Udara malam bulan Maret masih menyimpan sisa kelembapan. Aroma melati dari halaman depan menusuk hidungku, beradu dengan aroma pekat kopi pahit yang menguar dari cangkir Ibu di ruang tamu. Aku, Darwis, baru saja menyelesaikan salat Isya, namun kekosongan di dada terasa lebih pekat dari biasanya. Ijazah sarjana yang baru kuraih terasa hampa di tangan, tak sebanding dengan beban yang kini membelit.
“Darwis, kemari!” Suara Ibu menusuk. Keras dan tak terbantahkan, seperti biasa.Aku melangkah mendekat, jantung berdebar. Ibu duduk tegak di sofa usang, tatapannya tajam menembusku. Di tangannya tergenggam selembar foto yang sudah agak kusam. Jemarinya menunjuk sebuah potret perempuan berkebaya merah, senyumnya tipis dan misterius.“Ini Warti,” kata Ibu, tanpa basa-basi. “Teman arisan Ibu. Janda kaya. Dan Ibu sudah berjanji padanya kalau kamu bersedia menikahinya.”Dunia di sekelilingku seolah runtuh. Menikahi? Kata itu bergaung di kepalaku, menabrak semua ajaran yang selama empat tahun ini kuresapi. Kyai Abdul Hamid, guru spiritualku, selalu menekankan bakti pada orang tua di atas segalanya. "Ridha orang tua adalah ridha Allah," bisiknya dulu, dan kalimat itu terpatri kuat dalam benakku. Tapi ini? Menikahi seorang janda yang bahkan tak kukenal, hanya karena sebuah janji yang dibuat Ibu?Tenggorokanku tercekat. Aku ingin melawan, menjeritkan keberatanku. Aku sarjana, lulusan terbaik, tapi nasibku seolah ditentukan dalam sekejap mata. Namun, setiap kali kuangkat kepala, tatapan Ibu seolah mengunci setiap perlawanan. Lingkaran ketaatan ini terasa seperti jerat.“Bu… aku baru lulus. Aku bahkan belum punya pekerjaan tetap,” ujarku, mencoba mencari celah untuk bernapas.Tatapan Ibu semakin mengeras. “Kamu mau jadi anak durhaka? Ibu sudah janji, Darwis. Dia wanita baik-baik, usianya memang empat puluh, tapi dia terawat dan mandiri. Ibu hanya ingin kamu bahagia, punya pendamping hidup yang mapan.”Kata 'durhaka' bagai cambuk yang melecut nuraniku. Kepalaku menunduk, pasrah. Bagi Ibu, pilihannya tak pernah dua. Hanya ada satu: patuh.Namun, ada bisikan lain di benakku yang tak bisa kutampik. Beberapa tahun terakhir, naluri mudaku mulai bergejolak. Hasrat biologis sebagai seorang pria dewasa, yang selama ini kutahan dengan fokus pada studi dan didikan agama yang ketat, semakin menuntut untuk disalurkan. Kyai Abdul Hamid selalu mengajarkan bahwa pernikahan adalah jalan paling halal dan mulia untuk memenuhi fitrah manusia. Mungkin, ini memang jalan yang ditunjukkan Tuhan. Mungkin, di balik perjodohan aneh ini, tersimpan sebuah hikmah. Seorang istri, tak peduli siapa dia, setidaknya akan memberikan jalan untuk memenuhi kebutuhan alamiah ini secara syar'i.Dan aku, yang dididik untuk tunduk pada orang tua, serta didorong oleh hasrat yang tak lagi bisa kutahan, hanya bisa menghela napas panjang. Aku menerima.Pernikahan itu berlangsung cepat, nyaris tanpa perayaan berarti. Teman-teman kuliahku datang, mengucapkan selamat dengan riuh. Mereka tak tahu, di balik senyum kaku yang kuberikan, ada jurang kebingungan yang menganga.Saat akad nikah, untuk pertama kalinya aku menatap Warti dalam balutan kebaya putih dan riasan pengantin. Dia memang cantik, parasnya terawat, kulitnya bersih tanpa noda. Usia empat puluh tak mengurangi pesonanya. Mataku tanpa sadar menelusuri lekuk tubuhnya yang molek di balik kain kebaya, membayangkan indahnya beristrikan wanita ini, memenuhi setiap hasrat yang selama ini kupendam. Ada percikan harapan yang tiba-tiba muncul, mungkin pernikahan ini tidak seburuk yang kubayangkan.Harapan itu, ternyata, hanya serapuh kabut pagi.
Bab 2Aturan MainHarapan itu hancur bahkan sebelum fajar sempat menyingsing. Malam itu, di kamar pengantin yang seharusnya menjadi saksi bisu awal sebuah perjalanan, Warti menatapku. Bukan dengan tatapan penuh gairah seperti yang kubayangkan, melainkan dengan sorot mata yang tenang dan sulit kumengerti. Kamar itu sendiri terasa asing, luas dan mewah, dengan aroma vanila lembut yang menguar dari sudut ruangan. Semua ini bukan duniaku.“Darwis,” suaranya lembut, nyaris berbisik, namun terasa lebih dingin dari lantai marmer di bawah kakiku. “Bisakah kamu tidur di kamar sebelah saja malam ini? Aku… butuh sedikit privasi.”Aku tercekat. Hasrat yang tadi sempat membuncah kini terasa membeku. “Maaf, tapi… apa maksudmu, Warti? Kita ini suami-istri.”“Aku tahu,” jawabnya tanpa ragu. “Tapi aku belum terbiasa. Tidur di kamar terpisah akan lebih baik untuk kita, untuk sementara waktu.”Jantungku berdegup kencang, bukan karena gairah, melainkan karena kekecewaan yang mendalam. Ini bukan yang kubayangkan. Harapanku untuk menyalurkan hasrat biologis secara halal, harapan yang membuatku rela tunduk pada Ibu, kini pupus begitu saja. Rasa penasaran bercampur kecewa membuncah, digantikan oleh rasa sesak di dada. Syahwatku yang tadi menggebu, kini harus kutahan, tersiksa dalam kepasrahan yang pahit.Pagi datang tanpa permisi. Aku terbangun di kamar tamu dengan perasaan hampa, punggungku pegal karena tidur di sofa yang keras. Dengan langkah gontai, aku keluar dari kamar. Aroma kopi yang pekat dan harum menyapaku dari arah dapur. Di sana, di depan kompor modern yang berkilauan, Warti berdiri membelakangiku. Ia hanya mengenakan daster satin berwarna biru tua yang longgar, namun kain itu seolah menari di setiap lekuk tubuhnya yang masih kencang.Sesaat aku terpaku. Pemandangan domestik yang begitu sederhana itu justru membangkitkan badai dalam diriku. Inilah istriku. Pemandangan ini seharusnya menjadi milikku setiap pagi.“Sudah bangun?” Suara Warti memecah lamunanku. Ia berbalik sambil membawa dua cangkir kopi. Tak ada ekspresi canggung atau bersalah di wajahnya. Ia tersenyum tipis, senyum yang sama seperti di foto—indah namun tak bisa kuraih.“Duduklah, Darwis. Ada yang perlu kita bicarakan,” katanya, meletakkan secangkir kopi di depanku di meja makan.Aku menurut seperti kerbau dicucuk hidungnya. Jantungku berdebar, berharap ia akan meminta maaf atas kejadian semalam.“Begini,” Warti memulai setelah menyesap kopinya, tatapannya lurus dan tajam. “Aku ingin kita menyepakati beberapa aturan main dalam pernikahan ini agar semuanya berjalan lancar.”Alisku terangkat. “Aturan main?”“Betul. Pertama, di depan umum, terutama di depan teman-temanku dan ibumu, kita adalah pasangan suami-istri yang mesra. Kamu adalah suamiku, aku istrimu. Kamu harus menemaniku ke kondangan, arisan, atau acara apa pun yang kuminta.”Aku mengangguk pelan. Itu terdengar wajar.“Kedua,” lanjutnya, dan kali ini nadanya lebih tegas. “Di dalam rumah ini, kita hidup masing-masing. Kamarmu di sana, kamarku di sini. Tidak ada kontak fisik, tidak ada urusan ranjang. Anggap saja kita teman serumah.”Harapan naifku langsung layu dan rontok seketika. “Apa maksudmu? Warti, kita sudah menikah. Sah. Akad yang kuucapkan itu bukan main-main.”Warti tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit nada meremehkan. “Aku tahu. Dan aku berterima kasih kamu sudah bersedia. Tapi kesepakatan awalku adalah dengan ibumu, bukan denganmu. Aku butuh status, dan kamu butuh membahagiakan ibumu. Anggap saja ini simbiosis mutualisme.”“Tapi ini tidak benar! Ini menyalahi kodrat!” suaraku mulai meninggi.“Sudah,” potongnya cepat. “Dengar, Darwis. Kamu sarjana, kan? Coba berpikir logis. Kamu tinggal di rumahku, makan dari uangku, bahkan kopi yang kamu minum ini aku yang beli. Sampai kamu bisa menafkahiku lahir dan batin sepenuhnya, kurasa kamu tidak punya posisi untuk menuntut apa pun.”Setiap kata-katanya adalah tamparan telak bagi harga diriku. Aku, sarjana lulusan terbaik, kini tak lebih dari seorang parasit yang menumpang hidup pada seorang janda. Mulutku terkunci rapat, tak mampu membalas. Pernikahan ini ternyata bukan sekadar perjodohan. Ini adalah penjara.
Bab 3Ibu sebagai DuriHari-hari berikutnya berlalu dalam rutinitas yang menyiksa. Di luar rumah, aku adalah suami muda yang beruntung, mendampingi Warti ke berbagai acara sosial dengan senyum terpaksaku. Namun begitu kami melintasi gerbang rumah, kami kembali menjadi dua orang asing yang berbagi atap. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku di kamar tamu, berpura-pura sibuk mencari lowongan pekerjaan di laptop, padahal kenyataannya aku hanya melarikan diri dari tatapan mata Warti yang penuh kemenangan.Penderitaanku semakin lengkap dengan kehadiran Ibu. Beliau yang kini ikut tinggal bersama kami, sama sekali tidak menyadari sandiwara ini. Baginya, pernikahan ini adalah sebuah kesuksesan besar, sebuah bukti bahwa baktiku telah membuahkan hasil yang manis.Suatu sore, saat kami bertiga duduk di ruang keluarga yang mewah, Ibu memulai ceramahnya. Warti baru saja pulang dari salah satu butiknya, membawa serta beberapa tas belanjaan yang ia letakkan begitu saja di atas meja.“Lihat, Darwis, beruntungnya kamu punya istri seperti Warti,” kata Ibu sambil menatap Warti dengan penuh kekaguman. “Sudah cantik, mandiri, sukses pula. Kamu harus banyak bersyukur, Nak. Tidak semua laki-laki seberuntung kamu.”Aku hanya bisa tersenyum kecut. “Iya, Bu. Darwis sangat bersyukur.”Di seberangku, Warti tersenyum lembut pada Ibu. “Ah, Ibu bisa saja. Ini semua juga berkat doa Ibu.” Jawabannya begitu manis dan sopan, membuatku muak. Ia adalah aktris yang hebat.Ibu kemudian mengalihkan pandangannya padaku, sorot matanya berubah menjadi penuh selidik. “Kamu juga, Darwis, jangan hanya mengurung diri terus di kamar. Malu sama istrimu. Dia banting tulang kerja, kamu malah enak-enakan. Cepat cari kerja, tunjukkan kalau kamu itu laki-laki yang bertanggung jawab.”Setiap kata Ibu terasa seperti duri yang menusuk telingaku. Aku ingin berteriak, menjelaskan bahwa aku terkurung bukan karena malas, tapi karena dipermalukan. Aku ingin mengatakan bahwa wanita yang ia puji-puji itulah yang telah membangun tembok penjara ini. Tapi aku tidak bisa. Mengatakannya pada Ibu berarti membuka aib rumah tanggaku sendiri, sekaligus melanggar aturan main yang ditetapkan Warti. Aku terjebak.“Darwis sedang berusaha kok, Bu,” sahut Warti tiba-tiba, nadanya terdengar begitu membela. “Biarkan saja dulu, mungkin dia butuh waktu untuk beradaptasi. Saya tidak keberatan, kok.”Pembelaannya yang palsu itu justru terasa lebih menghina daripada omelan Ibu. Ia sengaja memposisikan dirinya sebagai istri yang sabar dan pengertian, sementara aku adalah suami yang tidak berguna dan menjadi beban.Aku hanya bisa menunduk, menatap ujung sepatuku sendiri. Di dalam sangkar emas ini, ternyata sipir penjaraku bukan hanya satu, melainkan dua. Satu orang menyiksaku dengan aturan-aturannya yang dingin, dan yang satu lagi menyiksaku dengan ekspektasinya yang buta.
Bab 4Siksaan HarianSejak hari itu, dimulailah siksaan harianku. Warti seolah tidak menyadari—atau mungkin sengaja tidak peduli—bahwa kehadirannya di setiap sudut rumah adalah neraka sekaligus surga bagiku. Ia adalah pemandangan indah yang haram untuk disentuh, sebuah hidangan lezat yang terlarang untuk dicicipi.Pagi hari, ia akan berjalan melewatiku dari arah dapur dengan daster satin tipisnya, membawa aroma kopi yang pekat. Kain itu, meskipun longgar, seolah hidup dan menari mengikuti setiap lekuk tubuhnya yang terawat, membangkitkan badai dalam diriku. Ia akan menyapaku dengan senyum tipis, "Sarapan sudah siap," seolah kami adalah teman serumah biasa, bukan suami-istri yang berbagi ranjang terpisah.Siksaan berlanjut di siang hari. Terkadang, saat aku sedang terpaku di depan laptop di ruang tengah, ia akan melintas dengan hanya berbalut handuk tebal, rambutnya yang basah digulung ke atas. Wangi sabun bunga yang menusuk hidung dan pemandangan bahunya yang mulus membuat imajinasiku berlari liar. Aku harus menelan ludah dan memaksa mataku kembali menatap layar, berpura-pura tidak melihat, sementara jantungku berdebar tak karuan.Puncaknya adalah di sore hari. Warti memiliki kebiasaan melakukan yoga di teras belakang. Dari jendela kamarku, aku bisa melihatnya dengan jelas. Setiap gerakan peregangan yang ia lakukan, setiap lekuk tubuhnya yang lentur dan kencang saat ia menahan sebuah pose, menjadi sebuah pertunjukan menyiksa yang tak bisa kuhindari. Ia adalah istriku, halal bagiku, namun terasa lebih jauh dari bintang di langit.Aku mencoba menyibukkan diri. Membaca buku-buku tebal, melamar pekerjaan secara online, bahkan mencoba menulis beberapa artikel. Tapi konsentrasiku selalu buyar setiap kali bayangannya melintas. Hasrat yang selama ini berhasil kutekan dengan dalih kesucian dan fokus pada studi, kini memberontak dengan hebat. Aku merasa seperti singa yang dikurung dalam sangkar, sementara di luar sana sepotong daging segar sengaja diayun-ayunkan di depan matanya.Ini bukan sekadar pernikahan tanpa cinta. Ini adalah penjara yang dirancang dengan sempurna untuk menyiksa batinku. Sebuah sangkar emas yang indah, di mana aku terperangkap, tersiksa oleh bayang-bayang kebahagiaan yang tak akan pernah menjadi nyata. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan. Kesabaranku menipis setiap detiknya.
Bab 5Puncak PenghinaanKesabaranku akhirnya mencapai titik terendah pada suatu pagi yang cerah. Frustrasi yang menumpuk selama berminggu-minggu meledak tanpa bisa dicegah. Pemicunya sepele: aku menemukan sehelai rambut panjang Warti yang hitam legam di atas bantal di kamarku. Mungkin terbawa angin saat ia lewat, tapi bagiku, itu adalah simbol siksaan yang tak tertahankan. Sebuah bagian dari dirinya bisa dengan bebas masuk ke ruang pribadiku, sementara aku sendiri terlarang untuk mendekatinya.Aku tidak tahan lagi. Dengan dada yang bergemuruh, aku berjalan ke taman belakang di mana Warti sedang asyik memangkas dahan mawar. Ia mengenakan celana training ketat dan kaus oblong yang pas di badan. Pemandangan itu, yang biasanya hanya kunikmati dari jauh, kini kuhadapi secara langsung.“Warti,” panggilku dengan suara yang lebih serak dari yang kuinginkan.Ia menoleh, menyeka keringat di pelipisnya. “Ya, Darwis?” tanyanya dengan nada ringan, seolah tidak menyadari badai yang berkecamuk di dalam diriku.Kutelan ludah, mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa. “Aku tidak bisa begini terus,” kataku. “Aku ini suamimu, Warti. Kamu itu halal untukku. Masa… masa menyentuh saja tidak boleh? Aku berhak atas dirimu!”Alih-alih tertawa atau marah, Warti menatapku lama, ekspresinya sulit ditebak. Ia meletakkan guntingnya dan menghela napas panjang, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.“Baiklah,” katanya pelan, membuat jantungku berhenti berdetak sejenak. “Kamu benar. Beri aku waktu sampai nanti malam. Nanti malam, kamu berhak menyentuhku.”Dunia di sekelilingku terasa berbunga-bunga. Krisis ini akan segera berakhir. Aku mengangguk penuh semangat, tidak mampu menyembunyikan senyum kemenangan di wajahku. “Sungguh? Aku akan menunggumu.”Sisa hari itu terasa seperti mimpi. Aku menanti malam dengan antusiasme yang meluap-luap. Setiap detik terasa begitu lambat. Aku bahkan membersihkan kamarku yang pengap dan memakai wangi-wangian, mempersiapkan diri untuk akhir dari penantian panjangku.Malam akhirnya tiba. Aku menunggu dengan gelisah di ruang tengah, namun Warti seolah tidak peduli. Ia menyelesaikan aktivitasnya lalu berjalan santai menuju kamarnya. Hatiku mencelos. Takut jika ia lupa, aku mengikutinya. Tepat ketika tangannya hendak membuka pintu kamarnya, aku memanggilnya.“Warti.”Ia berbalik, menatapku dengan wajah polos tanpa dosa. "Ada apa?"Suaraku bergetar karena gugup dan kecewa. "Janjimu..." kataku lirih. "Kamu bilang, aku berhak menyentuhmu malam ini."Wajahnya tiba-tiba cerah seolah baru teringat sesuatu yang lucu. "Oh, iya. Hak kamu. Tentu saja," jawabnya ringan. Ia lalu berdiri di ambang pintu, mengulurkan tangannya yang halus itu ke arahku.Kukira itu adalah sebuah ajakan untuk masuk ke dalam dunianya yang selama ini terlarang. Dengan hati yang melambung tinggi, kupegang tangannya erat-erat, merasakan kehangatan dan kelembutan kulitnya yang begitu nyata.Satu detik. Dua detik.Tiba-tiba, ia menarik tangannya kembali dengan kasar. Ia tersenyum, senyum tipis dan misterius yang sama persis seperti di foto, senyum yang kini terasa seperti sayatan pisau di hatiku."Nah, kamu sudah menggunakan hakmu untuk menyentuhku, kan?" katanya dengan nada ceria yang mematikan. "Lunas, ya. Sekarang, aku mau istirahat."BRAK!Pintu kamarnya tertutup rapat di depan wajahku, meninggalkan aku yang berdiri membeku di lorong yang sunyi. Harapan yang tadi setinggi langit kini hancur berkeping-keping, digantikan oleh rasa terhina yang begitu dalam hingga membuatku sulit bernapas. Malam ini, aku tidak hanya kalah, tapi juga telah dihancurkan. Ini adalah titik terendahku.
Bab 6Jalan BuntuAku kembali ke kamarku—sel penjaraku—dengan langkah gontai dan pundak yang merosot. Rasa terhina yang dingin dan menusuk hingga ke tulang membuatku sulit bernapas. Amarah yang sempat membara kini padam, digantikan oleh kekalahan mutlak. Aku menjatuhkan diri ke atas ranjang, menatap langit-langit kamarku yang pengap dengan pandangan kosong.Kenapa aku jadi begini? Kenapa aku begitu menginginkannya hingga rela dipermalukan? Aku, Darwis, seorang sarjana lulusan terbaik, kini dibuat putus asa hanya karena sebuah sentuhan yang tak sampai. Aku melakukan ini demi bakti pada Ibu, demi menghindari kata durhaka. Tapi kenapa rasanya justru harga diriku yang terinjak-injak?Aku tidak bisa berada di rumah ini lebih lama lagi. Aku butuh udara.Dengan gerakan mekanis, aku meraih jaket dan kunci motor, lalu keluar dari rumah itu tanpa pamit. Aku melajukan motorku tanpa tujuan, membiarkan angin malam menampar wajahku, berharap bisa meniup pergi rasa malu yang membakar. Akhirnya, tanpa sadar, aku berhenti di depan sebuah gang sempit yang menuju ke rumah kos sahabatku satu-satunya, Khalid.Kontras antara duniaku dan dunianya begitu menusuk. Aku baru saja meninggalkan sebuah istana megah yang terasa seperti neraka, dan kini aku memasuki sebuah kamar kos sempit berukuran tiga kali empat meter yang terasa seperti surga yang membebaskan.Khalid, yang sedang asyik membaca buku di atas kasurnya, terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba dengan wajah kusut."Wis? Ada apa?" tanyanya, langsung duduk tegak.Aku tidak menjawab. Aku hanya duduk di kursi plastik satu-satunya di kamar itu dan menunduk dalam-dalam. Dan kemudian, aku menceritakan semuanya. Semuanya. Mulai dari "aturan main", siksaan harian, hingga puncak penghinaan yang baru saja kualami beberapa jam yang lalu.Saat aku sampai pada bagian di mana Warti menarik tangannya dan menutup pintu di depan wajahku, aku berhenti. Keheningan menyelimuti kamar kos yang sempit itu. Perlahan, aku mengangkat wajah dan melihat Khalid. Wajah sahabatku itu memerah padam, bibirnya bergetar hebat, dan bahunya terguncang-guncang. Ia sedang berusaha mati-matian menahan tawa.Melihat penderitaannya, aku justru tersenyum masam. "Sudah, ketawa saja, Khal. Jangan ditahan. Aku juga ingin sekali menertawakan nasibku sendiri."Seolah bendungan jebol, tawa Khalid meledak begitu saja. Ia tertawa terbahak-bahak sampai air matanya keluar. Aku hanya memperhatikannya dengan nanar, entah kenapa melihatnya tertawa justru membuat bebanku sedikit lebih ringan.Setelah tawanya reda, ia mengusap air matanya dan menatapku dengan sorot prihatin. "Maaf, Wis," katanya. "Ceritamu... itu terlalu tragis untuk tidak ditertawakan. Tapi sekarang aku mengerti. Kamu sudah sampai di jalan buntu.""Lalu aku harus bagaimana?" tanyaku penuh harap.Khalid tidak langsung menjawab. Ia bangkit, menepuk pundakku. "Masalahnya, duniamu sekarang hanya seluas rumah itu, Wis. Kamu terkurung di sana, fokus pada satu wanita yang jelas-jelas mempermainkanmu. Kamu perlu keluar. Kamu perlu melihat bahwa di luar sana masih ada dunia."Ia menatapku dengan tatapan serius. "Ayo, ikut aku malam ini.""Ke mana?""Ke sebuah kafe. Bukan kafe biasa. Kita ngopi, ngobrol, lihat dunia luar. Anggap saja studi banding," ajaknya dengan senyum penuh arti. "Kamu tidak akan menemukan solusi kalau terus-terusan memandangi tembok penjara."Ada pergulatan hebat dalam batinku. Tapi sebagian diriku yang sudah lelah dan babak belur merasa butuh udara segar. Aku butuh bukti bahwa di luar sangkar emasku, dunia memang masih ada."Baiklah," jawabku akhirnya. "Aku ikut."
Bab 7Lampu Hijau yang MenyesakkanKafe yang dimaksud Khalid ternyata lebih mirip ruang tamu besar yang nyaman daripada tempat nongkrong pada umumnya. Alunan musik nasyid yang menenangkan mengalir lembut dari pengeras suara, menggantikan lagu-lagu pop yang hingar bingar. Dindingnya dihiasi kaligrafi kufi yang artistik, dan aroma kopi robusta berpadu dengan wangi teh melati. Pengunjungnya kebanyakan anak-anak muda, berbincang dengan suara yang terjaga. Ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dari sangkar emasku.Khalid membawaku ke sebuah meja panjang di sudut ruangan di mana beberapa temannya sudah berkumpul. "Kenalkan, ini Darwis, sahabatku dari zaman purba," kata Khalid dengan gayanya yang santai.Satu per satu mereka menyambutku dengan ramah. Lalu, mataku bertemu dengan sepasang mata bening yang menatapku dengan senyum tulus. Seorang gadis berhijab biru pastel, dengan wajah bersih tanpa riasan berlebih."Aku Hanima," katanya lembut, sedikit menundukkan kepala."Darwis," jawabku singkat, merasakan debaran aneh di dada.Kami duduk, dan entah bagaimana, aku dan Hanima berakhir duduk berseberangan. Obrolan mengalir ringan, namun Hanima beberapa kali melemparkan pertanyaan kepadaku. Ia tampak tulus ingin tahu."Mas Khalid bilang, Mas Darwis ini lulusan terbaik, ya?" tanyanya, matanya berbinar penuh kekaguman.Aku tersenyum kecil. "Hanya kebetulan saja.""Wah, hebat! Pasti pintar sekali. Aku selalu kagum sama orang yang tekun belajar," sahutnya antusias.Antusiasme. Sebuah kata yang sudah lama hilang dari kamus interaksiku. Setiap kalimat yang kuucapkan ditanggapinya dengan minat yang tulus. Setiap lelucon garingku disambutnya dengan tawa kecil yang merdu. Kami berbicara tentang buku, tentang cita-cita, tentang hal-hal remeh yang tiba-tiba terasa begitu penting. Untuk sesaat, aku lupa pada Warti. Aku lupa pada statusku. Aku merasa seperti Darwis yang dulu, seorang pemuda normal yang sedang mengobrol dengan seorang gadis yang menarik.Dia adalah "lampu hijau" yang sempurna. Terang, jelas, dan mengundang untuk terus maju.Namun, di tengah keasyikan itu, sebuah alarm berbunyi nyaring di dalam kepalaku. Setiap kali aku menatap wajahnya yang ceria, setiap kali aku terpesona oleh senyumnya, ajaran Kyai Abdul Hamid menggema seperti guntur: "Jaga pandanganmu, karena dari situlah panah setan bermula."Aku, seorang suami, sedang duduk di sini, menikmati percakapan dengan wanita lain yang bukan mahramku. Rasa ketertarikan yang mulai tumbuh ini terasa seperti sebuah pengkhianatan. Ini adalah zina hati, zina mata. Dosa.Seketika, aku menjadi kaku. Aku mulai menghindari tatapannya, lebih sering menunduk menatap cangkir kopiku yang sudah dingin. Jawabanku menjadi pendek-pendek. Aku bisa merasakan Hanima sedikit kebingungan dengan perubahanku yang drastis.Pikiranku melayang kembali ke rumah. Ke Warti. Betapapun menyiksanya, memandang Warti dalam balutan daster tipisnya adalah hakku yang halal. Mengagumi lekuk tubuhnya saat ia yoga adalah pemandangan yang, meskipun menyakitkan, tidak mendatangkan dosa. Keindahan Warti adalah keindahan yang halal untukku, sementara keindahan Hanima adalah godaan yang haram.Dilema itu menghantamku dengan keras. Aku berada di antara siksaan yang halal dan godaan yang haram. Dan rasanya, siksaan yang halal itu terasa lebih aman, lebih benar, daripada godaan yang menjerumuskan ini."Khalid, sepertinya aku harus pulang duluan," bisikku pada Khalid, memotong obrolan yang sedang berlangsung. "Tiba-tiba kepalaku pusing."Khalid menatapku dengan heran, tapi mengangguk mengerti. Aku pamit pada yang lain, memberikan senyum sekilas pada Hanima yang menatapku dengan tatapan bertanya-tanya.Aku berjalan keluar dari kafe itu dengan langkah cepat, seolah melarikan diri dari sebuah kejahatan. Udara malam yang sejuk terasa membakar paru-paruku yang sesak oleh rasa bersalah. Teori "lampu hijau" Khalid memang benar. Masalahnya, aku adalah pengemudi yang sudah terikat pada satu tujuan, tak peduli betapa merahnya lampu di sana. Jalan keluar ini ternyata bukan untukku.
Bab 8Kanvas RahasiaKeesokan harinya, aku kembali menemui Khalid. Bukan dengan wajah kusut karena penghinaan, melainkan dengan kebingungan seorang peziarah yang tersesat di persimpangan jalan. Aku menceritakan semua yang terjadi di kafe, tentang Hanima yang begitu antusias, dan tentang rasa bersalah yang mencekikku setelahnya."Aku tidak mengerti, Khal," keluhku sambil mengaduk kopi di hadapanku. "Di satu sisi, ada wanita seperti Hanima, lampu hijau terang benderang, tapi melihatnya saja aku merasa berdosa. Di sisi lain, ada Warti, lampu merah yang menyala-nyala, tapi memandangnya adalah hakku yang halal. Aku terjebak di antara neraka yang halal dan surga yang haram."Khalid mendengarkan dengan saksama. "Prinsipmu kuat, Wis. Aku salut. Tapi prinsip ini juga yang menyiksamu," katanya. "Kamu tidak bisa mencari jalan keluar di luar, tapi kamu juga tidak tahan dengan situasi di dalam. Kamu butuh jalan lain."Ia tampak berpikir keras, matanya menatap kosong ke dinding kamarnya yang penuh poster. Tiba-tiba, matanya berbinar dengan kilatan aneh."Wis," katanya dengan nada berkonspirasi. "Gimana... kalau kamu tetap memandangnya, tapi dengan caramu sendiri?"Alisku bertaut. "Maksudmu?""Dengar," katanya, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kamu tidak bisa menyentuhnya, oke. Kamu tidak bisa berbicara dengannya, oke. Tapi kamu halal melihatnya. Kenapa tidak manfaatkan hakmu untuk melihat itu?"Aku masih belum menangkap maksudnya, sampai ia mengucapkan ide gilanya. "Pasang kamera tersembunyi," cetusnya. "Rekam semua aktivitasnya. Nanti, saat kamu sendirian di kamarmu, kamu bisa menikmati pemandangan istrimu sendiri sepuasnya. Tanpa penolakan, tanpa perdebatan. Halal seratus persen untuk dilihat!"Aku membeku. Ide itu begitu gila, begitu radikal, dan begitu salah di berbagai level. Itu melanggar privasi, sebuah tindakan yang licik. Namun, di tengah semua penolakan moral itu, logika bengkok Khalid terasa begitu menggoda.Tapi hanya sesaat. Bayangan Kyai Abdul Hamid tentang adab dan kejujuran melintas di benakku."Tidak, Khal," kataku tegas, mengejutkan diriku sendiri dengan keteguhan suaraku. "Itu salah. Meskipun dia istriku, mengintip dan menipu itu bukan caraku. Itu bukan jalan yang benar."Khalid tampak sedikit kecewa idenya ditolak, tapi ia mengangguk. "Baiklah, aku mengerti."Aku pulang ke rumah dengan kepala yang lebih berat. Aku telah menutup satu lagi pintu keluar, dan kini aku benar-benar merasa terkurung. Aku masuk ke kamarku dan langsung menuju jendela, menatap ke luar dengan pandangan kosong.Di sana, di teras belakang, Warti sedang membaca buku sambil sesekali menyeruput tehnya. Sinar matahari sore menerpa rambutnya, menciptakan aura keemasan di sekelilingnya. Pemandangan itu, seperti biasa, indah dan menyakitkan. Rasa frustrasi, hasrat, dan keputusasaan kembali menggerogoti batinku.Mataku kemudian tertumbuk pada sebuah kotak kardus tua di bawah meja belajar, kotak yang kubawa dari rumah lama. Isinya adalah barang-barang dari masa kuliahku. Dengan lesu, aku membukanya. Di dalamnya, di antara tumpukan buku-buku lama, tergeletak sebuah buku sketsa dan satu set pensil grafit yang sudah lama tak tersentuh.Sebuah ide, yang terasa jauh lebih benar dan lebih jujur daripada ide gila Khalid, tiba-tiba menyambar pikiranku.Aku tidak bisa menyentuhnya. Aku tidak bisa berbicara dengannya. Aku bahkan tidak bisa memandangnya secara langsung tanpa merasa terhina. Tapi aku bisa menangkapnya. Aku bisa memilikinya dengan caraku sendiri.Dengan tangan yang sedikit gemetar karena antusiasme yang baru, aku mengambil buku sketsa dan sebatang pensil 2B. Aku duduk di lantai, bersandar di dinding, menjadikan jendela sebagai bingkaiku. Mataku terpaku pada sosok Warti di teras.Lalu, tanganku mulai bergerak. Garis demi garis, arsiran demi arsiran. Aku menuangkan semua yang kurasakan—kekaguman yang terpendam, hasrat yang terkurung, kemarahan yang tak tersalurkan—ke atas permukaan kertas putih itu.Aku menggambar lekuk bahunya saat ia bersandar, cara jemarinya memegang cangkir, hingga helai rambutnya yang tertiup angin sepoi-sepoi. Aku bukan lagi Darwis yang kalah dan putus asa. Aku adalah seorang seniman yang sedang menciptakan mahakaryanya.Di atas kanvas rahasiaku, Warti adalah milikku seutuhnya.
Bab 9Pertapa di dalam KamarSejak hari itu, duniaku menyusut seukuran lembaran kertas sketsa. Aku berhenti mencoba mendekati Warti. Tak ada lagi pujian kaku, tak ada lagi rengekan menuntut hak, tak ada lagi perdebatan sia-sia. Aku menjadi seorang pertapa di sangkar emasku sendiri. Aku mengubah kamarku menjadi sebuah studio rahasia, dan jendela yang menghadap ke teras belakang menjadi satu-satunya hubunganku dengan dunia luar—dunianya.Setiap hari, aku akan duduk di sudut kamarku, mengamatinya dari kejauhan. Aku menangkap momen saat ia menyiram anggreknya dengan tatapan lembut, saat ia tertawa lepas menerima telepon dari temannya, saat ia melakukan peregangan yoga dengan konsentrasi penuh. Setiap gerakannya, setiap ekspresinya, menjadi objek studi yang tak ada habisnya.Tanganku bergerak dengan lincah di atas kertas. Pensil grafit menjadi perpanjangan dari mataku, menuangkan semua yang terpendam ke dalam arsiran hitam dan putih. Sketsa-sketsa itu bukan sekadar gambar; mereka adalah buku harian visual dari rasa frustrasiku. Di sana, aku bisa memiliki setiap detail dirinya tanpa penolakan, tanpa penghinaan. Di atas kanvas rahasiaku, ia adalah milikku.Perubahan sikapku yang drastis, dari seekor lalat yang terus-menerus mengganggunya menjadi seekor kura-kura yang bersembunyi di tempurungnya, ternyata adalah provokasi yang paling efektif. Keheningan yang kubuat ternyata lebih memancing rasa penasaran daripada kebisingan yang kulakukan sebelumnya.Warti, yang terbiasa menjadi pusat perhatian dan pengendali situasi, kini tampak gelisah karena diabaikan."Darwis kok di kamar terus sekarang?" tanya Ibu suatu sore dengan nada mengeluh, saat kami kebetulan makan di waktu yang bersamaan. "Malu sama istrimu, dia sibuk mengurus bisnis. Kamu jangan jadi pemalas."Aku hanya menjawab singkat, "Lagi coba cari peluang kerja online, Bu."Warti, yang duduk di seberang meja, tidak berkomentar. Namun, aku bisa merasakan tatapannya yang tajam mengamatiku. Ia tidak lagi menatapku dengan tatapan meremehkan, melainkan dengan sorot mata penuh selidik. Ia seolah bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dilakukan pemuda yang dinikahinya ini di balik pintu yang selalu tertutup itu?Beberapa kali aku memergokinya berhenti sejenak di depan pintu kamarku saat ia lewat, seolah ragu antara mengetuk atau melanjutkan langkah. Ia tidak tahu, di balik pintu itu, suaminya sedang mengawasinya, menikmati setiap geraknya dalam sebuah pertunjukan bisu yang hanya bisa disaksikan oleh satu orang penonton.Dinamika kekuatan di antara kami mulai bergeser. Dengan mengabaikannya, aku tanpa sadar telah merebut kembali kendali. Aku bukan lagi anak kemarin sore yang mudah dipermainkan. Aku adalah sebuah misteri. Dan aku tahu, hanya masalah waktu sebelum rasa penasarannya yang memuncak akan mendorongnya untuk membongkar rahasiaku.
Bab 10Laci yang TerbongkarRasa penasaran Warti akhirnya meledak pada Sabtu sore. Aku sedang begitu terhanyut dalam sketsaku—menggambar detail jemari Warti saat ia memegang cangkir teh di teras—hingga tidak mendengar langkah kaki yang mendekat.Tok... tok... tok...Ketukan di pintu itu membuatku terlonjak kaget. Dengan panik, aku langsung menyembunyikan buku sketsaku di bawah tumpukan kertas kosong di laci meja, jantungku berdebar seperti genderang perang."Darwis?" Suara Warti terdengar dari luar. Tegas dan tidak sabar.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Iya, ada apa?" jawabku, berusaha agar suaraku terdengar normal."Buka pintunya. Aku mau bicara." Itu bukan permintaan, melainkan perintah.Sebuah gelombang keberanian yang tak terduga menjalari diriku. Kekuatan semu yang kudapatkan dari menjadi pengamat rahasianya memberiku rasa percaya diri yang aneh. Untuk pertama kalinya, aku merasa punya posisi untuk melawannya.Aku membuka pintu sedikit. "Aku sedang sibuk," kataku, berpegang pada alibi lamaku.Ia mendengus pelan, jelas tidak percaya. "Sibuk atau ada yang kamu sembunyikan? Aku mau masuk. Aku mau lihat apa yang kamu kerjakan."Aku tersenyum tipis, senyum yang kupelajari darinya. "Maaf, Warti. Sepertinya kamu lupa dengan kesepakatan kita sendiri."Warti mengerutkan kening. "Kesepakatan apa?""Di dalam rumah ini, kita hidup masing-masing," kataku, mengutip kata-katanya dengan penekanan di setiap suku kata. "Kamarmu di sana, kamarku di sini. Ini area pribadiku. Kamu tidak boleh masuk."Ekspresi Warti berubah dari curiga menjadi terkejut, lalu menjadi marah. Ia jelas tidak menyangka aku akan berani menggunakan senjatanya sendiri untuk melawannya."Mungkin kamu lupa satu hal yang lebih penting, Darwis," desisnya, matanya menyala-nyala. "Ini adalah rumahku. Setiap sudut di rumah ini adalah milikku. Aku berhak tahu apa pun yang terjadi di dalamnya. Buka, atau aku akan membukanya sendiri."Aku terpojok. Kalah telak. Logikanya tidak terbantahkan. Sebelum aku sempat bereaksi, ia sudah mendorong pintu dengan kuat, memaksaku mundur.Warti melangkah masuk ke kamarku dengan aura seorang inspektur. Matanya yang tajam menyapu setiap sudut ruangan yang sempit itu. Ia sepertinya mengharapkan menemukan sesuatu yang aneh, bukti kemalasanku atau bahkan perselingkuhan. Namun, yang ia temukan hanyalah sebuah kamar yang biasa saja.Perhatiannya kini beralih ke laci meja yang sedikit terbuka. "Apa isi laci ini?" tanyanya, rasa penasarannya kembali menyala."Hanya barang-barang lama," jawabku mengelak."Buka.""Tidak.""Aku bilang, buka!" Warti memaksa, menarik gagang laci.Aku bergerak untuk menahannya. Terjadi perebutan kecil. Warti dengan kekuatannya mencoba menarik laci, sementara aku menahannya dengan sekuat tenaga. Dalam pergulatan singkat itu, didorong oleh rasa penasaran yang memuncak, Warti menarik laci itu dengan sekali sentakan keras.BRAK!Laci itu keluar dari relnya dan jatuh ke lantai dengan suara berdebum yang keras. Isinya tumpah ruah di atas lantai keramik yang dingin.Bukan barang-barang aneh atau bukti kejahatan. Yang berserakan di lantai adalah tumpukan kertas gambar, beberapa pensil sketsa berbagai ukuran, dan penghapus.Warti membungkuk, rasa penasarannya mengalahkan segalanya. Ia memungut selembar kertas. Matanya terpaku pada gambar di atasnya. Itu adalah sketsa detail seorang wanita yang sedang menyiram tanaman, dilihat dari sudut pandang jendela kamar. Ia mengambil lembar lainnya. Sketsa seorang wanita yang sedang melakukan gerakan yoga. Lembar berikutnya, wanita yang sama sedang tertawa lepas saat menerima telepon.Satu per satu, ia memeriksanya. Semuanya adalah gambar dirinya, dalam berbagai pose dan aktivitas sehari-hari yang sangat akurat dan penuh detail. Ini bukan sekadar gambar, ini adalah sebuah pengamatan yang intim.Ia mendongak, menatapku dengan ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya. Campuran antara kaget, bingung, dan sesuatu yang lain yang tak bisa kubaca. Permusuhan di matanya lenyap, digantikan oleh keterkejutan murni."Ini... semua ini... kamu yang gambar?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik.Aku menatap matanya lekat-lekat, tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Aku hanya mengangguk pelan.Warti terdiam membisu. Ia menatap tumpukan sketsa di tangannya, lalu kembali menatapku. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berdiri, meletakkan kembali sketsa-sketsa itu dengan rapi di atas meja, lalu berbalik dan berjalan keluar dari kamarku, meninggalkanku sendirian dengan semua rahasiaku yang kini telah terbongkar.
Bab 11Keheningan Pasca BadaiMalam setelah penemuan sketsa itu berlalu dalam keheningan yang memekakkan telinga. Aku tidak bisa tidur, terus-menerus membayangkan berbagai skenario terburuk. Apakah ia akan mengusirku besok pagi? Apakah ia akan mengadukanku pada Ibu? Setiap derit kayu di rumah yang besar itu terdengar seperti langkah kakinya yang datang untuk menghakimiku.Namun, pagi datang tanpa badai. Aku keluar dari kamar dengan waspada, siap menerima amarahnya. Tapi yang kutemukan hanyalah Warti yang sedang duduk di meja makan, membaca sebuah majalah bisnis dengan tenang. Ia mendongak saat aku mendekat, dan untuk pertama kalinya, tidak ada tatapan sinis atau meremehkan di matanya. Hanya ada keheningan dan ekspresi yang sulit kubaca."Sarapan," katanya singkat, menunjuk roti panggang di atas meja.Suasananya begitu canggung. Permusuhan terbuka yang selama ini menjadi santapan kami sehari-hari telah lenyap, digantikan oleh keheningan yang tebal dan penuh tanda tanya. Ibu, seperti biasa, tidak menyadari apa pun. Ia mengoceh tentang rencana arisannya, sementara aku dan Warti hanya menanggapi dengan gumaman seperlunya, menghindari kontak mata.Selama beberapa hari berikutnya, rumah itu terasa seperti medan perang yang baru saja ditinggalkan pasukannya. Tidak ada lagi sindiran tajam dari Warti. Tidak ada lagi pintu yang dibanting. Tapi keheningan ini terasa jauh lebih menakutkan. Aku merasa seperti sedang berjalan di atas lapisan es yang tipis, tidak tahu kapan akan retak.Aku berhenti menggambar. Rasanya ruang rahasiaku telah dilanggar, dan keintiman yang kudapatkan dari mengamatinya telah ternoda. Tanpa sketsa, aku kembali menjadi Darwis yang bingung dan kehilangan tujuan.Perubahan paling nyata terjadi pada Warti. Ia menjadi lebih pendiam, lebih sering termenung. Aku sering memergokinya menatapku saat aku tidak melihat, seolah mencoba memecahkan sebuah teka-teki. Ia sepertinya sedang memproses apa yang telah ia lihat. Sketsa-sketsa itu telah menunjukkan padanya bahwa selama ini aku tidak hanya memandangnya dengan nafsu, tapi dengan sebuah intensitas yang berbeda—sebuah pengamatan yang detail, artistik, dan mungkin... obsesif.Suatu sore, saat aku sedang mengambil air minum di dapur, ia masuk. Aku bersiap untuk segera pergi, tapi ia menghalangi jalanku. Kami berdiri berhadapan dalam diam selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya."Kamu..." ia memulai, lalu berhenti, seolah mencari kata yang tepat. "Kamu tidak pernah bilang kamu bisa menggambar.""Kamu tidak pernah bertanya," jawabku pelan.Ia mengangguk kecil, lalu berjalan melewatiku tanpa berkata apa-apa lagi.Malam itu, aku menyadari sesuatu. Perang dingin di antara kami telah berakhir. Penemuan sketsa itu telah meruntuhkan tembok pertahanannya, bukan dengan amarah, melainkan dengan kebingungan. Ia melihat sisi lain dari diriku yang tidak ia duga—sisi yang rumit, yang tidak cocok dengan stereotip "anak muda tak berguna" yang selama ini ia sematkan padaku.Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi untuk pertama kalinya sejak pernikahan ini, aku merasa bukan lagi satu-satunya orang yang bingung di dalam rumah ini.
Bab 12Umpan KecilKeheningan di rumah itu berubah wujud. Jika sebelumnya terasa seperti gencatan senjata yang tegang, kini lebih mirip permainan catur yang sunyi. Setiap gerakan memiliki makna, dan setiap kebisuan adalah sebuah strategi. Aku masih merasa bingung dan kehilangan, sementara Warti, yang kini memegang rahasiaku, sepertinya sedang merancang langkah berikutnya.Ia mulai melakukan hal-hal kecil yang aneh. Suatu pagi, ia melakukan rutinitas yoganya bukan di tempat biasa, melainkan di sebuah sudut teras yang terpampang paling jelas dari jendela kamarku. Ia menahan posenya sedikit lebih lama dari biasanya, seolah memberiku waktu untuk menangkap setiap detailnya. Aku hanya bisa menatap, terlalu takut untuk menyentuh buku sketsaku lagi. Apakah ini sebuah ejekan, atau sebuah undangan?Beberapa hari kemudian, ia sengaja meninggalkan sebuah buku bersampul indah di kursi taman, tepat di bawah pohon kamboja. Ia tidak membacanya, hanya meletakkannya di sana, menciptakan sebuah komposisi yang sempurna dengan bunga-bunga yang berguguran di sekitarnya. Seolah-olah ia berkata, "Ini, gambarlah ini jika kau berani."Aku menolak semua umpannya. Rasa malu karena rahasiaku terbongkar masih terlalu besar. Aku merasa seperti seorang seniman yang panggungnya telah dirusak.Umpan yang paling telak datang seminggu setelah penemuan sketsa itu. Sore itu, Warti pulang dengan membawa sebuah pot anggrek hitam yang sangat langka dan eksotis. Aku pernah mendengar ia membicarakannya di telepon dengan temannya, betapa sulitnya mendapatkan bunga itu.Dengan sengaja, ia meletakkan pot anggrek itu di atas sebuah meja kecil di teras, tepat di tengah bingkai jendelaku. Ia tidak langsung pergi. Ia mengambil kursi, duduk di samping anggrek itu, dan mulai merawatnya dengan penuh perhatian. Ia menyeka daunnya satu per satu, menyemprotkan air dengan lembut, dan membelai kelopaknya yang gelap seperti beludru.Ia menciptakan sebuah adegan. Sebuah mahakarya hidup. Subjek utamanya adalah anggrek hitam yang misterius, dan ia adalah penjaganya yang anggun.Aku berdiri di balik gorden kamarku, menatap pemandangan itu dengan hati yang bergejolak. Ini bukan lagi kebetulan. Ini adalah sebuah tantangan langsung. Ia tahu aku melihatnya. Ia tahu aku tidak bisa menolak keindahan.Selama hampir satu jam aku berperang dengan diriku sendiri. Antara harga diri yang terluka dan hasrat seorang seniman yang tak tertahankan. Akhirnya, hasrat itu menang.Dengan tangan yang gemetar, aku mengeluarkan buku sketsaku dari laci. Aku membuka halaman baru yang masih putih bersih. Aku mengambil pensilku, dan mataku kembali terpaku pada pemandangan di luar jendela.Aku mulai menggambar. Bukan Warti secara langsung, tapi anggrek hitam itu. Aku mencurahkan seluruh konsentrasiku pada detail kelopaknya yang rumit, pada tetesan air di daunnya, pada bayangan yang jatuh di atas meja. Namun, saat aku menggambar anggrek itu, aku tidak bisa menghindari kehadiran Warti di sampingnya. Tangannya yang lentik, profil wajahnya saat ia menunduk, semuanya menjadi bagian tak terpisahkan dari komposisi itu.Dari kejauhan, Warti melirik sekilas ke arah jendelaku. Ia melihat siluetku yang kembali duduk di posisi yang sama seperti hari-hari sebelumnya, dengan kepala tertunduk dan tangan yang bergerak di atas kertas.Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibirnya. Itu bukan senyum sinis atau meremehkan. Itu adalah senyum kemenangan seorang ahli strategi. Umpannya telah dimakan. Permainan baru di antara kami telah dimulai.
Bab 13Pengakuan di Balik LukaPermainan catur kami yang sunyi berlangsung selama beberapa hari. Aku kembali menggambar, dan Warti terus memberiku "umpan" dalam bentuk adegan-adegan indah yang ia ciptakan secara tak sengaja-namun-sengaja. Kami tidak berbicara tentang itu. Kami tidak berbicara tentang apa pun. Kami hanya saling mengamati dari kejauhan, dua orang asing yang terikat dalam sebuah pernikahan misterius.Pemicu yang meruntuhkan keheningan itu datang dalam bentuk sebuah email. Suatu pagi, saat aku sedang memeriksa kotak masukku, sebuah pesan dengan subjek "Undangan Wawancara - Posisi Junior Editor" membuat jantungku berdebar. Sebuah penerbit besar di Jakarta, tempat aku melamar sebulan yang lalu, akhirnya membalas. Wawancara akan dilakukan secara online lusa.Sebuah gelombang kelegaan dan harapan membanjiri diriku. Ini adalah jalan keluar. Sebuah kesempatan untuk menjadi mandiri, untuk membuktikan diriku, dan mungkin... untuk bebas dari sangkar emas ini.Dengan semangat baru, aku berjalan ke dapur untuk membuat kopi. Warti ada di sana, sedang menata anggrek hitamnya di dekat jendela."Aku dapat panggilan wawancara kerja," kataku, suaraku terdengar lebih mantap dari biasanya. "Penerbit besar di Jakarta."Warti berhenti. Ia tidak menoleh, punggungnya masih menghadapku. Aku bisa melihat bahunya sedikit menegang. "Oh, ya?" jawabnya datar. "Baguslah.""Jika diterima, aku mungkin harus pindah ke Jakarta," lanjutku, lebih untuk menguji reaksinya daripada apa pun.Saat itulah ia berbalik. Ekspresi wajahnya bukanlah ekspresi yang kuduga. Bukan senang, bukan juga sinis. Matanya menyiratkan sesuatu yang lain... kepanikan?"Jadi begitu," katanya pelan, suaranya terdengar dingin, tapi ada getar di sana. "Setelah menumpang hidup di sini, setelah mendapatkan tempat tinggal gratis, sekarang kamu akan pergi begitu saja setelah mendapatkan apa yang kamu mau?"Aku tercengang. "Apa maksudmu? Ini kesempatan bagus untukku.""Kesempatan?" Ia tertawa, tapi tawa itu terdengar getir. "Atau alasan? Sama seperti dia. Dulu dia juga bilang begitu. 'Ini kesempatan bisnis, Sayang,' katanya. Lalu dia pergi, dan tidak pernah kembali."Aku bingung. "Dia siapa?""Mantan suamiku!" serunya, suaranya meninggi, dan untuk pertama kalinya aku melihat topeng ketenangannya retak, menampakkan luka yang menganga di baliknya. "Pria yang kubangun bisnis ini bersamanya dari nol! Pria yang meninggalkanku demi wanita lain begitu aku mulai sibuk dan sukses!"Akhirnya, benteng yang ia bangun dengan begitu kokoh runtuh. Warti bercerita. Ia menceritakan tentang bagaimana dulu ia dan mantan suaminya berjuang bersama. Namun, saat bisnisnya meroket dan menyita waktunya, suaminya merasa terabaikan. Ia mencari kehangatan lain, berselingkuh dengan wanita yang memberinya perhatian yang tak lagi Warti berikan."Pengkhianatan itu menghancurkanku, Darwis," katanya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Itu membuatku membangun tembok ini begitu tinggi karena aku sangat takut terluka lagi. Saat ibumu datang dan melamarmu untukku, aku melihat sebuah kesempatan, tapi aku juga melihat risiko. Seorang pemuda tampan, sarjana, penuh gairah... aku harus tahu hatimu terbuat dari apa."Aku terpana. "Jadi... jadi semua ini? Penolakan, aturan main, semua penghinaan itu... hanyalah sebuah tes?""Sebuah tes yang kejam, aku tahu," akunya, suaranya kini bergetar hebat. "Aku sengaja mendorongmu sampai ke batas kemampuanmu. Aku ingin melihat apa yang akan kamu lakukan. Apakah kamu akan lari ke wanita lain untuk mencari pelampiasan, seperti yang dia lakukan dulu?"Kini giliranku untuk berbicara. Aku menceritakan sisi ceritaku. Tentang perasaanku yang tertekan, tentang sarannya Khalid, tentang pertemuanku dengan Hanima di kafe."Dia gadis yang baik, Warti. Dan aku tertarik padanya," kataku jujur. "Tapi saat itu, aku merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa. Aku merasa berdosa. Memandangnya dengan rasa suka terasa seperti pengkhianatan, karena dia tidak halal untukku."Aku menatap matanya dalam-dalam, berharap ia bisa mengerti. "Dari situlah aku memutuskan untuk menggambar. Kenapa aku harus mencari pemandangan di luar yang haram, sementara di rumahku sendiri ada pemandangan indah yang halal untuk kunikmati? Kamu istriku. Mengagumimu, meskipun dari jauh dan dengan caraku sendiri, terasa lebih benar daripada mengagumi wanita lain. Sketsa-sketsa itu... hanya itu caraku untuk bisa 'memiliki'-mu."Warti terdiam. Air matanya akhirnya jatuh, mengalir di pipinya. Ia menatapku lama, seolah sedang memindai seluruh isi hatiku. Kebenaran dari kedua belah pihak kini terhampar di antara kami, telanjang dan rapuh. Perang telah usai, menyisakan dua jiwa yang sama-sama terluka dan sama-sama mendambakan hal yang sama: untuk tidak dikhianati.
Bab 14Awal yang SebenarnyaKeheningan yang menyusul setelah pengakuan kami terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang dingin dan tegang, melainkan keheningan yang padat, penuh dengan kebenaran yang baru saja terungkap. Air mata Warti telah berhenti, namun jejaknya masih basah di pipinya, menjadi saksi bisu atas runtuhnya tembok pertahanan yang telah ia bangun begitu lama.Ia menatapku, tatapannya kini lembut dan jernih, seolah baru pertama kali melihatku dengan jelas."Jadi," ia berbisik, suaranya serak. "Kamu memilih untuk melukisku... daripada mencari wanita lain."Aku hanya bisa mengangguk, tidak mampu berkata-kata.Sebuah senyum tipis, senyum tulus pertama yang kulihat dari jarak sedekat ini, tersungging di bibirnya. Ada rasa geli, kagum, dan lega yang terpancar dari senyum itu."Kamu memang lulus, Darwis," katanya, seolah menjawab pertanyaan yang menggantung di udara. "Kamu tidak lari mencari pelampiasan seperti yang dia lakukan dulu. Kamu memilih cara yang aneh, licik, dan kekanak-kanakan," ia melirik ke arah meja tempat sketsa-sketsaku berada, "tapi kamu memilih cara yang menurut logikamu tetap halal. Kamu tidak mengkhianatiku. Kamu lulus dengan nilai terbaik."Napas yang sejak tadi kutahan akhirnya terlepas dalam sebuah embusan lega. Beban yang menghimpit dadaku selama berbulan-bulan seolah terangkat begitu saja."Lalu... wawancara kerjamu?" tanyanya, mengingatkanku pada pemicu percakapan ini."Aku akan melakukannya," jawabku. "Tapi aku tidak akan pergi ke Jakarta. Aku akan mencari cara untuk bekerja dari sini."Warti menggeleng pelan. "Tidak," katanya tegas. "Jika kamu diterima, pergilah. Tunjukkan pada dunia kemampuanmu. Aku tidak akan menjadi penghalang untuk mimpimu, seperti yang dia tuduhkan padaku dulu." Kepercayaan dalam suaranya adalah hadiah termanis yang pernah kuterima. "Kita akan mencari solusinya bersama-sama."Kata "kita" itu terdengar begitu merdu di telingaku.Warti berdiri dari kursinya. Ia berjalan ke arahku, lalu berhenti tepat di hadapanku. Dengan gerakan yang sedikit ragu namun mantap, ia mengulurkan tangannya. Kali ini, aku tahu ini bukan jebakan. Ini bukan ujian. Ini adalah sebuah jembatan."Jadi," katanya lembut, senyumnya kini lebih lebar dan begitu indah, "sekarang kamarku menjadi kamarmu juga."Aku menatap tangannya yang terulur, lalu menatap matanya yang bening. Dengan jantung yang berdebar kencang karena alasan yang sama sekali baru, aku menyambut uluran tangannya. Kehangatan kulitnya menjalar ke seluruh tubuhku, sebuah kehangatan yang nyata dan tulus. Perang telah usai. Penjara telah berubah menjadi istana. Dan pernikahan kami yang sebenarnya, baru saja akan dimulai.TAMAT

.jpg)