Bab 15: Perpisahan yang Menenangkan
Sejak insiden dengan Adrian, Rio tidak lagi merasa tertekan setiap kali ponselnya berdering. Ia sudah menetapkan batasan yang jelas, dan ia tahu, siapapun yang menghubunginya sekarang harus melewati batas itu. Dan ternyata, mereka mencoba.
Dua hari setelah pertemuan dengan Adrian, Rio menerima panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Ia mengangkatnya. "Halo?"
"Rio, ini Sarah!" Suara Sarah terdengar seperti biasanya, ceria dan penuh energi. "Gue denger-denger lo ketemu Adrian. Kenapa, sih? Dia bilang lo aneh banget."
Rio tersenyum. "Gue nggak aneh, Sar. Gue cuma nggak mau lagi jadi tempat sampah emosional. Kita nggak bisa terus-terusan jadi penampung masalah orang lain."
Hening sejenak di ujung sana. "Maksud lo apa? Gue cuma mau curhat sama lo, Rio. Lo kan emang paling bisa ngertiin gue."
"Iya, dulu," jawab Rio. "Dulu lo butuh gue, tapi sekarang gue butuh diri gue sendiri. Maaf, Sar. Gue nggak bisa lagi jadi tempat curhat lo." Rio tidak lagi merasa bersalah. Ia merasa kuat. Ia menutup telepon, dan ia tidak merasa ada gejolak di hatinya.
Beberapa hari kemudian, ia mendapat pesan dari Damar. Yo, lo sukses, ya? Gue denger dari Adrian lo nolak tawaran dia. Sombong banget sekarang.
Rio hanya membaca pesan itu. Ia tidak membalas. Ia tahu, Damar tidak peduli dengan kesuksesannya. Damar hanya melihatnya sebagai orang yang bisa dimanfaatkan. Dan Rio tidak akan lagi membiarkan itu terjadi. Ia menghapus pesan itu, dan ia merasa damai.
Di tengah kesibukan proyek, Rio mulai menemukan dirinya yang baru. Ia tidak lagi hidup untuk orang lain. Ia hidup untuk dirinya, untuk keluarganya, dan untuk masa depannya. Ia membangun batasan-batasan baru, yang mungkin terlihat seperti tembok bagi orang lain, tetapi bagi Rio, itu adalah fondasi sebuah rumah yang kokoh. Rumah yang ia bangun untuk dirinya sendiri.
Puncaknya terjadi seminggu kemudian. Ibu Rio akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Ayahnya tersenyum, matanya berkaca-kaca. Rio merasa bangga. Ia berhasil. Ia berhasil menyelamatkan ibunya, tidak dengan bantuan teman-temannya, tetapi dengan kerja kerasnya sendiri.
Malam itu, Rio berada di balkon apartemennya. Ponselnya berdering. Nama Luna muncul di layar. Rio tersenyum, dan ia mengangkatnya.
"Gimana, Rio? Ibu kamu sudah pulang?" tanya Luna, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang tulus.
"Sudah, Luna," jawab Rio. "Semua berkat kamu. Kamu menginspirasiku untuk tidak menyerah."
"Kamu yang melakukannya, Rio," jawab Luna. "Aku hanya memberimu dorongan."
Rio tersenyum. Ia menatap langit malam yang penuh bintang. Ia tidak lagi marah pada Adrian, Sarah, Damar, atau Kevin. Mereka adalah bagian dari masa lalu, bagian dari pelajaran yang harus ia pelajari. Mereka adalah badai yang mengajarinya bagaimana cara berlayar.
Rio menyadari, ia tidak kehilangan teman. Ia hanya membersihkan lingkaran pertemanannya. Dan kini, ia memiliki satu teman, satu persahabatan sejati, yang ia bangun dari nol. Sebuah persahabatan yang tidak didasarkan pada uang, emosi, ide, atau koneksi. Sebuah persahabatan yang didasarkan pada kejujuran, rasa hormat, dan dukungan yang tulus. Rio tahu, perjalanan hidupnya masih panjang. Tetapi ia tidak lagi takut. Karena kini, ia memiliki kompas yang baru, dan ia siap menghadapi badai apa pun, karena ia tahu, ia tidak akan sendirian.
