Bab 19: Epilog
Satu tahun berlalu sejak Rio berdiri di depan televisi, melihat iklannya tayang. Hidupnya kini terasa lebih tenang, lebih teratur, dan yang paling penting, lebih bahagia. Ia telah berhasil mendirikan agensinya sendiri, sebuah butik kreatif kecil yang berfokus pada kualitas dan kolaborasi. Kliennya datang bukan karena koneksi atau utang, melainkan karena reputasinya yang dibangun dari kerja keras dan kejujuran.
Ibu Rio telah pulih sepenuhnya, dan kesehatan ayahnya juga membaik. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan, menanam bunga di halaman belakang atau hanya duduk santai sambil minum teh. Dalam momen-momen itu, Rio menyadari bahwa ia tidak membutuhkan uang atau pengakuan dari dunia luar untuk merasa puas. Ia hanya membutuhkan kebahagiaan dan kesehatan orang-orang yang ia cintai.
Hubungannya dengan Luna semakin kuat. Mereka tidak lagi hanya berteman; mereka adalah mitra. Luna akhirnya menerbitkan novelnya, dan sampulnya adalah karya Rio. Novel itu sukses, dan kolaborasi mereka berlanjut. Mereka bekerja sama dalam banyak proyek, dan di tengah-tengah kesibukan, mereka selalu meluangkan waktu untuk saling berbagi cerita, ide, dan mimpi. Mereka adalah fondasi dari sebuah persahabatan sejati, yang dibangun di atas dasar yang kokoh: rasa hormat dan saling percaya.
Rio kadang-kadang mendengar kabar tentang teman-teman lamanya. Ia melihat di media sosial bahwa Damar dikeluarkan dari perusahaannya karena dituduh melakukan plagiarisme. Adrian masih sering meminjam uang dari teman-teman lain, tetapi ia tidak pernah berhasil dalam proyek-proyeknya. Dan Sarah, ia masih sering mengunggah status galau tentang hubungannya yang kandas.
Rio tidak merasa senang atau sedih mendengar kabar itu. Ia hanya merasa damai. Ia menyadari, ia tidak lebih baik dari mereka, dan mereka tidak lebih buruk dari dirinya. Mereka hanya memilih jalan yang berbeda. Rio memilih jalan yang sulit, jalan yang penuh dengan pengorbanan dan pengkhianatan, tetapi jalan itu mengajarkannya pelajaran yang paling berharga dalam hidupnya.
Suatu sore, saat Rio sedang duduk di balkon apartemennya, menikmati senja, ponselnya berdering. Itu adalah panggilan dari nomor yang tidak ia kenal. Ia mengangkatnya.
"Halo?"
"Rio, ini aku... Kevin," suara itu terdengar pelan dan ragu-ragu. "Aku tahu ini gila, tapi... aku lagi butuh bantuan banget. Bisa kita ngobrol?"
Rio terdiam sejenak. Ia teringat kembali ke masa lalu, bagaimana ia dimanfaatkan, dicuri, dan ditinggalkan. Tapi ia tidak lagi marah. Ia sudah memaafkan. Ia hanya tidak lagi ingin terlibat.
"Maaf, Kev," jawab Rio dengan tenang. "Aku tidak bisa."
Ia menutup teleponnya, dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa bersalah. Ia tidak berutang apa pun kepada siapa pun. Ia hanya berutang kepada dirinya sendiri, untuk hidup dengan jujur, untuk mencintai dengan tulus, dan untuk tidak pernah lagi mengorbankan diri sendiri demi orang lain.
Rio menatap matahari terbenam. Sebuah babak dalam hidupnya telah berakhir, tetapi sebuah buku baru telah dimulai. Dan kali ini, ia adalah penulisnya.
