Bab 1: Taman Surga di Halaman Belakang
Bagi Arhan, dunia adalah hamparan hijau seluas dua ribu meter persegi. Dunia itu beraroma tanah basah setelah disiram, berisik oleh dengung serangga yang berpesta di kelopak kembang sepatu, dan berwarna-warni oleh puluhan jenis bunga yang namanya hanya diketahui oleh ayahnya. Di atas selembar kertas gambar yang sudah sedikit lecek, ujung pensil 2B-nya yang tumpul menari-nari, mencoba menangkap kemegahan pohon flamboyan yang sedang merona merah di sudut halaman.
Ia tengkurap di atas rumput Jepang yang terasa seperti karpet, hasil kerja keras ayahnya, Bapak Budi. Setiap pagi, sebelum matahari sempat menyombongkan diri, ayahnya sudah berada di sana, berjongkok dengan gunting rumput atau selang air, berbicara pada tanaman-tanaman itu seolah mereka adalah anak-anaknya sendiri. Dunia ini adalah mahakarya ayahnya.
"Han, minum dulu."
Sebuah suara lembut memutus konsentrasinya. Ibu Lastri, ibunya, berdiri di sana dengan segelas es sirup jeruk di tangan. Embun di gelas itu tampak seperti permata di bawah cahaya matahari sore. Arhan tersenyum, bangkit duduk, dan menerima gelas itu dengan kedua tangan.
"Terima kasih, Bu," ucapnya. Rasa manis dan dingin menjalari kerongkongannya, terasa lebih nikmat dari apa pun.
Ibunya mengelus rambutnya yang tebal. Wajahnya memancarkan kehangatan yang sama seperti dapur tempatnya bekerja sepanjang hari, tempat ia meracik hidangan-hidangan yang wanginya sering membuat perut Arhan keroncongan. "Jangan terlalu lama di bawah matahari. Nanti gambarnya dilanjutkan di teras paviliun saja, ya?"
Arhan mengangguk. Paviliun adalah sebutan sopan untuk rumah kecil mereka, sebuah bangunan sederhana di belakang rumah utama yang megah, tersembunyi di balik barisan pohon palem.
"Lihat, Nak," Bapak Budi yang sejak tadi memangkas mawar tak jauh dari sana, menghampiri mereka. Tangannya yang kapalan dengan lembut memetik sekuntum mawar putih yang mekar sempurna. "Yang ini baru membuka diri pagi ini. Coba kamu cium. Harumnya beda."
Arhan mencondongkan wajahnya. Aroma wangi yang lembut dan bersih memenuhi rongganya. Di dunia ini, bersama ayah dan ibunya, segalanya terasa aman. Segalanya terasa benar.
"Arhan! Sini, Sayang!"
Panggilan itu datang dari teras belakang rumah utama, sebuah panggung marmer putih yang menghadap ke taman. Suara Nyonya Wijoyo terdengar merdu, seperti denting lonceng kristal. Arhan segera meletakkan gelasnya dan berlari kecil menghampiri sumber suara itu, kertas gambarnya ia dekap di dada.
Nyonya Wijoyo duduk di kursi rotan yang mahal, secangkir teh porselen tergeletak di meja di sampingnya. Ia mengenakan gaun rumah berwarna pastel yang membuatnya tampak seperti salah satu bunga di taman. "Coba Tante lihat gambarmu. Wow..." matanya yang sipit berbinar saat melihat sketsa kasar pohon flamboyan itu. "Pintar sekali! Garisnya tegas. Kamu ini punya bakat, Han."
Arhan hanya tersenyum malu, pipinya bersemu merah.
Sebuah tawa berat dan dalam terdengar dari ambang pintu. Tuan Wijoyo keluar, masih mengenakan kemeja kerjanya yang lengannya digulung hingga siku. Ia mengacak rambut Arhan dengan gerakan yang terasa seperti anugerah.
"Tentu saja dia akan jadi orang hebat," kata Tuan Wijoyo dengan suara baritonnya yang penuh wibawa. "Dia punya nama 'Hadiwijaya' dari saya. Nama itu nama juara. Benar, kan, Budi?" ia melirik ke arah ayah Arhan yang kini berdiri beberapa meter di belakang, menundukkan kepala dengan hormat.
"Betul, Tuan Besar," sahut Bapak Budi.
Nama itu memang pemberian Tuan Wijoyo. Ketika Arhan lahir di paviliun kecil itu, Tuan Wijoyo datang menengok dan berkata, "Anak dari orang baik harus punya nama yang baik. Arhan Hadiwijaya." Sebuah nama yang terasa terlalu besar dan agung untuk disandang anak seorang tukang kebun.
"Bakat seperti ini harus didukung," kata Nyonya Wijoyo, lalu ia masuk ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, ia kembali membawa sebuah kotak kayu pipih yang elegan. "Ini untukmu."
Arhan membukanya perlahan. Matanya membelalak. Di dalamnya, berbaris rapi puluhan pensil warna dengan ujung yang runcing sempurna, menyajikan gradasi warna yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Warnanya lebih banyak dari pelangi. Jauh lebih indah dari satu pensil 2B dan empat pensil warna murahan miliknya di rumah.
"Te-terima kasih, Tante... Om..." ucap Arhan terbata-bata, hatinya meluap oleh kebahagiaan murni seorang anak kecil.
"Pakai itu untuk membuat gambar yang lebih bagus lagi, ya," ujar Nyonya Wijoyo sambil tersenyum.
Arhan berlari kembali ke orang tuanya, memamerkan harta karun barunya. Bapak Budi dan Ibu Lastri tersenyum lebar, namun di balik senyum itu ada binar lain—rasa terima kasih yang bercampur dengan kesadaran akan posisi mereka. Mereka mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Tuan dan Nyonya Wijoyo, punggung mereka sedikit membungkuk.
Malam itu, setelah makan malam sederhana di paviliun mereka, Arhan duduk di lantai, menata pensil-pensil barunya. Ia mencoba warna biru langit, lalu hijau daun, lalu merah api. Warnanya begitu hidup di atas kertas.
Dari tempat tidurnya, ia bisa melihat rumah utama. Lampu-lampu kristal di dalamnya mulai menyala satu per satu, membuatnya berpendar seperti istana dalam dongeng. Rumah itu begitu besar, begitu terang, begitu kokoh. Di bawah bayang-bayang kemegahannya, paviliun kecil tempat ia tinggal terasa hangat dan aman, namun juga begitu rapuh. Dengan kotak pensil pemberian itu di pangkuannya, Arhan merasakan gelombang rasa syukur yang besar. Ia bersumpah dalam hati akan menjadi anak yang baik, yang tahu berterima kasih, agar ia dan orang tuanya bisa terus tinggal di taman surga ini selamanya.
Bab 2: Bisikan di Dinding Marmer
Malam turun seperti selimut beludru gelap di atas taman. Jangkrik memulai orkestra mereka, dan aroma melati yang mekar di malam hari merayap masuk melalui jendela paviliun yang sedikit terbuka. Arhan sudah terlelap, napasnya teratur, memimpikan warna-warni dari kotak pensil barunya. Di pangkuannya, tergeletak gambar pohon flamboyan yang kini sudah kaya warna, jauh lebih hidup dari versi hitam-putihnya.
Namun, di rumah utama, keheningan terasa berbeda. Bukan keheningan yang damai, melainkan yang tegang, yang menekan. Di dalam ruang kerja Tuan Wijoyo yang berpanel kayu jati, cahaya hanya datang dari sebuah lampu meja berwarna hijau yang menyorot tumpukan dokumen di atas meja mahoni yang mengilap. Asap dari sebatang cerutu yang terbakar di asbak perak meliuk-liuk ke udara, membawa aroma tembakau yang mahal dan kecemasan yang pekat.
Tuan Wijoyo mondar-mandir di atas karpet Persia, wajahnya yang biasanya tenang kini mengeras seperti batu. Nyonya Wijoyo duduk di sofa kulit, jemarinya meremas-remas ujung gaun sutranya. Keanggunannya yang biasa tampak retak.
"Sudah kubilang ini terlalu berisiko!" desis Nyonya Wijoyo, suaranya lebih tajam dari biasanya. "Proyek pelabuhan itu, uangnya terlalu besar, jejaknya terlalu jelas. Sekarang mereka sudah mulai mengendus!"
"Diam!" bentak Tuan Wijoyo, suaranya tertahan namun penuh amarah. Ia membanting sebuah surat kabar ke atas meja. Lingkaran merah dari spidol menandai sebuah artikel kecil di kolom bisnis, judulnya samar: Penyelidikan Proyek Infrastruktur Utara. "Ini baru permulaan. Mereka belum punya apa-apa. Hanya gosip."
"Gosip yang bisa membuat kita kehilangan segalanya, Mas! Rumah ini, semua ini!" Nyonya Wijoyo menyapukan tangannya, menunjuk ke sekeliling ruangan yang penuh kemewahan. "Dan penjara? Aku tidak bisa..."
"Tidak akan ada yang masuk penjara!" Tuan Wijoyo berhenti dan menatap istrinya dengan tajam. "Jaksa itu sudah di tangan kita. Sedikit uang lagi akan menutup mulutnya rapat-rapat. Masalahnya adalah dewan direksi. Ada pengkhianat di antara mereka."
Percakapan sengit itu terus berlanjut, kata-kata seperti "suap", "pemalsuan dokumen", dan "dana siluman" meluncur dari bibir mereka seperti racun. Mereka tidak sadar, di luar, di teras samping yang remang-remang, ada sepasang telinga yang seharusnya tidak mendengar.
Ibu Lastri baru saja selesai melipat taplak meja makan terakhir di ruang jemur. Ia berjalan menuju paviliun ketika melihat pot anggrek bulan kesayangan Nyonya Wijoyo sedikit layu. Merasa iba, ia mengambil gembor air kecil untuk menyiraminya. Saat itulah ia mendengar suara majikannya yang meninggi dari jendela ruang kerja yang sedikit terbuka. Awalnya ia hendak pergi, merasa tidak sopan menguping. Namun, kata "penjara" membuatnya membeku di tempat.
Tak lama, Bapak Budi menyusulnya. Ia baru saja selesai memastikan semua lampu taman padam dan gerbang terkunci. "Kenapa, Bu?" bisiknya, melihat wajah istrinya yang pucat di bawah cahaya bulan.
Ibu Lastri hanya meletakkan telunjuk di bibirnya, matanya mengarah ke jendela. Bapak Budi mendekat dengan ragu. Bersama-sama, dalam keheningan yang mencengangkan, mereka berdiri di kegelapan, mendengar seluruh kebusukan yang menjadi fondasi rumah megah itu. Setiap kata yang mereka dengar terasa seperti hantaman di dada. Tuan dan Nyonya Wijoyo, orang-orang yang mereka layani dengan hormat, yang mereka anggap sebagai penolong keluarga, ternyata adalah penjahat.
Kebaikan yang mereka terima—pekerjaan, tempat tinggal, bahkan nama dan pendidikan untuk anak mereka—semuanya terasa ternoda. Semuanya dibeli dengan uang haram. Dunia mereka yang sederhana dan lurus tiba-tiba bengkok dan rumit.
Ketika Tuan Wijoyo membanting laci meja dengan keras, suara itu menyentak mereka dari kelumpuhan. Mereka saling pandang, mata mereka dipenuhi kengerian yang sama. Tanpa sepatah kata pun, mereka berbalik dan berjalan cepat, nyaris tanpa suara, kembali ke paviliun. Langkah mereka terasa berat, seolah baru saja memikul beban rahasia yang teramat besar.
Di dalam paviliun kecil mereka, mereka menutup pintu dengan sangat pelan. Mereka menatap Arhan yang tidur nyenyak, sebuah potret kepolosan di tengah dunia yang baru saja mereka sadari penuh dengan kebohongan. Mereka duduk di tepi ranjang, tak menyalakan lampu, hanya diterangi cahaya bulan yang menyusup lewat jendela.
"Kita harus bagaimana, Pak?" bisik Ibu Lastri, suaranya bergetar.
Bapak Budi tidak menjawab. Ia hanya menatap kosong ke dinding. Di benaknya, wajah dermawan Tuan Wijoyo berkelindan dengan kata "korupsi". Wajah ramah Nyonya Wijoyo tumpang tindih dengan kata "suap". Malam itu, di paviliun mereka, keheningan terasa lebih bising daripada pertengkaran apa pun. Dilema moral yang mengerikan mulai mencengkeram hati mereka yang jujur.
Bab 3: Secangkir Teh Pahit
Cahaya bulan yang pucat menyaring masuk melalui jendela paviliun, membelah kegelapan menjadi dua. Di satu sisi, Arhan tertidur pulas, dunianya masih utuh dan penuh warna. Di sisi lain, Bapak Budi dan Ibu Lastri duduk membisu di tepi ranjang mereka, terjaga oleh beban rahasia yang baru saja mereka pungut. Keheningan di antara mereka lebih berat daripada suara apa pun.
"Kita harus pura-pura tidak tahu apa-apa, Pak," bisik Ibu Lastri akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar, takut membangunkan Arhan sekaligus takut suaranya akan merayap keluar dan didengar oleh dinding rumah utama. "Bagaimana kalau mereka tahu kita dengar? Bagaimana dengan Arhan?"
Bapak Budi memijat keningnya. Wajahnya yang biasa tenang kini dipenuhi guratan konflik. Ia menatap istrinya, lalu ke arah putra mereka yang sedang bermimpi. "Tapi uang itu... uang rakyat, Bu. Itu dosa besar. Kebaikan yang mereka berikan pada kita... semua berasal dari sana. Apa itu bisa disebut kebaikan?"
"Mereka sudah memberi kita pekerjaan, tempat tinggal," sahut Ibu Lastri, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Mereka menyekolahkan Arhan. Kita berutang budi."
"Utang budi tidak bisa dipakai untuk membeli kebenaran, Bu," balas Bapak Budi, suaranya kini lebih tegas. Ia adalah pria sederhana dengan prinsip yang lurus seperti cangkulnya. Baginya, hitam adalah hitam, dan putih adalah putih. "Kalau kita diam, artinya kita ikut menikmati uang haram itu. Artinya kita menjadi bagian dari kejahatan mereka."
Perdebatan tanpa suara itu berlanjut melalui tatapan mata mereka. Ketakutan akan nasib Arhan beradu dengan panggilan nurani. Setelah pergulatan batin yang terasa sepanjang malam, Bapak Budi menarik napas dalam-dalam. Keputusan telah dibuat.
"Besok pagi, setelah Tuan berangkat kerja, aku akan pergi ke kantor polisi," katanya pelan namun mantap. "Hanya untuk melapor apa yang kita dengar. Selebihnya, biar menjadi urusan yang berwajib. Kita hanya melakukan apa yang benar."
Ibu Lastri tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan sambil menggenggam tangan suaminya. Tangannya terasa dingin. Malam itu, mereka berdoa lebih khusyuk dari biasanya, memohon perlindungan atas keputusan yang terasa begitu berat dan berbahaya.
Keesokan paginya, matahari terbit seperti biasa, namun suasana di rumah itu terasa berbeda. Bapak Budi mencoba menyibukkan diri dengan memangkas dahan-dahan kering, namun gerakannya kaku. Ibu Lastri yang sedang menyiapkan sarapan di dapur utama, tangannya sedikit gemetar hingga menjatuhkan sendok. Denting logam di lantai marmer itu terdengar memekakkan telinga.
"Kamu tidak apa-apa, Lastri?"
Suara Nyonya Wijoyo yang tiba-tiba muncul di ambang pintu membuat Ibu Lastri terlonjak kaget. "Ti-tidak apa-apa, Nyonya. Hanya sedikit licin."
Nyonya Wijoyo menatapnya lekat-lekat. Matanya yang sipit dan tajam, yang biasanya memancarkan kehangatan palsu, kini tampak menyelidik. Ia sudah terbangun dengan perasaan was-was setelah pertengkarannya dengan sang suami. Dan kini, ia melihat gelagat aneh pada kedua pembantunya. Mereka menghindari tatapannya. Jawaban mereka terlalu pendek, terlalu formal.
Ketika ia berjalan ke teras, ia melihat Bapak Budi dan Ibu Lastri berpapasan di dekat taman. Mereka hanya bertukar pandang sekilas, namun bagi Nyonya Wijoyo, pandangan itu sarat akan makna—sebuah pandangan ketakutan dan persekongkolan. Benih kecurigaan langsung tumbuh subur di benaknya. Mereka tahu sesuatu.
Dengan panik, ia menemui suaminya yang sedang mengikat dasi di kamar. "Mas, para pembantu itu," bisiknya cepat, "mereka aneh hari ini. Aku rasa mereka mendengar percakapan kita semalam."
Tuan Wijoyo awalnya mengibaskannya. "Hanya perasaanmu saja."
"Tidak! Aku yakin! Tatapan mereka berbeda!" desak Nyonya Wijoyo, kepanikannya menular.
Tuan Wijoyo berhenti. Ia berpikir sejenak. Risiko tertangkap jauh lebih mengerikan daripada tindakan apa pun untuk mencegahnya. Wajahnya berubah dingin dan keras. "Kita tidak bisa mengambil risiko," desisnya. "Mereka orang lurus. Kalau mereka bicara, habislah kita."
Keputusan itu dibuat tanpa perdebatan panjang. Keji, cepat, dan final.
Sore itu, Arhan sedang asyik menggambar di teras paviliun, mencoba warna-warni pensil barunya. Bapak Budi dan Ibu Lastri sedang beristirahat di dalam, menunggu waktu yang tepat bagi Bapak Budi untuk pergi.
Tiba-tiba, Nyonya Wijoyo datang dengan senyum paling ramah yang pernah mereka lihat. Di tangannya ada sebuah nampan perak dengan dua cangkir porselen cantik berisi teh melati yang masih mengepul. Wanginya memenuhi ruangan.
"Bapak, Ibu, saya dan suami ingin mengucapkan terima kasih atas pengabdian kalian selama ini," katanya dengan suara lembut. "Kami buatkan teh spesial untuk sore ini. Silakan diminum selagi hangat."
Bapak Budi dan Ibu Lastri tertegun. Kebaikan yang tiba-tiba ini membuat mereka bingung, bahkan sedikit merasa bersalah atas rencana mereka. Mungkin mereka telah salah menilai majikannya. Dengan ragu, mereka menerima cangkir itu.
"Terima kasih banyak, Nyonya," ucap Bapak Budi dengan tulus.
Mereka meminum teh itu. Rasanya hangat dan menenangkan, sejenak melarutkan ketegangan yang mereka rasakan seharian. Mereka saling berpandangan, sebuah senyum tipis terukir di bibir mereka.
Namun, kehangatan itu dengan cepat berubah menjadi panas yang membakar dari dalam. Kepala Ibu Lastri tiba-tiba terasa pusing luar biasa. Bapak Budi merasakan kram hebat di perutnya, seolah ada tangan besi yang meremas isi perutnya. Ia menatap Nyonya Wijoyo, matanya membelalak ngeri saat melihat senyum di wajah majikannya itu tak berubah sedikit pun. Senyum yang sama, namun kini tampak seperti seringai iblis.
Ia mencoba berteriak memanggil Arhan, namun hanya suara tercekik yang keluar. Cangkir porselen itu terlepas dari tangannya yang lemas, pecah berkeping-keping di lantai, diikuti oleh tubuhnya yang rubuh. Beberapa detik kemudian, Ibu Lastri menyusul, matanya menatap kosong ke langit-langit paviliun mereka.
Di luar, Arhan masih asyik mewarnai langit senja di kertas gambarnya, tidak menyadari bahwa langit di dunianya baru saja runtuh untuk selamanya.
Bab 4: Rumah yang Membisu
Garis jingga terakhir dari matahari sore baru saja menghilang di ufuk barat, meninggalkan semburat nila dan ungu di langit. Arhan menatap karyanya dengan bangga. Pohon flamboyan di atas kertasnya kini tampak hidup, terbakar oleh warna-warni senja berkat pensil-pensil barunya. Ia tidak sabar untuk menunjukkannya kepada Ibu dan Bapak. Ini adalah gambar terbaik yang pernah ia buat.
Dengan hati yang riang, ia memungut kertas gambarnya dan berlari kecil menuju paviliun. "Ibu! Bapak! Lihat gambarku sudah sela..."
Kata-katanya terputus di ambang pintu. Suasana di dalam terasa aneh. Hening. Bukan hening yang damai saat orang tuanya beristirahat, melainkan hening yang kosong dan berat. Aroma teh melati yang tadi sore begitu wangi, kini terasa aneh dan sedikit pahit di udara.
Matanya pertama kali menangkap pemandangan ganjil di lantai: serpihan porselen putih dari cangkir yang pecah, dikelilingi genangan teh yang sudah mendingin. Lalu, pandangannya naik.
Di sanalah mereka.
Bapak Budi tergeletak di dekat meja, wajahnya menatap langit-langit dengan mata yang terbuka namun kosong. Tak jauh darinya, Ibu Lastri tersungkur di samping ranjang, posisinya janggal, seolah ia baru saja mencoba bangkit sebelum kekuatannya habis. Keduanya diam. Sangat diam.
Dunia Arhan berhenti berputar. Gambar di tangannya terlepas, melayang pelan sebelum mendarat di lantai yang dingin.
"Bapak? Ibu?" panggilnya dengan suara bergetar. Kakinya terasa seperti jeli saat ia melangkah masuk. "Bangun... Kalian kenapa tidur di lantai?"
Ia mengguncang lengan ayahnya. Kulit itu terasa dingin dan kaku. Ia beralih ke ibunya, menepuk-nepuk pipinya yang pucat. Tidak ada reaksi. Hanya keheningan yang menjawab. Kepolosan seorang anak kecil menolak untuk memahami apa yang dilihatnya, namun instingnya menjeritkan sebuah kebenaran yang mengerikan.
Kepahitan yang tak ia mengerti mulai mencekik tenggorokannya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Rasa takut yang dingin merayap dari telapak kakinya, membekukan seluruh tubuhnya. Ia hanya bisa berdiri di sana, di antara dua orang yang paling ia cintai di dunia, dan mulai terisak. Isak tangis yang pelan, lalu berubah menjadi jeritan pilu yang memecah keheningan malam.
Jeritannya sampai ke rumah utama. Tak lama, pintu paviliun terbuka lebar. Tuan dan Nyonya Wijoyo berdiri di sana, wajah mereka dipasangi topeng keterkejutan yang sempurna.
"Astaga! Budi! Lastri!" seru Tuan Wijoyo dengan suara yang dibuat-buat panik.
Nyonya Wijoyo bergegas masuk, melewati serpihan cangkir tanpa peduli, dan langsung memeluk Arhan yang gemetar hebat. "Ya Tuhan, Arhan! Apa yang terjadi, Nak?" Pelukannya terasa erat, namun dingin. Ia menarik Arhan menjauh dari pemandangan itu, membenamkan wajah anak itu ke gaunnya yang mahal.
Sementara itu, Tuan Wijoyo dengan sigap mengambil alih situasi. Ia memeriksa denyut nadi di leher Bapak Budi dan Ibu Lastri—sebuah formalitas belaka. "Cepat panggil ambulans dan polisi!" perintahnya kepada seorang satpam yang datang tergopoh-gopoh.
Dalam sekejap, taman surga itu berubah menjadi panggung sandiwara yang sibuk. Sirene meraung-raung, membelah kedamaian malam. Petugas polisi dan tim medis berdatangan, namun semua terasa seperti bergerak dalam gerakan lambat bagi Arhan. Dari balik pelukan Nyonya Wijoyo, ia melihat orang-orang asing itu mengerubungi ayah dan ibunya.
"Sepertinya keracunan makanan yang parah, Pak," kata Tuan Wijoyo kepada seorang polisi, suaranya terdengar penuh wibawa dan kesedihan. "Kasihan sekali mereka. Mungkin makan sesuatu dari luar tadi siang."
Polisi itu mengangguk-angguk, melihat status Tuan Wijoyo yang terhormat. Investigasi berjalan cepat dan dangkal. Beberapa pertanyaan, beberapa foto, lalu kantong jenazah berwarna hitam dikeluarkan. Arhan melihat tubuh ayah dan ibunya dimasukkan ke dalamnya, lalu diangkat dan dibawa pergi. Mereka pergi begitu saja, meninggalkan paviliun itu kosong dan membisu.
Malam itu, Arhan tidak tidur di paviliunnya lagi. Nyonya Wijoyo membawanya ke sebuah kamar tamu di rumah utama. Kamar itu sepuluh kali lebih besar dari kamarnya sendiri, dengan tempat tidur empuk berseprai sutra dan langit-langit yang tinggi.
"Mulai sekarang, kamu tinggal di sini bersama Om dan Tante, ya, Sayang," bisik Nyonya Wijoyo sambil menyelimutinya. "Jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja. Kami akan menjagamu."
Senyumnya tampak menenangkan, namun matanya tidak.
Arhan berbaring di tempat tidur asing itu, terlalu syok untuk menangis lagi. Ia menatap langit-langit yang gelap. Rumah megah yang dulu tampak seperti istana dongeng, kini terasa seperti penjara yang dingin dan luas. Keheningan di rumah itu bergaung, lebih keras dari raungan sirene, lebih memekakkan dari jeritan tangisnya sendiri. Rumah itu telah membisu, dan di dalam kebisuan itu, sebuah pertanyaan kecil yang mengerikan mulai berakar di benaknya: mengapa?
Bab 5: Benih Dendam dalam Diam
Hari-hari setelah pemakaman terasa seperti kabut tebal yang tak kunjung sirna. Arhan kini adalah penghuni tetap kamar tamu yang mewah di rumah utama. Ia makan di meja makan panjang yang sama dengan Tuan dan Nyonya Wijoyo, mengenakan pakaian bagus yang mereka belikan, dan tidur di ranjang empuk yang terasa dingin dan asing. Semua orang memujinya sebagai anak yang tegar. Mereka tidak tahu, di dalam dirinya, ada sesuatu yang telah hancur dan membeku.
Tuan dan Nyonya Wijoyo memainkan peran mereka sebagai wali yang berduka dengan sangat meyakinkan. Mereka membanjirinya dengan mainan, buku-buku baru, dan perhatian. "Anggap saja kami ini orang tuamu sekarang, Han," kata Tuan Wijoyo sambil menepuk pundaknya. Namun, setiap sentuhan mereka terasa seperti sengatan listrik statis, dan setiap kata manis mereka meninggalkan sisa rasa pahit di telinga Arhan.
Di tengah kabut kesedihannya, pikiran Arhan yang tajam tidak bisa berhenti bekerja. Seperti seorang seniman yang melihat detail kecil dalam sebuah lukisan, ia mulai menangkap kejanggalan-kejanggalan dalam sandiwara yang dimainkan di sekelilingnya.
Suatu sore, didorong oleh kerinduan yang tak tertahankan, ia menyelinap keluar menuju paviliun. Tempat itu sudah dibersihkan dan dikunci, namun ia tahu di mana ibunya biasa menyembunyikan kunci cadangan—di bawah sebuah pot terakota yang retak. Pintu berderit saat dibuka, mengungkapkan ruangan yang kini terasa hampa dan dingin. Aroma teh melati sudah lama hilang, digantikan oleh bau debu dan kenangan.
Matanya menyapu sekeliling, mencari sisa-sisa terakhir dari orang tuanya. Ia berjalan ke belakang paviliun, ke tempat ayahnya biasa menumpuk kantong-kantong pupuk kosong. Di sanalah ia melihatnya. Terselip di antara tumpukan karung goni, sebuah bungkusan kertas kecil berwarna cokelat yang sedikit sobek. Itu bukan bungkus pupuk. Penasaran, ia memungutnya. Ada gambar tengkorak dan tulang bersilang di atasnya, dengan tulisan "RACUN TIKUS SUPER AMPUH" di bawahnya. Ayahnya tidak pernah memakai racun sekuat ini untuk taman. Beliau selalu bilang itu bisa merusak tanah.
Arhan meremas bungkusan itu di tangannya. Sebuah kepingan puzzle yang aneh telah ditemukan.
Malamnya, saat ia mencoba tidur, sebuah ingatan muncul dengan sangat jelas. Ingatan tentang sore itu. Nyonya Wijoyo datang membawa nampan dengan dua cangkir teh porselen. "Teh spesial," begitu katanya. Lalu ia teringat serpihan porselen di lantai paviliun. Polisi dan Tuan Wijoyo bilang itu "keracunan makanan". Tapi makanan apa? Siang itu mereka hanya makan nasi dan sayur lodeh masakan ibunya, seperti hari-hari biasa. Satu-satunya hal yang berbeda sore itu adalah teh dari Nyonya Wijoyo.
Dua keping puzzle kini mulai menyatu, membentuk sebuah gambaran yang mengerikan.
Kepingan terakhir datang beberapa malam kemudian. Arhan terbangun karena haus. Dengan langkah tanpa suara, ia berjalan menuju dapur. Saat melewati ruang kerja Tuan Wijoyo, ia mendengar suara bisik-bisik dari balik pintu yang sedikit terbuka.
"...dia sama sekali tidak curiga," suara Nyonya Wijoyo terdengar lega. "Dia hanya anak kecil. Dia pikir kita ini pahlawannya."
"Bagus," sahut suara Tuan Wijoyo yang berat. "Terus perlakukan dia dengan baik. Beri apa pun yang dia mau. Ini penting untuk menutupi semuanya. Tidak boleh ada yang curiga, terutama anak itu."
Arhan membeku di tempat. Jantungnya berdebar begitu kencang seolah akan meledak, namun napasnya tertahan. Menutupi semuanya. Tiga kata itu menghantamnya seperti palu godam. Bungkusan racun tikus. Teh spesial. Bisikan di tengah malam.
Semua kepingan itu kini terpasang sempurna.
Bukan kesedihan lagi yang ia rasakan. Bukan juga kemarahan yang meledak-ledak. Yang muncul adalah sesuatu yang lebih dingin, lebih dalam, dan lebih berbahaya: pemahaman. Ia akhirnya mengerti mengapa.
Dengan hati-hati, ia melangkah mundur, kembali ke kamarnya yang mewah. Ia naik ke atas ranjang dan menarik selimutnya hingga ke dagu. Ia menatap langit-langit yang gelap, namun matanya kini melihat dengan sangat jelas.
Ia tahu siapa pembunuh orang tuanya. Mereka tidur hanya beberapa kamar darinya. Mereka memberinya makan, membelikannya pakaian, dan tersenyum padanya setiap hari.
Malam itu, di dalam kamar yang sunyi, Arhan kecil tidak menangis. Air matanya telah kering. Ia membuat sebuah keputusan dengan keteguhan hati seorang pria dewasa. Ia tidak akan lari. Ia tidak akan memberontak. Ia tahu ia lemah dan sendirian. Jadi, ia akan memainkan peran yang mereka berikan. Ia akan menjadi anak yatim piatu yang penurut dan berterima kasih. Ia akan menerima semua "kebaikan" mereka. Ia akan menggunakan uang mereka, fasilitas mereka, untuk belajar setinggi mungkin. Ia akan menjadi lebih pintar, lebih kuat, dan lebih sabar dari mereka.
Benih dendam telah ditanam di tanah hatinya yang paling dalam. Ia akan merawatnya dalam diam, menyiramnya dengan kepura-puraan dan kebencian yang sunyi, sampai tiba saatnya ia tumbuh menjadi pohon besar yang akarnya akan meruntuhkan seluruh fondasi rumah itu.
Bab 6: Murid Kesayangan Sang Pembunuh
Tahun-tahun berlalu dalam keheningan yang terencana. Arhan tumbuh dari seorang anak laki-laki yang pendiam menjadi seorang remaja yang cemerlang. Di sekolah, namanya selalu disebut pertama kali saat pembagian rapor. Para guru memujinya sebagai murid teladan—otaknya setajam silet, dan sopan santunnya tak bercela. Ia melahap buku-buku pelajaran, novel sastra, hingga ensiklopedia tebal dengan kerakusan yang sama. Perpustakaan sekolah menjadi rumahnya yang sesungguhnya, tempat ia membangun fondasi pengetahuannya, bata demi bata.
Bagi Tuan dan Nyonya Wijoyo, Arhan adalah investasi citra yang paling berhasil. Di setiap acara arisan atau pertemuan bisnis, mereka akan dengan bangga menceritakan tentang "anak angkat" mereka yang jenius.
"Arhan baru saja memenangkan olimpiade fisika tingkat provinsi," ujar Tuan Wijoyo pada rekan-rekannya, dadanya membusung bangga. "Anak itu, otaknya benar-benar encer. Tentu saja, bibit unggul harus dirawat dengan baik."
"Dia pendiam, tapi sangat penurut dan tahu berterima kasih," tambah Nyonya Wijoyo pada teman-teman sosialitanya. "Kami beruntung menemukannya. Mengurusnya adalah cara kami membalas kebaikan Tuhan."
Mereka membiayai pendidikannya tanpa ragu. Guru les privat terbaik didatangkan ke rumah. Buku apa pun yang Arhan inginkan, akan tersedia di mejanya keesokan hari. Mereka memberinya segalanya, kecuali kebenaran. Bagi mereka, setiap prestasi Arhan adalah penegasan bahwa mereka adalah orang baik. Setiap pujian yang diterima Arhan adalah pengampunan dosa yang mereka beli dengan uang.
Arhan menerima semuanya. Ia memainkan perannya dengan sempurna.
Saat Nyonya Wijoyo membelikannya laptop terbaru "untuk menunjang belajar," Arhan akan menunduk dan berkata, "Terima kasih banyak, Tante. Ini lebih dari cukup." Namun di dalam hatinya ia berbisik, Dengan ini, aku akan belajar lebih cepat. Aku akan menemukan kelemahanmu lebih cepat.
Saat Tuan Wijoyo memberinya nasihat tentang pentingnya menjadi orang sukses, Arhan akan mengangguk patuh. "Saya akan selalu ingat nasihat Om." Namun pikirannya meneriakkan hal lain, Aku akan menjadi lebih sukses darimu, agar saat aku menjatuhkanmu, kamu akan jatuh dari tempat yang sangat tinggi.
Setiap malam, setelah makan malam di meja makan yang terasa dingin, ia akan kembali ke kamarnya. Di permukaan, ia adalah seorang siswa yang tekun, mengerjakan tugas-tugasnya hingga larut malam. Namun di baliknya, ia adalah seorang perencana yang sabar. Ia tidak hanya belajar matematika dan sains; ia mempelajari psikologi dari novel-novel yang dibacanya, mempelajari tentang kerapuhan manusia. Ia mempelajari tentang struktur dan kekuatan, tentang bagaimana sesuatu yang tampak kokoh bisa memiliki satu titik lemah yang fatal.
Suatu malam, setelah pengumuman kelulusan SMP di mana Arhan meraih nilai tertinggi di sekolahnya, Tuan Wijoyo mengajaknya berbicara di ruang kerja. Ruangan yang sama tempat ia pernah mendengar bisikan yang menghancurkan dunianya.
"Om dan Tante sangat bangga padamu, Han," kata Tuan Wijoyo sambil menyajikan segelas minuman ringan untuknya. "Kami sudah memikirkannya. Kamu harus masuk SMA terbaik di kota ini. Setelah itu, universitas terbaik di negeri ini, atau bahkan di luar negeri. Jangan khawatirkan soal biaya. Anggap saja itu warisan dari orang tuamu, yang kami titipkan untukmu."
Arhan menatap mata pria itu. Mata yang sama yang mungkin telah menatap ayahnya tanpa belas kasihan. Ia merasakan gelombang kebencian yang membakar naik dari perutnya, begitu panas hingga ia takut itu akan tumpah dari matanya. Dengan susah payah, ia menelannya kembali, mendinginkannya menjadi es.
Ia tersenyum tipis. Sebuah senyum yang telah ia latih selama bertahun-tahun di depan cermin. "Terima kasih, Om. Saya tidak akan mengecewakan Om dan Tante. Saya berjanji."
Malam itu, di dalam kamarnya yang sunyi dan mewah, Arhan membuka laci paling bawah di mejanya. Di bawah tumpukan buku catatan, ia menyimpan satu-satunya benda berharga miliknya: sebuah foto kecil yang sudah usang dan terlipat di sudut-sudutnya. Foto Bapak Budi dan Ibu Lastri, tersenyum di depan pohon mawar putih di taman.
Ia menatap wajah mereka lama sekali. Wajah-wajah jujur yang telah dihapus dari dunia oleh kepalsuan.
"Sedikit lagi, Bu, Pak," bisiknya pada foto itu. "Mereka sedang membangun tangganya untukku. Aku akan menaikinya sampai ke puncak, hanya untuk memastikan aku punya tempat yang cukup tinggi untuk melompat dan menghancurkan mereka saat aku jatuh."
Ia meletakkan foto itu kembali dengan hati-hati. Benih dendam itu telah tumbuh menjadi pohon yang kokoh di dalam dirinya. Akarnya kuat, batangnya dingin, dan ia tahu persis buah apa yang akan dihasilkannya nanti.
Bab 7: Arsitektur sebagai Bahasa
Surat penerimaan itu datang di sebuah pagi yang cerah. Bukan sekadar surat biasa, melainkan sebuah tiket kebebasan. Arhan diterima di jurusan arsitektur universitas negeri paling bergengsi di negara itu, lengkap dengan beasiswa penuh berkat otaknya yang cemerlang. Artinya, ia tidak lagi bergantung pada uang Wijoyo. Artinya, ia bisa pergi.
Kepindahannya ke asrama mahasiswa adalah sebuah pembebasan yang sunyi. Ia meninggalkan kamar mewah di rumah Wijoyo tanpa sedikit pun rasa berat hati. Kamar asramanya sempit, cat dindingnya sedikit terkelupas, dan perabotannya terbuat dari kayu murah. Namun, di ruangan kecil itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia bisa bernapas dengan lega. Jarak fisik ratusan kilometer dari rumah itu memberinya ruang mental yang ia dambakan. Topeng anak angkat yang penurut bisa ia tanggalkan setiap kali ia menutup pintu kamarnya.
Dunia arsitektur menyambutnya, dan Arhan menyelam ke dalamnya bukan sebagai mahasiswa, melainkan sebagai seorang peziarah yang menemukan agamanya. Di saat mahasiswa lain mengeluh tentang kalkulus dan mekanika teknik, Arhan melahapnya. Baginya, ini bukan sekadar mata kuliah. Ini adalah pelajaran tentang bahasa rahasia dunia.
Di kelas tentang struktur bangunan, dosennya menjelaskan tentang fondasi, titik tumpu, dan distribusi beban. Mahasiswa lain melihatnya sebagai cara untuk membuat gedung pencakar langit yang kokoh. Arhan melihatnya sebagai cara untuk mengetahui tiang mana yang harus dihancurkan untuk meruntuhkan seluruh bangunan. Saat mempelajari tentang kelelahan material—bagaimana baja dan beton bisa retak dan hancur di bawah tekanan yang terus-menerus—ia tidak memikirkan tentang jembatan tua. Ia memikirkan tentang kebohongan dan rasa bersalah yang bisa menggerogoti jiwa manusia hingga rapuh.
Arsitektur menjadi metaforanya untuk segalanya. Sebuah keluarga, bagi Arhan, adalah sebuah bangunan. Keluarga Wijoyo memiliki fasad yang megah—reputasi, kekayaan, citra kedermawanan. Namun Arhan tahu, fondasinya dibangun di atas kejahatan. Dan setiap bangunan, sekokoh apa pun kelihatannya, memiliki titik lemah. Sebuah titik di mana jika diberi tekanan yang tepat, seluruh struktur akan runtuh dengan sendirinya. Misinya adalah menemukan titik itu.
Ia menghabiskan malam-malamnya bukan di kafe atau acara kampus, melainkan di perpustakaan atau di kamarnya yang sempit, dikelilingi oleh cetak biru. Ia tidak hanya mempelajari desain bangunan-bangunan ikonik, ia juga mencari dan mempelajari cetak biru dari proyek-proyek penghancuran terkendali. Ia terpesona melihat bagaimana para ahli demolisi bisa meruntuhkan sebuah gedung berlantai dua puluh menjadi tumpukan puing yang rapi hanya dengan menempatkan bahan peledak di titik-titik yang tepat. Itu adalah sebuah seni. Seni dekonstruksi.
Tentu saja, ia masih harus memainkan perannya. Setiap akhir pekan, teleponnya akan berdering.
"Bagaimana kuliahmu, Han?" suara Nyonya Wijoyo akan terdengar dari seberang. "Jangan lupa makan yang teratur, ya. Kamu terdengar lebih kurus."
"Semuanya baik, Tante," jawab Arhan dengan nada yang sopan dan datar. "Tugasnya memang banyak, tapi saya senang."
"Kalau butuh apa-apa, bilang saja. Jangan sungkan," tambah Tuan Wijoyo.
"Terima kasih, Om. Beasiswanya sudah lebih dari cukup."
Percakapan itu selalu singkat dan dangkal. Setelah menutup telepon, ia akan kembali menatap sketsa di mejanya. Suatu malam, ia tidak sedang mengerjakan tugas kuliah. Di atas selembar kertas kalkir, ia menggambar sebuah rumah modern yang indah, dengan jendela-jendela besar dan taman di atap. Garis-garisnya bersih dan elegan. Namun, catatan-catatan kecil yang ia tulis di pinggirnya bukanlah tentang estetika. Ia menulis tentang kapasitas beban maksimum sebuah balok penyangga, tentang jenis baut yang bisa dikendurkan dari jarak jauh, tentang sistem hidrolik yang bisa ditanam di dalam fondasi.
Ia tidak sedang merancang sebuah rumah. Ia sedang menulis kalimat pertama dari sebuah pembalasan dendam dengan bahasa baja dan beton.
Bab 8: Runtuhnya Rumah Wijoyo
Berita itu meledak bukan seperti guntur, melainkan seperti bom hening yang gelombang kejutnya merambat melalui setiap layar gawai dan televisi. Arhan sedang berada di kantin universitas yang ramai, mencoba menyelesaikan makan siangnya di antara deru percakapan, ketika ia melihatnya. Di layar televisi besar yang tergantung di sudut, sebuah wajah yang sangat ia kenal terpampang di bawah tajuk berita utama: "Pengusaha Terkenal, Wijoyo, Ditetapkan Sebagai Tersangka Kasus Korupsi Proyek Infrastruktur."
Dunia di sekeliling Arhan seolah membisu. Suara tawa dan denting sendok garpu lenyap, tergantikan oleh dengung statis di telinganya. Ia menatap lekat wajah Tuan Wijoyo di layar—wajah yang dulu memberinya nama, yang menepuk pundaknya dengan bangga, kini tampak pucat dan tegang saat dikerumuni wartawan.
Arhan tidak merasakan ledakan kebahagiaan. Tidak ada sorak kemenangan di dalam hatinya. Yang ia rasakan hanyalah ketenangan yang dingin, seperti seorang arsitek yang melihat retakan pertama muncul di dinding bangunan yang sudah ia prediksi akan runtuh. Ini adalah awal dari kelelahan material.
Selama beberapa minggu berikutnya, Arhan menjadi pengamat yang tekun dari kejauhan. Ia tidak perlu mencari berita; berita itu yang mencarinya. Skandal korupsi Tuan Wijoyo menjadi santapan media nasional. Setiap detail diungkap—aliran dana ilegal, suap kepada pejabat, manipulasi tender. Fasad kemegahan yang dibangun Tuan Wijoyo selama puluhan tahun kini dikuliti lapisan demi lapisan di depan mata publik.
Dari kamar asramanya yang sempit, Arhan mengikuti setiap persidangan melalui portal berita online. Ia membaca dokumen-dokumen tuntutan jaksa seolah itu adalah spesifikasi teknis sebuah proyek. Ia mempelajari argumen pengacara seolah sedang menganalisis titik lemah sebuah struktur. Ia melihat Tuan Wijoyo, yang duduk di kursi pesakitan dengan setelan jas mahalnya yang tampak kebesaran, bukan sebagai manusia, melainkan sebagai sebuah konstruksi yang gagal, yang fondasinya keropos dan pilar-pilarnya tak mampu lagi menahan beban.
Puncaknya tiba di suatu sore yang mendung. Vonis dijatuhkan. Tuan Wijoyo terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara. Seluruh asetnya, termasuk rumah megah tempat Arhan dibesarkan, disita oleh negara untuk membayar kerugian. Rumah Wijoyo, secara harfiah dan kiasan, telah runtuh.
Arhan menutup laptopnya. Ia berjalan ke jendela kecil kamarnya, menatap rintik hujan yang mulai membasahi kaca. Keadilan telah ditegakkan. Tapi bukan keadilannya.
Hukum telah menghukum Tuan Wijoyo atas kejahatan mencuri uang negara. Tapi hukum tidak tahu apa-apa tentang secangkir teh beracun di sebuah sore yang tenang. Hukum tidak tahu tentang dua nyawa jujur yang direnggut dalam diam. Keadilan dari pengadilan ini terasa impersonal, tidak lengkap. Seperti menghukum sebuah bangunan karena roboh, tanpa pernah tahu bahwa ada pembunuhan yang terjadi di ruang bawah tanahnya.
Perasaan yang menjalari Arhan bukanlah kepuasan, melainkan kejelasan. Ini bukanlah akhir dari rencananya. Sebaliknya, ini adalah awal yang sempurna. Takdir telah membersihkan panggung untuknya. Tuan dan Nyonya Wijoyo harus dijatuhkan ke titik terendah. Mereka harus kehilangan segalanya—harta, status, kehormatan—sehingga ketika Arhan datang menawarkan "penebusan", mereka akan menerimanya tanpa curiga, seperti orang kehausan yang menerima segelas air di padang pasir.
Malam itu, Arhan tidak tidur. Ia membentangkan selembar kertas kalkir besar di atas mejanya. Di bawah cahaya lampu belajar, tangannya bergerak dengan presisi yang mantap, menarik garis-garis lurus dengan pensil arsiteknya. Sebuah denah rumah mulai terbentuk. Rumah yang indah, modern, dan penuh cahaya.
Rumah Wijoyo yang lama telah hancur. Sekarang, saatnya ia mulai membangun yang baru. Sebuah mahakarya terakhir. Sebuah rumah peristirahatan yang ia rancang khusus untuk para pembunuh orang tuanya.
Bab 9: Sang Maestro
Satu dekade berlalu seperti angin yang menyapu debu. Dalam sepuluh tahun itu, nama Arhan Hadiwijaya perlahan terhapus, digantikan oleh sebuah jenama yang diasosiasikan dengan kemewahan yang sunyi dan kecanggihan yang tak terlihat: HADIWIJAYA.
Bukan lagi nama seorang pemuda, melainkan sebuah tanda tangan arsitektural. Jika Anda melihat sebuah bangunan dengan garis-garis tegas yang membelah langit, dinding kaca yang meniadakan batas antara interior dan alam, serta fasad minimalis yang tampak lebih seperti sebuah patung daripada sebuah rumah, kemungkinan besar itu adalah karya HADIWIJAYA.
Arhan telah menjadi seorang maestro.
Kantornya menempati dua lantai teratas sebuah gedung pencakar langit di jantung distrik bisnis ibu kota. Dindingnya terbuat dari beton ekspos yang dingin, lantainya dari kayu eboni yang gelap, dan perabotannya adalah karya desainer yang harganya bisa membeli sebuah apartemen sederhana. Dari jendela ruangannya yang setinggi langit-langit, ia bisa memandang kota yang terhampar di bawahnya seperti sebuah cetak biru raksasa yang hidup.
Ia tidak lagi menggambar dengan tangan. Kini, ia memimpin tim arsitek muda yang brilian, yang menatapnya dengan campuran rasa kagum dan takut. Arhan dikenal sebagai pemimpin yang sedikit bicara. Ia tidak pernah meninggikan suaranya. Perintahnya singkat, jelas, dan tidak bisa dibantah. Visinya mutlak.
Spesialisasinya adalah "rumah pintar". Rumah-rumah rancangannya bukan sekadar tempat tinggal, melainkan organisme yang hidup. Pencahayaan, suhu, keamanan, bahkan tirai jendela, semuanya terintegrasi dalam satu sistem pusat yang bisa dikendalikan dari ujung jari melalui sebuah tablet. Klien-kliennya—para konglomerat, selebriti, dan pejabat tinggi—membayar mahal untuk bisa tinggal di dalam mahakaryanya. Mereka membeli efisiensi, keamanan, dan kemewahan. Apa yang tidak mereka ketahui adalah, bagi Arhan, setiap proyek adalah sebuah latihan. Latihan dalam menciptakan sebuah lingkungan yang berada di bawah kendali penuh.
"Estetika kami adalah kejujuran," katanya suatu kali dalam sebuah wawancara majalah arsitektur ternama. Ia duduk di kursi kulit hitam, mengenakan kemeja linen tanpa kerah, wajahnya tenang dan sulit dibaca. "Tidak ada ornamen yang tidak perlu. Setiap garis, setiap material, memiliki tujuannya sendiri. Sebuah bangunan harus jujur tentang strukturnya. Apa yang menopangnya, dan apa yang bisa meruntuhkannya."
Wartawan itu mencatatnya sebagai sebuah filosofi desain yang mendalam. Hanya Arhan yang tahu makna ganda di balik kata-katanya.
Ia kaya raya, dihormati di lingkarannya, dan memegang kendali penuh atas hidupnya. Namun, kesuksesan itu terasa hampa, seperti sebuah lobi gedung yang megah namun kosong. Semua ini—kekayaan, reputasi, keahlian—hanyalah alat. Perancah yang ia bangun dengan susah payah untuk mencapai satu titik konstruksi terakhir.
Suatu malam, setelah semua karyawannya pulang, Arhan berdiri sendirian di depan jendela kantornya. Lampu-lampu kota berkelip di bawah seperti galaksi buatan manusia. Ia meraih tablet dari mejanya, membuka sebuah berkas yang terenkripsi dengan sandi berlapis-lapis.
Di layar itu bukan denah sebuah vila mewah atau resor tepi pantai. Itu adalah hasil kerja seorang detektif swasta yang ia sewa. Isinya beberapa foto buram, data kependudukan, dan sebuah alamat di pinggiran kota yang kumuh.
Foto itu menunjukkan seorang pria tua ringkih dengan rambut yang telah memutih, dan seorang wanita tua yang wajahnya digurati kelelahan. Mereka tampak seperti sepasang kakek-nenek biasa yang sedang membeli sayur di pasar becek. Arhan butuh beberapa saat untuk mengenali mereka sebagai Tuan dan Nyonya Wijoyo. Waktu dan kemiskinan telah mengikis habis sisa-sisa keangkuhan mereka.
Arhan memperbesar foto itu, menatap mata mereka yang kini tampak kosong. Fondasi mereka telah hancur, pilar-pilar kebanggaan mereka telah runtuh. Mereka kini hanyalah puing-puing dari masa lalu. Sempurna.
Ia mematikan tablet itu. Panggung telah siap. Sang maestro telah menyelesaikan semua persiapannya. Kini, saatnya untuk mengetuk pintu masa lalu dan memulai babak terakhir dari mahakaryanya.
Bab 10: Mengetuk Pintu Masa Lalu
Mobil sedan berwarna perak itu melaju pelan, menyusuri gang-gang sempit yang seolah meremas badannya. Di sini, di pinggiran kota yang sesak dan terlupakan, aspal berganti menjadi beton pecah-pecah. Dinding-dinding rumah saling berimpitan, dihiasi jemuran pakaian yang melintang seperti bendera-bendera kekalahan. Arhan mengemudikan mobilnya sendiri, meninggalkan sopir pribadinya di kantor. Untuk misi ini, ia harus datang sendirian.
Ia memarkir mobilnya di ujung gang, di dekat sebuah warung kelontong yang ramai oleh anak-anak bermain. Ia keluar dari mobil, mengenakan kemeja katun sederhana dan celana bahan. Penampilannya bersih dan rapi, namun tidak cukup mencolok untuk menarik perhatian yang tidak diinginkan. Ia melangkah menyusuri gang, nomor-nomor rumah yang dicat seadanya di dinding menjadi penunjuk jalannya. Udara terasa lembap, beraroma campuran masakan, selokan, dan debu. Kontras yang begitu tajam dengan udara steril berpendingin di kantornya.
Akhirnya, ia berhenti di depan sebuah rumah kontrakan petak. Cat birunya telah mengelupas di banyak tempat, memperlihatkan lapisan semen abu-abu di baliknya. Jendelanya ditutupi gorden kain murahan yang warnanya sudah pudar. Di depan pintu, sepasang sandal jepit usang tergeletak pasrah. Alamat ini sesuai dengan yang diberikan oleh detektifnya.
Arhan menarik napas dalam-dalam, menenangkan detak jantungnya yang sedikit berpacu. Bukan karena gugup, melainkan karena antisipasi. Ia mengangkat tangannya dan mengetuk daun pintu kayu itu tiga kali. Ketukannya sopan dan tidak terburu-buru.
Terdengar suara langkah kaki diseret dari dalam, diikuti oleh bunyi grendel yang dibuka dengan susah payah. Pintu berderit terbuka, menampakkan sesosok wanita tua. Rambutnya yang tipis dan memutih diikat seadanya. Wajahnya penuh kerutan, dan matanya yang dulu tajam kini tampak sayu, dibingkai kantung mata yang gelap. Butuh beberapa detik bagi Nyonya Wijoyo untuk memfokuskan pandangannya pada tamu di hadapannya.
"Cari siapa, ya?" tanyanya dengan suara serak.
Arhan memasang ekspresi terkejut yang telah ia latih, diikuti dengan senyum hangat yang tulus. "Tante... Tante Rina?"
Wanita tua itu menyipitkan matanya. Ada kilat kebingungan, lalu pengenalan yang lambat. Mulutnya sedikit terbuka. "Arhan...?" bisiknya, seolah tidak percaya. "Kamu... Arhan Hadiwijaya?"
"Iya, Tante. Ini saya, Arhan," jawabnya lembut.
Tiba-tiba, seorang pria tua yang sama ringkihnya muncul di belakang wanita itu, bersandar pada kusen pintu. Tuan Wijoyo. Punggungnya sedikit bungkuk, dan keangkuhan yang dulu memancar dari sorot matanya kini telah padam, digantikan oleh tatapan kosong seorang yang telah kalah.
"Arhan?" ulangnya dengan suara yang lebih lemah.
Arhan menundukkan kepalanya sedikit, sebuah gestur hormat yang sempurna. "Om... Tante... Apa kabar?" Di tangannya, ia membawa beberapa tas jinjing berisi buah-buahan impor, roti mahal, dan beberapa kotak makanan siap saji dari restoran mewah. "Maaf saya baru bisa datang sekarang. Saya sudah lama sekali mencari alamat Om dan Tante."
Pasangan tua itu membeku, diliputi campuran rasa malu dan tak percaya. Mereka melihat Arhan dari ujung rambut hingga ujung kaki, melihat penampilannya yang makmur, mobilnya yang mengilap di ujung gang, dan kantong-kantong bawaannya. Mereka adalah puing-puing masa lalu, dan di hadapan mereka kini berdiri monumen kesuksesan yang pernah mereka bantu bangun fondasinya.
"Masuk, Han... Silakan masuk," kata Nyonya Wijoyo akhirnya, suaranya bergetar. Ia buru-buru menyingkir, mempersilakan Arhan masuk ke dalam rumah mereka yang sempit dan pengap.
Ruangan itu kecil. Hanya ada satu set kursi plastik, sebuah meja kecil, dan televisi tabung model lama. Arhan meletakkan bawaannya di atas meja, memenuhi permukaannya yang terbatas.
Keheningan yang canggung menyelimuti mereka. Pasangan Wijoyo duduk di hadapannya, tampak seperti terdakwa yang menunggu vonis.
Arhan memecah keheningan itu dengan senyum yang sama. "Saya dengar Om dan Tante sudah kembali ke kota ini. Saya... saya hanya ingin mengucapkan terima kasih," katanya, nadanya tulus. "Untuk semuanya. Untuk membesarkan saya, menyekolahkan saya. Tanpa Om dan Tante, saya tidak mungkin bisa menjadi seperti sekarang."
Kata-kata itu, yang bagi Arhan adalah kebohongan paling berbisa, terdengar seperti musik pengampunan di telinga pasangan Wijoyo. Mata Nyonya Wijoyo mulai berkaca-kaca.
"Kami... kami selalu tahu kamu akan jadi orang hebat, Han," ucap Tuan Wijoyo terbata-bata, egonya yang telah lama remuk menemukan sedikit penopang.
Arhan mengabaikan kebohongan itu. "Saya datang sebagai anak," lanjutnya. "Sudah kewajiban saya untuk melihat keadaan orang tua saya."
Panggilan "orang tua" itu meruntuhkan pertahanan terakhir mereka. Nyonya Wijoyo terisak pelan. Semua penderitaan, kemiskinan, dan penghinaan yang mereka alami seolah luruh oleh kehadiran "anak berbakti" ini. Dalam pandangan mereka yang putus asa, Arhan bukanlah pengingat masa lalu yang kelam, melainkan penyelamat. Buah dari satu-satunya kebaikan yang pernah mereka tanam.
Arhan tinggal selama satu jam, mendengarkan keluh kesah mereka tentang hidup yang sulit, tentang penyakit-penyakit usia tua. Ia menunjukkan simpati, memberikan kata-kata penghiburan, dan sebelum pamit, ia menyelipkan sebuah amplop tebal ke tangan Tuan Wijoyo.
"Ini tidak seberapa, Om. Tolong diterima untuk kebutuhan sehari-hari. Saya janji akan lebih sering datang menjenguk."
Saat berjalan kembali menyusuri gang menuju mobilnya, wajah Arhan tetap tenang. Namun di dalam, kepuasan yang dingin mulai menjalari pembuluh darahnya. Benih telah ditanam di tanah yang gersang. Ia telah datang sebagai air, memberikan harapan. Ia akan merawatnya, menyiraminya dengan kebaikan palsu, hingga benih kepercayaan itu tumbuh cukup kuat untuk menopang beban sebuah rumah.
Rumah yang akan menjadi kuburan mereka.
Bab 11: Proyek "Penebusan Dosa"
Setelah kunjungan ketiganya, di mana Arhan telah berhasil memposisikan dirinya sebagai sandaran emosional dan finansial yang kokoh bagi pasangan Wijoyo, ia memutuskan bahwa tanahnya telah cukup subur. Benih kepercayaan telah bertunas, kini saatnya menanam rencana utamanya.
Ia datang pada suatu sore, tidak membawa makanan mewah, hanya sebuah map gambar biru yang besar. Ia duduk di hadapan Tuan dan Nyonya Wijoyo di ruang tamu sempit mereka, meletakkan map itu di atas meja plastik.
"Om, Tante," ia memulai dengan nada serius yang terukur, "selama ini saya berpikir. Saya tidak tenang melihat Om dan Tante tinggal di tempat seperti ini."
Pasangan tua itu saling berpandangan. Nyonya Wijoyo hendak menyela, mungkin untuk mengatakan bahwa mereka sudah cukup bersyukur, namun Arhan mengangkat tangannya dengan lembut.
"Ini bukan tentang cukup atau tidak," lanjutnya. "Ini tentang kelayakan. Orang yang telah membesarkan saya, yang memberi saya kesempatan untuk menjadi seperti sekarang, tidak pantas menghabiskan masa tuanya di sini." Matanya menatap lurus ke arah Tuan Wijoyo, lalu ke Nyonya Wijoyo. "Izinkan saya membalas budi. Izinkan saya membangun sebuah rumah untuk Om dan Tante."
Keheningan yang mengikuti kata-katanya terasa begitu pekat. Tuan Wijoyo menatapnya, mulutnya sedikit terbuka, mencoba memproses. Nyonya Wijoyo menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai basah.
"Membangun... rumah?" bisik Nyonya Wijoyo.
Arhan mengangguk. Ia membuka map di atas meja, membentangkan sebuah cetak biru. Di atas kertas itu, tergambar sebuah rumah satu lantai yang modern, elegan, dan tampak nyaman. Dikelilingi taman kecil, dengan jendela-jendela besar yang menghadap ke arah matahari terbit.
"Saya sudah membeli sebidang tanah kecil di area yang tenang, tidak jauh dari sini," jelas Arhan, jarinya menelusuri denah itu. "Tidak besar, tapi cukup untuk masa tua. Desainnya saya buat sendiri. Semua aksesnya mudah, tidak ada tangga, dan sirkulasi udaranya baik. Tempat yang damai untuk beristirahat."
Saat itulah pertahanan pasangan Wijoyo runtuh total. Tangis Nyonya Wijoyo pecah, bukan isakan pelan, melainkan tangisan seorang yang merasa dosanya telah diampuni oleh campur tangan ilahi. Tuan Wijoyo, pria yang egonya telah hancur lebur di penjara, menundukkan kepalanya dalam-dalam, bahunya bergetar menahan tangis. Mereka melihat Arhan bukan lagi sebagai anak angkat, melainkan sebagai malaikat penebusan.
"Kamu... kamu anak yang baik, Han," isak Tuan Wijoyo. "Tuhan membalas semua kebaikan kami melalui kamu."
Arhan hanya tersenyum tipis. Bukan, pikirnya dalam hati. Tuhan tidak ada urusannya dengan ini. Ini adalah arsitektur. Sebuah perhitungan yang presisi antara beban dan daya tahan.
Proyek pembangunan dimulai seminggu kemudian. Arhan memimpinnya secara langsung, menolak menyerahkannya pada manajer proyek mana pun. Setiap hari, ia berada di lokasi, kemeja mahalnya digulung hingga siku, helm pengaman bertengger di kepalanya. Ia lebih mirip seorang mandor yang obsesif daripada seorang arsitek ternama.
Para pekerjanya menghormatinya. Mereka melihat seorang jenius yang bekerja, yang memahami setiap detail konstruksi hingga ke sekrup terkecil. Namun, ada beberapa instruksi yang membuat kepala tukang paling berpengalaman sekalipun mengernyitkan dahi.
"Pak Arhan, maaf," kata Pak Darto, mandornya, suatu hari. "Untuk fondasi rumah sekecil ini, kenapa kita perlu memasang penyangga hidrolik di dua belas titik cakar ayam? Ini teknologi untuk gedung tinggi."
Arhan menatapnya dengan tenang. "Ini bukan sekadar penyangga, Pak Darto. Ini adalah sistem peredam gempa aktif generasi terbaru yang sedang saya kembangkan. Anggap saja rumah ini sebagai purwarupanya."
Ia kemudian memerintahkan pemasangan "rangka baja fleksibel" di beberapa sambungan dinding utama. "Ini bukan baja biasa," jelasnya pada para pekerja yang kebingungan. "Ini adalah alloy baru yang bisa menyesuaikan diri dengan pergerakan tanah. Semuanya harus terhubung ke panel kontrol pusat ini untuk kalibrasi."
Panel kontrol yang ia maksud adalah sebuah kotak server yang dipasang di ruang utilitas tersembunyi. Bagi para pekerja, semua itu adalah teknologi canggih yang berada di luar pemahaman mereka. Mereka hanya menjalankan perintah sang maestro.
Hanya Arhan yang tahu fungsi sebenarnya. "Peredam gempa hidrolik" itu adalah piston-piston kuat yang dirancang bukan untuk menahan guncangan, melainkan untuk menarik fondasi ke bawah dengan kekuatan puluhan ton atas perintahnya. "Rangka baja fleksibel" itu adalah sendi-sendi mekanis yang akan membuka kunciannya seketika, membuat dinding kehilangan integritas strukturalnya. Dan panel kontrol itu adalah otaknya, yang terhubung melalui jaringan pribadi ke tablet di apartemennya.
Suatu sore, saat matahari terbenam, ia berdiri sendirian di tengah kerangka bangunan itu. Ia meletakkan tangannya di salah satu pilar baja yang dingin. Ia bisa merasakan potensi kekerasan yang tersimpan di dalamnya. Ini bukan lagi sekadar bangunan. Ini adalah sebuah mesin. Sebuah jebakan maut yang indah dan sempurna.
Ia sedang tidak membangun rumah. Ia sedang menyusun sebuah kalimat terakhir dalam bahasa yang paling ia kuasai: arsitektur. Dan kalimat itu adalah kalimat kematian.
Bab 12: Serah Terima Kunci
Rumah itu berdiri di ujung jalan buntu yang tenang, sebuah permata arsitektur modern di tengah lingkungan yang sederhana. Dindingnya yang berwarna putih gading tampak menyerap cahaya matahari pagi, sementara atapnya yang datar dan panel-panel kayu di fasadnya memberikan kesan hangat dan membumi. Sebuah taman minimalis dengan rumput hijau dan beberapa pohon kamboja membingkai bangunan itu, membuatnya tampak seperti sebuah oasis kedamaian. Tidak ada pagar, seolah ingin menyatakan bahwa rumah itu terbuka dan ramah. Siapa pun yang melihatnya akan berpikir: ini adalah tempat peristirahatan yang sempurna.
Arhan menghentikan mobilnya tepat di depan rumah itu. Di kursi penumpang, Nyonya Wijoyo menatap dengan mulut ternganga, matanya berkaca-kaca. Tuan Wijoyo di kursi belakang hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan, diliputi rasa tak percaya.
"Ini... ini rumah kita, Han?" bisik Nyonya Wijoyo, suaranya bergetar.
"Mulai hari ini, iya, Tante," jawab Arhan dengan senyum lembut. Ia keluar dan membukakan pintu untuk mereka, seperti seorang kusir yang melayani rajanya.
Ia menuntun mereka menyusuri jalan setapak kecil menuju pintu utama. Pasangan tua itu melangkah dengan ragu, seolah takut surga kecil ini akan lenyap jika mereka menginjaknya terlalu keras.
"Selamat datang di rumah baru Om dan Tante," kata Arhan sambil membuka pintu kayu yang lebar.
Saat mereka melangkah masuk, napas mereka tertahan. Interiornya adalah lautan cahaya. Dinding kaca dari lantai ke langit-langit di satu sisi ruangan utama langsung menyajikan pemandangan taman belakang yang asri, meniadakan batas antara di dalam dan di luar. Ruang tamu, ruang makan, dan dapur menyatu dalam sebuah denah terbuka yang luas dan lapang.
"Jendela-jendela besar ini sengaja saya pasang agar rumah ini selalu terang," jelas Arhan sambil memimpin mereka berkeliling. "Cahaya matahari pagi baik untuk kesehatan, dan membuat suasana hati jadi lebih baik." Dan tidak akan ada tempat untuk bersembunyi, tambahnya dalam hati.
Ia menunjukkan dapur yang dilengkapi peralatan canggih. "Semuanya otomatis, Tante. Memasak jadi lebih mudah dan aman."
Ia mengajak mereka ke kamar tidur utama, yang juga memiliki akses langsung ke taman. Ranjangnya besar dan tampak nyaman, lemari pakaiannya luas. "Di sini ada tombol panik," kata Arhan sambil menunjuk sebuah tombol merah kecil di samping tempat tidur. "Kalau ada keadaan darurat di malam hari, tekan saja. Nanti akan terhubung langsung dengan pihak keamanan." Sebuah kebohongan yang manis. Tombol itu tidak terhubung ke mana pun.
Selama tur itu, Tuan dan Nyonya Wijoyo tak henti-hentinya melontarkan pujian dan decak kagum. Mereka menyentuh permukaan meja marmer yang dingin, mengelus sofa yang empuk, dan menatap langit-langit yang tinggi dengan tatapan penuh syukur.
"Kami seperti sedang bermimpi, Han," kata Tuan Wijoyo, matanya basah oleh air mata. Ia memegang bahu Arhan dengan tangannya yang keriput. "Dulu, rumah kami jauh lebih besar dari ini, tapi rasanya tidak pernah sedamai ini. Kamu... kamu telah memberikan kami lebih dari sekadar rumah. Kamu memberikan kami kesempatan kedua."
"Ini semua berkat doa Bapak dan Ibu," sahut Arhan, memainkan perannya hingga akhir.
Setelah berkeliling, mereka kembali ke ruang tamu. Semua perabotan sudah tertata rapi. Pakaian-pakaian mereka yang sedikit dan usang bahkan sudah dipindahkan dari kontrakan dan tersimpan rapi di dalam lemari. Mereka tidak perlu melakukan apa-apa selain tinggal.
Arhan merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu tipis berwarna putih. Bukan kunci logam biasa. "Ini kuncinya," katanya sambil menyerahkan kartu itu ke tangan Nyonya Wijoyo. "Cukup ditempelkan di panel dekat pintu."
Nyonya Wijoyo menerima kartu itu seolah menerima sebuah perhiasan berharga. Ia memeluk Arhan dengan erat. "Tante tidak tahu bagaimana harus berterima kasih, Han. Tante akan selalu mendoakanmu."
"Dengan menikmati masa tua Om dan Tante di sini dengan damai, itu sudah lebih dari cukup untuk saya," kata Arhan, nadanya tulus, namun matanya sedingin es.
Ia pamit. Ia berjalan keluar dari rumah itu, meninggalkan pasangan tua yang sedang berdiri di tengah mahakarya sekaligus mausoleum mereka. Dari dalam mobilnya, Arhan melihat mereka melalui jendela kaca yang besar. Nyonya Wijoyo sedang tertawa sambil menyentuh tirai, dan Tuan Wijoyo duduk di sofa, menatap sekeliling dengan ekspresi lega yang luar biasa.
Pintu utama tertutup. Kunci terakhir dalam rencananya telah diserahkan. Mesinnya sudah siap, dan umpannya sudah berada di dalam.
Arhan menyalakan mesin mobil dan melaju pergi dengan tenang. Di kaca spion, bayangan rumah itu semakin mengecil, tampak damai dan tak berdosa di bawah cahaya senja. Fasadnya yang indah menyembunyikan fondasi yang telah dirancang untuk gagal. Setiap pilar yang tampak menopang dengan gagah sesungguhnya adalah penipu. Setiap dinding yang menjanjikan perlindungan sesungguhnya adalah bilah pisau guillotine yang menunggu untuk jatuh.
Perjalanan pulangnya terasa sunyi. Ia tidak menyalakan radio. Ia hanya fokus pada jalanan, namun pikirannya berada di tempat lain. Ia tidak merasakan gejolak kemenangan atau luapan emosi. Yang ia rasakan hanyalah sebuah kepuasan yang dingin dan metodis, seperti seorang insinyur yang melihat mesin rancangannya berjalan sesuai perhitungan. Proyeknya hampir selesai. Semua variabel telah diperhitungkan, semua material telah terpasang, dan semua izin telah ditandatangani dengan air mata syukur.
Ia tiba di apartemennya yang luas dan kosong. Di sini, tidak ada kehangatan palsu. Hanya ada beton, kaca, dan baja. Ia menuang segelas air putih, berjalan ke jendela raksasanya, dan menatap kerlip lampu kota. Setiap titik cahaya itu adalah sebuah bangunan, sebuah struktur. Dan setiap struktur memiliki titik lemahnya. Malam ini, ia akan membuktikan filosofinya sekali lagi, untuk yang terakhir kalinya.
Bab 13: Panggilan Telepon Terakhir
Malam pertama di rumah baru terasa seperti surga. Setelah bertahun-tahun hidup dalam kesempitan dan penyesalan, malam ini terasa seperti pembebasan. Tuan dan Nyonya Wijoyo menyantap makan malam mereka—hidangan lezat yang dikirimkan oleh Arhan—di meja makan yang menghadap langsung ke taman belakang. Lampu-lampu taman yang ditata apik oleh Arhan memancarkan cahaya lembut, membuat bayang-bayang pohon kamboja menari di atas rumput.
"Akhirnya kita bisa tenang, Pak," kata Nyonya Wijoyo sambil meletakkan sendoknya. Matanya menerawang, memandangi kemewahan sederhana di sekelilingnya. "Rasanya seperti mimpi."
"Ini semua karena Arhan," sahut Tuan Wijoyo. Ia meneguk air putih dari gelas kristal. "Anak itu... hatinya sungguh mulia. Kebaikan kita di masa lalu, merawatnya seperti anak sendiri, ternyata tidak sia-sia. Tuhan membalasnya sekarang."
Nyonya Wijoyo mengangguk setuju, mengabaikan secuil rasa tidak nyaman yang coba merayap di benaknya—kenangan akan kebaikan yang sesungguhnya dibangun di atas sebuah kejahatan. Ia memilih untuk menepisnya. Malam ini adalah malam untuk berbahagia.
Saat mereka sedang menikmati hidangan penutup, sebuah telepon di sudut ruangan berdering. Suaranya nyaring dan modern, bukan seperti dering telepon gagang yang biasa mereka dengar. Itu adalah telepon rumah nirkabel yang dipasang Arhan.
Dengan senyum terkembang, Nyonya Wijoyo bangkit dan mengangkatnya. "Halo?"
"Halo, Tante. Selamat malam." Suara Arhan di seberang sana terdengar jernih dan ramah. "Saya hanya ingin memastikan, apakah semuanya nyaman? Apakah Om dan Tante suka rumahnya?"
"Oh, Arhan!" seru Nyonya Wijoyo, wajahnya berseri-seri. Ia memberikan isyarat pada suaminya bahwa Arhan yang menelepon. "Lebih dari nyaman, Han! Ini sempurna. Kami... kami tidak tahu harus berkata apa lagi. Terima kasih, Nak."
"Syukurlah kalau Om dan Tante suka," balas Arhan. Keheningan sejenak, hanya terdengar suara napasnya yang tenang. "Saya senang Om dan Tante bisa merasa aman di sana. Keamanan itu hal yang paling penting, bukan?"
"Tentu... tentu saja," jawab Nyonya Wijoyo, sedikit bingung dengan arah pembicaraan itu.
"Orang tua saya dulu juga pasti merasa sangat aman," lanjut Arhan, nadanya mulai berubah, kehilangan sedikit kehangatannya. "Mereka percaya sekali pada Om dan Tante."
Jantung Nyonya Wijoyo berdebar sedikit lebih cepat. Ia melirik suaminya dengan cemas. Tuan Wijoyo mengerutkan kening, mencoba ikut mendengarkan.
"Saya ingat sekali sore itu," suara Arhan berlanjut, kini terdengar datar dan dingin. "Saya pulang sekolah membawa gambar pohon flamboyan, hadiah dari Tante. Saya tidak sabar ingin menunjukkannya pada Bapak dan Ibu. Tapi paviliun terasa sangat sepi saat saya masuk."
Tangan Nyonya Wijoyo yang memegang gagang telepon mulai gemetar.
"Dan saya ingat ada aroma teh di ruangan itu. Wangi melati, tapi ada bau pahit yang aneh. Seperti... bau racun tikus yang biasa Bapak simpan di gudang."
Napas Nyonya Wijoyo tercekat di tenggorokan. Gelas di meja bergetar karena tangannya yang gemetar. Tuan Wijoyo, yang kini menyadari kengerian yang sedang terjadi, merebut gagang telepon itu.
"Arhan! Apa maksudmu bicara seperti itu?!" bentaknya, suaranya bergetar antara amarah dan ketakutan.
Di ujung sana, terdengar tawa kecil. Tawa yang mengerikan, tanpa kegembiraan sama sekali.
"Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih yang sesungguhnya, Om," kata Arhan, suaranya kini setajam pisau bedah. "Terima kasih telah mengambil orang tua saya dari dunia ini dengan begitu cepat. Sekarang, giliran saya yang membantu Om dan Tante untuk menyusul mereka."
Kengerian murni melumpuhkan Tuan Wijoyo. Ia menatap istrinya yang sudah pucat pasi. Rumah yang tadinya terasa seperti surga, dalam sekejap berubah menjadi jebakan yang dingin dan mengancam. Jendela-jendela kaca yang besar kini terasa seperti mata raksasa yang mengawasi mereka, tanpa jalan keluar.
"Jangan gila kamu, Han! Jangan!" teriaknya putus asa ke telepon.
"Gila?" balas Arhan. "Tidak, Om. Saya seorang arsitek. Saya hanya sedang menjelaskan fitur terakhir dari mahakarya saya. Rumah ini bukan untuk ditinggali. Rumah ini dirancang untuk runtuh."
"Dinding yang Om kagumi tadi pagi? Itu hanya fasad. Di baliknya ada kerangka yang akan melipat. Fondasi yang Tante bilang kokoh? Itu adalah jangkar yang akan menarik kalian ke bawah, ke dalam tanah. Setiap pujian yang kalian berikan hari ini adalah untuk peti mati kalian sendiri."
"Tolong, Han! Ampuni kami!" isak Nyonya Wijoyo, merebut telepon itu kembali.
"Ampunan?" Suara Arhan terdengar jauh, seolah datang dari dunia lain. "Mintalah itu pada orang tua saya saat kalian bertemu mereka nanti. Selamat menikmati malam pertama di rumah baru kalian."
Klik.
Sambungan telepon terputus.
Hanya ada suara dengung panjang yang memenuhi ruangan. Tuan dan Nyonya Wijoyo berdiri membeku di tengah ruang tamu yang terang benderang itu, napas mereka terengah-engah oleh teror. Mereka saling pandang, mata mereka membelalak ngeri. Mereka terperangkap. Di luar, malam yang damai tetap sunyi, tidak tahu bahwa di dalam permata arsitektur itu, dua jiwa sedang menunggu eksekusi mereka.
Bab 14: Satu Sentuhan Jari
Di apartemennya yang bertengger tinggi di atas kerlip lampu kota, Arhan berdiri di depan jendela kaca yang membentang dari lantai ke langit-langit. Ia tidak menatap pemandangan kota. Matanya terpaku pada sebuah tablet yang menyala di tangannya. Di layar itu, terpampang denah tiga dimensi dari rumah yang baru saja ia serahkan. Titik-titik merah menyala di dua belas titik fondasi dan di enam sambungan dinding utama, berkedip pelan seperti detak jantung yang sabar.
Di bawah denah itu, hanya ada satu tombol virtual. Sebuah lingkaran merah sederhana dengan tulisan "EKSEKUSI" di tengahnya.
Ia bisa membayangkan kepanikan yang terjadi di dalam rumah itu. Tuan dan Nyonya Wijoyo mungkin sedang berlari ke pintu, hanya untuk menemukan bahwa sistem kunci pintar itu telah menonaktifkan diri, mengubah pintu kayu yang indah itu menjadi barikade yang tak bisa ditembus. Mereka mungkin sedang menggedor-gedor jendela kaca yang diperkuat, berteriak minta tolong pada malam yang tuli. Keputusasaan mereka adalah gema dari keputusasaan seorang anak laki-laki yang menemukan orang tuanya terbujur kaku bertahun-tahun yang lalu.
Arhan mengangkat ibu jarinya, memposisikannya tepat di atas tombol virtual itu. Tidak ada keraguan dalam gerakannya. Tidak ada getaran amarah. Hanya ada ketenangan yang dingin, seperti seorang ahli bedah yang akan memulai sayatan pertama. Seluruh hidupnya, setiap jam belajar, setiap pujian palsu yang ia terima, setiap senyum terpaksa yang ia berikan, semuanya mengerucut pada satu titik ini. Satu sentuhan.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
Kemudian, ia menekan tombol itu.
Di ujung jalan buntu yang sunyi itu, tidak ada ledakan yang memekakkan telinga. Tidak ada api yang menjulang ke langit. Yang ada hanyalah sebuah suara geraman rendah yang dalam, seolah bumi di bawah rumah itu sedang mengerang kesakitan.
Lalu, kehancuran itu terjadi dengan presisi yang mengerikan.
Piston-piston hidrolik di bawah fondasi menarik ke bawah dengan kekuatan puluhan ton. Atap rumah itu seolah kehilangan napasnya, ambles ke bawah dalam sekejap. Sesaat kemudian, sendi-sendi mekanis di dalam dinding melepaskan kunciannya. Dinding-dinding itu tidak roboh ke luar, melainkan melipat ke dalam, meremukkan segala sesuatu di antara mereka—sofa empuk, meja makan marmer, dan dua tubuh renta yang sedang menjerit dalam teror.
Seluruh proses itu hanya berlangsung kurang dari lima detik. Rumah yang tadinya merupakan mahakarya arsitektur, kini menjadi tumpukan beton, baja, dan kayu yang ringkas, menekan ke dalam dirinya sendiri seperti sebuah kaleng minuman yang diinjak. Sebuah kuburan instan yang dirancang dengan sempurna.
Awan debu putih membubung sesaat, lalu perlahan turun dan mengendap, menyelimuti puing-puing itu dalam keheningan yang total.
Di apartemennya, Arhan menurunkan tablet itu. Layarnya kini menampilkan tulisan: "EKSEKUSI SELESAI." Ia mematikan layarnya, meletakkannya di atas meja kopi.
Ia kembali menatap pemandangan kota. Lampu-lampu masih berkelip. Lalu lintas masih merayap di jalanan di bawah. Tidak ada yang berubah. Dunia terus berputar.
Api yang telah membakar jiwanya selama dua puluh tahun kini telah padam. Dendam yang menjadi bahan bakarnya, tujuannya, dan satu-satunya alasan ia bangun di pagi hari, telah terpenuhi. Namun, ia tidak merasakan kemenangan. Ia tidak merasakan kelegaan.
Yang ia rasakan hanyalah kekosongan. Sebuah ruang hampa yang luas dan dingin di tempat di mana api itu dulu pernah berkobar. Ia telah menyelesaikan mahakaryanya, dan kini, di hadapannya hanya terbentang sebuah cetak biru yang kosong.
Bab 15: Cetak Biru yang Kosong
Tiga bulan berlalu. Debu di lokasi runtuhnya rumah itu telah lama mengendap, digantikan oleh ilalang yang mulai tumbuh liar di antara bongkahan beton.
Berita itu menyebutnya "kecelakaan struktural yang tragis". Para ahli yang didatangkan untuk menyelidiki menggelengkan kepala, tak habis pikir. Mereka berbicara tentang kegagalan material yang tak terdeteksi, atau pergeseran tanah mikro yang fatal. Sebuah anomali dalam dunia konstruksi. Tidak ada yang mencurigai adanya kesengajaan; kehancuran itu terlalu presisi, terlalu bersih untuk dianggap sebagai sabotase.
Di tengah sorotan media, nama Arhan Hadiwijaya justru semakin bersinar dalam balutan simpati. Ia digambarkan sebagai arsitek jenius yang karyanya dirusak oleh takdir, seorang anak berbakti yang harus kehilangan orang tua angkatnya dengan cara yang paling ironis.
Di hadapan kamera dan para penyelidik, Arhan memainkan peran terakhirnya dengan sempurna. Wajahnya pias, matanya menyiratkan duka yang dalam, dan jawabannya selalu teknis, penuh penyesalan, dan kooperatif. Ia menyerahkan semua data rancangannya, setiap detail perhitungan strukturnya, yang tentu saja, di atas kertas, semuanya tampak sempurna. Ia dipuji karena ketegarannya, karena profesionalismenya di tengah tragedi pribadi yang begitu besar.
Namun, ketika pintu apartemennya yang berat tertutup, topeng itu luruh.
Apartemennya yang dulu terasa sebagai benteng ketenangan, kini terasa seperti sebuah penjara yang hampa. Keheningan tidak lagi menenangkan, tetapi memekakkan. Keteraturan di sekelilingnya tidak lagi membanggakan, tetapi terasa steril dan tanpa nyawa. Ia akan berdiri di depan jendela kaca raksasanya selama berjam-jam, menatap kota yang terus hidup, merasa terasing dari semuanya.
Api itu telah padam. Kebencian yang telah menjadi kompas hidupnya, yang memberinya arah dan tujuan, kini hanya menyisakan abu yang dingin. Ia telah memenangkan perangnya, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa di masa damai.
Malam itu, ia duduk di ruang kerjanya. Dinding di sekelilingnya dihiasi berbagai penghargaan arsitektur, plakat-plakat mengkilap yang kini terasa seperti ejekan. Ia menyalakan layar komputernya yang beresolusi tinggi. Biasanya, layar itu akan dipenuhi dengan garis-garis rumit, rendering 3D, dan perhitungan matematis.
Tapi malam ini, di hadapannya, hanya terbentang sebuah kanvas digital yang putih bersih. Sebuah halaman baru. Sebuah cetak biru yang kosong.
Dendam telah selesai dibangun dan dihancurkan. Seluruh fondasi hidupnya—yang dibangun di atas trauma dan hasrat untuk membalas—telah ia ratakan dengan tanah. Pertanyaannya sekarang bukan lagi "bagaimana cara menghancurkan", melainkan sebuah pertanyaan yang jauh lebih menakutkan, yang menggema di dalam ruang jiwanya yang kosong:
"Apa yang akan kubangun di atas puing-puing ini?"