NOVEL PENDEK: TATA DAN TEORINYA
September 22, 2025
0
Dinding kamar Tata adalah museum sepi. Koleksinya bukan lukisan atau patung, melainkan buku-buku bersampul tebal dengan judul-judul rumit: "Psikologi Daya Pikat," "Seni Manipulasi Emosi," hingga "Panduan Praktis Menaklukkan Wanita." Tata telah membaca semuanya, berulang kali, sampai ia merasa setiap kalimat dan teori sudah terpatri di dalam otaknya. Namun, di dunia nyata, teorinya tetap kosong. Tata tidak punya kekasih, bahkan teman perempuan pun bisa dihitung jari.Hidupnya adalah siklus yang membosankan. Pagi hari, ia bangun, membuat kopi, dan duduk di meja kerja. Di hadapannya, sebuah laptop yang sering kali layarnya kosong. Ia selalu ingin menulis, menuangkan semua teori yang ia hafal, tapi inspirasi tak pernah datang. Lelah menunggu, ia beralih ke jendela.Jendela itu adalah satu-satunya jendela dunia baginya. Dari sana, ia bisa melihat ke halaman rumah orang lain, menyaksikan kehidupan normal yang terasa begitu asing. Pasangan yang berciuman di depan pintu, anak-anak yang bermain sepeda, atau sepasang suami-istri yang bergotong royong menata pot bunga. Tata mengamati setiap detail, memotretnya di dalam benaknya, lalu mencoba menganalisis interaksi mereka berdasarkan teori-teori yang ia pelajari.Di balik kaca jendela, ia adalah seorang ahli. Namun, di balik pintu kamar, ia hanyalah seorang pria yang terperangkap dalam rutinitasnya. Setiap hari sama. Setiap hari, ia menanti sesuatu yang berbeda, sesuatu yang bisa mematahkan siklus ini dan memberinya bahan cerita yang ia cari. Tanpa ia sadari, ia akan segera mendapatkannya.***Sore itu, rutinitas membosankan Tata akhirnya terpecah. Sebuah truk pindahan berwarna kuning berhenti di depan rumah di seberang, rumah yang sudah kosong berbulan-bulan. Seorang wanita muda yang tampak ceria turun, rambutnya terikat santai, dan ia tersenyum lebar pada pria yang membantunya menurunkan barang. Mereka pengantin baru, terlihat dari aura kasmaran yang memancar kuat dari keduanya.Tata melihat mereka dari balik tirai jendelanya, mengamati setiap gerak-gerik dengan mata seorang analis. Namanya Talita, dan suaminya bernama Ardi. Talita sangat cantik, dengan mata yang selalu terlihat hidup dan tawa yang renyah. Sedangkan Ardi, adalah pria pekerja keras yang pagi-pagi sekali sudah pergi ke pabrik dengan motor bututnya, dan seringkali pulang ketika matahari sudah terbenam. Pola ini berulang setiap hari. Pintu gerbang terbuka di pagi hari, dan Talita akan melambaikan tangan, kemudian pintu itu tertutup dan Talita sendirian di dalam rumah."Celah," bisik Tata pada dirinya sendiri. Persis seperti yang dijelaskan dalam Bab 7 buku "Menyentuh Hati Wanita Kesepian." Ia mencatatnya di buku catatan kecilnya: Subjek baru telah ditemukan. Kondisi: Sendirian, rentan secara emosional karena ditinggal suami kerja. Potensi: Tinggi.Tata tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa punya tujuan. Ia tidak lagi hanya menjadi pengamat, tetapi juga seorang "ilmuwan" yang siap mempraktikkan semua teori yang telah ia kumpulkan. Inspirasi yang ia cari akhirnya datang. Ia kini punya plot, karakter, dan tujuan yang jelas. Tata merasakan sensasi yang mendebarkan, seolah-olah hidupnya akan segera dimulai, persis seperti yang sering ia baca dalam novel-novel fiksi.***Tata membuka laptopnya. Kursor yang berkedip di layar kosong terasa seperti denyut jantungnya yang berdegup kencang. Ini bukan lagi sekadar observasi, tapi praktik. Ia mulai mengetik, membayangkan setiap detail dengan saksama.Skenario pertama ia tulis dengan hati-hati. Hari itu, ia melihat Talita sedang menyiram tanaman di halaman depan. Kesempatan emas. Tata segera mengambil pot kecil berisi kaktus yang sudah lama ia simpan, lalu berjalan ke pintu depan. Ia membayangkan dirinya membuka gerbang dan melangkah dengan tenang ke halaman rumah Talita."Selamat sore," sapa Tata, suaranya terdengar ramah dan mantap, persis seperti yang ia praktikkan di depan cermin.Talita mengangkat pandangannya, tersenyum cerah. "Sore juga.""Maaf mengganggu," kata Tata, mengulurkan pot kaktus. "Saya tetangga baru di seberang. Saya lihat Anda suka tanaman, jadi saya pikir... ini kado selamat datang dari saya."Talita menerima pot itu dengan ekspresi terkejut dan bahagia. "Wah, terima kasih banyak! Ini manis sekali. Anda... Tata, kan? Saya sering lihat Anda di jendela.""Ya, itu saya," Tata tertawa canggung, seperti yang tertulis di naskahnya. "Saya Tata.""Saya Talita. Terima kasih banyak, Tata. Mari, mampir dulu, minum teh," ajak Talita.Tata membayangkan dirinya menolak dengan halus. "Lain kali saja. Saya hanya ingin menyapa. Sampai jumpa."Ia membayangkan kembali ke rumahnya dengan senyum puas. Rencana yang begitu cermat, dari gerakan tubuh hingga setiap kata yang terucap, telah berhasil. Pertemuan pertama berjalan sukses. Tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun, Tata sudah merasa selangkah lebih dekat dengan Talita. Ia menatap layar laptopnya, membaca ulang adegan itu, dan merasakan sensasi kemenangan yang memabukkan.***Skenario pertemuan pertama yang ia tulis di laptop sudah menjadi dasar yang solid. Sekarang, Tata harus melanjutkannya. Menurut buku "Teori Kedekatan," interaksi yang berulang adalah kunci. Jadi, ia membiarkan imajinasinya kembali terbang, menempatkan dirinya dan Talita dalam skenario-skenario kecil yang terasa alami, namun terencana.Hari berikutnya, ia membayangkan dirinya sedang menyapu halaman depan rumahnya. Tentu saja, ia tahu Talita sedang menyirami bunga. Sebuah timing yang sempurna. "Lagi ngapain, Tata?" Ia menengok, membayangkan Talita menyapanya dengan senyum. "Menyapu, seperti yang terlihat." Ia menanggapi dengan sedikit humor, salah satu teknik yang ia pelajari dari Bab 12 buku "Kecerdasan Sosial."Dari situ, percakapan mereka mengalir lancar. Talita bercerita tentang sulitnya merawat tanaman di iklim tropis, sementara Tata, dengan bekal pengetahuannya yang didapat dari Google, memberikan beberapa tips yang terdengar cerdas. Skenario itu berlanjut, dari percakapan singkat di halaman depan, menjadi percakapan yang lebih panjang saat mereka "bertemu" di warung kopi.Tata membayangkan dirinya membantu Talita membawa belanjaan saat wanita itu pulang dari pasar. Ia membayangkan dirinya menceritakan lelucon yang membuat Talita tertawa renyah. Tata bahkan membayangkan dirinya menepuk pundak Talita dengan lembut saat mereka selesai berinteraksi. Setiap adegan ia tulis detail di laptopnya, lengkap dengan dialog dan deskripsi emosi.Di balik laptopnya, ia bukan lagi seorang pengamat. Ia adalah sutradara dari film yang hanya bisa dilihatnya sendiri. Tata tersenyum puas. Ia sudah selangkah lebih jauh. Ia telah membangun sebuah "hubungan" yang ia rasa begitu nyata, sebuah hubungan yang ia ciptakan dari kata-kata dan khayalan, yang ia yakini akan membawanya pada hasil akhir yang ia idam-idamkan.***Hari-hari Tata kini hanya berpusat pada satu hal: laptop dan layar yang menampilkan kisah fantasi romantisnya. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya, pagi hingga larut malam, di balik jendela kamarnya. Debu mulai menumpuk di meja, dan cangkir-cangkir kopi kosong berjejer di lantai. Ia sudah tidak peduli. Seluruh energinya tersedot habis untuk menyempurnakan setiap adegan, setiap dialog, dan setiap detail ekspresi Talita.Di dalam narasi yang ia ciptakan, hubungan mereka telah berkembang pesat. Mereka tidak lagi hanya bertukar sapa. Mereka "pergi" ke warung kopi, "berbelanja" bersama, bahkan "berbagi" cerita tentang impian dan ketakutan masing-masing. Tata merasa ia sudah sangat mengenal Talita, padahal semua itu hanya produk dari pikirannya, dihidupkan oleh kata-kata yang ia ketik.Suatu sore, ia menemukan Bab 15 dari buku "Seni Memikat Hati," yang membahas "kekuatan sentuhan tak terduga." Tata menganggap ini sebagai tantangan berikutnya. Ia membayangkan skenario baru. Sore itu ia melihat Talita sedang mencabut rumput liar di halaman depan, rambutnya sedikit berantakan dan keringat membasahi dahinya. Sebuah adegan yang sempurna untuk sebuah "sentuhan tak terduga."Tata keluar dari rumahnya, membawa sebuah obeng dan beberapa paku. Ia berjalan mendekat, seolah-olah akan membetulkan sesuatu pada pagar pembatas. Ia membayangkan dirinya menjatuhkan paku-paku itu tepat di dekat Talita. Lalu, saat ia membungkuk untuk mengambilnya, tangannya akan tidak sengaja menyentuh tangan Talita. Ia menuliskan dialognya: "Maaf, tidak sengaja," dan Talita akan tersenyum.Tata menutup laptopnya, dan untuk pertama kalinya ia benar-benar melangkah keluar dari rumah. Ia mengamati Talita yang sedang membersihkan halaman rumahnya. Dengan sedikit gemetar, ia berjalan ke pagar. Di tangannya ada sebuah palu. Ia pura-pura memukul paku di tiang pagar. Ia mengamati Talita yang sedang berjongkok, persis seperti dalam skenarionya. Tata menunggu. Ia membayangkan paku itu jatuh dan tangannya menyentuh tangan Talita. Namun, Tata hanya diam, membiarkan palu di tangannya tetap di udara. Ia tidak benar-benar melakukan apa pun, tapi ia merasakan sensasi yang sama seperti yang ia tulis di dalam ceritanya. Ia tersenyum, merasa puas karena telah "menyentuh" tangan Talita dalam imajinasinya.***Suara deru motor yang familiar kembali terdengar. Tata tidak perlu melihat keluar untuk tahu siapa itu. Ardi. Ia menatap layar laptopnya, melihat bayangan dirinya dan Talita yang sedang tertawa bersama. Di dalam kepalanya, suara motor itu adalah gangguan, sebuah tantangan yang harus ia atasi.Ardi, suami Talita, adalah sosok yang kontras dengannya. Tubuh Ardi tegap, dengan seragam pabrik yang selalu bersih, sementara Tata lebih suka memakai kaus usang dan celana pendek. Ardi pulang setiap malam, selalu dengan senyum lelah di wajahnya, membawakan sekotak martabak atau sekantong sate untuk Talita. Ini adalah musuh yang jauh lebih kuat dari apa pun yang pernah ia bayangkan.Tata memutuskan untuk memasukkan Ardi ke dalam ceritanya. Ia membutuhkan konflik. Ia menuliskan sebuah adegan di mana ia dan Talita sedang berbincang di halaman depan, saat Ardi pulang. Talita akan terlihat canggung, sementara Ardi menatap Tata dengan tatapan penuh selidik."Lagi ngapain, ya?" Ardi akan bertanya dengan nada dingin, suaranya seberat beban kerja seharian di pabrik."Cuma ngobrol biasa," Talita akan menjawab, suaranya sedikit gemetar.Tata akan menjawab dengan tenang, menggunakan teknik "non-verbal dominan" yang ia pelajari dari buku "Kekuasaan di Balik Kata." Ia akan berdiri tegak, membalas tatapan Ardi dengan senyum santai, seolah ia adalah satu-satunya pria yang berhak berada di sisi Talita.Di dalam imajinasinya, ia berhasil mengintimidasi Ardi. Suami Talita itu akan masuk ke dalam rumah dengan wajah masam, meninggalkan Talita yang kini memandang Tata dengan tatapan kagum. Tata tersenyum di balik layar laptopnya. Ia telah memenangkan babak pertama. Ia tidak hanya merusak hubungan mereka; ia juga telah membuktikan bahwa dirinya adalah sosok yang lebih kuat. Ia telah membuat narasi ini menjadi miliknya.Tata tahu, ini baru permulaan. Ia harus membuat Ardi keluar dari ceritanya. Dan ia tahu persis bagaimana caranya. Dengan menciptakan konflik, ia bisa mendapatkan simpati Talita. Tata yakin, itu akan menjadi langkahnya untuk memenangkan hati Talita sepenuhnya. Ia hanya perlu menekan beberapa tombol, dan Ardi akan mulai memudar.***Malam-malam berikutnya, kehadiran Ardi terasa seperti bayangan yang mengganggu di pinggir layar laptop Tata. Tata tidak lagi bisa fokus hanya pada Talita. Ia terus-menerus memikirkan cara untuk "menghilangkan" Ardi dari ceritanya. Ia kembali membuka buku-buku psikologi, mencari bab tentang "Menciptakan Keretakan dalam Relasi." Ia menemukan satu bab yang membahas tentang "komunikasi non-verbal yang dominan." Tata memutuskan untuk menggunakan teknik ini.Pada suatu malam, Tata melihat Ardi pulang dari pabrik, meletakkan helm di motornya, dan mengambil sekantong makanan. Ini adalah adegan yang sempurna. Tata segera kembali ke laptopnya dan mulai mengetik.Ia menuliskan adegan di mana ia dan Talita sedang berbincang santai di teras, persis di saat Ardi pulang. Dalam skenario ini, Tata dan Talita sedang tertawa saat Ardi mendekat. Wajah Ardi dalam khayalan Tata tampak masam, lelah, dan penuh kecurigaan."Lagi ngapain, ya?" Ardi bertanya dengan nada yang tidak ramah.Tata, dalam skenarionya, tidak akan goyah. Ia akan membalas tatapan Ardi dengan senyum yang santai namun penuh percaya diri."Cuma ngobrol biasa, Mas. Talita butuh teman bicara," Tata menjawab, suaranya terdengar ramah namun ada nada yang sengaja ia selipkan: "Ia sering kesepian."Kata-kata itu bagai bom waktu. Di dalam cerita, wajah Ardi berubah muram. Talita menatap Tata dengan ekspresi terkejut dan sedikit takut, tapi di dalam benak Tata, tatapan itu adalah rasa terima kasih karena ia telah berani mengungkapkan kebenaran yang tidak bisa Talita katakan.Ardi lalu masuk ke dalam rumah, membanting pintu. Talita meminta maaf atas sikap suaminya, lalu ia menatap Tata dengan mata yang berkaca-kaca, penuh kelelahan dan kesedihan. Tata mendekat, membelai rambutnya, dan berkata, "Kamu tidak sendirian. Ada aku di sini."Tata mengehentikan ketikannya dan bersandar ke kursi. Ia tahu, ia telah berhasil menanamkan keraguan di antara pasangan itu. Ia merasa puas karena telah menguasai skenario ini, mengarahkan setiap karakter, dan mengendalikan setiap hasil. Ia telah membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa "memenangkan" Talita dari Ardi, hanya dengan imajinasi dan ketikan jari.***Sejak "konfrontasi" di teras, suasana di antara mereka menjadi lebih intens. Di dalam skenario Tata, Ardi mulai jarang pulang, atau pulang sangat larut, dan itu membuat Talita semakin kesepian. Tata menganggap ini sebagai kemenangan kecil, dan ia tahu ini adalah waktu yang tepat untuk maju ke tahap berikutnya. Ia ingin menjadi sandaran emosional bagi Talita.Suatu sore, saat matahari mulai terbenam, Tata melihat Talita duduk sendirian di teras depan. Bahunya tampak merosot, dan wajahnya muram. Tata menyadari ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu. Tanpa ragu, ia mulai mengetik.Ia menuliskan adegan di mana ia berjalan perlahan ke arah Talita, membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di kursi di sebelahnya, tidak mengatakan apa-apa. Hanya kehadirannya saja yang ia rasa sudah cukup. Setelah beberapa saat hening, Talita menoleh ke arahnya."Aku merasa… sangat lelah," bisik Talita, suaranya terdengar pecah.Tata menaruh cangkir teh itu di meja kecil di antara mereka. Di dalam ceritanya, ia menatap Talita dengan penuh empati, membiarkan Talita mencurahkan isi hatinya. Talita bercerita tentang kelelahannya, tentang kesepian yang ia rasakan, dan tentang Ardi yang semakin jauh. Air mata mulai menetes di pipinya.Tata, dalam imajinasinya, menggeser kursinya lebih dekat. Ia meraih tangan Talita yang dingin, menggenggamnya dengan lembut."Kamu tidak harus menanggung ini sendirian," katanya, suaranya penuh ketulusan. "Aku di sini."Kata-kata itu adalah mantra yang ia yakin akan berhasil. Talita mendongak, menatapnya dengan mata yang basah, dan untuk sesaat, Tata bisa melihat bayangan dirinya sendiri di mata Talita—seorang pria yang tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga emosional.Tata menghentikan ketikannya. Ia menatap layar laptopnya yang bersinar, dan menyadari bahwa ia baru saja menciptakan adegan yang sangat intim dan emosional. Di luar jendela, ia melihat halaman depan yang kosong, dan sebuah bayangan samar yang lewat. Itu adalah Ardi. Tatapan Tata kembali ke layar. Ia telah menciptakan keretakan yang cukup besar untuk membuat Talita berpaling padanya. Ia telah memenangkan hati Talita.***Setelah percakapan yang terasa begitu intim, Tata tidak lagi hanya mengamati dari balik jendela. Dalam imajinasinya, ia merasa memiliki hak atas Talita, hak yang lebih besar daripada Ardi, suaminya sendiri. Setiap kali ia melihat Ardi, skenario pertikaian mulai bergejolak di kepalanya. Tata tahu, inilah saatnya. Ia harus menciptakan konflik yang tidak bisa diselesaikan.Suatu pagi, saat Ardi akan berangkat kerja, ia melihat Talita dan Tata berbincang di depan pintu rumah. Mereka tidak berinteraksi langsung, tapi Ardi bisa melihat Talita tersenyum saat Tata melambaikan tangan. Mata Ardi menyipit, dan ia mendekati mereka dengan langkah yang berat.Di dalam khayalan Tata, Ardi akan bertanya dengan nada dingin, "Ada apa ini, Talita?"Talita akan menjawab dengan ragu-ragu. "Tadi Mas Tata cuma… mau kasih ini." Ia akan menunjukkan selembar kertas, yang dalam skenario Tata berisi resep kue yang ia dapatkan dari internet.Ardi akan mengambil kertas itu, meremasnya, dan melemparnya ke tanah. "Kamu tahu aku tidak suka kamu berinteraksi dengan laki-laki lain," katanya dengan suara meninggi.Tata, dalam skenarionya, tidak akan tinggal diam. Ia akan melangkah maju dan berkata, "Tunggu dulu, Mas. Saya cuma bantu, istri Mas terlihat kesepian.""Itu bukan urusan kamu!" Ardi akan berteriak, suaranya memenuhi halaman.Talita, yang panik, akan mencoba menengahi. "Sudah, Mas, jangan ribut."Namun, di dalam imajinasi Tata, kata-kata Talita tidak ada artinya. Tata akan terus memancing kemarahan Ardi, memutarbalikkan situasi, hingga Ardi memukulnya. Sebuah tinju yang tidak pernah dilayangkan di dunia nyata, tapi terasa nyata di kepala Tata. Tata akan jatuh ke tanah, namun ia akan tersenyum.Di dalam skenarionya, Talita berteriak, "Kenapa kamu melakukan ini?!" Ardi akan terkejut dengan reaksinya, sementara Talita berlari ke arah Tata, membantunya berdiri, dan menatap Ardi dengan tatapan kecewa.Tata menghentikan ketikannya. Ia menatap layar, puas dengan apa yang baru saja ia ciptakan. Ia tahu, perseteruan ini akan menjadi titik balik. Ia telah menciptakan alasan bagi Talita untuk membenci suaminya dan mencari kenyamanan di dalam pelukannya. Konflik ini adalah kemenangan terbesarnya.***"Kau tahu," Talita berbisik, matanya menatap langit-langit, "aku tidak pernah merasa setenang ini di samping orang lain. Selama ini, aku selalu merasa sendirian."Tata membelai rambut Talita, merasa hatinya membengkak. Ia tak bisa menahan senyumnya. Ini adalah adegan favoritnya dari semua buku yang pernah ia baca, di mana si protagonis menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi si wanita. Ia telah menyusun setiap detailnya dalam file Word-nya, dari pencahayaan kamar hingga dialog yang sempurna."Kau tidak akan sendirian lagi," jawab Tata, suaranya mantap. "Aku di sini."Tiba-tiba, mata Talita berkaca-kaca. Ia menoleh ke arah Tata, air mata mengalir perlahan di pipinya. "Kenapa... kenapa kau datang padaku, Tata?"Tata menarik Talita lebih dekat, mendekapnya erat. "Karena kau adalah apa yang aku cari, Talita. Kau adalah orang yang selama ini aku tulis."Mata Talita melebar. "Tulis?"Tata tersenyum lagi. "Maksudku, yang selama ini aku bayangkan."Talita membenamkan wajahnya di dada Tata, tangannya mencengkeram kemejanya. Ia terisak pelan. "Aku mencintai laki-laki yang berani mempertaruhkan segalanya untukku. Yang tidak takut menghadapi suamiku."Tata mencium kening Talita dengan lembut. "Itu sudah aku duga. Semua teorinya sudah kuketahui dari buku. Teori bahwa setiap wanita membutuhkan sosok pahlawan dalam hidup mereka, dan kini akulah pahlawanmu.""Aku tidak bisa kembali ke Ardi," bisik Talita. "Aku tidak akan bisa."Tata mengangguk, meyakinkan Talita. Ia tahu bab ini harus berakhir dengan "kemenangan" mutlak. Ia juga sudah mempersiapkan bab berikutnya, yaitu "pelarian". Tata sudah membayangkan sebuah adegan di mana ia dan Talita akan kabur dari rumah, meninggalkan Ardi yang patah hati dan marah.Tata memejamkan mata, memeluk erat Talita dalam imajinasinya. Ia membayangkan mereka akan memulai kehidupan baru yang bahagia, jauh dari bayangan masa lalu. Dengan jemari yang siap di atas keyboard, ia sudah tidak sabar untuk mulai menuliskan bab selanjutnya. Semua terasa sangat nyata.***Suasana di kedai kopi itu seolah terhenti. Cangkir-cangkir berdentingan, suara obrolan samar, namun di benak Tata, hanya ada satu suara: desakan yang tak terhindarkan. Tata telah merancang adegan ini berulang kali, tetapi tidak pernah membayangkan kegelisahan yang ia rasakan saat "Talita" dalam fantasinya mengelus perutnya."Ada yang berubah," Talita berbisik, matanya menatap dalam mata Tata. "Aku merasa ada kehadiran baru di sini."Tata merasakan lonjakan adrenalin yang kuat. Ia tahu persis apa yang dimaksud "Talita". Itulah konsekuensi dari skenario yang sudah ia buat: sebuah kehamilan. Dalam fantasinya, itu seharusnya menjadi momen romantis yang mengukuhkan cinta mereka, tetapi kini, hal itu terasa seperti sebuah kenyataan yang mencekik."Bagaimana?" tanya Talita. "Apakah ini membuatmu takut, Tata?"Jari-jari Tata membeku di atas keyboard laptopnya. Dalam skenarionya, ia seharusnya tersenyum penuh kasih dan berjanji akan bertanggung jawab. Tetapi, dalam hatinya, ia merasakan ketakutan yang nyata. Ini bukanlah adegan yang ia baca di buku-buku psikologi. Ini adalah konsekuensi yang tak bisa dihindari."Tidak," jawab Tata, mencoba meyakinkan dirinya sendiri dan "Talita". "Ini... ini adalah hal yang luar biasa."Talita meraih tangan Tata. "Aku tahu kita akan menghadapinya bersama. Aku mencintaimu, Tata. Aku percaya padamu."Kata-kata itu menghantam Tata dengan kekuatan yang tak terduga. Ia merasa beban tanggung jawab yang berat, seolah kehamilan itu nyata. Ia sadar, ia telah menciptakan sebuah dunia yang begitu sempurna, hingga konsekuensinya terasa begitu nyata dan tak terkendali.Ia menatap monitor laptopnya, melihat "Talita" yang tersenyum penuh harap. Di luar jendela, ia melihat Talita yang asli, sedang mengobrol dengan tetangga lain, tidak menyadari skenario dramatis yang sedang ia mainkan. Tata merasa lelah. Fantasinya, yang seharusnya menjadi pelarian, kini terasa seperti penjara. Ia telah berhasil menciptakan cinta yang sempurna, tetapi juga konsekuensi yang sempurna pula.***Suara ketukan pintu mengagetkan Tata dari lamunannya. Ia menekan tombol “save” di laptopnya, menutup file novelnya, lalu berjalan menuju pintu depan. Ia yakin Talita, si cantik yang tak berdaya itu, telah datang padanya. Tata membuka pintu dan menemukan Talita berdiri di hadapannya, masih mengenakan piyama, matanya memerah dan bengkak. Pintu rumahnya ditutup oleh sang suami, Ardi, di belakang Talita.“Tata,” bisik Talita, “Ardi sudah tahu semuanya. Dia mengusirku.”Tata memandang Ardi yang berdiri di seberang jalan, tangannya mengepal. Ardi menatap Tajam ke arah Talita dan Tata.“Saya tak pernah menyangka kalian akan berbuat seperti ini,” Ardi berteriak, suaranya parau. “Kamu, Talita, pulang sekarang!”Air mata Talita mengalir deras. “Tidak, Ardi. Aku sudah memilih. Aku memilih Tata.”Ardi terdiam. Ia memandang mereka berdua, lalu menggelengkan kepalanya dan berbalik, berjalan pergi tanpa kata-kata.“Dia pergi,” gumam Talita. “Dia pergi, Tata. Dia pergi.”Talita pun menunduk, menangis tersedu-sedu. Tata mengulurkan tangannya, membelai rambutnya.“Tidak apa-apa, Talita. Kamu tidak sendiri. Aku bersamamu,” bisik Tata, mencoba menenangkan wanita itu. “Masuklah. Ini rumah kita sekarang.”Talita mengangguk dan masuk ke rumah Tata. Tata tahu bahwa ia telah berhasil memenangkan cintanya. Fantasinya telah menjadi kenyataan, sebuah mahakarya yang ia ciptakan dengan tangannya sendiri. Ia telah menaklukkan hati Talita.***Talita akhirnya terlelap, kelelahan setelah badai emosi yang menerpanya. Tata membiarkannya tidur di sofa ruang tamu. Ia memandang wajah damai Talita yang berbalut cahaya temaram dari lampu jalan. Untuk sesaat, ia merasa benar-benar menjadi pahlawan yang dicintai.Namun, saat ia kembali ke meja kerjanya, pemandangan di sana membuatnya tersentak. Laptopnya masih menyala, menampilkan dokumen novel yang baru saja ia simpan. Halaman terakhir yang ia tulis terpampang jelas: percakapan dramatis antara Talita, Ardi, dan dirinya. Tiba-tiba, Tata merasa cemas. Ia menutup dokumen itu dan mematikan laptop, seolah-olah tindakannya itu bisa menghapus semua yang telah ia ciptakan.Beberapa hari berikutnya, hidup Tata dipenuhi dengan kehadiran "Talita". Ia "menyiapkan" sarapan untuknya, "menonton" film bersamanya, dan "mendengarkan" ceritanya tentang masa lalu. Namun, semakin lama, ia mulai menyadari sesuatu yang aneh. Ia tak pernah benar-benar mendengar suara Talita yang asli. Ia hanya mendengar suara yang ia bayangkan. Talita tak pernah benar-benar membalas pelukannya, ia hanya merasakan kehangatan yang ia ciptakan sendiri.Pada suatu malam, saat ia "mengajak" Talita makan malam, ia tersadar bahwa ia hanya duduk sendirian. Piring di depannya kosong, gelas di hadapannya tak tersentuh. Tata melihat ke seberang meja, "Talita" ada di sana, tersenyum, tetapi tak ada satu pun bayangannya yang terpantul di jendela. Tata merasakan getaran aneh di dalam hatinya. Ia kembali melihat ke arah Talita di seberang jendela rumahnya, ternyata Talita sedang memandang jendela rumahnya juga, kemudian tersenyum.Tata pun tersenyum juga. Namun kemudian senyumannya menghilang, dia kembali menulis di laptopnya. Semua terasa begitu nyata. Terlalu nyata. Tata terus menulis hingga dini hari.***Talita kembali memandang ke arah jendela, ia tersenyum, kali ini senyumnya terasa lebih nyata. Tata kembali ke mejanya, ia merasakan ada yang tak beres. Setelah melihat pantulan dirinya yang sedang duduk sendirian, seakan-akan ada bayangan Talita yang sedang tersenyum. Tata menyadari ada hal yang janggal.Ia melihat pantulan Talita di depan jendela, namun bayangannya tak terukir di dalam sana. Seolah-olah Talita hanya bisa terlihat dari luar, namun tidak bisa dirasakan dari dalam. Tata kembali menulis, kali ini dengan tangan gemetar. Ia menuliskan semua kejadian itu, namun tiba-tiba ia berhenti. Ia merasakan kejanggalan pada ceritanya. Semua begitu tidak masuk akal. Tata memikirkan apa yang ia tulis selama ini. Dari buku-buku psikologi yang ia baca, hingga kehadiran Talita di depan rumahnya, semuanya hanya khayalan belaka.Tata ingin kembali ke dunia nyata. Namun, ia tak bisa, seolah-olah ia sudah terjebak di dalam cerita buatannya sendiri. Tata kembali memandang ke luar jendela, ia melihat Talita. Namun kali ini wajahnya tak tersenyum. Talita memandang dengan tatapan kosong, seolah-olah ia sedang menunggunya. Tata pun kembali menuliskan kisahnya.***Suara ketikan keyboard memenuhi ruang kecil itu, beriringan dengan hujan yang mulai turun di luar. Tata mematikan laptopnya, memijat pelipisnya yang terasa berat. Layar laptop yang gelap memantulkan bayangan wajahnya yang lelah. Tiba-tiba, ia merasakan sakit kepala yang hebat. Ia memejamkan mata, memikirkan apa yang ia tulis.Tata membuka matanya kembali. Ruangan itu terasa begitu kosong. Ia menoleh ke arah sofa di sudut ruangan—sofa yang seharusnya menjadi tempat Talita terlelap—dan tidak menemukan siapa pun. Ia melihat ke seberang jendela, yang menunjukkan rumah di seberangnya. Tidak ada Talita, tidak ada Ardi, hanya sebuah rumah kosong yang disewakan. Tata tersentak. Ia melihat sekelilingnya, menelusuri setiap sudut yang sebelumnya ia isi dengan kehadiran Talita. Tidak ada apa pun di sana.Tata merasakan getaran aneh di dalam hatinya. Ia kembali melihat ke arah seberang jalan, di sana tidak ada rumah yang ia bayangkan. Tata tersenyum, kali ini senyumnya terasa begitu hampa. Ia kembali menulis di laptopnya, kali ini dengan tangan yang gemetar. Ia menuliskan sebuah kalimat, "Ia kembali ke dunia nyata, namun sudah terlambat. Ia sudah terjebak di dalam cerita buatannya sendiri. Tata sudah gila."Tata memejamkan matanya, namun kali ini ia tidak menulis. Ia kembali ke dunia nyata, namun ia menyadari bahwa semua yang ia tulis selama ini hanyalah sebuah cerita fiksi. Ia memandang ke luar jendela, di sana tidak ada siapa pun. Tata hanya melihat pantulan dirinya, yang sedang duduk sendirian di depan laptop.
