Bab 1 – Semangat & Harapan
Alis Ratri terangkat sebelah, diiringi seulas senyum geli yang ia coba tahan. Di hadapannya, Dani, bocah laki-laki paling bersemangat di kelas darurat itu, berdiri dengan dada membusung penuh percaya diri.
"Jadi, setelah dua puluh, langsung seratus, Bu Guru!" seru Dani mantap, membuat beberapa temannya terkikik.
Ratri tidak tertawa. Ia justru melangkah mendekat, berjongkok untuk menyejajarkan matanya dengan mata Dani yang bulat dan berbinar. "Itu jawaban yang sangat berani, Dan," katanya lembut, menepuk bahu kecilnya. "Tapi di antara dua puluh dan seratus, ada banyak angka lain yang sedang menunggu kita kenalan. Ada yang mau bantu Dani?"
Seketika, belasan tangan kurus teracung ke udara, berebut ingin menjawab. Pemandangan itulah yang selalu berhasil menghangatkan hati Ratri, mengusir lelah yang kadang hinggap setelah seharian bekerja di sawah sebelum mengajar. Di bawah atap pendopo tua milik desa, di atas lantai tanah yang berdebu, ia menemukan dunianya.
Langit di luar berwarna jingga lembut, namun semangat di dalam pendopo ini jauh lebih menyala. Dua puluh anak dengan pakaian sederhana dan wajah yang seringkali masih menyisakan bekas permainan siang tadi, duduk di atas bangku-bangku reyot. Mereka adalah alasan kepulangan Ratri ke Desa Suka Asih. Mereka adalah benih-benih harapan yang ia bertekad untuk sirami.
Baginya, mendirikan sekolah gratis ini adalah sebuah cita-cita mulia, sebuah panggilan suci yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ia memandang Wulan yang tekun menulis di atas sobekan buku, Laras yang menggenggam pensilnya yang sudah sangat pendek, dan Dani yang kini cemberut karena jawabannya salah namun tetap memperhatikan ke papan tulis. Di wajah-wajah polos itu, Ratri tidak melihat kemiskinan; ia melihat potensi yang tak terbatas.
"Dua puluh satu... dua puluh dua... dua puluh tiga..." Suara mereka menggema, mengikuti gerakan ranting kering di tangan Ratri yang menari di atas papan tulis usang. Setiap huruf yang berhasil mereka baca, setiap angka yang bisa mereka hitung, adalah kemenangan kecil yang menjadi bahan bakar semangatnya. Senyum mereka adalah upah termahal yang tak bisa dinilai dengan uang.
Satu jam berlalu secepat kedipan mata.
"Baik, pelajaran hari ini selesai! Jangan lupa diulang di rumah, ya!" ujar Ratri menutup kelas.
Anak-anak berhamburan keluar seperti sekawanan burung gereja, tawa mereka pecah dan memenuhi udara senja. Ratri berdiri di tepi pendopo, melambaikan tangan hingga punggung terakhir hilang di tikungan jalan setapak.
Hening. Kini hanya ia dan impiannya yang tersisa di ruangan terbuka itu. Aroma kapur bercampur bau tanah kering terasa begitu akrab. Ia menatap berkeliling, pada tiang-tiang kayu yang kokoh namun mulai lapuk, pada atap yang di beberapa titik sudah berlubang. Ini memang bukan sekolah. Ini hanyalah tempat singgah.
Namun dalam benaknya, gambaran itu begitu jelas. Sebuah bangunan dengan dinding bata, bukan ruang terbuka seperti ini. Dengan jendela-jendela besar tempat cahaya matahari menari-nari di lantai keramiknya. Sebuah perpustakaan kecil dengan rak-rak penuh buku cerita, tempat imajinasi anak-anak bisa terbang bebas.
Ratri tersenyum penuh keyakinan. Ia tahu jalan ini tidak akan mudah. Tapi melihat binar mata anak-anak itu, ia merasa bisa memindahkan gunung sekalipun. Idealismenya berkobar, menepis segala bisik keraguan.
"Pasti bisa," gumamnya pada angin senja. "Ini bukan sekadar mimpi. Ini adalah janji yang harus aku tunaikan."
Dengan hati yang lapang dan penuh harapan, ia merapikan papan tulisnya, siap menyambut hari esok. Ia belum tahu, bahwa keyakinan sekuat baja pun akan diuji oleh kenyataan yang seringkali tak punya hati.
Bab 2 – Tertekan & Dikhianati
Setelah buang air besar di jamban semipermanen di belakang rumah, Ratri menciduk air dari tempayan untuk membasuh muka. Airnya sedingin es, namun terasa menyegarkan, seolah membilas sisa kantuk dan mengobarkan kembali semangat yang ia bawa tidur semalam. Pagi ini terasa penuh kemungkinan. Hari ini adalah langkah pertamanya yang sesungguhnya: menghadap Kepala Desa, Pak Bismo, untuk meminta izin resmi dan dukungan moril.
Ia sudah menyiapkan segalanya. Proposal sederhana yang ia tulis tangan di tiga lembar kertas folio, daftar nama dua puluh muridnya, dan tentu saja, pidato penuh semangat yang sudah ia latih di depan cermin. Ia yakin, Pak Bismo yang ia kenal ramah dan kebapakan itu akan melihat kemurnian niatnya.
"Mau ke mana, Nduk? Rapi sekali," sapa Ibunya yang sedang menampi beras di teras. Ada nada yang tak bisa dibaca dalam suara itu, bukan dukungan, tapi juga bukan larangan.
"Mau ke kantor desa, Bu. Bicara dengan Pak Lurah soal sekolah," jawab Ratri sambil memakai sandal jepitnya yang paling bagus.
Ibunya hanya menghela napas panjang, lalu kembali fokus pada beras di tangannya. Helaan napas itu sedikit mengusik Ratri, tapi ia segera menepisnya. Orang tua hanya khawatir, pikirnya. Nanti kalau sekolahnya sudah berhasil, Ibu pasti akan jadi orang pertama yang bangga.
Namun, udara di kantor desa terasa jauh lebih dingin daripada air di tempayan rumahnya. Pak Bismo mendengarkan penjelasannya dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya, tetapi matanya tidak menunjukkan minat sedikit pun.
"...jadi, saya hanya butuh izin resmi untuk memakai pendopo itu, Pak. Dan mungkin sedikit pengakuan dari desa, supaya warga lebih percaya," Ratri menutup penjelasannya dengan napas sedikit terengah, hatinya penuh harap.
Pak Bismo bersandar di kursinya, senyumnya masih terpasang. "Ratri, Ratri. Semangatmu itu bagus sekali, saya acungi jempol," katanya dengan nada merendahkan. "Tapi desa ini punya prioritas. Dana desa untuk perbaikan irigasi. Lagi pula, anak-anak itu lebih ada gunanya bantu orang tua mereka di sawah daripada belajar baca tulis yang belum tentu terpakai."
Ratri terkesiap. "Tapi, Pak... ini untuk masa depan mereka."
"Masa depan mereka ya di sawah, Nduk. Seperti bapak-ibunya. Sudah, jangan bikin yang aneh-aneh. Nanti malah jadi omongan," kata Pak Bismo, mengambil setumpuk berkas lain seolah-olah percakapan mereka sudah selesai.
Dunia Ratri seakan berhenti berputar. Penolakan itu begitu telak, begitu tenang, dan justru karena itu rasanya lebih menusuk. Ia keluar dari kantor desa dengan langkah gontai, proposal di tangannya kini terasa seperti kertas sampah. Di depan warung sebelah kantor desa, ia samar-samar mendengar beberapa warga yang sedang mengobrol.
"Anaknya Pak Karto itu, gayanya seperti orang kota saja. Mau bikin sekolah-sekolahan, paling-paling nanti juga minta sumbangan..."
"Iya, mau cari nama saja itu. Biar dibilang pahlawan..."
Setiap kata adalah percikan bara yang mendarat di kulitnya. Terkejut, kecewa, dan tertekan. Tiga perasaan itu bergumul hebat di dadanya. Ia mempercepat langkahnya pulang, berharap bisa menemukan perlindungan di rumah.
Namun, neraka yang sesungguhnya justru menantinya di sana. Bapaknya, yang baru pulang dari sawah, sudah duduk di ruang tengah dengan wajah mengeras. Ibunya berdiri di samping dengan mata berkaca-kaca. Rupanya kabar penolakannya dari kantor desa menyebar lebih cepat dari langkah kakinya.
"Sudah Bapak bilang, hentikan angan-angan kosongmu itu!" bentak Bapaknya, suaranya menggelegar. Ini adalah pertama kalinya Bapak membentaknya sekeras ini. "Kamu membuat malu keluarga! Apa kata orang nanti? Kita ini cuma petani biasa, Ratri, jangan mimpi ketinggian!"
"Tapi, Pak, cita-cita Ratri ini mulia..." isaknya, pertahanannya mulai runtuh.
"Mulia katamu?" sela Ibunya dengan suara bergetar. "Mulia itu kalau kamu tidak membuat orang tuamu ini jadi bahan gunjingan tetangga! Mereka bilang kita tidak bisa mendidikmu! Hentikan semua ini, kami mohon, Nduk..."
Itulah puncaknya. Bukan penolakan kepala desa, bukan pula gunjingan warga yang paling menyakitkan. Melainkan permohonan dari keluarganya sendiri. Orang-orang yang seharusnya menjadi benteng pertahanannya, kini menjadi tembok tertinggi yang harus ia hadapi.
Malam itu, Ratri mengunci diri di kamarnya. Papan tulis kecil yang ia siapkan, tumpukan buku-buku bekas, semuanya tampak mengejeknya. Semangat yang kemarin membuncah laksana api unggun, kini padam disiram dari segala penjuru. Ia memeluk lututnya di sudut kamar yang gelap, merasakan untuk pertama kalinya arti dari berjuang seorang diri. Rasa sepi itu merayap, dingin dan mencekik.
Bab 3 – Tergoda & Ragu
Ratri perhatikan di cermin, lekuk tubuhnya semakin indah, namun keindahan itu kini terasa seperti target yang bersinar di tengah kegelapan. Sebuah ironi yang pahit. Perasaan rumit ini baru muncul sejak tatapan mata lelaki itu menelanjanginya sore tadi, mengubah cermin yang dulu sahabat menjadi hakim yang membuatnya gelisah.
Sudah seminggu sejak penolakan dari kepala desa dan keluarganya. Sekolahnya masih berjalan, meski dengan napas yang tersengal. Jumlah muridnya menyusut setengah, korban dari hasutan orang tua yang takut dianggap melawan aparat desa. Semangat Ratri yang dulu membara kini hanya bara kecil yang ia jaga mati-matian agar tidak padam.
Lalu, Dahlan datang.
Ia muncul seperti anomali di tengah desa. Sebuah mobil hitam mengkilap—jenis yang biasanya hanya dilihat warga di televisi—berhenti tepat di depan pendopo. Keluarlah seorang pria yang sama sekali tidak cocok dengan latar belakang debu dan sengatan matahari Suka Asih. Kemejanya licin, sepatunya berkilat, dan rambutnya tersisir rapi dengan minyak rambut yang aromanya tercium bahkan dari jarak lima meter. Dia adalah Dahlan, putra juragan tanah kaya raya yang memiliki sebagian besar sawah di desa itu.
Selama sisa jam pelajaran, Dahlan hanya berdiri di kejauhan, bersandar pada mobilnya, dan mengamati. Ratri mencoba mengabaikannya, namun ia bisa merasakan tatapan itu. Tatapan yang tidak hanya tertuju pada papan tulis atau anak-anak, tetapi lebih sering kepadanya. Menilai, mengukur, dan bertahan sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Untuk pertama kalinya, Ratri merasa sadar akan lekuk pinggangnya, akan helai rambutnya yang lepas dari ikatan, akan keringat yang membasahi tengkuknya. Ia merasa terusik.
Setelah anak-anak bubar, Dahlan menghampirinya.
"Perjuangan yang sungguh mulia, Mbak Ratri," katanya. Suaranya halus dan terpelajar. "Saya Dahlan. Saya sudah banyak dengar soal semangat Mbak Ratri untuk mencerdaskan anak-anak desa."
Ratri hanya mengangguk kaku, bingung harus merespons bagaimana.
"Sayang sekali tempatnya kurang layak, ya?" lanjut Dahlan, matanya menyapu kondisi pendopo dengan tatapan yang pura-pura prihatin. "Dan saya dengar, Pak Lurah juga kurang mendukung?"
Hati Ratri mencelos. Pria ini tahu segalanya. Ia merasa telanjang, semua kegagalan dan keputusasaannya terpampang jelas di hadapan orang asing ini.
"Saya... saya hanya berusaha semampu saya, Mas," jawab Ratri pelan.
Dahlan tersenyum. Senyum yang lihai. "Bagaimana kalau saya bantu? Saya bisa sediakan papan tulis baru, buku-buku, bahkan saya bisa bicara pada Pak Lurah. Orang seperti saya, biasanya didengar oleh beliau."
Tawaran itu bagai setetes air di tengah gurun. Inilah semua yang ia butuhkan. Validasi, dukungan, bantuan nyata. Sebagian dari dirinya merasa tersanjung. Akhirnya, ada orang yang melihat nilai dari usahanya. Namun, sebagian lagi dari dirinya berteriak waspada. Cara Dahlan menatapnya saat mengucapkan itu—intens, posesif—membuat perutnya mulas. Ada udang di balik batu, dan ia merasa udang itu sangat besar.
Kini, di dalam kamarnya yang sempit, perasaan itu kembali menghantuinya. Ia menatap pantulan dirinya di cermin retak itu sekali lagi. Pantulan seorang gadis desa sederhana yang dipaksa sadar bahwa kecantikan yang baru disadarinya bisa menjadi pedang bermata dua: sebuah anugerah sekaligus sebuah umpan. Godaan itu menyiksanya, mengacaukan fokusnya, membuatnya bingung antara harapan dan kecurigaan.
Bab 4 – Goyah & Dihantui Gosip
Kentut. Bunyinya tertahan tapi nyaring, khas suara orang yang berusaha sekuat tenaga menahannya namun gagal. Di tengah riuh rendah pasar desa yang padat, suara itu berhasil menciptakan jeda hening sesaat, sebelum disusul oleh tawa tercekik dan orang-orang yang saling pandang sambil menutup hidung.
Ratri, yang sedang menawar harga kangkung, ikut tersenyum tipis. Namun senyumnya langsung membeku saat jeda aneh itu membuat sebuah percakapan dari dua ibu di belakangnya terdengar lebih jelas.
"Lihat itu si Ratri," bisik salah satunya, yang Ratri kenali sebagai Bu Wati. "Sekarang gayanya makin hebat. Pantas saja sekolahnya masih jalan, yang nyokong mobilnya hitam mengkilap."
"Hussh," sahut temannya, yang bernama Tinah, pura-pura memilih cabai. "Tapi memang iya, lho. Kemarin sore aku lihat si Dahlan itu datang lagi ke pendopo. Mana tatapannya itu, lho, lengket sekali ke si Ratri."
Bu Wati mendecak sinis. "Halah, namanya juga janda ketemu perawan desa."
Bu Tinah mengerutkan kening, bingung. "Janda? Maksudmu Dahlan? Dia kan laki-laki."
"Ya ampun, Tinah, kamu ini polos sekali," sahut Bu Wati, menurunkan suaranya seolah berbagi rahasia besar. "Dia itu kan duda kaya raya. Tapi kelakuannya itu, lho, lebih genit dari janda gatal mana pun. Suka sekali menggoda gadis-gadis muda yang bisa 'dijaga'. Predator, kalau kata orang kota."
Mata Bu Tinah langsung membulat, pemahaman baru yang jahat kini terlintas di wajahnya. Ia manggut-manggut, lalu ikut menatap Ratri dengan pandangan yang kini penuh penghakiman. "Oalah, begitu... Kalau begitu, pintar si Ratri cari jalan pintas, ya. Kita yang susah payah banting tulang, dia tinggal senyum sedikit, langsung jadi..."
Cukup. Ratri tidak sanggup mendengar lebih lanjut. Kepalanya mendadak pening. Udara di sekitarnya yang tadinya beraroma terasi dan sayuran segar, kini terasa busuk, lebih busuk dari sumber suara tadi. Ia merasa semua mata di pasar kini tertuju padanya, menuduh, menghakimi. Tangannya gemetar saat menyerahkan uang pada penjual kangkung, sampai beberapa lembar uang lecek terjatuh ke tanah. Dengan wajah memerah, ia memungutnya dan bergegas pergi, tak peduli pada panggilan si penjual yang mengingatkan kembaliannya.
Sepanjang jalan pulang, setiap kata dari gunjingan itu terngiang-ngiang seperti lebah yang berdengung di telinganya. Rapuh. Ia merasa seperti kendi tanah liat yang retak, siap pecah berkeping-keping hanya dengan satu sentuhan lagi. Cemas. Ia terus menunduk, takut bertemu pandang dengan tetangga, takut melihat cemoohan di mata mereka.
Namun di atas semua itu, yang paling dominan adalah rasa marah. Bukan marah pada para penggunjing itu, melainkan marah pada dirinya sendiri.
"Bodoh! Kenapa juga aku memberinya kesempatan?" desisnya pada diri sendiri, tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Ia marah karena sempat merasa tersanjung oleh pujian Dahlan. Ia marah karena sempat menimbang-nimbang tawaran bantuan pria itu. Ia marah karena telah memberi celah, sekecil apa pun, bagi niat busuk untuk menyusup ke dalam perjuangannya yang ia kira suci. Ia merasa telah mengkhianati dirinya sendiri.
Kondisi bimbang kini mencengkeramnya lebih kuat dari sebelumnya. Di satu sisi, gosip ini membuatnya ingin lari sejauh mungkin dari Dahlan dan membuktikan bahwa ia bisa berdiri sendiri. Di sisi lain, keputusasaan berbisik bahwa mungkin dengan menerima bantuan Dahlan dan membangun sekolah yang nyata, ia justru bisa membungkam mulut semua orang.
Ia tiba di pendopo dengan jiwa yang goyah. Beberapa muridnya yang paling setia sudah menunggunya. Ia mencoba tersenyum, mencoba mengajar seperti biasa. Tapi bayangan tatapan Dahlan dan bisikan Bu Wati terus menghantuinya, membuat setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa hambar dan penuh kepalsuan.
Bab 5 – Dilema Besar
Laba-laba jaring corong sibuk merajut perangkapnya di sudut pendopo. Ratri memperhatikannya dengan napas tertahan. Gerakannya begitu teliti, begitu sabar, setiap helai benang sutra ditarik dengan tujuan yang mematikan. Sebuah karya seni yang indah sekaligus mengerikan. Sama seperti tawaran yang terus diulang-ulang oleh Dahlan dalam seminggu terakhir.
Sekolahnya kini berada di ambang kematian. Gosip itu bekerja lebih efektif daripada larangan kepala desa. Dari dua puluh murid, kini yang tersisa hanya lima anak paling nekat. Bangku-bangku pinjaman satu per satu telah diambil kembali oleh pemiliknya dengan berbagai alasan canggung. Hari ini, kelima muridnya duduk di atas lantai tanah yang dingin, menulis di atas paha mereka sendiri. Hati Ratri terasa seperti diiris sembilu melihatnya.
Setelah anak-anak yang tersisa itu pulang, Ratri tidak langsung beranjak. Ia hanya duduk termenung di tengah pendopo yang kosong dan sunyi. Impiannya yang dulu terasa begitu besar dan megah, kini tampak menyedihkan dan rapuh. Ia takut kehilangannya. Rasa takut itu begitu dingin, merayap hingga ke tulang.
"Saya lihat, semangat Mbak Ratri mulai padam."
Suara halus itu membuatnya tersentak. Dahlan sudah berdiri di sana, bersandar pada salah satu tiang, entah sejak kapan. Hari ini ia tidak datang dengan mobilnya, melainkan berjalan kaki, membuatnya tampak sedikit lebih membumi, sedikit lebih tidak mengancam. Itu adalah taktik yang cerdas.
"Semua butuh fondasi yang kuat, Ratri. Termasuk cita-cita," lanjutnya, melangkah pelan mendekat. "Dan saya datang untuk menawarkan fondasi itu."
Ratri hanya diam, hatinya berdebar waspada.
Dahlan berhenti di hadapannya. Tatapannya lurus dan untuk pertama kalinya, tampak serius. "Saya akan bangunkan gedung sekolah permanen di atas tanah milik saya di ujung desa. Dua ruang kelas, satu kantor kecil, lengkap dengan meja, kursi, papan tulis, dan buku-buku baru. Semua yang kamu impikan."
Tawaran itu begitu nyata, begitu detail, hingga Ratri bisa melihatnya dengan jelas di benaknya. Anak-anak berlarian di halaman sekolah sungguhan. Tawa mereka menggema di antara dinding bata. Air mata nyaris jatuh dari pelupuknya. Inilah jawaban dari segalanya. Tapi ia tahu, jawaban ini datang dengan sebuah pertanyaan.
"Kenapa...?" hanya itu kata yang sanggup keluar dari bibirnya yang bergetar. "Kenapa Mas Dahlan mau melakukan ini semua?"
Dahlan tersenyum tipis, senyum seorang pemenang. "Saya seorang pengusaha, Ratri. Saya tidak pernah memberi tanpa imbalan. Saya ingin membangun masa depan desa ini," ia berhenti sejenak, tatapannya kini turun, mengunci mata Ratri dengan intensitas yang membuat Ratri sulit bernapas. "...dan saya ingin kamu yang menemaniku membangunnya."
"Maksudnya?" bisik Ratri.
"Saya ini duda, butuh seorang pendamping. Tapi citra saya tidak boleh rusak," kata Dahlan, kini suaranya lebih pelan, lebih personal. "Jadilah istri saya. Cukup nikah siri, tidak perlu ada yang tahu selain orang kepercayaan saya. Sekolah itu, anggap saja sebagai mahar dari saya untukmu."
Dunia Ratri runtuh. Udara di paru-parunya seakan tersedot habis. Terjepit. Ia merasa seperti serangga yang akhirnya terperangkap di tengah jaring laba-laba. Di satu sisi ada kehancuran cita-citanya, membiarkan lima anak itu kembali ke jalanan. Di sisi lain, ada sebuah tawaran yang akan menghancurkan martabat dan harga dirinya, mengubahnya menjadi perempuan simpanan di balik topeng pernikahan suci.
Malam-malamnya setelah hari itu penuh dengan air mata dan doa yang bisu. Ia memeluk lututnya di kegelapan kamar, galau dan terkoyak. Menyelamatkan sekolah dengan mengorbankan dirinya, atau menyelamatkan dirinya dengan mengorbankan impian puluhan anak. Setiap pilihan terasa seperti kutukan.
Bab 6 – Tegas & Sendirian
Ratri berusaha keras mencabut bulu hidungnya yang mencuat sehelai. Dengan pinset berkarat di depan cermin retak, ia mencoba beberapa kali, namun rambut itu seolah menancap kokoh di akarnya. Ia menarik napas, memejamkan mata, dan menyentaknya dengan sekali gerakan cepat.
Sakitnya tajam dan menusuk. Air mata langsung menggenang di pelupuknya, sebuah reaksi refleks yang tak bisa ia tahan. Saat setetes air mata itu akhirnya jatuh membasahi pipi, Ratri sadar, ia tidak menangis karena rasa sakit di hidungnya. Ia menangis untuk sekolahnya, untuk anak-anaknya, untuk martabatnya yang nyaris ia gadaikan. Rasa sakit yang singkat dan jujur dari pinset itu seolah menjernihkan segalanya. Rasa sakit karena menjual diri akan bertahan selamanya, busuk dan tak terlihat. Di depan pantulan wajahnya yang basah oleh air mata, ia mengambil keputusan.
Ia mengirim pesan singkat lewat seorang anak kecil yang kebetulan lewat, meminta Dahlan menemuinya di pendopo sore itu juga. Ia tidak akan bersembunyi. Ia akan menghadapi ini dengan kepala tegak.
Dahlan datang dengan senyum di wajahnya, senyum seorang pria yang yakin akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia melihat Ratri berdiri sendirian di tengah pendopo yang kosong, dan keyakinannya semakin besar.
"Sudah kamu pikirkan baik-baik, Ratri?" tanyanya lembut, seolah sedang bicara pada anak kecil.
Ratri menatap lurus ke matanya, mencari semua sisa keberanian yang ia miliki. "Sudah, Mas Dahlan."
"Bagus. Jadi kapan kita bisa..."
"Saya menolak tawaran Anda," potong Ratri, suaranya tidak keras, namun tegas dan final.
Senyum di wajah Dahlan membeku, lalu perlahan luntur digantikan ekspresi tak percaya. "Apa katamu?"
"Terima kasih atas niat baik Anda untuk sekolah ini," lanjut Ratri, "tapi saya tidak akan membangunnya di atas reruntuhan harga diri saya. Sekolah ini lahir dari niat yang suci, dan saya tidak akan mengotorinya."
Untuk sesaat, Dahlan terdiam. Lalu, tawa dingin yang mengerikan keluar dari mulutnya. Tawa yang penuh cemoohan. "Harga diri? Jangan naif, Ratri! Kamu pikir harga dirimu itu bisa memberi makan anak-anak itu? Bisa membeli buku untuk mereka?"
Wajahnya berubah menjadi kejam, topeng ramahnya telah sepenuhnya terlepas. "Kamu akan menyesal telah menolak saya. Saya akan pastikan tidak ada satu orang pun di desa ini yang akan membantumu. Lihat saja, tempat ini akan benar-benar jadi sarang laba-laba. Dan kamu, kamu akan jadi perawan tua yang dilupakan semua orang karena kesombonganmu!"
Ratri tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, menerima setiap kata kasar itu seperti tamparan. Ia berani, tapi di dalam hatinya hancur berkeping-keping.
Ancaman Dahlan bukan gertakan sambal. Dalam dua hari, lima murid terakhirnya dilarang datang oleh orang tua mereka setelah diintimidasi oleh orang suruhan Dahlan. Pendopo itu resmi kosong. Reputasinya di desa hancur total; ia dicap sebagai gadis sombong dan tidak tahu berterima kasih. Di rumah, Bapak dan Ibunya tidak lagi marah, mereka hanya menatapnya dengan kekecewaan yang dalam, yang terasa jauh lebih menyakitkan.
Kesepian kini menjadi selimutnya setiap malam. Ia telah kehilangan segalanya: sekolahnya, nama baiknya, bahkan dukungan keluarganya. Ia sendirian. Benar-benar sendirian dalam kegelapan yang ia ciptakan sendiri. Namun di tengah reruntuhan hatinya, di dasar keputusasaan itu, ada sebuah api kecil yang menolak untuk padam. Api itu berbisik lirih, "Kau kehilangan mimpimu, tapi kau tidak kehilangan dirimu."
Bab 7 – Bangkit & Teguh
Sebagai wanita normal yang telah beranjak dewasa, jujur, Ratri sesungguhnya merindukan kehadiran seorang pria. Bukan kehadiran Dahlan yang penuh siasat, tapi kehadiran tulus seorang kawan seperjuangan. Seseorang yang bisa memberinya sandaran bahu saat ia lelah, yang akan menggenggam tangannya di tengah kegelapan dan berkata, "Kamu tidak sendirian." Di malam-malam yang paling sunyi, di puncak keputusasaannya, fantasi sederhana itu adalah satu-satunya kemewahan yang ia izinkan untuk dirinya sendiri.
Namun, saat fajar menyingsing di hari ketiga setelah sekolahnya resmi mati, sebuah kesadaran menghantamnya dengan keras. Menunggu seorang pahlawan, menunggu restu dari penguasa seperti Pak Lurah, atau menunggu bantuan dari orang kaya seperti Dahlan, adalah sumber dari semua kerapuhannya. Ia selama ini mendongak ke atas, mencari pertolongan dari puncak piramida sosial desa. Padahal, kekuatan sejati sebuah bangunan tidak terletak di puncaknya, melainkan pada fondasinya.
Hari itu, Ratri tidak lagi menatap ke atas. Ia mulai menatap ke sekelilingnya.
Ia tidak pergi ke pendopo yang kini sepi. Ia berjalan ke pancuran umum di ujung desa, tempat para ibu berkumpul setiap pagi untuk mencuci pakaian sambil bertukar cerita. Ia tidak datang sebagai "Bu Guru Ratri", ia datang sebagai Ratri, anak Pak Karto, tetangga mereka.
Ia melihat Bu Ningsih, ibu dari Laras, muridnya yang paling pintar. Wanita itu tampak murung saat membilas cuciannya. Ratri mendekat, duduk di salah satu batu di sebelahnya.
"Cucian banyak sekali, Bu," sapa Ratri, memulai dengan basa-basi yang paling wajar.
Bu Ningsih tersenyum letih. "Begitulah, Nduk. Oh ya, Laras sekarang murung terus di rumah. Katanya kangen belajar sama kamu."
Hati Ratri menghangat. Inilah celah itu. "Saya juga kangen mengajar Laras, Bu," katanya tulus. "Begini saja, Bu. Saya tidak akan buka 'sekolah' lagi, nama itu sudah bikin banyak masalah. Tapi, kalau Ibu tidak keberatan, suruh saja Laras main ke teras rumah saya sore nanti. Saya punya satu buku cerita bergambar yang baru. Kita bisa baca-baca, iseng saja, anggap saja main seperti biasa."
Tidak ada paksaan. Tidak ada proposal. Hanya sebuah undangan tulus untuk bermain sambil belajar. Bu Ningsih menatap Ratri, melihat kejujuran di matanya, lalu mengangguk pelan. "Baiklah, Nduk. Nanti saya sampaikan."
Sore itu, Laras datang dengan malu-malu. Lima menit kemudian, ia membawa serta Dani, temannya. Rupanya kabar menyebar dari mulut kecil mereka. Besoknya, datang empat anak. Lusa, tujuh. Mereka tidak lagi belajar di pendopo yang politis itu, melainkan di teras sempit rumah Ratri, duduk beralaskan tikar pandan yang sudah usang.
Gerakan itu dimulai dari bawah, dari orang-orang kecil yang seringkali diremehkan. Seminggu kemudian, Bu Ningsih datang membawakan sepiring singkong rebus untuk anak-anak. Seorang ibu lain, yang anaknya juga ikut belajar, menawarkan teras rumahnya yang lebih luas jika hujan. Perjuangan itu tidak lagi milik Ratri seorang; ia telah menjadi milik bersama.
Ratri jauh lebih lelah dari sebelumnya. Ia harus membagi waktu antara sawah dan mengajar kelompok-kelompok kecil ini. Tapi kelelahan ini terasa berbeda. Ini adalah lelah yang memuaskan. Saat ia menatap wajah-wajah mungil yang serius mengeja kata di teras rumahnya, dikelilingi oleh para ibu yang ikut mengawasi, ia kembali menemukan kekuatannya. Ia tidak lagi sendiri. Ia sedang dipeluk, bukan oleh lengan satu orang pria, tapi oleh denyut nadi sebuah komunitas kecil yang berani berharap bersamanya. Ia tegar, terbakar oleh semangat baru yang lebih jujur dan lebih kuat dari sebelumnya.
Bab 8 – Lega & Tersenyum Pahit
Sebutir biji padi jatuh dari tampah yang digerakkan ibunya, menggelinding sejenak sebelum diam di atas tikar pandan. Ratri memungutnya. Butiran kecil itu terasa padat di ujung jarinya; sebuah kehidupan mungil yang penuh potensi, hasil dari kerja jujur di bawah terik matahari. Ia menatap bulir padi itu, lalu pada tumpukan beras di hadapannya. Proses yang panjang, sabar, dan bersih. Sangat berbeda dengan jalan pintas yang pernah ditawarkan padanya.
Hubungannya dengan orang tuanya perlahan membaik. Gerakan belajar kecil-kecilan di teras rumahnya tidak lagi mengundang kontroversi. Bapak dan Ibunya, meski masih menyimpan kekecewaan, melihat kesungguhan Ratri yang berbeda dari sebelumnya. Ini bukan lagi idealisme yang meledak-ledak, melainkan ketekunan yang sunyi.
Tiba-tiba, dari ujung jalan terdengar keributan. Bu Tinah, wanita yang dulu ikut menggunjingkannya di pasar, berlari-lari kecil dengan napas terengah-engah. Wajahnya penuh dengan keterkejutan dan—Ratri bisa melihatnya dengan jelas—kepuasan yang tak tertahankan.
"Ratri! Bu Karto! Sudah dengar belum?!" serunya dari ambang pintu. "Dahlan! Dahlan ditangkap polisi!"
Ratri dan Ibunya saling pandang. Tampah di tangan Ibunya berhenti bergerak.
"Ditangkap kenapa?" tanya Ibu waspada.
"Katanya korupsi proyek pembangunan di kota! Uangnya miliaran! Tadi pagi-pagi, polisi datang ke rumahnya yang besar itu. Mobil hitamnya disegel! Orangnya langsung dibawa, diborgol!" cerita Bu Tinah dengan semangat, matanya berapi-api.
Kabar itu menyebar secepat api di musim kemarau. Seluruh desa berdengung. Pria yang pernah menjadi simbol kekuasaan dan ancaman, kini menjadi buah bibir yang paling renyah.
Ratri merasakan gelombang kelegaan yang luar biasa menjalari tubuhnya. Ancaman itu telah sirna. Perjuangan sunyinya tidak lagi berada di bawah bayang-bayang predator yang menunggu kesempatan. Ada rasa puas yang jujur saat mendengar keangkuhan akhirnya menemui batunya. Tuhan tidak tidur.
Namun, di balik rasa lega itu, muncul perasaan lain yang aneh. Getir. Ia membayangkan wajah Dahlan, bukan saat menghinanya, tapi saat pertama kali menawarkan bantuan. Ia mengingat kepercayaan diri pria itu, ambisinya yang meluap-luap. Kini semua itu runtuh. Ratri tiba-tiba merasa iba. Ia sadar, ambisi yang tidak terkendali bukanlah kekuatan, melainkan penyakit yang perlahan-lahan menggerogoti jiwa pemiliknya hingga hancur. Dahlan bukanlah monster, ia hanyalah manusia yang kalah oleh nafsunya sendiri.
"Syukurlah, Nduk. Gusti Allah melindungi kamu," bisik Ibunya sambil mengelus pundak Ratri.
Ratri hanya tersenyum tipis. Senyum yang pahit. Ia memang telah menang, tetapi ia tidak merasakan euforia kemenangan. Kejatuhan seorang manusia, bahkan musuh sekalipun, bukanlah sebuah perayaan.
Malam harinya, saat ia menatap hamparan sawah yang sunyi di bawah cahaya bulan, ia tidak mengutuk Dahlan. Sebaliknya, dari sudut hatinya yang paling dalam, ia justru mendoakannya. Bukan agar ia bebas, tapi agar di dalam selnya yang sempit, ia bisa menemukan kembali jalan yang benar dan berubah menjadi manusia yang lebih baik.