Bab 1: Telepon di Tengah Malam
Regina Johnson tersentak bangun oleh suara berisik yang memecah keheningan dini hari. Telepon di nakas berdering, layaknya alarm yang membunyikan lonceng kematian. Matanya berkedip, menyesuaikan diri dengan cahaya redup jam digital di sampingnya. 01:17. Waktu yang tidak lazim untuk panggilan, bahkan dari putrinya, Brittany. Dengan jantung berdebar, ia meraih gagang telepon."Halo?" suaranya serak."Apakah ini Nyonya Regina Johnson?" sebuah suara asing, datar, dan tanpa emosi terdengar dari seberang. "Saya Petugas Hanson dari Departemen Kepolisian Cherokee County."Regina merasakan sensasi dingin menjalar dari leher hingga ke punggungnya. Sesuatu yang buruk telah terjadi. Sangat buruk."Ya, saya istrinya," ia berbisik."Nyonya Johnson, saya harus mengabarkan berita buruk. Suami Anda, Charles Johnson, terlibat dalam sebuah kecelakaan," kata petugas itu. Ia berhenti sejenak, dan keheningan singkat itu terasa lebih panjang dari waktu mana pun dalam hidup Regina. "Ia tewas di tempat."Kata-kata itu tidak masuk ke dalam otaknya. Ia hanya mendengar suara berisik. "Maaf?""Sebuah mobil menabraknya saat ia mengendarai sepeda listriknya di dekat persimpangan Elm Street. Pelaku melarikan diri, tetapi kami sudah mengidentifikasi..."Regina tidak mendengar sisa kalimat itu. Ia hanya merasakan kehampaan yang dingin, seolah jiwanya telah ditarik keluar dari tubuhnya. Ia duduk di sisi tempat tidur, gagang telepon masih menempel di telinganya meskipun petugas di seberang sudah selesai bicara. Ia mengamati kekosongan di sampingnya, tempat suaminya, Chuck, seharusnya berbaring. Bantalnya masih bervolume, selimutnya masih terlipat rapi. Ia meraih bantal itu, mencium aroma kayu manis dan mint yang tersisa, lalu menangis, bukan dengan suara, tetapi dengan air mata yang mengalir tanpa henti, membasahi kain.Pagi harinya, matahari terbit dengan kejam, menyinari rumah yang kini terasa asing. Regina menelepon Brittany, suaranya putus-putus."Brittany, ada yang ingin Ibu katakan."Reaksi Brittany berbeda. Tidak ada tangisan histeris, tidak ada kesedihan yang terlihat. Suaranya terdengar tajam dan fokus, seperti baja yang diasah. "Bagaimana? Di mana? Siapa yang melakukannya?" Ia menghujani Regina dengan pertanyaan-pertanyaan yang dingin dan faktual. Duka Brittany bukanlah sungai air mata, melainkan api yang membakar, membangkitkan keinginan membara untuk mencari keadilan.Regina menjelaskan dengan suara gemetar. Brittany mengangguk, atau setidaknya Regina membayangkan ia mengangguk di seberang telepon. "Ibu tidak perlu khawatir," kata Brittany, suaranya penuh tekad. "Aku akan mengurusnya."Panggilan berakhir, dan Regina melihat ke luar jendela. Langit pagi masih kelabu, dan ia mencari jawaban, pengampunan, dan kedamaian yang entah bagaimana ia tahu hanya bisa ditemukan di luar amarah. Namun, ia tidak tahu, di ruangan lain di kota itu, putrinya sudah mulai mencari informasi di internet, dengan jari-jari yang berkedut dan mata yang menyala penuh tekad. Garis tak terlihat telah ditarik, memisahkan cara mereka berduka dan jalan yang akan mereka tempuh.Bab 2: Memori dalam Kilas BalikDinding ruang tamu Regina menjadi saksi bisu dari duka yang tak terucap. Foto-foto di atas perapian memancarkan kebahagiaan yang kini terasa begitu jauh. Ada foto pernikahan mereka, Regina yang tersenyum malu-malu di samping Chuck yang gagah dengan setelan jas sewaan. Ada foto Brittany kecil, pipi gembulnya belepotan kue ulang tahun, diangkat tinggi-tinggi oleh ayah yang tersayang. Namun, yang paling sering menarik perhatian Regina adalah foto yang diambil tahun lalu: Chuck, dengan rambut putih dan senyum di mata, bersandar di sepeda listriknya.Itu adalah hadiah ulang tahunnya, sesuatu yang telah ia impikan selama bertahun-tahun. "Rasanya seperti kembali ke usia delapan belas," katanya, matanya berbinar-binar saat ia mengayuh di jalan, angin menerpa wajahnya. Regina ingat persis bagaimana ia tertawa. Tawa yang kini hanya ada dalam ingatan, tawa yang tak akan pernah ia dengar lagi.Regina duduk di sofa, memegang secangkir teh yang sudah dingin. Ia memejamkan mata, membiarkan ingatannya kembali ke hari-hari biasa yang kini terasa seperti permata yang hilang. Suara Chuck saat membaca koran, nada riangnya saat berbisik "aku pulang!" saat ia membuka pintu, atau kecintaannya yang tak terpuaskan pada film-film Barat lama. Chuck adalah sosok yang sederhana, tetapi kehangatannya mengisi setiap sudut rumah, setiap sudut kehidupan mereka.Di sisi lain kota, Brittany duduk di depan laptopnya. Layarnya terang, menyinari wajahnya yang tegang. Ia sedang melihat-lihat foto-foto lama juga, tetapi tujuannya berbeda. Ia mencari data, artikel berita, dan laporan polisi tentang kecelakaan serupa. Duka Brittany bukanlah nostalgia yang hangat; itu adalah api yang membakar yang hanya akan padam dengan keadilan.Ia mengklik foto di desktopnya: ayahnya yang sedang mengajaknya bermain baseball di halaman belakang, mengajarinya cara melempar bola dengan benar. "Jangan hanya mengandalkan kekuatan, Britt," kata Chuck, "gunakan momentum. Lihat ke mana kau ingin bola itu pergi, dan biarkan saja." Brittany mengingat pelajaran itu dengan jelas. Itu adalah pelajaran yang ia terapkan dalam hidupnya: fokus pada tujuan, dan jangan biarkan emosi menghalangi.Namun, sekarang, ia merasa emosi menjadi satu-satunya hal yang ia miliki. Marah, sakit, dan penyesalan yang mendalam. Penyesalan karena ia tak bisa melindungi ayahnya. Penyesalan karena ia tak ada di sana."Ayah pantas mendapatkan lebih," ia bergumam pada layar, matanya terpaku pada laporan polisi yang ia temukan. "Kau tidak akan menjadi sekadar statistik."Ia membalas pesan dari Regina, yang menanyakan apakah ia sudah makan. "Sudah, Bu," jawabnya singkat. Ia tidak ingin berbohong, tetapi ia juga tidak ingin mengatakan yang sebenarnya: ia terlalu sibuk mencari bukti, mencari cara untuk membuat orang yang bertanggung jawab merasakan sakit yang sama.Di dua tempat yang berbeda, seorang ibu dan seorang putri sedang menghadapi duka mereka. Regina, dengan kenangan hangat yang kini terasa pahit, mencari kedamaian dalam pengampunan. Brittany, dengan amarah yang membara, mencari kekuatan dalam keadilan. Jalan mereka, yang dulu terjalin erat, kini mulai menyimpang, menciptakan jurang yang semakin dalam di antara mereka.Bab 3: Pemuda yang HancurJoseph Tillman duduk di dalam ruangan yang dingin dan suram. Bau pembersih lantai yang kuat menusuk hidungnya. Suara kunci pintu yang diketuk dari balik jeruji terdengar nyaring. Ia tidak melawan, tidak mencoba bernegosiasi. Ia hanya duduk diam, pikirannya berputar di seputar gambar-gambar mengerikan dari malam kecelakaan. Matanya masih melihat kilasan cahaya dari sepeda motor, suara rem yang mendecit, dan rasa tabrakan yang menggetarkan seluruh tubuhnya.Ia tahu ia bersalah. Tidak ada alasan, tidak ada pembenaran. Ia telah menghirup nitrous oxide. Kecerobohan dan keputusannya yang egois telah mengubahnya menjadi senjata. Sebuah senjata yang merenggut nyawa seseorang yang tidak bersalah.Rasa bersalah adalah beban yang tak tertahankan, dan ia merasakan beratnya di setiap helaan napas. Ia gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena penyesalan yang mendalam. Ia ingin berteriak, meminta maaf, dan berjanji akan melakukan apa saja untuk mengembalikan waktu, tetapi ia tahu itu tidak mungkin.Pintu terbuka, dan seorang pria berjas rapi, dengan mata lelah tetapi ramah, masuk. Ia adalah Paul Ghanouni, pengacara yang ditunjuk untuknya."Joseph," kata Paul, suaranya tenang. "Nama saya Paul Ghanouni. Saya di sini untuk membantu."Joseph hanya menatapnya dengan mata kosong. "Tidak ada yang bisa dibantu," bisiknya, suaranya serak. "Saya yang melakukan ini. Saya yang membunuhnya.""Saya tahu. Dan mengakui kesalahan adalah langkah pertama," jawab Paul. "Namun, pengadilan bukan hanya tentang pengakuan. Ini tentang menunjukkan siapa Anda, tentang latar belakang Anda, dan tentang siapa Anda ingin menjadi."Paul mulai menjelaskan strateginya, berbicara tentang bagaimana mereka bisa menunjukkan kepada hakim bahwa ini adalah kesalahan, bukan perbuatan jahat yang disengaja. Ia berbicara tentang rehabilitasi, tentang potensi untuk penebusan. Tetapi kata-kata itu terasa kosong bagi Joseph."Saya tidak pantas mendapatkannya," potong Joseph, matanya memerah. "Belas kasihan itu. Saya tidak ingin itu."Paul menatapnya. Ia melihat lebih dari sekadar seorang pelaku kejahatan. Ia melihat seorang anak muda yang tersesat, yang kini dihantui oleh dosanya sendiri."Ini bukan tentang apa yang menurut Anda pantas, Joseph. Ini tentang apa yang adil," kata Paul. "Bagi semua orang yang terlibat. Keluarga korban, dan juga Anda."Joseph tidak menanggapi. Ia hanya memejamkan mata, membiarkan bayangan wajah Charles Johnson yang tidak ia kenal, wajah yang hancur karena kesalahannya sendiri, memenuhi kegelapan di balik kelopak matanya. Ia tidak ingin belas kasihan, tidak ingin pembelaan. Ia hanya ingin hukuman. Hukuman yang ia tahu, ia pantas dapatkan.Bab 4: Garis di Antara MerekaRuang tunggu kantor jaksa penuntut terasa sempit, dan ketegangan di antara Regina dan Brittany membuatnya terasa lebih menyesakkan. Mereka duduk di kursi plastik yang kaku, dipisahkan oleh sebuah meja kecil dengan tumpukan majalah yang tak tersentuh. Sepanjang jalan menuju sini, mereka tak mengucapkan sepatah kata pun. Regina telah mencoba, "Bagaimana harimu, sayang?" tetapi Brittany hanya menjawab dengan gumaman."Penyelidik bilang dia siap bertemu," kata Brittany, memecah keheningan. "Dia punya beberapa pertanyaan tentang... latar belakang Ayah."Regina mengangguk, meskipun tidak jelas mengapa hal itu penting. "Baiklah."Setelah jaksa penuntut dan penyidik selesai berbicara, Brittany menarik Regina ke samping. Wajahnya serius. "Ibu tidak boleh mencoba menemuinya, Bu. Petugas Hanson memberitahu saya Ibu sudah bertanya.""Ia punya nama, Brittany. Joseph," jawab Regina, suaranya tenang. "Dan Ibu tidak mencoba menemuinya. Ibu hanya bertanya. Ibu ingin melihat orang yang melakukan ini.""Melihat orang yang membunuh Ayah?" suara Brittany meninggi, nadanya penuh amarah. "Untuk apa? Ibu ingin memaafkannya? Untuk hal ini?"Regina menatap putrinya, mencoba menyampaikan perasaannya. "Ibu tidak tahu, Brittany. Ibu hanya tahu bahwa jika Ibu membiarkan kebencian ini, ia akan menghancurkan Ibu dari dalam.""Kebencian adalah hal yang normal, Bu. Itu adalah respons yang sehat," kata Brittany, suaranya bergetar. "Dia mengambil Ayah dari kita. Itu tidak normal! Ibu tidak bisa begitu saja memaafkan pembunuh Ayah.""Pengampunan adalah untuk Tuhan," suara Brittany terdengar seperti baja. "Hukuman adalah untuk dia. Ayah pantas mendapatkan keadilan, bukan belas kasihan." Ia melihat pengampunan ibunya sebagai pengkhianatan terhadap memori ayahnya.Regina menghela napas. "Pengampunan bukan tentang dia, Brittany. Pengampunan adalah tentang Ibu dan Ayah. Itu adalah satu-satunya cara Ibu bisa merasa damai."Perdebatan mereka terputus saat asisten jaksa kembali. "Nyonya Johnson, kami siap menemui Anda."Saat Regina bangkit, ia melihat tatapan Brittany yang dingin. Ada sebuah jurang yang terbentuk di antara mereka, jurang yang lebih dalam dari rasa duka mereka. Brittany percaya pada keadilan yang tegas, pada garis hitam dan putih. Regina percaya pada belas kasihan, pada pengampunan yang memudar. Di ambang pintu ruangan, mereka terpisah oleh sebuah garis tak terlihat, yang akan menguji hubungan mereka hingga ke batasnya.Bab 5: Pengakuan dan PersiapanHari-hari menjelang persidangan berlalu lambat, terasa seperti menapak di atas pecahan kaca. Setiap jam terasa berat, setiap hembusan napas terasa rumit. Bagi Regina, waktu adalah kesempatan untuk memproses duka dan menemukan kedamaian, meskipun ia tahu ia tidak bisa memaksakannya. Bagi Brittany, waktu adalah sumber daya yang harus ia gunakan untuk mempersiapkan diri, mengumpulkan setiap fakta, setiap detail.Brittany menghabiskan sebagian besar waktunya dengan jaksa penuntut, meninjau laporan kecelakaan dan melihat foto-foto tempat kejadian. Ia ingin memahami secara pasti bagaimana kejadian itu terjadi, seolah-olah dengan mengetahui setiap detail, ia dapat memegang kendali atas emosinya yang membingungkan. Ia membaca ulang dokumen, mencatat kesalahan dan kejanggalan kecil dalam laporan polisi. "Dia seharusnya tidak berada di sana," gumamnya, mencoret-coret catatan. "Dia seharusnya tidak mengemudi."Di sisi lain, Regina menghabiskan sebagian besar waktunya dengan seorang pendeta. Ia tidak mencari jawaban hukum, tetapi jawaban spiritual. Ia berbicara tentang kekosongan yang ditinggalkan Chuck, tentang rasa sakit yang tak terlukiskan, dan tentang keinginan aneh untuk memaafkan. Pendeta itu mendengarkan dengan sabar, tidak menghakimi, dan mengingatkannya bahwa pengampunan adalah sebuah anugerah, tidak selalu mudah, tetapi selalu mungkin.Di tengah semua ini, Joseph Tillman berada di balik jeruji besi. Ia sedang berbicara dengan pengacaranya, Paul Ghanouni, yang sedang mempersiapkannya untuk persidangan. Paul menjelaskan bahwa ia harus bersiap untuk melihat kemarahan, kebencian, dan kesedihan yang akan diarahkan padanya. "Akan sulit, Joseph," kata Paul. "Tapi Anda harus menunjukkan kepada mereka bahwa Anda mengerti beratnya apa yang telah Anda lakukan."Joseph mengangguk. Ia tidak peduli betapa sulitnya itu. Ia hanya ingin mengakhiri semua ini. "Saya akan mengakui semuanya," katanya. "Saya tidak ingin ada perdebatan, tidak ada pembelaan. Saya hanya ingin mereka tahu bahwa saya menyesal."Paul menghela napas. "Itu akan membantu," katanya. "Tetapi, Anda harus bersiap. Persidangan ini akan disaksikan oleh publik, dan keluarga Johnson akan hadir."Malam sebelum persidangan, Regina dan Brittany makan malam bersama. Suasana terasa sangat kaku. Brittany berbicara tentang rincian persidangan, tentang jadwal, dan kemungkinan putusan. Regina mencoba mengarahkan percakapan ke topik lain, tetapi ia tahu itu tidak berguna."Ibu tahu apa yang akan Ibu lakukan, kan?" tanya Brittany tiba-tiba. "Di sana, di depan semua orang."Regina menatapnya, matanya penuh kasih. "Ibu tidak yakin," jawabnya jujur. "Tapi Ibu akan mengikuti hati Ibu.""Hati tidak akan memenangkannya di ruang sidang," kata Brittany dingin.Regina tidak menjawab, dan ia tahu ia tidak akan pernah bisa memenangkan argumen ini. Ia tahu jalan yang akan ia ambil, dan ia juga tahu, jalan Brittany, tidak akan pernah sama.Bab 6: Tirai TerbukaRuang sidang dipenuhi oleh bisikan yang memenuhi ruangan, gema langkah-langkah kaki di lantai marmer, dan bau kertas yang sudah usang. Di tengah-tengah semua itu, duduk Regina dan Brittany di barisan depan, dipisahkan oleh sebuah kursi kosong—sebuah kursi yang seharusnya diisi oleh Chuck. Kehadiran kursi kosong itu terasa lebih nyata daripada siapa pun yang duduk di sana.Mata Regina memindai ruangan. Ia melihat wajah-wajah yang asing, para juri yang mencoba untuk tidak menunjukkan emosi, dan jaksa penuntut yang sibuk menumpuk dokumen. Tetapi matanya berhenti di bangku terdakwa. Di sana, duduk Joseph Tillman. Tubuhnya kurus, bahunya melengkung, dan ia menatap tangannya yang saling menggenggam di atas meja. Ia tidak terlihat seperti monster, tidak terlihat seperti pembunuh. Ia hanyalah seorang anak laki-laki yang tersesat.Sementara itu, Brittany juga melihat ke arah yang sama, tetapi ia melihat hal yang berbeda. Ia melihat seorang pria yang merenggut nyawa ayahnya. Ia melihat kecerobohan yang tak termaafkan, dan ia membenci setiap serpihan tulang di dalam dirinya. Ia melihat keadilan yang telah lama tertunda, dan ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan ada pengampunan di ruangan ini.Sidang dimulai, dan jaksa penuntut, seorang wanita dengan suara yang tajam, mulai menyampaikan pernyataan pembukaannya. Ia berbicara tentang fakta-fakta, tentang kecelakaan itu, dan tentang "tindakan yang disengaja dan ceroboh" dari terdakwa. Ia melukiskan gambaran yang suram dan mematikan, tetapi bagi Brittany, kata-kata itu terasa seperti musik yang indah. Itu adalah kebenaran, dan kebenaran adalah satu-satunya hal yang ia inginkan.Setelah jaksa selesai, pengacara Joseph, Paul Ghanouni, berdiri. Ia tidak mencoba untuk menyangkal fakta. Ia mengangguk mengakui bahwa kecelakaan itu adalah sebuah tragedi. Ia berbicara tentang "penyesalan yang mendalam" dari Tillman, tentang kecerobohan yang lahir dari kecanduan. Ia mencoba untuk menunjukkan sisi manusiawi dari kliennya, tetapi bagi Brittany, itu hanyalah sebuah taktik untuk mengurangi hukuman."Tidak ada yang bisa memaafkan apa yang saya lakukan," kata Joseph Tillman, suaranya pelan dan bergetar saat ia memulai kesaksiannya. "Saya tahu itu. Saya hanya bisa meminta agar Anda melihat saya sebagai manusia yang hancur karena kesalahan saya sendiri."Regina meneteskan air mata. Ia merasakan rasa sakit yang dalam dari Tillman. Ia bisa melihat penyesalan di mata pemuda itu. Sementara itu, Brittany mengepalkan tinjunya di bawah meja, mencoba mengendalikan amarah yang membara di dalam dirinya. Ia tak percaya satu pun kata-kata yang diucapkan Tillman.Tirai sudah terbuka, dan permainan telah dimulai. Namun, di dalam ruang sidang itu, terdapat dua versi kebenaran yang berbeda: satu yang menuntut keadilan mutlak, dan satu lagi yang mencari pengampunan.Bab 7: Momen Puncak di PengadilanSetelah jaksa penuntut dan pengacara pembela selesai dengan argumen mereka, tibalah saat yang dinanti-nanti. Jaksa berdiri, matanya tertuju pada Regina."Pihak korban ingin memberikan pernyataan, Yang Mulia," katanya kepada hakim.Jantung Regina berdebar kencang. Ia tidak punya teks yang disiapkan atau poin-poin yang perlu disampaikan. Ia hanya memiliki hatinya, yang dipenuhi oleh duka dan keyakinan aneh yang membebaskannya. Ia bangkit dari tempat duduknya, melirik sekilas ke arah Brittany, yang menatapnya dengan tatapan campur aduk antara kebingungan dan kekhawatiran.Langkah kakinya terasa berat saat ia berjalan menuju mimbar saksi, tetapi ia terus maju, matanya tertuju pada Joseph Tillman. Ia tidak melihat pembunuh. Ia melihat seorang anak laki-laki yang hancur, sama hancurnya dengan dirinya.Di mimbar, ia mengambil napas dalam-dalam. "Yang Mulia, saya tidak datang ke sini untuk meminta hukuman yang lebih berat," ia memulai, suaranya tenang, tetapi terdengar jelas di seluruh ruang sidang yang hening. "Saya datang untuk berbicara tentang pengampunan."Bisikan mulai terdengar di antara penonton. Brittany mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang didengarnya."Suami saya, Chuck, adalah pria yang penuh kasih. Ia akan menjadi orang pertama yang mengatakan bahwa hidup ini terlalu singkat untuk diisi dengan kebencian," lanjut Regina. "Saya kehilangan belahan jiwa saya, pria yang telah bersama saya selama lima puluh tahun. Saya bisa membenci Tuan Tillman, saya bisa membiarkan amarah ini memakan saya dari dalam, tetapi itu tidak akan mengembalikan Chuck. Itu hanya akan menciptakan lebih banyak kehancuran."Matanya bertemu dengan mata Joseph Tillman. "Tuan Tillman, saya ingin Anda tahu bahwa saya memaafkan Anda. Saya tahu Anda tidak bermaksud melakukannya."Joseph Tillman mulai terisak. Bahunya bergetar, dan ia tidak lagi menatap ke bawah. Ia menatap lurus ke arah Regina, air mata mengalir di pipinya.Kemudian, dengan dorongan yang tidak bisa ia jelaskan, Regina berjalan turun dari mimbar. Hakim dan pengawal keamanan tampak bingung, tetapi Regina tidak peduli. Matanya hanya tertuju pada Tillman. Brittany bangkit, tangannya terulur, mencoba menghentikan ibunya, tetapi ia terlalu lambat.Regina melingkarkan lengannya di tubuh Tillman yang gemetar. Ia memeluknya, sebuah pelukan yang tidak hanya memberikan pengampunan, tetapi juga sebuah "pelukan ibu" yang sangat dibutuhkan. Dalam pelukan itu, ia membisikkan sesuatu di telinga Tillman. "Aku memaafkanmu. Dan Tuhan mencintaimu lebih dari yang kamu tahu."Tillman membalas pelukan itu dengan erat, dan tangisnya pecah. "Maaf," bisiknya, suaranya penuh penyesalan. "Maafkan saya. Saya sangat menyesal."Ruang sidang benar-benar hening. Namun, di barisan depan, hati Brittany hancur berkeping-keping. Itu adalah pengkhianatan, pengkhianatan publik yang tidak bisa ia mengerti. Ibunya memeluk pembunuh ayahnya, dan Brittany tahu, di momen itu, garis pemisah di antara mereka telah berubah menjadi jurang yang tak terhindarkan.Bab 8: Kebenaran yang PahitKeheningan di ruang sidang terasa lebih berat setelah pelukan itu. Keheningan itu pecah saat Brittany bangkit dari kursinya. Ia tidak melihat ke arah ibunya, tidak melihat ke arah hakim. Matanya terkunci pada Joseph Tillman, yang masih terisak.Brittany berjalan ke mimbar, langkahnya tegas dan penuh tekad. Ia menolak tatapan kaget dari jaksa penuntut. Ia mengambil tempat di mimbar saksi, tangannya mencengkeram erat sisi mimbar. Ia tidak perlu diminta untuk berbicara."Nama saya Brittany McCarthy," ia memulai, suaranya bergetar, tetapi penuh dengan keyakinan yang dingin. "Saya adalah putri dari pria yang Anda bunuh."Suara itu bergema di seluruh ruangan, tajam dan menusuk. Regina menutupi mulutnya dengan tangannya, sementara Joseph Tillman mengangkat kepalanya, air matanya masih mengalir. Ia tidak bisa menatap Brittany, dan ia menundukkan kepalanya lagi."Saya menyaksikan Ibu saya memberikan pengampunan," lanjut Brittany, matanya tertuju pada Tillman, "dan saya ingin Anda tahu bahwa itu adalah pilihannya. Itu bukan pilihan saya. Itu bukan pilihan Ayah saya."Ia mengambil napas dalam-dalam. "Saya akan selalu menjadi putri dari pria yang kau bunuh," katanya, suaranya bergetar. "Saya akan menjadi putri yang hatinya kau hancurkan, kehidupan yang kau ubah selamanya karena pilihanmu untuk menggunakan narkoba saat mengemudi."Tillman tidak bisa menahan isakannya. Ia tidak hanya mendengarkan kemarahan, tetapi juga rasa sakit yang mendalam yang ia sebabkan."Ayahku adalah pria yang luar biasa," lanjut Brittany, suaranya melembut tetapi tidak kehilangan kekuatannya. "Ia adalah seorang suami yang baik, seorang ayah yang menyayangiku. Dan kau merenggutnya dari kami semua. Kau menjadi senjata mematikan, dan ayahku membayar harganya dengan nyawanya."Brittany berhenti, suaranya tercekat. Ia mengambil napas, mengendalikan dirinya sendiri. "Jadi, meskipun Ibu saya memilih untuk mengampuni," katanya, suaranya kini kembali tegas, "saya tidak bisa. Keadilan harus ditegakkan. Bukan hanya untuk Ayah saya, tetapi untuk setiap orang yang hidupnya hancur karena pilihan-pilihan yang dibuat orang sepertimu."Ia turun dari mimbar, tatapannya dingin dan penuh keyakinan. Ia berjalan melewati Regina tanpa menatapnya, dan kembali duduk di kursinya. Ruangan itu kembali hening, tetapi kali ini keheningan itu dipenuhi oleh ketegangan yang lebih kuat. Ini bukan lagi tentang pengampunan atau hukuman. Ini tentang dua versi kebenaran yang tidak akan pernah bisa bertemu.Bab 9: Setelah VonisPalung telah jatuh. "Dua puluh tahun," gema kata-kata hakim masih terngiang di telinga Joseph Tillman. Dua puluh tahun. Angka itu terdengar sangat berat, sebuah hukuman yang nyata, tetapi bagi Joseph, vonis itu terasa seperti napas lega yang panjang. Ia telah menerima hukuman yang ia rasa pantas.Saat petugas mengawalnya keluar dari ruang sidang, ia melirik ke arah bangku penonton. Regina Johnson duduk tegak di sana, menatapnya dengan mata yang penuh dengan belas kasihan, bukan kebencian. Pelukannya di ruang sidang terasa seperti sebuah mimpi, sebuah momen pengampunan yang tidak ia duga, dan ia tahu ia tidak akan pernah bisa melupakannya. Pelukan itu memberinya harapan, tetapi juga beban: harapan bahwa ia bisa menjadi orang yang lebih baik, dan beban untuk tidak pernah menyia-nyiakan pengampunan itu.Di sisi lain, Brittany McCarthy berdiri tegak, memandang punggung Joseph yang menghilang di pintu. Matanya dipenuhi dengan kepuasan yang dingin. Keadilan telah ditegakkan. Bukan dalam arti yang dapat memulihkan ayahnya, tetapi dalam arti bahwa orang yang bertanggung jawab telah dihukum. Namun, di dalam dirinya, ia merasa hampa. Kemenangan itu tidak terasa manis seperti yang ia bayangkan.Ketika mereka keluar dari gedung pengadilan, wartawan mengerumuni mereka, melontarkan pertanyaan tentang pengampunan Regina dan pernyataan emosional Brittany. Regina menjawab dengan tenang, mengulangi kata-kata tentang pengampunan dan belas kasihan. Brittany, di sisi lain, menjawab dengan tegas, menolak untuk menunjukkan emosi apa pun.Malam itu, di rumah Regina, keheningan terasa lebih memekakkan telinga daripada sebelumnya. Regina mencoba untuk berbicara dengan Brittany, tetapi putrinya hanya menutup diri. "Ibu tidak mengerti, Bu," kata Brittany, suaranya terdengar jauh. "Ibu tidak bisa begitu saja memeluk orang yang membunuh Ayah. Itu seperti memaafkan sebuah kejahatan.""Ibu tidak memaafkan kejahatan itu, Brittany," jawab Regina lembut. "Ibu memaafkan orangnya."Brittany hanya menggelengkan kepalanya dan pergi ke kamarnya, menutup pintu di belakangnya, meninggalkan Regina sendirian dengan teh yang dingin dan kesedihan yang baru: kesedihan yang bukan hanya karena kehilangan suaminya, tetapi juga karena kehilangan putrinya.Di dalam selnya yang gelap, Joseph Tillman duduk di atas kasurnya. Ia memikirkan dua perempuan itu—Regina yang memeluknya, dan Brittany yang menatapnya dengan kebencian. Ia tahu ia tidak bisa membalas kebaikan Regina, tetapi ia bisa memastikan pengampunan itu tidak sia-sia. Ia bertekad untuk menggunakan waktu di penjara untuk menjadi orang yang lebih baik, demi dirinya, demi Regina, dan mungkin suatu hari nanti, demi Brittany.Bab 10: Jurang yang Semakin DalamMinggu-minggu setelah vonis berlalu dengan lambat, dipenuhi oleh keheningan yang tebal dan tidak nyaman. Rumah Regina, yang dulu hangat dan penuh tawa, kini terasa dingin dan kosong. Keheningan itu bukan disebabkan oleh tidak adanya kata-kata, tetapi oleh kata-kata yang tidak diucapkan. Setiap percakapan yang mereka coba mulai, entah bagaimana, selalu kembali ke ruang sidang dan peristiwa yang mengubah segalanya.Suatu malam, saat Regina sedang melipat pakaian di ruang cuci, Brittany masuk, memegang sebuah surat kabar. Matanya menatap tajam ke arah ibunya."Kau melihat ini?" tanyanya, suaranya dingin dan menusuk. Ia menunjuk sebuah artikel tentang persidangan Joseph Tillman. Judulnya berbunyi: "Momen Langka Pengampunan: Istri Korban Memeluk Terdakwa."Regina menghela napas. "Ibu melihatnya, Brittany.""Bagaimana bisa Ibu?" Brittany bertanya, nada suaranya penuh rasa sakit. "Bagaimana Ibu bisa membiarkan mereka menulis tentang pengampunan? Ayah meninggal! Keadilanlah yang harusnya jadi berita utama, bukan belas kasihan.""Ini adalah kebenaran, Brittany," kata Regina dengan lembut. "Ini adalah apa yang terjadi.""Bukan!" Brittany membanting koran itu di atas tumpukan cucian. "Kebenaran adalah Ayah kita meninggal karena pria itu. Kebenaran adalah ia seorang pecandu. Kebenaran adalah ia seorang pembunuh. Tindakan Ibu... tindakan itu menutupi kebenaran. Ibu mengkhianati Ayah."Kata-kata itu menghantam Regina seperti pukulan fisik. "Ibu tidak mengkhianati Ayah," jawab Regina, suaranya naik. "Ibu melakukan apa yang Ayah akan lakukan. Ayah adalah pria yang pemaaf.""Ibu tidak tahu itu!" Brittany berteriak. "Ibu tidak tahu apa yang Ayah akan lakukan! Ayah tidak di sini, karena pria itu! Pria yang Ibu peluk!" Air mata mulai mengalir di pipi Brittany, tetapi itu bukan air mata kesedihan, melainkan air mata amarah yang murni dan tak terkendali."Ibu merasa kasihan padanya?" tanyanya, suaranya pecah. "Ibu merasa kasihan padanya sementara kita harus hidup dengan kenyataan bahwa Ayah hilang?"Regina mendekat dan mencoba menyentuh tangan putrinya, tetapi Brittany menariknya. "Jangan sentuh aku," bisiknya, suaranya penuh kebencian. "Aku tidak tahu siapa Ibu lagi."Brittany pergi, meninggalkan Regina sendirian di ruang cuci yang dingin, dikelilingi oleh pakaian Chuck yang sudah dicuci, dilipat, dan dibersihkan—seperti kehidupannya sendiri. Ia menyadari bahwa ia tidak hanya kehilangan suaminya, tetapi juga putrinya. Dan di antara mereka berdua, jurang yang tercipta di persidangan kini telah menjadi parit yang dalam dan berbahaya.Bab 11: EpilogTahun-tahun berlalu, mengubah jalan kehidupan semua orang.Di dalam penjara, Joseph Tillman bukan lagi pemuda yang hancur. Ia telah berubah. Ia menyelesaikan pendidikan umum, mengikuti setiap program rehabilitasi yang ditawarkan, dan menghabiskan sebagian besar waktunya di perpustakaan penjara. Pelukan Regina Johnson tidak pernah ia lupakan, dan ia tahu ia berutang budi padanya.Suatu hari, ia duduk dan menulis sebuah surat. Bukan untuk keluarga atau teman-temannya, tetapi untuk Regina. Dalam surat itu, ia tidak meminta pengampunan lagi. Ia hanya berterima kasih. Ia berterima kasih karena ia telah menunjukkan padanya sebuah jalan keluar, sebuah jalan untuk menjadi orang yang lebih baik. Ia menyimpannya, tidak yakin apakah ia akan pernah mengirimnya, tetapi menulisnya saja sudah cukup.Di luar tembok penjara, Brittany McCarthy telah menemukan caranya sendiri untuk berduka. Ia tidak pernah bisa melupakan kebenciannya, tetapi seiring waktu, ia belajar untuk menjalaninya. Ia menjadi sukarelawan untuk sebuah organisasi yang membantu korban tabrak lari dan keluarganya. Ia tidak pernah secara terbuka memaafkan Joseph Tillman, tetapi ia menemukan kedamaian dalam membantu orang lain yang menderita seperti dirinya.Hubungan Brittany dengan ibunya, Regina, tetap tegang. Mereka jarang berbicara, dan ketika mereka melakukannya, mereka menghindari topik-topik yang sensitif. Brittany masih merasa dikhianati oleh tindakan ibunya, dan ia tidak bisa memahaminya.Namun, di suatu sore, ia mengunjungi makam ayahnya. Ia melihat ibunya sudah berada di sana, sedang menyiram bunga. Regina tersenyum, senyum yang menunjukkan kedamaian. Mereka berdiri dalam keheningan, dua wanita yang mencintai pria yang sama, tetapi memproses dukanya dengan cara yang berbeda.Regina akhirnya memecah keheningan. "Aku hanya ingin kau tahu, Nak," katanya, "Aku tidak menyesali apa yang kulakukan."Brittany tidak menjawab. Ia tidak mengerti, tetapi untuk pertama kalinya, ia tidak marah. Ia memandang makam ayahnya, memikirkan betapa Chuck akan bangga pada mereka berdua—pada Regina karena menemukan kekuatan untuk memaafkan, dan pada Brittany karena menemukan kekuatan untuk berjuang demi keadilan.Mereka tetap tidak berbaikan, tetapi di momen itu, mereka tahu bahwa mereka akan baik-baik saja.Dan di antara mereka, di tengah kesunyian, cerita mereka terus berlanjut. Ini bukan cerita tentang pengampunan yang memudar, atau keadilan yang absolut, tetapi tentang dua sisi dari sebuah mata uang yang sama, dua sisi dari duka yang tak terhindarkan.TAMAT
********
TENTANG NOVEL INI
Novel pendek ini ditulis berdasarkan kisah nyata, yang beritanya sedang ramai beberapa hari ini.Momen pengampunan yang diberikan oleh seorang istri yang berduka kepada pemuda yang membunuh suaminya di ruang sidang telah menyentuh hati banyak orang di seluruh dunia. Namun, kisah ini lebih dari sekadar berita utama. Ini adalah sebuah eksplorasi tentang duka, pengampunan, dan keadilan dari berbagai sudut pandang.Meskipun diangkat dari kisah nyata, ini adalah sebuah karya fiksi. Detail dan dialognya adalah hasil imajinasi, yang dirajut untuk memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang pergolakan emosional yang mungkin dirasakan oleh orang-orang yang terlibat. Kisah ini bertujuan untuk mengeksplorasi garis yang memisahkan pengampunan dari keadilan, dan bagaimana dua hal tersebut dapat berbenturan dalam sebuah tragedi yang sama.Ini adalah sebuah cerita tentang bagaimana duka mengubah kita, tentang bagaimana cinta dan kemarahan dapat hidup berdampingan dalam satu hati, dan tentang bagaimana terkadang, satu pelukan dapat menjadi seribu kata.
Novel pendek ini ditulis berdasarkan kisah nyata, yang beritanya sedang ramai beberapa hari ini.Momen pengampunan yang diberikan oleh seorang istri yang berduka kepada pemuda yang membunuh suaminya di ruang sidang telah menyentuh hati banyak orang di seluruh dunia. Namun, kisah ini lebih dari sekadar berita utama. Ini adalah sebuah eksplorasi tentang duka, pengampunan, dan keadilan dari berbagai sudut pandang.Meskipun diangkat dari kisah nyata, ini adalah sebuah karya fiksi. Detail dan dialognya adalah hasil imajinasi, yang dirajut untuk memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang pergolakan emosional yang mungkin dirasakan oleh orang-orang yang terlibat. Kisah ini bertujuan untuk mengeksplorasi garis yang memisahkan pengampunan dari keadilan, dan bagaimana dua hal tersebut dapat berbenturan dalam sebuah tragedi yang sama.Ini adalah sebuah cerita tentang bagaimana duka mengubah kita, tentang bagaimana cinta dan kemarahan dapat hidup berdampingan dalam satu hati, dan tentang bagaimana terkadang, satu pelukan dapat menjadi seribu kata.

