Bab 16: Jejak yang Ditinggalkan
Dua bulan berlalu dengan cepat. Ibu Rio kini pulih sepenuhnya. Rio tidak lagi harus khawatir tentang biaya rumah sakit, dan ia bisa fokus sepenuhnya pada kariernya. Proyek-proyeknya semakin menantang, dan reputasinya sebagai desainer yang andal dan profesional semakin dikenal. Ia tidak lagi bekerja untuk orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri.
Suatu sore, saat Rio sedang berada di kantornya, ia menerima telepon dari sebuah nomor yang tidak ia kenal. Ia mengangkatnya, dan suara yang familiar terdengar di ujung sana. "Halo? Ini saya, Rio. Saya dari perusahaan Bintang Teknologi."
Rio terdiam. Ia ingat nama perusahaan itu. Perusahaan tempat Damar bekerja. Perusahaan yang memuji Damar habis-habisan atas ide yang dicuri dari Rio.
"Ya, ini saya," jawab Rio, suaranya mantap. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Kami mendapatkan portofolio Anda dari beberapa teman kami di industri. Kami sangat terkesan dengan pekerjaan Anda," kata si penelepon. "Dan kami ingin mengundang Anda untuk wawancara. Kami sedang mencari desainer utama untuk sebuah proyek baru. Dan kami dengar, Anda adalah orang yang tepat."
Rio terkejut. Ia tidak pernah mengirimkan portofolionya ke perusahaan itu. Lalu, bagaimana mereka bisa mendapatkannya?
"Boleh saya tahu siapa yang merekomendasikan saya?" tanya Rio.
"Seorang kolega kami, Pak Damar," jawab si penelepon. "Dia bilang, Anda adalah desainer yang brilian. Dia sangat memuji ide-ide Anda."
Jantung Rio berdebar. Damar? Kenapa Damar merekomendasikan dirinya? Setelah apa yang ia lakukan, setelah mencuri idenya, Damar merekomendasikannya? Ada sesuatu yang tidak masuk akal. Rio tahu, ada udang di balik batu.
Rio menolak tawaran itu. "Terima kasih banyak atas tawarannya," kata Rio dengan sopan. "Tapi saya tidak tertarik. Maaf, saya harus menolak."
"Oh, kenapa?" tanya si penelepon, terdengar kecewa. "Ini adalah proyek besar. Kami akan membayar Anda dengan sangat baik."
"Bukan soal uang," jawab Rio. "Saya tidak bisa bekerja dengan orang yang tidak jujur."
Penelepon itu terdiam. "Maksud Anda?"
Rio menghela napas. "Saya tahu ide yang Damar presentasikan kepada Anda. Ide itu bukan miliknya. Itu ide saya. Dan saya tidak bisa bekerja dengan orang yang mencuri ide orang lain dan menjualnya sebagai miliknya sendiri."
"Maaf," kata si penepon. "Kami tidak tahu."
"Tidak apa-apa," jawab Rio. "Tapi saya tidak akan mengambil pekerjaan ini."
Rio menutup teleponnya, dan ia menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia tidak lagi merasa sedih. Ia tidak lagi merasa marah. Ia merasa kuat. Ia telah berani menghadapi masa lalunya, dan ia berhasil. Ia tidak lagi lari dari kebenaran. Ia menghadapinya, dan ia menang.
Beberapa hari kemudian, Rio mendapat pesan dari Damar. Yo! Kenapa lo nggak ambil tawaran di kantor gue? Itu kan kesempatan emas!
Rio hanya membaca pesan itu. Ia tidak membalas. Ia tahu, Damar tidak peduli dengannya. Damar hanya melihatnya sebagai sebuah alat, sebuah sumber daya yang bisa ia gunakan. Dan Rio tidak akan lagi membiarkan itu terjadi. Ia menghapus pesan itu, dan ia merasa damai.
Rio menyadari, ia tidak kehilangan teman. Ia hanya membersihkan lingkaran pertemanannya. Dan kini, ia memiliki satu teman, satu persahabatan sejati, yang ia bangun dari nol. Sebuah persahabatan yang tidak didasarkan pada uang, emosi, ide, atau koneksi. Sebuah persahabatan yang didasarkan pada kejujuran, rasa hormat, dan dukungan yang tulus. Rio tahu, perjalanan hidupnya masih panjang. Tetapi ia tidak lagi takut. Karena kini, ia memiliki kompas yang baru, dan ia siap menghadapi badai apa pun, karena ia tahu, ia tidak akan sendirian.
