Bab 1
Indah gemulai tubuh wanita itu membuat mata Pak Karta terpana. Ia duduk di kursi kayu butut, menghirup aroma kopi yang masih hangat, sambil melihat Mbak Siti membersihkan meja warung. Aroma kopi dan aroma cengkih dari kebun yang terbawa angin seakan menjadi perpaduan yang pas di desa Makmur. Pandangan Pak Karta tak sengaja bertemu dengan mata Mbak Siti yang tersenyum. Senyum itu seolah memberinya ketenangan yang tak ditemukan di tempat lain.Lamunannya tentang senyum Mbak Siti buyar oleh suara ketukan pintu yang terburu-buru. Suara itu begitu keras hingga memecah keheningan malam dan deru hujan yang rintik-rintik. Pak Karta mengerutkan dahi, tidak biasanya ada tamu di tengah malam seperti ini. Apalagi, hujan cukup lebat dan dingin.Ketika ia membuka pintu, di hadapannya berdiri Pak Raden, Kepala Desa Makmur. Wajahnya terlihat pucat pasi, rambutnya basah kuyup, dan napasnya tersengal-sengal. Ia tampak seperti habis lari maraton."Ada apa, Pak Raden?" tanya Pak Karta, berusaha tenang."Pak Karta, gudang... gudang cengkih saya... dibongkar lagi!" ucap Pak Raden, suaranya bergetar.Pak Karta mempersilakan Pak Raden masuk, menyuruhnya duduk, dan memberinya segelas air hangat. Setelah napas Pak Raden teratur, ia mulai bercerita. "Ini sudah yang ketiga kalinya dalam dua bulan, Pak Karta. Dulu, pertama kali gudang saya dibongkar, saya kira itu hanya pencuri biasa. Saya pasang gembok baru dan pasang alarm kecil. Eh, tidak sampai sebulan, gudang saya dibongkar lagi. Lalu, saya menambah penjaga, Jono. Saya pikir dia bisa mengawasi gudang saya dengan baik, tapi ternyata tidak."Pak Karta hanya mendengarkan, tatapannya lekat pada wajah Pak Raden. Matanya yang tajam dan sikapnya yang tenang membuatnya menjadi pendengar yang baik. Di mata penduduk desa, Pak Karta hanyalah seorang petani palawija paruh baya biasa. Namun, di balik sikapnya yang bersahaja, ia memiliki pengamatan yang tajam dan seringkali bisa melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh orang lain. Ia seringkali membantu menyelesaikan masalah-masalah kecil di desa, dari mencari ternak yang hilang sampai menengahi pertengkaran sepasang kekasih."Saya sudah putus asa, Pak Karta. Setiap malam saya tidak bisa tidur. Saya takut setiap saat gudang saya akan dibongkar lagi. Saya sudah lapor polisi, tapi tidak ada petunjuk. Mereka tidak bisa menemukan apa-apa," kata Pak Raden dengan mata berkaca-kaca. "Satu-satunya harapan saya... hanya Bapak."Pak Karta tidak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak, pikirannya kembali pada senyum Mbak Siti di warung kopi. Ia tahu, jika ia menerima permintaan Pak Raden, ia akan terlibat dalam rahasia-rahasia gelap desa ini. Ia akan harus menghadapi kebohongan dan pengkhianatan. Dan hatinya merasakan hal yang tidak enak."Baiklah, Pak Raden," kata Pak Karta akhirnya. "Saya akan coba bantu."Bab 2Keputusan Pak Karta untuk membantu Pak Raden tidak datang dengan mudah. Malam itu, setelah Pak Raden pulang, ia termenung lama di teras. Pikirannya melayang pada senyum tulus Mbak Siti, yang kini terasa begitu rapuh di tengah masalah yang akan ia hadapi. Di satu sisi, ia ingin menjaga kedamaian yang ia temukan bersama Mbak Siti, tetapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan permohonan putus asa dari Pak Raden. Ia tahu, ketidakjujuran dan rahasia tersembunyi dapat merusak kedamaian yang ada.Keesokan harinya, seperti biasa, Pak Karta pergi ke warung kopi Mbak Siti. Bukan hanya untuk menikmati kopi, melainkan juga untuk memulai penyelidikan dengan cara yang paling ia kuasai: mengamati dan mendengarkan. Warung kopi itu adalah pusat gosip desa. Segala cerita, dari hal yang penting hingga hal yang tidak penting, beredar di sana. Pak Karta duduk di sudut, terlihat santai, namun telinganya tajam menangkap setiap percakapan."Jono, ya, kasihan, dia terlihat lelah belakangan ini. Mungkin karena utangnya?" bisik seorang ibu pada temannya."Utang apa?" timpal temannya."Utang pada Pak Raden. Itu yang aku dengar," sahut ibu itu.Seorang bapak-bapak lain menambahkan, "Kurasa bukan hanya Jono yang bermasalah. Istrinya Pak Raden, Bu Sinta, juga sedang ribut-ribut dengan suaminya. Katanya, Bu Sinta curiga Pak Raden punya wanita lain di kota."Pak Karta hanya mengangguk, mencerna setiap informasi. Ia melihat Mbak Siti sibuk melayani para pelanggan, sesekali tertawa kecil dengan candaan mereka. Saat mata mereka bertemu, Mbak Siti tersenyum dan mendekat, meletakkan sepiring gorengan di meja Pak Karta."Kerja terus, Pak Karta?" tanyanya lembut."Tidak juga, hanya menikmati hari yang damai," jawab Pak Karta, tanpa mengungkapkan apa pun."Senang melihat Bapak di sini. Warung jadi lebih ramai," ujar Mbak Siti tulus. Senyumnya begitu menenangkan, membuat Pak Karta sesaat melupakan tumpukan gosip yang ia dengar. Baginya, Mbak Siti adalah secercah cahaya di tengah rumitnya masalah desa. Ia menyukai ketenangan yang terpancar dari mata Mbak Siti dan kehangatan yang ia berikan.Sore harinya, setelah warung kopi mulai sepi, Pak Karta beranjak menuju gudang cengkih Pak Raden. Ia meminta Jono, si penjaga gudang, untuk menemaninya. Jono terlihat gugup dan enggan, tetapi tidak bisa menolak permintaan dari Pak Karta.Di dalam gudang, Pak Karta tidak hanya melihat cengkih yang tersisa, tetapi juga memperhatikan jejak kaki di tanah yang lembap. Ia menemukan jejak sepatu but yang jelas, tapi di sebelahnya ada jejak sandal. Anehnya, sandal itu terlihat seperti sandal wanita. Ada sesuatu yang tidak cocok. Bagaimana mungkin satu pencuri meninggalkan dua jenis jejak kaki yang berbeda?Mendadak, pikiran Pak Karta kembali pada gosip yang ia dengar di warung kopi. Gosip tentang Jono dan Bu Sinta. Tidak ada satu pun gosip yang menjelaskan jejak sandal wanita ini. Ia tahu, apa yang terlihat di permukaan sering kali bukan kebenaran yang sesungguhnya. Dan ia mulai curiga bahwa dalang di balik semua ini jauh lebih cerdas dari yang ia duga.Bab 3Jejak kaki di gudang cengkih itu tidak bisa lepas dari pikiran Pak Karta. Pikiran tentang dua jejak kaki yang tidak cocok terus mengganggu hatinya, yang baru saja mulai menemukan ketenangan. Siapa yang akan pergi ke sana mengenakan sepatu bot dan sandal? Mungkin itu bukan sandal perempuan, mungkin itu hanya sandal jepit biasa. Ia berusaha keras meyakinkan dirinya sendiri bahwa jejak itu adalah kebetulan, bukan petunjuk yang serius. Namun, naluri detektifnya tahu bahwa tidak ada yang kebetulan dalam sebuah kasus.Untuk menenangkan pikirannya, Pak Karta kembali ke warung kopi Mbak Siti. Suara keceriaan warga yang sedang berbincang, gemerincing sendok yang mengaduk kopi, dan aroma harum masakan yang ia hirup perlahan-lahan mengusir kegelisahan di benaknya. Ia melihat Mbak Siti sibuk melayani pembeli, sesekali tertawa saat pelanggan melontarkan lelucon. Matanya, yang sebelumnya dipenuhi kekhawatiran, menemukan kedamaian saat melihat senyum itu.Mbak Siti menyadari kehadiran Pak Karta. Ia menghampiri meja Pak Karta, mengelapnya, dan menyajikan secangkir kopi hangat. "Ada apa, Pak Karta? Bapak terlihat banyak pikiran," tanyanya lembut.Pak Karta hanya menggelengkan kepala dan membalas senyum. "Biasa, urusan kebun. Cengkih Pak Raden membuat saya khawatir."Mbak Siti hanya menatap Pak Karta dengan tatapan mata yang penuh pengertian. Ia tahu Pak Karta tidak sepenuhnya jujur, tetapi tidak bertanya lebih jauh. "Bapak tahu, cengkih itu adalah kebanggaan desa ini. Saya harap tidak ada yang berani merusaknya," ujarnya, lalu ia kembali ke konter.Sikap pengertian Mbak Siti membuat hati Pak Karta semakin bimbang. Bagaimana mungkin wanita yang begitu tulus di depannya ini bisa terlibat dalam kekacauan yang terjadi? Perasaannya pada Mbak Siti semakin dalam, begitu juga dengan keinginannya untuk tidak menemukan petunjuk yang akan menyakitinya. Namun, rasa penasaran dan keharusan untuk menemukan kebenaran tidak bisa ia abaikan.Malam harinya, Pak Karta kembali ke gudang cengkih seorang diri. Ia membawa senter dan sarung tangan, siap untuk melakukan penyelidikan yang lebih teliti. Ia menyalakan senternya, menyorot setiap sudut ruangan. Ia melihat tumpukan cengkih yang tersisa, jejak-jejak debu yang menempel di dinding, dan sarang laba-laba di langit-langit.Saat menyorot ke sudut ruangan, ia memperhatikan sesuatu yang tidak ia lihat sebelumnya. Di dekat gundukan karung, tergeletak sebuah kotak korek api kecil. Kotak korek api itu sepertinya tidak ada hubungannya dengan gudang, tetapi saat ia membukanya, sebuah aroma manis nan harum menyengat hidungnya. Ia mengenali aroma itu dengan baik, aroma yang sama dengan yang sering ia cium saat berada di dekat Mbak Siti. Ia tidak bisa salah. Aroma ini terlalu spesifik.Jantung Pak Karta berdetak kencang. Naluri detektifnya berteriak, menunjukkan bahwa Mbak Siti adalah dalang di balik semua ini. Namun, hatinya tidak bisa mempercayainya. Bagaimana mungkin wanita yang memberinya ketenangan dan harapan bisa terlibat dalam pengkhianatan sebesar ini?Bab 4Aroma itu. Aroma yang sama yang selalu ia cium di dekat Mbak Siti. Pak Karta memandangi kotak korek api kecil itu, seolah-olah benda itu adalah teka-teki paling rumit yang pernah ia temui. Hatinya menolak, memberontak terhadap kesimpulan yang ditarik oleh naluri detektifnya. Ia mencoba mencari-cari alasan lain. Mungkin ada pelanggan Mbak Siti yang membawa kotak korek api itu ke gudang. Atau mungkin aroma itu menempel secara tidak sengaja. Ia tahu ia hanya mengelak, mencoba menenangkan hati yang bergolak, tetapi ia tidak bisa.Untuk sejenak, ia memutuskan untuk mengabaikan petunjuk yang paling menyakitkan itu. Ia mengalihkan fokusnya ke tersangka lain yang ia dengar di warung kopi. Jono si penjaga gudang, dan Bu Sinta, istri Pak Raden. Dengan demikian, ia dapat menunda konfrontasi dengan kebenaran yang mengerikan.Keesokan harinya, Pak Karta mencari Jono. Ia menemukan pemuda itu sedang duduk sendirian di pinggir jalan, memandangi keramaian desa dengan tatapan kosong. Ia menawarkan Jono sebatang rokok, lalu duduk di sebelahnya."Sibuk, Jo?" tanya Pak Karta santai."Tidak, Pak. Capek saja.""Jaga gudang capek, ya?"Jono mengangguk pelan. "Ya, Pak. Apalagi gudang itu... Pak Raden curiga saya yang mencuri. Tapi saya sudah sumpah demi Tuhan, saya tidak melakukannya," ucap Jono, matanya terlihat berkaca-kaca. "Saya sudah bilang, utang saya sudah lunas. Saya sudah bersumpah. Tapi beliau tetap tidak percaya."Pak Karta menatap mata Jono. Ia melihat ketulusan di sana, dan ia tahu Jono tidak berbohong. Ia memutuskan untuk percaya. Ia lalu bertanya tentang alibi Jono, dan Jono menjawab dengan jelas dan detail. Ia telah menjaga gudang setiap malam, dan tidak ada satu pun orang yang masuk ke dalam. Bahkan, ia telah memeriksa setiap sudut gudang, dan tidak menemukan apa-apa.Setelah berbicara dengan Jono, Pak Karta beralih ke Bu Sinta. Ia tidak mendekatinya secara langsung. Ia memilih untuk menguping pembicaraan di warung kopi. Ia mendengar Bu Sinta mengeluh kepada teman-temannya tentang sikap suaminya yang acuh tak acuh. "Suami saya tidak lagi peduli pada saya. Ia hanya peduli pada uang dan bisnisnya. Saya lelah," keluh Bu Sinta.Pak Karta memikirkan motif balas dendam. Mungkin Bu Sinta ingin menyakiti Pak Raden dengan cara merusak bisnisnya. Tetapi, apa yang ia dengar tidak memberikan petunjuk yang kuat untuk mengaitkannya dengan pencurian cengkih. Tidak ada bukti yang kuat. Sama sekali tidak ada.Malam itu, Pak Karta kembali ke rumahnya. Ia mengeluarkan kotak korek api kecil itu. Aroma yang menempel di sana terlalu kuat. Jono dan Bu Sinta memiliki alibi dan tidak ada bukti yang kuat yang mengaitkan mereka dengan pencurian. Ia menyadari bahwa petunjuk yang paling ia takuti, petunjuk yang mengarah pada Mbak Siti, adalah satu-satunya petunjuk yang ia miliki. Ia tidak bisa lagi mengabaikannya.Untuk menemukan kebenaran, ia harus menyingkirkan perasaannya. Ia tahu, ia harus berani menghadapi kebenaran. Ia harus berani menghadapi wanita yang telah merebut hatinya.Bab 5Keyakinan itu menusuk hati Pak Karta bagaikan belati. Namun, ia tidak bisa lagi menyangkalnya. Aroma di kotak korek api, jejak kaki aneh di gudang, dan kini tidak adanya tersangka lain yang memiliki motif kuat, semua menunjuk pada satu nama: Mbak Siti. Hatinya terasa remuk, tetapi pikiran detektifnya mengambil alih. Ia harus menemukan kebenaran, seberapa pun menyakitkannya.Ia menyadari bahwa ia tidak tahu banyak tentang masa lalu Mbak Siti. Sejak kepindahannya ke desa beberapa tahun lalu, ia adalah sosok misterius yang ramah dan sopan. Pak Karta tahu ia harus menggali lebih dalam, bukan dari gosip di warung kopi, melainkan dari sumber yang lebih kredibel.Pagi itu, Pak Karta pergi menemui Pak Jaya, sesepuh desa yang dikenal memiliki ingatan tajam dan tahu banyak cerita tentang masa lalu penduduk. Ia menemukan Pak Jaya sedang menjemur cengkih di halaman rumahnya."Pak Jaya, lama tidak bertemu," sapa Pak Karta."Ah, Pak Karta. Tumben main ke sini? Ada perlu, ya?" jawab Pak Jaya sambil tersenyum.Pak Karta hanya mengangguk dan bertanya, "Begini, Pak. Saya teringat, dulu warung kopi Mbak Siti ini milik ayahnya, ya? Apa Bapak kenal dengan ayahnya?"Wajah Pak Jaya berubah serius. "Tentu saja. Pak Harun. Seorang pekerja keras, tapi sial. Pak Raden menipunya dalam bisnis cengkih bertahun-tahun yang lalu. Pak Harun menyetor seluruh cengkihnya ke gudang Pak Raden, dan Pak Raden berjanji akan membayarnya setelah panen selesai. Tapi Pak Raden tidak pernah membayarnya. Pak Harun rugi besar, lalu ia meninggal tidak lama kemudian karena penyakit hati."Pak Karta mematung. Ia tidak pernah tahu cerita ini. Ia hanya mendengar gosip, tetapi tidak pernah mendengar tentang tragedi yang menimpa Mbak Siti."Mbak Siti sangat tertekan. Semua orang tahu itu. Ia pindah ke kota, dan baru kembali ke desa ini beberapa tahun yang lalu. Tidak ada yang tahu apa yang ia lakukan di kota. Tapi ia kembali dan membuka warung kopi ayahnya lagi," tambah Pak Jaya.Pak Karta berterima kasih pada Pak Jaya dan beranjak pergi. Pikirannya dipenuhi dengan fakta baru ini. Motif Mbak Siti sekarang menjadi sangat jelas. Balas dendam. Bukan karena uang, tetapi karena harga diri ayahnya yang dicuri dan kehormatan keluarganya yang diinjak-injak. Ia menggunakan warung kopinya sebagai alat untuk mengumpulkan informasi, menyebarkan gosip, dan merencanakan pembalasan. Ia menggunakan uang hasil curian untuk membangun bisnis, sama seperti ayahnya.Hati Pak Karta hancur berkeping-keping. Wanita yang ia kagumi, yang ia cintai, adalah korban dari ketidakadilan yang kemudian menjadi penipu. Ia tidak bisa lagi mengabaikan petunjuk yang ia temukan. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu, tetapi ia tidak ingin menyakitinya. Ia harus menemukan jalan untuk mengakhiri ini tanpa merusak hidup Mbak Siti.Bab 6Keyakinan Pak Karta, meskipun pahit, memberinya tujuan yang jelas. Ia harus mengakhiri ini. Bukan hanya untuk Pak Raden, tetapi juga untuk Mbak Siti, agar ia bisa bebas dari beban masa lalu yang menghantuinya. Dengan hati-hati dan pikiran yang jernih, ia merumuskan sebuah rencana. Ia tidak bisa hanya mengonfrontasi Mbak Siti. Ia harus menangkapnya saat sedang melakukan aksinya.Sore itu, Pak Karta kembali ke warung kopi. Kali ini, ia tidak datang untuk mencari ketenangan, tetapi untuk menciptakan kekacauan. Ia memesan kopi seperti biasa, lalu duduk di sudut yang bisa melihat Mbak Siti. Tak lama kemudian, Pak Jono, penjaga gudang, datang untuk memesan minuman. Pak Karta memanggilnya."Jo, sini, duduklah," ajak Pak Karta. "Saya dengar Pak Raden sangat marah. Saya dengar dia akan menjual seluruh cengkih yang tersisa di gudangnya besok pagi. Benar, ya?" tanya Pak Karta dengan suara yang cukup keras agar Mbak Siti bisa mendengarnya.Mata Jono membelalak. "Benarkah, Pak? Saya belum dengar. Saya malah belum gajian," jawabnya bingung.Mbak Siti, yang sedang sibuk membuat pesanan di konter, terlihat menoleh sekilas ke arah mereka. Ada kerutan halus di keningnya, dan senyum di wajahnya memudar. Pak Karta menangkap perubahan ekspresi itu, dan ia tahu Mbak Siti sudah mendengar. "Ya, begitu kata Pak Raden. Ia sudah muak dengan semua ini."Setelah itu, Pak Karta beranjak pergi. Ia menyisakan sedikit uang di atas meja dan meninggalkan warung kopi tanpa melihat ke belakang. Ia tahu, umpan sudah dilemparkan. Yang harus ia lakukan sekarang adalah menunggu.Malam harinya, Pak Karta bersembunyi di balik semak-semak di dekat gudang cengkih. Udara dingin dan gelap, tetapi hatinya terasa lebih dingin. Ia berharap rencananya berhasil, tetapi pada saat yang sama, ia berharap rencananya gagal. Ia berharap Mbak Siti tidak datang, dan ia salah tentang segalanya.Namun, ia tahu ia tidak bisa salah. Naluri detektifnya memberitahunya bahwa ia sudah dekat dengan kebenaran. Ia menunggu, telinganya waspada terhadap setiap suara. Setelah dua jam, ia mendengar suara langkah kaki pelan dari kejauhan. Langkah itu perlahan semakin dekat.Pak Karta menahan napas. Dari kegelapan, muncul sesosok wanita yang mengenakan kerudung hitam. Gerakannya lambat dan penuh hati-hati. Meskipun wajahnya tertutup, Pak Karta mengenali gerak-gerik tubuhnya yang gemulai. Ia juga mencium aroma samar-samar yang sangat ia kenal. Aroma yang sama dengan yang ada di kotak korek api di gudang.Jantungnya berdebar kencang, antara sedih, marah, dan kecewa. Ia melihat wanita itu mendekati gudang, mengambil kunci duplikat dari balik kerudungnya, dan membuka gembok. Kemudian, ia masuk ke dalam. Pak Karta menunggu. Ketika wanita itu keluar, membawa dua karung cengkih di bahunya, Pak Karta beranjak dari tempat persembunyiannya. Ia harus melakukan ini. Ini saatnya.Bab 7Dengan hati yang remuk, Pak Karta mencegat wanita berkerudung itu di depan gudang. "Mbak Siti," panggilnya lirih.Wanita itu terperanjat. Dua karung cengkih yang ia bawa di bahunya jatuh ke tanah dengan bunyi berdebam. Ia menoleh dengan panik, matanya membelalak saat melihat sosok Pak Karta di kegelapan. Ia mencoba melarikan diri, tetapi Pak Karta memegang tangannya dengan lembut namun tegas."Tidak usah lari. Saya tahu ini kamu," ucap Pak Karta, suaranya dipenuhi kesedihan.Mbak Siti menunduk, bahunya bergetar. Ia mencoba melepaskan kerudung, tetapi Pak Karta mendahuluinya. Ia membuka kerudung Mbak Siti, dan di bawah remangnya cahaya bulan, wajahnya terlihat pucat dan dipenuhi air mata."Kenapa, Mbak?" tanya Pak Karta. "Kenapa kamu melakukan ini?"Mbak Siti tidak menjawab. Ia hanya terisak, air mata mengalir deras di pipinya. Pak Karta menuntunnya kembali ke warung kopi. Ia membuatkan secangkir teh hangat, dan mereka duduk dalam keheningan yang menyakitkan."Saya tahu tentang ayahmu," kata Pak Karta akhirnya. "Saya tahu tentang penipuan yang dilakukan Pak Raden bertahun-tahun yang lalu. Saya tahu semua ini karena kamu ingin balas dendam."Mbak Siti terkejut. Ia mengangkat kepalanya, menatap Pak Karta dengan mata merah. "Bagaimana kamu bisa tahu?" tanyanya, suaranya serak."Saya tidak tahu. Naluri saja," jawab Pak Karta. "Saya tahu dari Pak Jaya." Ia lalu mengambil kotak korek api kecil itu dan meletakkannya di atas meja. "Saya menemukan ini di gudang Pak Raden. Ada bau parfummu. Saya tahu sejak awal, tetapi hati saya tidak mau percaya."Mbak Siti tidak bisa lagi menahan tangisnya. Ia menceritakan segalanya, dari kehancuran ayahnya hingga keputusannya untuk membalas dendam. "Saya tidak punya apa-apa lagi. Saya hanya punya dendam. Saya kembali ke desa ini karena saya tidak bisa hidup tenang dengan kenangan itu. Saya harus membuat Pak Raden menderita, sama seperti ia membuat ayah saya menderita."Pak Karta hanya mendengarkan. Ia tidak marah, ia hanya merasa hancur. "Kamu tahu, saya sudah mencari-cari alasan lain. Saya ingin itu Jono, saya ingin itu Bu Sinta. Tapi tidak ada petunjuk lain. Hanya kamu. Hanya kamu yang memiliki alibi dan bukti kuat," ucap Pak Karta, suaranya tercekat. "Saya... saya jatuh cinta padamu, Mbak Siti. Dan kamu menghancurkan hati saya."Mbak Siti terdiam. Air matanya berhenti mengalir. "Apa yang akan kamu lakukan, Pak Karta?" tanyanya."Saya tidak tahu," jawab Pak Karta, menatapnya dengan lembut. "Tapi saya tahu satu hal. Dendam tidak akan pernah membuatmu tenang. Kamu tidak bisa membangun hidupmu di atas penderitaan orang lain. Kamu harus menyerahkan dirimu dan cengkih yang kamu curi."Mbak Siti menatapnya. Ia melihat ketulusan di mata Pak Karta. Ia tahu Pak Karta benar. Dendam telah menghancurkan hidupnya, dan ia tidak akan pernah bisa bahagia dengan beban ini. "Baiklah, Pak Karta. Saya akan menyerahkan diri.""Bagus," kata Pak Karta, lalu ia memegang tangan Mbak Siti. "Saya akan menemanimu."Bab 8"Saya akan menemanimu," kata Pak Karta, tangannya masih menggenggam tangan Mbak Siti. Ia merasa tegang, tetapi juga tenang. Ia tahu ini adalah satu-satunya cara agar Mbak Siti bisa mendapatkan kedamaian.Pagi itu, Pak Karta dan Mbak Siti berjalan ke rumah Pak Raden. Keduanya terdiam, tetapi kali ini, keheningan itu terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang penuh rahasia, tetapi keheningan yang penuh dengan penerimaan. Setiap langkah terasa berat, tetapi Pak Karta tahu ia tidak bisa meninggalkannya.Mereka tiba di rumah Pak Raden dan mengetuk pintu. Pak Raden membukakan pintu, wajahnya masih terlihat lelah dan putus asa. Matanya membelalak kaget saat melihat Mbak Siti berdiri di samping Pak Karta."Ada apa ini, Pak Karta? Mbak Siti?" tanya Pak Raden dengan suara bingung.Pak Karta mempersilakan mereka masuk. Mereka duduk di ruang tamu, dan Mbak Siti memulai ceritanya. Dengan suara yang bergetar, ia menceritakan segalanya: dari penipuan yang dilakukan Pak Raden terhadap ayahnya, dendam yang menghantuinya, hingga rencananya untuk mencuri cengkih Pak Raden sebagai bentuk balas dendam. Ia juga mengaku telah menyebarkan gosip dan menggunakan warung kopinya sebagai tempat untuk mengumpulkan informasi.Wajah Pak Raden yang tadinya bingung kini berubah menjadi pucat. Ia menunduk, tidak berani menatap mata Pak Karta atau Mbak Siti. Ia menyadari bahwa rahasia gelapnya kini telah terbongkar. Ia tidak hanya kehilangan cengkihnya, tetapi juga martabatnya.Setelah Mbak Siti selesai bercerita, ada keheningan yang panjang. Pak Raden akhirnya angkat bicara, suaranya pelan dan penuh penyesalan. "Saya... saya minta maaf, Mbak Siti. Saya sangat menyesal. Saya tidak tahu bahwa itu adalah ayahmu. Saya... saya hanya ingin cepat kaya. Saya tidak pernah berpikir bahwa perbuatan saya akan menyakiti banyak orang."Mbak Siti hanya menatapnya, tidak menunjukkan emosi apa pun."Saya akan menyerahkan diri ke polisi, Pak Raden," ucap Mbak Siti.Pak Raden terkejut. "Tidak, Mbak Siti. Tidak usah. Saya akan... saya akan membayar ganti rugi. Saya akan bayar semuanya," kata Pak Raden. Ia merasa sangat bersalah. Ia tidak ingin menambah masalah lagi.Pak Karta memandang keduanya. Ia tahu bahwa hukuman terbaik untuk Pak Raden adalah rasa bersalah yang akan menghantuinya selamanya. Ia tahu bahwa Mbak Siti juga sudah cukup menderita. Ia menghela napas. "Mbak Siti, coba pikirkan lagi," kata Pak Karta. "Apakah kamu ingin mengakhiri ini dengan cara yang damai, atau dengan cara yang penuh masalah?"Mbak Siti memandang Pak Karta. Ia tahu bahwa Pak Karta benar. Hukuman yang paling menyakitkan bagi Pak Raden adalah pengakuan dan penyesalannya. Mbak Siti mengangguk."Baiklah, Pak Karta. Saya akan menyelesaikannya secara kekeluargaan," jawab Mbak Siti.Maka, mereka bertiga membuat kesepakatan. Mbak Siti akan mengembalikan semua cengkih yang ia curi. Pak Raden akan membayarnya sesuai harga pasar, dan sebagai gantinya, ia akan membayar ganti rugi kepada Mbak Siti. Mbak Siti juga akan menyumbangkan seluruh uang ganti rugi yang ia terima untuk membangun sekolah di desa.Sejak saat itu, Pak Raden tidak pernah lagi menjadi orang yang arogan. Ia menjadi kepala desa yang lebih bijaksana, yang sering menyumbangkan hartanya untuk desa. Sementara itu, Mbak Siti melanjutkan hidupnya dengan hati yang lebih ringan. Dan Pak Karta, ia hanya bisa tersenyum bahagia melihat keduanya berdamai.Bab 9Beberapa bulan telah berlalu sejak insiden pencurian cengkih. Desa Makmur kini lebih tenang, tetapi ketenangan itu terasa berbeda. Bukan lagi ketenangan yang buta, melainkan ketenangan yang sadar. Para warga masih bergosip, tetapi tidak seintens dulu. Topik utamanya kini adalah pembangunan sekolah baru di pinggir desa, yang didanai oleh sumbangan Mbak Siti. Banyak warga yang bertanya-tanya mengapa Mbak Siti tiba-tiba begitu murah hati, tetapi tidak ada yang tahu kebenaran di baliknya kecuali Pak Karta, Mbak Siti, dan Pak Raden.Pak Raden kini menjadi kepala desa yang lebih ramah dan lebih sering tersenyum. Ia sering terlihat membantu para warga yang kesulitan, dan ia tidak lagi terburu-buru seperti dulu. Pak Karta terkadang melihatnya mengawasi pembangunan sekolah, matanya penuh penyesalan dan harapan.Pak Karta kembali menjadi petani palawija yang damai. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di kebun, menanam sayuran dan merawat tanamannya dengan penuh cinta. Namun, hatinya tidak lagi sama. Ia tahu, di balik senyum paling tulus, selalu ada rahasia yang tersembunyi.Suatu sore, ia kembali ke warung kopi Mbak Siti. Suasana warung itu masih sama, dengan aroma kopi dan cengkih yang menguar. Mbak Siti tersenyum saat melihat Pak Karta. Senyum itu terasa lebih ringan, lebih tulus."Sudah lama tidak mampir, Pak," sapa Mbak Siti."Sibuk di kebun," jawab Pak Karta, duduk di kursi favoritnya. "Kamu kelihatan lebih... tenang."Mbak Siti tersenyum kecil. "Saya sudah melepaskan beban yang sudah saya pikul bertahun-tahun, Pak Karta. Dan sekarang, saya bisa bernapas."Mereka terdiam, menikmati keheningan yang nyaman. Mereka tidak membahas masa lalu, karena mereka tahu masa lalu tidak akan pernah hilang. Ia hanya akan menjadi bagian dari cerita mereka."Bagaimana denganmu, Pak Karta?" tanya Mbak Siti. "Apakah kamu juga sudah melepaskan bebanmu?"Pak Karta menatap Mbak Siti, pandangannya dipenuhi kelembutan. "Mungkin belum, Mbak Siti. Saya belum bisa melepaskan sebagian dari hati saya yang tertinggal di sini. Tapi saya tahu, waktu akan menyembuhkan segalanya."Mbak Siti membalas tatapan itu, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Pak Karta," ucapnya lirih. "Untuk segalanya."Pak Karta hanya bisa tersenyum. Ia kembali menikmati kopinya, dan di sampingnya, Mbak Siti kembali mengurus warungnya. Ia tahu, hubungan mereka tidak akan pernah kembali seperti dulu, tetapi mereka menemukan kedamaian dalam kebiasaan itu. Kisah ini berakhir, tetapi kisah mereka baru saja dimulai.

