kini terlihat lebih dewasa dari usianya. Ia duduk di kursi di seberang Ajie, matanya menatap foto pernikahan mereka yang terbingkai rapi di dinding.
"Ayah kangen Bunda, ya?" tanya Sherly pelan.
Ajie hanya bisa mengangguk, tenggorokannya tercekat.
"Aku juga," bisik Sherly. Ia berhenti sejenak, lalu berkata, "Tapi, kalau Bunda liat kita sedih terus kayak gini, Bunda pasti bakal marah-marah pake logat Betawinya."
Ajie menatap putrinya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, seulas senyum tipis menyentuh bibirnya. Ia bisa membayangkannya. Nina akan berdecak pinggang dan berkata, "Ngapain pade nangis? Mending bikinin gue kopi!"
Mereka berdua terdiam, membiarkan keheningan berbicara. Namun, keheningan itu kini tidak lagi terasa dingin. Ada kehangatan dari kenangan yang mereka bagi. Mereka tahu, mereka tidak bisa terus-menerus larut dalam duka. Nina tidak akan menginginkan itu. Ia akan ingin mereka terus berjuang, terus tertawa, sama seperti dirinya.
Di hari-hari berikutnya, Ajie dan anak-anaknya mulai menemukan cara untuk melanjutkan hidup. Mereka tidak melupakan Nina; mereka hanya belajar untuk hidup dengan kenangan-kenangan indahnya. Mereka mulai mengisi keheningan rumah itu dengan cerita. Mereka seringkali menceritakan kembali lelucon-lelucon Mpok Alpa, meniru logatnya yang khas, dan tertawa bersama. Tawa yang mereka ciptakan itu, seolah-olah, adalah gema dari tawa Nina sendiri.
Mereka menyadari, Nina tidak hanya meninggalkan sebuah rumah megah atau tabungan di bank. Ia meninggalkan warisan yang jauh lebih berharga. Sebuah warisan berupa senyum, ketulusan, dan kekuatan untuk tidak pernah menyerah. Ia mengajari mereka bahwa dalam hidup, tawa adalah obat terbaik, dan bahwa di balik setiap kesedihan, selalu ada harapan untuk hari esok.
Mpok Alpa tidak akan pernah lagi muncul di layar kaca. Namun, kisahnya akan terus hidup. Bukan sebagai kisah tragis seorang korban kanker, melainkan sebagai kisah inspiratif seorang pejuang. Ia adalah seorang ibu yang berani, seorang istri yang setia, dan seorang entertainer sejati yang membuktikan bahwa senyum yang tulus bisa mengubah dunia, atau setidaknya, membuat dunia sedikit lebih cerah. Dan senyum itu, kini, hidup abadi di dalam hati mereka yang ia tinggalkan.

.jpg)