Bab 1: Pandangan Pertama di Gerbang Sekolah
Debu jalanan Purwadadi beterbangan laksana selendang tipis, menari-nari dalam pilar-pilar cahaya matahari pagi yang mulai menghangat. Bagi Dedi, udara itu adalah simfoni yang hanya bisa ia rasakan sendiri: aroma tanah kering yang pasrah, bisikan manis dari es mambo di seberang jalan, dan desis minyak panas yang melahirkan gorengan-gorengan renyah. Semua itu berbaur dengan riuh tawa para siswa, gaun-gaun seragam putih abu-abu mereka yang masih kaku seolah menyimpan janji akan sebuah awal yang baru.Dedi bersandar di pilar gerbang sekolah, membiarkan punggungnya menyerap kehangatan semen yang samar. Di sampingnya, Aep adalah kontras yang nyata; suaranya yang ceplas-ceplos melontarkan komentar pada setiap wajah baru yang lewat, seolah dunia adalah panggung komedi miliknya.“Lihat, Ded. Yang itu sepatunya seputih kapas, pasti anak kota,” celetuk Aep.Dedi hanya tersenyum sekilas, senyum yang tak sampai ke mata. Pandangannya menyapu keramaian, namun yang dilihatnya hanyalah kekosongan. Pikirannya terbelah. Separuh di sini, di tengah hiruk pikuk ini, separuh lagi tersangkut di keheningan subuh tadi. Di sana, di antara deretan pohon karet yang senyap, tangannya masih bisa merasakan getah putih yang lengket—napas keluarganya, sekaligus cap tak terlihat yang membedakannya dari semua orang. Ia telah menggosok tangannya dengan sabut kelapa hingga memerah, namun aroma getir itu seolah meresap hingga ke tulang, menolak untuk hilang.“Woi, melamun lagi,” tegur Aep, menyikut rusuknya. “Mata itu dipakai buat cari bidadari, Ded. Mumpung stoknya melimpah.”Dedi baru saja hendak membalas, ketika sebuah angkot biru pudar berhenti dengan derit yang memilukan. Kepulan asap hitamnya membubung sejenak, lalu pintu terbuka. Beberapa siswa turun tergesa, namun satu sosok bergerak berbeda. Perlahan, nyaris ragu-ragu, seolah udara di luar angkot adalah dunia asing yang belum siap ia pijak.Seorang gadis.Dan seketika, bagi Dedi, waktu berhenti berdetak. Dunia di sekelilingnya—ocehan Aep, deru motor, teriakan penjual—semua melebur menjadi dengung panjang yang tak berarti. Yang ada hanya gadis itu. Rambutnya yang hitam legam, tergerai lurus sebahu, menangkap cahaya matahari dan memantulkannya kembali laksana sutra. Seragamnya yang sedikit longgar membuatnya tampak rapuh, dan wajahnya yang bersih menoleh ke kanan dan ke kiri dengan sepasang mata yang gelisah. Sebuah ekspresi canggung yang entah mengapa, terasa begitu indah.Ia memegang tali tasnya erat, berdiri di tepi jalan seperti anak burung yang tersesat. Ada aura kemurnian yang memancar darinya, sebuah kesederhanaan yang justru membuatnya bersinar paling terang di antara keramaian.Di dalam benak Dedi, kata-kata mulai menari, merangkai diri menjadi sebuah sajak bisu. Seperti embun pagi yang turun tanpa suara, begitulah kau datang...Kemudian, gadis itu melangkah. Sepatunya yang putih bersih menjejak debu dengan keanggunan yang tak dibuat-buat. Dan pada saat itulah Dedi tersadar dari mimpinya. Pandangannya jatuh ke bawah, ke sepatunya sendiri. Sepatu kets usang yang warnanya telah menyerah pada waktu, dengan luka jahitan di sisi kanannya yang menganga seperti mulut yang lelah. Sajak di kepalanya buyar, hancur berkeping-keping di atas tanah oleh kenyataan yang kejam.Gelombang rasa minder yang telah menjadi sahabatnya datang menghantam tanpa ampun. Siapa kau, Dedi? Hanya anak penyadap karet dengan tangan yang selamanya akan berbau tanah dan getah. Dan gadis itu? Ia adalah bulan, sementara kau hanyalah pungguk yang merindu dari bawah. Suara di kepalanya berbisik, dingin dan menusuk: kau tak pantas.“Ded? Woi, Dedi!” Aep mengguncang bahunya, lebih keras. “Kamu kesambet apa? Dari tadi membeku saja.”Dedi mengerjap. Jantungnya berdebar begitu kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Ia melihat Aep menatapnya heran, lalu mengikuti arah pandangannya yang beku.“Oh... pantas saja,” desis Aep, senyum miring terukir di bibirnya. “Anak baru, ya? Manis juga. Siapa namanya, ya?”Dedi tak mampu menjawab. Ia hanya bisa berdiri mematung, menahan napas. Tepat pada saat itu, seolah merasakan tatapan mereka, gadis itu menoleh. Untuk sepersekian detik yang terasa sepanjang hidup, mata mereka bertemu. Mata gadis itu sedikit terkejut, sementara mata Dedi adalah sebuah pengakuan—sebuah kekaguman telanjang yang tak bisa ia sembunyikan. Ada getaran aneh yang menjalar di dadanya, sebuah koneksi singkat yang terasa begitu dalam.Namun, suara di kepalanya menjerit lebih kencang. Jangan lihat! Dia akan tahu siapa dirimu!Dengan gerakan panik yang terasa begitu bodoh, Dedi membuang muka, berpura-pura menatap jalanan yang ramai. Jantungnya serasa diremas. Ia bisa merasakan pipinya terbakar. Momen itu hancur.Saat ia memberanikan diri untuk melirik kembali, punggung mungil gadis itu sudah berjalan menjauh, ditelan oleh gerbang sekolah dan kerumunan siswa lainnya.Lonceng sekolah berbunyi nyaring, menariknya kembali ke kenyataan yang tak ia inginkan.“Ayo masuk, nanti dihukum,” kata Aep sambil menarik lengannya. “Nanti kita cari tahu dia kelas berapa. Siapa namanya.”Dedi hanya mengangguk pasrah, membiarkan tubuhnya diseret masuk ke halaman sekolah. Tapi jiwanya tertinggal di sana, di pilar gerbang itu. Bayangan wajah gadis itu, terutama sorot matanya yang rapuh, terus berputar di benaknya. Sebuah kekaguman yang baru saja mekar, kini telah layu bahkan sebelum sempat merekah.Namanya Kokom, ia mendengarnya nanti saat upacara. Kokom. Nama yang indah, bisiknya dalam hati. Seindah orangnya.Dan seindah bintang di langit malam, yang selamanya hanya bisa ia pandangi dari jauh. Tak mungkin teraih.Bab 2: Puisi di Kertas WangiHari-hari berikutnya berlalu dalam kabut yang aneh bagi Dedi. Ruang kelas yang pengap terasa semakin menyiksa. Siang itu, panas matahari seolah merembes masuk menembus atap genting, membuat udara terasa berat untuk dihirup. Suara Pak Guru Sejarah yang monoton, menjelaskan tentang kejayaan masa lampau, terdengar seperti dengung lebah yang jauh. Kipas angin tua di langit-langit berputar dengan enggan, setiap putarannya diiringi derit yang seirama dengan rasa gelisah di hati Dedi.Ia tidak mendengarkan. Matanya terpaku pada satu titik, beberapa baris di depannya. Di sana, Kokom duduk dengan punggung lurus. Dari tempatnya, Dedi hanya bisa melihat sebagian profil wajahnya dan helaian rambut hitamnya yang jatuh di bahu. Ia melihat Kokom menulis dengan tekun di buku catatannya, jemarinya yang lentik memegang pulpen dengan gerakan yang anggun.Lalu, sebuah momen kecil terjadi. Momen yang tak berarti bagi siapa pun di ruangan itu, kecuali bagi Dedi. Kokom berhenti menulis, sedikit memiringkan kepalanya seolah sedang berpikir keras. Dengan gerakan pelan yang tak disadarinya, ia menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinganya. Sinar matahari yang menerobos dari jendela menyapu wajahnya, menerangi kulitnya yang bersih dan menyorot sepasang anting kecil yang berkilau.Bagi Dedi, pemandangan itu adalah segalanya. Sebuah keindahan sederhana yang begitu murni, begitu tak tersentuh. Jantungnya berdesir. Rasa kagum yang selama ini ia pendam meluap, tak terbendung lagi. Rasa minder yang membentenginya retak seketika. Ia tidak peduli lagi soal pantas atau tidak pantas. Perasaan ini, keindahan ini, harus menemukan wujudnya. Ia harus menuliskannya. Bukan untuk mendapatkan balasan, bukan untuk sebuah harapan, tetapi karena jika tidak, ia merasa hatinya akan meledak.Malam itu, kamarnya yang sempit terasa seperti sebuah kuil. Dinding bilik bambu seolah menjadi saksi bisu, dan cahaya lampu teplok yang bergoyang-goyang di atas meja kayu kecil menciptakan bayang-bayang yang menari. Di luar, orkestra jangkrik memulai konsernya, mengisi keheningan malam dengan suaranya yang khas. Dedi duduk di kursi kayunya, selembar kertas surat bergaris terhampar di hadapannya. Jantungnya berdebar gugup, seirama dengan api kecil di dalam lampu.Ia memejamkan mata, memanggil kembali bayangan Kokom di ruang kelas tadi. Ia memanggil kembali perasaan yang meluap itu. Lalu, ia mulai menulis. Pulpennya bergerak di atas kertas, menorehkan tinta hitam yang menjadi jelmaan dari seluruh isi hatinya.Kata-kata mengalir begitu saja, seolah bukan berasal dari pikirannya, melainkan langsung dari jiwanya. Ia menulis tentang angin yang berdesir, tentang air yang jatuh, tentang rindu pada sosok yang tak pernah bisa ia sapa. Ia menulis tentang dirinya, tentang kulitnya yang legam dan tangannya yang kasar, tentang getah karet yang menjadi takdirnya. Ia menuangkan seluruh rasa mindernya, seluruh keputusasaannya, dan membungkusnya dalam sebuah pengakuan yang tulus.Kau menerima atau tidak, izinkan aku menyatakan bahwa aku mencintaimu.Kalimat terakhir itu ia tulis dengan napas tertahan. Setelah selesai, ia membaca kembali tulisannya. Itu bukan sekadar surat. Itu adalah seluruh dirinya, telanjang di atas selembar kertas.Namun, ia merasa ada yang kurang. Kata-kata saja tidak cukup. Perasaan ini butuh sesuatu yang lebih. Matanya tertuju pada sebuah botol kaca kecil di atas lemari usang ibunya. Botol parfum melati. Satu-satunya barang mewah di rumah itu, yang hanya dipakai ibunya saat hari Lebaran.Dengan tangan gemetar, Dedi mengambil botol itu. Ini adalah sebuah kenekatan. Sebuah pelanggaran. Tapi ia tidak peduli. Ia membuka tutupnya, dan aroma melati yang kuat langsung memenuhi ruangan. Ini bukan sekadar wewangian. Ini adalah doa. Sebuah ritual. Ia memegang surat itu, lalu menyemprotkannya. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Hingga kertas itu terasa sedikit lembap dan aromanya begitu pekat, begitu meluap, sama seperti perasaannya.Puas, ia melipat surat itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam amplop putih. Malam itu, ia tidur dengan amplop itu di bawah bantalnya, seolah sedang menjaga kepingan hatinya yang paling rapuh.Keesokan paginya, koridor sekolah terasa seperti medan perang. Riuh, ramai, dan penuh antisipasi sebelum bel masuk berbunyi. Dedi berdiri di sudut, jantungnya berdebar tak karuan. Surat di sakunya terasa berat, seolah terbuat dari timah. Ia terlalu takut, terlalu pengecut untuk memberikannya secara langsung. Hanya ada satu orang yang bisa ia percaya.Ia melihat Aep sedang bercanda dengan teman-temannya di ujung koridor. Dengan langkah berat, Dedi menghampirinya.“Ep,” panggilnya pelan.Aep menoleh. “Oh, Dedi. Pagi-pagi udah lesu aja muka lu. Kenapa?”Dedi menarik Aep sedikit menjauh dari keramaian. Tangannya yang berkeringat merogoh saku dan mengeluarkan amplop putih itu.Aep menatap amplop itu, lalu menatap wajah Dedi yang pucat. “Apaan nih? Surat wasiat?” guraunya.“Bukan,” bisik Dedi. “Tolong... tolong kasih ini ke Kokom.”Mata Aep membelalak, lalu ia tertawa pelan. “Serius lu? Buat si anak baru itu? Wah, gerak cepat juga kau, kawan.”“Ssst! Jangan keras-keras,” kata Dedi panik, matanya melirik ke sekeliling. “Aku nggak berani ngasih sendiri. Tolong, ya? Taruh aja di kolong mejanya. Diam-diam.”Aep mengambil surat itu. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari sahabatnya. Tak ada lagi candaan di matanya. Hanya ada kesungguhan. “Yakin nih?” tanyanya, lebih serius. “Kalau ketahuan guru gimana?”“Aku mohon, Ep. Cuma kamu yang bisa bantu,” suara Dedi terdengar memelas.Aep menatap surat di tangannya, lalu menatap sahabatnya. Ia menghela napas. “Ya udah, ya udah. Gampang itu mah. Anggap aja beres.”Dengan perasaan lega yang luar biasa, bercampur dengan rasa cemas yang mencekik, Dedi mengangguk. “Makasih, Ep. Makasih banyak.”Ia hanya bisa berdiri mematung, melihat Aep menyelipkan surat itu ke dalam tasnya dan kembali bergabung dengan teman-temannya. Ia telah melakukannya. Ia telah melepaskan kepingan hatinya, menitipkannya pada takdir dan seorang sahabat. Kini, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu, dalam harapan yang rapuh dan ketakutan yang tak terhingga.Bab 3: Wangi yang MenakutkanMenjadi siswi baru di tengah tahun ajaran yang sudah berjalan terasa seperti mencoba masuk ke dalam percakapan yang telah dimulai tanpa kau tahu topiknya. Kokom merasakannya setiap hari. Di jam-jam kosong seperti ini, saat guru Sejarah berhalangan hadir, ruang kelas X-Sosial 2 berubah menjadi pasar kaget yang riuh. Anak laki-laki bergerombol di sudut belakang, tertawa terbahak-bahak entah karena apa. Beberapa siswi di barisan depan sibuk menyalin PR Matematika. Udara terasa pengap, dipenuhi aroma keringat remaja dan bau kapur tulis yang khas.Kokom lebih memilih ketenangan di mejanya. Di sampingnya, Tika, teman sebangkunya yang enerjik, sedang asyik menggambar logo grup musik rock di sampul bukunya. Di seberang lorong, Ratna, gadis pendiam yang baru beberapa hari ini mulai akrab dengannya, sedang membaca novel silat dengan khusyuk. Kokom merasa sedikit lebih tenang di antara mereka. Ia mengeluarkan buku catatan dari tasnya, berniat mengulang pelajaran minggu lalu.Saat ia hendak memasukkan buku Sejarah yang tak jadi dipakai ke kolong mejanya, jemarinya menyentuh sesuatu yang tak seharusnya ada di sana. Sesuatu yang halus dan tipis. Kertas.Keningnya berkerut. Ia merogoh ke dalam kegelapan di bawah meja kayu itu. Sebuah amplop putih bersih terselip di antara buku-bukunya. Aneh. Ia yakin sekali tadi pagi kolong mejanya kosong. Saat ia menarik amplop itu keluar, sebuah aroma yang begitu kuat langsung menyeruak, memenuhi udara di sekitarnya.Wangi melati.Bukan wangi yang lembut dan samar seperti bunga asli, melainkan wangi yang pekat, tajam, dan meluap-luap, seolah sebotol penuh parfum telah ditumpahkan ke atasnya.“Ih, apaan tuh, Kokom?” Suara Tika memecah konsentrasinya. Tika mencondongkan tubuh, matanya yang penuh rasa ingin tahu tertuju pada amplop di tangan Kokom. “Surat, ya? Dari siapa?”Kokom menggeleng pelan, masih bingung. Ia membolak-balik amplop itu. Polos. Tak ada nama pengirim, tak ada nama penerima. Hanya amplop putih bersih yang menebarkan aroma menusuk hidung.Ratna, yang terganggu oleh aroma itu, mengangkat wajah dari novelnya. Hidungnya mengernyit. “Wanginya aneh,” bisiknya, suaranya terdengar cemas. “Kuat banget.”“Justru bagus, dong! Romantis!” sahut Tika riang. Ia mencoba merebut amplop itu, tapi Kokom menarik tangannya. “Ayo buka, Kokom! Pasti dari kakak kelas yang naksir kamu. Siapa ya kira-kira? Si Deden ketua OSIS itu, bukan?”Kokom merasakan pipinya sedikit hangat. Sebagai anak baru, ia memang merasakan beberapa kali ada kakak kelas yang meliriknya, tapi ia selalu menunduk. Ayahnya, seorang guru agama, selalu berpesan agar ia menjaga sikap dan tidak mudah terbawa pergaulan. Pesan itu seolah menjadi pagar tak terlihat yang selalu mengelilinginya.“Nggak mungkin,” gumam Kokom. “Aku kan nggak kenal siapa-siapa.”“Justru itu serunya, kenalan lewat surat!” desak Tika lagi.Tapi Ratna menggeleng cepat, matanya memancarkan ketakutan. “Jangan, Kokom,” katanya dengan suara pelan yang membuat bulu kuduk meremang. “Ibuku pernah bilang, kalau ada wewangian yang terlalu kuat dan nggak wajar, itu harus hati-hati.”Tika memutar bola matanya. “Ah, kamu ini, Rat. Percaya saja sama takhayul. Ini kan zaman modern.”“Bukan takhayul, Tik!” balas Ratna, nadanya sedikit meninggi. “Ini namanya pelet. Katanya, biar yang dikasih surat langsung nurut sama yang ngirim. Wanginya itu yang dipakai buat ‘mengikat’.”Kata “pelet” seolah menggantung di udara, mengubah suasana di sekitar meja mereka menjadi dingin dan tegang. Tawa dari sudut belakang kelas kini terdengar seperti suara dari dunia lain. Rasa penasaran di hati Kokom seketika lenyap, digantikan oleh gelombang ketakutan yang dingin. Ia menatap amplop di tangannya seolah itu adalah seekor ular. Wangi melati yang tadinya hanya terasa aneh, kini terasa mengancam.“Masa, sih?” Tika masih terdengar ragu, tapi semangatnya sudah jauh berkurang.“Iya!” Ratna meyakinkan. “Sepupuku pernah cerita, temannya ada yang jadi aneh, suka melamun sendiri setelah dapat kado sapu tangan yang wanginya nggak hilang-hilang. Katanya sih diguna-guna.”Jantung Kokom mulai berdebar lebih cepat. Cerita-cerita seperti itu bukan hal asing baginya. Di kampungnya, hal-hal mistis masih menjadi bagian dari percakapan sehari-hari. Ayahnya selalu mengajarkannya untuk berlindung kepada Tuhan dari segala macam kejahatan, yang terlihat maupun yang tak terlihat. Dan surat ini, dengan wanginya yang tidak wajar, terasa seperti sesuatu yang datang dari dunia tak terlihat itu.Pertarungan sengit berkecamuk dalam dirinya. Sebagian kecil dirinya, sisi remaja yang penasaran, ingin sekali mengetahui isi surat itu. Siapa pengirimnya? Apa yang ia tulis? Namun, sisi lain dirinya yang lebih dominan—sisi anak guru agama yang penurut dan berhati-hati—berteriak menyuruhnya untuk menjauh.Ia teringat pandangan sekilas dengan seorang kakak kelas di gerbang sekolah beberapa hari lalu. Seorang anak laki-laki kurus dengan tatapan yang aneh, yang langsung membuang muka saat mata mereka bertemu. Mungkinkah dia? Pikiran itu membuat Kokom semakin merinding.“Sudah, buang saja, Kokom,” saran Ratna. “Atau bakar. Biar ilmunya nggak kena.”“Jangan dibuang!” sergah Tika. “Dibuka dulu! Kalau isinya aneh, baru kita buang. Kalau isinya puisi cinta, kan sayang.”Kokom menatap kedua temannya bergantian. Tika yang mewakili rasa penasaran, dan Ratna yang mewakili ketakutan. Dan saat ini, ketakutan terasa jauh lebih nyata.Dengan gerakan cepat yang mengejutkan teman-temannya, Kokom memasukkan kembali amplop itu ke dalam kolong mejanya, mendorongnya hingga ke sudut paling belakang, seolah dengan begitu ia bisa mengubur rasa takutnya.“Aku nggak mau membukanya,” katanya dengan suara tegas yang dibuat-buat.Tika dan Ratna terdiam, terkejut melihat keputusannya yang begitu cepat.Tepat pada saat itu, bel tanda jam pelajaran berikutnya berbunyi nyaring, menyelamatkan Kokom dari tatapan penuh tanya teman-temannya. Guru Fisika masuk, dan semua siswa kembali ke tempat duduk masing-masing.Pelajaran dimulai, tapi pikiran Kokom tidak bisa fokus. Ia bisa merasakan kehadiran amplop itu di bawah mejanya, seperti sebuah rahasia kelam yang mengintai. Dan wangi melati itu, entah nyata atau hanya imajinasinya, seolah masih menguar tipis di udara, menempel di ujung jemarinya, membisikkan hal-hal yang tak ingin ia dengar.Bab 4: Penolakan dalam DiamHari pertama setelah surat itu berpindah tangan, Dedi hidup dalam penantian. Setiap detik terasa ditarik begitu panjang, dan udara di sekelilingnya seolah bergetar penuh kemungkinan. Di koridor yang ramai saat pergantian jam, matanya tak pernah diam. Ia menjadi seorang pemburu, bukan mencari mangsa, melainkan mencari sebuah tanda. Sebuah lirikan sekilas dari Kokom, senyum canggung yang mungkin dilemparkannya, atau bahkan kerutan dahi yang menunjukkan kebingungan. Apa saja. Sesuatu untuk memberitahunya bahwa surat itu telah sampai, bahwa keberadaannya di dunia ini telah disadari oleh sang bidadari.Setiap kali ia melihat punggung seorang gadis berambut hitam panjang, jantungnya serasa berhenti berdetak. Tapi setiap kali pula, gadis itu akan menoleh dan ternyata bukan Kokom. Harapannya melambung dan jatuh berkali-kali dalam hitungan menit, membuatnya lelah bahkan sebelum pelajaran pertama dimulai.“Gimana, Ep?” tanyanya pada Aep saat mereka bertemu di depan ruang guru, suaranya nyaris berbisik.Aep, yang sedang sibuk menyalin PR, hanya mengangkat bahu. “Gimana apanya? Udah aku taruh kemarin. Udah, kan? Tugasku selesai,” jawabnya enteng, seolah mereka hanya sedang membicarakan bola yang dipinjam.“Maksudku... apa dia... ada reaksi?”“Reaksi gimana? Aku kan nggak sekelas sama dia,” kata Aep, sedikit tidak sabar. “Sabar, Ded. Orang kayak gitu butuh waktu buat mikir.”Sabar. Kata yang mudah diucapkan, tapi terasa mustahil untuk dijalani.Hari kedua, penantian itu berubah menjadi siksaan. Di kantin yang bising saat istirahat, Dedi duduk di sudut terjauh, membiarkan semangkuk bakso di hadapannya mendingin. Matanya terpaku pada satu meja di seberang ruangan. Di sana, Kokom duduk bersama dua teman barunya, tertawa lepas. Tawa itu begitu renyah, begitu ringan, seolah tak ada beban apa pun di dunia. Ia melihat Kokom menyuap sesendok es campur, lalu mengatakan sesuatu yang membuat teman-temannya terpingkal.Bagi Dedi, pemandangan itu adalah sebuah pemandangan yang menyakitkan. Kehidupan Kokom berjalan normal. Sama sekali tidak terpengaruh. Tidak ada tanda-tanda kegelisahan, tidak ada jejak kebingungan di matanya. Seolah surat yang berisi seluruh jiwa Dedi itu tak lebih dari selembar kertas kosong yang tak sengaja terselip di kolong mejanya, lalu dibuang begitu saja.Suara rasa mindernya mulai berbisik lagi, lebih keras dari sebelumnya. Lihat? Dia bahkan tidak memikirkannya. Baginya, kau tidak ada.“Masih ngeliatin dia?” Suara Aep di sampingnya membuatnya terlonjak. “Sudah kuduga kau di sini. Baksonya dimakan, jangan cuma diliatin.”“Dia... kelihatannya biasa saja, Ep,” gumam Dedi, suaranya parau.“Ya memang biasa saja. Terus kenapa?” Aep mulai menyantap baksonya. “Memangnya kau berharap dia bakal nangis-nangis sambil nyariin kamu, gitu?”Dedi tidak menjawab. Ia hanya menunduk, mengaduk-aduk kuah baksonya yang sudah dingin.Memasuki hari ketiga, harapan di hatinya mulai terkikis, digantikan oleh paranoia yang dingin. Ia mulai menghindari tempat-tempat di mana ia mungkin akan melihat Kokom. Ia tak lagi berani menatapnya di kelas. Melihat Kokom yang begitu tenang dan bahagia terasa seperti menaburkan garam di atas luka yang menganga. Kebisuan Kokom bukan lagi sebuah misteri yang membuatnya penasaran. Kini, kebisuan itu adalah sebuah jawaban.Jawaban yang paling menyakitkan dari semuanya.Diam berarti tidak. Diam berarti tidak peduli. Diam berarti penolakan.Sore itu, di bawah pohon beringin rindang di halaman belakang sekolah, Dedi duduk sendirian. Ia memandangi teman-temannya yang bermain sepak bola di lapangan, tapi pikirannya melayang jauh. Ia mengingat kembali setiap kata yang ia tulis di surat itu. Puisi yang ia rangkai dengan segenap hati, pengakuan yang ia sampaikan dengan ketulusan paling murni. Semuanya terasa begitu bodoh sekarang. Begitu naif.“Sudah seminggu, Ded.”Dedi menoleh. Aep sudah berdiri di sampingnya, menatap lurus ke arah lapangan.“Aku tahu,” jawab Dedi pelan.“Nggak ada kabar apa-apa. Dia nggak pernah nanya, nggak pernah ngomong apa-apa ke siapa pun. Seolah... ya, seolah nggak pernah ada surat,” lanjut Aep, kali ini nadanya lebih lembut, seolah ia bisa merasakan kepedihan sahabatnya.Dedi menghela napas panjang, terasa berat di dadanya. Ia tidak marah pada Aep. Ia tidak marah pada Kokom. Ia hanya merasakan kesedihan yang dalam dan pasrah. Suara rasa mindernya tidak lagi berbisik, melainkan berteriak di dalam kepalanya. Sudah kubilang, kan? Kau tak pantas.“Mungkin... memang lebih baik begini,” kata Dedi, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Aep.Aep menepuk pundaknya. “Masih banyak ikan di laut, kawan.”Dedi tersenyum tipis. Senyum yang getir. Ia tahu Aep bermaksud baik, tapi hatinya tidak sedang mencari ikan lain. Hatinya hanya tertuju pada satu bintang yang tak akan pernah bisa ia gapai.Ia mengangkat kepalanya, dan dari kejauhan, ia melihat Kokom berjalan keluar dari gerbang sekolah bersama teman-temannya. Ia masih tertawa. Masih bersinar.Dedi memandanginya untuk terakhir kali, bukan lagi dengan harapan yang membara, melainkan dengan kepasrahan yang puitis. Ia telah menerima jawabannya. Penolakan yang disampaikan dalam kebisuan yang paling fasih. Dan di bawah pohon beringin itu, di tengah riuh rendah suara teman-temannya, Dedi Mulyadi merasakan patah hati pertamanya. Sebuah luka sunyi yang akan ia bawa pergi, jauh ke dalam perjalanan hidupnya yang baru akan dimulai.Bab 5: Aktivis dan Panggilan HatiPurwakarta, 1992Patah hati ternyata adalah bahan bakar yang luar biasa. Luka sunyi yang Dedi bawa dari bangku SMA tidak membuatnya rapuh, sebaliknya, luka itu menjelma menjadi empati yang tajam. Di dunia kampus yang riuh dengan idealisme, Dedi menemukan panggung baru bagi jiwanya yang puitis. Kata-kata yang dulu hanya berani ia tuliskan dalam surat wangi, kini bergemuruh menjadi orasi yang membakar semangat di tengah kerumunan mahasiswa.Ruang diskusi HMI adalah dunianya. Sebuah ruangan sempit yang selalu pekat dengan asap rokok kretek dan aroma kopi hitam yang kental. Di sinilah Dedi merasa hidup. Di antara tumpukan buku-buku tebal dan poster-poster pahlawan yang mulai menguning, ia dan kawan-kawannya membedah nasib bangsa, merumuskan gagasan, dan merajut mimpi tentang keadilan. Remaja kurus yang dulu hanya berani memandang dari jauh, kini telah berubah menjadi seorang pemuda dengan tatapan mata yang tajam dan suara yang lantang.“Kesejahteraan itu bukan angka statistik di atas kertas, kawan-kawan!” seru Dedi di suatu sore, tangannya menunjuk selembar koran di atas meja. “Kesejahteraan itu adalah ketika petani di desa kita tidak lagi menjual gabahnya dengan harga yang mencekik lehernya sendiri!”Beberapa aktivis mengangguk setuju. Namun, dari sudut ruangan, sebuah suara yang tenang namun tegas memotong.“Argumenmu terlalu romantis, Dedi,” kata suara itu.Semua mata menoleh pada Sri Mulyawati. Seorang gadis berkacamata dengan rambut diikat ekor kuda, yang lebih sering terlihat tenggelam di balik buku daripada di tengah keramaian. Tapi sekali ia bicara, semua orang akan diam mendengarkan.Dedi tersenyum tipis. Ia sudah terbiasa dengan sanggahan Sri. “Apa yang romantis dari perut yang lapar, Sri?” tanyanya, menantang.“Romantisnya adalah kau menyederhanakan masalah yang kompleks menjadi sekadar narasi penindasan,” jawab Sri, tanpa mengangkat wajah dari catatannya. “Kau bicara tentang petani, tapi kau tidak menawarkan solusi sistemik. Hanya retorika. Dan retorika, betapapun indahnya, tidak akan pernah bisa mengisi perut yang kosong.”Skakmat. Ruangan hening sejenak. Dedi merasakan kekaguman yang aneh setiap kali Sri berhasil mematahkan argumennya. Berbeda dengan Kokom yang ia kagumi dari jauh laksana lukisan bisu, Sri adalah sebuah buku tebal yang menantangnya untuk terus membaca, terus belajar. Hubungan mereka terjalin bukan dari pandangan pertama, melainkan dari ratusan perdebatan sengit di kantin, dari malam-malam panjang menyiapkan materi diskusi, dari rasa hormat yang tumbuh di antara dua pikiran yang setara.Malam itu, saat yang lain sudah pulang, Dedi dan Sri masih duduk berdua di perpustakaan yang sepi, ditemani tumpukan buku dan cahaya lampu neon yang berkedip.“Kau terlalu keras padaku tadi,” kata Dedi, memulai percakapan.Sri akhirnya menutup bukunya dan menatap Dedi. Di balik kacamatanya, matanya tampak lelah namun tetap bersinar cerdas. “Karena aku tahu kau bisa lebih baik dari sekadar merangkai kata-kata indah, Ded. Kau punya hati. Sekarang, kau hanya perlu mengasahnya dengan pikiran yang lebih tajam.”Dedi terdiam. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan hatinya yang dulu beku mulai menghangat. Ini bukan getaran kagum yang melumpuhkan seperti yang ia rasakan pada Kokom. Ini adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih dalam, lebih nyata. Sebuah koneksi yang lahir dari perjuangan dan pemikiran bersama. Ia memandang Sri, dan untuk pertama kalinya, ia tidak melihat seorang rival debat, melainkan seorang kawan seperjalanan. Seorang wanita yang mungkin bisa memahami jiwanya yang rumit. Hatinya yang dulu tertutup, perlahan mulai membuka pintunya kembali.Nyalindung, 1994Di waktu yang nyaris bersamaan, ratusan kilometer dari hiruk pikuk aktivisme kampus, sebuah jalan hidup yang lain sedang ditentukan. Di rumah panggung sederhana di Nyalindung, aroma opor ayam dan rendang menguar dari dapur, berbaur dengan tawa renyah sanak saudara yang berkumpul di teras depan. Kokom duduk di tengah-tengah mereka, mengenakan kebaya sederhana dengan riasan tipis di wajahnya.Besok adalah hari pernikahannya dengan Dedek, seorang pemuda dari kampung sebelah yang telah lama bekerja di Jakarta. Keputusan itu terasa begitu alami, begitu benar, seolah sudah digariskan sejak lama. Setelah lulus SMA, ia sempat kuliah beberapa semester di Subang, lalu bekerja setahun di sebuah pabrik di Purwakarta. Namun, dunia luar terasa begitu asing dan melelahkan. Saat Dedek datang melamarnya, Kokom merasa seperti menemukan sebuah pelabuhan yang tenang.“Nanti di Jakarta jangan lupa sama Emak di sini, ya, Neng,” kata salah seorang bibinya sambil mengelus rambutnya.Kokom tersenyum dan mengangguk. “Pasti, Bi. Nanti Kokom sering pulang.”Ia menerima takdirnya dengan lapang dada. Menjadi seorang istri, lalu seorang ibu. Itulah jalan yang telah dipilihkan untuknya, jalan yang telah ditempuh oleh ibunya, dan neneknya. Jalan yang aman dan terhormat.Namun, sore itu, saat ia berdiri sendirian di jendela kamarnya, menatap hamparan sawah yang mulai menguning di kejauhan, ada sekelumit perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Sebuah nostalgia akan sesuatu yang tak pernah terjadi. Ia teringat masa-masa SMA, tentang surat-surat wangi misterius yang tak pernah berani ia buka. Siapakah pengirimnya? Bagaimana rupanya? Apa yang akan terjadi jika dulu ia cukup berani untuk membacanya?Pikiran itu hanya sekelebat. Sebuah riak kecil di permukaan danau hatinya yang tenang. Dengan cepat ia menepisnya. Itu hanyalah masa lalu, sebuah misteri kecil yang tak perlu dipecahkan. Di hadapannya kini terbentang masa depan yang nyata: Jakarta, sebuah rumah tangga baru, dan kehidupan sebagai seorang istri.Ia menghela napas pelan, lalu berbalik dari jendela, meninggalkan bayangan sawah dan kenangan masa remajanya di belakang. Ia siap memulai babak baru. Dua jalan hidup yang dulu nyaris bersinggungan, kini telah resmi bercabang, masing-masing menuju takdirnya yang terpisah jauh.Bab 6: Cinta, Kehilangan, dan Panggilan PolitikRumah kontrakan sederhana mereka di salah satu gang sempit Purwakarta tidak pernah benar-benar sunyi. Jika bukan suara tangis Maula Akbar yang baru belajar tengkurap, maka yang terdengar adalah deru mesin tik Dedi yang beradu dengan suara wajan Sri di dapur. Dinding mereka dipenuhi rak-rak buku yang dibuat dari papan kayu seadanya, melengkung di bawah beban teori-teori besar tentang negara dan keadilan. Di sinilah idealisme mereka menemukan rumahnya, di antara aroma tumis kangkung dan tumpukan popok bayi.Sore itu, Dedi sedang mencoba menyelesaikan sebuah artikel untuk buletin kampus sambil memangku Maula yang tertidur pulas di dadanya. Aroma bawang putih dari dapur menyelinap masuk, membawa kehangatan yang menenangkan.“Ded, menurutmu, apa mungkin koperasi bisa jadi tulang punggung ekonomi rakyat kalau mentalitas pejabatnya masih feodal?” Suara Sri terdengar dari ambang pintu dapur, tangannya memegang sebuah spatula.Dedi tersenyum. Inilah kebahagiaannya. Sebuah perdebatan tentang sistem ekonomi di tengah rutinitas domestik yang paling sederhana. “Mungkin, Sri. Jika rakyatnya sendiri yang menjadi pengawas. Kekuatan itu ada di tangan mereka, kita hanya perlu menyadarkannya.”Sri balas tersenyum, senyum yang selalu berhasil menenangkan gejolak di hati Dedi. “Kau ini, selalu saja puitis. Tapi aku setuju.” Ia kembali ke dapur, dan Dedi kembali menatap putranya yang tertidur. Di wajah mungil itu, ia melihat masa depan. Sebuah dunia yang lebih adil yang ia dan Sri perjuangkan bersama, bukan lagi hanya di ruang diskusi yang penuh asap, tapi di sini, di rumah kecil mereka yang penuh cinta.Beberapa tahun kemudian, kehangatan itu digantikan oleh dingin yang menusuk. Aroma tumis kangkung berganti menjadi bau antiseptik yang samar namun persisten. Dunia Dedi menyusut menjadi sebuah kamar rumah sakit berukuran empat kali empat meter, dengan dinding putih pucat dan cahaya lampu neon yang tak pernah padam.Sri terbaring di ranjang, tubuhnya yang dulu penuh semangat kini ringkih dan rapuh. Kanker serviks, kata dokter. Tiga kata yang merenggut semua teori, semua idealisme, dan melemparkan Dedi ke dalam jurang ketidakberdayaan. Aktivis yang terbiasa melawan sistem, kini hanya bisa mengepalkan tangan di sisi ranjang, kalah telak melawan sel-sel ganas yang menggerogoti tubuh wanita yang paling ia cintai.Setiap hari adalah ritual yang sama. Ia akan membacakan berita dari koran, mencoba memantik diskusi seperti dulu. Tapi kini, Sri lebih sering mendengarkan dengan mata terpejam, napasnya terdengar berat. Bunyi monoton dari mesin monitor di samping ranjang menjadi detak jantung baru dalam hidup Dedi, setiap bunyinya adalah penanda bahwa ia masih punya waktu, betapapun sedikitnya.“Kau harus terus berjuang, Ded,” bisik Sri suatu sore, saat ia berhasil membuka matanya. Tangannya yang kurus mencari tangan Dedi. “Jangan berhenti hanya karena aku tidak ada.”“Aku tidak bisa tanpamu, Sri,” jawab Dedi, suaranya pecah.Sri tersenyum lemah, senyum yang masih sama indahnya. “Bisa. Kau tidak berjuang untukku. Kau berjuang untuk mereka yang tidak punya suara. Untuk Maula.” Ia terdiam sejenak, mengumpulkan tenaga. “Jadikan penderitaan orang lain sebagai penderitaanmu. Maka kau akan selalu punya alasan untuk terus berjalan.”Itu adalah salah satu percakapan terakhir mereka. Beberapa minggu setelahnya, di sebuah malam yang diguyur hujan, bunyi monoton dari mesin monitor itu berubah menjadi sebuah garis lurus yang panjang dan memekakkan. Di tengah keheningan yang tiba-tiba, dunia Dedi hancur berkeping-keping.Duka adalah sebuah ruangan kosong. Selama berbulan-bulan setelah kepergian Sri, Dedi hidup di dalam ruangan itu. Siang hari ia habiskan dengan mengurus Maula, memastikan anaknya makan dan tertawa, sebuah tugas yang ia lakukan seperti robot. Malam hari, saat Maula tertidur, keheningan datang menelannya bulat-bulat.Teman-teman aktivisnya datang silih berganti, mencoba menariknya kembali ke dunia. Tapi semangatnya telah padam. Hingga suatu hari, seorang tokoh partai lokal menemuinya.“Rakyat butuh orang sepertimu di dalam sistem, Dedi. Bukan di luar, berteriak-teriak,” kata orang itu. “Suaramu akan lebih didengar di gedung DPRD.”Awalnya Dedi menolak. Politik terasa kotor, penuh intrik dan kompromi—segalanya yang ia dan Sri benci. Tapi kemudian, ia teringat kata-kata terakhir Sri. Jadikan penderitaan orang lain sebagai penderitaanmu.Gedung DPRD Purwakarta adalah dunia yang sama sekali berbeda. Ruang sidangnya yang dingin dan megah terasa asing. Asap rokok di kantor fraksi terasa lebih pekat dengan aroma intrik daripada idealisme. Di sini, kata-kata tidak lagi digunakan untuk membakar semangat, melainkan untuk tawar-menawar kepentingan.Namun, di tengah semua itu, Dedi menemukan pelariannya. Ia menyalurkan dukanya menjadi energi. Setiap kali ia melihat ketidakadilan, ia melihat bayangan perjuangannya yang sia-sia di rumah sakit. Setiap kali ia mendengar keluhan seorang warga miskin, ia mendengar bisikan Sri di telinganya.Penderitaan pribadinya telah menjadi fondasi bagi empati publiknya. Ia tidak lagi berbicara dengan teori-teori dari buku. Ia berbicara dari hati yang pernah hancur. Dan orang-orang mendengarkan.Sore itu, setelah rapat paripurna yang melelahkan, Dedi berdiri di jendela kantornya, menatap alun-alun Purwakarta yang ramai. Di bawah, kehidupan terus berjalan, tak peduli pada luka siapa pun. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan dompet usang dan menatap selembar foto kecil di dalamnya: Sri, tersenyum, menggendong Maula yang masih bayi.Dukanya belum hilang. Mungkin tak akan pernah. Tapi kini, duka itu telah memiliki tujuan. Ia tidak lagi hidup di dalam ruangan kosong itu. Ia telah mengubahnya menjadi sebuah panggung, sebuah mimbar, tempat ia akan menyuarakan rintihan mereka yang tak bersuara. Ini bukan lagi hanya tentang idealisme. Ini adalah warisan dari Sri. Panggilan hidupnya yang baru saja dimulai.Bab 7: Puncak dan JurangAwal 2000-anPanggung kampanye itu terasa seperti pusat alam semesta. Di bawah terik matahari Purwakarta, lautan manusia bergelombang, meneriakkan namanya dalam satu koor yang dahsyat. Spanduk-spanduk dengan wajahnya dan wajah Anne, istrinya, berkibar laksana bendera kemenangan. Dari atas panggung, Dedi merasakan getaran itu merambat dari telapak kakinya hingga ke ulu hati. Ini bukan lagi tentang idealisme di ruang diskusi yang sempit; ini adalah tentang harapan jutaan orang yang dititipkan di pundaknya.Ia melirik Anne yang berdiri di sampingnya. Anggun dalam balutan kerudung yang serasi dengan kemejanya, Anne tersenyum pada kerumunan, melambaikan tangan dengan gerakan yang telah terlatih. Mereka adalah pasangan yang sempurna, cerminan kekuatan dan keanggunan. Saat Dedi mengangkat tangannya, Anne melakukan hal yang sama. Mereka adalah satu kesatuan, sebuah kemitraan politik yang solid. Di tengah riuh rendah itu, Dedi merasa tak terkalahkan. Ia telah menemukan kembali cintanya, membangun keluarga baru, dan kini, ia siap mengabdikan hidupnya untuk rakyat. Puncak itu terasa begitu dekat, begitu nyata.Menjabat sebagai BupatiKekuasaan ternyata tidak bersemayam di ruang sidang yang dingin atau di balik meja mahoni yang megah. Bagi Dedi, kekuasaan yang sesungguhnya ada di teras pendopo bupati yang terbuka, tempat ia duduk bersila di atas tikar pandan, mendengarkan keluhan seorang nenek tua dari desa terpencil.“Tanah saya mau diambil, Pak Bupati,” kata nenek itu, suaranya bergetar menahan tangis. “Katanya untuk pelebaran jalan, tapi gantinya tidak seberapa.”Dedi menatap wajah keriput itu, dan ia melihat bayangan ibunya, bayangan perjuangan keluarganya. Ia tidak melihat seorang warga, melainkan seorang ibu. Tanpa banyak bicara, ia mengambil teleponnya, menghubungi langsung kepala dinas terkait. Suaranya yang biasanya puitis saat berorasi, kini berubah menjadi tegas dan tanpa kompromi.“Batalkan. Cari solusi lain yang tidak merugikan rakyat kecil,” perintahnya singkat, sebelum menutup telepon. Ia kembali menatap sang nenek. “Sudah, Nini. Tidak akan ada yang mengambil tanah Nini. Sekarang Nini pulang, ya. Hati-hati di jalan.”Nenek itu menangis, kali ini karena haru. Saat itulah Maula Akbar, putranya yang kini sudah remaja, muncul dari balik pintu. Ia menatap ayahnya dengan ekspresi yang sulit dibaca, campuran antara kagum dan mungkin sedikit canggung.“Ayah, dicari ajudan,” katanya singkat.“Sebentar, Nak,” jawab Dedi. Ia ingin mengatakan sesuatu yang lebih, tapi teleponnya sudah berdering lagi. Panggilan dari warga lain, masalah lain, harapan lain. Ia hanya bisa membalas tatapan Maula dengan senyum lelah. Ia adalah bapak bagi seluruh rakyat Purwakarta, sebuah peran yang terkadang membuatnya menjadi tamu di rumahnya sendiri.Malam Pemilihan Gubernur, 2018Ruang hitung cepat itu terasa sesak, bukan karena jumlah orang, melainkan karena ketegangan. Udara pekat dengan aroma kopi basi dan keringat dingin. Layar-layar monitor besar di dinding menampilkan barisan angka yang bergerak lambat, terlalu lambat, dan bergerak ke arah yang salah. Dering telepon yang tak henti-henti terdengar seperti sirene peringatan.Dedi duduk di tengah ruangan, matanya terpaku pada angka-angka itu. Harapan yang tadinya membuncah kini perlahan mengempis seperti balon yang tertusuk jarum. Ia melihat wajah-wajah tim suksesnya yang mencoba tersenyum, senyum yang dipaksakan dan penuh kepalsuan.Anne duduk tak jauh darinya, diam dan anggun seperti biasa. Ia tidak menunjukkan kepanikan. Namun, Dedi melihatnya. Ia melihat bagaimana jemari Anne mengetuk-ngetuk pelan sandaran kursi, sebuah kebiasaan kecil yang hanya muncul saat ia sangat cemas. Ia melihat bagaimana tatapan Anne sesekali beralih dari layar monitor ke arah pintu keluar, seolah sudah tak sabar untuk meninggalkan ruangan yang penuh kekalahan ini.Mereka tidak saling bicara. Tak ada kata-kata penyemangat, tak ada sentuhan yang menguatkan. Di tengah kekalahan publik yang paling telak dalam hidupnya, Dedi merasakan sebuah kekalahan lain yang lebih sunyi, lebih dalam. Jarak di antara mereka yang selama ini tertutupi oleh kesibukan politik, kini terbentang nyata di bawah cahaya lampu neon yang dingin. Mimpinya untuk memimpin Jawa Barat telah runtuh. Dan ia punya firasat buruk, bukan hanya itu yang akan runtuh malam ini.Beberapa Minggu KemudianMeja makan di rumah dinas itu panjang dan megah, mampu menampung dua puluh orang tamu. Malam ini, hanya ada mereka berdua. Keheningan di antara mereka terasa lebih luas daripada panjang meja itu sendiri. Suara denting sendok dan garpu di atas piring porselen terdengar memekakkan.Dedi mencoba memecah kebisuan. “Bagaimana harimu?” tanyanya, pertanyaan yang terasa begitu hampa dan formal.Anne tidak mengangkat wajah dari piringnya. “Biasa saja,” jawabnya singkat. “Ada beberapa acara yang harus diselesaikan sebelum kita pindah.”“Kita.” Kata itu terdengar asing. Dedi menatap istrinya. Wanita yang dulu berdiri di sampingnya di atas panggung kampanye, kini terasa seperti berada di seberang jurang yang tak terseberangi. Wajahnya masih cantik, tapi senyumnya telah menjadi topeng yang tak bisa ia tembus.“Aku pikir… setelah semua ini selesai, kita bisa punya lebih banyak waktu,” kata Dedi, lebih seperti sebuah permohonan daripada pernyataan.Anne akhirnya meletakkan sendoknya. Ia menatap Dedi, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Dedi melihat kejujuran di matanya. Bukan kehangatan, melainkan kejujuran yang dingin.“Waktu untuk apa, Kang?” tanyanya. Suaranya tidak menuduh, hanya terdengar lelah. Sangat lelah.Dedi tidak bisa menjawab. Ia telah memenangkan hati jutaan rakyat selama sepuluh tahun. Ia telah membangun jalan, sekolah, dan rumah sakit. Tapi di sini, di meja makannya sendiri, ia telah gagal membangun sebuah jembatan untuk menyeberangi jurang yang memisahkan dua hati. Puncak tertinggi dalam kariernya telah ia raih, dan kini ia terjerembap di jurang terdalam dalam kehidupan pribadinya. Sendirian.Bab 8: Kebangkitan Sang HumanisKembali ke lembur setelah bertahun-tahun hidup dalam kemegahan pendopo bupati terasa seperti pulang ke sebuah rumah yang nyaris tak ia kenali lagi. Bukan rumahnya yang berubah, melainkan dirinya. Tak ada lagi deretan mobil pengawal, tak ada ajudan yang sigap membukakan pintu, tak ada jadwal protokoler yang padat. Yang ada hanya keheningan rumah panggung warisan orang tuanya, aroma tanah basah setelah hujan semalam, dan gema suara adzan dari mushola di ujung jalan yang terdengar begitu jernih.Dedi berada di titik nol. Jabatan hilang, keluarga retak. Ia adalah seorang nakhoda yang kapalnya karam, terdampar di pulau masa lalunya sendiri. Pagi-pagi, ia akan berjalan sendirian di pematang sawah yang licin, membiarkan embun membasahi ujung celananya. Ia menatap para petani yang membungkuk di bawah langit yang luas, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa menjadi bagian dari pemandangan itu, bukan sekadar pejabat yang datang berkunjung dengan sorotan kamera.Di warung kopi Bi Ijah, ia akan duduk berjam-jam di bangku kayu yang panjang, memesan kopi hitam pahit dan sepiring singkong goreng. Awalnya, warga desa sedikit canggung. Mereka masih memanggilnya "Pak Bupati", menjaga jarak. Tapi Dedi hanya diam, menyesap kopinya, dan mendengarkan. Ia mendengarkan keluhan tentang harga pupuk yang melambung, tentang anak-anak muda yang pergi ke kota dan tak pernah kembali, tentang kekhawatiran akan musim kemarau yang akan datang.“Hidup ini memang begini, Kang Dedi,” kata Mang Udin, seorang petani tua dengan wajah yang dipahat oleh matahari dan kerja keras, suatu pagi. “Kita tanam, kita rawat, kadang berhasil, kadang gagal. Yang penting jangan berhenti mencoba.”Dedi menatap lelaki tua itu. Tak ada teori besar dalam kalimatnya, tak ada retorika politik. Hanya ada kearifan sederhana yang lahir dari tanah yang ia pijak. Kearifan yang menampar Dedi dengan telak. Selama ini, apakah kepeduliannya tulus? Ataukah itu hanya topeng seorang politisi yang butuh panggung? Pertanyaan itu menghantuinya di malam-malam yang sunyi.Perlahan, warga mulai terbiasa dengan kehadirannya. Panggilan "Pak Bupati" berganti menjadi "Kang Dedi". Mereka melihatnya bukan lagi sebagai mantan pejabat, melainkan sebagai salah satu dari mereka yang kebetulan pernah menduduki jabatan tinggi. Suatu sore, saat ia sedang membantu Mang Udin memperbaiki saluran irigasi yang mampet, sekelompok pemuda desa menghampirinya.“Kang, nanti malam ada rapat karang taruna di balai desa. Akang datang, ya?” pinta salah seorang dari mereka, ragu-ragu. “Kasih wejangan sedikit buat kami-kami ini.”Dedi ragu. Panggung-panggung kecil seperti inilah yang dulu menjadi makanannya sehari-hari. Tapi kini, ia merasa tak punya apa-apa untuk dikatakan. Ia bukan siapa-siapa lagi. Namun, melihat sorot mata penuh harap dari para pemuda itu, ia tak kuasa menolak.Malam itu, balai desa terasa pengap, diterangi beberapa lampu neon yang berkedip. Tidak ada podium megah, tidak ada mikrofon yang berdengung. Dedi hanya duduk di kursi plastik, berhadapan dengan belasan pemuda. Saat gilirannya bicara, ia tidak berdiri. Ia tetap duduk, menatap wajah-wajah di hadapannya satu per satu.Ia tidak berorasi. Ia bercerita. Ia menceritakan kisah tentang ayahnya yang seorang penyadap karet, tentang bagaimana setiap tetes getah adalah harapan bagi keluarganya. Ia berbicara tentang ibunya yang selalu mengingatkannya untuk tidak pernah melupakan bau tanah tempat kakinya berpijak. Sisi puitisnya yang lama terpendam kini mengalir, bukan dalam pidato yang berapi-api, melainkan dalam percakapan dari hati ke hati.“Kalian tidak perlu pergi ke kota untuk menjadi besar,” katanya di akhir cerita, suaranya serak menahan emosi. “Besarkan desa ini, maka kalian akan menjadi orang besar yang sesungguhnya.”Keheningan yang khusyuk menyelimuti ruangan. Tak ada tepuk tangan yang riuh, hanya anggukan-anggukan penuh pemahaman. Malam itu, Dedi tidak sedang berkampanye. Ia sedang menyembuhkan dirinya sendiri. Dengan berbagi lukanya, ia mengisi kembali kekosongan di hatinya.Beberapa hari kemudian, Maula Akbar datang mengunjunginya. Putranya yang kini telah tumbuh menjadi pemuda yang matang itu duduk di sampingnya di teras rumah, memandangi senja yang mewarnai langit.“Ayah kelihatan lebih tenang sekarang,” kata Maula, memecah keheningan.Dedi menoleh, menatap putranya. Tak ada lagi bayang-bayang politik yang membebani hubungan mereka. “Karena Ayah kembali ke tempat seharusnya Ayah berada, Nak.”“Aku bangga sama Ayah,” balas Maula singkat, namun sarat makna.Kalimat itu sudah lebih dari cukup. Keraguan di hati Dedi sirna. Kepeduliannya bukanlah topeng. Itu adalah esensi dirinya. Kehilangan jabatan dan kemewahan justru telah mengupas semua lapisan kepalsuan dan mengembalikannya pada jati dirinya yang paling murni.Percikan semangatnya kembali menyala, bukan seperti api besar yang membakar panggung kampanye, melainkan seperti api unggun yang hangat di tengah malam yang dingin. Ia mulai berkeliling dari desa ke desa, dari saung ke saung, bukan untuk mencari suara, tapi untuk mendengar suara. Ia tak lagi punya sumber daya politik yang besar, tapi ia punya sesuatu yang lebih berharga: kepercayaan tulus dari rakyatnya. Ia siap untuk kembali bertarung, bukan lagi untuk sebuah jabatan, tapi untuk setiap wajah penuh harap yang ia temui di sepanjang jalan.Bab 9: Sang Orator dan Kenangan yang ViralCahaya lampu sorot terasa hangat di wajah Dedi, namun tak sehangat sambutan dari ribuan pasang mata di hadapannya. Auditorium universitas yang megah ini terasa intim, seolah ia sedang berbicara di teras rumahnya sendiri. Tak ada lagi teks pidato yang kaku di atas podium. Bertahun-tahun menempa diri di balai-balai desa dan warung-warung kopi telah mengajarinya satu hal: koneksi paling tulus lahir dari percakapan, bukan orasi.Ia sedang membahas tentang kepemimpinan di era digital, sebuah topik yang berat. Namun, di tangannya, topik itu menjadi ringan. Ia membumbui argumen-argumennya dengan lelucon-lelucon segar tentang bagaimana ia pernah mencoba menjelaskan program pemerintah kepada seorang nenek yang lebih khawatir tentang ayamnya yang hilang. Auditorium bergemuruh oleh tawa. Para mahasiswa yang tadinya duduk dengan lengan bersedekap dan tatapan kritis, kini mencondongkan tubuh ke depan, tersenyum. Ibu-ibu pengajian di barisan tengah mengangguk-angguk setuju.Di sisi panggung, ajudannya yang masih muda, Rizal, bertukar pandang lega dengan tim media. Semuanya berjalan sesuai rencana. Dedi Mulyadi sedang berada di puncak performanya, membius audiens dengan karismanya yang membumi.“Jadi, seorang pemimpin itu,” lanjut Dedi, suaranya kembali serius, “bukanlah orang yang tidak pernah gagal. Justru sebaliknya. Pemimpin sejati adalah ia yang berani mengakui kerapuhannya, yang berani menunjukkan luka-lukanya, karena dari sanalah empati lahir.”Saat mengucapkan kalimat itu, matanya tanpa sengaja menangkap sosok seorang mahasiswi di barisan depan. Gadis itu menatapnya dengan sorot mata yang penuh kekaguman, namun juga sarat akan kegelisahan khas anak muda yang sedang mencari jati diri. Tatapan itu seolah menjadi mesin waktu, melemparkan Dedi kembali ke sebuah pagi yang penuh debu di depan gerbang SMA, puluhan tahun silam.Ia berhenti sejenak. Keheningan yang tiba-tiba terasa aneh di tengah auditorium yang tadinya riuh. Rizal di sisi panggung tampak tegang, menyadari Dedi telah keluar dari alur yang disiapkan.Sebuah keputusan sepersekian detik berkecamuk di benak Dedi. Haruskah ia membagikan cerita itu? Cerita tentang kegagalan pertamanya, tentang kerapuhannya yang paling dalam. Suara di kepalanya yang dulu selalu berbisik bahwa ia tak pantas, kini telah lama bungkam. Ia telah berdamai dengan masa lalunya. Dan mungkin, dengan membagikannya, ia bisa menunjukkan pada gadis di barisan depan itu, dan ribuan orang lainnya, bahwa tak apa-apa untuk menjadi tidak sempurna.Ia tersenyum, senyum yang tulus dan sedikit melankolis. “Bicara soal kegagalan dan kerapuhan,” katanya, suaranya kini lebih pelan, lebih personal. “Izinkan saya bercerita sedikit. Ini bukan tentang politik. Ini tentang seorang anak laki-laki kurus, anak penyadap karet, yang jatuh cinta untuk pertama kalinya.”Suasana auditorium berubah seketika. Udara yang tadinya penuh energi intelektual, kini menjadi hening dan intim. Semua orang menahan napas.“Dulu, di SMA saya, ada seorang siswi baru. Anak seorang guru agama. Cantik, anggun, seperti datang dari dunia lain,” Dedi memulai, matanya menatap ke kejauhan, seolah sedang memutar kembali sebuah film lama di benaknya. “Dan saya, dengan sepatu usang dan tangan yang selalu berbau getah, merasa seperti pungguk merindukan bulan.”Beberapa penonton tersenyum wistful.“Saya tidak berani menyapanya. Jangankan menyapa, menatap matanya saja lutut saya gemetar.” Tawa kecil yang hangat menyebar di antara audiens. “Jadi, apa yang saya lakukan? Saya menulis surat. Bukan surat biasa. Saya tuangkan seluruh jiwa saya di atas kertas itu.”Dedi berhenti lagi, kali ini ia memejamkan matanya sejenak. Ia bisa merasakan kembali debaran jantungnya di kamar sempit yang diterangi lampu teplok itu. Ia bisa mencium kembali aroma melati yang pekat dari parfum ibunya.Saat ia membuka mata, sorotnya tampak begitu jernih, begitu jujur. “Saya masih ingat beberapa baris dari surat itu,” katanya pelan.Keheningan di auditorium menjadi begitu pekat, seolah semua orang ikut menahan napas bersamanya. Lalu, dengan suara yang sedikit bergetar oleh emosi yang tertahan selama tiga puluh lima tahun, Dedi mulai membacakan puisinya dari ingatan.“Seiring angin berdesir, air yang jatuh, kutulis sebuah pesan untukmu. Rindu yang tiada pernah bertemu. Hari selalu kunanti untuk melihat dirimu walaupun dari jauh…”Ia terus berbicara, kata-katanya mengalir laksana sungai yang tenang. Ia menceritakan rasa mindernya, kulitnya yang hitam, badannya yang berbalut getah karet. Ia menelanjangi dirinya yang dulu di hadapan ribuan orang.“Aku mengerti, aku ini siapa. Tak layak aku untuk meraihmu…”Di barisan penonton, Dedi melihat beberapa ibu menyeka sudut matanya. Para mahasiswa yang tadinya kritis kini menatapnya dengan sorot yang berbeda, sorot penuh simpati.Ia sampai pada baris terakhir, puncaknya.“Tapi rasa, rasa yang selalu membara ini tak pernah berhenti oleh pikiranku yang terasa putus asa. Kau menerima atau tidak, izinkan aku menyatakan bahwa aku mencintaimu.”Setelah kalimat terakhir itu diucapkan, Dedi terdiam. Ia membiarkan gema dari masa lalunya menggantung di udara. Auditorium senyap. Tak ada yang bergerak. Seolah semua orang tersihir, terhanyut dalam sebuah kisah cinta remaja yang lugu dan tragis.Lalu, satu orang mulai bertepuk tangan. Diikuti oleh yang lain. Dan dalam sekejap, seluruh auditorium meledak dalam tepuk tangan yang membahana. Bukan tepuk tangan formalitas, melainkan sebuah ovasi yang tulus, sebuah pengakuan kolektif atas keberaniannya untuk menjadi manusiawi.Saat Dedi berjalan turun dari panggung, ia melihatnya. Ratusan titik cahaya dari layar ponsel yang menyala, semuanya terarah padanya. Momen yang begitu personal itu telah direkam, siap untuk dilepaskan ke dunia maya yang tak kenal batas.Rizal menghampirinya, wajahnya pucat pasi, namun matanya berbinar karena kagum. “Kang,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di tengah riuh tepuk tangan. “Ini… ini barusan… bakal meledak, Kang. Ini bakal viral.”Dedi hanya tersenyum lelah. Ia tidak tahu bahwa di sebuah desa yang tenang bernama Nyalindung, seorang wanita paruh baya akan segera melihat video itu, dan sebuah gema dari masa lalu akan datang mengetuk pintunya dengan cara yang tak pernah ia duga.Bab 10: Pesan yang Akhirnya SampaiSore di Nyalindung memiliki ritmenya sendiri, sebuah melodi tenang yang telah Kokom hafal di luar kepala. Aroma pakaian bersih yang baru diangkat dari jemuran berbaur dengan wangi teh tubruk yang mengepul dari cangkirnya. Di ruang tengah, televisi menyiarkan berita sore dengan volume rendah, suaranya menjadi musik latar bagi celoteh kedua cucunya yang sedang asyik menyusun balok-balok mainan di atas tikar pandan.Kokom melipat sehelai kemeja cucunya, gerakannya rutin dan penuh kedamaian. Inilah dunianya sekarang. Sebuah semesta kecil yang teratur, yang ia bangun kembali dengan tangannya sendiri setelah badai di masa lalu. Kenangan masa remaja, dengan segala drama dan misterinya, telah lama ia kubur dalam-dalam, menjadi fosil yang tak pernah lagi ia gali. Sosok Dedi Mulyadi yang sesekali muncul di televisi pun tak lebih dari seorang tokoh publik yang ia kenal sebatas warga mengenal mantan pemimpinnya—jauh dan tak tersentuh.Ketenangan itu pecah saat si bungsu, Rian, masuk ke rumah dengan langkah tergesa, wajahnya berseri-seri khas anak SMA yang baru menemukan gosip terpanas.“Mak! Emak!” serunya, napasnya sedikit terengah. “Rame banget di grup WA sekolah, Mak!”Kokom mengangkat wajah dari tumpukan pakaian, alisnya terangkat sedikit. “Rame kenapa? Ada pengumuman libur?”“Bukan!” Rian menghampirinya, menyodorkan ponselnya yang menyala. “Ini, Mak, lihat! Kang Dedi! Pidatonya di Bandung tadi siang, viral banget!”Kokom melirik sekilas ke layar kecil itu. Wajah Dedi Mulyadi yang familier sedang berbicara di atas panggung. Ia tersenyum maklum. “Oh, pidato. Memang jago kalau soal bicara,” komentarnya, kembali fokus pada lipatan pakaiannya.“Bukan pidatonya, Mak. Tapi isinya!” desak Rian, tak sabar. Ia menekan tombol play dan menaikkan volume. “Dengerin, deh. Beliau cerita soal cinta pertamanya di SMA. Namanya... Kokom.”Nama itu. Nama panggilannya di kampung dulu. Kokom berhenti bergerak. Lipatan kemeja di tangannya membeku. Ia menatap Rian, lalu ke layar ponsel dengan tatapan bingung. Di layar, Dedi Mulyadi yang ia kenal sebagai sosok politisi yang matang, kini tampak berbeda. Ada sorot mata yang lain, sorot mata yang rapuh dan penuh nostalgia.Lalu, Kokom mendengarnya. Sebuah suara dari masa lalu yang sama sekali asing, membacakan kata-kata yang terasa aneh namun juga samar-samar familier.“Seiring angin berdesir, air yang jatuh, kutulis sebuah pesan untukmu...”Jantung Kokom serasa berhenti berdetak. Ingatannya terlempar kembali ke sebuah ruang kelas yang pengap, puluhan tahun silam. Ia tidak mengingat kata-kata itu, karena ia tak pernah membacanya. Tapi ia ingat yang lain. Ia ingat sensasi jemarinya saat menyentuh amplop dingin di kolong meja. Ia ingat aroma melati yang begitu pekat, begitu menusuk, yang membuatnya merinding ketakutan.Pelet. Bisikan teman-temannya dulu kembali berdengung di telinganya. Guna-guna.“Aku mengerti, aku ini siapa. Tak layak aku untuk meraihmu...”Suara Dedi di video itu terus mengalun, penuh perasaan. Tapi di benak Kokom, dua realitas sedang bertabrakan dengan hebat. Ingatannya tentang surat wangi misterius yang ia takuti dan ia sembunyikan, kini dibenturkan dengan pengakuan publik yang begitu tulus dan puitis dari seorang tokoh besar. Anak laki-laki kurus dengan tatapan aneh di gerbang sekolah yang ia curigai dalam hati, ternyata adalah orang ini? Orang yang sama yang pernah memimpin daerahnya selama sepuluh tahun?Kepalanya terasa pening. Ini tidak mungkin. Ini adalah sebuah invasi mendadak ke dalam ruang pribadinya yang paling sunyi, sebuah rahasia kecil yang bahkan ia sendiri sudah lupa, kini dibongkar dan dipertontonkan di hadapan jutaan orang.“...Kau menerima atau tidak, izinkan aku menyatakan bahwa aku mencintaimu.”Video itu berakhir dengan gemuruh tepuk tangan dari penonton. Rian menatap ibunya dengan mata berbinar. “Gimana, Mak? Itu Emak, kan? Kokom dari Nyalindung, anak guru agama. Persis!”Kokom tak mampu berkata-kata. Wajahnya terasa panas. Ia merasa telanjang, seolah semua orang di dunia sedang menatapnya. Syok, malu, dan sekelumit rasa penasaran yang telah padam selama tiga puluh lima tahun, kini menyala kembali menjadi api yang membingungkan.Tepat pada saat itu, telepon rumah di sudut ruangan berdering nyaring, suaranya terdengar seperti alarm kebakaran. Rian berlari mengangkatnya.“Halo... Oh, Wa Haji? Iya, Emak ada.” Rian menutup gagang telepon dengan tangannya. “Mak, Wa Haji Udin. Nanyain soal video Kang Dedi.”Sebelum Kokom sempat bereaksi, ponsel Rian bergetar. Notifikasi dari grup WA keluarga muncul di layar. Lalu satu lagi. Dan satu lagi. Dari luar jendela, ia bisa mendengar suara tetangga yang sedang mengobrol, dan entah kenapa, ia merasa mereka sedang membicarakan dirinya.Ketenangan sore itu telah hancur. Dunianya yang kecil dan teratur telah dijebol paksa oleh gema dari masa lalu. Ia menatap tumpukan pakaian yang belum selesai dilipat, lalu ke arah cucu-cucunya yang masih bermain dengan riang, tak menyadari badai kecil yang baru saja menerpa nenek mereka. Kokom merasa terpojok. Pesan dari surat wangi itu akhirnya sampai setelah tiga puluh lima tahun, bukan sebagai bisikan romantis, melainkan sebagai sebuah ledakan yang mengancam akan meruntuhkan benteng kedamaian yang telah susah payah ia bangun.Bab 11: Undangan ke Masa LaluDua hari berikutnya, rumah Kokom terasa seperti akuarium. Ia bisa merasakan tatapan mata dari luar—para tetangga yang pura-pura menyapu halaman, ibu-ibu yang bergerombol di warung seberang—semua melirik ke arah rumahnya dengan rasa ingin tahu yang tak tertahankan. Ketenangan yang dulu menjadi hartanya yang paling berharga kini telah pecah, digantikan oleh bisik-bisik yang terbawa angin. Telepon rumah sengaja ia biarkan terlepas dari colokannya, setelah semalaman berdering tanpa henti oleh sanak saudara jauh yang tiba-tiba teringat padanya.Kokom mencoba berlindung di dalam rutinitas. Ia menyapu, memasak, menyirami tanaman di pot-pot tuanya. Ia berharap jika ia bergerak seperti biasa, maka dunia di sekelilingnya juga akan kembali normal. Tapi usahanya sia-sia. Setiap kali ponsel Rian berdering dengan notifikasi baru, jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti buronan di rumahnya sendiri, dihantui oleh gema dari masa lalu yang tak pernah ia undang kembali.Ia bingung, malu, dan sejujurnya, sedikit marah. Privasinya telah direnggut begitu saja. Sebuah kenangan remaja yang bahkan tak pernah ia anggap penting, kini telah menjadi konsumsi publik. Sifatnya yang tegar, yang telah teruji oleh badai perceraian, kini diuji kembali oleh sesuatu yang jauh lebih absurd.“Mak, kalau Emak nggak mau diganggu, kenapa nggak pergi saja?” kata putri sulungnya, Tita, yang datang berkunjung sore itu, tak tahan melihat kegelisahan ibunya.“Pergi ke mana?” jawab Kokom ketus sambil terus menyiangi rumput liar di halaman.“Ya, ke Bandung. Temui Kang Dedi,” kata Tita hati-hati. “Selesaikan urusannya. Kalau Emak diam saja di sini, orang-orang malah makin penasaran.”Kokom berhenti, tangannya yang memegang sabit kecil membeku di udara. “Tidak ada urusan yang harus diselesaikan,” desisnya.Tepat pada saat itulah, sebuah anomali terjadi di gang sempit depan rumahnya. Sebuah mobil sedan hitam mengkilap, jenis mobil yang hanya pernah ia lihat di televisi, mencoba masuk dengan susah payah. Kontras antara kemewahan mobil itu dengan jalanan tanah dan rumah-rumah sederhana di sekitarnya begitu mencolok, seolah sebuah pesawat ruang angkasa mendarat di tengah sawah.Seketika, seluruh aktivitas di kampung itu terhenti. Para tetangga yang tadinya hanya mengintip, kini terang-terangan keluar dari rumah mereka. Anak-anak kecil berlarian mendekat. Dunia luar yang selama ini coba Kokom abaikan, kini telah datang dan parkir tepat di depan pintunya.Seorang pemuda berpenampilan rapi dengan kemeja batik turun dari mobil. Wajahnya tampak sopan, namun juga sedikit canggung di tengah kerumunan warga yang menatapnya tanpa berkedip. Ia berjalan lurus ke arah rumah Kokom.“Assalamualaikum. Permisi, apa benar ini kediaman Ibu Kokom?” tanyanya, suaranya terdengar begitu formal di tengah suasana pedesaan yang santai.Kokom merasa seluruh darah di tubuhnya surut ke kaki. Ia hanya bisa mengangguk kaku.“Saya Rizal, Bu. Saya diutus oleh Bapak Dedi Mulyadi,” lanjut pemuda itu, memperkenalkan diri.Di belakang Kokom, Tita dan Rian saling bertukar pandang penuh semangat. “Sudah kuduga!” bisik Rian.“Bapak ingin mengundang Ibu untuk bersilaturahmi, jika Ibu berkenan,” kata Rizal lagi, nadanya sangat profesional.Undangan. Kata itu terdengar begitu formal, begitu mengintimidasi. Ini bukan lagi sekadar gosip di grup WhatsApp. Ini nyata. Dunia Dedi yang berkuasa dan formal kini telah menjulurkan tangannya, mencoba menarik Kokom keluar dari dunianya yang kecil dan tenang.“Untuk apa, ya?” tanya Kokom, suaranya nyaris tak terdengar.“Hanya silaturahmi biasa, Bu. Bapak merasa tidak enak karena cerita beliau menjadi ramai dan mungkin mengganggu ketenangan Ibu dan keluarga.”“Mak, ayolah!” Tita menyikut lengan ibunya pelan. “Ini kesempatan langka, Mak. Diterima saja.”Kokom menatap anak-anaknya. Di mata mereka, ia melihat binar kekaguman dan antusiasme. Mereka melihat ini sebagai sebuah kehormatan, sebuah petualangan. Mereka tidak mengerti badai yang berkecamuk di dalam hatinya. Bagi mereka, ini adalah popularitas. Baginya, ini adalah teror.Menerima undangan ini berarti ia harus menghadapinya. Menghadapi Dedi, pria yang kini terasa begitu asing. Menghadapi masa lalu yang tak pernah ia anggap ada. Dan yang terburuk, menjadi pusat perhatian. Tapi menolak? Menolak berarti mengecewakan anak-anaknya yang terlihat begitu berharap. Dan mungkin, ia akan selamanya dihantui rasa penasaran. Apa yang sebenarnya ingin dikatakan pria itu setelah tiga puluh lima tahun?Ia menatap Rizal yang menunggu dengan sabar. Ia menatap para tetangga yang masih menonton dari kejauhan. Ia menatap anak-anaknya yang menatapnya penuh harap. Ia merasa terpojok, terperangkap di antara masa lalu yang tiba-tiba menagih dan masa depan anak-anaknya yang mendesak.Sifatnya yang tegar mengambil alih. Ia tidak akan lari. Ia akan menghadapi ini, bukan untuk Dedi, bukan untuk publik, tapi untuk dirinya sendiri dan untuk mengakhiri semua kegaduhan ini.Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya.“Baiklah,” katanya, suaranya terdengar lebih mantap dari yang ia duga. “Kapan saya harus ke sana?”Di wajah anak-anaknya, terbit senyum kemenangan. Di wajah Rizal, terukir kelegaan. Dan di dalam hati Kokom, ada campuran aneh antara rasa pasrah, kegugupan yang mencekik, dan secercah keberanian yang baru saja ia temukan. Ia akan melangkah masuk ke dalam gema masa lalunya.Bab 12: Misteri Surat yang TerungkapPerjalanan dari Nyalindung ke kediaman pribadi Dedi Mulyadi terasa seperti melintasi dimensi. Kokom meninggalkan dunianya yang akrab—jalan tanah, aroma jerami terbakar, dan rumah-rumah panggung sederhana—lalu melangkah masuk ke sebuah dunia yang hanya pernah ia lihat di majalah. Ini bukan pendopo bupati yang formal dan megah. Rumah ini terasa berbeda. Hangat, personal, dan bernapas. Dindingnya dipenuhi rak-rak buku yang menjulang hingga ke langit-langit, dan dari teras belakang tempat mereka duduk, terhampar sebuah taman kecil yang asri dengan gemericik air dari kolam ikan.Kokom duduk di kursi rotan yang terasa terlalu empuk, jemarinya mencengkeram tali tasnya dengan erat. Ia merasa salah kostum. Gamis bunga-bunga yang ia pilih dengan saksama tadi pagi, kini terasa seperti pakaian kampungan di tengah suasana intelektual yang hening ini. Di hadapannya, Dedi Mulyadi—pria yang sama yang fotonya terpajang di hampir setiap kantor desa—duduk dengan santai, mengenakan kemeja lengan pendek sederhana, tampak begitu berbeda dari citranya di televisi.Keheningan di antara mereka terasa berat, hanya diisi oleh suara gemericik air dan detak jantung Kokom yang berdebar kencang di telinganya.“Terima kasih sudah mau datang, Teh Kokom,” kata Dedi akhirnya, suaranya memecah kebisuan. Ia tersenyum, senyum yang ramah, namun Kokom bisa melihat ada sedikit kegugupan di sana.“Sami-sami, Kang,” jawab Kokom, suaranya nyaris berbisik. Ia menunduk, menatap cangkir teh hangat yang belum tersentuh di hadapannya.Dedi berdeham pelan, seolah sedang mengumpulkan keberanian. “Saya… saya minta maaf kalau pidato saya kemarin membuat Teteh tidak nyaman. Sungguh, saya tidak bermaksud begitu. Itu keluar begitu saja.”Kokom menggeleng cepat. “Tidak apa-apa, Kang. Saya mengerti.” Tentu saja ia tidak mengerti, tapi hanya itu yang bisa ia katakan.Hening lagi. Kokom berharap tanah di bawah kakinya bisa terbelah dan menelannya saat itu juga. Ia ingin percakapan ini segera berakhir.“Teh,” kata Dedi lagi, kali ini nadanya lebih serius, lebih dalam. “Ada satu hal yang selama tiga puluh lima tahun ini selalu saya tanyakan dalam hati.” Ia menatap Kokom lurus-lurus, tatapan yang sama seperti yang ia lihat di gerbang sekolah dulu, hanya saja kini dipenuhi oleh jejak waktu dan pengalaman. “Kenapa… kenapa surat saya dulu tidak pernah dibalas?”Pertanyaan itu. Pertanyaan yang paling Kokom takuti. Seluruh darah di tubuhnya terasa berkumpul di wajahnya. Ia bisa merasakan pipinya memanas. Ia menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Haruskah ia berbohong? Mengarang cerita bahwa surat itu hilang, atau ia tidak pernah menerimanya? Tapi menatap kejujuran di mata Dedi, ia tahu ia tidak bisa.Ia menarik napas dalam-dalam, sebuah perjuangan melawan rasa malu yang luar biasa. “Saya… saya tidak pernah membacanya, Kang,” akunya, suaranya begitu pelan hingga nyaris hilang terbawa angin.Kening Dedi berkerut. Kebingungan terpancar jelas di wajahnya. “Tidak dibaca? Kenapa?”Inilah saatnya. Kokom memejamkan mata sejenak, lalu memaksakan diri untuk menatap Dedi. “Karena… karena suratnya wangi sekali,” katanya. “Wanginya kebangetan. Saya… dan teman-teman saya… kami kira itu…” Ia ragu-ragu, merasa begitu konyol. “…kami kira itu pelet.”Hening. Kali ini keheningan yang berbeda. Kokom melihat ekspresi Dedi berubah. Dari bingung, menjadi syok, lalu perlahan-lahan sudut bibirnya mulai berkedut. Dan kemudian, terjadilah.Dedi Mulyadi tertawa.Bukan tawa kecil yang sopan. Melainkan tawa terbahak-bahak yang tulus, yang datang dari perut, yang membuat bahunya berguncang dan matanya berair. Tawa yang seolah melepaskan beban yang telah ia pikul selama tiga puluh lima tahun.“Pelet?” katanya di sela-sela tawanya. “Ya Allah… pelet?”Melihat reaksinya, ketegangan di pundak Kokom seketika sirna. Ia tidak bisa menahannya lagi. Sebuah senyum kecil mulai terukir di bibirnya, yang kemudian berubah menjadi tawa kecil yang tertahan. Ia tertawa, bukan karena lucu, tapi karena lega. Dinding es di antara mereka telah hancur berkeping-keping oleh sebuah kesalahpahaman remaja yang absurd.“Itu parfum melati punya ibu saya!” kata Dedi, masih tertawa sambil menyeka sudut matanya. “Satu-satunya parfum di rumah. Saya semprotkan banyak-banyak biar romantis, malah dikira guna-guna.”“Habisnya wanginya tidak wajar, Kang,” balas Kokom, kini merasa lebih rileks.Setelah tawa mereka mereda, suasana berubah total. Tak ada lagi kecanggungan. Tak ada lagi ‘mantan bupati’ dan ‘warga desa’. Yang ada hanya Dedi dan Kokom, dua teman lama yang menertawakan kepolosan masa lalu mereka.Percakapan mengalir begitu saja. Mereka saling bertukar cerita, mengisi kekosongan tiga puluh lima tahun dalam beberapa jam. Kokom bercerita tentang pernikahannya, tentang anak-anaknya, tentang kehidupannya di Jakarta, lalu kembali ke Nyalindung. Saat ia sampai pada bagian perceraiannya, ia berhenti sejenak.“Suami saya menikah lagi,” katanya pelan, tanpa menatap Dedi. “Saya… ditinggalkan.”Dedi terdiam. Tawa di wajahnya memudar, digantikan oleh ekspresi empati yang dalam. Ia menghela napas panjang. “Ternyata,” katanya pelan, suaranya terdengar melankolis. “Nasib kita sama, ya, Teh.”Kokom mengangkat wajahnya, menatap Dedi dengan terkejut.“Saya juga,” lanjut Dedi, matanya menatap kosong ke arah taman. “Ditinggalkan.”Dan di sanalah, di tengah keheningan yang baru, mereka menemukan titik temu yang tak pernah mereka duga. Bukan dalam kenangan cinta monyet yang lucu, melainkan dalam luka yang sama. Patah hati yang sama. Perasaan ditinggalkan yang sama.Mereka duduk dalam diam untuk waktu yang lama, namun kali ini bukan keheningan yang canggung. Melainkan keheningan yang penuh pemahaman. Dua jiwa yang telah menempuh jalan yang begitu berbeda, yang satu naik ke puncak kekuasaan, yang lain menjalani kehidupan yang tenang di desa, ternyata berakhir di tempat yang sama. Sebuah tempat sunyi yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah merasakannya. Misteri surat wangi itu telah terungkap, dan sebagai gantinya, sebuah fondasi baru telah terbangun di antara mereka. Fondasi yang terbuat dari tawa, kejujuran, dan bekas luka yang sama.Bab 13: "Pondok Jodo, Panjang Baraya"“Ayo, Teh. Kita jalan-jalan sebentar di taman,” ajak Dedi, suaranya lembut, seolah mengerti bahwa duduk diam di teras terasa terlalu kaku setelah pengakuan yang begitu personal.Kokom mengangguk, merasa bersyukur atas ajakan itu. Berjalan terasa lebih mudah daripada duduk berhadapan. Saat ia bangkit dan mengikuti langkah Dedi menuruni beberapa anak tangga menuju taman, ia merasakan sebuah kelegaan yang luar biasa menyelimutinya, seolah beban berat yang tak ia sadari telah ia pikul selama bertahun-tahun, kini terangkat dari pundaknya.Mereka berjalan pelan di antara barisan tanaman hias dan pohon-pohon buah yang rindang. Udara sore terasa sejuk, dipenuhi aroma tanah basah dan wangi bunga kamboja yang samar. Untuk pertama kalinya hari itu, Kokom tidak lagi merasa seperti seorang tamu yang canggung. Tembok pertahanannya telah runtuh. Pria yang berjalan di sampingnya ini bukan lagi Kang Dedi sang pejabat, melainkan hanya Dedi, sesama penyintas luka.“Setelah berpisah,” Kokom memulai, suaranya terdengar lebih mantap, “bagian tersulitnya bukanlah menjadi ibu tunggal. Saya sudah terbiasa bekerja keras. Bagian tersulitnya adalah menghadapi tatapan mata orang-orang. Bisik-bisik mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang pura-pura bersimpati.”Ia berhenti di dekat sebuah pohon mangga, jemarinya menyentuh kulit batangnya yang kasar. “Mereka melihat saya sebagai wanita yang gagal. Ditinggalkan. Dicampakkan. Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk berhenti melihat diri saya sendiri dari mata mereka.”Dedi mendengarkan dalam diam, namun keheningannya terasa penuh pemahaman. Ia menatap Kokom, dan untuk pertama kalinya, ia tidak melihat gadis SMA yang ia kagumi dari jauh. Ia melihat seorang wanita dengan kekuatan yang luar biasa, yang telah melewati badai dan berhasil berdiri tegak, meski dengan beberapa goresan di hatinya. Betapa ironisnya takdir, pikirnya. Ia sendiri, yang dikelilingi oleh kekuasaan dan sanjungan, merasakan kehampaan yang sama persis di tengah keramaian.“Saya mengerti,” kata Dedi pelan. “Dunia luar hanya melihat apa yang tampak di permukaan. Mereka tidak pernah tahu pertempuran yang kita hadapi di dalam.”Mereka duduk di sebuah saung kecil di sudut taman. Dari sana, pemandangan kota di kejauhan tampak seperti lukisan.“Lalu, bagaimana Akang…?” Kokom tidak melanjutkan kalimatnya, tapi Dedi mengerti. Bagaimana kau bertahan?Dedi tersenyum, senyum yang sarat akan pengalaman. “Saya belajar dari kearifan orang tua kita dulu, Teh. Ada satu falsafah Sunda yang selalu saya pegang: ‘pondok jodo, panjang baraya’.”“Jodohnya pendek, persaudaraan panjang,” bisik Kokom, mengulanginya.“Betul,” kata Dedi. “Pernikahan bisa berakhir. Jodoh bisa putus. Tapi silaturahmi, persaudaraan, itu tidak boleh ikut terputus. Terutama jika ada anak-anak.” Ia menatap lurus ke depan, seolah sedang berbicara pada masa lalunya sendiri. “Saya masih berhubungan baik dengan keluarga mantan istri saya. Saya masih menganggap mereka sebagai keluarga. Karena membenci masa lalu hanya akan meracuni masa depan kita sendiri. Luka itu ada, ya, biarkan saja ada. Tapi jangan biarkan ia menghentikan kita untuk tetap menjadi manusia yang baik.”Kokom tertegun. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sedalam ini. Baginya, perceraian adalah sebuah akhir yang pahit. Tapi Dedi melihatnya sebagai sebuah babak yang harus ditutup dengan kedewasaan, bukan dengan kebencian. Pria ini bukan lagi sekadar orator ulung; ia adalah seorang filsuf yang telah menyaring penderitaannya menjadi sebutir mutiara kearifan.Kini, Kokom mengerti. Hubungan yang sedang terjalin di antara mereka saat ini bukanlah kelanjutan dari cinta monyet yang tak sampai. Itu adalah sesuatu yang sama sekali baru. Sebuah persahabatan langka yang lahir dari luka yang sama. Mereka adalah dua orang teman lama yang saling menemukan kembali, bukan sebagai kekasih, melainkan sebagai sekutu yang memahami betul peta dari medan pertempuran bernama patah hati. Perasaan simpati dan empati mengalir begitu alami di antara mereka, sebuah kehangatan yang menenangkan, tanpa perlu didefinisikan.: "Pak Dedi..."Dedi: "Sst," potong Dedi lembut. "Jangan panggil ‘Bapak’. Panggil saja Dedi, atau Akang. Kita tidak sedang di forum resmi.”: “Baik, Kang. Terima kasih.”Saat mereka sedang menikmati keheningan yang nyaman itu, Rizal, sang ajudan, muncul di ambang pintu teras dengan langkah ragu.“Kang, mohon maaf,” katanya dengan sopan, namun tegas. “Jadwal berikutnya sudah menunggu. Tamu dari kementerian sudah tiba.”Momen itu pecah seketika. Gelembung percakapan intim mereka pecah oleh tusukan jarum dari dunia nyata. Dedi menghela napas, raut wajahnya kembali berubah, sedikit lebih formal, lebih berwibawa. Ia kembali menjadi Dedi Mulyadi sang tokoh publik.“Baik, saya segera ke sana,” jawabnya. Ia menoleh pada Kokom. “Maaf, Teh. Ternyata waktu kita tidak banyak.”“Tidak apa-apa, Kang. Justru saya yang sudah terlalu lama merepotkan,” kata Kokom sambil bangkit berdiri.Saat Rizal mengantarnya kembali ke mobil sedan hitam itu, Dedi berdiri di teras, memandanginya. Ada sebuah pemahaman baru di antara mereka, sebuah ikatan sunyi yang tak perlu diucapkan. Perjalanan pulang ke Nyalindung kali ini akan terasa sangat berbeda. Kokom datang dengan membawa beban masa lalu; kini ia pulang dengan membawa sebuah perspektif baru dan seorang teman lama yang tak terduga.Bab 14: Rindu yang Akhirnya TerjawabSenja mulai turun di cakrawala, melukis langit Purwakarta dengan sapuan warna jingga dan nila. Bayangan pepohonan di taman memanjang, menyentuh teras depan tempat Kokom berdiri, siap untuk pamit. Udara terasa magis, dipenuhi keheningan sesaat sebelum perpisahan. Rizal sang ajudan telah membukakan pintu mobil, berdiri dengan sikap hormat, menjadi pengingat bisu akan dunia formal yang akan segera menarik Dedi kembali.Kokom merasa lega. Percakapan tadi telah mengangkat beban yang tak ia sadari ia pikul. Ia siap untuk pulang, kembali ke dunianya yang tenang, namun dengan hati yang terasa lebih ringan, lebih utuh.Saat ia hendak melangkah menuju mobil, sebuah suara menghentikannya.“Teh, sebentar.”Kokom berbalik. Dedi berjalan menuruni tangga teras, menghampirinya. Ada sorot mata yang berbeda, sebuah keraguan yang rentan, sesuatu yang membuat Kokom merasa pertemuan ini belum benar-benar selesai.Dedi berdiri di hadapannya, hanya berjarak beberapa langkah. Ia tampak sedang berjuang melawan dirinya sendiri. Sebagai seorang politisi, ia terbiasa mengendalikan setiap kata, setiap gestur. Tapi saat ini, ia terlihat seperti anak laki-laki kurus di gerbang sekolah dulu, penuh dengan perasaan yang meluap dan tak tahu bagaimana cara menyampaikannya.“Ada yang ketinggalan, Kang?” tanya Kokom lembut.Dedi menggeleng pelan. “Bukan,” katanya. “Hanya saja… Teteh sudah tahu kenapa surat itu tidak pernah dibalas. Tapi Teteh belum pernah benar-benar mendengar isinya.”Jantung Kokom berdebar. Ia melihat Dedi menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mengambil sebuah risiko emosional yang besar. Ia tidak lagi menatap Kokom, melainkan menatap senja di kejauhan, seolah sedang memanggil kembali sebuah memori yang terkubur dalam.Di dekat mobil, Rizal berdiri mematung, sedikit bingung dengan pemandangan yang tidak biasa ini. Kehadirannya yang formal terasa begitu kontras dengan keintiman yang tiba-tiba menyelimuti udara di antara Dedi dan Kokom.Lalu, Dedi mulai berbicara. Suaranya tidak lagi sekeras saat di panggung, tidak seformal saat diwawancara. Suaranya pelan, sedikit bergetar, dan sarat akan gema dari masa lalu.“Seiring angin berdesir, air yang jatuh, kutulis sebuah pesan untukmu. Rindu yang tiada pernah bertemu. Hari selalu kunanti untuk melihat dirimu walaupun dari jauh…”Dunia di sekeliling Kokom seketika lenyap. Suara gemericik air dari taman, siluet Rizal yang berdiri kaku, bahkan warna langit senja—semuanya melebur menjadi latar yang kabur. Yang ada hanya suara Dedi dan kata-kata itu. Kata-kata yang dulu ia takuti, yang ia anggap sebagai mantra pelet, kini mengalir ke telinganya laksana sebuah musik yang paling sendu dan paling jujur yang pernah ia dengar.“Aku mengerti, aku ini siapa. Tak layak aku untuk meraihmu. Kulitku yang hitam, badanku yang berbalut getah karet yang selalu kupikul dalam setiap waktu. Tak memungkinkan aku untuk menemuimu, yang anak seorang guru agama. Anak guru agama…”Kokom bisa melihatnya. Ia bisa melihat anak laki-laki kurus itu, duduk sendirian di kamarnya yang remang, menuangkan seluruh rasa mindernya di atas selembar kertas. Ia bisa merasakan keputusasaannya, kekagumannya yang bisu, dan cintanya yang lugu. Ketakutan masa remajanya yang konyol kini terasa seperti sebuah pengkhianatan terhadap ketulusan yang begitu murni. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, bukan karena sedih, melainkan karena terharu.“Tapi rasa, rasa yang selalu membara ini tak pernah berhenti oleh pikiranku yang terasa putus asa. Kau menerima atau tidak, izinkan aku menyatakan bahwa aku mencintaimu.”Setelah kalimat terakhir itu terucap, Dedi terdiam. Ia tidak berani menatap Kokom. Ia hanya berdiri di sana, rentan, setelah menelanjangi kembali jiwanya yang paling dalam.Keheningan yang menyusul terasa begitu sakral. Kokom tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menatap pria di hadapannya dalam cahaya yang sama sekali baru. Ini bukan lagi Dedi Mulyadi sang politisi. Ini adalah Dedi, anak penyadap karet dengan hati seorang penyair, yang telah menyimpan sebuah rindu selama tiga puluh lima tahun.Perlahan, ia mengangkat tangannya, menyeka setetes air mata yang akhirnya jatuh di pipinya.“Hatur nuhun, Kang,” bisiknya, suaranya serak. “Terima kasih.”Hanya itu yang bisa ia ucapkan, tapi di dalam dua kata itu terkandung segalanya: pemahamannya, penyesalannya, dan kelegaannya. Rindu yang dulu tak pernah bertemu itu, kini akhirnya terjawab. Bukan dengan balasan cinta, melainkan dengan sebuah pengakuan tulus yang melintasi ruang dan waktu.Ia mengangguk sekali pada Dedi, sebuah anggukan perpisahan yang penuh makna, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil. Saat mobil sedan hitam itu bergerak pelan meninggalkan halaman yang luas itu, Kokom menoleh ke belakang melalui jendela. Dedi masih berdiri di sana, sebuah siluet yang sendu di tengah cahaya senja yang memudar, memandanginya pergi.Bab 15: Jalan yang TerbukaDi dalam keheningan mobil sedan yang melaju mulus, Kokom menatap keluar jendela. Senja di luar sana melukis pemandangan dengan kuasnya yang lembut; hamparan sawah yang hijau berganti dengan siluet ruko-ruko di pinggir kota kecil, lalu kembali lagi menjadi permadani hijau yang damai. Perjalanan pulang ini terasa begitu berbeda. Jika perjalanan berangkat tadi pagi dipenuhi oleh debaran jantung yang cemas, kini yang ia rasakan hanyalah sebuah ketenangan yang aneh, ketenangan yang membentang luas seperti langit senja di hadapannya.Ia memproses kembali setiap momen dari pertemuan tadi. Tawa Dedi yang terbahak-bahak saat mendengar kata ‘pelet’. Sorot matanya yang penuh empati saat mereka menemukan luka yang sama. Dan yang paling membekas, suaranya yang sedikit bergetar saat membacakan kembali puisi dari masa lalu. Kata-kata yang dulu ia takuti, kini terasa seperti sebuah lagu pengantar tidur yang meninabobokan kegelisahan di hatinya.Misteri itu telah berakhir, namun Kokom merasa ini bukanlah sebuah penutupan. Sebaliknya, ini terasa seperti sebuah pembukaan. Seolah sebuah pintu di dalam hatinya yang telah lama terkunci rapat, kini terbuka sedikit, membiarkan cahaya senja masuk. Ia tidak lagi merasa tertekan atau canggung. Ia merasa lega. Lega karena kebenaran ternyata jauh lebih sederhana dan lebih manusiawi daripada ketakutan yang ia bangun sendiri selama puluhan tahun. Pertanyaan yang kini muncul di benaknya bukanlah pertanyaan yang cemas, melainkan pertanyaan yang tenang dan penuh harapan: setelah ini apa? Ia tidak punya jawaban, dan untuk pertama kalinya, ia merasa tak apa-apa untuk tidak memiliki jawaban.Di ruang kerjanya yang dipenuhi buku, Dedi berdiri di depan jendela kaca yang besar, menatap taman yang perlahan ditelan kegelapan. Siluet mobil yang membawa Kokom pulang tadi masih terbayang di benaknya. Pertemuan itu telah memberinya sesuatu yang tak ia duga: sebuah ketenangan. Di tengah tekanan politik yang tak pernah berhenti, di antara tumpukan dokumen yang menuntut keputusan, percakapannya dengan Kokom terasa seperti sebuah perjalanan pulang ke akar rumput kemanusiaannya.Ia kembali teringat tawanya yang meledak tadi. Betapa lucunya takdir. Anak laki-laki kurus yang dulu merasa tak pantas, kini menjadi seorang tokoh yang disegani. Dan gadis anggun yang dulu ia puja dari jauh, kini menjadi seorang wanita tegar yang menyimpan kekuatan sunyi di dalam hatinya. Pertemuan itu telah mengingatkannya kembali pada siapa dirinya sebelum semua jabatan dan gelar ini melekat: seorang anak penyadap karet dengan hati seorang penyair.Ia berbalik dari jendela dan duduk di kursi kerjanya. Di atas meja mahoni yang berkilauan, tumpukan map berwarna biru dan merah menunggunya. Tamu dari kementerian. Rencana anggaran. Laporan dari dinas-dinas. Inilah dunianya sekarang, jalan pengabdian yang telah ia pilih. Biasanya, melihat tumpukan pekerjaan ini di akhir hari yang panjang akan membuatnya merasa lelah. Tapi tidak malam ini.Hatinya terasa lebih ringan. Pertemuan dengan Kokom bukan sebuah distraksi, melainkan sebuah rekalibrasi. Sebuah pengingat bahwa di balik setiap angka statistik dan program pemerintah, ada kehidupan manusia yang nyata, dengan segala kerapuhan, harapan, dan kisah-kisah tak terduga mereka.Ia juga merenungkan pertanyaan yang sama: setelah ini apa? Akankah pertemuan ini hanya menjadi sebuah catatan kaki yang indah dalam biografi hidupnya? Sebuah kenangan manis yang akan ia ceritakan kembali di panggung-panggung lain? Atau… mungkinkah ini awal dari sebuah babak baru? Sebuah persahabatan tulus yang lahir dari abu masa lalu. Ia tidak tahu. Namun, ketidaktahuan itu tidak membuatnya gelisah. Sebaliknya, itu terasa seperti sebuah kemungkinan yang terbuka.Saat mobil sedan itu akhirnya memasuki jalanan desa Nyalindung yang familier, Kokom melihat lampu-lampu dari rumah tetangganya mulai menyala, berkelip seperti kunang-kunang di tengah kegelapan. Jalan di hadapannya kini terasa berbeda. Masih jalan yang sama yang ia lewati setiap hari, namun kini terasa lebih lapang, lebih terbuka.Di ruang kerjanya, Dedi akhirnya mengulurkan tangan dan mengambil map teratas dari tumpukan dokumen. Ia membukanya. Di bawah cahaya lampu meja yang hangat, ia mulai membaca, kembali ke perannya, kembali ke jalan pengabdiannya.Dua jalan hidup yang dulu nyaris bersinggungan, lalu terpisah jauh selama tiga puluh lima tahun, kini telah bertemu kembali di sebuah persimpangan takdir. Keduanya kini kembali ke jalannya masing-masing. Kokom menuju kehidupannya yang tenang di desa, Dedi menuju panggungnya yang riuh di pusat kekuasaan. Jalan mereka mungkin akan tetap terpisah. Tapi kini, keduanya tahu, bahwa di suatu tempat di luar sana, ada seorang teman lama yang mengerti. Dan pengetahuan itu saja sudah lebih dari cukup. Jalan di depan mereka berdua, kini terbentang luas dan terbuka.

%20(7).png)