Bab 14: Teman yang Kembali
Beberapa minggu berlalu dengan cepat. Proyek Rio berjalan lancar, dan ia mulai mendapatkan lebih banyak pekerjaan dari klien lain yang mendengar tentang profesionalismenya. Ia tidak lagi bekerja dengan terburu-buru, tetapi dengan penuh perencanaan, dan ia selalu memastikan ada waktu untuk dirinya sendiri, dan yang paling penting, untuk menjenguk ibunya. Kondisi ibunya terus membaik, dan dokter mengisyaratkan bahwa ibunya akan segera diperbolehkan pulang.
Pagi itu, saat Rio sedang makan siang di sebuah restoran dekat kantornya, ponselnya bergetar dengan panggilan tak dikenal. Rio, yang kini lebih selektif dalam mengangkat telepon, hampir mengabaikannya. Namun, entah kenapa, ia merasa harus mengangkatnya.
"Halo?" sapa Rio.
"Halo, Yo! Ini gue, Adrian!" suara riang itu terdengar di ujung sana. "Gila, lo susah banget dihubungi! Gue kirim pesan nggak dibalas, telepon juga nggak diangkat."
Jantung Rio berdebar. Ia sudah lama tidak mendengar kabar dari Adrian. Janji-janji Adrian yang tidak pernah ditepati, utang yang tidak pernah dibayar, semua ingatan itu kembali.
"Ada apa, Yan?" tanya Rio, nadanya datar.
"Gue mau ketemu, dong! Gue di dekat kantor lo nih. Kita makan siang bareng, ya? Udah lama banget nggak ketemu," ajak Adrian, suaranya terdengar antusias.
Rio tersenyum miris. "Lo mau ketemu gue, atau lo mau ambil uang?" pikirnya dalam hati. Ia tahu pola ini. Adrian tidak pernah menghubunginya jika tidak ada maunya.
"Maaf, Yan, gue lagi sibuk. Lain kali aja, ya," jawab Rio.
"Yah, jangan gitu dong, Yo. Ini penting banget. Gue mau balikin uang lo," kata Adrian.
Kata-kata itu membuat Rio terkejut. Adrian akan membayar utangnya? Setelah berbulan-bulan, setelah Rio hampir kehilangan ibunya, Adrian akhirnya akan membayar?
"Uang yang mana?" tanya Rio, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
"Uang yang lima juta, Yo! Dulu waktu ibu lo sakit. Maaf banget gue telat, kemarin gue ada masalah sama proyek. Tapi sekarang udah aman. Gue mau balikin, sekalian traktir lo makan enak."
Rio terdiam. Ia bisa mendengar suara Adrian yang terdengar tulus, atau setidaknya, berusaha tulus. Tetapi ada sesuatu yang tidak pas. Jika Adrian benar-benar ingin membayar utangnya, ia bisa saja mentransfernya. Mengapa ia harus mengajaknya bertemu?
"Transfer aja, Yan," jawab Rio.
"Duh, nggak enak dong, Yo. Pokoknya kita harus ketemu. Lo kan sahabat terbaik gue. Nggak cuma urusan uang," kata Adrian.
Rio akhirnya setuju, bukan karena ia percaya pada Adrian, tetapi karena ia ingin melihat Adrian dengan mata kepalanya sendiri. Ia ingin melihat bagaimana Adrian akan bertindak setelah apa yang ia lakukan. Rio merasa penasaran.
Mereka bertemu di sebuah kafe. Adrian terlihat berbeda. Ia mengenakan pakaian yang lebih rapi, dan wajahnya terlihat lebih ceria. "Yo! Gila! Lo kurusan, ya?" sapa Adrian, mencoba bersikap akrab.
Rio hanya mengangguk. Mereka duduk, dan Adrian langsung mengambil amplop dari tasnya. Ia menyerahkannya kepada Rio. Rio membukanya. Di dalamnya ada uang tunai. Lima juta rupiah. Rio mengambil uang itu, menaruhnya di saku jaketnya, dan menatap Adrian.
"Makasih, Yan," kata Rio, nadanya datar.
Adrian tersenyum. "Sama-sama, Yo! Eh, ngomong-ngomong, gue ada satu proyek lagi nih. Butuh uang jaminan lagi. Tapi kali ini cuma tiga juta. Nanti gue ganti pas proyek cair, deh."
Kata-kata itu bagai tamparan keras bagi Rio. Jadi, ini dia. Adrian tidak datang untuk membayar utangnya. Ia datang untuk "memutar" utang. Ia membayar utang lama hanya untuk meminjam uang baru. Rio melihatnya, dan ia melihat pola yang tidak pernah putus. Adrian tidak melihatnya sebagai seorang teman. Ia melihatnya sebagai bank berjalan.
Rio menggeleng. "Maaf, Yan. Gue nggak bisa."
"Lho, kenapa? Kan gue baru balikin utang lo. Lo nggak percaya sama gue?" tanya Adrian, terlihat terkejut.
"Bukan soal percaya," jawab Rio dengan tenang. "Ini soal batasan. Gue nggak bisa lagi jadi ATM berjalan lo."
Wajah Adrian berubah. Ia tidak lagi ramah. "Lo kenapa sih? Gara-gara lo udah sukses, lo jadi sombong?"
Rio bangkit dari kursinya. Ia menatap Adrian dengan dingin. "Gue tidak sukses gara-gara lo, Yan. Gue sukses karena gue belajar dari kesalahan gue. Dan kesalahan terbesar gue adalah membiarkan orang-orang seperti lo memanfaatkanku."
Rio berbalik dan meninggalkan Adrian sendirian. Ia merasa kuat. Ia tidak lagi marah. Ia merasa bebas. Adrian tidak bisa lagi menyentuhnya. Ia sudah menetapkan batas, dan ia tidak akan lagi melanggarnya.
