Kedatangan Para Penuduh
Suara ketukan di pintu kayu yang berderai itu seperti palu godam yang menghantam keheningan sore. Firdaus menegakkan punggungnya dari atas tikar anyaman pandan tempatnya duduk bersila. Dadanya sesak, bukan karena kejutan, tapi karena sebuah kepastian muram yang akhirnya tiba. Mereka datang.
Dia tidak perlu membuka jendela untuk tahu siapa yang berdiri di balik pintu. Bayangan tiga sosok tinggi, yang terdistorsi oleh kaca jendela buram, sudah cukup menjadi pengantar suasana. Dunia di luar rumahnya yang sempit dan sederhana itu tiba-tiba dipenuhi oleh sebuah keagungan yang menyesakkan.
Dia membuka pintu.
Dan di sana, berdiri dengan segala wibawa yang melekat pada jubah dan sorban mereka, adalah tiga anggota Dewan Guru Pesantren Nurul Hikmah. Ustadz Hadi, dengan wajahnya yang seperti pahatan batu dan janggut yang sudah diurai uban, memimpin. Di samping kirinya, Ustadz Hakim, yang matanya selalu menyipit seolah mengkalkulasi setiap dosa. Dan yang paling membuat nadinya berdesir, Kang Ozan, si jagal ideologi, dengan pandangan mata yang membara seperti bara yang siap membakar setiap "penyimpangan".
Mereka tidak masuk. Mereka hanya berdiri di ambang pintu, membiarkan kontras yang menyiksa itu terpampang nyata. Di belakang mereka, terhampar pesantren megah dengan dinding bata putih dan menara musala yang menjulang. Di depan mereka, rumah Firdaus yang temboknya retak-retak, dengan atap seng yang sudah karatan. Ini adalah perang simbol: tradisi yang kokoh dan terstruktur melawan privasi yang sempit dan terancam.
"Firdaus," suara Ustadz Hadi menggema, datar namun mematikan. "Kami datang untuk pertanyaan yang serius."
Firdaus hanya mengangguk pelan, menahan getar di lututnya.
Ustadz Hakim yang melanjutkan, suaranya lebih halus tapi tak kalah tajam. "Tujuh belas santri. Tujuh belas! Menolak untuk memasuki Madrasah Al-Iman Al-Aziz. Mereka, atau lebih tepatnya orang tua mereka, menyatakan ketakutan yang tidak masuk akal. Mereka bilang gedung itu... tidak aman."
Kata "tidak aman" itu diucapkan dengan nada mengejek, seolah itu adalah sebuah bidahah.
"Kami tahu ini ulahmu, Firdaus," sela Kang Ozan, suaranya mendesis penuh keyakinan. "Kau telah menghasut mereka. Meracuni pikiran mereka dengan ketakutan-ketakutan yang kau anggap sebagai 'nalar'. Kau telah memecah belah kesatuan kita."
Sebelum Firdaus bisa membuka mulut, sebuah bayangan lain muncul dari dalam rumah. Ibunya, dengan wajah yang pucat pasi dan tangan yang gemetar mencengkram ujung mukena. Matanya memancarkan rasa malu yang begitu dalam, sampai-sampai Firdaus merasa seperti ditampar.
"Firdaus, anakku," bisik ibunya, suaranya parau oleh kepanikan. "Apa yang telah kau lakukan? Meminta maaflah! Sekarang juga! Pada Ustadz, pada Kang Ozan! Jangan nodai nama baik keluarga kita. Kita hanya rakyat kecil, Firdaus. Jangan melawan pesantren."
Rasa sakit melihat ibunya seperti itu lebih menyiksa daripada segala tuduhan. Ibu, yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi corong dari tekanan sosial yang menindasnya.
Dia menarik napas dalam, mencari sisa-sisa keberanian di relung jiwanya. Dia menatap lurus ke mata Kang Ozan, sumber dari segala tuduhan ini.
"Saya tidak menghasut, Kang Ozan," suaranya terdengar lebih tenang dari yang dia kira. "Saya hanya mengingatkan. Memberi tahu apa yang saya lihat."
"Dan apa yang kau lihat, Firdaus?" tantang Ustadz Hadi, matanya menyipit.
Firdaus memandang mereka satu per satu. Di balik jubah, sorban, dan wibawa mereka, dia hanya melihat kebutaan yang diselimuti oleh kesombongan spiritual.
"Saya melihat ancaman nyata," jawabnya, singkat dan padat.
Kalimat itu menggantung di udara yang mendadak menjadi sangat sesak. Tiga guru itu terdiam, namun kemarahan dan ketidakpercayaan terpancar jelas dari raut wajah mereka. Ibu Firdaus mendesah lirih, tangannya menutup mulut, seolah perkataan anaknya itu adalah sebuah kutukan.
Kedatangan mereka bukan lagi sebuah pertanyaan. Itu adalah interogasi. Dan Firdaus tahu, ini baru permulaan. Pondasi keyakinannya akan diuji oleh pondasi otoritas yang telah berkarat, dan pertarungan itu terjadi di ambang pintu rumahnya yang reyot.
Bab 2
Logika yang Menantang Keyakinan
Ucapan Firdaus tentang "ancaman nyata" bagai minyak yang disiram ke bara di dalam dada Kang Ozan. Sorot matanya yang sudah membara kini seakan menyala-nyala, menembus kegigihan di wajah Firdaus.
"Ancaman nyata?" sergah Kang Ozan, langkahnya maju sedikit, mendominasi ambang pintu yang sempit. Suaranya meninggi, penuh dengan cemoohan yang dipoles retorika keagamaan. "Ancaman nyata itu ada di sini, Firdaus! Di kepalamu! Bukan pada beton dan besi yang telah diwakafkan dengan ikhlas oleh umat!"
Dia menatap Firdaus bak sedang membedah seekor serangga yang aneh.
"Kau kira kami tidak tahu? Kau racuni mereka dengan filsafat sesatmu. Kau tebarkan ketakutan yang kau bungkus dengan kata 'logika'. Kau jadikan akalmu yang terbatas itu tuhan baru, hingga berani-beraninya meragukan ketetapan dan rezeki yang Allah titipkan melalui jerih payah para dermawan!"
Ibu Firdaus, yang mendengar kata-kata "filsafat sesat" dan "tuhan baru", langsung histeris. Air matanya meleleh deras, rasa malunya telah berubah menjadi keputusasaan yang mendidih.
"Firdaus, cukup!" teriaknya, tangan mencengkeram lengan baju Firdaus dengan kuat. "Dengarkan Ustadz! Mati dan hidup itu di tangan Allah! Bukan di tangan pondasi atau apa pun! Kalau memang ajal kita di sana, ya itu takdir! Kita harus menerima dengan tawakal! Bukan malah membangkang seperti setan!"
Argumentasi sederhana nan mematikan itu, yang lahir dari keyakinan buta dan ketakutan akan citra sosial, adalah pukulan paling telak bagi Firdaus. Dia melihat di mata ibunya bukan kebencian, tetapi ketakutan yang tulus—ketakutan bahwa anaknya telah tersesat dan akan menyeret seluruh keluarga ke dalam aib.
Firdaus memandang ibunya, lalu menatap kembali Kang Ozan yang tampak puas dengan intervensi sang Ibu. Ada sebuah ledakan di dalam kepalanya. Dia harus mematahkan logika sederhana ini dengan logika yang lebih tinggi, yang justru bersumber dari ajaran yang mereka agung-agungkan.
"Kalau begitu, Ibu," kata Firdaus, suaranya tiba-tiba sangat jernih dan tenang, memotong segala histeria. "Kenapa kita pasang kunci di pintu rumah kita setiap malam?"
Ibunya terhenti, mendelik bingung. Pertanyaan yang terdengar begitu sederhana itu tiba-tiba menggantung di udara, membuat Ustadz Hadi dan Ustadz Hakim yang selama ini diam mempertajam pendengaran mereka.
"Kita pasang kunci," Firdaus melanjutkan, matanya tak lepas dari ibunya, "karena kita percaya bahwa Allah memerintahkan kita untuk berikhtiar. Untuk menjaga diri dari bahaya yang bisa kita cegah. Berserah diri kepada Allah setelah kita melakukan usaha, itu namanya tawakal. Tapi berserah diri tanpa usaha..."—dia kini menoleh kepada Kang Ozan—"...itu namanya kesombongan. Sok suci, seolah-olah kita begitu yakin akan campur tangan Allah, sampai-sampai mengabaikan sunnatullah, hukum sebab-akibat yang justru Dia ciptakan di alam ini."
Ruang di depan pintu itu mendadak sunyi. Argumen Firdaus yang tajam dan reflektif itu berhasil, untuk sesaat, membungkam mereka. Bahkan wajah batu Ustadz Hadi pun menunjukkan retakan berupa kerutan di dahi.
Namun, kesunyian itu hanya berlangsung sejenak.
Ustadz Hadi, yang selama ini menjadi penonton, akhirnya berdiri. Bukan dengan emosi seperti Kang Ozan, tetapi dengan wibawa yang dingin dan mengancam. Langkahnya mantap, mendekati Firdaus hingga jarak mereka hanya sehafalan.
"Firdaus," gumamnya, suaranya rendah namun mematikan seperti sembilu. "Kau telah melampaui batas. Yang kau lakukan bukan lagi sekadar memberi peringatan. Ini adalah penghinaan terhadap kewibawaan kami, terhadap otoritas Kyai, dan terhadap proyek kebanggaan pesantren ini."
Dia berhenti, memastikan setiap kata yang diucapkan berikutnya tertanam dalam.
"Kami tidak akan membiarkanmu merusak lebih jauh. Hentikan semua ini. Hentikan peringatanmu, hentikan pembicaraan dengan santri lain, dan tarik kembali segala 'kekhawatiran' palsumu. Atau," ancamnya, "kami tidak akan segan mengambil tindakan hukum. Pencemaran nama baik dan penghasutan. Paham?"
Ancaman itu menggantung, lebih berat dari debu beton mana pun. Ibu Firdaus terisak pilu, tubuhnya lunglai. Tapi Firdaus hanya bisa berdiri tegak, menyadari bahwa di hadapan keyakinan buta yang dibalut otoritas, logika sejernih apa pun bisa dianggap sebagai pemberontakan.
Pertempuran ide telah bereskalasi menjadi perang ultimatum.
Bab 3
Sirine dan Kebenaran yang Terkubur
Ancaman hukum dari Ustadz Hadi bagai hawa es yang membekukan udara di teras rumah yang sempit itu. Ibu Firdaus terisak-isak, ketakutannya kini telah berubah menjadi kepasrahan yang pahit. Dia menarik lengan Firdaus, mencoba menariknya mundur, kembali ke dalam rumah, kembali ke dalam kepatuhan.
Tapi Firdaus tetap berdiri bagai sebongkah batu di tengah arus deras. Dia melihat ketegangan di wajah Ustadz Hadi, kesombongan di sorot mata Kang Ozan, dan kebingungan di raut Ustadz Hakim. Mereka tidak melihat kebenaran. Mereka hanya melihat sebuah otoritas yang sedang diinjak-injak.
Dia harus mengatakannya. Satu kali terakhir. Dengan cara yang tidak bisa mereka salahpahami lagi.
"Kalian menyuruh saya berhenti mengingatkan," kata Firdaus, suaranya tiba-tiba terdengar sangat dalam dan berat, seolah membawa beban dari dasar jiwanya. "Tapi siapa yang akan mengingatkan kalian ketika hukum alam itu berbicara? Hukum yang justru adalah Sunnatullah itu sendiri?"
Dia memandang mereka satu per satu, matanya memancarkan sebuah kepiluan yang mendalam.
"Madrasah itu," ujarnya, dengan pelan namun terpotong jelas, "adalah sebuah pondasi tua yang menopang beban maut yang hanya menunggu waktu untuk tunduk pada hukum alam. Itu bukan sekadar dugaan. Itu adalah sebuah kecelakaan yang menunggu untuk diizinkan."
Kata-kata terakhir itu meluncur seperti sebuah vonis.
Kang Ozan, yang sudah tidak bisa menahan amarahnya, meledak. "Lancang!" bentaknya, wajahnya memerah karena darah yang menggelegak. "Kau ini siapa sampai berani-beraninya meramal takdir seolah kau yang menentukan?! Ini bukan lagi kesesatan, Firdaus! Ini adalah kesempurnaan kesesatan! Kesombongan akal yang telah mencapai puncaknya! Aku bersumpah, kau tidak akan tenang! Kau akan—"
Tepat di puncak kemarahan Kang Ozan, ketika sumpah serapahnya hendak memenuhi udara, sebuah suara melengking, tajam, dan tidak beraturan menyayat langit sore.
WHUUU-EEEE— WHUUU-EEEE— WHUUU-EEEE—
Sirine.
Bukan satu. Tapi banyak. Bergema dari arah pusat pesantren, memecah kesunyian, memotong ancaman, dan membekukan segala emosi yang sedang berkecamuk.
Mereka semua membeku. Ustadz Hadi, Ustadz Hakim, Kang Ozan, Ibu Firdaus, dan Firdaus sendiri. Kepala mereka serentak menoleh ke arah sumber suara itu. Suara yang tidak asing, tapi selalu membawa kabar buruk.
Kemudian, dari ujung jalan setapak, seorang pemuda muncul. Dia adalah tetangga Firdaus, Bajuri, yang biasa membantu di kebun pesantren. Wajahnya pucat bagai kain kafan, tubuhnya berdebu dari kepala hingga kaki, dan napasnya terengah-engah. Matanya liar, dipenuhi ketakutan yang tidak terbendung.
Dia terhuyung-huyung mendekati kerumunan di teras, tangannya gemetar mencoba menunjuk ke arah sirine yang meraung-raung.
"Ustadz... Kang...!" teriaknya, suaranya parau dan nyaris tak terdengar. "Madrasah... Madrasah Al-Iman Al-Aziz...!"
Dia menarik napas dalam-dalam, seolah tidak punya keberatan untuk mengucapkan kata selanjutnya.
"ROBOH! Roboh total! Menimbun... menimbun ratusan santri di dalamnya!"
Duung.
Seperti sebuah ledakan hening. Dunia seakan berhenti berputar.
Wajah Ustadz Hadi yang tegar tiba-tiba runtuh, semua warna menghilang, meninggalkan wajah seorang lelaki tua yang renta. Ustadz Hakim memegangi dadanya, mulutnya terbuka kecil, bagai ikan yang kehabisan udara. Ibu Firdaus menjerit lirih, tangannya menutup mulut, tubuhnya bergetar hebat.
Dan Kang Ozan... dia hanya terdiam. Mulutnya yang tadi mencaci maki Firdaus kini terkatup rapat. Sorot matanya yang membara tiba-tiba padam, digantikan oleh sebuah pemahaman yang mengerikan, sebuah pengakuan pahit yang mulai merayap dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Lalu, secara perlahan, hampir bersamaan, pandangan mereka semua—Ustadz Hadi, Ustadz Hakim, Kang Ozan, Ibu Firdaus, dan Bajuri—beralih dan tertuju pada satu orang.
Firdaus.
Dia masih berdiri di tempat yang sama. Tidak ada kemenangan di matanya. Tidak ada "Aku-telah-bilang". Yang ada hanyalah sebuah kesedihan yang begitu luas dan dalam, menyelimuti dirinya bagai kabut. Air mata akhirnya menitik dari pelupuk matanya, bukan untuk dirinya, tetapi untuk semua nyawa yang menjadi korban dari sebuah kebenaran yang telah dia coba suarakan.
Kebenaran itu kini telah terkubur, bersama reruntuhan dan jerit tangis yang mulai memenuhi Pesantren Nurul Hikmah.
Bab 4
Rahasia di Bawah Selimut
Dua bulan sebelum reruntuhan dan sirine.
Pukul 02.00 dini hari. Pesantren Nurul Hikmah tenggelam dalam kesunyian yang nyaris sempurna, hanya diselingi dengkuran ringan dari puluhan santri yang lelap di Asrama A. Di balik selimut tebalnya, Firdaus membuka sebuah dunia lain. Cahaya senter kecil menyorot halaman-halaman buku yang sudah lusuh, diterangi oleh huruf-huruf Latin yang baginya lebih memesona daripada harta karun.
Etika Nikomakea. Aristoteles.
Bagi Firdaus, buku ini bukan "buku kafir" sebagaimana sering dicap oleh Kang Ozan dalam pengajiannya. Buku ini adalah sebuah kunci. Kunci untuk memahami "mengapa". Selama ini, di pesantren, dia diajari apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Hafalan fiqh, tata cara wudhu, kaidah nahwu. Tapi "mengapa" hukum itu ada, "mengapa" suatu sebab melahirkan akibat yang spesifik, seringkali terjawab dengan "karena itu perintah Allah" atau "karena itu tradisi ulama". Jawaban itu benar, tapi bagi pikirannya yang haus nalar, itu belum cukup.
Aristoteles memberinya kerangka. Konsep sebab final (tujuan), sebab formal (bentuk), sebab materi (bahan), dan sebab efisien (pelaku) bagai membukakan pintu. Dia mulai memahami bahwa alam semesta, termasuk perintah agama, berjalan dalam sebuah logika yang bisa ditelusuri. Iman dan akal, baginya, bukanlah dua musuh, melainkan dua mata yang melihat kebenaran yang sama dari sudut yang berbeda.
Kewaspadaannya yang legendaris di antara teman-temannya—selalu memeriksa tangga kayu sebelum menaikinya, selalu mengamati langit sebelum hujan—bukanlah sifat paranoid. Itu adalah produk dari logika sebab-akibat yang dia serap. Setiap tindakan memiliki konsekuensi. Setiap struktur memiliki batas daya. Itu adalah Sunnatullah, hukum Allah di alam semesta, yang justru harus dipelajari, bukan diabaikan.
Konsentrasinya yang mendalam tiba-tiba buyar oleh sebuah bayangan besar yang menghalangi cahaya senternya.
Dia mengangkat kepalanya perlahan. Jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat.
Kang Ozan berdiri di samping tempat tidurnya. Wajahnya, yang biasanya keras, kini tampak seperti topeng dingin yang diukir dari kebencian. Matanya tertuju pada buku di tangan Firdaus, seolah bisa membakar kertas-kertasnya hanya dengan pandangan.
"Dasar tidak bisa dipercaya," desis Kang Ozan, suaranya rendah dan berbahaya, hanya untuk didengar Firdaus. Tangannya, besar dan berotot, meraih buku itu begitu saja dari genggaman Firdaus. Dia melihat sampulnya, dan sebuah raungan amarah yang tertahan keluar dari kerongkongannya.
"Aristoteles! Aku sudah menduga! Racun ini yang kau sembunyikan di balik sorban kesalehanmu?"
"Kang Ozan, ini bukan racun," bantah Firdaus, berusaha tenang meski dadanya berdebar kencang. "Ini hanya logika. Alat untuk memahami. Banyak ulama kita dulu—"
"Banyak ulama kita dulu menolak filsafat kafir ini!" potong Kang Ozan dengan keras, membuat beberapa santri bergerak dalam tidurnya. Dia menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah Firdaus. "Mereka tahu ini adalah pintu gerbang kesesatan! Kau kira aku tidak baca kitab? Kau kira aku tidak tahu dalil?"
Dia berdiri tegak lagi, memegang buku itu seolah-olah memegang bangkai tikus.
"Ibnu Taimiyah, dalam Dar' at-Ta'arud, sudah menjelaskan dengan sangat jelas! Akal tanpa wahyu adalah alat setan! Ia akan membawamu pada keraguan, pada kesombongan, persis seperti yang kau alami sekarang! Kau lihat dirimu, Firdaus! Kau mulai meragukan tradisi, meragukan otoritas gurumu, semua karena kau merasa punya 'logika' yang lebih tinggi!"
"Itu tidak benar, Kang. Saya hanya ingin tahu 'mengapa'-nya. Agar iman saya tidak buta."
"Keingintahuanmu itulah bencana!" hardik Kang Ozan. "Lihatlah dirimu sekarang. Kewaspadaanmu, perhitunganmu, itu semua adalah produk dari akal liar yang sudah tidak lagi dituntun oleh wahyu! Kau sudah tersesat, Firdaus. Tersesat dalam labirin pemikiran Yunani yang justru menolak konsep kenabian!"
Tanpa memberi kesempatan lagi pada Firdaus untuk membela diri, Kang Ozan menggenggam erat buku itu.
"Buku ini buktinya. Aku sita. Dan ini adalah peringatan terakhir untukmu. Hentikan, atau konsekuensinya akan kau rasakan."
Dia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Firdaus yang terduduk di tempat tidurnya, diselimuti oleh kegelapan dan sebuah perasaan terasing yang begitu dalam. Cahaya senter kecilnya telah padam. Tapi yang lebih menyakitkan, sebuah "kunci" yang telah membantunya memahami dunia, baru saja direnggut darinya.
Di kegelapan itu, yang tersisa hanyalah sebuah keyakinan pilu: jika logikanya dianggap sesat dalam hal spiritual, suatu saat nanti, dia harus membuktikan kebenarannya dalam hal yang tidak bisa dibantah siapapun. Dalam hal-hal fisik, di mana hukum alam berbicara lebih keras daripada dalil mana pun.
Bab 5
Struktur Bangunan dan Logika Fatal
Penyitaan buku itu bagai memutuskan sebuah tali yang selama ini menambatkan Firdaus pada dunia ide. Rasa terasing yang dia rasakan di asrama itu padat dan nyata, seperti dinding yang perlahan mengurungnya. Teman-teman sekamarnya yang dulu memandangnya sebagai santri pintar, kini mulai menjaga jarak, bisik-bisik tentang "buku kafir" dan "pembangkangan halus" sudah membumbui udara. Tapi kekesalan dan luka batin itu tidak lama menggerogotinya. Sesuatu yang lebih besar, lebih mendesak, mulai mengisi pikirannya.
Jika logikanya ditolak di ranah spiritual, maka dia akan mengalihkannya ke ranah yang tak terbantahkan: hukum alam. Di sana, tak ada tafsir, tak ada dalil yang bisa membengkokkan realita. Sebuah batu yang dijatuhkan akan jatuh. Sebuah pondasi yang lemah akan runtuh.
Fokusnya pun beralih sepenuhnya ke Madrasah Al-Iman Al-Aziz.
Dia mulai mengamati.
Bukan dengan mata seorang santri yang takjub pada kemegahan baru, tapi dengan mata seorang—dia teringat pada satu istilah dari buku yang disitanya—seorang insinyur. Seorang yang menganalisis sebab dan akibat material.
Dari jauh, madrasah tiga lantai itu memang tampak perkasa. Dindingnya dicat putih bersih, jendela-jendela kacanya berkilauan memantulkan matahari, sebuah lambang kemajuan pesantren. Tapi Firdaus tidak melihat kemegahan itu. Matanya tertuju pada bagian bawah, pada bagian yang biasanya diabaikan, pada kaki dari raksasa beton ini.
Dia mulai berjalan mendekati bangunan itu pada saat-saat sepi, ketika para santri dan pekerja sudah pergi. Dia berjalan perlahan, mengitari dasar bangunan, matanya menyapu setiap jengkal seperti seorang detektif yang mencari petunjuk.
Dan petunjuk itu ada di mana-mana.
Di sebelah selatan, di balik semak belukar yang sengaja dibiarkan tumbuh, dia melihatnya: pondasi tua dari bangunan lama yang cuma satu lantai. Pondasi itu bukan ditambah atau diperkuat, melainkan ditinggikan begitu saja dengan cor beton baru yang warnanya lebih terang. Itu seperti memakaikan sepatu bot besar pada seorang anak kecil dan berharap dia bisa menjadi pelompat tinggi.
Dia melihat lebih dekat. Di beberapa titik, retakan-retakan diagonal yang halus seperti rambut menjalar dari sudut-sudut pondasi tua itu. Retakan itu jelas-jelas berusaha ditutupi dengan semen baru yang diplester secara tergesa-gesa, seperti bedak yang menutupi bekas luka di wajah. Tapi retakan itu sudah kembali muncul, membayangi melalui lapisan semen yang tipis.
Lalu, matanya tertuju pada balok penyangga utama di lantai dasar. Kayu jatinya yang dulu terkenal keras sekarang terlihat lesu. Di beberapa bagian, warnanya sudah berubah menjadi keabu-abuan, tanda lapuk dimakan usia dan cuaca. Dia mendekatkan hidungnya. Ada bau apak, bau kayu lembab yang sudah kehilangan kekuatannya, yang berusaha disembunyikan oleh aroma cat minyak baru yang menyengat.
Di dalam pikirannya, konsep-konsep Aristoteles yang dituduh sesat itu hidup kembali, menemukan penerapan yang nyata.
Causa Materialis: Sebab materi. Materinya adalah pondasi tua yang didesain untuk beban ringan, balok kayu yang sudah lapuk, dan beton berkualitas rendah yang digunakan untuk menambal sana-sini.
Causa Efisiens: Sebab kerja. Efisiensinya adalah beban tiga lantai penuh dengan ratusan santri, perpustakaan, meja-meja berat, dan aktivitas yang terus-menerus.
Firdaus berdiri di sana, memandang bangunan itu. Ini bukan lagi firasat atau perasaan tidak enak. Ini adalah sebuah kepastian matematis. Sebuah kesimpulan yang tak terelakkan dari logika sebab-akibat yang paling mendasar. Hukum alam, Sunnatullah, sedang berbicara kepadanya melalui retakan dan kayu yang lapuk.
Dia membayangkan para santri di dalamnya, tertawa, belajar, beribadah, tanpa tahu bahwa di bawah kaki mereka, sebuah hitungan mundur sedang berjalan.
Dan dalam hatinya, sebuah keputusan yang tenang namun membaja mulai mengkristal: dia tidak akan pernah, tidak akan pernah, menginjakkan kaki di dalam gedung itu. Ini bukan lagi tentang menentang perintah. Ini adalah tentang Ikhtiar. Ikhtiar yang paling mendasar: menyelamatkan nyawa sendiri dari bahaya yang bisa dilihat dengan jelas.
Logika yang dilarang itu telah memberinya sebuah peringatan. Dan kali ini, dia berniat mendengarkannya.
Bab 6
Memilih Jalan Ikhtiar
Keputusan yang matang dalam hati Firdaus itu harus diwujudkan dalam tindakan yang diam-diam namun konsisten. Dia tidak mungkin berdiri di depan madrasah dan berteriak bahwa bangunan itu akan roboh. Itu bukan Ikhtiar, itu bunuh diri. Maka, dimulailah sebuah rangkaian penolakan pasif yang halus.
Esok harinya, ketika bel tanda masuk ke Madrasah Al-Iman Al-Aziz berbunyi, Firdaus tidak bergerak dari tempat duduknya di serambi musala tua. Dia membuka kitab Safinatun Najah seolah-olah tengah berkonsentrasi penuh.
"Firdaus, ayo! Pelajaran Ustadz Hadi di lantai tiga," panggil Malik, teman sekamarnya.
Firdaus mengangkat kepala, wajahnya dibuat sedikit memelas. "Aduh, Mal, kepalaku pusing sekali dari tadi pagi. Sepertinya tidak kuat naik tangga. Aku izin dulu di sini, lanjutin hafalan."
Malik mengangguk, sedikit heran tapi tak banyak bertanya.
Keesokan harinya, giliran pelajaran Kang Ozan. Firdaus memilih untuk "terlambat" dengan cara membantu Ibu Nyai di dapur pesantren, mengulek bumbu hingga pelajaran hampir usai. Alasan yang sulit untuk dimarahi.
Hari ketiga, dia mengeluh sakit perut. Hari keempat, dia "kebingungan" mencari kitabnya yang katanya tertinggal di asrama.
Pola ini berlangsung hampir sepekan. Sebuah ketidakhadiran yang terus-menerus di ruang kelas megah itu, sementara dia selalu terlihat aktif dan sehat di tempat-tempat lain: musala tua, perpustakaan, atau di bawah pohon rindang di halaman pesantren.
Awalnya, para guru hanya mencatan sebagai keanehan. Tapi mata Kang Ozan, yang sudah terpasang kewaspadaan tinggi sejak insiden penyitaan buku, segera menangkap polanya. Ini bukan kebetulan. Ini adalah sebuah pola pembangkangan yang terencana.
"Apakah kalian tidak menyadari?" kata Kang Ozan dalam rapat kecil Dewan Guru di ruang kerjanya. Matanya berbinar seperti pemburu yang menemukan jejak. "Firdaus. Dia sengaja menghindari Madrasah Al-Iman Al-Aziz."
Ustadz Hakim mengerutkan kening. "Mungkin dia memang sedang tidak enak badan, Kang."
"Tidak enak badan?" sergah Kang Ozan. "Dia terlihat segar bugar saat mengaji di musala tua! Dia kuat membantu di dapur! Ini bukan soal fisik, Ustadz. Ini adalah kelanjutan dari kesombongan akalnya. Dia masih percaya pada 'logika'-nya yang sesat itu. Dia menganggap madrasah kita, proyek kebanggaan kita, tidak layak untuk didatanginya!"
Ustadz Hadi yang mendengarkan dengan wajah serius akhirnya angkat bicara. "Jika benar demikian, maka ini bukan lagi urusan pribadi. Ini adalah pembangkangan terhadap otoritas pesantren. Dia secara halus menyatakan bahwa proyek kita salah, bahwa keputusan kita keliru."
Mereka merasa kewibawaan mereka diuji. Sebuah proyek fisik yang menjadi simbol kemajuan pesantren justru ditolak oleh salah satu santri yang dianggap paling cerdas. Bisakah dibiarkan? Tentu tidak.
Keputusan pun diambil. Sebuah pemanggilan resmi.
Selepas salat Ashar, seorang santri senior mendatangi Firdaus yang sedang duduk sendirian di bawah pohon.
"Firdaus, Dewan Guru memanggilmu. Ke ruang rapat. Sekarang."
Suara santri senior itu datar, tapi membawa beban yang berat. Firdaus mengangguk pelan. Dia sudah menduga ini akan terjadi. Jantungnya berdebar, tapi di dalam dadanya ada sebuah ketenangan aneh. Dia telah memilih jalan Ikhtiar, dan kini dia harus mempertanggungjawabkannya.
Dia berdiri, membereskan kitab di pangkuannya. Ini adalah konfrontasi yang tidak bisa dihindari lagi. Ruang rapat Dewan Guru menunggu, dan di sanalah nasibnya di pesantren ini akan ditentukan. Bukan karena dia menghasut, bukan karena buku Aristoteles, tetapi karena dia memilih untuk tidak memasuki sebuah bangunan yang di dalam hatinya, dia yakin adalah "kecelakaan yang menunggu untuk diizinkan."
Bab 7
Sidang Dewan Guru dan Pertanyaan Maut
Ruang rapat Dewan Guru adalah sebuah ruangan yang dirancang untuk membuat siapapun yang masuk merasa kecil. Dindingnya dipenuhi lemari kaca berisi kitab-kitab kuning bersampul coklat, sebuah perpustakaan bisu yang menyimbolkan otoritas keilmuan yang tak terbantahkan. Di tengah ruangan, sebuah meja panjang dari kayu jati tua mendominasi, dengan tiga kursi tinggi di belakangnya—sebuah mimbar informal yang memisahkan yang menghakimi dan yang dihakimi.
Firdaus berdiri di depan meja itu, sendirian. Tubuhnya terasa kaku, telapak tangannya basah oleh keringat. Tiga pasang mata menatapnya: Ustadz Hadi di tengah dengan wibawa yang membeku, Ustadz Hakim di kanan dengan sorot mata analitis, dan Kang Ozan di kiri dengan pandangan yang sudah dipenuhi praduga.
Ustadz Hadi membuka sidang. Suaranya dingin, terukur, memotong langsung ke inti tanpa basa-basi.
"Firdaus. Panggilan ini adalah teguran resmi dari Dewan Guru. Selama seminggu terakhir, catatan kehadiranmu di Madrasah Al-Iman Al-Aziz nol. Bukan karena kau sakit, tapi karena kau sengaja menghindar." Dia menjeda, menekankan setiap kata. "Kau menghina jerih payah umat yang telah berwakaf. Kau merusak keseragaman dan disiplin santri. Apa penjelasanmu?"
Sebelum Firdaus menjawab, Ustadz Hakim menyela dengan nada yang lebih lunak, namun tetap menusuk. "Kami tahu kau santri yang pintar, Firdaus. Itu yang membuat kami heran. Apa alasan sesungguhnya di balik penolakanmu ini? Jangan bersembunyi di balik alasan sakit kepala atau janji di dapur. Kami ingin kebenaran."
Firdaus menarik napas dalam. Ini adalah kesempatan terakhirnya. Dia harus berbicara dengan bahasa yang mereka pahami, dengan prinsip yang mereka ajarkan sendiri.
"Bukan maksud saya untuk menghina, Ustadz," Firdaus memulai, suaranya berusaha tetap stabil. "Saya hanya mencoba mempraktikkan apa yang selalu diajarkan di pesantren ini: keseimbangan antara Ikhtiar dan Tawakal."
Kang Ozan mendengus sinis. Ustadz Hadi hanya menyilangkan tangannya.
"Saya percaya," lanjut Firdaus, "bahwa Ikhtiar harus dilakukan sebelum kita berserah diri. Kita diperintahkan untuk mencari sebab, sebelum menerima takdir."
"Lalu Ikhtiar macam apa yang kau lakukan dengan membolos?" tantang Kang Ozan, tak bisa menahan diri.
"Ini bukan membolos, Kang Ozan. Ini adalah bentuk Ikhtiar yang paling mendasar: menjaga diri dari bahaya yang bisa saya lihat," jawab Firdaus, berusaha menatap lurus ke Ustadz Hadi.
"Bahaya?" Ustadz Hadi akhirnya menyergap kata kunci itu. "Bahaya apa yang kau maksud, Firdaus? Apakah kau menduga ada bahaya di madrasah baru kita? Bukankah itu adalah proyek yang didukung sepenuhnya oleh Kyai, dibangun dengan niat ibadah?"
Firdaus merasa jebakan mulai mengatup. Tapi dia harus melanjutkan.
"Saya hanya mempertanyakan... kesiapan bangunannya, Ustadz. Pondasinya—"
"Pondasinya?" Ustadz Hakim memotong, terdengar hampir terhibur. "Firdaus, kau ini santri, bukan ahli bangunan. Itu urusan kontraktor dan para ahli yang sudah kita percayai."
"Tapi—"
"Tidak ada 'tapi'!" Kali ini Ustadz Hadi yang memotong, nada suaranya mulai meninggi, menunjukkan ketidaksabaran. "Dengarkan baik-baik, Firdaus. Ini adalah ujian keimanan dan Tawakal sejati. Tidak perlu takut! Mati dan hidup itu di tangan Allah! Selama ini kita baik-baik saja, tidak ada apa-apa, tidak roboh. Kenapa kau harus mencari-cari masalah dengan logikamu yang belum tentu benar?"
Argumentasi itu dilontarkan dengan keyakinan bulat. Sebuah benteng dogma yang kokoh. Mereka bersembunyi di balik tameng "tawakal" untuk menutup mata dari sebuah kemungkinan nyata.
Firdaus terdiam sejenak. Dia melihat ketiga wajah di depannya, tertutup oleh kepuasan diri dan otoritas yang tak tergoyahkan. Mereka tidak ingin mendengar analisis teknis. Mereka hanya ingin kepatuhan.
Dan pada saat itulah Firdaus menyadari, percakapan ini tidak akan pernah sampai pada kebenaran material yang dia khawatirkan. Ini adalah pertempuran antara keyakinan buta dan naluri survival. Dan dia berada di pihak yang salah menurut mereka.
Sidang pertama ini gagal. Tapi konfrontasi belum berakhir. Firdaus tahu, diamnya sekarang bukanlah tanda menyerah, tapi persiapan untuk melontarkan argumen yang lebih berani, yang akan mengobrak-abrik fondasi pemahaman mereka tentang takdir dan usaha.
Bab 8
Panah yang Dilepaskan
Kesunyian yang menyelimuti Firdaus setelah ucapan Ustadz Hadi bukanlah kesunyian seorang yang kalah. Itu adalah kesunyian yang berisi, seperti senar busur yang ditarik hingga maksimal sebelum melepaskan anak panah. Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan sisa-siga keberanian dan kejernihan pikirannya. Dia harus melontarkan analogi yang tidak bisa mereka bantah dengan dalil kosong.
"Ustadz Hadi, Kang Ozan," Firdaus memulai lagi, suaranya kini lebih tenang dan berwibawa, membuat mereka yang mendengar sedikit terkejut. "Kita sepakat bahwa Ikhtiar mendahului Tawakal. Nabi kita bersabda, 'Ikatlah untamu, lalu bertawakallah'. Itu adalah fondasinya."
"Lalu?" sergah Kang Ozan, tidak sabar.
"Lalu, izinkan saya bertanya dengan sebuah permisalan," kata Firdaus, matanya membayangkan adegan yang akan dia lukiskan dengan kata-kata. "Bayangkan, kita sedang berdiri di sebuah lapangan. Seorang pemanah telah melepaskan anak panah dari busurnya. Dan panah itu, dengan pasti, meluncur lurus menuju dada saya."
Dia memandang mereka satu per satu, memastikan imajinasi mereka mengikuti.
"Sekarang, pilihannya ada di tangan saya. Saya bisa bergeser, menghindar, melakukan Ikhtiar untuk menyelamatkan diri. Atau... saya bisa tetap berdiri di tempat, tidak bergerak, sambil berkata, 'Saya bertawakal kepada Allah. Hidup dan mati di tangan-Nya'."
Ruangan itu menjadi sangat hening. Bahkan nafas Ustadz Hakim terdengar jelas.
"Apa yang akan kalian katakan pada saya?" tanya Firdaus, suaranya bergetar oleh intensitas keyakinannya. "Apakah kalian akan memuji ketaqwaan dan tawakal saya? Atau... kalian akan menyebut saya orang yang bodoh, bahkan mungkin gila, karena tidak mau menghindar dari bahaya yang nyata dan bisa dielakkan?"
Dia tidak memberi mereka waktu untuk menjawab.
"Madrasah Al-Iman Al-Aziz itu adalah panah itu, Ustadz! Saya telah melihatnya dilepaskan. Saya telah melihat Sebabnya—pondasi tua yang kini menopang beban maut. Akibatnya sudah pasti. Itu hanya soal waktu. Dan berdiri di dalamnya, sambil menolak untuk melakukan Ikhtiar menghindar, sambil bersembunyi di balik kata Tawakal... itu bukanlah kesalehan! Itu adalah kebodohan! Itu adalah meminta musibah sambil pura-pura saleh!"
DURRRRAAAAAANG!
Kang Ozan menghantam meja kayu dengan tinjunya. Wajahnya merah padam, urat lehernya menegang. Dia berdiri, tubuhnya gemetar karena amarah yang meluap.
"Lancang! Sungguh lancang kau, Firdaus!" teriaknya, suaranya mengguncang ruangan berkitab itu. "Kau berdiri di hadapan kami, para gurumu, dan berani-beraninya mengajari kami tentang iman dan tawakal? Kau menyamakan proyek kebanggaan pesantren dengan... dengan sebuah panah mematikan? Kau bilang kami bodoh?!"
Dia menunjuk-nunjuk Firdaus, tangannya gemetar.
"Ini bukan lagi pembangkangan, Firdaus! Ini adalah kesombongan akal yang sempurna! Kau merendahkan keimanan kami dengan logika duniawimu yang kotor! Kau pikir dengan sedikit filsafat Yunani kau sudah bisa menginjak-injak otoritas spiritual Kyai dan para guru? Tidak! Ini sudah cukup! Sudah lebih dari cukup!"
Dia memutar tubuhnya ke arah Ustadz Hadi, matanya memancarkan tekad bulat.
"Ustadz Hadi, ini sudah tidak bisa lagi ditolerir. Saya minta kita hubungi Kyai sekarang juga. Laporkan sikap dan kata-kata penghinaannya ini. Firdaus harus diambil tindakan. Dia tidak layak lagi menjadi santri di Nurul Hikmah!"
Ustadz Hadi, yang wajahnya juga pucat oleh ledakan retorika Firdaus dan kemarahan Kang Ozan, mengangguk pelan. Argumen Firdaus telah menggoyahkan mereka, tapi kemarahan Kang Ozan mengingatkan mereka pada hierarki yang harus dijaga. Kebenaran harus dikalahkan oleh otoritas.
"Baik," gumam Ustadz Hadi. Dia mengambil telepon di meja. "Saya akan menghubungi Kyai."
Keputusan itu jatuh bagai pisau guillotine. Firdaus mendengar keputusan itu, tapi anehnya, ada rasa lega yang aneh. Dia telah mengatakan kebenarannya. Dia telah melakukan Ikhtiar untuk menyadarkan mereka. Jika mereka memilih untuk tetap buta, maka itu ada di tangan mereka.
Tak lama kemudian, Ustadz Hadi meletakkan telepon. Dia memandang Firdaus dengan wajah tanpa ekspresi.
"Keputusan Kyai bulat. Firdaus, atas sikap pembangkangan terang-terangan, kesombongan akal, dan penolakan terhadap otoritas spiritual pesantren, kamu dikeluarkan dari Pesantren Nurul Hikmah."
Kata "dikeluarkan" itu menggema di telinga Firdaus. Tapi dia tidak menunduk. Dia tidak memohon.
"Saya menolak untuk dikeluarkan," ucap Firdaus, suaranya tenang namun penuh keyakinan.
Mereka semua terkejut, bahkan Kang Ozan.
"Apa? Kau masih berani—?!"
"Saya menolak," ulang Firdaus, "bukan karena ingin membangkang. Tapi karena saya merasa bertanggung jawab. Jika saya pergi, siapa yang akan menjadi contoh? Siapa yang akan menunjukkan pada santri-santri lain bahwa Ikhtiar menyelamatkan diri dari bahaya yang jelas adalah bagian dari iman? Saya harus tetap di sini. Saya harus menjadi pengingat."
Permintaannya terdengar seperti kegilaan di telinga mereka. Sebuah keberanian yang salah tempat. Tapi di dalam hati Firdaus, itu adalah Ikhtiar terakhirnya—sebelum panah itu benar-benar menemukan sasarannya.
Bab 9
Pintu Gerbang yang Tertutup
Penolakan Firdaus untuk dikeluarkan hanya dianggap sebagai pembangkangan terakhir yang sia-sia. Otoritas pesantren, sekali digerakkan, tidak akan berhenti oleh sentimentil seorang santri.
Keesokan harinya, orang tua Firdaus tiba. Wajah ayahnya, seorang petani sederhana, dipenuhi campuran rasa malu, takut, dan kecewa. Ibunya, yang sudah lelah oleh drama sebelumnya, hanya bisa menangis diam-diam. Mereka dipanggil bukan untuk diajak bermusyawarah, tetapi untuk diberi tahu keputusan final dan diminta membawa pulang anak mereka yang "bermasalah".
Prosesi pengusiran itu berlangsung cepat dan menyakitkan. Firdaus dikawal oleh dua santri senior ke asrama untuk membereskan barangnya. Dia melewati pelataran yang sunyi, di mana tatapan para santri lain bercampur antara rasa kasihan, kecurigaan, dan kelegaan bahwa bukan mereka yang jadi sasaran. Dia mengemas sedikit pakaian dan kitab-kitabnya. Buku Aristoteles-nya tak pernah dikembalikan.
Dia dibawa keluar dari Gerbang Kayu Ular—pintu utama pesantren yang diukir dengan kaligrafi—bukan dengan cara hormat, tetapi seperti seorang tahanan yang diasingkan. Ayahnya berjalan di depannya dengan kepala tertunduk, sementara ibunya terus menyeka air mata. Firdaus sendiri menoleh sebentar, memandang menara musala dan—di kejauhan—bayang-bayang Madrasah Al-Iman Al-Aziz yang megah. Firasat buruknya tidak hilang; justru semakin menjadi-jadi, berubah menjadi sebuah kepastian yang menghantui.
Sesampainya di rumahnya yang sempit di pinggiran pesantren, Firdaus tidak larut dalam keputusasaan. Rasa terasingnya kini berubah menjadi sebuah tanggung jawab yang lebih besar. Jika dia tidak bisa menyelamatkan santri-santri itu dari dalam, dia harus melakukannya dari luar. Ini adalah Ikhtiar terakhir yang bisa dia lakukan.
Dengan uang saku yang ditabungnya, dia pergi ke warung telepon. Dia mulai menghubungi orang tua dari teman-teman dekatnya, satu per satu.
"Pak, ini Firdaus, teman Malik di pesantren."
"Oh, Firdaus. Ada apa, Nak?"
"Saya hanya ingin menyampaikan, Pak. Bukan untuk menjelekkan pesantren. Tapi saya perhatikan, pondasi Madrasah Al-Iman Al-Aziz itu adalah pondasi bangunan lama yang hanya ditambah tinggi. Saya lihat ada retakan di beberapa titik, dan balok penyangganya kayunya sudah terlihat lapuk. Saya khawatir, Pak. Untuk keselamatan Malik, mungkin lebih baik sementara waktu tidak belajar di lantai atas dulu."
Dia berhati-hati sekali. Hanya menyampaikan fakta-fakta fisik yang dia amati, tanpa menuduh, tanpa menyinggung soal pengusirannya. Dia hanya menyampaikan kekhawatiran seorang teman.
Beberapa orang tua, seperti Pak Rudi, ayahnya Malik, mendengarkan dengan serius. Dia mengenal Firdaus sebagai anak yang cerdas dan perhitungan.
"Kau yakin, Firdaus?"
"Saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat, Pak. Keputusan ada di Bapak."
Beberapa orang tua lainnya menutup telepon dengan kasar, menganggapnya sebagai provokator.
Tapi beberapa, seperti Pak Rudi, mengambil tindakan. Esok harinya, Malik dan beberapa santri lainnya dilarang oleh orang tua mereka untuk masuk ke madrasah baru itu. Alasannya beragam: "lagi ada urusan keluarga", "anaknya kurang enak badan", atau alasan klasik lainnya.
Jumlah mereka tidak banyak. Tujuh belas santri.
Tapi bagi Dewan Guru di Pesantren Nurul Hikmah, tujuh belas itu adalah pemberontakan. Sebuah virus ketidakpatuhan. Dan mereka tahu persis sumber wabahnya: Firdaus.
Kewibawaan mereka, yang sudah goyah oleh argumen Firdaus di ruang sidang, kini benar-benar retak. Seorang santri yang telah diusir masih berani "menghasut" dari luar. Amarah dan rasa benci yang memuncak itulah yang akhirnya membawa tiga anggota Dewan Guru—Ustadz Hadi, Ustadz Hakim, dan Kang Ozan—berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah Firdaus yang sederhana pada sebuah sore yang kelam.
Mereka datang bukan untuk berdialog. Mereka datang untuk menuntut pertanggungjawaban. Untuk menghentikan sang "pembangkang" sekali dan untuk selamanya.
Dan di sanalah, di depan pintu rumah kayu yang reyot, segala ketegangan yang telah bertumpuk selama berminggu-minggu akhirnya menemui puncaknya. Sebuah konfrontasi yang akan diakhiri bukan oleh kata-kata, tetapi oleh raungan sirine dan teriakan seorang pemuda berdebu yang membawa kabar tentang runtuhnya sebuah menara kebanggaan, dan runtuhnya pula keyakinan buta yang menopangnya.
Bab 10
Kecerdasan yang Terisolasi
Sebelum ada tuduhan, sebelum ada buku yang disita, sebelum ada madrasah megah yang dibangun, Firdaus hanyalah seorang santri yang patuh di Pesantren Nurul Hikmah. Secara lahiriah, tidak ada yang salah dengannya. Dia bangun tepat waktu untuk Qiyamul Lail, menghafal Al-Matsurat di kala fajar, dan duduk rapi di barisan paling depan saat pengajian kitab kuning. Tangannya selalu terangkat cepat ketika seorang ustadz bertanya, jawabannya tepat, dan hafalannya di atas rata-rata.
Tapi di balik kepatuhan yang hampir sempurna itu, ada sebuah pikiran yang gelisah. Sebuah jiwa yang terus-menerus bertanya, mencari, dan meraba-raba dalam kegelapan untuk menemukan sebuah pegangan yang lebih kokoh daripada sekadar "karena begitu perintahnya".
Dia melihat teman-temannya, seperti Malik, menerima segala ilmu itu dengan polos dan bulat. Bagi mereka, sebuah kaidah fiqh "idza ijtama'a al-halāl wa al-harām ghalaba al-harām" (jika halal dan haram berkumpul, maka yang haram menguasai) adalah sebuah kebenaran mutlak yang tinggal diterima. Tapi pikiran Firdaus meloncat lebih jauh: mengapa begitu? Apa logika di baliknya? Apa tujuan-nya?
Ilmu-ilmu alat seperti Ushul Fiqh (dasar-dasar hukum Islam) dan Mantiq (logika) yang dia pelajari justru semakin membuka pintu kegelisahannya. Ilmu-ilmu itu memberikan kerangka, tapi seolah berhenti di tengah jalan. Mereka memberinya peta, tapi tidak memberinya kompas untuk memahami mengapa peta itu digambar seperti itu. Dia merasakan ada sebuah "kunci" yang hilang, sebuah fondasi nalar yang bisa menghubungkan segala kaidah yang terpisah-pisah itu menjadi sebuah bangunan pemikiran yang utuh dan masuk akal.
Suatu hari, saat izin pergi ke kota untuk keperluan keluarga, dia menyempatkan diri ke sebuah toko buku loak yang sempit. Di antara tumpukan buku pelajaran sekolah dan novel-novel picisan, matanya tertuju pada sebuah sampul lusuh dengan judul yang asing: Etika Nikomakea. Aristoteles. Namanya pernah disebut sekilas oleh seorang ustadz tamu dengan nada peringatan, sebagai "bapak logika tapi sesat". Rasa ingin tahunya mengalahkan segala peringatan.
Dia membelinya dengan sisa uang jajannya dan menyembunyikannya di dasar koper, terselip di antara kitab-kitabnya.
Malam itu, di bawah selimut dengan senter kecil, dia mulai membacanya. Dan bagai tersambar petir di siang bolong, pikirannya tercerahkan. Di sini, dalam buku "sesat" itu, dia menemukan "kunci" yang selama ini dia cari.
Konsep Causa Pertama, Empat Sebab (Material, Formal, Efisien, Final), dan penekanan pada penalaran sistematis, bagai menyusun puzzle yang selama ini berserakan di kepalanya. Dia tiba-tiba memahami bahwa nalar yang dia gunakan untuk memecahkan soal matematika, untuk memperbaiki sebuah meja yang rusak, atau untuk merencanakan sesuatu, memiliki dasar filosofis yang kokoh.
Bagi Firdaus, Aristoteles bukanlah penentang iman. Justru sebaliknya. Logika itu adalah alat yang diberikan Allah untuk memahami ciptaan-Nya, termasuk memahami hikmah di balik setiap perintah dan larangan-Nya. Bukankah banyak ulama besar Islam di masa keemasan—seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi—justru berangkat dari fondasi ini?
Tapi dia juga sadar. Pengetahuannya yang baru ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, itu memberinya kekuatan untuk memahami dunia dengan lebih jernih. Di sisi lain, itu membuatnya menjadi asing di antara teman-temannya sendiri.
Dia mulai melihat segala sesuatu dengan kewaspadaan dan perhitungan yang baru. Setiap tindakan, setiap struktur, setiap peristiwa, dia telusuri sebab pertama-nya dan dia perkirakan tujuan akhir-nya. Dia tidak lagi hanya menerima hasil; dia ingin memahami proses.
Kecerdasannya yang kesepian itu telah mengubahnya. Dari seorang santri yang hanya patuh, menjadi seorang pencari yang kritis. Dan tanpa dia sadari, "kunci" yang dia temukan itu sedang membawanya menuju sebuah pintu yang akan mengujinya bukan hanya secara intelektual, tetapi juga secara moral dan spiritual—sebuah ujian yang akan menentukan tidak hanya nasibnya, tetapi juga nyawa ratusan orang lain.
Bab 11
Inspeksi Malam dan Serangan Dalil
Malam di Asrama A biasanya hanya diisi oleh dengkur dan desisan angin yang menyelinap melalui celah jendela. Tapi malam ini, bagi Firdaus, diisi oleh sebuah pencerahan yang membuatnya lupa waktu. Di bawah selimut, dengan cahaya senter yang membentuk dunia kecilnya sendiri, dia menyusuri argumen-argumen Aristoteles tentang Kebajikan dan Kebijaksanaan Praktis. Bagi Firdaus, konsep phronesis (kebijaksanaan praktis) itu terdengar sangat Islami—seperti sebuah elaborasi dari konsep hikmah yang sering disebut dalam Al-Qur'an.
Konsentrasinya yang mendalam itu tiba-tiba buyar. Sebuah bayangan besar jatuh menutupi cahaya senternya, diikuti oleh sentakan keras yang merenggut selimutnya.
Firdaus mendongak, jantungnya serasa copot dari tempatnya. Kang Ozan berdiri di sana, wajahnya bagai topeng kemarahan yang disimpan lama-lama. Tangannya, besar dan berotot dari tahun-tahun bekerja di kebun pesantren, merenggut buku dari pangkuan Firdaus dengan gerakan yang kasar.
"Bahkan di kegelapan pun, kau masih menyembah berhala pemikiranmu, Firdaus?" suara Kang Ozan mendesis, penuh dengan kebencian yang dipendam.
Dia melihat sampul buku itu, dan mata menyala bagai mengenali musuh bebuyutannya. "Aku tidak percaya! Aristoteles! Benar-benar racun yang kau teguk sampai habis!"
"Bukan racun, Kang Ozan," bantah Firdaus, berusaha mengambil napas. Suaranya gemetar. "Ini hanya logika. Alat untuk memperkuat pemahaman kita terhadap dalil, bukan untuk menentangnya."
"Memperkuat?!" Kang Ozan menertawakannya dengan sinis. "Kau tahu siapa yang kau bicarakan? Ini adalah guru dari para guru kesesatan! Dia yang menuhankan akal dan mengabaikan wahyu!"
"Tapi banyak ulama kita—"
"Diam!" bentak Kang Ozan, memotongnya. Suaranya kini lebih keras, membangunkan beberapa santri yang terbangun dan mengintip dengan mata setengah terpejam. "Kau pikir aku tidak baca kitab? Kau pikir aku tidak punya dalil?"
Dia mendekat, menatap Firdaus dengan mata yang membara.
"Ibnu Taimiyah, dalam Dar' at-Ta'arud al-'Aql wa an-Naql, telah membedah penyakitmu ini dengan sangat teliti! Beliau berkata, 'Barangsiapa yang mendahulukan akal atas naqli (wahyu), maka dia telah menjadikan akal sebagai tuhannya'. Akal tanpa bimbingan wahyu adalah alat setan, Firdaus! Ia akan membawamu pada keraguan, pada kesombongan, persis seperti yang kau alami sekarang!"
Kang Ozan berbicara dengan keyakinan penuh, seolah setiap katanya adalah palu godam yang memaku Firdaus pada dosanya.
"Lihatlah dirimu! Kewaspadaanmu yang berlebihan, perhitunganmu yang tidak percaya pada takdir, itu semua adalah produk dari akal liar yang sudah tidak lagi dituntun oleh wahyu dan otoritas ulama! Kau sudah tersesat dalam labirin pemikiran Yunani yang justru menolak konsep kenabian dan wahyu!"
"Tidak, Kang Ozan, saya hanya mencari dasar penalaran—" Firdaus mencoba membela diri, rasa frustrasi mulai mendidih dalam dadanya.
"Dasar penalaran?" Kang Ozan menyeringai. "Dasar penalaranmu sudah salah! Kau berdiri di atas fondasi yang rapuh, Firdaus. Fondasi orang-orang yang menganggap alam ini abadi dan tidak membutuhkan Pencipta! Pembelaanmu ini justru membuktikan kesombonganmu. Kau pikir dengan membaca satu buku kafir, kau sudah lebih pintar dari para ulama salaf yang menghabiskan umurnya untuk mempelajari dan menolak filsafat ini?"
Tanpa memberi kesempatan lagi, Kang Ozan menggenggam erat buku Etika Nikomakea itu, meremasnya dalam genggamannya.
"Buku ini adalah bukti nyata ancaman yang kau bawa. Aku sita. Dan ini adalah peringatan terakhir untukmu. Hentikan pencarianmu pada 'omong kosong' ini, atau konsekuensinya akan kau rasakan. Laporkan ini pada Kyai, dan kau akan tahu apa artinya membangkang."
Dia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Firdaus yang terduduk di tempat tidurnya, diselimuti oleh kegelapan dan sebuah perasaan terasing yang lebih dalam dari sebelumnya. Cahaya senter kecilnya telah padam. Tapi yang lebih menyakitkan, sebuah "kunci" yang telah membantunya memahami dunia, sekali lagi direnggut dengan paksa, kali ini dengan ancaman yang lebih nyata.
Di kegelapan itu, sebuah tekad baru mulai tumbuh. Jika kata-katanya tidak didengar, jika logikanya dianggap sesat, maka suatu saat nanti, realitaslah yang akan berbicara. Dan realitas, tidak peduli sekeras apa pun dalil yang diteriakkan, tidak pernah berbohong.
Bab 12
Akibat dari Akal yang Dianggap Liar
Kegelapan setelah kepergian Kang Ozan terasa lebih pekat dari biasanya. Bukan hanya karena senternya padam, tapi karena sebuah sumbu pencerahan di dalam dirinya baru saja diputus dengan paksa. Rasa terasing itu bukan lagi sekadar perasaan; itu adalah sebuah realitas yang dingin dan menusuk. Tatapan santri-santri yang terbangun dan menyaksikan insiden itu—campuran rasa penasaran, kasihan, dan mungkin sedikit penghakiman—membuatnya merasa seperti seekor serangga langka yang diasingkan dari koloninya.
Dia dicap. "Santri filsafat." "Penyembah akal." Itu adalah label yang lebih berbahaya daripada sekadar "pembangkang". Itu adalah stigma yang menyerang fondasi keimanannya di mata mereka. Mereka tidak melihat seorang pencari kebenaran; mereka melihat seorang penyimpang yang sombong.
Namun, anehnya, dari dalam kubangan keterasingan itu, muncul sebuah kejernihan baru. Amarah dan kekecewaannya perlahan mengendap, berubah menjadi sebuah kewaspadaan yang lebih tajam, lebih dingin. Jika mereka menolak logikanya dalam ranah pemikiran dan spiritual, maka dia akan memindahkan medan pertempuran. Dia akan membawa logika itu ke ranah di mana ia adalah satu-satunya hukum yang tak terbantahkan: ranung hal-hal fisik.
Kekesalannya pada Kang Ozan dan penolakan Dewan Guru berubah menjadi energi untuk mengamati. Jika mereka menganggapnya "liar", maka dia akan menggunakan "keliaran" itu untuk membongkar segala kepalsuan yang mereka bangun dengan dogma buta.
Fokusnya beralih sepenuhnya dari konflik ideologis yang tak berujung ke sebuah ancaman fisik yang diam dan menunggu: Madrasah Al-Iman Al-Aziz.
Dengan kewaspadaan barunya, dia mulai mengamati gedung itu bukan sebagai seorang santri, tetapi sebagai seorang—istilah yang dia temukan dalam bacaannya—analis risiko. Dia berjalan mengitari bangunan itu di kala senja, ketika tidak ada orang. Matanya, yang telah dilatih untuk mencari "sebab pertama" dan "sebab material", menangkap detail-detail yang diabaikan orang lain.
Dia melihat dengan jelas kontras yang mengerikan: kemegahan tiga lantai di atas, yang dicat bersih dan terang, versus pondasi tua di bawah yang terlihat seperti seorang kakek renta yang dipaksa mengenakan baju zirah berat. Retakan-retakan kecil yang ditutupi semen, warna beton yang tidak serasi antara yang lama dan yang baru, balok kayu yang warnanya sudah keabu-abuan di bagian yang tersembunyi.
Dan kini, dengan bekal konsep Causa Materialis dan Causa Efisiens, firasat buruknya tidak lagi berupa perasaan samar. Ia telah berubah menjadi sebuah "logika bencana". Sebuah kepastian yang hampir matematis.
Materi (pondasi tua, kayu lapuk) tidak akan sanggup menahan Efisiensi (beban tiga lantai, aktivitas ratusan santri). Itu adalah hukum alam. Sunnatullah. Sebuah persamaan yang pasti akan berakhir dengan runtuhnya sisi kiri.
Dalam kesunyian malam itu, setelah dipermalukan dan diasingkan, sebuah keputusan akhir matang dalam diri Firdaus. Dia tidak akan pernah menginjakkan kaki di dalam gedung itu. Ini bukan lagi tentang menentang Kang Ozan atau Dewan Guru. Ini adalah tentang Ikhtiar yang paling mendasar, yang paling rasional, yang lahir justru dari logika yang mereka larang.
Dia akan menyelamatkan dirinya sendiri. Dan dalam diam, dia bertekad untuk melakukan apa pun yang dia bisa, dengan caranya sendiri, untuk menyelamatkan orang lain. Logika "liar"-nya telah memberinya sebuah visi yang mengerikan tentang masa depan, dan dia tidak akan tinggal diam menunggu visi itu menjadi kenyataan.
Bab 13
Logika Bencana dan Ikhtiar Pertama
Keterasingan yang dirasakan Firdaus setelah insiden penyitaan buku tidak lagi menjadi beban yang melumpuhkan, melainkan sebuah ruang hampa yang memberinya keleluasaan untuk bergerak diam-diam. Dia adalah hantu di pesantrennya sendiri—hadir secara fisik, tetapi absen secara sosial. Dan dalam "keghaiban"-nya inilah, dia melancarkan investigasinya yang paling mendalam.
Dia memilih waktu-waktu sepi: subuh buta sebelum panggilan salat pertama, atau senja ketika para santri berkumpul untuk mengulang hafalan. Sasaran tunggalnya: Madrasah Al-Iman Al-Aziz.
Dia tidak lagi puas hanya melihat dari jauh. Kini, dia mendekat. Berjalan perlahan mengitari dasar bangunan, bagai seorang dokter yang memeriksa pasien raksasa yang sedang sakit parah. Setiap indranya dijaga tetap waspada.
Dia berjongkok di dekat pondasi sisi selatan, tempat semak belukar tumbuh liar. Di balik dedaunan, dia menyibak lapisan cat dasar yang baru. Di bawahnya, beton tua terlihat mengelupas, dan yang membuat dadanya sesak adalah kilatan oranye karat yang terlihat pada tulang baja di dalamnya. Besi beton itu sudah berkarat, sebuah tanda kelemahan struktural yang parah. Causa Materialis-nya semakin nyata: materi penyusunnya sudah sakit.
Dia bergerak ke sudut barat laut, di mana balok penyangga utama bertumpu. Dari dekat, retakan-retakan rambut yang dia lihat dari jauh ternyata lebih buruk. Retakan itu menjalar seperti labirin halus, berasal dari sudut pertemuan balok dengan kolom. Retakan ini bukan hanya diplester; mereka disuntik dengan semen cair yang kemudian diampelas halus, sebuah upaya kosmetik yang putus asa untuk menyembunyikan penyakit dalam. Ini adalah Causa Efisiens dalam wujudnya yang paling kejam: tekanan dari beban di atas memaksa materi di bawahnya untuk menyerah.
Lalu, hidungnya menangkap sesuatu. Sebuah bau apak, manis, dan busuk yang samar—bau kayu yang membusuk dari dalam. Bau itu kuat di sekitar bagian bawah pintu belakang, tempat pancuran dan kamar mandi lantai dasar berada. Kelembaban yang konstan telah mempercepat pembusukan kayu penyangga lantai yang seharusnya keras dan kering.
Di dalam pikirannya, Firdaus mulai menghitung. Secara mental, dia membayangkan berat satu lantai: puluhan meja kayu jati, rak buku padat, puluhan santri, lantai beton. Lalu dia kalikan tiga. Itu belum termasuk getaran konstan dari langkah kaki dan aktivitas. Dia bandingkan dengan daya dukung pondasi tua yang didesain hanya untuk bangunan satu lantai sederhana. Angka-angka imajinernya itu berteriak keras: ketidakseimbangan yang fatal.
Analisisnya tidak lagi berdasarkan firasat. Ini adalah sebuah kepastian yang didasarkan pada hukum fisika. Pondasi dan struktur itu telah melampaui failure point-nya. Mereka hanya menunggu pemicu terakhir—getaran kuat, hujan deras yang melonggarkan tanah, atau sekadar kelelahan material yang akhirnya menyerah pada beban yang tak tertahankan.
Dari pengamatan mendalam inilah, keputusan kritisnya mengkristal menjadi sebuah tekad baja. Berdoa untuk keselamatan sambil berdiri di dalam bangunan itu adalah kemunafikan. Ibadahnya yang sejati, Tawakal-nya yang hakiki, adalah dengan menjauhkan diri dari bahaya yang sudah begitu jelas terpampang di depan mata.
Dia memutuskan untuk tidak akan pernah menginjakkan kaki di dalam Madrasah Al-Iman Al-Aziz. Ini adalah Ikhtiar pertamanya, bentuk perlawanan paling pasif namun paling bermakna. Sebuah perlawanan yang lahir bukan dari niat membangkang, tetapi dari naluri survival dan ketaatan pada hukum alam—Sunnatullah—yang justru adalah ciptaan Allah sendiri. Logika yang dituduh sesat itu kini telah menyelamatkan nyawanya, setidaknya untuk sementara.
Bab 14
Pola Pembangkangan dan Kecurigaan Dewan Guru
Keputusan Firdaus untuk tidak memasuki madrasah baru itu diwujudkan dengan disiplin tingkat tinggi. Dia menjadi ahli dalam merancang alasan yang terdengar masuk akal dan sulit untuk diverifikasi secara instan. Seni penolakan pasif ini dia kuasai dengan sempurna.
Ketika bel pagi berbunyi menandai pelajaran pertama di Al-Iman Al-Aziz, Firdaus akan mendekati Ustadz Hakim dengan wajah memelas.
"Ustadz, izinkan saya mengulang hafalan Juz 'Amma di musala tua. Kepala saya pening sekali jika harus naik tiga lantai dalam keadaan begini."
Di lain waktu, saat Kang Ozan sendiri yang mengajar, Firdaus "kebetulan" ditugaskan oleh Ibu Nyai untuk membantu mengangkut beras dan persediaan ke dapur—tugas yang biasanya dilakukan santri lain secara bergiliran, tapi yang selalu berhasil dia ambil alih pada jam-jam kritis.
Selama seminggu penuh, pola ini berulang. Kehadirannya yang mencolok di setiap sudut pesantren—kecuali di dalam madrasah baru—mulai menciptakan bisik-bisik. Sebagian besar santri, seperti Malik, hanya menggeleng-geleng. Mereka menganggap Firdaus semakin aneh, mungkin terlalu saleh hingga memilih mengasingkan diri, atau mungkin memang sering sakit.
Tapi ada segelintir yang mulai bertanya-tanya. Jika Firdaus, santri paling cerdas dan biasanya paling pemberani di antara mereka, memilih untuk menghindari gedung itu, mungkin ada sesuatu yang mereka tidak ketahui.
Namun, bagi Kang Ozan, tidak ada ruang untuk pertanyaan. Baginya, ini adalah perang yang jelas. Dari balik jendela ruang guru, matanya yang tajam telah memotret setiap ketidakhadiran Firdaus. Sebuah kepuasan sinis memancar dari wajahnya—dia akhirnya memiliki bukti nyata tentang "pembangkangan halus" yang dia duga-duga.
Dia tidak membuang waktu. Dalam rapat evaluasi mingguan Dewan Guru, dia meletakkan kartu trufnya.
"Kalian lihat sendiri," serunya, menatap Ustadz Hadi dan Ustadz Hakim. "Pola ini tidak bisa lagi disebut kebetulan. Firdaus dengan sengaja dan sistematis menolak untuk masuk ke Madrasah Al-Iman Al-Aziz. Ini adalah kelanjutan langsung dari kesombongan akalnya. Dia pikir logikanya lebih tinggi dari proyek kebanggaan kita, lebih tinggi dari keputusan Kyai!"
Ustadz Hakim masih mencoba bersikap rasional. "Tapi, Kang Ozan, alasan-alasannya... masuk akal. Sakit, membantu Ibu Nyai..."
"Itu kedok!" potong Kang Ozan dengan nada tinggi. "Itu topeng untuk menutupi pembangkangannya! Dia sedang menguji kita, menguji sejauh mana kewibawaan kita bisa dia injak-injak. Jika kita biarkan, virus ini akan menyebar. Santri lain akan mengikutinya. Mereka akan berpikir, 'Jika Firdaus yang pintar saja tidak mau masuk, kenapa saya harus?'"
Ustadz Hadi, yang selama ini diam, menghela napas berat. Dia memandang kedua rekannya. Kewibawaan pesantren adalah segalanya. Sebuah tantangan, sekecil apa pun, tidak bisa diabaikan.
"Kau benar, Kang Ozan," ucap Ustadz Hadi akhirnya, suaranya berat. "Perilaku Firdaus sudah merusak disiplin dan mengancam otoritas kita. Kita tidak bisa membiarkan seorang santri, seberapa pun pintarnya, merasa bisa menentukan mana peraturan yang akan dia ikuti dan mana yang tidak."
Keputusan itu jatuh dengan cepat dan tanpa kompromi. Sebuah sidang terbuka harus diadakan. Firdaus harus dipanggil, dihadapkan pada Dewan Guru, dan diminta mempertanggungjawabkan semua "pembangkangan"-nya. Mereka yakin, dalam tekanan ruang sidang, di hadapan tiga orang gurunya, Firdaus yang masih remaja itu akan luluh, akan memohon maaf, dan akhirnya tunduk.
Mereka tidak menyadari bahwa yang mereka panggil bukan lagi seorang santri yang ketakutan, melainkan seseorang yang telah melihat bayangan kematian dengan mata kepalanya sendiri, dan memilih untuk tidak menjadi korbannya. Tekanan yang mereka rencanakan justru akan menjadi panggung bagi Firdaus untuk menyuarakan peringatan terakhirnya—sebuah peringatan yang akan mereka abaikan, dengan konsekuensi yang akan menghantui mereka selamanya.
Bab 15
Panggilan Terakhir dan Ruang Rapat yang Dingin
Panggilan itu datang seperti yang Firdaus duga. Seorang santri senior dengan wajah kosong menyampaikan pesan, "Dewan Guru menunggumu di ruang rapat. Sekarang." Tidak ada senyum, tidak ada anggukan. Hanya sebuah perintah.
Perjalanan dari asrama ke gedung utama terasa seperti prosesi menuju tempat eksekusi. Matahari sore menyorotnya dari balik pepohonan, menciptakan bayangan panjang yang seakan mendahului langkah kakinya. Setiap langkah terasa berat, bukan karena takut, tapi karena beban yang akan dia pikul. Dia akan berdiri sendirian melawan sebuah sistem keyakinan yang telah mengeras menjadi dogma.
Ruang rapat Dewan Guru masih sama seperti yang dia ingat: sebuah ruang yang dirancang untuk menghancurkan kepercayaan diri. Sinar matahari sore yang jingga menyusup masuk melalui jendela-jendela tinggi, menerpa debu yang menari di udara, namun gagal menghangatkan suasana. Dingin. Baik suhu udaranya maupun aura yang menyelimutinya.
Dia masuk. Tiga sosok sudah menunggu di balik meja kayu jati yang besar dan berkilap, bagai tiga hakim di pengadilan inkuisisi. Ustadz Hadi di tengah, wajahnya bagai dipahat dari es. Ustadz Hakim di kanan, matanya menyipit, siap menganalisis setiap celah dalam pembelaannya. Dan Kang Ozan di kiri, duduk dengan sikap menyilangkan tangan, dadanya membusung, sorot matanya adalah sorotan algojo yang sudah yakin akan vonisnya.
Tidak ada kursi yang disediakan untuknya. Firdaus berdiri, menghadap mereka, tangan tergenggam di samping tubuhnya.
Ustadz Hadi yang membuka sidang. Suaranya datar, dingin, dan memotong seperti silet.
"Firdaus. Kami panggil kau ke sini untuk sebuah teguran resmi, yang sekaligus merupakan kesempatan terakhirmu." Dia berhenti sejenak, memastikan kata "kesempatan terakhir" itu menggantung berat di udara. "Selama seminggu, kau dengan sengaja dan terang-terangan menghindari Madrasah Al-Iman Al-Aziz. Kau menghina jerih payah umat yang telah berwakaf dengan ikhlas. Kau merusak keseragaman dan merobek tenun disiplin santri. Kami ingin penjelasan final. Apa alasan sesungguhnya di balik pembangkanganmu ini?"
Sebelum Firdaus menjawab, Ustadz Hakim menyela, nada suaranya lebih lunak namun tetap mengandung silet yang sama tajamnya.
"Jangan bersembunyi di balik alasan sakit atau bantuan di dapur, Firdaus. Kami bukan anak kecil. Kami adalah gurumu. Kami ingin kebenaran. Mengapa kau, seorang santri yang kami anggap pintar, memilih untuk membangkang pada momen pesantren kita sedang berbahagia dengan kemajuan fisiknya?"
Pertanyaan itu menggantung di ruangan yang dingin. Itu adalah sebuah tuntutan. Mereka tidak menginginkan dialog; mereka menginginkan pengakuan dosa dan janji untuk taat.
Firdaus berdiri tegak. Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara dingin itu memenuhi paru-parunya. Dia tahu, apa pun yang akan dia katakan selanjutnya akan memicu badai. Tapi dia juga tahu, ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mencoba menyelamatkan nyawa-nyawa yang tak berdosa. Jika mereka menolak mendengar, setidaknya dia telah mencoba.
Dia memandang ketiga wajah di depannya, menyapu dari Ustadz Hadi yang kaku, ke Ustadz Hakim yang analitis, dan akhirnya berhenti pada Kang Ozan yang penuh kebencian.
Ini adalah panggung terakhir sebelum lonceng kematian berbunyi. Dan Firdaus memutuskan untuk berbicara.
Bab 16
Analogi Unta dan Panah
Udara di ruang rapat terasa semakin padat dan dingin setelah pertanyaan terakhir Ustadz Hakim. Tiga pasang mata menatap Firdaus, menunggu jawaban yang mereka harapkan adalah penyesalan dan kepatuhan.
Tapi Firdaus tidak menunduk. Dia malah mengangkat kepalanya sedikit, dan ketika dia mulai berbicara, suaranya terdengar jernih dan mantap, mengisi ruangan yang sunyi.
"Ustadz Hadi, Ustadz Hakim, Kang Ozan," mulainya dengan hormat, namun penuh keyakinan. "Kita semua di pesantren ini sepakat pada satu prinsip dasar: bahwa Ikhtiar harus mendahului Tawakal. Kita sama-sama hafal hadis Nabi: 'Ikatlah untamu, lalu bertawakallah.' Itu adalah fondasi dari cara kita hidup."
Dia melihat mereka masih diam, mendengarkan. Kang Ozan sudah menyeringai, tapi Firdaus melanjutkan.
"Nabi tidak hanya berkata, 'Serahkan untamu pada Allah, biarkan dia lepas.' Tidak. Perintahnya jelas: Ikat dulu. Itu adalah Ikhtiar. Baru kemudian berserah diri." Dia berhenti sejenak, memastikan logika pertamanya meresap. "Lalu, izinkan saya melanjutkan dengan sebuah permisalan lain."
Dia kini memandang lurus ke depan, seolah-olah melihat adegan yang dia gambarkan terbentang di antara mereka dan dirinya.
"Bayangkan kita berdiri di sebuah lapangan. Seorang pemanah yang mahir telah melepaskan anak panah dari busurnya. Dan panah itu, dengan cepat dan pasti, meluncur lurus menuju dada saya."
Dia menepuk dadanya perlahan. "Sekarang, saya punya dua pilihan. Saya bisa melompat, menghindar, bergeser—melakukan Ikhtiar untuk menyelamatkan nyawa saya. Atau..."—suaranya semakin tegas—"...saya bisa tetap berdiri di tempat, tidak bergerak sama sekali, sambil berkata dengan lantang, 'Saya bertawakal kepada Allah. Hidup dan mati di tangan-Nya'."
Dia memandang mereka satu per satu, menantang.
"Apa penilaian Bapak-Bapak sekalian terhadap saya, jika saya memilih pilihan yang kedua? Apakah Bapak akan memuji ketaqwaan dan tawakal saya? Atau..."—suaranya kini meninggi, penuh dengan tekanan—"...Bapak akan menyebut saya orang yang bodoh, bahkan mungkin gila, karena dengan sengaja tidak mau menghindar dari bahaya yang nyata dan bisa saya hindari?"
Ruangan itu menjadi sunyi sejenak. Bahkan Kang Ozan terlihat tercekat oleh kekuatan analogi itu. Ustadz Hadi dan Ustadz Hakim saling memandang, ada keraguan yang sekilas muncul di mata mereka.
Firdaus tidak memberi mereka waktu untuk berpikir lama. Dia melangkah lebih jauh, menyerang langsung ke inti ketakutan yang selama ini dia pendam.
"Madrasah Al-Iman Al-Aziz itu, bagi saya, adalah panah itu, Ustadz! Saya telah melihatnya dilepaskan. Saya telah melihat Sebab Material-nya—pondasi tua yang busuk, balok kayu yang lapuk, retakan yang ditutupi semen. Dan saya telah melihat Sebab Efisien-nya—beban tiga lantai yang maha berat. Akibatnya sudah pasti. Itu hanya soal waktu, menunggu hukum alam berlaku."
Suaranya bergetar, namun bukan karena takut, tapi karena intensitas keyakinannya.
"Saya telah melihatnya. Dan berdiri di dalamnya, sambil menolak untuk melakukan Ikhtiar menghindar, sambil bersembunyi di balik kata Tawakal... itu bukanlah kesalehan, Ustadz! Itu adalah kebodohan yang disamarkan sebagai kesalehan! Itu adalah meminta musibah sambil pura-pura taat!"
"Itu adalah kecurangan terhadap Sunnatullah itu sendiri!"
Teriakan terakhir Firdaus itu mengguncang ruangan. Ustadz Hadi dan Ustadz Hakim terdiam, wajah mereka berubah. Keraguan yang tadi hanya sekilas, kini mulai membayangi mata mereka. Logika Firdaus, yang dibungkus dengan bahasa agama yang mereka pahami, tiba-tiba terasa begitu berat, begitu sulit untuk dibantah. Untuk sesaat yang singkat, kebenaran yang diucapkan Firdaus terasa lebih berwibawa daripada otoritas yang mereka pegang.
Mereka terpana. Terguncang. Dan dalam keheningan yang pecah itu, mereka diingatkan pada sebuah pelajaran mendasar yang mungkin telah mereka lupakan: bahwa Iman dan Akal bukanlah dua musuh, melainkan dua sayap dari burung yang sama. Dan Firdaus, dengan keberaniannya, baru saja mengepakkan kedua sayap itu di hadapan mereka.
Bab 17
Kesombongan Akal dan Keputusan Kyai
Kesunyian yang menyusul ledakan retorika Firdaus itu rapuh, bagai lapisan es tipis yang siap retak oleh beban terberat. Dan beban itu datang dari Kang Ozan.
Wajahnya, yang sempat terpana oleh analogi Firdaus, kini berubah menjadi merah padam oleh amarah yang meledak. Keraguan yang sempat menyelinap di ruangan itu dia rasakan sebagai sebuah pengkhianatan, dan dia harus segera memulihkan "keteraturan".
"BISSSUUUUNNGGG!"
Teriakannya memecah kesunyian, lebih keras dan lebih kasar dari sebelumnya. Dia berdiri begitu cepat hingga kursinya nyaris terjungkal ke belakang.
"Kau lancang! Luar biasa lancangnya kau, Firdaus!" raungnya, menunjuk-nunjuk Firdaus dengan jari yang gemetar. "Berdiri di hadapan kami, para gurumu, dan berani-beraninya mengajari kami tentang iman dan tawakal? Kau menyamakan proyek kebanggaan pesantren, hasil keringat dan air mata umat, dengan sebuah... sebuah panah mematikan? Kau menyebut kami, para guru yang telah membimbingmu, bodoh dan gila?!"
Dia membalikkan tubuhnya kepada Ustadz Hadi dan Ustadz Hakim yang masih terduduk, terpana oleh dua ledakan yang beruntun.
"Apakah kalian dengar itu? Apakah kalian masih ragu? Ini bukan lagi pembangkangan, Ustadz! Ini adalah kesombongan akal yang sempurna! Dia tidak hanya menolak perintah, dia merendahkan keimanan kita! Dia menempatkan logika kotor dunianya di atas otoritas spiritual Kyai dan hukum pesantren! Dia adalah kanker yang harus dipotong sebelum menyebar!"
Kata-kata Kang Ozan itu bagai gayung air dingin yang menyiram kedua guru yang sedang goyah. Kebenaran Firdaus tadi terasa berat, tapi ancaman terhadap otoritas dan hierarki terasa lebih mendesak. Mereka harus memilih sisi, dan mereka memilih sisi yang melindungi struktur kekuasaan yang ada.
Ustadz Hadi, wajahnya kembali kaku, mengangguk pelan pada Kang Ozan. "Kau benar, Kang Ozan. Ini sudah melampaui batas." Dia mengambil telepon di meja, jari-jemarinya menekan nomor dengan pasti. "Saya akan melaporkan ini langsung kepada Kyai."
Percakapan telepon itu berlangsung singkat. Ustadz Hadi tidak melaporkan argumen Firdaus secara netral. Dia menyaringnya, menekankan pada "sikap penghinaan", "kesombongan", dan "pembangkangan terang-terangan" yang merusak kewibawaan pesantren. Kata "panah" dan "kebodohan" disebutkan berulang, dikeringkan dari konteks logisnya dan disajikan sebagai sebuah penghinaan murni.
Dia meletakkan telepon. Wajahnya tanpa ekspresi ketika menatap Firdaus, memvonisnya dengan satu kalimat.
"Keputusan Kyai bulat. Firdaus, atas sikap pembangkangan terang-terangan, kesombongan akal, dan penolakan terhadap otoritas spiritual pesantren, kamu dikeluarkan dari Pesantren Nurul Hikmah. Segera kumpulkan barang-barangmu. Orang tuamu akan kami panggil."
Kata "dikeluarkan" itu jatuh bagai pisau. Sebuah akhir yang sudah dia duga, tapi tetap terasa seperti pukulan di ulu hati.
Namun, Firdaus tidak menangis. Tidak juga memohon. Dia justru melangkah sedikit maju, matanya memandang mereka dengan sebuah rasa sedih yang amat sangat dalam.
"Saya menolak untuk dikeluarkan," ucapnya, suaranya tenang namun membelah.
Kang Ozan meraung, "APA?!"
"Saya menolak," ulang Firdaus, dengan tenang yang mengejutkan. "Bukan karena saya ingin membangkang lagi. Tapi karena saya merasa bertanggung jawab. Jika saya pergi, siapa yang akan menjadi pengingat? Siapa yang akan menunjukkan pada santri-santri lain bahwa Ikhtiar menyelamatkan diri adalah bagian dari iman? Biarkan saya tetap di sini. Biarkan saya menjadi contoh, bahwa menghindar dari bahaya yang jelas bukanlah dosa."
Permintaannya adalah sebuah kegilaan di telinga mereka. Sebuah puncak dari segala "kesombongan akal" yang mereka lihat. Seorang santri yang diusir justru meminta tetap tinggal untuk menjadi "pengingat"? Itu adalah tamparan terbesar bagi otoritas mereka.
"Tidak!" hardik Ustadz Hadi, untuk pertama kalinya suaranya meninggi penuh emosi. "Keputusan sudah bulat! Kau tidak punya pilihan lagi!"
Firdaus memandang mereka untuk terakhir kalinya. Dia telah melakukan segalanya. Memperingatkan dengan logika, dengan analogi, dan terakhir, dengan sebuah pengorbanan diri. Tapi mereka menutup mata, telinga, dan hati mereka.
Dia mengangguk pelan, lalu membalikkan badan. Dia tidak lagi berkata-kata. Langkahnya keluar dari ruang rapat itu adalah langkah seorang yang kalah dalam pertempuran, tetapi yang hatinya yakin akan memenangkan perang kebenaran pada akhirnya. Sebuah perang yang harganya, sayangnya, akan dibayar dengan nyawa orang-orang yang tidak bersalah.
Bab 18
Perpisahan yang Pahit
Keputusan pengusiran itu bergema di seluruh pesantren dengan cepat, bagai angin yang membawa bau busuk sebuah skandal. Ketika Firdaus kembali ke asrama untuk membereskan barangnya, ruangan yang biasanya riuh rendah menjadi sunyi seketika. Para santri lain menghindari kontak mata, ada yang sibuk pura-pura mengatur kitab, yang lain keluar dengan berbagai alasan. Hanya Malik yang mendekat, wajahnya dipenuhi kebingungan dan kesedihan.
"Benar apa yang mereka katakan, Das? Kau dikeluarkan?" tanyanya, suaranya berbisik.
Firdaus mengangguk, tangannya terus melanjutkan pekerjaannya melipat pakaian dengan rapi. "Mereka menganggap peringatanku sebagai pembangkangan, Mal."
"Tapi... kau kan hanya mencoba membantu. Aku... aku ingat apa yang kau bilang ke ayahku." Malik terdiam sejenak. "Aku tidak akan masuk ke madrasah itu hari ini."
Sebuah pelipur lara yang kecil di tengah kepahitan. Setidaknya ada satu nyawa yang mungkin terselamatkan.
Prosesi pengusiran itu berlangsung dingin dan formal. Dia tidak diantar sampai gerbang oleh massa yang marah, tapi hanya diawasi dari kejauhan oleh sorotan mata penuh kecurigaan. Saat dia melangkah keluar dari Asrama A untuk terakhir kalinya, dengan koper sederhana di tangan, orang tuanya sudah menunggu di pelataran.
Wajah ayahnya, yang biasanya keras bagai batu, kini tampak hancur dan penuh rasa malu. Ibunya langsung menangis, menarik lengan Firdaus seolah ingin menyembunyikannya dari pandangan.
"Firdaus, anakku, kenapa kamu tidak bisa nurut saja?" isaknya, suaranya parau. "Lihat, sekarang kita jadi bahan gunjingan seluruh desa!"
Ayahnya hanya menghela napas panjang, matanya memandang jauh ke arah menara pesantren. "Pulang saja dulu. Tenangkan diri."
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak menuju gerbang, sebuah prosesi yang terasa seperti perjalanan menuju pengasingan. Di kejauhan, bayangan Madrasah Al-Iman Al-Aziz tampak megah dan angkuh, menyeringai padanya.
Tepat saat mereka akan melewati Gerbang Kayu Ular yang legendaris itu, Firdaus berhenti. Dia menoleh, memandang pesantren yang telah menjadi rumah dan penjaranya selama ini. Sebuah rasa tanggung jawab yang besar menggelora dalam dadanya.
"Ini bukan urusan saya membangkang!" serunya tiba-tiba pada orang tuanya, suaranya tegang oleh emosi yang tertahan. "Ini urusan nyawa! Mereka tidak mengerti! Mereka buta oleh kesombongan mereka sendiri!"
Ibunya menarik lengannya lebih kuat. "Sudah, Das! Jangan tambah rumit! Ini bukan urusan kita lagi!"
"Tapi itu urusan nyawa, Bu! Ratusan nyawa! Biarkan saya kembali! Biarkan saya memohon pada Kyai, setidaknya untuk memeriksa ulang pondasinya! Biarkan saya menjadi contoh! Agar yang lain belajar untuk menjaga diri!"
Itu adalah jeritan nalarnya yang terakhir, sebuah upaya putus asa untuk melakukan Ikhtiar hingga detik-detik terakhir. Tapi bagi orang tuanya, yang diliputi rasa malu dan takut pada otoritas pesantren, kata-katanya itu adalah kegilaan.
"Ayo, pulang!" desis ayahnya, kali ini dengan suara yang tidak bisa ditawar. Tangannya yang kasar menarik lengan Firdaus, memaksanya untuk melangkah keluar dari gerbang pesantren.
Firdaus terpaksa mengikuti, langkahnya tertatih. Saat kakinya melangkah melewati ambang gerbang, rasanya seperti sebuah pintu besar tertutup di belakangnya untuk selamanya. Dia tidak lagi menjadi bagian dari dunia itu.
Dia menoleh sekali lagi. Pesantren itu masih berdiri sama, tapi kini terasa asing. Dia berjalan menjauh, dibawa oleh orang tuanya, meninggalkan bukan hanya sebuah tempat, tetapi juga sebuah firasat buruk yang kini menjadi beban tanggung jawabnya sendiri. Sebuah peringatan yang tidak didengarkan, sebuah kebenaran yang dikubur hidup-hidup di bawah pondasi kesombongan.
Dan dia tahu, dengan kepastian yang menyakitkan, bahwa suatu saat nanti, pondasi itu akan menuntut balas.
Bab 19
Harga Tawakal yang Hilang
Pasca-runtuhnya Madrasah Al-Iman Al-Aziz, sebuah kesunyian yang pekat dan bermuatan duka menyelimuti Pesantren Nurul Hikmah. Suara lantang mengaji, tawa santri, dan gemuruh aktivitas di gedung megah itu telah digantikan oleh deru mesin penyelamat, isak tangis keluarga, dan khusyuknya doa-doa untuk yang telah pergi. Lapangan di mana gedung itu berdiri kini hanya menjadi sebuah hamparan tanah kosong yang dipagari rapat, sebuah luka terbuka yang menganga di jantung pesantren. Di tengahnya, didirikan sebuah tugu peringatan sederhana—batu hitam dengan nama-nama korban yang terpahat, sebuah pengingat harian akan sebuah kesalahan fatal yang harganya dibayar dengan nyawa.
Di antara semua orang yang hancur, Kang Ozan adalah yang paling terdampak. Kewibawaannya yang dulu tegak bagai batu karang, kini runtuh menjadi debu. Dia mengundurkan diri dari segala posisi pentingnya di dewan guru. Wajahnya yang dulu garang kini keriput dan selalu memandang kosong. Rasa bersalah yang menghantuinya lebih menyiksa daripada amarah siapa pun.
Suatu malam, dengan tangan gemetar, dia mengeluarkan buku yang telah dia sita berbulan-bulan lalu dari laci terkunci di kamarnya. Etika Nikomakea. Sampulnya yang lusuh terasa panas di tangannya, bagai menyala-nyala. Niat awalnya adalah untuk membakarnya, mengobarkan api penyucian bagi dirinya sendiri. Tapi saat jarinya membuka halaman pertama, matanya tertarik pada sebuah kalimat yang kebetulan terbuka: "Kebijaksanaan praktis (phronesis) adalah kemampuan untuk menilai dengan benar apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu."
Kalimat itu menghunjamnya seperti pukulan di ulu hati. Kebijaksanaan praktis. Menilai dengan benar. Inilah yang tidak mereka miliki. Mereka telah mengorbankan kebijaksanaan praktis di altar sebuah tawakal yang buta.
Dia tidak jadi membakarnya. Malah, dia mulai membacanya. Pelan-pelan, dengan rasa sakit dan penuh penolakan pada awalnya. Tapi semakin dia baca, semakin dia memahami logika yang dulu dicerca sebagai "sesat". Dia melihat bagaimana Firdaus telah menggunakan alat ini bukan untuk merusak iman, tetapi untuk melengkapi dan melindunginya dari bahaya nyata.
Perubahan pun terjadi pada Kang Ozan. Dia tidak lagi menjadi sang jagal ideologi. Dia mulai mengajar lagi, tapi bukan di ruang kelas megah. Dia memilih musala tua, tempat Firdaus dulu sering mengasingkan diri. Subyeknya tetap Mantiq (Logika) dan Ushul Fiqh, tapi caranya berbeda.
Dia tidak lagi mengajarkannya sebagai sebuah dogma mati. Dia mengajarkannya sebagai alat hidup. Dalam pelajarannya, dia selalu menekankan pada keseimbangan.
"Logika," katanya pada sekelompok kecil santri yang duduk melingkar, "adalah karunia Allah untuk memahami Sunnatullah, hukum sebab-akibat di alam ini. Memahami sebab bukanlah kurang iman, itu adalah bagian dari Ikhtiar."
Dia sering menggunakan analogi Firdaus, tanpa menyebut namanya. "Ikatlah untamu. Itu perintah. Tapi mengikat yang bagaimana? Dengan tali yang kuat, di tempat yang aman. Itu butuh ilmu. Butuh kebijaksanaan praktis. Tawakal tanpa ikhtiar yang benar adalah... adalah sebuah kesia-siaan."
Kang Ozan telah berubah. Dari seorang penjaga ortodoksi yang galak, dia menjadi seorang pencari kebenaran yang rendah hati. Dia mengajarkan bahwa akal dan wahyu adalah dua mata yang harus digunakan bersama-sama, bukan untuk saling membutakan. Misinya yang baru adalah memastikan bahwa korban jiwa yang sia-sia itu tidak hanya menjadi duka, tetapi juga menjadi pelajaran paling berharga tentang arti sebenarnya dari berserah diri: bahwa tawakal yang sejati selalu diawali dengan ikhtiar yang rasional dan penuh tanggung jawab.
Bab 20
Permintaan Maaf di Gerbang Kayu
Waktu tidak menyembuhkan semua luka, tetapi ia memberikan ruang untuk pengakuan. Beberapa pekan setelah debu reruntuhkan benar-benar hilang dan duka kolektif mulai mengendap, Kyai Pesantren Nurul Hikmah akhirnya muncul di depan publik. Dia tampak sepuluh tahun lebih tua, tubuhnya yang biasanya tegak kini sedikit membungkuk, seolah memikul beban ratusan nyawa yang melayang.
Dalam sebuah tazkirah (renungan) massal di halaman pesantren, di hadapan santri, guru, dan keluarga korban yang masih berkabung, Kyai berdiri dengan suara yang parau dan penuh penyesalan.
"Kita telah jatuh," gumamnya, suaranya terdengar lirih namun jelas di keheningan yang menyelimuti. "Bukan karena bangunan kita yang roboh, tetapi karena pemahaman kita yang rapuh. Kita gagal membedakan antara Tawakal yang sejati, dengan kecerobohan yang kita legimitasi dengan nama Allah." Dia menundukkan kepalanya. "Kami, para pemimpin pesantren ini, memohon ampun kepada Allah dan kepada kalian semua. Kami telah lalai. Kami mengabaikan tanda-tanda-Nya yang justru diberikan melalui akal dan nalar yang Dia anugerahkan."
Esok harinya, sebuah pemandangan yang tidak terbayangkan sebelumnya terjadi. Kyai, didampingi oleh Ustadz Hadi dan Ustadz Hakim (Kang Ozan memilih untuk tidak ikut, merasa dirinya belum layak), berjalan menyusuri jalan setapak yang sama yang dulu dilalui Firdaus saat diusir. Mereka menuju rumah kayu yang sederhana di pinggiran pesantren.
Ketika Firdaus membuka pintu dan melihat mereka berdiri di sana, tidak ada rasa kemenangan di hatinya. Hanya sebuah kedamaian yang pilu.
"Firdaus," ucap Kyai, suaranya bergetar. Tangannya yang keriput meraih tangan Firdaus. "Kami tidak datang untuk memintamu kembali. Kami datang untuk memohon maaf. Atas nama pesantren, atas nama kami yang buta dan sombong. Kami telah mengusirmu, justru ketika kau adalah satu-satunya yang memiliki mata untuk melihat."
Ustadz Hadi dan Ustadz Hakim hanya bisa mengangguk, mata mereka berkaca-kaca, tidak sanggup berkata-kata.
Kyai kemudian memberikan sebuah amplop. "Ini bukan sedekah. Ini adalah modal. Gunakan untuk belajar. Cari ilmu di tempat yang menghargai akal dan nalarmu, karena ternyata, itu adalah bagian dari iman yang selama ini kami abaikan."
Firdaus menerima amplop itu, lalu memandang Kyai dengan mata yang jernih. "Terima kasih, Kyai. Tapi izinkan saya mengatakan sesuatu. Agama ini adalah sempurna. Salahnya ada pada pemahaman kita yang parsial." Dia menatap mereka sekalian. "Pesantren ini harus bertahan, Kyai. Tapi bukan dengan cara lama. Ajarkan bagaimana mengikat unta bukan hanya dengan tali, tetapi dengan ilmu teknik yang kokoh. Ajarkan manajemen risiko. Jadikan integritas struktural sebagai bagian dari kurikulum agama, karena menjaga nyawa adalah kewajiban pertama sebelum ibadah."
Kata-katanya itu bukan lagi sebuah protes, melainkan sebuah visi. Sebuah cetak biru untuk masa depan.
Dan Kyai mendengarkan. Sepenuh hati.
Kembali ke pesantren, perubahan nyata mulai diterapkan. Kurikulum dirombak. Di samping pelajaran fiqh dan tauhid, kini ada kelas dasar-dasar keselamatan bangunan, manajemen risiko, dan logika terapan yang diintegrasikan dengan Ushul Fiqh. Moto pesantren diubah, terpampang di gerbang utama: "Ikatlah Untamu dengan Ikhtiar Ilmiah, Kemudian Berserah Dirilah dengan Tawakal Hakiki."
Sebuah pelajaran yang mahal telah mengajarkan mereka bahwa iman tanpa ilmu adalah bom waktu, dan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah cara berpikir mereka sendiri.
Bab 21
Warisan Logika
Tahun-tahun berlalu, membawa serta luka yang berubah menjadi bekas, dan pelajaran yang mengkristal menjadi kebijaksanaan.
Firdaus menggunakan modal dari Kyai bukan untuk melarikan diri dari masa lalunya, tetapi untuk menghadapinya dengan senjata yang lebih ampuh. Dia mendaftar di jurusan Teknik Sipil di universitas negeri terkemuka. Di sana, logika "liar"-nya yang dulu dicerca justru menjadi kekuatan terbesarnya. Setiap rumus, setiap perhitungan beban, setiap analisis material, baginya bukan hanya angka mati, tetapi adalah bagian dari Sunnatullah—hukum-hukum Allah di alam semesta yang harus dipatuhi dan dipahami.
Ia lulus dengan pujian, bukan dengan kebanggaan kosong, tetapi dengan sebuah misi yang jelas. Firdaus tidak menjadi kontraktor yang membangun menara pencakar langit. Ia membuka sebuah konsultan khusus: Manajemen Risiko Struktural untuk Bangunan Ibadah dan Pendidikan.
Klien pertamanya adalah Pesantren Nurul Hikmah.
Dengan tenang dan profesional, ia memeriksa setiap gedung di pesantren lamanya, memberikan rekomendasi perbaikan, dan memastikan bahwa tragedi kelam itu tidak akan terulang. Bekerja sama dengannya adalah seorang guru yang kini menjadi Kepala Bidang Kurikulum Baru: Kang Ozan. Pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun berlangsung hening, diakhiri dengan jabat tangan yang erat dan pengakuan tanpa kata dari Kang Ozan. Mereka tidak perlu banyak bicara; karya dan dedikasi mereka yang berbicara.
Firdaus pun menjadi narasumber untuk pesantren-pesantren dan sekolah agama lain. Ia tidak pernah menyalahkan atau berkhotbah. Ia hanya menunjukkan data, analisis, dan fakta. Ia membuktikan bahwa memelihara rumah ibadah dan tempat ilmu agar aman dan kokoh adalah bagian dari ibadah itu sendiri, sebuah bentuk jihad melawan kelalaian.
Sementara itu, di Pesantren Nurul Hikmah, warisan dari tragedi itu hidup dalam setiap aspek. Gedung-gedung baru dibangun dengan pondasi baja yang kuat dan transparansi penuh terhadap santri dan orang tua. Pelajaran "Ikhtiar Ilmiah" menjadi mata pelajaran inti, mengajarkan santri untuk tidak takut pada sains dan logika, tetapi menggunakannya sebagai alat untuk memperkuat iman dan menjaga amanah.
Motto mereka, "Ikatlah Untamu dengan Ikhtiar Ilmiah, Kemudian Berserah Dirilah dengan Tawakal Hakiki," bukan lagi sekadar tulisan di gerbang. Itu adalah jiwa yang menghidupi pesantren tersebut.
EPILOG
Pada suatu sore, Firdaus berdiri di jendela kantornya yang menghadap ke sebuah kota yang dipenuhi masjid dan sekolah. Sebuah laporan analisis risiko untuk sebuah madrasah tua telah selesai terbuka di komputernya.
Dia memandang keluar, ke cakrawala. Tidak ada lagi dendam di hatinya, tidak ada lagi kepahitan. Yang ada adalah sebuah kepuasan yang tenang. Dia telah mengajarkan pelajaran terpentingnya bukan dengan mengutuk dari luar, tetapi dengan membangun dari dalam, dengan ilmu dan integritas.
Dia telah membuktikan, terutama kepada dirinya sendiri, bahwa akal dan iman bukanlah dua kekuatan yang bertarung. Ketika disatukan dengan benar, mereka adalah cahaya yang menerangi jalan, menghalau kegelapan takhayul dan kecerobohan, membimbing umat menuju sebuah kepasrahan yang bukan berarti menyerah, tetapi berserah diri setelah berusaha dengan sungguh-sungguh dan penuh ilmu.
Kebenarannya yang dulu sepi dan ditolak, kini telah menjadi warisan yang menyelamatkan. Dan bagi Firdaus, itu sudah lebih dari cukup.
TAMAT