Bab 1
Teh hangat baru saja dituangkan Parlindungan Harahap ke dalam cangkir batok kelapa ketika ponselnya di atas meja rotan bergetar hebat, memecah keheningan senja di teras rumah mereka. Di seberang meja, Dahlia Siregar, istrinya, mengangkat wajah dari tumpukan kertas ulangan, alisnya sedikit terangkat melihat nama yang tertera di layar: "Rohana".Suasana damai setelah seharian bekerja—Parlin di gudang salak dan Dahlia di sekolah—seketika menguap, digantikan oleh ketegangan tipis yang tak terucapkan.Tanpa ragu, Parlin menggeser tombol hijau dan mengaktifkan mode pengeras suara. Itu adalah kesepakatan bisu di antara mereka: tidak ada rahasia, terutama jika menyangkut masa lalu. "Assalamualaikum, ada apa, Rohana?" sapanya, nadanya datar namun menyiratkan kesiagaan."Waalaikumsalam, Bang! Gawat, ini si Sutan!" Suara Rohana dari seberang terdengar panik, sengaja dibuat terburu-buru. "Badannya panas tinggi sekali dari siang, tidak mau turun. Aku takut, Bang. Kata tetangga, ini harus dibawa ke dokter spesialis anak, bukan Puskesmas lagi."Parlin mengerutkan kening. Instingnya sebagai ayah seketika waspada. "Panas tinggi? Bukankah baru dua hari lalu kau bilang dia hanya batuk-pilek biasa?"Dahlia, yang sedari tadi diam mengamati, menyela dengan lembut namun tegas. "Rohana, apa Sutan sudah diberi obat penurun panas? Termometernya menunjukkan angka berapa?"Pertanyaan teknis dari seorang guru yang terbiasa menangani murid sakit itu membuat Rohana di seberang telepon terdiam sejenak. "Eh... sudah, Dahlia. Tapi tetap saja panas. Aku tidak punya termometer, tapi kuraba dahinya panas sekali. Kasihan dia, Bang, merengek terus memanggil Ayah."Manipulasi itu begitu kentara. Dahlia menatap suaminya, tatapan mereka bertemu dalam pemahaman yang sama. Ini bukan sekadar kekhawatiran seorang ibu.Parlin menarik napas dalam-dalam, menenangkan gejolak di hatinya. Ia tidak akan terpancing. "Baiklah, Rohana. Jangan ke mana-mana. Kami ke sana sekarang."Ia mematikan panggilan itu. Keheningan kembali menyelimuti teras, kini terasa lebih berat. Sepiring godok-godok pisang yang tadi hangat kini mendingin, tak tersentuh."Jelas sekali dibuat-buat, Bang," ujar Dahlia pelan, namun matanya berkilat tajam. "Jika memang Sutan sepanik itu, dia pasti sudah membawanya ke UGD, bukan menelepon Abang dulu untuk meminta uang.""Aku tahu," sahut Parlin. Rahangnya mengeras, bukan karena marah pada Dahlia, tapi karena frustrasi pada situasi yang terus berulang. "Tapi Sutan tetap anakku. Aku harus memastikan keadaannya.""Dan aku ikut dengan Abang," kata Dahlia cepat, seolah membaca pikiran suaminya. Ia mulai membereskan kertas-kertas ulangannya, gerakannya efisien dan penuh kepastian. "Aku akan siapkan kompres jahe dan bubur hangat. Kalaupun dia tidak sakit parah, perhatian kita tidak akan sia-sia."Inilah yang membuat Parlindungan begitu mencintai istrinya. Dahlia tidak pernah memberinya pilihan antara masa kini dan masa lalu. Ia selalu menarik masa lalu itu ke dalam masa kini mereka, untuk mereka hadapi bersama sebagai satu kesatuan. Ia tidak melawan api dengan api, melainkan dengan air yang menenangkan namun tak bisa dibendung.Parlin bangkit dari kursinya, rasa lelahnya tergantikan oleh energi baru. Ia menggenggam jemari istrinya yang sigap. "Siapkan saja, Dek. Abang panaskan mobil."Dahlia mengangguk, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Hati-hati di jalan, Bang. Jangan mengebut karena terpancing emosinya."Malam baru saja dimulai di Padang Sidempuan, dan konflik sudah mengetuk pintu rumah mereka. Namun, alih-alih saling menyalahkan atau menyimpan curiga, Parlindungan dan Dahlia melangkah keluar dari teras itu bersama-sama, siap menghadapi apa pun yang menanti mereka di rumah Rohana. Pondasi rumah tangga mereka tidak akan retak hanya karena satu panggilan telepon. Justru, malam ini, mereka akan membuktikan seberapa kokoh pondasi itu dibangun.
Bab 2Mobil pikap Parlindungan melaju membelah malam Padang Sidempuan yang basah. Lampu-lampu jalanan memantulkan cahayanya di aspal yang masih tergenang air hujan. Di dalam kabin, keheningan menyelimuti mereka, tetapi bukan keheningan yang canggung. Itu adalah keheningan yang penuh dengan pemikiran dan strategi yang tak terucap.Dahlia membuka laci dasbor dan mengeluarkan kotak P3K kecil. Dengan gerakan yang tenang, ia memeriksa termometer digital dan beberapa bungkus obat penurun panas untuk anak-anak. Parlin meliriknya sekilas, rasa kagum menyelinap di hatinya. Di saat emosinya sendiri mulai terpancing, Dahlia tetap menjadi penyeimbang yang kokoh."Aku minta maaf ya, Dek," ucap Parlin, memecah kesunyian. "Harusnya malam kita bisa tenang di teras, bukan malah terburu-buru seperti ini."Dahlia menoleh, senyum tipis terukir di wajahnya. "Bukan salah Abang. Anggap saja ini ujian untuk kekompakan kita. Yang penting, kita hadapi dengan kepala dingin. Jangan biarkan dia melihat kita goyah atau bertengkar. Itu yang dia inginkan."Parlin mengangguk, memegang kemudi lebih erat. Nasihat istrinya selalu menjadi kompas baginya.Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah gang yang lebih padat di pinggiran kota. Rumah kontrakan Rohana adalah sebuah bangunan semi permanen yang sederhana. Halamannya yang sempit tampak becek dan kurang terawat, kontras dengan teras rumah mereka yang asri.Rohana sudah menunggu di ambang pintu, wajahnya dipasang dengan ekspresi cemas yang berlebihan. "Akhirnya kalian datang! Aku sudah khawatir sekali!" serunya dengan nada dramatis, seolah mereka baru saja tiba di lokasi bencana.Parlin dan Dahlia bertukar pandang sekilas sebelum melangkah masuk. Aroma minyak kayu putih menyambut mereka. Di ruang tengah yang sempit, Sutan terbaring di atas sofa, diselimuti kain sarung tebal. Namun, matanya tidak terpejam menahan sakit. Sebaliknya, matanya terpaku pada layar ponsel yang menyiarkan video kartun, sesekali ia terbatuk pelan.Melihat ayahnya datang bersama Dahlia, Sutan bangkit duduk. Wajahnya memang sedikit pucat, tapi jauh dari gambaran anak yang sedang "panas tinggi sekali"."Assalamualaikum, jagoan Ayah," sapa Dahlia lembut, mendahului Parlin. Ia langsung duduk di tepi sofa, tangannya yang sejuk mendarat di dahi Sutan. Hangat, tapi jelas bukan panas yang mengkhawatirkan. "Katanya lagi kurang sehat?"Sutan mengangguk pelan, matanya masih menatap Dahlia dengan sedikit malu.Dahlia mengeluarkan termometer dari tasnya. "Kita ukur dulu ya suhunya, biar tahu jagoan ini harus minum obat apa."Rohana berdiri di dekat mereka, tampak gelisah. "Lihat kan, Bang? Panas, kan? Aku tidak bohong."Beberapa saat kemudian, termometer berbunyi. Dahlia menunjukkannya pada Parlin. Angka 37,8 derajat Celcius tertera di layar kecil itu."Ini demam biasa, Rohana," kata Parlin dengan suara yang dijaga agar tetap tenang namun tegas. "Bukan 'panas tinggi sekali' seperti yang kau bilang di telepon. Lain kali, tolong jangan membuat kami panik seperti ini. Kalau memang darurat, kau bisa langsung bawa dia ke klinik terdekat."Wajah Rohana memerah, campuran antara malu dan kesal karena sandiwaranya terbongkar. "Aku kan hanya khawatir, Bang! Wajar seorang ibu panik melihat anaknya sakit!" kilahnya, mencoba membela diri.Dahlia tidak ikut campur dalam perdebatan itu. Ia membuka termos kecil yang dibawanya. Aroma bubur ayam yang gurih dan jahe hangat seketika memenuhi ruangan. "Sutan pasti lapar. Tante Dahlia bawakan bubur ayam hangat, khusus untuk Sutan. Biar tenaganya kembali dan bisa cepat main lagi."Mata Sutan berbinar melihat bubur itu. Ia mengangguk antusias. Dengan telaten, Dahlia mulai menyuapi Sutan, meniup setiap sendoknya agar tidak terlalu panas. Sutan makan dengan lahap, seolah lupa dengan demamnya.Melihat pemandangan itu, Parlin menarik Rohana sedikit menjauh ke sudut ruangan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. "Ini. Untuk beli obat batuk, vitamin, dan buah untuk Sutan," ujarnya pelan.Rohana menerima uang itu dengan cepat."Tapi dengar, Rohana," lanjut Parlin, tatapannya tajam dan tidak main-main. "Aku tidak akan mentolerir drama seperti ini lagi. Kesejahteraan Sutan adalah tanggung jawab kita berdua, jangan pernah kau jadikan dia alat untuk mendapatkan perhatian atau uang lebih. Kau paham?"Rohana terperangah oleh ketegasan mantan suaminya. Tidak ada lagi Parlin yang mudah merasa bersalah. Yang ada di hadapannya adalah seorang suami yang melindungi rumah tangganya dan seorang ayah yang melindungi anaknya dari manipulasi. Ia hanya bisa mengangguk kaku, kalah telak.Setelah memastikan Sutan menghabiskan buburnya dan meminum obat, Parlin dan Dahlia bersiap pulang."Cepat sembuh ya, Nak. Nanti hari Minggu, Ayah dan Tante Dahlia ajak jalan-jalan," kata Parlin sambil mencium kening putranya.Di perjalanan pulang, ketegangan di dalam mobil sudah mencair. Dahlia menyandarkan kepalanya di bahu Parlin. Malam itu terasa panjang dan melelahkan, tetapi juga memuaskan."Kita berhasil, Bang," bisik Dahlia.Parlin meraih tangan istrinya dan menggenggamnya erat. Ia membawa tangan itu ke bibirnya dan mengecupnya sekilas."Iya, Dek. Kita berhasil... untuk malam ini."Keduanya tahu, ini mungkin bukan ujian terakhir. Tapi mereka juga tahu, selama mereka menghadapinya bersama, tidak ada badai yang cukup kuat untuk merobohkan pondasi yang telah mereka bangun dengan susah payah.
Bab 3Beberapa hari berlalu dalam ketenangan yang menyejukkan. Drama malam itu seolah menjadi pengingat bagi Parlindungan dan Dahlia tentang betapa berharganya kedamaian yang mereka miliki. Sesuai janji, hari Minggu mereka habiskan sepenuhnya bersama Sutan. Mereka mengajaknya ke Aek Sijorni, membiarkannya bermain air sepuasnya di bawah pancuran bertingkat yang ikonik itu, lalu ditutup dengan makan siang ikan arsik di sebuah warung dengan pemandangan sawah yang menghampar.Sutan tertawa lepas sepanjang hari, tawa yang terdengar lebih ringan dari biasanya. Saat Parlin mengantarnya kembali ke rumah Rohana sore itu, putranya memeluk Dahlia dengan erat. "Nanti Sutan main lagi ya, Tante," bisiknya. Hati Dahlia menghangat. Ikatan itu nyata, dibangun di atas ketulusan, bukan paksaan.Namun, kedamaian itu, seperti halnya langit cerah di musim hujan, tidak bertahan lama.Rabu malam, ketika Dahlia sudah terlelap di sampingnya, Parlin masih terjaga. Pikirannya sibuk menyusun rencana pengiriman salak untuk esok hari. Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di nakas bergetar beberapa kali, menampilkan notifikasi pesan dari Rohana.Bukan permintaan uang atau keluhan tentang Sutan. Kali ini, yang dikirim adalah sebuah gambar: tangkapan layar percakapan WhatsApp.Jantung Parlin berdebar sedikit lebih kencang. Ia membuka gambar itu. Di bagian atas, tertera nama "Dahlia" dengan foto profil istrinya. Ia sedang "berbicara" dengan kontak tanpa nama. Parlin membaca baris demi baris percakapan itu, dan napasnya terasa memberat.Dahlia: Capek kali aku, Lan. Tiap sebentar ada saja ulah janda itu. Pakai anak terus alasannya.Kontak Tanpa Nama: Sabar, Dahlia. Namanya juga bawaan dari pernikahan lama.Dahlia: Bukan soal sabarnya. Uangnya itu loh. Harusnya bisa untuk kita, ini malah terus mengalir ke sana. Coba si Abang itu bisa lebih tegas, putuskan saja sekalian. Biar tahu rasa dia.Dunia Parlin seakan berhenti berputar sejenak. Tulisan itu terasa seperti tamparan di kegelapan malam. Kata-kata itu begitu menusuk, begitu bertolak belakang dengan sosok Dahlia yang ia kenal—Dahlia yang menyuapi Sutan dengan sabar, Dahlia yang selalu mengingatkannya untuk tidak pernah melupakan tanggung jawabnya.Keraguan, sekecil apa pun, adalah benih beracun. Parlin merasakan benih itu mencoba menancapkan akarnya di dalam hatinya. Mungkinkah? Mungkinkah di balik senyum tulus itu, Dahlia menyimpan kejengkelan yang begitu dalam?Ia menoleh ke samping, menatap wajah istrinya yang tidur dengan pulas. Wajah yang selalu memberinya ketenangan. Ia mengamati gaya bahasa dalam percakapan itu. "Capek kali aku,"... "itu loh."... Itu bukan gaya Dahlia. Dahlia, seorang guru Bahasa Indonesia, selalu menggunakan bahasa yang lebih tertata, bahkan dalam percakapan santai sekalipun.Parlin menarik napas panjang, mengusir keraguan itu dengan paksa. Tidak. Ini adalah serangan. Serangan yang lebih licik dan personal, yang dirancang untuk meracuni pikirannya dari dalam. Rohana tidak menyerang dirinya, ia menyerang pilar terkuat dalam hidupnya: kepercayaannya pada Dahlia.Ia tidak membalas pesan Rohana. Ia juga tidak membangunkan Dahlia. Menunjukkan gambar itu di tengah malam hanya akan merusak istirahat istrinya dan memicu emosi yang tidak perlu. Ia akan menunggu saat yang tepat, saat kepala mereka sama-sama dingin.Keesokan paginya, setelah salat Subuh, mereka kembali duduk di teras dengan teh hangat, seperti biasa. Namun, kali ini ada beban tak kasat mata di antara mereka. Dahlia bisa merasakannya."Ada apa, Bang? Dari tadi Abang diam saja," tanya Dahlia lembut, matanya menatap lurus ke mata suaminya.Parlin meletakkan cangkirnya. Inilah saatnya. Dengan tenang, ia mengambil ponselnya dan menunjukkan tangkapan layar itu kepada Dahlia. "Tadi malam Rohana mengirim ini. Abang tahu ini bohong, tapi Abang ingin Adek melihatnya. Biar kita tahu permainan apa yang sedang dia mainkan."Dahlia menatap layar ponsel itu. Wajahnya yang tenang perlahan berubah menjadi pias, lalu memerah menahan amarah. Matanya berkaca-kaca, bukan karena dituduh, tetapi karena difitnah dengan begitu kejam."Ya Allah, Bang..." bisiknya lirih, suaranya bergetar. "Tega sekali dia."Parlin segera meraih tangan istrinya, menggenggamnya erat. "Abang percaya sama Adek, seratus persen. Jangan pernah ragu soal itu. Sekarang, kita pikirkan bersama bagaimana cara menghadapinya."Mendengar penegasan suaminya, air mata yang tadi tertahan akhirnya luruh juga, tetapi dengan cepat ia seka. Kepercayaan Parlin adalah bentengnya. "Ini fitnah, Bang. Aku tidak punya teman bernama 'Lan' yang kupanggil seakrab itu. Dan lihat, tidak ada penanda waktu di antara gelembung percakapan. Ini jelas editan."Mereka berdua menelaah gambar itu lebih saksama, menemukan lebih banyak kejanggalan. Kemarahan Dahlia perlahan berubah menjadi ketegasan."Dia ingin kita bertengkar," kata Dahlia. "Dia ingin Abang meragukanku, lalu dia bisa masuk sebagai 'penyelamat' bagi Sutan. Kita tidak boleh memberinya kepuasan itu.""Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Parlin.Dahlia terdiam sejenak, otaknya bekerja cepat. "Kita lawan permainannya, tapi dengan cara kita. Jangan konfrontasi dia soal ini. Itu hanya akan membuatnya tahu serangannya berhasil. Sebaliknya, kita tunjukkan padanya bahwa fitnahnya tidak mempan sama sekali."Ia menatap Parlin dengan mata yang kini kembali menyiratkan kekuatan. "Jumat ini, jemput Sutan setelah sekolah. Bilang padanya, Tante Dahlia rindu dan ingin dia menginap di rumah kita sampai hari Minggu. Biarkan Rohana melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa usahanya untuk memisahkan kita justru membuat kita semakin dekat dengan Sutan."Parlin menatap istrinya dengan penuh kekaguman. Di tengah serangan yang begitu menyakitkan, Dahlia masih bisa berpikir jernih dan mengubah racun menjadi obat. Ini bukan lagi sekadar istrinya, ini adalah rekan seperjuangannya."Ide bagus," kata Parlin dengan senyum yang akhirnya terkembang. "Biar Abang telepon dia sekarang."Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Rohana. Saat panggilannya tersambung, Parlin kembali mengaktifkan mode pengeras suara."Ada apa lagi, Bang?" jawab Rohana, nadanya pura-pura polos."Rohana, aku dan Dahlia sudah berdiskusi. Kami rindu sekali dengan Sutan. Jumat sore nanti aku akan jemput dia untuk menginap di rumah kami sampai hari Minggu."Hening sejenak di seberang sana. Terdengar suara napas yang tercekat, seolah tak menduga respons seperti ini."...Oh. Ya... ya, boleh, Bang," jawab Rohana dengan suara terbata-bata, rencananya jelas berantakan.Setelah menutup telepon, Parlin dan Dahlia saling berpandangan. Mereka tidak mengatakan apa-apa, tetapi sebuah kemenangan kecil terasa hangat di udara pagi itu. Fitnah itu memang menyakitkan, tetapi mereka berhasil mengubahnya menjadi sebuah horja—sebuah pesta kecil—untuk memperkuat jiwa keluarga mereka.
Bab 4Jumat sore itu, aroma salak manis yang baru dipanen menyambut Sutan begitu ia turun dari sepeda motor Parlindungan. Wajahnya yang semula sedikit tegang karena diantar oleh Rohana dengan sejuta pesan—"jangan nakal," "jangan merepotkan,"—langsung berubah cerah. Dahlia sudah menunggunya di teras, bukan dengan senyum yang dipaksakan, melainkan dengan kehangatan tulus yang terpancar dari matanya."Selamat datang, jagoan! Tante sudah siapkan ayam pinadar kesukaan Sutan untuk makan malam," sapa Dahlia.Mata Sutan berbinar. Ayam pinadar buatan Dahlia adalah favoritnya, dengan bumbu andaliman yang pas di lidah dan tidak terlalu pedas. Rohana, yang masih termangu di atas sepeda motornya di seberang jalan, hanya bisa menelan ludah melihat pemandangan itu. Ia mengharapkan suasana canggung, mungkin penolakan terselubung, tetapi yang ia saksikan adalah penyambutan yang begitu alami. Dengan hati dongkol, ia memutar gas motornya dan pergi.Malam itu, rumah mereka benar-benar menjadi sebuah jabu yang hangat. Sutan dengan antusias menceritakan kegiatannya di sekolah, sesuatu yang jarang ia lakukan di rumahnya sendiri. Parlin mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Dahlia sesekali menimpali dengan pertanyaan yang menunjukkan ketertarikannya sebagai seorang pendidik."Jadi, Sutan paling suka pelajaran IPA, ya? Sama seperti Tante dulu," ujar Dahlia sambil menambahkan nasi ke piring Sutan. "Besok, kalau mau, Tante bisa tunjukkan koleksi kupu-kupu yang Tante awetkan waktu masih kuliah."Tawaran itu membuat Sutan semakin bersemangat.Seperti yang sudah diduga, gangguan datang tepat ketika suasana sedang di puncaknya. Ponsel Parlin berdering. Nama "Rohana" kembali muncul."Biar Abang yang angkat di luar," kata Parlin, memberi isyarat pada Dahlia untuk tetap tenang.Di teras, Parlin menjawab panggilan itu. "Ada apa, Rohana? Sutan sedang makan, dia baik-baik saja.""Aku hanya mau mengingatkan, Bang. Jangan lupa obat batuknya diminum sebelum tidur. Terus, selimutnya harus yang tebal, dia tidak tahan dingin," cerocos Rohana, mencari-cari alasan."Semua sudah kami siapkan, Rohana. Kau tidak perlu khawatir. Biarkan anak itu menikmati waktunya dengan tenang. Nanti hari Minggu sore kami antar pulang. Assalamualaikum," kata Parlin tegas, lalu menutup telepon sebelum Rohana sempat membalas. Ia tidak memberi celah sedikit pun untuk drama.Keesokan harinya, Dahlia menepati janjinya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu berisi koleksi kupu-kupu dan serangga yang diawetkan dengan rapi. Dengan sabar, ia menjelaskan nama-nama latinnya, siklus hidupnya, dan bagaimana cara membedakan satu spesies dengan yang lain. Sutan terpukau. Ia belum pernah mendapatkan pelajaran seasyik ini.Siang harinya, Parlin mengajak Sutan ke gudang sortir salak miliknya. Ia mengajari putranya cara memilih salak yang bagus, membedakan mana yang manis dan mana yang sepat hanya dari kulitnya, dan bahkan cara menimbang dengan benar."Ini bukan sekadar buah, Nak. Ini adalah kerja keras banyak orang, dari petani di kebun sampai ibu-ibu yang menyortir di sini," kata Parlin, menanamkan nilai kerja keras pada putranya.Sore itu, saat mereka bertiga sedang bersantai di teras sambil makan salak, Sutan tiba-tiba bertanya pada Dahlia dengan suara pelan. "Tante... apa Tante marah kalau Ayah sering kasih uang ke Mama?"Pertanyaan itu tepat sasaran. Dahlia tersenyum lembut, meletakkan pisau pengupasnya. Ia menatap Sutan dengan tatapan yang setara."Kenapa Sutan bertanya begitu?""Kata Mama, Tante tidak suka. Nanti uang Ayah habis," jawab Sutan polos.Dahlia menarik napas pelan. Inilah akarnya. "Sutan, dengarkan Tante baik-baik, ya. Uang Ayahmu itu adalah hasil kerja kerasnya. Dan sudah menjadi kewajiban Ayahmu untuk menafkahi anaknya. Tante tidak pernah marah soal itu, karena Sutan adalah anak Ayah, berarti anak Tante juga. Yang Tante inginkan hanya satu: Sutan tumbuh jadi anak yang pintar, sehat, dan jujur. Soal uang, itu urusan orang dewasa. Sutan tidak perlu memikirkannya, ya?"Penjelasan yang jernih dan penuh kasih sayang itu seolah mengangkat beban dari pundak kecil Sutan. Ia mengangguk mengerti, lalu tersenyum lega.Hari Minggu sore, saat Parlin dan Dahlia mengantarnya pulang, Sutan tampak berbeda. Ia lebih ceria dan percaya diri. Saat turun dari mobil, ia memeluk ayahnya, lalu beralih memeluk Dahlia lebih lama.Rohana keluar rumah dengan wajah masam. "Sudah puas mainnya?" tanyanya ketus.Sutan melepaskan pelukannya dari Dahlia, lalu menatap ibunya dengan mata jernih. "Mama, Sutan senang sekali. Tante Dahlia tidak jahat seperti kata Mama. Tadi malam Sutan diajari cara membuat kalimat yang bagus untuk PR Bahasa Indonesia, dan Tante Dahlia juga bilang, Mama itu hebat karena sudah merawat Sutan sendirian."Lidah Rohana kelu. Serangan balik itu datang dari mulut putranya sendiri, murni dan tanpa rekayasa. Ia tidak bisa membantah. Kata-kata Sutan adalah bukti telak bahwa fitnahnya bukan hanya gagal, tetapi juga menjadi bumerang yang menghantamnya telak.Parlin dan Dahlia hanya tersenyum tipis. Tanpa perlu berkata apa-apa lagi, mereka pamit dan masuk kembali ke dalam mobil, meninggalkan Rohana yang terpaku di depan pintu, kalah dalam permainannya sendiri.Bab 5Kekalahan Rohana akhir pekan itu membawanya pada keheningan yang aneh. Selama hampir dua minggu, tidak ada telepon iseng, tidak ada pesan berisi fitnah, tidak ada keluhan-keluhan kecil yang mengganggu. Parlindungan dan Dahlia menikmati kedamaian itu, namun di dalam hati mereka tetap waspada. Ketenangan dari seorang manipulator sering kali adalah pertanda badai yang lebih besar sedang mengumpulkan kekuatan.Dan badai itu datang pada suatu sore yang mendung.Parlin baru saja tiba di rumah, melepas lelah di teras setelah seharian mengurus pengiriman salak ke Pekanbaru. Dahlia keluar membawakan secangkir teh hangat, uapnya menari-nari di udara yang sejuk. Mereka sedang membicarakan rencana untuk memperbaiki pagar rumah ketika suara deru becak motor yang berhenti mendadak di depan gerbang mereka menarik perhatian.Dari dalam becak, Rohana turun dengan tergesa-gesa. Wajahnya basah oleh air mata yang tampak begitu nyata. Di belakangnya, Sutan turun dengan langkah ragu, matanya memancarkan ketakutan dan kebingungan. Yang paling membuat jantung Parlin mencelos adalah pemandangan berikutnya: Rohana menarik turun sebuah tas pakaian besar yang usang dan sebuah kardus berisi peralatan dapur seadanya."Bang Parlin! Tolong, Bang!" teriak Rohana dengan suara yang sengaja dikeraskan, cukup untuk membuat beberapa tetangga yang sedang menyapu halaman menoleh penasaran.Parlin dan Dahlia segera bangkit dan menghampiri gerbang."Ada apa ini, Rohana? Kenapa kau bawa barang-barang seperti ini?" tanya Parlin, berusaha menahan kepanikannya melihat wajah Sutan yang pucat."Kami diusir, Bang!" isak Rohana, sandiwaranya mencapai level tertinggi. "Pemilik kontrakan tiba-tiba datang tadi siang. Katanya rumahnya sudah laku terjual, kami harus kosongkan hari ini juga! Aku tidak tahu harus ke mana lagi, Bang! Aku tidak punya siapa-siapa lagi!"Ia menunjuk Sutan yang berdiri mematung. "Aku tidak apa-apa kalau harus tidur di emperan toko, Bang. Tapi anakmu... bagaimana nasib anakmu ini?"Kata-kata itu adalah panah beracun yang sengaja ditembakkan lurus ke jantung Parlin. Rasa tanggung jawabnya sebagai seorang ayah bergejolak. Ia menatap Sutan, lalu menatap tumpukan barang mereka yang menyedihkan di tepi jalan. Tatapan beberapa tetangga terasa seperti jarum, menusuk-nusuk harga dirinya. Dalam sepersekian detik, ketegasannya goyah. Ia memandang Dahlia, sorot matanya menyiratkan dilema yang luar biasa.Dahlia melihat keraguan di mata suaminya. Ia tahu, inilah momen paling krusial. Satu keputusan yang salah akan meruntuhkan semua yang telah mereka bangun.Tanpa menunggu persetujuan Parlin, Dahlia melangkah maju. Ia tidak menatap Rohana. Matanya tertuju lurus pada Sutan. Ia berjongkok, menyejajarkan dirinya dengan anak itu."Sutan, dengarkan Tante," ujarnya dengan suara yang begitu tenang dan lembut, seolah membelah kekacauan di sekeliling mereka. "Jangan takut. Tidak akan ada yang tidur di jalanan. Semuanya akan baik-baik saja. Sekarang, Sutan masuk dulu ke dalam rumah sama Tante, ya? Kita buat teh manis hangat."Dahlia mengulurkan tangannya. Sutan, yang sejak tadi tampak membeku, seolah menemukan pelabuhan yang aman. Ia menyambut uluran tangan itu dan berjalan masuk ke dalam rumah bersama Dahlia, meninggalkan Parlin dan Rohana di luar.Tindakan Dahlia yang mengambil alih kendali situasi membuat Parlin tersadar dari kebimbangannya. Ia kembali menjadi pria yang tegas.Di dalam, Dahlia mendudukkan Sutan di sofa dan menyelimutinya. "Tunggu sebentar ya, Tante buatkan teh dulu."Setelah memastikan Sutan tenang, ia kembali ke teras, di mana Parlin dan Rohana masih berdiri dalam keheningan yang tegang. Kini, Dahlia menatap Rohana langsung, tatapannya tajam namun tidak menghakimi."Rohana," katanya dengan suara yang jelas. "Kami tidak akan membiarkan kau dan Sutan terlantar. Itu janji kami. Tapi, jabu ini adalah simbol pernikahan kami. Ada batas yang tidak bisa kau lewati. Kau tidak akan tinggal di sini."Rohana baru saja akan membuka mulut untuk memprotes, mungkin dengan isak tangis yang lebih keras, namun Dahlia tidak memberinya kesempatan. Ia beralih pada suaminya."Bang, sekarang juga telepon Parto," perintahnya, nadanya penuh keyakinan. Parto adalah sepupu Parlin yang memiliki penginapan kecil di pusat kota. "Minta siapkan satu kamar untuk Rohana dan Sutan. Bilang padanya, semua biaya kita yang tanggung selama seminggu penuh. Suruh juga dia jemput mereka sekarang pakai mobilnya."Ia kembali menatap Rohana. "Malam ini, kalian istirahat di sana. Besok pagi, kita bertiga akan berkeliling mencari rumah kontrakan yang baru dan lebih layak untuk kalian. Uang mukanya, biar kami yang bayar."Solusi itu begitu cepat, logis, dan tak terbantahkan. Dahlia tidak hanya menolak, ia memberikan jalan keluar yang jauh lebih baik. Ia menunjukkan kekuatan bukan dengan mengusir, melainkan dengan menetapkan batas sambil tetap menunjukkan kepedulian.Rahang Rohana mengeras. Wajahnya yang tadi penuh derai air mata kini menunjukkan kekecewaan yang tak bisa disembunyikan. Rencananya untuk menyusup ke dalam benteng pernikahan itu gagal total. Ia tidak bisa menolak tawaran itu tanpa terlihat sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih.Parlin menatap istrinya dengan rasa cinta dan kekaguman yang meluap-luap. Di saat ia hampir tumbang, Dahlia berdiri tegak menjadi perisainya. Tanpa banyak kata, ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Parto.Setengah jam kemudian, mobil Parto tiba. Dengan bantuan Parlin, barang-barang Rohana dan Sutan dinaikkan. Sebelum masuk ke mobil, Sutan berlari memeluk Dahlia. "Terima kasih, Tante," bisiknya.Saat mobil itu menjauh, Parlin dan Dahlia masih berdiri di teras rumah mereka. Badai baru saja berlalu, dan rumah mereka tetap berdiri kokoh. Parlin merangkul bahu istrinya, menariknya lebih dekat."Terima kasih, Dek," bisiknya, suaranya sarat dengan emosi. "Kau tidak hanya menyelamatkan hari ini. Kau menyelamatkan rumah tangga kita."Dahlia menyandarkan kepalanya di dada suaminya, merasakan detak jantungnya yang kini kembali tenang. "Ini rumah kita, Bang," jawabnya. "Dan kita akan menjaganya, bersama-sama."
Bab 6Keesokan paginya, udara Padang Sidempuan terasa lebih segar dari biasanya. Parlindungan dan Dahlia bangun dengan perasaan lega yang langka. Badai telah mereka lewati, dan pondasi rumah tangga mereka terbukti lebih kokoh dari yang mereka duga. Namun, keduanya tahu bahwa menambal atap yang bocor tidak sama dengan membangun atap yang baru.Sesuai janji, setelah sarapan, Parlin menjemput Rohana dan Sutan dari penginapan Parto. Wajah Rohana masih menyimpan sisa-sisa kekesalan, namun ia tak punya pilihan selain mengikuti alur yang telah ditentukan oleh Parlin dan Dahlia. Sutan, sebaliknya, tampak lebih tenang, seolah ia mengerti bahwa orang-orang dewasa di sekitarnya sedang berusaha memperbaiki keadaan.Mereka mulai berkeliling kota mencari rumah kontrakan. Parlin mengemudikan mobilnya, sementara Dahlia duduk di sampingnya, memegang secarik kertas berisi daftar alamat yang ia cari semalam di internet. Rohana dan Sutan duduk di kursi belakang dalam diam.Setiap kali mereka tiba di sebuah rumah, Rohana selalu menemukan celah untuk mengeluh."Terlalu sempit, Bang. Nanti Sutan mainnya di mana?" keluhnya di rumah pertama yang bersih dan berada di lingkungan yang baik."Jauh sekali dari sekolah Sutan. Kasihan nanti dia kecapekan," katanya di lokasi kedua yang sebenarnya hanya berbeda sepuluh menit dari sekolah."Airnya di sini sepertinya kurang bagus. Lihat, kerannya saja sudah berkarat," komentarnya lagi di rumah ketiga.Dahlia tetap tenang. Ia tidak membantah, hanya mencatat dalam hati setiap keluhan itu sebagai upaya terakhir Rohana untuk menggagalkan solusi mereka. Parlin, yang kini telah belajar membaca taktik mantan istrinya, hanya menjawab dengan singkat, "Kita lihat dulu yang berikutnya."Akhirnya, mereka tiba di sebuah rumah kecil di kompleks perumahan yang asri. Halamannya tidak luas, tetapi ada taman bermain umum tepat di seberang jalan. Rumah itu memiliki dua kamar tidur dan dapur yang cukup layak."Ini yang terbaik dari semua pilihan kita, Rohana," kata Dahlia dengan nada final. "Lingkungannya bagus untuk Sutan. Dekat dengan masjid dan sekolahnya juga tidak terlalu jauh. Kita ambil yang ini."Rohana hendak protes lagi, tetapi tatapan tegas dari Parlin membuatnya bungkam. "Kami akan bayar uang sewa untuk enam bulan ke depan. Kau hanya perlu mengurus sisanya," kata Parlin.Setelah menandatangani surat perjanjian sewa dan menyerahkan uangnya kepada pemilik rumah, mereka tidak langsung pergi. Parlin meminta Sutan untuk bermain di teras sebentar, sementara tiga orang dewasa itu perlu bicara.Mereka duduk di ruang tamu yang masih kosong. Inilah momen yang telah disiapkan Parlin dan Dahlia."Rohana," Parlin memulai, suaranya tenang namun mengandung bobot yang tak terbantahkan. "Mulai hari ini, kita memulai aturan baru. Semua ini kami lakukan bukan untuk menghukummu, tapi untuk melindungi Sutan dari kebingungan."Dahlia mengeluarkan sebuah buku catatan dan pulpen dari tasnya. "Pertama, soal nafkah," lanjut Dahlia. "Setiap awal bulan, Abang Parlin akan mentransfer sejumlah uang yang sudah kita sepakati ke rekeningmu. Jumlahnya lebih dari cukup untuk kebutuhanmu dan Sutan. Tidak akan ada lagi permintaan uang mendadak dengan alasan apapun, kecuali jika Sutan sakit parah dan butuh biaya rumah sakit, yang tentunya harus disertai bukti."Parlin mengangguk. "Kedua, jadwal bertemu Sutan. Aku akan menjemputnya setiap hari Jumat sore dan mengantarnya kembali hari Minggu sore. Jika ada acara sekolah atau kegiatan lain di luar jadwal itu, kau harus memberitahu kami setidaknya dua hari sebelumnya. Komunikasi harus jelas."Rohana menatap mereka dengan sinis. "Jadi sekarang semuanya harus pakai aturan?""Iya," jawab Dahlia tegas. "Karena cara-cara tanpa aturan selama ini telah kau manfaatkan untuk menciptakan masalah. Ketiga, dan ini yang paling penting, semua komunikasi antara kita hanya menyangkut Sutan. Tidak ada lagi telepon malam-malam, tidak ada lagi drama pribadi. Jika ada yang ingin kau sampaikan, kirim pesan singkat. Jika mendesak, telepon di jam wajar."Parlin menarik napas dalam-dalam. "Dan soal fitnah seperti yang kau kirimkan tempo hari," katanya, menatap lurus ke mata Rohana, "jika itu terjadi lagi, Rohana, maka aku tidak akan segan-segan membawa masalah ini ke jalur yang lebih serius, dengan melibatkan keluarga besar kita. Kau tahu maksudku."Penyebutan "keluarga besar" adalah sebuah peringatan keras dalam adat. Artinya, masalah itu akan dibawa ke hadapan para tetua, di mana aib akan terbuka dan sanksi adat bisa dijatuhkan.Rohana menunduk. Ia tahu ia telah kalah di semua lini. Tembok yang dibangun oleh Parlin dan Dahlia terlalu kokoh untuk ditembus. Di hadapannya bukan lagi Parlin yang mudah goyah, melainkan seorang suami yang berdiri tegak di samping istrinya."Semua aturan ini akan kita tulis di atas kertas," tambah Dahlia. "Bukan untuk mempermalukanmu, tapi sebagai pengingat untuk kita semua, agar kita selalu menempatkan kepentingan Sutan di atas ego kita masing-masing. Besok, kami akan datang lagi membawa surat perjanjian itu."Setelah mengatakan itu, Parlin dan Dahlia bangkit. Mereka memanggil Sutan, memeluknya, dan berpamitan.Saat mobil mereka menjauh dari rumah kontrakan yang baru itu, Parlin meraih tangan Dahlia dan menggenggamnya erat. Beban yang selama ini menghimpit dadanya terasa terangkat sepenuhnya."Kau luar biasa, Dek," katanya.Dahlia tersenyum, matanya memandang lurus ke jalan di depan mereka. "Kita, Bang," koreksinya. "Kita luar biasa. Karena kita menjalaninya bersama-sama."Jalan di depan mereka kini terasa lebih terang, bebas dari bayang-bayang masa lalu yang keruh. Mereka tahu, babak baru dalam kehidupan keluarga mereka baru saja dimulai.
Bab 7Dua tahun berlalu dalam irama kehidupan yang tenang dan teratur. Pohon-pohon salak di kebun Parlindungan terus berbuah lebat, dan bisnisnya berkembang hingga ke pasar-pasar di luar provinsi. Namun, buah termanis dari kerja kerasnya bukanlah yang tergantung di pohon, melainkan yang tumbuh di dalam rumahnya.Sore itu, halaman rumah Parlin dan Dahlia dipenuhi tawa riang anak-anak. Puluhan balon berwarna-warni terikat di pagar dan tiang teras. Sebuah spanduk sederhana bertuliskan "Selamat Ulang Tahun ke-10, Sutan!" tergantung di atas pintu. Ini bukan sekadar pesta, ini adalah perayaan atas kedamaian yang telah mereka perjuangkan.Sutan, yang kini lebih tinggi dan percaya diri, berlari ke sana kemari bersama teman-temannya, wajahnya berseri-seri. Parlin berdiri di dekat panggangan sate, asap harum mengepul di sekelilingnya, sementara Dahlia, dengan perut yang membuncit indah—tanda kehidupan baru yang mereka nantikan—sibuk membagikan kue dan minuman. Keduanya bergerak selaras, saling melempar senyum dan isyarat kecil, sebuah tim yang solid dan tak terpisahkan.Di tengah kemeriahan, sebuah sepeda motor berhenti di depan gerbang. Rohana turun, mengenakan pakaian yang rapi. Ia tidak lagi membawa aura kekacauan. Wajahnya tampak lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan jejak masa lalu yang rumit. Ia datang bukan untuk membuat masalah, melainkan untuk menjemput Sutan sesuai jadwal.Dahlia menghampirinya di gerbang dengan senyum yang sopan. "Masuk dulu, Rohana. Minum teh sebentar."Rohana menggeleng pelan. "Tidak usah, Dahlia. Terima kasih. Aku tunggu di sini saja."Interaksi mereka singkat, formal, dan tanpa emosi yang berlebihan. Batas yang mereka bangun dua tahun lalu kini menjadi pagar yang kokoh dan dihormati oleh kedua belah pihak.Sutan, melihat ibunya datang, berlari menghampiri. Ia memeluk Rohana, lalu berbalik dan memeluk Dahlia dan Parlin secara bergantian."Ayah, Tante, terima kasih pestanya," kata Sutan tulus. "Ini hari ulang tahun terbaik Sutan.""Sama-sama, jagoan," balas Parlin sambil mengusap kepala putranya.Sutan lalu berpamitan pada teman-temannya dan pergi bersama Rohana. Tidak ada lagi drama, tidak ada lagi air mata yang dipaksakan. Hanya ada rutinitas pengasuhan bersama yang berjalan sebagaimana mestinya. Dari kejauhan, Rohana bisa melihat kebahagiaan yang tak terbantahkan di keluarga itu—sebuah kebahagiaan yang pernah ia coba hancurkan, namun kini harus ia akui sebagai kenyataan yang tak bisa ia ubah.Ketika senja mulai turun dan para tamu telah pulang, Parlin dan Dahlia duduk berdua di teras yang kini sepi. Aroma sisa arang sate dan manisnya kue masih tertinggal di udara. Parlin meraih tangan istrinya, mengelusnya dengan lembut."Siapa sangka kita bisa sampai di titik ini, Dek," bisik Parlin, matanya menatap cakrawala yang mulai memerah.Dahlia menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. "Kita bisa karena kita percaya satu sama lain, Bang. Kita tidak membiarkan badai dari luar merobohkan tiang di dalam rumah kita sendiri."Parlin tersenyum. Ia meletakkan tangannya yang lain di atas perut buncit Dahlia, merasakan gerakan lembut dari dalam. "Ini buktinya," katanya penuh syukur. "Setelah semua badai, Tuhan memberikan kita pelangi."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, memandangi matahari terbenam di balik perbukitan Padang Sidempuan. Rumah mereka kini bukan lagi sekadar bangunan, melainkan sebuah benteng yang dibangun dari komunikasi, kepercayaan, dan cinta yang telah teruji. Horja yang sesungguhnya—pesta kehidupan untuk jiwa mereka—telah mereka menangkan, bersama-sama. Dan jalan di depan mereka, kini terbentang terang dan penuh harapan.
PENUTUPDua tahun berlalu, mengalir seperti air di Sungai Batang Gadis—tenang di permukaan, namun membawa kehidupan yang subur. Kebun salak Parlindungan kini mengirim buahnya hingga ke Singapura, namun kesuksesan terbesar baginya bukanlah angka di rekening bank, melainkan harmoni yang tercipta di dalam dinding rumahnya.Sore itu, halaman rumah mereka adalah sebuah lukisan kebahagiaan. Puluhan balon berwarna-warni menari ditiup angin sepoi-sepoi, terikat di pagar dan tiang teras. Spanduk sederhana bertuliskan "Selamat Ulang Tahun ke-10, Sutan!" menjadi saksi bisu atas kedamaian yang telah mereka perjuangkan dengan air mata dan keteguhan hati.Sutan, di usianya yang baru, tampak lebih tinggi dan penuh percaya diri. Ia tertawa lepas, berlari ke sana kemari bersama teman-temannya, wajahnya berseri-seri. Di sudut halaman, Parlin berdiri di dekat panggangan sate, asap harum mengepul di sekelilingnya. Matanya tak pernah jauh dari Dahlia, yang dengan perut membuncit indah—tanda kehidupan baru yang mereka nantikan—sibuk membagikan kue. Keduanya bergerak selaras, sebuah tim yang solid dan tak terpisahkan."Tante, kuenya enak sekali!" puji Sutan sambil menghampiri Dahlia, mulutnya penuh dengan cokelat.Dahlia tertawa kecil, membersihkan sudut bibir Sutan dengan ibu jarinya. "Makan pelan-pelan, jagoan. Nanti Tante bungkuskan untuk dibawa pulang, ya." Kelembutan dalam interaksi mereka tulus dan nyata, lahir dari rasa hormat dan kasih sayang yang tulus.Di tengah kemeriahan, deru sepeda motor berhenti di depan gerbang. Rohana turun, mengenakan gamis sederhana yang rapi. Wajahnya tampak lebih tenang, meski sorot matanya masih menyimpan jejak masa lalu yang rumit. Ia datang bukan sebagai pengacau, melainkan sebagai seorang ibu yang menjemput anaknya sesuai jadwal.Dahlia menghampirinya di gerbang dengan senyum yang tulus. "Masuk dulu, Rohana. Minum teh sebentar."Rohana menggeleng pelan, matanya sempat melirik ke arah perut buncit Dahlia sebelum menatap lurus. "Tidak usah, Dahlia. Terima kasih. Aku tunggu di sini saja." Dalam hatinya, ada segelintir penyesalan. Ia melihat kebahagiaan yang pernah ia coba hancurkan, dan kini mengerti bahwa kebahagiaan itu dibangun di atas sesuatu yang tak pernah ia miliki bersama Parlin: kepercayaan.Sutan, melihat ibunya datang, berlari menghampiri. Ia memeluk Rohana, lalu berbalik dan memeluk Dahlia dan Parlin secara bergantian."Ayah, Tante, terima kasih pestanya," kata Sutan tulus. "Ini hari ulang tahun terbaik Sutan.""Sama-sama, jagoan," balas Parlin sambil mengusap kepala putranya.Saat Sutan pergi bersama Rohana, Parlin memperhatikan punggung mereka yang menjauh. Ia teringat hari di mana Rohana berdiri di gerbang yang sama dengan koper dan air mata palsu. Hari di mana ia hampir goyah. Ia lalu menatap Dahlia di sampingnya, yang berdiri tegak dengan ketenangan yang sama seperti hari itu.Ketika senja mulai turun dan para tamu telah pulang, mereka duduk berdua di teras yang kini sepi. Aroma sisa arang sate dan manisnya kue masih tertinggal di udara. Parlin meraih tangan istrinya, menggenggamnya erat."Melihatmu berbicara dengan Rohana tadi... begitu tenang," bisik Parlin, matanya menatap cakrawala yang mulai memerah. "Aku teringat hari itu, Dek. Hari saat dia datang membawa semua barangnya. Aku hampir saja membuat keputusan yang salah. Kalau bukan karena kau..."Dahlia menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. "Kita berdua yang menghadapinya, Bang. Kita belajar bahwa rumah kita ini harus punya gerbang yang kokoh, dengan aturan yang jelas. Gerbang yang kita jaga bersama."Parlin tersenyum. Ia meletakkan tangannya yang lain di atas perut buncit Dahlia, merasakan tendangan lembut dari dalam. "Dan sebentar lagi, rumah ini akan semakin ramai," katanya penuh syukur. "Setelah semua badai, Tuhan memberikan kita pelangi.""Anak kita akan lahir di rumah yang damai, Bang," tambah Dahlia. "Itulah hadiah terbesar yang bisa kita berikan untuknya."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, memandangi matahari terbenam di balik perbukitan Padang Sidempuan. Rumah mereka kini bukan lagi sekadar bangunan dari batu dan semen, melainkan sebuah benteng yang dibangun dari komunikasi, kepercayaan, dan cinta yang telah teruji oleh waktu. Horja yang sesungguhnya—pesta kehidupan untuk jiwa mereka—telah mereka menangkan. Dan jalan di depan mereka, kini terbentang terang dan penuh harapan, siap mereka jelajahi bersama-sama.

