Bab 1: Permukaan yang Sempurna
Aroma kopi yang baru diseduh menyatu dengan wangi roti panggang, mengisi setiap sudut dapur dengan kehangatan yang familier. Bagi Sinta, ini adalah aroma keteraturan, sebuah benteng yang ia bangun setiap pagi melawan kekacauan dunia luar. Ia mengusap permukaan meja marmer yang berkilauan dengan ujung jarinya; tidak ada satu pun remah roti yang tersisa. Semuanya berada di tempatnya, persis seperti yang seharusnya.Keteraturan adalah perisainya. Dari jendela besar di hadapannya, cahaya matahari pagi membanjiri ruangan, membuat peralatan makan dari baja tahan karat berkilau seperti perhiasan. Ini adalah kerajaannya, sebuah dunia kecil yang ia bangun dengan cermat, dengan palet warna putih dan abu-abu lembut. Setiap bantal di sofa ruang keluarga ditata dengan sudut yang presisi, setiap majalah di meja kopi tersusun rapi dalam gradasi warna. Keteraturan ini bukan memberinya rasa damai, melainkan ilusi kendali. Sebuah bukti nyata bahwa ia berhasil membentengi hidupnya dari hal-hal tak terduga.Suara pintu geser yang terbuka memecah keheningan yang ia ciptakan. Arka masuk, membawa embusan udara pagi yang sejuk bersamanya. Keringat membasahi kaus abu-abunya, menempel di tubuhnya yang atletis. Rambutnya yang sedikit basah tampak berantakan, dengan cara yang justru membuatnya terlihat lebih menarik.“Pagi, Sayang,” sapanya, suaranya sedikit terengah. Ia berjalan mendekat dan mengecup kening Sinta. Kecupannya familier, tetapi Sinta merasakan sesuatu yang lain di baliknya—sebuah gestur kepemilikan yang lembut, sebuah penegasan bahwa Sinta adalah bagian dari dunianya yang sempurna, sama seperti meja marmer yang bersih ini.“Harum sekali. Roti panggang dengan selai kacang?” Sinta tersenyum, senyum yang telah ia latih selama bertahun-tahun. “Dan alpukat. Favoritmu.” “Kamu selalu tahu,” Arka balas tersenyum, senyum yang sama yang membuat Sinta jatuh cinta sepuluh tahun lalu. Senyum yang bisa meluluhkan siapa saja, dan Sinta terkadang bertanya-tanya apakah senyum itu adalah sebuah anugerah atau sebuah senjata. Arka membuka kulkas dan meneguk air dingin langsung dari botolnya. “Lari pagi tadi luar biasa. Udara di komplek ini benar-benar berbeda.” Sinta mengangguk, menyetujui narasi kebahagiaan mereka. Pindah ke pinggiran kota adalah keputusan terbaik mereka, jauh dari hiruk pikuk kota yang menyesakkan. Di sini mereka membangun sarang yang aman untuk anak-anak mereka. Sebuah gelembung kebahagiaan yang Sinta jaga dengan sekuat tenaga agar tidak pecah.“Nanti siang aku ada janji temu dengan klien baru di kota,” kata Arka sambil menyandarkan pinggulnya di meja dapur, mengamati Sinta bergerak. “Mungkin pulang sedikit terlambat.” “Tidak masalah,” jawab Sinta. “Anak-anak ada les piano sore ini. Setidaknya kita bisa makan malam bersama, kan?” “Tentu saja. Aku tidak akan melewatkan makan malam dengan wanita tercantik di dunia,” goda Arka. Ia mengulurkan tangan dan menyelipkan sehelai rambut yang terlepas ke belakang telinga Sinta. Sentuhannya masih mengirimkan getaran hangat, tetapi kini Sinta menyadari betapa cepat getaran itu memudar, meninggalkan jejak dingin yang samar. Bahkan setelah bertahun-tahun, pria ini masih memiliki efek yang sama padanya, dan kesadaran itu membuatnya merasa sedikit tak berdaya.Ia meletakkan sepiring roti panggang di depan Arka, ditata dengan irisan alpukat yang sempurna. Sambil menyantap sarapannya, Arka membuka tabletnya, membaca berita bisnis. Sinta duduk di seberangnya, menyesap kopinya, dan mencoba menikmati momen itu.“Aku bertemu Rina kemarin di supermarket,” kata Sinta tiba-tiba, memecah keheningan. “Dia bertanya apa kita akan datang ke reuni SMA bulan depan.” Arka tidak langsung menjawab. Matanya masih terpaku pada layar tabletnya, tetapi Sinta melihatnya dengan jelas—rahangnya mengeras sepersekian detik. Begitu cepat, tetapi tidak mungkin salah lihat. Itu adalah retakan kecil di permukaan yang sempurna.“Oh, ya?” jawab Arka akhirnya, nadanya terdengar ringan, terlalu ringan. Ia mengangkat pandangannya dan tersenyum, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. “Entahlah. Reuni biasanya membosankan, kan? Hanya ajang pamer kesuksesan.” “Mungkin,” Sinta mengangkat bahu, merasakan hawa dingin yang aneh. “Tapi sepertinya akan seru bertemu teman-teman lama. Kamu tidak penasaran dengan kabar mereka?” “Aku sudah punya semua yang aku butuhkan di sini,” kata Arka, meletakkan tabletnya. Ia meraih tangan Sinta di atas meja, jemarinya menggenggam erat. “Masa laluku tidak sepenting masa depanku bersamamu.” Kata-katanya manis, seperti biasanya. Seharusnya Sinta merasa tenang. Namun, cara Arka menghindari topik itu—terlalu mulus, terlalu cepat—terasa seperti sebuah pintu yang dibanting tutup tepat di depan wajahnya. Kata-kata itu bukan lagi sebuah janji, melainkan sebuah pernyataan: Jangan bertanya. Jangan melihat ke belakang.Perasaan aneh itu menetap di benaknya, sebuah noda kecil di atas kanvas paginya yang sempurna. Ia mencoba menepisnya. Arka memang selalu seperti itu, fokus pada masa kini. Itulah salah satu hal yang ia paksa dirinya untuk sukai dari suaminya.Arka menghabiskan sarapannya dan bangkit dari kursi. “Aku harus mandi. Terima kasih sarapannya, Chef Sinta. Selalu yang terbaik.” Ia membungkuk dan memberikan ciuman singkat di bibir Sinta sebelum menghilang ke lantai atas.Sinta tetap duduk di sana, senyumnya kini terasa kaku di wajahnya. Ia mendengarkan suara langkah kaki Arka, lalu suara pancuran air. Semuanya normal. Semuanya sempurna. Tapi mengapa ia merasa begitu gelisah?Ia meraih piring kotor suaminya. Pandangannya tertuju pada foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding ruang keluarga. Arka yang gagah, dan dirinya yang tersenyum begitu lebar. Mereka tampak begitu muda, begitu penuh harapan. Masa laluku tidak sepenting masa depanku bersamamu. Tentu saja. Ia tahu itu. Tapi terkadang, ia bertanya-tanya tentang masa lalu Arka sebelum mereka bertemu. Suaminya tidak pernah banyak bercerita, selalu mengalihkannya dengan lelucon atau ciuman. Sinta tidak pernah mendesaknya, karena ia tahu ia tidak akan suka jawabannya. Lebih mudah untuk tidak bertanya. Lebih aman untuk tetap berada di dalam gelembung ini.Ia mengeringkan tangannya dan kembali menata dapur, memastikan semuanya kembali ke kondisi semula yang tanpa cela. Hari ini akan menjadi hari yang indah. Sama seperti kemarin, dan sama seperti besok. Setidaknya, itulah kebohongan yang terus ia katakan pada dirinya sendiri.
Bab 2: Kebenaran dalam Beludru PudarRumah terasa begitu sunyi setelah Arka berangkat kerja dan anak-anak diantar ke sekolah. Namun, keheningan hari ini terasa berbeda. Bukan lagi kanvas kosong yang menenangkan tempat Sinta bisa melukis keteraturan. Keheningan ini berdengung, dipenuhi oleh gema kata-kata Arka di meja makan tadi pagi. Masa laluku tidak sepenting masa depanku bersamamu. Kalimat itu bukan lagi sebuah janji manis, melainkan sebuah pintu baja yang dibanting tertutup.Kegelisahan yang ia coba tepis kini merayap di bawah kulitnya, seperti serangga. Ia butuh melakukan sesuatu, sebuah ritual untuk mengusir perasaan ini. Ia butuh menegaskan kembali kendalinya. Siang itu, ia memutuskan untuk menaklukkan musuh bebuyutannya: walk-in closet.Meskipun lemari itu sudah tertata rapi menurut standar orang kebanyakan, bagi Sinta, keteraturan adalah sebuah pertempuran tanpa akhir. Lipatan yang kurang sempurna, gantungan baju yang miring satu sentimeter, atau spektrum warna yang tidak bergradasi dengan mulus adalah musuh yang harus dikalahkan. Ia memulai dari sisinya, menyusun blus-blus sutranya berdasarkan warna, dari putih gading hingga biru malam. Aroma lavender dari pewangi lemari memberinya sedikit ketenangan palsu. Ini adalah caranya berperang, menegaskan kendali atas dunianya yang kecil dan aman.Setelah selesai dengan bagiannya, ia melirik ke sisi lemari milik Arka. Semuanya juga rapi—Sinta yang memastikannya setiap minggu—tetapi ada satu area yang terasa seperti wilayah asing: rak paling atas. Di sana, tergeletak beberapa kotak berisi barang-barang yang Arka anggap "sentimental", meskipun bagi Sinta itu adalah potongan-potongan masa lalu yang tidak terjamah, masa lalu yang pintunya baru saja ditutup di depan wajahnya. Kemeja flanel dari zaman kuliah, beberapa dasi dengan motif aneh, tumpukan album foto lama.Secara impulsif, didorong oleh kebutuhan untuk menaklukkan kegelisahannya, Sinta mengambil kursi kecil. Jika ia bisa menata masa lalu Arka, mungkin ia bisa menenangkan bisikan keraguan di kepalanya. Saat ia menggeser sebuah kotak sepatu berisi dokumen-dokumen lama untuk dibersihkan, tangannya menyentuh sesuatu yang lain, tersembunyi di sudut paling belakang, di bawah selapis debu tebal.Sebuah kotak kecil, dilapisi beludru biru tua yang warnanya sudah sedikit pudar. Permukaannya terasa lembut di bawah jemarinya. Sinta mengerutkan kening. Ia tidak pernah melihat kotak ini sebelumnya. Rasa penasaran yang ganjil menjalari dirinya, bercampur dengan firasat buruk. Ini pasti salah satu kenang-kenangan Arka dari masa lalunya yang terlarang itu. Mungkin jam tangan tua dari ayahnya, atau medali dari kompetisi olahraga. Sesuatu yang polos. Sesuatu yang aman.Ia membawa kotak itu turun dan meletakkannya di atas ranjang mereka yang tertata sempurna. Sejenak ia ragu. Ini terasa salah, sebuah pelanggaran privasi. Tapi kemudian ia teringat rahang Arka yang mengeras dan senyumnya yang dipaksakan pagi tadi. Keraguan itu kalah oleh sebuah kebutuhan yang lebih mendesak: kebutuhan untuk tahu siapa pria yang tidur di sampingnya setiap malam. Hanya mengintip sebentar, batinnya. Aku berhak tahu.Dengan jari yang sedikit gemetar, ia membuka tutup kotak itu. Bunyi klik pelan terdengar begitu keras di dalam kamar yang sunyi. Di dalamnya, tidak ada jam tangan atau medali. Hanya ada sepasang cincin emas polos yang tergeletak di atas bantalan satin yang warnanya sudah menguning.Sinta tertegun. Sepasang cincin kawin.Jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Mungkin ini hadiah ulang tahun pernikahan yang Arka beli terlalu awal? Tapi cincin mereka terbuat dari platina, dan desainnya berbeda. Cincin di hadapannya terlihat lebih klasik, lebih sederhana. Ia mengambil salah satu cincin, yang ukurannya lebih besar. Logam itu terasa dingin di kulitnya. Ia memutarnya, mengamati kilaunya yang lembut. Lalu, matanya menangkap sesuatu. Goresan halus di bagian dalam cincin.Sinta menyipitkan matanya, mendekatkan cincin itu ke wajahnya. Ada ukiran di sana. Tulisan tangan miring yang kecil dan rapi. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia berhasil membacanya.R & L Selamanya.Huruf-huruf itu seakan melompat dan menari di depan matanya. R. L. Bukan A untuk Arka, bukan S untuk Sinta. Udara di dalam paru-parunya terasa menipis. Ia meraih cincin pasangannya, yang lebih kecil. Ukiran yang sama tertera di sana.Sinta menjatuhkan cincin itu kembali ke dalam kotak seolah-olah benda itu baru saja membakarnya. Ia mundur selangkah, napasnya terengah-engah. Ruangan yang tadinya terasa lapang dan menenangkan kini terasa menyempit, dindingnya seakan bergerak mendekat. Siapa R? Siapa L?Pikiran rasionalnya mencoba mengambil alih. Mungkin ini milik orang tuanya? Atau milik temannya? Tapi penjelasan itu terasa tipis, seperti kebohongan yang ia coba tanamkan pada dirinya sendiri. Cara kotak itu disembunyikan, keengganan Arka membahas masa lalunya... semuanya tiba-tiba terasa seperti potongan puzzle yang membentuk gambar yang mengerikan.Dengan gerakan panik, ia menutup kotak itu, memasukkannya kembali ke tempatnya semula, dan mendorongnya ke sudut paling belakang, lebih jauh dari sebelumnya. Ia menumpuk kembali kotak sepatu di depannya, berusaha membuat semuanya terlihat persis seperti semula. Tangannya gemetar hebat. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar lemari. Wajahnya pucat, matanya melebar karena ngeri.Ia berjalan keluar dari walk-in closet dan menutup pintunya, seolah-olah ia bisa mengunci kebenaran di dalamnya. Ia berdiri di tengah kamar tidur mereka yang sempurna, di bawah foto pernikahan mereka. Senyum bahagia mereka di foto itu kini terlihat seperti sebuah ejekan.Rumah yang sunyi tidak lagi terasa damai. Kini, keheningan itu terasa berat, penuh dengan pertanyaan tak terucap. Gelembung kebahagiaannya tidak pecah—ia baru saja menyadari bahwa gelembung itu sejak awal hanyalah ilusi, dan ia telah hidup di dalamnya sendirian.
Bab 3 Wajah yang RetakSisa hari itu berlalu dalam kabut yang dingin dan asing. Sinta bergerak seperti seorang aktris di atas panggungnya sendiri, memerankan peran "ibu rumah tangga yang bahagia" dengan naskah yang sudah ia hafal seumur hidupnya. Menjemput anak-anak, membantu mereka mengerjakan PR, menyiapkan makan malam. Rutinitas yang biasanya menjadi pelampungnya kini terasa seperti topeng timah yang berat. Setiap tugas yang ia selesaikan adalah bagian dari sebuah pertunjukan, sebuah sandiwara berjudul "Keluarga Sempurna" yang pemeran utamanya ternyata adalah orang asing.Aroma ayam panggang rosemary yang biasanya memenuhi rumah dengan kehangatan, malam ini terasa menyesakkan, seolah merampas oksigen dari udara. Sinta menata meja makan dengan presisi yang nyaris obsesif. Garpu harus sejajar sempurna dengan pisau, serbet dilipat dengan sudut yang tepat. Keteraturan ini adalah satu-satunya hal nyata yang bisa ia genggam di lautan kebohongan yang baru saja menelannya. Gambar cincin itu—dan ukiran R & L Selamanya—terus berkelebat di pikirannya seperti lampu sorot yang rusak.Pukul tujuh, suara deru mobil Arka di garasi terdengar. Itu bukan lagi suara seorang suami yang pulang, melainkan suara langkah kaki sang antagonis yang memasuki adegan. Jantung Sinta melonjak ke tenggorokannya. Ia mengusap tangannya yang berkeringat ke celemek dan memaksakan seulas senyum saat Arka melangkah masuk ke dapur."Hai, Sayang," sapa Arka, seperti biasa. Ia meletakkan tas kerjanya dan mendekat untuk mencium Sinta.Saat bibir Arka menyentuh pipinya, Sinta harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk tidak tersentak. Ciuman yang biasanya terasa hangat dan menenangkan itu kini terasa asing, seperti sentuhan seorang aktor pada lawan mainnya. Kulitnya terasa dingin di tempat bibir Arka mendarat."Malam," jawab Sinta, suaranya terdengar sedikit lebih tipis dari biasanya. "Bagaimana harimu?""Melelahkan. Klien baru itu benar-benar alot," kata Arka sambil melonggarkan dasinya. "Tapi setidaknya sekarang aku di rumah." Ia menatap Sinta, matanya menyiratkan kelegaan. "Ada yang aneh? Kamu terlihat pucat."Sinta merasakan gelombang panik. Apakah permainannya terlihat begitu jelas? "Hanya sedikit lelah," ia berbohong, cepat-cepat membalikkan badan untuk memeriksa ayam di oven. "Banyak sekali yang harus dikerjakan hari ini."Arka tampaknya menerima penjelasan itu. Ia naik ke atas untuk berganti pakaian, dan Sinta bisa bernapas sedikit lebih lega. Tapi kelegaan itu hanya sesaat.Makan malam terasa seperti sebuah interogasi yang hanya Sinta yang tahu sedang berlangsung. Ia tidak lagi melihat suaminya; ia mengamati lawannya. Ia memperhatikan cara Arka memotong ayamnya, cara ia tertawa mendengar celoteh anak-anak tentang sekolah, cara ia menatap Sinta dari seberang meja. Setiap gerakannya tampak normal, terlalu normal. Mungkinkah seseorang bisa begitu pandai menyembunyikan kehidupan lain?"Tadi aku membereskan lemari," kata Sinta, melempar umpan pertamanya ke dalam air yang tenang. Suaranya terdengar lebih santai dari yang ia rasakan.Arka mengangkat alisnya sambil mengunyah. "Oh, ya? Proyek abadi itu?" ia tersenyum."Aku menemukan beberapa barang lamamu di rak paling atas," lanjut Sinta, jantungnya berdebar kencang. Ia menjaga tatapannya tetap tertuju pada piringnya. "Album foto dari zaman kuliah. Lucu sekali melihat gaya rambutmu dulu."Arka tertawa. "Tolong jangan ingatkan aku. Itu masa-masa kelam dalam sejarah rambutku.""Tidak ada foto dari masa SMA-mu di sana," kata Sinta, menusuk sepotong kentang dengan garpunya. Ini dia. Umpan yang lebih dalam.Senyum Arka tidak goyah, tetapi Sinta, yang kini mengamati dengan saksama, bisa melihatnya—sebuah kilatan waspada yang sesaat di matanya sebelum tertutup kembali oleh pesonanya. "Memang tidak banyak yang bisa difoto. Aku bukan anak populer," jawabnya ringan. "Lagipula, buat apa melihat ke belakang? Semua kenangan terbaikku dimulai saat aku bertemu denganmu."Ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Sinta di atas meja. Jemarinya hangat dan kuat, seperti biasa. Tapi bagi Sinta, sentuhan itu kini terasa seperti jerat. Kata-katanya, yang seharusnya romantis, terdengar seperti sebuah pengalihan yang telah dilatih dengan sangat baik. Ia menarik tangannya dengan lembut dengan dalih ingin mengambil minum.Setelah anak-anak tidur, ketegangan di antara mereka semakin terasa di rumah yang sunyi. Sinta sedang mencuci piring saat Arka memeluknya dari belakang, meletakkan dagunya di bahu Sinta. Tubuh Sinta menegang seketika. Ia bisa merasakan detak jantung Arka di punggungnya. Jantung seorang pria yang mungkin telah mengucapkan janji selamanya kepada wanita lain."Kamu benar-benar diam malam ini," bisik Arka di dekat telinga Sinta. "Apa ada yang mengganggumu?""Hanya lelah, Arka," ulangnya lagi, suaranya nyaris bergetar."Kalau begitu, biarkan aku yang selesaikan ini," kata Arka, mengambil alih spons dari tangan Sinta. "Kamu istirahat saja."Sinta tidak membantah. Ia berjalan ke kamar tidur mereka, setiap langkah terasa berat. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah walk-in closet. Di baliknya, di dalam kotak beludru biru tua, terbaring sebuah kebenaran yang tidak ia mengerti.Malam itu, saat Arka berbaring di sampingnya dan menariknya ke dalam pelukannya, Sinta tidak bisa tidur. Ia menahan napas, berpura-pura sudah terlelap, mempelajari ritme napas suaminya. Lengan pria itu melingkari pinggangnya dengan posesif. Pelukan yang dulu memberinya rasa aman kini terasa seperti sangkar.Ia berbaring dalam kegelapan, matanya terbuka lebar, mendengarkan detak jantung pria yang tidur di sebelahnya. Pria yang ia cintai. Pria yang adalah orang asing. Ketakutan itu masih ada, dingin dan melumpuhkan. Tetapi di bawahnya, benih sesuatu yang lain mulai tumbuh. Bukan lagi hanya pertanyaan siapa dia, melainkan sebuah resolusi yang dingin dan menakutkan: Aku harus tahu.
Bab 4: Penyelidikan PertamaPagi berikutnya terasa seperti pengulangan mimpi buruk. Senyum yang sama, rutinitas sarapan yang sama, tetapi keheningan di antara mereka kini memiliki bobot yang tajam dan berbahaya. Sinta memainkan perannya dengan lebih baik hari ini. Ia menunduk di saat yang tepat, suaranya dijaga tetap rapuh, dan berhasil menyembunyikan badai yang berkecamuk di dalam dirinya di balik topeng ketenangan yang pecah. Resolusi yang terbentuk dalam kegelapan malam sebelumnya kini menjadi sebuah misi.Saat mobil Arka menghilang di ujung jalan, Sinta tidak membuang waktu. Ia tidak lagi merasa seperti korban yang kebingungan. Ia adalah seorang penyintas yang mencari senjata. Dengan jantung berdebar di rongga dadanya, ia berjalan menuju satu ruangan di rumah yang selalu ia anggap sebagai wilayah kekuasaan Arka: ruang kerjanya.Pintunya tidak dikunci. Ruangan itu, seperti suaminya, rapi dan terkendali. Rak buku tinggi berisi buku-buku bisnis bersampul tebal. Meja kayu gelap yang besar itu bersih, hanya ada laptop perak yang tertutup rapat, sebuah monitor, dan sebuah foto kecil dalam bingkai perak—foto dirinya dan anak-anak yang tersenyum bahagia. Pemandangan itu kini terasa seperti sebuah ejekan yang kejam.Sinta berdiri di ambang pintu sejenak. Perang batinnya bukan lagi tentang rasa bersalah, melainkan tentang rasa takut. Takut ketahuan, dan takut akan apa yang mungkin ia temukan. Namun, kebutuhan untuk tahu jauh lebih kuat. Pengetahuan adalah satu-satunya jalan keluar, satu-satunya senjata yang mungkin ia miliki. Ia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Suara klik kenop pintu terdengar seperti letusan pistol di rumah yang sunyi. Ia merasa seperti pencuri di rumahnya sendiri.Ia duduk di kursi kulit Arka yang terasa dingin dan besar. Di sinilah Arka bekerja hingga larut malam, membangun kehidupan mereka. Di sinilah ia menyimpan rahasia-rahasianya. Tangannya yang gemetar terulur dan membuka laptop itu. Layarnya menyala, menampilkan foto liburan keluarga mereka di pantai sebagai latar belakang. Lalu, sebuah kotak dialog muncul, meminta kata sandi.Tentu saja dikunci. Ia menggigit bibirnya, mencoba berpikir. Ia mengetikkan tanggal ulang tahun pernikahan mereka. Akses ditolak. Ulang tahunnya. Akses ditolak. Nama anak-anak mereka, dikombinasikan dengan angka. Akses ditolak.Rasa frustrasi yang dingin mulai merayapinya. Ia menatap kosong ke layar, hampir menyerah. Matanya memindai meja kerja Arka yang rapi, mencari ilham, mencari celah sekecil apa pun. Pandangannya berhenti pada sebuah cangkir keramik yang berisi pulpen dan klip kertas. Di dalamnya, tersembunyi di antara barang-barang lain, ada sebuah gantungan kunci tua yang berdebu—sebuah sedan perak kecil yang catnya sudah terkelupas.Sebuah ingatan samar muncul, percakapan sambil lalu bertahun-tahun yang lalu. Arka pernah bercerita sambil tertawa tentang mobil pertamanya, sebuah sedan tua butut yang ia sebut "Si Rocky". Cinta pertamaku, katanya saat itu. Sinta tidak pernah memikirkannya lagi, hingga sekarang.Didorong oleh keputusasaan, ia mengetikkan serangkaian huruf dan angka: Rocky1998. Tahun saat Arka lulus SMA. Ia menekan Enter.Layar berkedip, dan desktop Arka muncul. Sinta menahan napas, tidak percaya itu berhasil. Rasa lega yang membanjirinya segera digantikan oleh gelombang rasa bersalah dan ketakutan yang lebih besar. Ia berhasil masuk. Tidak ada jalan untuk kembali sekarang.Di mana harus memulai? Desktopnya bersih, hanya ada folder-folder kerja. Ia membuka peramban web, berharap menemukan sesuatu di riwayat pencarian. Kosong. Arka selalu membersihkannya. Kebiasaan yang dulu Sinta anggap sebagai tanda kerapian, kini terasa seperti tindakan penyembunyian yang disengaja.Ia beralih ke aplikasi email. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya di telinganya. Sebagian besar adalah email pekerjaan dan buletin. Ia ragu-ragu, lalu menggerakkan kursor ke bilah pencarian. Dengan jari yang terasa kaku, ia mengetik huruf pertama: L.Daftar kontak dan email yang mengandung huruf itu muncul. Sebagian besar tidak relevan—rekan kerja bernama Lukman, buletin dari LinkedIn. Ia menghapus huruf itu dan mencoba pendekatan lain. Ia hanya mengetikkan huruf L lagi, lalu mulai menggulir ke bawah, melewati email-email baru, terus ke bawah, semakin jauh ke masa lalu, hingga ke arsip yang paling dalam.Dan di sanalah ia menemukannya. Tersembunyi di dalam folder arsip dari sebelas tahun yang lalu—setahun sebelum ia bertemu Arka—ada serangkaian email dari seorang pengirim bernama Laras.Tangan Sinta menjadi dingin. L. Mungkinkah ini dia?Ia mengklik salah satu email itu. Jantungnya terasa seperti akan meledak dari dadanya. Subjeknya sederhana, hanya satu kata: "Ingat?"Ia menggerakkan kursor ke atas badan email, ragu-ragu untuk sesaat. Ini adalah kotak Pandora. Begitu dibuka, ia tidak akan pernah bisa menutupnya lagi. Dengan napas tertahan, ia mengklik email itu.Teksnya muncul di layar, dan saat Sinta membaca baris pertama, seluruh dunianya yang tertata rapi mulai runtuh berkeping-keping.
Bab 5: Suara dari Masa LaluKata-kata itu melompat dari layar, menusuk langsung ke jantung Sinta. Bukan surat cinta yang panjang, bukan penjelasan yang rumit. Hanya tiga baris pendek yang terasa lebih berat dari seribu halaman.Rama,Aku tahu kamu akan membaca ini suatu hari nanti. Jangan lupakan aku. Jangan lupakan apa yang kita miliki.Selalu milikmu, L.Rama.Nama itu bergema di dalam kepala Sinta yang mendadak kosong. R. Cincin itu bukan sekadar inisial acak. Itu adalah sebuah nama. Nama yang bukan milik suaminya. Atau, lebih buruk lagi, nama yang pernah menjadi miliknya.Sinta menyandarkan punggungnya di kursi, udara seakan tersedot keluar dari ruangan. Ia membaca ulang email itu, lagi dan lagi, berharap huruf-hurufnya akan berubah bentuk menjadi sesuatu yang lebih masuk akal. Tapi kata-kata itu tetap sama, menatapnya dengan dingin.Dengan jari yang terasa seperti milik orang lain, ia mengklik panah kembali, kembali ke daftar email. Ada puluhan email dari Laras, membentang selama hampir dua tahun. Subjeknya bervariasi dari yang biasa saja ("Makan siang?") hingga yang penuh gairah ("Tidak bisa berhenti memikirkanmu") dan yang terdengar putus asa ("Tolong telepon aku"). Ini bukan sekadar teman lama. Ini adalah sebuah kehidupan. Sebuah sejarah yang telah dihapus bersih, dan Sinta bahkan tidak pernah tahu ada sesuatu yang perlu dihapus.Ia membuka email lain, kali ini dari Arka—atau Rama—sebagai balasan. Tanggalnya hanya beberapa hari sebelum email pertama yang Sinta baca.Laras, kamu tahu aku tidak akan pernah melupakanmu. Kamu adalah segalanya. Sabar sedikit lagi. Sebentar lagi kita akan bebas.Aku janji. Kita akan punya rumah kecil di tepi danau itu, persis seperti yang selalu kita impikan.Selalu, R. Rumah kecil di tepi danau.Kalimat itu menghantam Sinta dengan kekuatan fisik. Lututnya lemas, dan ia mencengkeram tepi meja untuk menahan diri. Dua tahun yang lalu, pada ulang tahun pernikahan mereka, Arka membawanya ke sebuah danau yang indah di luar kota. Mereka duduk di tepi air, dan Arka membisikkan sebuah mimpi di telinganya. "Suatu hari nanti, Sin," katanya saat itu, suaranya penuh dengan ketulusan yang kini terasa palsu, "kita akan punya rumah kecil di sini. Hanya kita berdua. Jauh dari segalanya".Mimpi itu bukan miliknya. Mimpi itu adalah sisa-sisa dari kehidupan lain, sebuah janji bekas yang diberikan kepada wanita lain. Sinta merasa mual. Selama ini, ia hidup dalam gema cinta orang lain. Pernikahannya, mimpinya, mungkin bahkan beberapa lelucon dan gestur penuh kasih dari Arka—apakah semua itu asli, atau hanya pengulangan dari naskah yang sudah ada? Kemarahan yang membara mulai menggantikan rasa syoknya. Ia menggulir email-email itu dengan kasar, tidak lagi membaca isinya secara detail, tetapi hanya menyerap volume dan intensitasnya. Ada foto-foto terlampir: seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang dan senyum cerah, berpose di samping versi Arka yang lebih muda dan belum terpoles, dengan tatapan mata yang sama tajamnya. Di salah satu foto, mereka tertawa lepas, kepala Laras bersandar di bahu Rama. Mereka mengenakan cincin emas yang sama persis dengan yang Sinta temukan.Ia adalah hantu. Hantu yang hidup di dalam laptop suaminya, di dalam kotak perhiasan tuanya, dan kini, di dalam kepala Sinta.Sinta terus menggali, didorong oleh kebutuhan yang menyakitkan untuk mengetahui segalanya. Ia menemukan email-email yang lebih gelap, yang menyebutkan tentang "masalah" yang harus mereka selesaikan, tentang perlunya mereka untuk "berhati-hati". Ada nada ketakutan dalam tulisan Laras, dan nada protektif yang putus asa dalam balasan Rama. Lalu, tiba-tiba, email itu berhenti. Korespondensi yang intens selama dua tahun itu berakhir begitu saja. Email terakhir adalah yang pertama Sinta baca, yang dikirim oleh Laras. Setelah itu, tidak ada apa-apa lagi. Hening.Apa yang terjadi pada mereka? Mengapa semuanya berhenti? Dan bagaimana Rama, pria yang berjanji selamanya pada Laras, bisa berubah menjadi Arka, pria yang menikahinya? Sinta merasa pusing. Ruang kerja Arka yang rapi dan maskulin kini terasa seperti tempat kejadian perkara, dan ia adalah detektif yang terlambat datang. Ia menatap foto dirinya dan anak-anak di atas meja. Senyum mereka yang polos dan bahagia terasa seperti sebuah tuduhan.Tiba-tiba, suara bel dari tukang pos di depan rumah memecah keheningan. Suara itu begitu keras dan mendadak hingga Sinta terlonjak dari kursinya, hampir menjatuhkannya. Jantungnya berdebar panik. Ia segera menutup semua jendela email, membersihkan riwayat peramban dengan tangan gemetar, dan menutup laptop itu.Ia duduk diam sejenak, mencoba menenangkan napasnya yang memburu. Semuanya terlihat sama seperti saat ia masuk tadi. Tapi tidak ada yang sama lagi. Ia telah melintasi sebuah batas, dan ia tahu, dengan kepastian yang mengerikan, bahwa tidak akan pernah ada jalan untuk kembali ke pagi yang sempurna.
Bab 6: Orang Asing di RumahkuSinta menutup laptop itu, tetapi bayangan kata-kata dan wajah-wajah di layar seakan tercetak di bagian dalam kelopak matanya. Ia bergerak meninggalkan ruang kerja Arka, merasa seperti baru saja keluar dari sebuah makam. Rumahnya, yang beberapa jam lalu adalah surga keteraturan, kini terasa seperti labirin yang penuh dengan kebohongan. Setiap sudut yang familier kini tampak asing, menyimpan potensi rahasia lain.Ia melirik jam. Sudah waktunya menjemput anak-anak. Di dalam mobil, ia mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menyalakan radio, berharap musik bisa menenggelamkan gema nama "Rama" dan "Laras" di kepalanya, tetapi suara penyiar yang ceria justru terdengar seperti ejekan.Saat anak-anaknya berlari keluar dari gerbang sekolah dan masuk ke mobil dengan tawa riang, Sinta harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk tersenyum."Gimana sekolah hari ini, Sayang?" tanyanya, suaranya terdengar dipaksakan di telinganya sendiri.Celoteh mereka tentang pelajaran matematika dan teman yang jahil mengisi mobil. Sinta mengangguk dan menanggapi di saat yang tepat, tetapi pikirannya berada di tempat lain. Ia melihat anak-anaknya di kaca spion—wajah mereka adalah perpaduan sempurna antara dirinya dan Arka. Atau apakah itu perpaduan antara dirinya dan Rama? Pertanyaan itu membuatnya mual.Ponselnya berdering, menampilkan nama "Arka" di layar. Jantungnya berdebar kencang. Ia menekan tombol jawab di setir, suaranya bergetar saat berkata, "Halo?""Hai, Sin. Lagi di jalan, ya?" Suara Arka terdengar normal, hangat, dan penuh perhatian seperti biasanya. Nada itu kini terasa seperti sebuah kebohongan yang terampil."Iya, baru jemput anak-anak," jawab Sinta, berusaha keras menjaga nada suaranya tetap stabil."Cuma mau bilang, aku mungkin bisa pulang lebih cepat hari ini. Rapatnya dibatalkan," kata Arka. "Mau aku bawakan sesuatu? Mungkin es krim untuk anak-anak?"Tawaran yang sederhana dan penuh kasih itu kini terdengar seperti sebuah ancaman. Apakah ia curiga? Apakah ia menelepon untuk memeriksanya, untuk memastikan Sinta tidak mengendus rahasianya?"Tidak usah, Arka. Di rumah masih ada," jawab Sinta, terlalu cepat. "Fokus saja menyetir."Ada jeda sesaat di seberang sana. "...Oke. Kamu baik-baik saja? Terdengar aneh.""Macet," Sinta berbohong, matanya menatap lurus ke jalanan yang sebenarnya lengang. "Aku telepon lagi nanti."Ia memutus panggilan sebelum Arka sempat menjawab. Tangannya gemetar. Ia melirik kaca spion lagi. Anak perempuannya menatapnya dengan tatapan ingin tahu. "Ibu kenapa?"Sinta memaksakan senyum lagi. "Nggak apa-apa, Sayang. Ibu cuma capek."Di rumah, perasaan terasing itu semakin menjadi. Ia melihat cangkir kopi yang Arka gunakan pagi tadi, masih tergeletak di samping wastafel. Ia membayangkan tangan Arka—atau Rama—memegang cangkir itu. Ia melihat jaket kerja Arka tergantung di kursi. Siapa pria yang mengenakan jaket itu? Arka, manajer proyek yang sukses? Atau Rama, pria dengan masa lalu kelam yang melarikan diri?Ia menyiapkan makan siang untuk anak-anak, mengiris sandwich dengan gerakan mekanis. Setiap suara membuatnya terlonjak. Suara pintu tetangga yang tertutup, suara anjing yang menggonggong di kejauhan. Ia terus-menerus melirik ke jendela, setengah berharap, setengah takut melihat mobil Arka muncul lebih cepat dari yang seharusnya.Sore itu, saat anak-anak sedang mengerjakan PR di meja makan, Sinta duduk di sofa, berpura-pura membaca majalah. Tapi matanya tidak melihat halaman-halaman glossy itu. Ia menatap kosong ke seberang ruangan. Rumah ini, yang dulu menjadi sumber kebanggaannya, kini terasa seperti panggung sandiwara. Setiap perabot adalah properti, dan ia adalah aktris utama yang lupa dialognya.Ia terjebak. Terperangkap dalam pengetahuannya sendiri, tanpa ada seorang pun yang bisa ia ajak bicara. Jika ia menceritakannya pada sahabatnya, ia akan terdengar gila. Jika ia mengkonfrontasi Arka, apa yang akan terjadi? Pria yang menghapus seluruh identitasnya demi memulai hidup baru tidak akan ragu untuk melakukan apa pun demi melindungi kebohongannya. Pikiran itu membuatnya merinding. Untuk pertama kalinya, Sinta merasa takut pada suaminya.Ia tahu ia tidak bisa terus seperti ini. Hidup dalam kepura-puraan akan menghancurkannya. Ia harus tahu apa yang terjadi pada Laras. Ia harus tahu mengapa korespondensi mereka berhenti begitu saja. Ia harus tahu siapa sebenarnya pria yang tidur di sebelahnya setiap malam.Penyelidikannya belum selesai. Ini baru permulaan. Dengan kesadaran itu, secercah tekad yang dingin mulai mengeras di dalam hatinya, menggantikan sebagian dari kepanikan yang melumpuhkannya. Ia akan menemukan kebenaran, apa pun risikonya.
Bab 7: Jejak DigitalTengah malam adalah waktu yang paling sunyi. Di dalam rumah mereka, satu-satunya suara adalah dengung pelan kulkas dan napas Arka yang dalam dan teratur dari sisi lain tempat tidur. Sinta berbaring diam, matanya terbuka lebar menatap langit-langit yang gelap. Tidur adalah kemewahan yang tidak lagi ia miliki. Setiap kali ia memejamkan mata, ia melihat wajah Laras yang tersenyum dari foto di email, atau ukiran "R & L Selamanya" yang seakan membara di benaknya.Kepanikan yang melumpuhkannya selama dua hari terakhir telah surut, meninggalkan endapan yang dingin dan keras di dalam hatinya: tekad. Ia tidak bisa hidup dalam ketidaktahuan. Ia tidak akan membiarkan kebohongan ini menggerogotinya dari dalam.Dengan gerakan yang lambat dan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, ia menyibakkan selimut. Lantai kayu terasa dingin di telapak kakinya saat ia menyelinap keluar dari kamar tidur. Ia tidak menyalakan lampu, hanya mengandalkan cahaya bulan yang remang-remang dari jendela untuk menuntun langkahnya. Setiap derit kecil lantai di bawah kakinya terdengar seperti ledakan di telinganya.Tujuannya adalah ruang kerja Arka. Kali ini, tidak ada keraguan. Tidak ada perang batin. Ruangan itu bukan lagi wilayah terlarang, melainkan pusat komando rahasia miliknya. Ia menutup pintu di belakangnya tanpa suara dan duduk di kursi kulit yang sudah terasa familier. Kegelapan menyelimutinya, tetapi ia tidak merasa takut. Ia merasa fokus.Ia membuka laptop Arka. Cahaya dari layar menerangi wajahnya yang tegang. Ia mengetikkan kata sandi—Rocky1998—dengan lancar, seolah-olah itu adalah miliknya sendiri. Desktop Arka muncul, dan Sinta segera membuka peramban web dalam mode penyamaran. Ia tidak akan meninggalkan jejak kali ini.Ia berhenti sejenak, jari-jarinya melayang di atas keyboard. Di mana harus memulai? Ia punya dua nama: Rama dan Laras. Ia mengetikkannya di bilah pencarian: "Rama Laras".Ratusan hasil muncul. Profil media sosial pasangan dengan nama yang sama, artikel tentang mitologi Hindu, blog perjalanan. Tidak ada yang relevan. Terlalu umum. Ia membutuhkan sesuatu yang lebih spesifik. Seseorang yang ingin menghapus masa lalunya tidak akan meninggalkan jejak yang mudah ditemukan di media sosial. Akun Facebook Arka baru dibuat beberapa bulan sebelum mereka bertemu. Bersih. Seolah-olah hidupnya baru dimulai saat itu.Jadi, media sosial adalah jalan buntu. Ia harus mencari di tempat lain. Dari email, Sinta tahu bahwa Laras dan Rama berasal dari kota yang sama dengan tempat Arka dibesarkan, sebuah kota kecil beberapa jam di utara. Sinta mengetikkan kombinasi baru: "Laras" dan nama kota itu.Hasilnya lebih sedikit, tetapi masih belum ada yang menonjol. Ada beberapa berita lokal tentang seorang siswi berprestasi bernama Laras, tetapi fotonya berbeda. Ia merasa seperti sedang mencari hantu. Mungkin memang itu yang ia lakukan.Ia menatap kosong ke layar, hampir menyerah untuk malam ini. Lalu ia teringat pada email-email terakhir. Nada ketakutan dalam tulisan Laras, dan penyebutan tentang "masalah". Itu bukan sekadar drama percintaan biasa. Ada sesuatu yang lebih gelap di sana.Didorong oleh firasat yang dingin, ia mencoba pencarian terakhir, yang paling tidak mungkin. Ia menggabungkan semua informasi yang ia miliki menjadi satu pertanyaan panjang untuk mesin pencari: "Laras" hilang [nama kota] pacar berita lamaIa menekan Enter, tidak terlalu berharap. Halaman pertama penuh dengan berita kriminal yang tidak terkait. Ia mengklik halaman kedua. Halaman ketiga. Ia terus menggulir ke bawah, matanya memindai setiap judul dengan cepat. Dan kemudian, di bagian bawah halaman keempat, ia menemukannya. Sebuah tautan ke arsip digital sebuah surat kabar lokal.Judulnya membuat darahnya seakan membeku.Gadis Lokal Dilaporkan Hilang, Polisi Mencari Keberadaan PacarJantung Sinta berhenti berdetak. Dengan tangan gemetar, ia mengklik tautan itu. Sebuah artikel lama yang dipindai muncul di layar, kualitasnya sedikit buram, tetapi cukup jelas untuk dibaca. Tanggalnya sebelas tahun yang lalu, beberapa minggu setelah email terakhir antara Laras dan Rama.Artikel itu singkat. Seorang wanita muda bernama Laras Puspita, usia 22 tahun, dilaporkan hilang oleh keluarganya. Ia terakhir terlihat meninggalkan apartemennya setelah bertengkar dengan pacarnya. Foto Laras yang ditampilkan di artikel itu adalah wajah yang sama dengan yang Sinta lihat di email. Senyum cerah yang sama, kini menatapnya dari berita orang hilang.Sinta terus membaca, napasnya tertahan di tenggorokan. Paragraf terakhir adalah yang paling menghancurkan."Polisi menyatakan ingin berbicara dengan pacar Laras, yang diidentifikasi sebagai Rama Aditya, yang juga tampaknya telah menghilang. Rama Aditya dianggap sebagai orang yang berkepentingan dalam kasus ini..."Laras Puspita. Rama Aditya.Hantu-hantu itu kini memiliki nama lengkap. Dan suaminya, Arka, bukan hanya seorang pria dengan masa lalu yang dirahasiakan. Ia adalah Rama Aditya. Seseorang yang dicari sehubungan dengan hilangnya seorang wanita.Sinta menutup laptop itu dengan bunyi klik yang keras. Ia tidak lagi merasa seperti seorang istri yang dikhianati. Ia merasa seperti sedang tinggal serumah dengan seorang buronan.
Bab 8: Sangkar EmasSinta menyelinap kembali ke kamar tidur mereka, setiap langkahnya terasa berat seolah kakinya terbuat dari timah. Ruangan itu gelap dan sunyi, hanya diterangi oleh secercah cahaya bulan yang menyusup melalui celah tirai. Bayangan perabotan yang familier—lemari pakaian, meja rias—kini tampak mengancam, seperti monster yang sedang tidur. Di tengah ruangan, ranjang mereka yang besar dan nyaman terlihat seperti sebuah altar pengorbanan. Dan di atasnya, terbaring pria yang telah ia nikahi.Napas Arka yang dalam dan teratur adalah satu-satunya suara di ruangan itu. Suara yang dulu selalu menenangkannya kini terdengar seperti desisan ular. Sinta menahan napas saat ia menyelipkan dirinya kembali ke bawah selimut, berusaha tidak menimbulkan satu gerakan pun yang bisa membangunkannya. Ia berbaring kaku di tepian ranjang, sejauh mungkin dari tubuh Arka, merasakan dinginnya seprai di kulitnya.Ia bisa merasakan kehangatan yang terpancar dari tubuh suaminya. Kehangatan yang sama yang telah memeluknya selama sepuluh tahun. Tapi malam ini, kehangatan itu terasa seperti panas api yang siap membakarnya. Ia menutup matanya rapat-rapat, tetapi gambar dari artikel berita itu—wajah Laras Puspita, nama Rama Aditya—terbakar di benaknya. Orang yang berkepentingan. Pria yang berbaring beberapa sentimeter darinya ini adalah orang yang berkepentingan dalam kasus orang hilang.Tiba-tiba, Arka bergerak dalam tidurnya. Ia bergumam pelan dan lengannya terulur, mendarat di pinggang Sinta. Sinta membeku. Seluruh ototnya menegang hingga terasa sakit. Napasnya tercekat di tenggorokan. Sentuhan biasa yang tak terhitung jumlahnya ia terima itu kini terasa seperti cengkeraman seorang predator.Ia berbaring diam, tidak berani bergerak, berdoa agar Arka tidak terbangun. Jantungnya berdebar begitu kencang, ia yakin Arka bisa merasakannya melalui sentuhan lengannya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, napas Arka kembali teratur, dan cengkeramannya sedikit melonggar. Tapi lengannya tetap di sana, memenjarakannya.Sisa malam itu dihabiskan Sinta dalam siksaan tanpa tidur. Waktu merayap dengan lambat. Rumah indahnya telah berubah menjadi sangkar emas. Mewah, nyaman, tetapi tetap sebuah penjara.Ketika fajar pertama mulai mewarnai langit dengan warna abu-abu pucat, Sinta sudah merencanakan penampilannya. Hari ini, ia harus menjadi aktris terbaik dalam hidupnya. Keselamatan dirinya dan anak-anaknya bergantung pada itu.Ia menunggu hingga alarm Arka berbunyi sebelum ia "terbangun", meregangkan tubuh dengan gerakan yang telah ia latih dalam benaknya. Ia menoleh ke arah Arka dan memaksakan seulas senyum. "Pagi," sapanya, suaranya serak karena kurang tidur, yang untungnya terdengar alami."Pagi, Sayang," jawab Arka, suaranya masih berat karena tidur. Ia menarik Sinta lebih dekat dan mengecup bibirnya. Ciuman itu terasa seperti racun. Sinta harus mengerahkan seluruh kemauannya untuk tidak menarik diri.Di dapur, rutinitas pagi menjadi sebuah tarian yang berbahaya. Sinta bergerak dengan efisiensi yang dibuat-buat, bisa merasakan tatapan Arka di punggungnya saat pria itu duduk di meja makan, membaca berita di tabletnya. Setiap gerakan Sinta terasa diawasi."Kamu terlihat lelah," kata Arka tiba-tiba, matanya masih menatap layar.Sinta hampir menjatuhkan wajan. "Mimpi buruk," ia berbohong dengan cepat, memunggungi Arka agar pria itu tidak melihat kilat panik di matanya. "Tidak bisa tidur lagi setelah itu.""Oh ya? Mimpi tentang apa?" tanya Arka, nadanya terdengar biasa saja."Tidak ingat. Sesuatu yang konyol," jawab Sinta sambil meletakkan sepiring telur orak-arik di depan Arka. Tangannya sedikit gemetar. Ia berharap Arka tidak menyadarinya.Arka mulai makan, dan keheningan yang nyaman seperti dulu kini terasa berat dan penuh dengan hal-hal yang tak terucapkan. Sinta duduk di seberangnya, mengaduk kopinya tanpa niat untuk meminumnya. Ia memindai wajah suaminya—garis-garis halus di sekitar matanya, rahangnya yang kokoh. Wajah yang sama yang ia cintai selama satu dekade. Tapi sekarang, ia mencari jejak Rama Aditya di balik fasad Arka. Apakah ada kilatan gelap di matanya? Apakah senyumnya menyembunyikan kekejaman?"Nanti malam, bagaimana kalau kita nonton film?" usul Arka, meletakkan tabletnya. "Hanya kita berdua, setelah anak-anak tidur. Sudah lama sekali rasanya."Ia tersenyum, senyum karismatik yang selalu meluluhkan Sinta. Tapi hari ini, Sinta yang baru bisa melihat apa yang selalu ada di sana: senyum itu tidak mencapai matanya."Tentu," jawab Sinta, suaranya terdengar seperti milik orang lain. "Kedengarannya menyenangkan."Arka meraih tangannya di atas meja. "Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu beberapa hari ini, Sin. Apa pun itu, kamu bisa cerita padaku. Kita akan melewatinya bersama, seperti biasa."Kata-katanya adalah belati yang memutar di dalam luka Sinta. Kita akan melewatinya bersama. Kebohongan yang begitu sempurna, begitu meyakinkan. Sinta menatap mata suaminya, pria yang berjanji untuk melindunginya, dan untuk pertama kalinya, ia melihat orang asing yang berbahaya menatap balik. Dan orang asing itu tahu ada yang tidak beres.
Bab 9: Rencana PelarianPagi itu, Sinta mengumumkan rencananya dengan nada yang paling santai yang bisa ia kumpulkan. "Aku mau ke perpustakaan kota hari ini," katanya sambil mengoleskan selai pada roti panggang untuk anak-anak. "Ada beberapa buku yang sudah jatuh tempo, dan aku mau cari bahan untuk tugas Bima."Arka mengangkat pandangannya dari tablet, alisnya sedikit terangkat. "Perpustakaan? Tumben sekali. Bukankah kau sudah menemukan bahannya kemarin?"Jantung Sinta berdetak sedikit lebih cepat, tetapi ia menjaga senyumnya tetap di tempat. "Yang kemarin kurang bagus. Aku mau cari buku tentang bangunan tua, mungkin stasiun kereta. Sekali-kali ingin suasana berbeda, bosan menatap layar terus." Kebohongan itu keluar dengan begitu mudah, begitu alami, hingga ia nyaris membuat dirinya sendiri ngeri."Baiklah," kata Arka, kembali fokus pada layarnya, tetapi Sinta tahu ia tidak benar-benar membaca. Ia sedang menimbang-nimbang. "Jangan terlalu lama. Ingat janji kita nonton film malam ini.""Tentu saja," jawab Sinta. Janji itu terasa seperti tali gantungan yang melingkari lehernya.Satu jam kemudian, setelah mengantar anak-anak dan memastikan Arka sudah berangkat kerja, Sinta mengemudikan mobilnya bukan ke arah supermarket atau butik langganannya, melainkan ke pusat kota. Perpustakaan umum berdiri megah dan kuno, sebuah benteng pengetahuan yang sunyi. Di dalamnya, aroma buku-buku tua dan debu terasa menenangkan, sebuah kontras yang tajam dengan kekacauan di dalam benaknya.Ia sengaja tidak membawa ponselnya, meninggalkannya di mobil. Ia tidak mau mengambil risiko dilacak. Ia berjalan melewati rak-rak tinggi, menuju deretan komputer umum di sudut paling belakang. Ia memilih sebuah bilik yang paling terpencil. Jantungnya berdebar kencang saat ia duduk.Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengetikkan kata-kata yang terasa begitu terlarang di lidahnya: Cara menghilang tanpa jejak.Hasilnya adalah campuran yang aneh antara paranoia dan fantasi. Blog tentang teori konspirasi, forum untuk para pelarian, artikel yang menyarankan untuk membuang semua identitas dan hidup di alam liar. Tidak ada yang praktis. Tidak ada panduan langkah demi langkah untuk seorang ibu dua anak dari pinggiran kota. Ia menutup tab itu dengan frustrasi.Ia harus lebih metodis. Apa yang ia butuhkan pertama kali? Uang. Pencarian berikutnya lebih spesifik: Cara mengambil uang dari rekening bersama tanpa memicu peringatan.Ia membaca tentang batas penarikan harian, tentang transaksi dalam jumlah besar yang secara otomatis ditandai oleh bank. Arka, yang sangat teliti dengan keuangan mereka, akan langsung tahu jika ada jumlah besar yang hilang. Sinta menyadari ia hanya bisa menarik uang tunai dalam jumlah kecil setiap beberapa hari. Itu akan memakan waktu. Waktu yang mungkin tidak ia miliki.Kenyataan pahit itu membuatnya sesak napas. Ia tidak bisa lari begitu saja. Ia terikat oleh jejak digital, oleh rekening bersama, oleh kehidupan yang telah ia bangun dengan pria yang kini ia takuti.Ia tidak boleh menyerah. Ia membuka tab baru, pikirannya kini tertuju pada tujuan akhir. Ke mana ia akan pergi? Ia tidak bisa ke rumah orang tuanya; itu tempat pertama yang akan Arka datangi. Ia juga tidak bisa merepotkan teman-temannya. Ia harus pergi ke tempat di mana ia dan anak-anaknya bisa menjadi anonim. Menjadi hantu.Dengan tangan gemetar, ia mengetikkan pencarian terakhirnya, yang paling nyata dan paling menakutkan: Tempat penampungan wanita aman [nama kota lain yang jauh].Sebuah daftar muncul. Nama-nama organisasi dengan alamat yang dirahasiakan dan nomor telepon darurat. Ia mengeluarkan secarik kertas kecil dari sakunya—struk belanjaan lama—dan sebuah pulpen. Ia menyalin satu nomor telepon, huruf-hurufnya miring dan kacau karena tangannya yang gemetar.Setelah selesai, ia menghapus riwayat pencariannya dengan cermat, lalu mematikan komputer. Ia berjalan keluar dari perpustakaan, kembali ke terik matahari yang menyilaukan. Di dalam mobilnya, yang terparkir di sudut terjauh, ia tidak langsung menyalakan mesin. Ia duduk diam, mencengkeram setir.Ia menatap secarik kertas di tangannya. Deretan angka itu terasa lebih berat daripada bongkahan batu. Itu adalah tiketnya menuju kehidupan baru, tetapi juga tiket menuju kehancuran total dari semua yang pernah ia kenal.Air mata yang sejak pagi ia tahan akhirnya jatuh, mengalir tanpa suara di pipinya. Ia menangis karena marah, karena takut, dan karena secercah harapan yang begitu kecil namun begitu kuat. Setelah beberapa saat, ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Ia melipat kertas itu dengan hati-hati menjadi persegi kecil yang tebal, lalu menyelipkannya ke dalam saku tersembunyi di dompetnya, di belakang foto anak-anaknya.Ia menarik napas dalam-dalam, hembusannya terdengar goyah. Ia menyalakan mesin mobil. Rencananya mungkin belum sempurna, penuh dengan lubang dan ketidakpastian. Tapi itu adalah sebuah rencana. Dan untuk saat ini, itu sudah lebih dari cukup.
Bab 10: Malam Penuh DustaRuang keluarga tenggelam dalam kegelapan, satu-satunya sumber cahaya adalah kilatan-kilatan adegan kekerasan dari layar televisi yang besar. Tirai tebal memblokir dunia luar, menciptakan sebuah ruang hampa yang hanya diisi oleh mereka berdua dan kebohongan yang membentang di antara mereka.Sinta duduk di sofa, tubuhnya kaku, saat Arka menariknya mendekat. Lengan pria itu melingkari bahunya, sebuah gestur yang seharusnya terasa melindungi, tetapi kini terasa seperti belenggu. Aroma parfum Arka, wangi kayu dan rempah yang dulu sangat ia sukai, kini terasa memuakkan, menyumbat pernapasannya. Kehangatan tubuhnya yang bersandar pada Sinta terasa membakar, dan Sinta harus menahan keinginan naluriahnya untuk melompat dan lari. Ia memaksa otot-ototnya untuk rileks, menyandarkan kepalanya di bahu Arka, memainkan perannya sebagai istri yang penuh kasih. Pertunjukan terpenting dalam hidupnya.Di layar, seorang pria dengan tatapan mata dingin sedang menghapus jejak kejahatannya. Film thriller pilihan Arka. Ironis sekali."Gila, ya," bisik Sinta, suaranya nyaris tak terdengar di antara suara ledakan dari film. "Bagaimana bisa seseorang hidup dengan kebohongan sebesar itu?" Arka tidak langsung menjawab. Sinta bisa merasakan getaran pelan di dadanya saat pria itu terkekeh. "Semua orang punya rahasia, Sin," jawabnya, nadanya ringan. "Hanya saja, beberapa rahasia lebih besar dari yang lain." Lengannya di bahu Sinta sedikit mengencang. Bukan cengkeraman yang menyakitkan, hanya tekanan yang cukup untuk mengingatkan Sinta akan kehadirannya, akan kekuatannya."Tapi dia punya istri, anak-anak," lanjut Sinta, matanya terpaku pada layar, di mana istri sang protagonis sedang tersenyum, tidak menyadari pengkhianatan yang terjadi di rumahnya sendiri. "Mereka tidak pantas menerima ini." "Mungkin dia melakukannya untuk melindungi mereka," kata Arka. Suaranya terdengar begitu masuk akal, begitu tenang. "Mungkin kebenaran justru akan lebih menghancurkan mereka daripada kebohongan itu sendiri." Sinta merasakan hawa dingin menjalari tulang punggungnya. Setiap kata yang Arka ucapkan terasa seperti pisau bedah, membelah situasi mereka dengan presisi yang mengerikan. Apakah ini sebuah pengakuan? Atau sebuah peringatan? Di layar, sang istri mulai curiga. Ia menemukan sebuah petunjuk kecil, sebuah kejanggalan yang tidak bisa ia abaikan. Persis seperti dirinya."Menurutmu, apa dia akan ketahuan?" tanya Sinta, kali ini ia menoleh sedikit untuk melihat profil wajah Arka yang diterangi oleh cahaya televisi.Arka terdiam sejenak, matanya masih menatap lurus ke depan. "Tergantung seberapa pintar istrinya," jawabnya pelan. "Dan seberapa jauh si suami mau melangkah untuk menjaga rahasianya tetap terkubur." Ada makna tersembunyi dalam kata-katanya, sebuah ancaman yang tak terucap. Sinta merasakan mulutnya mengering. Arka tidak hanya berbohong; ia menikmati permainan ini."Kalau... kalau kamu ada di posisi istrinya," Sinta memaksakan kata-kata itu keluar, suaranya bergetar, "apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaan itu menggantung di udara yang pengap di antara mereka. Arka meraih remote control dan menekan tombol jeda. Layar menjadi hitam. Ruangan menjadi gelap total. Keheningan tiba-tiba terasa memekakkan. Arka menoleh, dan meskipun Sinta tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, ia bisa merasakan tatapan pria itu menembus kegelapan, menusuknya."Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sin?" suaranya tidak lagi ringan. Terdengar dingin dan tajam. "Memangnya... apa yang akan kamu lakukan?" Jantung Sinta terasa seperti akan berhenti. Ia terjebak. Pertanyaannya telah dibalikkan menjadi sebuah tuduhan. Ia bisa merasakan napas Arka di wajahnya, begitu dekat. Pria yang ia tiduri setiap malam kini adalah seorang interogator di dalam kegelapan."Hanya... hanya bertanya," jawab Sinta tergagap, mencoba terdengar santai. "Filmnya membuatku berpikir." Arka tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat yang terasa seperti selamanya. Lalu, Sinta merasakan ibu jarinya menyentuh pipi Sinta dengan lembut, sebuah sentuhan yang terasa lebih mengancam daripada sebuah pukulan."Jangan terlalu banyak berpikir, Sayang," bisiknya, suaranya kembali terdengar lembut, tetapi ada nada baja di baliknya. "Itu bisa berbahaya." Ia menekan tombol play, dan ruangan itu kembali diisi oleh cahaya dan suara. Lengannya kembali merangkul bahu Sinta. Tapi keintiman itu telah pecah. Sinta tidak lagi merasa seperti sedang menonton film. Ia merasa seperti sedang menonton panduan tentang bagaimana ia bisa mati.
Bab 11: Di Bawah PengawasanPeringatan Arka di malam sebelumnya—Jangan terlalu banyak berpikir, Sayang. Itu bisa berbahaya—menggema di benak Sinta sepanjang pagi. Itu bukan lagi sekadar firasat buruk; itu adalah konfirmasi. Permainan telah berubah. Ia tidak lagi hanya mencari kebenaran; ia kini bersembunyi dari sang pemburu. Suaminya tahu ia curiga, dan alih-alih panik, pria itu justru menikmati permainan kucing-dan-tikus ini.Siang itu, setelah anak-anak dan Arka pergi, rumah yang cerah dan lapang terasa berbeda. Sinar matahari yang biasanya membuat Sinta merasa hangat, kini terasa seperti lampu sorot interogasi yang menelanjanginya. Ia bergerak di dapur, dan dari sudut matanya, ia bisa melihat pantulan dirinya di pintu kaca geser. Ia merasa terekspos, bahkan saat sendirian.Secarik kertas berisi nomor telepon tempat penampungan itu terasa membakar di dalam saku celananya. Benda itu adalah satu-satunya harapannya, sebuah jimat rapuh yang harus ia jaga. Ia harus menelepon. Hari ini. Sebelum Arka menemukan cara lain untuk mengencangkan rantainya.Ia menunggu hingga jam makan siang, waktu yang paling tidak mungkin bagi Arka untuk menelepon. Ia mengambil ponselnya dan berjalan ke kamar mandi tamu di lantai bawah—satu-satunya ruangan di rumah tanpa jendela, sebuah kotak kecil yang terisolasi. Pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi klik yang pelan. Ia menyandarkan punggungnya di pintu yang dingin, mengeluarkan ponsel dan kertas itu dengan tangan gemetar.Ia menatap deretan angka itu. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga membuat dadanya sesak. Ini adalah langkah pertamanya menuju kebebasan, atau langkah pertamanya menuju kehancuran. Ia baru saja akan menekan angka pertama ketika ia mendengar suara yang paling tidak ia harapkan: suara pintu garasi yang terbuka, diikuti deru mesin mobil yang dimatikan.Seketika tubuhnya membeku. Darah seakan surut dari wajahnya. Arka. Dia pulang. Ini bukan kebetulan. Ini adalah sebuah pesan.Dengan gerakan panik, ia memasukkan kembali kertas itu ke sakunya dan menyiram toilet untuk menciptakan alibi. Ia membuka keran, membasuh tangannya yang dingin. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—wajahnya pucat pasi, matanya melebar karena teror. Tenang, perintahnya pada diri sendiri. Bersikaplah normal.Ia membuka pintu kamar mandi tepat saat Arka masuk melalui pintu dapur, tersenyum lebar. "Kejutan!" katanya, merentangkan tangannya. "Rapat terakhir selesai lebih cepat, jadi aku pikir kita bisa makan siang bersama."Senyumnya tampak tulus, tetapi matanya tidak. Mata itu memindai Sinta dari atas ke bawah, tajam dan penuh perhitungan, berhenti sejenak pada saku celana Sinta di mana kertas itu tersembunyi."Kamu di kamar mandi?" tanyanya, nadanya ringan, tetapi pertanyaannya terasa seperti sebuah tuduhan."Iya, baru saja selesai bersih-bersih," jawab Sinta, suaranya terdengar tipis dan jauh. Ia berjalan melewati Arka, menuju dapur, berusaha menciptakan jarak. "Tumben sekali kamu pulang. Semuanya baik-baik saja di kantor?""Semuanya sempurna," kata Arka sambil meletakkan tas kerjanya di meja. "Justru karena semuanya baik-baik saja, aku jadi kepikiran kamu. Aku bawa hadiah."Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan sebuah kotak tipis yang ramping. Sebuah tablet baru. Sinta menatap benda itu seolah-akan itu adalah seekor ular berbisa."Untukmu," kata Arka, mendorong kotak itu ke arah Sinta. "Aku lihat tabletmu sudah mulai lambat. Yang ini model terbaru. Aku sudah mengaturnya untukmu, jadi kita bisa selalu terhubung. Ada fitur panggilan video, dan aku juga sudah memasang aplikasi pelacak keluarga. Jadi aku bisa tenang karena tahu kamu dan anak-anak selalu aman."Setiap kata adalah paku yang menancap di peti matinya. Selalu terhubung. Pelacak keluarga. Selalu aman. Itu bukan hadiah. Itu adalah alat pengintai. Sebuah sangkar digital yang indah dan berkilauan."Arka, ini... ini berlebihan," kata Sinta, mencoba tersenyum, merasakan otot-otot di wajahnya berkedut karena tegang. "Terima kasih, tapi tidak perlu.""Aku memaksa," kata Arka, senyumnya tidak goyah. Ia membuka kotak itu dan mengeluarkan tablet yang berkilauan. "Anggap saja ini caraku menunjukkan rasa sayang." Ia meletakkan benda dingin dan halus itu di tangan Sinta. Rasanya berat, seperti batu nisan.Sore itu, Arka "bekerja dari rumah", duduk di ruang kerjanya dengan pintu sedikit terbuka, memastikan ia bisa mendengar setiap gerakan Sinta. Kesempatannya untuk menelepon di dalam rumah telah lenyap. Ia butuh udara. Dengan dalih ingin menyiram tanaman, ia berjalan keluar ke taman belakang.Ia berjalan ke sudut taman yang paling jauh, tersembunyi di balik rimbunnya semak bunga sepatu. Ini adalah satu-satunya tempat yang tidak terlihat langsung dari jendela ruang kerja. Sebuah titik buta. Setidaknya, itulah yang ia harapkan.Ia mengeluarkan ponselnya, jantungnya kembali berdebar kencang. Ia melirik ke arah rumah, lalu dengan cepat mulai menekan nomor di ponselnya. Satu... dua... tiga...Tiba-tiba, tablet di tangannya bergetar dan berbunyi nyaring. Panggilan video masuk. Di layar, wajah Arka muncul, tersenyum dari ruang kerjanya."Hai, Sayang," katanya, suaranya terdengar jernih dan ceria. "Aku lihat kamu di sana. Butuh bantuan untuk menyiram?"Sinta menjatuhkan ponselnya ke rumput yang lembut. Ia tertangkap basah. Pria itu selangkah lebih maju. Selalu selangkah lebih maju. Ia berdiri di bawah langit biru yang luas, di tengah tamannya yang indah, dan ia belum pernah merasa lebih terperangkap sepanjang hidupnya.
Bab 12: Permainan BayanganUntuk sesaat, waktu seakan berhenti. Ponsel Sinta tergeletak di rumput hijau yang dipangkas rapi. Di tangannya yang lain, tablet itu terasa dingin dan berat, menampilkan wajah Arka yang tersenyum, sebuah potret digital dari sang sipir penjara. Suara suaminya yang ceria—Butuh bantuan untuk menyiram?—menggantung di udara sore yang hangat, terasa lebih mengancam daripada teriakan mana pun.Rasa dingin yang melumpuhkan menjalari pembuluh darah Sinta. Ini adalah skakmat. Ia telah meremehkan lawannya. Ia mengira Arka hanya menyembunyikan masa lalu; ia tidak menyadari bahwa pria itu adalah seorang ahli strategi yang kejam, yang selalu berpikir tiga langkah di depan.Kepanikan mengancam akan menelannya. Ia ingin berteriak, melempar tablet itu ke dinding, dan lari tanpa menoleh ke belakang. Tapi kemudian, di tengah badai teror itu, sesuatu yang lain muncul. Sesuatu yang lebih dingin, lebih keras, dan jauh lebih kuno: naluri untuk bertahan hidup. Lari tanpa rencana adalah bunuh diri. Arka telah menunjukkan kartunya, dan sekarang, Sinta tahu persis permainan apa yang sedang mereka mainkan. Dan jika ia ingin menang—jika ia ingin hidup—ia harus belajar cara bermain.Dengan gerakan yang terasa lambat dan disengaja, ia menarik napas dalam-dalam, menelan kembali kepanikannya. Ia membungkuk dan mengambil ponselnya yang layarnya kini sedikit retak karena jatuh. Lalu, ia mengangkat pandangannya ke tablet, memaksakan seulas senyum yang goyah ke bibirnya."Ya Tuhan, Arka, kamu membuatku kaget," katanya, suaranya sedikit bergetar—sebuah detail yang ia harap akan memuaskan suaminya. "Aku tidak tahu tablet ini bisa melakukan itu."Di layar, senyum Arka sedikit melebar. Ada kilatan kemenangan di matanya. "Teknologi memang luar biasa, kan?" jawabnya, nadanya terdengar lembut dan merendahkan. "Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Kamu terlihat sedikit tegang akhir-akhir ini.""Aku... aku baik-baik saja," jawab Sinta. Ia memegang tablet itu dengan kedua tangannya, seolah-olah itu adalah hadiah yang berharga. "Terima kasih sudah memeriksaku." Ia telah mengucapkan kata-kata yang tepat. Ia telah menunjukkan rasa takut, diikuti oleh kepatuhan. Ia telah memainkan peran sebagai istri yang terintimidasi dengan sempurna."Tentu saja, Sayang," kata Arka. "Aku akan selalu menjagamu. Selesaikan saja pekerjaanmu, aku tunggu di dalam."Panggilan video itu berakhir. Layar menjadi gelap, memantulkan wajah Sinta yang pucat dan tegang. Ia tahu sekarang bahwa setiap perangkat elektronik di rumah ini adalah mata dan telinga Arka. Ponselnya, tablet barunya, laptopnya—semuanya adalah pengkhianat. Strateginya harus berubah. Total. Permainan ini tidak bisa lagi dimainkan secara digital. Ia harus bergerak dalam bayang-bayang, di dunia fisik yang tidak bisa dilacak oleh Arka.Dengan ketenangan yang baru ia temukan, ia berjalan kembali ke dalam rumah. Arka sedang di dapur, membuat kopi, bersenandung pelan. Ia menoleh saat Sinta masuk dan tersenyum. "Sudah selesai?""Sudah," jawab Sinta. Ia meletakkan tablet baru itu di meja dapur dengan hati-hati. Lalu, dengan gerakan yang tampak wajar, ia meletakkan ponselnya yang retak di samping tablet itu, di tempat terbuka. Sebuah persembahan. Sebuah tanda penyerahan diri. Lihat, tindakannya seakan berkata, aku tidak punya apa-apa lagi untuk disembunyikan.Arka mengangguk puas. Ia telah memenangkan pertempuran hari ini.Sementara Arka sibuk dengan kopinya, Sinta berjalan ke ruang keluarga, di mana tas tangannya tergeletak. Dengan punggung menghadap Arka, ia membuka tasnya, berpura-pura mencari lip balm. Tangannya merogoh ke dalam, melewati dompet dan kunci, hingga menemukan secarik kertas struk yang terlipat berisi nomor telepon tempat penampungan. Ia tidak mengeluarkannya. Kertas ini adalah bom waktu. Ia tidak bisa menyimpannya lebih lama lagi. Ia harus menghafalnya.Ia mengeluarkan dompetnya, membukanya ke bagian foto anak-anaknya. Di belakang foto itu, ia telah menyelipkan kertasnya. Ia menatap deretan angka itu selama beberapa detik yang terasa panjang, membakarnya ke dalam ingatannya. Sepuluh digit. Sepuluh langkah menuju pintu keluar. Ia mengulanginya dalam benaknya, lagi dan lagi, seperti sebuah mantra, sebuah doa sunyi.Lalu, ia mengambil kertas itu, meremasnya di dalam genggamannya, dan berjalan kembali ke dapur. "Aku mau ke toilet sebentar," kata Sinta, senyumnya tidak goyah.Di dalam kamar mandi, ia tidak membuang waktu. Ia merobek kertas itu menjadi serpihan-serpihan kecil yang tak mungkin bisa disatukan kembali. Ia melemparkannya ke dalam kloset dan menyiramnya. Ia menyaksikan pusaran air menelan satu-satunya bukti fisiknya. Tapi itu tidak masalah. Rencana itu tidak lagi ada di atas kertas. Rencana itu sekarang ada di dalam kepalanya—satu-satunya tempat di dunia ini yang tidak bisa dijangkau oleh Arka.Ia kembali ke dapur. Arka masih menunggunya, mengamatinya. "Semuanya baik-baik saja?""Tentu," jawab Sinta. Ia berjalan mendekat, melakukan hal yang paling tidak terduga. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Arka dan menyandarkan kepalanya di dada pria itu. Ia bisa merasakan otot-otot Arka yang menegang karena terkejut, sebelum akhirnya rileks. Arka membalas pelukannya, mengusap punggungnya. Ia mengira ini adalah tanda penyerahan diri total. Ia salah besar.Saat Sinta berdiri di sana, di dalam pelukan pria yang telah menghancurkan dunianya, ia tidak merasakan apa-apa selain es yang dingin. Dan di dalam benaknya, di balik matanya yang terpejam, ia terus mengulangi mantranya.Nol-delapan-satu-dua... Tiga-empat-lima-enam... Tujuh-delapan-sembilan-nol...Permainan bayangan telah dimulai. Dan kali ini, ia tidak akan kalah.
Bab 13: Panggilan dalam KeramaianRencana itu dimulai dengan suara letupan pelan, diikuti oleh desis uap dan bau plastik terbakar. Mesin kopi espresso kesayangan Arka, sebuah monster baja tahan karat yang harganya lebih mahal dari cicilan mobil sebulan, mati total.Sinta mundur dari meja dapur, tangannya menutup mulut dengan kengerian yang dibuat-buat.Arka, yang sedang mengikat tali sepatunya di dekat pintu, langsung berdiri tegak. "Apa itu?""Aku... aku tidak tahu," kata Sinta, suaranya bergetar. Ia menunjuk ke mesin yang kini diam membisu. "Aku hanya menyalakannya seperti biasa, lalu ada suara aneh dan bau gosong." Tadi malam, saat Arka sudah tertidur lelap, Sinta menyelinap ke dapur dan dengan hati-hati menuangkan sedikit air ke dalam ventilasi di panel belakang mesin. Sebuah sabotase kecil yang berisiko.Arka mendekat, wajahnya mengeras saat melihat genangan kecil air di bawah mesin dan mencium bau hangus itu. Ia menekan beberapa tombol. Tidak ada respons. Ia mencabut stekernya, lalu menatap Sinta dengan tatapan dingin yang membuat perut Sinta melilit. "Apa yang kamu lakukan?""Tidak ada! Sumpah, Arka, aku tidak melakukan apa-apa," jawab Sinta, membiarkan air mata kepanikan palsu menggenang di matanya. Ia tampak rapuh, bersalah, dan bodoh—persis seperti yang ia inginkan.Setelah beberapa menit yang menegangkan, Sinta memberikan solusi yang telah ia siapkan. Menggunakan tablet baru yang diawasi, ia mencari "servis mesin kopi" dan menunjukkan hasilnya pada Arka. "Lihat," katanya dengan nada penuh harap, "katanya ada toko suku cadang khusus di mal Grand Metropolitan. Mungkin mereka bisa memperbaikinya."Arka menatapnya lama, matanya menyelidik. Tapi yang ia lihat hanyalah istrinya yang patuh dan ketakutan. "Baiklah," katanya akhirnya. "Pergi sana. Cari tahu apa yang mereka butuhkan."Sebelum berangkat, Sinta meletakkan ponselnya yang retak dan tablet barunya di meja dapur, di tempat yang mudah terlihat. "Aku tidak akan bawa ini," katanya pelan. "Aku takut merusakkan barang lain." Itu adalah tanda penyerahan diri yang sempurna. Arka hanya mengangguk, puas karena istrinya kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya, terputus dari dunia luar.Satu jam kemudian, Sinta melangkah masuk ke dalam lautan manusia di pusat perbelanjaan. Keramaian ini, yang biasanya membuatnya pusing, kini adalah jubah tembus pandangnya. Ia bisa bersembunyi di tempat terbuka. Ia tahu ia tidak punya banyak waktu. Ia menuju ke lantai paling atas, ke area food court. Ia butuh meminjam telepon.Ia memindai lautan wajah itu, mencari seseorang yang tidak akan mengingatnya. Pilihannya jatuh pada seorang wanita tua yang sedang duduk sendirian di sudut, mengaduk tehnya dengan tatapan kosong. Sempurna.Sinta mendekat. "Permisi, Bu," katanya, suaranya sedikit serak. Wanita itu mengangkat pandangannya."Maaf mengganggu," lanjut Sinta, memaksakan senyum cemas. "Mobil saya mogok dan ponsel saya ketinggalan di rumah. Bolehkah saya pinjam ponsel Ibu sebentar saja untuk menelepon derek?" Kisah itu sudah ia siapkan, cukup umum untuk tidak menimbulkan kecurigaan.Wanita itu menatapnya sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa, ia mengeluarkan ponsel model lama dari tasnya dan menyerahkannya pada Sinta. Tangan Sinta gemetar saat menerima ponsel itu. Ia berbalik, memunggungi wanita itu, dan dengan cepat menekan sepuluh digit angka yang telah terpatri di otaknya.Ia menempelkan ponsel itu ke telinganya. Telepon berdering sekali. Dua kali."Halo?" Suara seorang wanita di seberang sana terdengar tenang dan profesional."Halo," bisik Sinta, jantungnya terasa seperti akan meledak. "Saya... saya dapat nomor ini dari internet. Saya butuh bantuan."Ada jeda sesaat. "Bantuan seperti apa yang Anda butuhkan?""Suami saya," Sinta tergagap. "Dia berbahaya. Saya harus pergi. Saya punya anak.""Apakah Anda berada di tempat yang aman untuk berbicara sekarang?""Tidak," jawab Sinta cepat. "Saya tidak punya banyak waktu.""Baik. Saya mengerti," kata wanita itu. "Saya tidak bisa memberikan alamat melalui telepon. Datanglah ke Taman Merpati di pusat kota besok siang, tepat jam dua belas. Duduklah di bangku dekat air mancur. Kenakan sesuatu yang berwarna merah, syal atau apa pun. Seseorang akan menemui Anda. Apakah Anda mengerti?""Ya," bisik Sinta. "Taman Merpati. Jam dua belas. Merah.""Bagus. Hati-hati. Jangan datang jika Anda merasa diikuti."Panggilan itu berakhir. Sinta berdiri membeku sejenak, instruksi itu berputar di kepalanya. Itu nyata. Ini benar-benar terjadi.Ia menghapus riwayat panggilan dari ponsel wanita itu, lalu mengembalikannya dengan ucapan terima kasih yang tulus. Wanita itu hanya mengangguk dan kembali ke tehnya.Sinta berjalan menjauh, kakinya terasa ringan. Ia telah melakukannya. Ia telah membuat kontak. Ia berjalan menuju toko suku cadang, membeli sekering kecil yang tidak ia butuhkan untuk menyempurnakan alibinya.Saat ia berjalan kembali ke mobilnya, melewati kerumunan orang yang tidak menyadari drama hidup dan mati yang baru saja terjadi, ia merasa berbeda. Rasa takut itu masih ada, bersarang di perutnya seperti bongkahan es. Tapi kini, ada sesuatu yang lain yang tumbuh di sekitarnya: secercah harapan yang ganas dan membara. Ia tidak lagi hanya korban yang menunggu. Ia adalah seorang penyintas yang sedang merencanakan pembalasannya.
Bab 14: Gema di DindingSinta melangkah masuk ke dalam rumahnya, keheningan menyambutnya seperti kain kafan yang dingin dan menyesakkan. Ia menutup pintu di belakangnya, bunyi klik yang pelan terdengar menggema di lorong yang kosong. Harapan yang baru saja ia genggam di tengah keramaian mal kini terasa rapuh, seperti sayap kupu-kupu yang bisa hancur oleh satu embusan napas yang salah.Perjalanan pulang tadi adalah sebuah siksaan; setiap lampu merah terasa seperti jeda yang terlalu lama baginya untuk berpikir, setiap mobil yang melaju terlalu dekat di belakangnya terasa seperti pengintai. Kini, kembali di dalam sangkar emasnya, ia merasa tembok-tembok itu seakan menyusut, merampas oksigen dari paru-parunya.Ia meletakkan kunci mobil dan kantong plastik kecil berisi sekering di meja. Alibinya yang sempurna, sebuah benda kecil yang rapuh untuk menopang kebohongan yang begitu besar."Aku pulang," panggilnya, suaranya terdengar lebih mantap dari yang ia rasakan.Arka muncul dari ruang kerjanya, nyaris tanpa suara, seolah-olah ia telah menunggu tepat di balik pintu. Ia tidak tersenyum. Wajahnya datar, matanya yang tajam memindai Sinta dari atas ke bawah, seolah ia bisa melihat menembus kulit dan daging, langsung ke jantung Sinta yang berdebar panik."Sudah dapat?" tanyanya, suaranya tanpa emosi."Sudah," jawab Sinta. Ia mengulurkan kantong plastik itu. "Kata penjualnya, ini yang paling sering rusak. Seharusnya bisa." Ia telah melatih kalimat ini di mobil, memastikan nadanya terdengar penuh harap dan sedikit bodoh.Arka mengambil kantong itu, jari-jarinya sengaja menyentuh tangan Sinta selama sepersekian detik. Sentuhan itu terasa dingin. Ia tidak bertanya lebih lanjut. Keheningan ini, sikapnya yang acuh tak acuh ini, entah kenapa terasa lebih menakutkan daripada interogasi. Seolah-olah jawabannya tidak lagi penting. Seolah-olah ia sudah tahu segalanya.Saat Sinta menyiapkan makan malam, Arka tidak kembali ke ruang kerjanya. Ia duduk di meja makan, membuka laptopnya, tetapi Sinta tahu pria itu tidak sedang bekerja. Ia sedang mengawasinya. Ia bisa merasakan tatapannya membakar punggungnya saat ia memotong sayuran. Setiap denting pisaunya di talenan terdengar seperti detak mundur sebuah bom waktu."Aku baca berita menarik tadi," kata Arka tiba-tiba, suaranya yang tenang membuat Sinta terlonjak kaget.Sinta tidak menoleh. "Oh, ya? Tentang apa?" tanyanya, fokus pada irisan wortel di hadapannya."Tentang pusat kota," lanjut Arka, nadanya santai. "Katanya pemerintah kota mau merenovasi beberapa taman. Termasuk Taman Merpati. Mereka mau mengganti air mancur tuanya dengan yang lebih modern."Pisau di tangan Sinta berhenti bergerak. Jantungnya terasa seperti jatuh ke perutnya, dingin dan berat. Taman Merpati. Air mancur. Itu bukan kebetulan. Tidak mungkin sebuah kebetulan. Ia memaksa tangannya untuk kembali bergerak, memotong wortel dengan gerakan yang sedikit terlalu kaku."Sayang sekali," jawab Sinta, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku suka air mancur yang lama.""Benarkah?" Arka terdengar geli. "Aku tidak tahu kau pernah memperhatikannya. Kapan terakhir kali kau ke sana?"Dia tahu, jerit pikiran Sinta. Entah bagaimana, dia tahu. Ia harus menekan gelombang mual yang naik ke tenggorokannya. Ia membawa sayuran yang sudah dipotong ke wajan, desis minyak panas memberinya alasan untuk tidak menjawab.Setelah anak-anak tidur, Arka meletakkan garpunya dengan pelan, suaranya terdengar nyaring di keheningan. "Saus tomat ini enak," katanya. "Warnanya bagus. Sangat... hidup."Sinta hanya mengangguk, tidak berani menatapnya."Merah itu warna yang kuat," lanjut Arka, suaranya terdengar seperti sedang merenung. "Penuh gairah. Cinta. Tapi juga bisa berarti bahaya. Peringatan." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. "Menurutku itu warna yang bagus untukmu, Sin. Kamu harus lebih sering memakainya. Membuatmu terlihat... menonjol."Kali ini, Sinta tidak bisa menahannya. Ia mengangkat pandangannya, bertemu dengan tatapan Arka. Tidak ada kehangatan di mata itu. Hanya ada kilatan dingin yang penuh kemenangan, seperti seorang pemburu yang menatap mangsanya yang terperangkap. Ia tahu. Ia tahu tentang instruksi untuk mengenakan sesuatu yang berwarna merah."Aku... aku tidak terlalu suka warna-warna cerah," jawab Sinta, suaranya bergetar."Oh, ayolah," kata Arka sambil tersenyum, tetapi senyumnya tidak mencapai matanya. Itu adalah seringai yang tajam dan kejam. "Setiap orang butuh sedikit warna dalam hidup mereka. Sedikit petualangan. Tapi petualangan itu berbahaya, kan? Terutama jika kau melakukannya sendirian. Kau tidak pernah tahu siapa yang mungkin kau temui di taman. Bisa jadi teman... atau musuh."Selesai sudah. Harapan yang tadi pagi ia genggam kini hancur berkeping-keping di kakinya. Pertemuan besok bukan lagi sebuah jalan keluar. Itu adalah sebuah jebakan. Dan ia berjalan lurus ke dalamnya.
Bab 15: Pertaruhan TerakhirMalam itu, kamar tidur mereka bukan lagi sebuah tempat perlindungan. Itu adalah sel penjara. Sinta berbaring kaku di bawah selimut, matanya terbuka lebar menatap langit-langit yang gelap. Setiap bayangan tampak seperti monster yang mengintai, setiap derit rumah terdengar seperti langkah kaki sang sipir. Di sampingnya, Arka tidur dengan napas yang dalam dan teratur, suara napas monster yang sedang beristirahat.Gema dari percakapan mereka di dapur—Taman Merpati, menonjol, bahaya—terus memantul di dalam tengkoraknya. Itu adalah sebuah deklarasi. Arka tahu. Pertemuan itu bukan lagi sebuah jalan keluar; itu adalah sebuah panggung eksekusi, dan ia adalah bintang utamanya.Pikirannya berpacu, terjebak dalam dilema yang mustahil. Pilihan pertama: tidak pergi. Ia bisa saja berpura-pura sakit besok. Itu adalah pilihan yang "aman", setidaknya untuk sementara. Ia akan tetap hidup. Tapi setelah itu? Arka akan menang. Kontrolnya akan semakin ketat. Ia akan menjadi seorang tahanan seumur hidup di dalam sangkar emasnya, dunianya menyusut hingga hanya sebatas dinding-dinding rumah ini. Tidak pergi bukanlah sebuah pilihan untuk hidup. Itu adalah pilihan untuk mati secara perlahan.Lalu ada pilihan kedua. Pilihan yang gila: tetap pergi. Berjalan lurus ke dalam jebakan. Menatap langsung ke mata sang pemburu. Risiko dari pilihan ini begitu besar hingga nyaris tak terbayangkan. Apa yang Arka rencanakan untuknya di taman itu? Setiap skenario yang melintas di benaknya berakhir dengan rasa sakit dan kehancuran.Ia menoleh, menatap siluet suaminya dalam kegelapan. Pria ini, Rama Aditya, mungkin telah membuat Laras menghilang. Apa yang akan menghentikannya untuk melakukannya lagi demi melindungi kehidupan barunya yang sempurna? Tidak ada.Tapi kemudian, secercah pemikiran yang berbeda muncul di tengah badai ketakutannya. Apa jika ini adalah satu-satunya kesempatannya? Dengan berjalan ke taman itu, ia tidak hanya berjalan ke dalam jebakan. Ia juga menantangnya. Ia menunjukkan pada Arka bahwa ia tidak lagi takut, bahwa intimidasi suaminya tidak lagi mempan. Itu adalah sebuah tindakan pembangkangan, sebuah deklarasi perang.Mungkin, hanya mungkin, dengan mempertaruhkan segalanya, ia bisa mengubah dinamika kekuasaan di antara mereka. Detak jam di meja samping tempat tidur terdengar begitu keras, setiap detiknya adalah sebuah pukulan palu yang membawanya lebih dekat pada saat pengambilan keputusan. Ia memikirkan anak-anaknya. Ia lebih baik mati memperjuangkan kebebasan mereka daripada hidup sebagai budak di sisinya.Saat fajar pertama mulai mewarnai langit, Sinta telah membuat keputusannya. Ia tidak tidur sama sekali. Saat Arka bangun, Sinta sudah duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke luar jendela."Kau sudah bangun?" tanya Arka, suaranya serak.Sinta menoleh, matanya sembap tetapi tatapannya mantap. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan.Ia bangkit dan berjalan ke lemari pakaiannya. Ia memilih celana jins sederhana dan kaus putih. Pakaian untuk bertempur, bukan untuk bersantai. Lalu, ia membuka laci dan mengeluarkan sebuah syal sutra merah tipis. Ia melingkarkan syal itu di lehernya. Warnanya yang cerah tampak begitu kontras dengan wajahnya yang pucat.Dari seberang ruangan, ia bisa merasakan tatapan Arka yang menajam. Ia tahu Arka melihat syal itu sebagai tanda penyerahan diri, sebuah bukti bahwa Sinta akan berjalan ke dalam jebakannya. Biarkan saja ia berpikir begitu.Sinta menatap pantulan dirinya di cermin. Syal itu bukan lagi sebuah tanda untuk meminta bantuan. Itu adalah target. Sebuah target yang ia kenakan dengan sengaja, menantang sang pemburu untuk melepaskan tembakannya.Ia berbalik menghadap Arka, tatapannya dingin dan mantap. "Aku mau pergi jalan-jalan sebentar," katanya, suaranya tidak lagi bergetar. "Mungkin... ke taman."
Bab 16: Pertemuan di Taman MerpatiTaman Merpati pada tengah hari adalah sebuah kuali yang mendidih. Matahari menggantung tepat di atas kepala, tanpa ampun, memantulkan kilaunya dari trotoar beton dan permukaan air mancur yang keruh. Udara terasa berat dan lengket, dipenuhi oleh suara tawa anak-anak yang berlarian mengejar merpati dan gemericik air mancur tua yang tak henti-hentinya.Bagi Sinta, semua suara itu terdengar jauh, teredam oleh deru darah di telinganya. Ia duduk tegak di bangku yang telah ditentukan, tepat di seberang air mancur, punggungnya kaku seperti papan. Seluruh kesadarannya terpusat pada syal sutra merah tipis yang melingkari lehernya. Benda itu terasa seperti jerat, sebuah tanda yang ia kenakan untuk sang algojo. Merah. Menonjol. Berbahaya.Ini adalah sebuah jebakan. Ia tahu itu. Arka telah mengaturnya, dan sekarang ia duduk di sini, seekor domba yang diantar ke pembantaian. Setiap orang yang lewat adalah potensi ancaman. Seorang pria yang membaca koran di bangku seberang—apakah ia mengawasinya? Sepasang kekasih yang tertawa terlalu keras—apakah mereka menertawakannya? Ia memindai setiap wajah, mencari tanda-tanda pengkhianatan, mencari mata Arka yang mungkin sedang mengamatinya dari kejauhan.Namun, di bawah lapisan teror itu, ada secercah harapan yang putus asa dan irasional. Sebuah bisikan kecil yang bertanya, bagaimana jika Arka salah? Bagaimana jika ini nyata? Harapan itulah yang membuatnya datang ke sini, sebuah tindakan pembangkangan terakhir yang bodoh.Tepat saat lonceng gereja di ujung jalan berdentang dua belas kali, sesosok bayangan jatuh di atasnya, menghalangi matahari. Sinta mengangkat pandangannya dengan cepat, jantungnya melonjak ke tenggorokan.Yang berdiri di hadapannya bukanlah orang yang ia harapkan. Bukan seorang wanita lembut dan keibuan dari tempat penampungan. Ini adalah seorang wanita berusia akhir empat puluhan, dengan rambut yang dipotong pendek dan praktis, serta setelan celana berwarna kelabu. Wajahnya keras, tanpa senyum, dan matanya yang tajam menatap Sinta dengan penilaian yang dingin dan profesional."Sinta?" tanya wanita itu, suaranya datar.Sinta hanya bisa mengangguk, lidahnya terasa kelu. Wanita itu duduk di sampingnya, menjaga jarak yang tegas. Ia tidak memperkenalkan diri. Ia hanya menatap lurus ke arah air mancur."Syal yang bagus," katanya, tanpa sedikit pun kehangatan. "Pilihan warna yang berani."Sinta tidak tahu harus berkata apa. Semuanya terasa salah. Harapan kecil yang tadi berbisik di hatinya kini mati, digantikan oleh firasat buruk yang pekat."Anda... Anda dari..." Sinta memulai, suaranya nyaris tak terdengar."Saya di sini karena Laras Puspita," potong wanita itu, akhirnya menoleh untuk menatap Sinta. Tatapannya begitu menusuk hingga Sinta merasa seolah-olah sedang ditelanjangi.Nama itu menghantam Sinta seperti pukulan fisik. Ia terkesiap. "Saya... saya tidak mengerti," bisiknya."Oh, saya rasa Anda mengerti," kata wanita itu, nadanya menjadi lebih tajam. "Nama saya Rima. Saya seorang detektif swasta. Saya disewa oleh keluarga Puspita lebih dari sepuluh tahun yang lalu untuk menemukan putri mereka. Dan untuk menemukan pria yang bersamanya saat ia menghilang: Rama Aditya."Dunia Sinta mulai miring. Detektif swasta. Bukan penyelamat. Ini adalah interogasi."Kami kehilangan jejaknya selama bertahun-tahun," lanjut Rima, matanya tidak pernah berkedip. "Dia sangat pandai. Menghapus semua jejak digitalnya, mengubah namanya, memulai hidup baru yang bersih. Tapi orang sepertinya selalu membuat kesalahan. Kesalahannya adalah menikahi Anda, Sinta. Membangun kehidupan yang terlalu sempurna, yang akhirnya menarik perhatian.""Saya tidak tahu apa-apa tentang itu," kata Sinta, suaranya bergetar hebat. "Saya korban di sini! Dia membohongi saya juga!"Rima tersenyum, senyum yang dingin dan tanpa humor. "Benarkah? Keluarga Puspita punya teori yang berbeda. Mereka melihat seorang wanita yang hidup dalam kemewahan, membesarkan anak-anak dari pria yang bertanggung jawab atas hilangnya putri mereka. Mereka tidak melihat korban. Mereka melihat seorang kaki tangan.""Tidak!" seru Sinta, suaranya pecah. "Itu tidak benar! Saya baru tahu beberapa hari yang lalu!""Sebuah kebetulan yang aneh, kalau begitu," kata Rima, nadanya penuh dengan sarkasme. "Bahwa tepat setelah Anda 'baru tahu', Anda mulai mencari cara untuk melarikan diri. Dan menghubungi sebuah nomor yang—secara kebetulan—telah kami sadap selama berbulan-bulan, berharap Rama akan membuat kesalahan dan menggunakannya."Jebakan di dalam jebakan. Panggilan telepon itu bukan secercah harapan. Itu adalah umpan. Dan ia telah menelannya bulat-bulat."Anda harus percaya padaku," mohon Sinta, air mata kini mengalir di pipinya. "Dia memanipulasi saya. Dia berbahaya. Dia mengawasi saya.""Laras juga berpikir Rama adalah pria impiannya," balas Rima dingin. "Lihat di mana itu membawanya." Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama, meletakkannya di bangku di antara mereka. "Saya tidak di sini untuk menyelamatkan Anda, Sinta. Saya di sini untuk menemukan Laras. Suami Anda adalah satu-satunya petunjuk yang kami miliki. Jika Anda benar-benar korban, buktikan. Bantu kami. Ceritakan semua yang Anda tahu."Rima berdiri. "Tapi jika Anda berbohong... jika Anda mencoba melindunginya... kami akan menemukan Anda. Dan percayalah, penjara akan terasa seperti liburan dibandingkan dengan apa yang akan dilakukan keluarga Puspita pada wanita yang mereka yakini membantu menyembunyikan pembunuh putri mereka."Wanita itu berbalik dan berjalan pergi, menghilang ke dalam keramaian. Sinta menatap kosong ke kartu nama yang tergeletak di sampingnya. Rima Handayani, Investigator Swasta. Ia datang ke taman ini berharap menemukan satu pintu keluar. Sebaliknya, ia menemukan bahwa semua pintu telah tertutup. Ia tidak hanya terperangkap oleh suaminya, tetapi juga oleh hantu dari masa lalunya.
Bab 17: Tempat Kejadian PerkaraSinta tidak ingat bagaimana ia bisa kembali ke mobilnya. Perjalanan dari bangku taman ke tempat parkir adalah sebuah kekosongan, serangkaian gambar buram yang tidak saling terhubung: wajah-wajah orang asing, kilau matahari di kap mobil, suara tawa anak-anak yang terasa tajam dan menyakitkan. Ia mendapati dirinya duduk di belakang kemudi, kunci mobil tergenggam di tangannya yang berkeringat, tanpa ingatan sedikit pun tentang bagaimana ia sampai di sana. Syal sutra merahnya masih melingkari lehernya, terasa mencekik. Dengan gerakan kasar, ia menariknya lepas dan melemparkannya ke kursi penumpang, kain itu mendarat seperti genangan darah.Di dalam tasnya, kartu nama Rima Handayani terasa seperti sebuah bom kecil yang siap meledak. Kaki tangan. Penjara. Pembunuh. Kata-kata detektif itu berputar di kepalanya, bukan lagi sebagai gema, tetapi sebagai vonis. Ia bukan lagi hanya seorang istri yang dikhianati; ia adalah tersangka.Ia menyalakan mesin mobil dan mengemudi secara otomatis. Pikirannya berada di tempat lain. Ia melihat jalanan yang ramai di hadapannya, tetapi yang benar-benar ia lihat adalah wajah Laras Puspita yang tersenyum dari artikel berita lama. Ia melihat rumahnya di pinggiran kota, tetapi yang benar-benar ia lihat adalah sel penjara yang dingin.Saat ia berbelok ke jalan menuju komplek perumahannya, pemandangan yang familier—taman-taman yang terawat, rumah-rumah besar yang megah—terasa seperti ejekan. Ini adalah fasad, sebuah panggung yang indah untuk sebuah drama yang mengerikan. Dan rumahnya, rumah impiannya, adalah pusat dari panggung itu.Ia memarkir mobil di garasi dan mematikan mesin. Keheningan yang tiba-tiba terasa memekakkan. Ia tidak langsung turun. Ia hanya duduk di sana, mencengkeram setir, mencoba bernapas. Ia harus masuk ke dalam rumah itu. Ia harus kembali ke tempat kejadian perkara.Melangkah melewati ambang pintu rumahnya terasa seperti melintasi batas ke dunia lain. Udara di dalam terasa dingin dan steril. Lantai marmer yang berkilauan memantulkan bayangannya yang goyah. Dinding putih yang bersih tampak seolah-olah baru saja dicat ulang untuk menutupi noda darah. Setiap permukaan yang rapi, setiap bantal yang ditata sempurna—semuanya terasa seperti bagian dari sebuah staging, sebuah TKP yang telah dibersihkan secara profesional untuk menghilangkan semua bukti.Ia berjalan melewati ruang keluarga, matanya terpaku pada sofa tempat ia dan Arka duduk menonton film thriller itu. Ia melihat dapur tempat Arka menyebut Taman Merpati dan warna merah. Setiap sudut rumah ini kini berbisik tentang pengkhianatan.Ia naik ke lantai atas, masuk ke kamar tidur mereka, tempat paling intim, dan kini terasa paling tercemar. Ranjang mereka yang besar dan rapi kini terlihat seperti lempengan batu di kamar mayat. Ia berjalan ke walk-in closet, ke rak paling atas di mana semuanya dimulai. Kotak beludru biru tua itu masih di sana, sebuah peti mati kecil yang berisi awal dari akhir hidupnya.Ia kembali ke ruang keluarga dan duduk di tepi sofa, tubuhnya gemetar tak terkendali. Kartu nama Rima masih ada di dalam tasnya. Sebuah pilihan. Sebuah ultimatum. Pikirannya berpacu.Pilihan pertama: bekerja sama dengan Rima. Menelepon nomor di kartu itu. Menceritakan segalanya—cincin itu, nama Rama dan Laras, artikel berita. Tapi apa gunanya? Rima tidak memercayainya. Di mata detektif itu, ia adalah seorang kaki tangan yang mencoba menyelamatkan dirinya sendiri. Dan jika Arka tahu ia berbicara... pikiran itu terlalu mengerikan untuk dilanjutkan. Arka selalu selangkah lebih maju. Ia akan tahu.Pilihan kedua: tetap diam. Membuang kartu nama itu. Melanjutkan sandiwara ini. Tapi jalan keluar apa yang tersisa? Arka mengawasinya. Rima mengawasinya. Ia terjebak di antara monster dan hukum. Jika ia mencoba lari sekarang, ia tidak hanya akan dikejar oleh suaminya, tetapi juga oleh seorang detektif swasta dan keluarga yang haus akan balas dendam. Ia akan menjadi buronan, sama seperti Arka.Tidak ada jalan keluar. Tidak ada pilihan yang benar. Setiap jalan mengarah pada kehancuran. Hidupnya yang dulu telah runtuh dan tersapu oleh gelombang pasang. Yang tersisa hanyalah puing-puing.Ia menunduk, menatap tangannya sendiri. Tangan seorang ibu, tangan seorang istri. Tangan seorang kaki tangan? Pertanyaan itu akan menghantuinya selamanya.Saat senja mulai turun, ia mendengar suara yang paling ia takuti: suara pintu garasi yang terbuka. Arka pulang.Sinta tidak bergerak dari sofa. Ia hanya duduk di sana, membeku, saat ia mendengar langkah kaki suaminya mendekat. Pintu dapur terbuka, dan Arka masuk, membawa beberapa kantong belanjaan."Hai, Sayang," sapanya, senyumnya tampak tulus dan hangat. "Macet sekali hari ini." Ia berjalan mendekat dan membungkuk untuk mencium kening Sinta. Sentuhannya terasa seperti sengatan es."Bagaimana harimu?" tanyanya, matanya yang hangat menatap Sinta dengan penuh perhatian. "Kau jadi pergi ke taman?"Pertanyaan itu, yang diucapkan dengan nada penuh kasih sayang, adalah tindakan kekejaman yang paling murni. Itu adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Sebuah penegasan kekuasaan. Sinta menatap wajah pria yang ia cintai, wajah monster yang mengenakan topeng manusia, dan ia tahu bahwa ia benar-benar sendirian. Terjebak di dalam TKP bersama sang pembunuh.
Bab 18: Topeng yang RetakPertanyaan Arka—Kau jadi pergi ke taman?—menggantung di udara dapur yang dingin, sebuah pedang tak terlihat yang mengarah tepat ke jantung Sinta. Itu adalah sebuah deklarasi kemenangan, sebuah penegasan kekuasaan yang mutlak. Di bawah tatapan suaminya yang penuh perhatian palsu, Sinta merasakan sesuatu di dalam dirinya pecah. Bukan karena putus asa, tetapi karena tekanan yang luar biasa. Seperti sepotong karbon yang ditekan hingga menjadi berlian, kepanikannya yang melumpuhkan kini mengeras menjadi sesuatu yang lain: determinasi yang dingin dan tajam.Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak bisa melawannya dengan kekuatan atau konfrontasi. Ia harus menyerah. Bukan penyerahan diri yang sebenarnya, tetapi sebuah pertunjukan penyerahan diri yang begitu meyakinkan hingga lawannya akan menurunkan kewaspadaannya.Maka, ia membiarkan topengnya retak.Air mata yang sejak tadi ia tahan kini mengalir deras, sebuah pertunjukan kesedihan yang brilian. Isak tangis yang tertahan keluar dari bibirnya, tubuhnya bergetar hebat. Ia menatap Arka dengan mata yang memancarkan ketakutan dan kebingungan murni. "Aku tidak mengerti, Arka," bisiknya, suaranya pecah. "Kenapa... kenapa kau seperti ini? Kau membuatku takut."Perubahan di wajah Arka begitu halus, nyaris tak terlihat. Kilatan kemenangan yang dingin di matanya sedikit meredup, digantikan oleh topeng keprihatinan yang familier. Ia melangkah maju dan menarik Sinta ke dalam pelukannya. Pelukan itu terasa seperti sangkar baja."Ssst, tenang, Sayang," bisiknya, tangannya mengusap punggung Sinta dengan gerakan yang menenangkan namun posesif. "Aku hanya khawatir padamu. Kau terlihat begitu jauh akhir-akhir ini. Aku takut kehilanganmu."Sinta membiarkan dirinya terkulai dalam pelukan pria itu, memainkan perannya sebagai istri yang hancur. Ia menangis di dada Arka, merasakan detak jantung suaminya yang stabil dan kuat—detak jantung seorang monster. Aku juga takut kehilangan diriku, pikirnya, tetapi ia hanya terisak lebih keras.Malam itu, di ranjang mereka, ia tidak lagi berbaring kaku di tepian. Ia membiarkan Arka memeluknya, meringkuk seperti anak kucing yang mencari perlindungan. Ia merasakan napas pria itu di rambutnya dan tahu bahwa ia sedang tidur di sarang ular. Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa lumpuh oleh rasa takut. Ia merasa waspada, setiap sarafnya hidup, menunggu saat yang tepat.Keesokan paginya, perang psikologis itu berlanjut. Sinta bergerak di dapur seperti bayangan, pucat dan diam. Ia membuat kopi untuk Arka, tangannya sedikit gemetar—sebuah detail yang ia pastikan Arka lihat. Ia adalah gambaran sempurna dari seorang wanita yang telah dipatahkan.Arka mengamatinya dari seberang meja. Lalu, ia melihat ponsel Sinta yang tergeletak di meja, layarnya yang retak menjadi saksi bisu dari kepanikan Sinta di taman. "Layarmu retak parah," kata Arka. Ia mengulurkan tangannya. "Sini, biar aku bawa ke tempat servis hari ini. Kau tidak perlu pusing memikirkannya."Sinta mengangkat pandangannya, ragu-ragu sejenak, lalu dengan enggan mendorong ponsel itu ke seberang meja. "Baiklah," bisiknya.Arka mengambil ponsel itu, memasukkannya ke dalam saku jasnya. Klik. Jalur komunikasi pertama Sinta dengan dunia luar telah diputus. Sinta menunduk, menatap tangannya yang kosong. Di wajahnya, yang terlihat hanyalah kepasrahan yang menyedihkan.Kontrol Arka tidak berhenti di situ. Siang itu, ia pulang lebih awal lagi. "Aku akan bawa mobilmu hari ini, sekalian mau dicuci dan diservis," katanya sambil mengambil kunci mobil Sinta dari mangkuk di meja. "Kuncinya aku pegang saja ya, biar kau tidak perlu repot mencarinya nanti."Sinta berbalik, matanya melebar. "Tapi aku harus belanja sore ini..." ia memulai, suaranya lemah."Tidak usah," potong Arka, senyumnya tipis dan tanpa kehangatan. "Aku sudah pesan semua kebutuhan kita secara online. Kau harus istirahat, Sin. Kau terlihat sangat stres. Tetap di rumah saja, ya? Demi kebaikanmu."Ia membingkai setiap tindakan kontrolnya sebagai sebuah tindakan kepedulian. Sinta hanya bisa mengangguk, membiarkan bahunya merosot dalam kekalahan palsu. Kakinya telah dipotong.Malam itu, setelah menidurkan anak-anak, Sinta berdiri di depan cermin besar di lorong. Wanita yang menatap balik tampak rapuh, matanya bengkak, bahunya terkulai. Ia tampak seperti seorang korban. Sempurna.Arka mengira ia telah menang. Ia mengira ia telah berhasil mematahkan semangat Sinta. Ia telah meremehkannya. Dan dalam kesombongannya, ia telah memberikan Sinta satu-satunya senjata yang ia butuhkan: kelemahan yang dirasakan.Sinta tahu ia tidak bisa melawan Arka dengan kekuatan. Tapi ia bisa melawannya dengan kesabaran. Dengan kepatuhan palsu. Ia akan menjadi begitu tak berdaya, begitu menyedihkan, hingga Arka akan berhenti melihatnya sebagai ancaman. Pria itu akan menjadi ceroboh. Dan saat itulah, saat kewaspadaannya menurun, Sinta akan mencari celahnya.Ia menatap pantulan dirinya sekali lagi, dan kali ini, ia melihat sesuatu yang berbeda di balik mata yang sembap itu. Sebuah kilatan dingin. Sebuah janji tanpa suara. Permainan ini belum berakhir. Permainan ini baru saja memasuki babak yang baru dan jauh lebih mematikan.
Bab 19: Retakan dalam Baju ZirahHari-hari berikutnya berlalu dalam keheningan yang tebal dan menyesakkan. Rumah itu, yang dulu bergetar dengan tawa anak-anak dan obrolan ringan, kini sunyi senyap seperti sebuah makam. Sinta telah menjadi hantu di dalam hidupnya sendiri. Ia bergerak melewati ruangan-ruangan dengan langkah yang lambat dan tanpa suara, bahunya sedikit membungkuk, matanya sering kali menatap kosong ke kejauhan. Ia adalah perwujudan dari kekalahan, sebuah vas porselen indah yang telah retak dan kini terlalu rapuh untuk disentuh.Setiap pagi, ia membuatkan kopi untuk Arka, meletakkannya di meja dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia membersihkan rumah dengan ketelitian yang nyaris tak terlihat. Tugas-tugas ini adalah kamuflasenya, sebuah pertunjukan kesibukan yang kosong yang memungkinkannya untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya: mengamati.Arka, sang pemenang, menikmati kemenangannya dengan kepuasan yang tenang. Ia telah berhasil mematahkan semangat istrinya. Sinta yang dulu penuh semangat telah lenyap. Yang tersisa hanyalah cangkang kosong yang patuh. Keyakinan ini membuatnya ceroboh. Ia tidak lagi menutup pintu ruang kerjanya rapat-rapat. Ia akan menerima telepon di ruang keluarga, yakin bahwa Sinta yang duduk di seberang ruangan, melipat cucian dengan tatapan kosong, terlalu hancur untuk peduli.Tapi Sinta peduli. Di balik matanya yang sayu, pikirannya bekerja dengan ketajaman seekor pemangsa. Saat ia mengelap meja kerja Arka, matanya memindai setiap dokumen, menghafal nama-nama klien. Saat ia menyajikan kopi, ia melirik layar laptop Arka yang terbuka, menangkap sekilas jadwal. Ia mempelajari ritme kehidupan suaminya dengan ketelitian seorang ilmuwan. Ia adalah seorang tahanan yang mempelajari setiap detail penjaranya, setiap kebiasaan sipirnya, menunggu saat yang tepat untuk menemukan kunci.Suatu malam, beberapa hari setelah penyerahan dirinya yang strategis, Sinta menemukan kesempatan. Anak-anak sudah tidur. Hujan turun di luar. Arka masih bekerja di ruang kerjanya, menyelesaikan sebuah proposal penting. Sinta membawa secangkir teh dan duduk di sofa di ruang keluarga, tepat di luar ruang kerja Arka yang pintunya sedikit terbuka. Ia membawa sebuah buku, membukanya di pangkuannya, tetapi matanya tidak membaca. Ia duduk diam, mendengarkan.Setelah sekitar satu jam, suara ketukan keyboard berhenti. Sinta membiarkan kepalanya terkulai ke samping, seolah-olah ia tertidur. Ia mengatur napasnya menjadi lambat dan dalam. Dari sudut matanya yang sedikit terbuka, ia melihat Arka keluar dari ruang kerjanya. Ia melihat istrinya "tertidur" di sofa. Arka tersenyum tipis, senyum puas seorang pemilik.Ia tidak membangunkan Sinta. Sebaliknya, ia berjalan ke bar kecil di sudut ruangan, menuangkan segelas wiski untuk dirinya sendiri. Lalu, ponselnya berdering. Bukan nada dering bisnisnya yang formal, melainkan getaran singkat yang nyaris tak terdengar. Arka melirik ke arah Sinta sekali lagi untuk memastikan istrinya masih tertidur. Lalu ia menjawab panggilan itu, suaranya jauh lebih rendah dari biasanya, nyaris berbisik."Ya," katanya. Ada jeda. "Aku sedang sibuk."Sinta tetap diam, setiap ototnya menegang."Aku tahu," lanjut Arka, nadanya terdengar tidak sabar. "Tidak sekarang. Mungkin akhir pekan." Ada jeda lagi, lebih lama kali ini. "Dengar," kata Arka akhirnya, suaranya menjadi lebih tajam. "Pastikan Kutilang tidak bernyanyi. Aku tidak peduli bagaimana caramu melakukannya. Aku akan urus bagianku. Kita bertemu di tempat biasa, Dermaga Tua, Sabtu malam. Jangan terlambat."Kutilang. Dermaga Tua.Kata-kata itu asing. Tidak ada dalam daftar klien Arka. Tidak ada dalam nama proyeknya. Ini dia. Ini adalah retakan pertama dalam baju zirah Arka yang sempurna. Sebuah anomali.Arka menutup telepon. Sinta mendengar pria itu meneguk sisa wiskinya, lalu meletakkan gelasnya di meja dengan bunyi yang sedikit terlalu keras. Ia berdiri diam sejenak, lalu berjalan mendekati sofa. Jantung Sinta terasa seperti berhenti berdetak. Apakah ia ketahuan?Arka membungkuk di atasnya. Sinta bisa mencium aroma wiski dan parfum dari tubuhnya. Ia merasakan tangan Arka dengan lembut menyingkirkan sehelai rambut dari wajahnya. Lalu, ia merasakan bibir suaminya mengecup keningnya dengan ringan, sebuah gestur kepemilikan yang dingin. Arka mengambil selimut dari sandaran kursi dan menyelimuti Sinta dengan hati-hati. Lalu, ia berbalik dan berjalan naik ke kamar tidur mereka.Sinta tetap berbaring di sana, tidak bergerak, selama hampir satu jam. Matanya terbuka lebar menatap langit-langit yang gelap. Di dalam kepalanya, dua kata itu berputar tanpa henti, bersinar seperti lampu neon di tengah kegelapan.Kutilang. Dermaga Tua.Ia belum tahu apa arti kata-kata itu. Tapi itu tidak masalah. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia tidak lagi hanya bertahan. Ia kini memiliki sebuah petunjuk. Perburuan telah dimulai.
Bab 20: Peta dalam KepalaKeesokan paginya, Sinta menemukan alibinya di dalam tas sekolah putranya. Sebuah lembar tugas geografi yang kusut, menugaskan para siswa untuk membuat diorama tentang salah satu bangunan bersejarah di kota mereka. Itu sempurna. Sebuah alasan yang tak terbantahkan untuk pergi ke satu-satunya tempat di mana ia bisa mencari petunjuknya tanpa meninggalkan jejak digital: perpustakaan.Ia menunggu saat yang tepat. Saat sarapan, di tengah keheningan yang canggung, ia meletakkan lembar tugas itu di atas meja, di samping piring Arka. Ia melakukannya dengan gerakan yang lesu, seolah-olah itu adalah beban lain."Bima dapat tugas baru," katanya pelan, suaranya kosong. "Aku harus membantunya mencari bahan. Tentang... bangunan-bangunan tua."Arka mengambil kertas itu, matanya yang tajam memindai setiap kata. "Bangunan apa yang akan dia pilih?" tanyanya, nadanya datar, menguji."Aku tidak tahu," jawab Sinta, mengaduk kopinya yang sudah dingin. "Mungkin stasiun kereta yang lama. Atau museum. Aku harus... aku harus pergi ke perpustakaan kota. Mencari buku referensi. Foto-foto lama."Arka menatapnya lama. Ia bisa merasakan suaminya menimbang-nimbang. Perpustakaan adalah tempat umum. Sinta tidak punya ponsel. Tidak punya mobil. Risiko apa yang mungkin ada? Dari sudut pandang Arka, tidak ada. Istrinya yang hancur hanya akan melakukan tugas keibuan yang membosankan."Baiklah," kata Arka akhirnya. "Tapi jangan terlalu lama. Kau masih butuh banyak istirahat." Itu bukan sebuah izin. Itu adalah sebuah perintah. "Aku akan panggilkan taksi untukmu."Perjalanan ke perpustakaan terasa seperti misi spionase. Sinta duduk di kursi belakang taksi, matanya terus-menerus melirik ke kaca spion. Saat ia melangkah masuk ke dalam keheningan perpustakaan yang sejuk, ia merasakan sedikit kelegaan. Ia tidak langsung menuju ke bagian peta. Sebaliknya, ia menghabiskan dua puluh menit pertama di bagian anak-anak, memilih beberapa buku tentang sejarah lokal. Ini adalah alibinya.Setelah merasa aman, ia bergerak ke bagian referensi di lantai dua. Ia mulai dengan peta-peta modern. Tidak ada yang bernama "Dermaga Tua". Tentu saja tidak. Nama itu terdengar seperti sesuatu dari masa lalu.Ia mendekati meja referensi, di mana seorang pustakawan tua dengan kacamata tebal sedang menyortir kartu katalog. "Permisi, Pak," bisik Sinta. "Saya sedang membantu anak saya mengerjakan tugas sekolah tentang sejarah pelabuhan kota ini. Apakah perpustakaan menyimpan peta-peta lama? Mungkin dari... dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu?"Pustakawan itu mengangguk pelan. "Tentu saja. Di ruang arsip. Mari saya tunjukkan."Ia memimpin Sinta ke sebuah ruangan kecil di belakang, yang berbau debu dan kelembapan. Laci-laci arsip dari logam berjejer di dinding. Pria itu membuka salah satu laci yang berderit. "Ini peta-peta dari tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan," katanya. "Hati-hati, kertasnya sudah rapuh."Sinta mengucapkan terima kasih dan pria itu meninggalkannya sendirian. Jantungnya berdebar kencang. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mulai membuka gulungan-gulungan peta itu satu per satu. Peta-peta itu seperti hantu dari masa lalu. Warna-warnanya sudah pudar, kertasnya menguning. Ia memindai setiap peta dengan cermat, matanya menyusuri garis pantai. Setelah hampir satu jam, saat rasa putus asa mulai merayapinya, ia menemukannya.Di sebuah peta maritim dari tahun 1992, di sebuah area industri yang kini terbengkalai di ujung utara teluk, ada sebuah nama kecil yang dicetak dengan huruf miring: Dermaga 7 - (Lokal: Dermaga Tua).Napas Sinta tercekat. Itu dia. Tersembunyi di depan mata. Itu adalah sebuah area kecil yang menjorok ke laut, dikelilingi oleh gudang-gudang tua yang kini ditandai sebagai "tidak aktif". Tidak ada jalan utama yang mengarah ke sana, hanya serangkaian jalan kecil tanpa nama.Ia tidak berani mengambil foto. Ia tidak berani membuat catatan. Ia hanya berdiri di sana, di dalam keheningan ruang arsip yang berdebu, dan membakar peta itu ke dalam ingatannya. Ia menghafal nama jalan besar terdekat. Ia menghafal bentuk garis pantai. Ia menghafal letak gudang-gudang itu. Ia menciptakan sebuah peta di dalam kepalanya, satu-satunya tempat di mana Arka tidak bisa menjangkaunya.Setelah merasa yakin, ia menggulung kembali peta itu, mengembalikannya ke dalam laci, dan berjalan keluar. Ia meminjam buku-buku sejarah anak-anak yang telah ia pilih. Semuanya tampak normal. Perjalanan pulang terasa berbeda. Ia tidak lagi hanya seorang tahanan yang ketakutan. Ia adalah seorang ahli strategi yang baru saja memperoleh intelijen penting.Saat ia tiba di rumah, Arka sedang menunggunya di ruang keluarga, berpura-pura membaca. "Sudah pulang?" tanyanya, matanya menatap tajam ke tas buku yang dibawa Sinta."Sudah," jawab Sinta, suaranya masih terdengar lesu. Ia meletakkan buku-buku itu di meja kopi. "Aku dapat beberapa buku bagus untuk Bima."Arka mengangguk, tampak puas karena alibinya terbukti. Ia mengira istrinya baru saja menghabiskan beberapa jam untuk tugas sekolah yang membosankan. Ia tidak tahu bahwa Sinta baru saja menemukan lokasi medan pertempuran mereka berikutnya.
Bab 21: Alibi untuk Malam SabtuPeta di kepala Sinta adalah sebuah rahasia yang membara, sebuah kompas yang menunjuk ke hari Sabtu. Tapi untuk sampai ke sana, ia harus menavigasi medan perang yang jauh lebih berbahaya: rumahnya sendiri selama tiga hari ke depan. Rencananya memiliki dua pilar, dan ia harus membangunnya dengan hati-hati di atas fondasi kepatuhannya yang palsu.Pilar pertama adalah anak-anak. Mereka harus aman. Mereka harus berada di tempat lain pada Sabtu malam. Pada hari Kamis sore, ia memulai langkah pertamanya. Ia berjalan ke telepon rumah yang terpasang di dinding dapur—sebuah alat yang ia tahu Arka mungkin telah menyadapnya."Halo, Dit?" sapanya ke telepon, berbicara dengan Dita, ibu dari sahabat putrinya. Nadanya terdengar sedikit lesu, persis seperti yang telah ia latih. Di seberang ruangan, Arka duduk, berpura-pura membaca, tetapi Sinta bisa merasakan perhatian suaminya. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah," lanjut Sinta. "Dengar, aku mau tanya... Maya dari kemarin merengek terus, katanya kangen main sama Rara. Kira-kira akhir pekan ini Rara ada acara? Mungkin mereka bisa menginap?"Sinta mendengarkan. "Oh, tentu. Sabtu malam? Sempurna. Iya, biar Bima sekalian ikut. Terima kasih banyak ya, Dit. Kau menyelamatkan kewarasanku."Ia menutup telepon dan menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah Arka. "Anak-anak akan menginap di rumah Dita hari Sabtu," kata Sinta pelan. "Hanya semalam.""Bagus," kata Arka, kembali ke laporannya. "Rumah akan sedikit lebih tenang. Kau bisa benar-benar istirahat." Pilar pertama telah berdiri. Arka tidak curiga karena permintaan itu terdengar wajar.Pilar kedua jauh lebih sulit: alibinya sendiri. Ia membutuhkan sebuah krisis, sebuah keadaan darurat yang begitu mendesak hingga Arka tidak punya pilihan selain membiarkannya pergi. Pada hari Jumat malam, saat Arka sedang mandi, Sinta duduk di depan komputer keluarga di ruang kerja. Ia membuka akun emailnya—akun yang ia tahu Arka tahu kata sandinya. Dengan tangan gemetar, ia menulis email baru. Penerimanya adalah dirinya sendiri, tetapi ia menggunakan fitur untuk mengubah nama pengirim menjadi "Rina", nama sahabatnya.Subjeknya: TOLONG!!!Isinya singkat dan panik: Sin, aku butuh bantuanmu. Gawat. Doni pergi, dia membawa semua uangnya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku akan meneleponmu besok malam, aku harus memastikan dia tidak akan kembali dulu. Jangan bilang siapa-siapa, aku malu.Ia mengirim email itu, lalu dengan cepat menghapusnya dari folder "Terkirim", tetapi membiarkannya tetap berada di "Kotak Masuk", belum dibaca.Keesokan harinya, hari Sabtu, ketegangan di rumah terasa begitu pekat. Sore harinya, Arka sendiri yang mengantar anak-anak ke rumah Dita. Saat Sinta sendirian di rumah yang sunyi, ia berjalan ke ruang kerja, duduk di depan komputer, dan membuka email dari "Rina". Ia membacanya, lalu menutupnya, membiarkannya di sana dengan tanda "sudah dibaca".Saat Arka pulang, Sinta sedang duduk di sofa, menatap kosong ke televisi yang mati. "Ada apa?" tanya Arka waspada.Sinta menoleh, matanya berkaca-kaca. "Rina," bisiknya. "Dia dalam masalah besar. Doni meninggalkannya.""Kau tahu dari mana?""Dia... dia mengirim email tadi malam," jawab Sinta, suaranya bergetar. "Aku baru membacanya saat kau pergi tadi. Dia bilang dia akan menelepon malam ini."Tepat saat itu, seolah diatur, telepon rumah berdering nyaring. Sinta menatap telepon itu dengan ngeri, lalu menatap Arka. "Itu pasti dia," bisiknya."Jawab," perintah Arka.Sinta mengangkat gagang telepon dengan tangan gemetar. "Halo?" Tidak ada suara di seberang sana. Hanya keheningan. Sinta telah menelepon nomornya sendiri dari ponsel sekali pakai yang ia beli dengan uang tunai dan sembunyikan."Rina?" panggil Sinta ke telepon yang sunyi, suaranya penuh dengan kepanikan. "Rina, ini aku! Apa kau baik-baik saja?" Ia menunggu beberapa detik, lalu terisak. "Ya Tuhan, dia menutupnya," katanya pada Arka. "Pasti Doni kembali. Aku harus ke sana, Arka. Dia butuh aku.""Kau tidak akan ke mana-mana," kata Arka dingin."Tapi dia sahabatku!" seru Sinta, air matanya mengalir deras. "Dia sendirian dan ketakutan! Aku harus pergi!""Aku bilang tidak," kata Arka, suaranya rendah dan mengancam."Kalau begitu antarkan aku!" tantang Sinta.Arka terdiam, terjebak. "Aku tidak bisa," katanya akhirnya. "Aku ada janji penting malam ini." "Janji?" tanya Sinta."Ya, pekerjaan. Di luar kota," balas Arka tajam."Kalau begitu, tidak ada alasan untuk melarangku pergi," desak Sinta. "Aku akan naik taksi. Kumohon, Arka. Demi Rina."Arka menatapnya lama, perang batin terlihat jelas di wajahnya. Ia terjebak oleh alibinya sendiri. Ia tidak bisa berada di dua tempat sekaligus. "Baiklah," geramnya, menyerah. "Pergi. Tapi aku akan meneleponmu setiap jam.""Tentu," bisik Sinta, menunduk untuk menyembunyikan kilatan kemenangan di matanya. Ia telah berhasil. Ia telah mendapatkan beberapa jam kebebasan. Dan beberapa jam adalah semua yang ia butuhkan.
Bab 22: Dermaga TuaTaksi melaju menembus malam, lampu-lampu kota berkelebat di luar jendela menjadi coretan-coretan warna yang kabur. Sinta duduk di kursi belakang, punggungnya tegak lurus, tangannya terlipat erat di pangkuannya. Setiap beberapa detik, ia melirik ke kaca spion, jantungnya berdebar setiap kali melihat sepasang lampu depan yang sama bertahan terlalu lama di belakang mereka.Ia telah memberikan alamat sebuah restoran 24 jam di tepi kawasan industri kepada sopir taksi, sebuah tujuan yang cukup masuk akal. Itu adalah jalan besar terdekat dari Dermaga Tua yang bisa ia ingat dari peta di kepalanya. Dari sana, ia harus berjalan kaki.Perjalanan itu terasa seperti transisi antar dunia. Gedung-gedung pencakar langit yang berkilauan perlahan-lahan digantikan oleh ruko-ruko yang lebih tua, lalu pabrik-pabrik dengan cerobong asap yang menjulang ke langit malam seperti jari-jari kerangka."Turun di persimpangan depan saja, Pak," kata Sinta saat ia melihat penanda jalan yang ia hafal."Restorannya masih sekitar dua blok lagi, Bu.""Tidak apa-apa, saya mau jalan sebentar," jawab Sinta.Taksi itu menepi. Sinta membayar dengan uang tunai, memberikan tip yang terlalu besar agar sopir itu tidak terlalu mengingat wajahnya. Saat ia melangkah keluar, suara deru mobil yang menjauh meninggalkannya dalam keheningan yang tiba-tiba dan menakutkan. Ia sendirian.Di sini, lampu jalanan jarang dan redup, menciptakan kantong-kantong kegelapan yang pekat. Ia mulai berjalan, langkahnya cepat namun hati-hati. Suara hak sepatunya di atas aspal yang retak terdengar begitu keras. Ia menyelipkan tangannya ke dalam saku mantelnya, mencengkeram ponsel sekali pakai yang dingin dan tidak aktif.Bau laut semakin kuat, bercampur dengan aroma tajam karat dan pembusukan. Ia berbelok ke jalan kecil yang gelap. Siluet gudang-gudang tua yang terbengkalai menjulang di kedua sisinya, jendela-jendelanya yang pecah tampak seperti mata-mata kosong. Angin bertiup dari arah teluk, membawa suara derit logam tua dan ombak yang memecah dengan lesu.Rasa takut adalah makhluk hidup yang merayap di punggungnya. Tapi di bawah rasa takut itu, ada determinasi yang dingin dan keras. Ia sudah terlalu jauh untuk kembali.Setelah berjalan selama sepuluh menit yang terasa seperti satu jam, ia melihatnya. Melalui celah di antara dua gudang, ia bisa melihat kilau samar air yang memantulkan cahaya bulan. Dan menjorok ke dalamnya, sebuah siluet kayu yang gelap dan retak: Dermaga Tua.Ia tidak langsung mendekat. Ia menyelinap di sepanjang dinding sebuah gudang, tubuhnya menempel pada bata yang dingin dan lembap, mencari tempat persembunyian. Pilihannya jatuh pada sebuah gudang besar yang paling dekat dengan dermaga, yang salah satu pintu bajanya sedikit terbuka, menciptakan celah gelap selebar satu meter.Sambil menahan napas, ia melintasi area terbuka dan menyelinap masuk melalui celah pintu. Kegelapan di dalam gudang itu total, dan udara di dalamnya terasa berat, berbau debu dan minyak tua. Ia menunggu matanya beradaptasi. Perlahan, bentuk-bentuk mulai muncul dari kegelapan: tumpukan karung, kerangka forklift yang berkarat.Ia berjalan dengan hati-hati menuju sisi lain gudang, ke arah jendela-jendela tinggi yang kotor yang menghadap ke dermaga. Ia menemukan sebuah tempat yang sempurna di balik tumpukan palet kayu, di mana ia bisa melihat hampir seluruh panjang dermaga melalui panel jendela yang pecah. Ia berjongkok, membuat dirinya sekecil mungkin, dan menunggu.Waktu terasa merayap. Ia mulai ragu. Bagaimana jika ia salah? Bagaimana jika Arka tidak datang?Tepat saat pikiran itu melintas, ia melihatnya. Sepasang lampu depan mobil membelah kegelapan, menyapu dinding-dinding gudang. Sinta menunduk, jantungnya kembali berdebar kencang. Mobil itu—sebuah sedan gelap yang familier—melaju perlahan hingga ke pangkal dermaga, lalu berhenti. Lampunya mati.Setelah beberapa saat yang menegangkan, pintu pengemudi terbuka. Sesosok pria jangkung melangkah keluar, siluetnya terlihat jelas di bawah cahaya bulan. Itu Arka.Sinta menahan napas. Suaminya berdiri di sana, di tepi dunia yang terlupakan, menatap ke arah laut yang gelap, seolah sedang menunggu seseorang. Perburuan Sinta telah berakhir. Pengintaiannya baru saja dimulai.
Bab 23: Nyanyian KutilangArka berdiri di pangkal dermaga, sebuah siluet gelap yang kontras dengan permukaan air yang berkilauan samar di bawah cahaya bulan. Ia tidak bergerak, hanya berdiri di sana dengan tangan dimasukkan ke dalam saku, menatap ke laut lepas. Dari tempat persembunyiannya di balik palet kayu yang berdebu, Sinta mengamatinya, napasnya tertahan di tenggorokan.Angin melolong pelan melalui celah-celah di dinding gudang, membawa serta bau garam, ikan busuk, dan kayu lapuk. Sinta berjongkok lebih rendah, matanya terpaku pada panel jendela yang pecah. Ia adalah seorang penonton dalam sebuah pertunjukan yang tidak pernah ingin ia saksikan. Di sini, di tepi dunia yang terlupakan ini, Arka tampak tegang. Bahunya sedikit kaku, sebuah gestur kegelisahan yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.Setelah sepuluh menit, sepasang lampu depan kedua membelah kegelapan. Sebuah mobil jip tua yang besar dan kotak berhenti beberapa meter di belakang mobil Arka, mesinnya dibiarkan menyala. Pintu pengemudi terbuka, dan sesosok pria melangkah keluar. Ia tidak setinggi Arka, tetapi lebih lebar dan padat, mengenakan jaket kulit tebal."Kau terlambat," kata Arka, suaranya tegang terbawa angin.Pria itu tertawa, suaranya serak dan tidak menyenangkan. "Jalanan macet," jawabnya mengejek. "Ada apa, Rama? Terdengar panik di telepon." Hati Sinta mencelos. Rama. Pria ini mengenalnya sebagai Rama."Jangan panggil aku dengan nama itu," desis Arka, suaranya tajam."Aku tidak bisa santai kalau ada masalah lama yang muncul kembali," balas Arka. "Itu sebabnya kau di sini." "Masalah lama," ulang pria itu. "Maksudmu Laras?" Sinta menutup mulutnya dengan tangan untuk menahan pekikan."Bukan dia," kata Arka tidak sabar. "Seseorang yang lain. Seekor burung kecil yang mulai bernyanyi." "Ah," kata pria itu. "Kutilang." "Dia sudah mulai bicara," kata Arka. "Ada jejak yang muncul kembali. Seseorang mulai bertanya-tanya lagi. Ini harus dihentikan. Sekarang." "Kau ingin aku membungkamnya?" tanya pria itu, suaranya terdengar begitu tenang."Aku ingin kau memastikan dia tidak akan pernah bernyanyi lagi. Untuk selamanya," jawab Arka, suaranya dingin dan tanpa ampun.Sinta merasakan gelombang mual yang hebat. Suaminya, pria yang membacakan dongeng untuk anak-anak mereka, baru saja memerintahkan pembunuhan.Pria berjaket kulit itu terdiam sejenak. "Itu akan mahal, Rama," katanya akhirnya. "Jauh lebih mahal dari biasanya. Ini berisiko." "Aku tidak peduli harganya," kata Arka. Ia merogoh saku bagian dalam jasnya dan mengeluarkan sebuah amplop tebal berwarna cokelat, lalu melemparkannya ke dada pria itu. "Itu uang mukanya. Sisanya setelah pekerjaan selesai." Pria itu menangkap amplop itu dengan satu tangan. "Dan bagaimana dengan masalah utamamu? Bagaimana jika mereka menemukan... kau tahu... apa yang ada di bawah sana?" Pria itu menggerakkan dagunya sedikit ke arah ujung dermaga yang gelap.Wajah Arka mengeras. "Mereka tidak akan menemukannya," katanya, suaranya penuh dengan keyakinan yang menakutkan. "Tidak akan ada yang tersisa untuk ditemukan." Pria itu mengangkat bahu. "Terserah kau saja. Asal bayaranku lancar." Ia berbalik dan berjalan kembali ke mobil jipnya, lalu menderu pergi.Arka ditinggalkan sendirian sekali lagi. Ia tidak langsung masuk ke mobilnya. Ia berjalan ke tepi dermaga, berdiri di ujung kayu yang lapuk, dan menatap ke bawah, ke air yang gelap dan bergolak. Setelah beberapa saat, dengan gerakan yang tiba-tiba dan penuh amarah, ia membungkuk, mengambil sepotong kayu, dan melemparkannya sekuat tenaga ke laut.Ini adalah tindakan seorang pria yang terpojok, seorang pria yang ketakutan.Setelah beberapa saat, Arka berbalik dan berjalan kembali ke mobilnya dengan langkah cepat, lalu melaju pergi. Sinta tetap berjongkok di dalam gudang, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ia telah menemukan kebenarannya, dan kebenaran itu jauh lebih gelap daripada apa pun yang pernah ia bayangkan. Suaminya bukan hanya seorang pembohong. Ia adalah seorang monster. Dan ia baru saja menyaksikan monster itu melepas rantainya.
Bab 24: Keheningan Setelah BadaiSinta tidak tahu berapa lama ia berjongkok di dalam kegelapan gudang yang berdebu itu setelah mobil Arka menghilang. Waktu seakan kehilangan maknanya. Yang ada hanyalah dinginnya lantai beton yang merambati tulangnya dan gema percakapan mengerikan yang terus berputar di kepalanya. Pastikan dia tidak akan pernah bernyanyi lagi. Apa yang ada di bawah sana.Akhirnya, dengan gerakan yang kaku dan lambat seperti seorang wanita tua, ia memaksa tubuhnya yang gemetar untuk berdiri. Ia berjalan keluar dari gudang, kembali ke udara malam yang lembap. Dermaga Tua kini kembali sunyi, seolah-olah pertemuan gelap itu tidak pernah terjadi. Tapi bau garam dan pembusukan kini terasa seperti bau kematian bagi Sinta.Perjalanan kembali ke jalan utama adalah sebuah siksaan. Setiap bayangan terasa seperti ancaman, setiap derit logam terdengar seperti langkah kaki yang mengikutinya. Ia berhasil mencapai persimpangan jalan yang remang-remang. Menggunakan ponsel sekali pakainya untuk terakhir kali, ia memesan taksi ke alamat rumahnya, lalu membuang ponsel itu ke dalam selokan yang dalam. Tidak ada lagi jejak.Di dalam taksi, ia menyandarkan kepalanya di jendela yang dingin. Dunia di luar—lampu-lampu, gedung-gedung, orang-orang—terasa tidak nyata. Ia mati rasa. Syok telah menjadi selimut pelindung, membungkusnya dari kengerian absolut yang baru saja ia saksikan. Ia tahu selimut ini tidak akan bertahan lama.Saat taksi berhenti di depan rumahnya, Sinta merasa enggan untuk turun. Rumahnya yang indah dan terang benderang kini tampak seperti sarang monster. Itu bukan lagi penjara; itu adalah makam yang menunggu untuk diisi. Ia membayar sopir taksi dan melangkah keluar. Ia membuka pintu dan masuk ke dalam keheningan. Anak-anaknya aman di rumah Dita, sebuah fakta kecil yang menjadi satu-satunya pelampungnya saat ini.Ia mengunci pintu di belakangnya, bunyi klik baut pengaman terdengar begitu final. Ia sendirian. Terjebak. Ia berjalan melewati ruangan-ruangan, tangannya menyusuri dinding seolah-olah ia buta. Semuanya berada di tempatnya, bersih dan rapi. Sebuah kebohongan yang sempurna.Ia naik ke kamar anak-anaknya. Ia bisa mencium aroma khas mereka di bantal, melihat mainan mereka yang tergeletak di lantai. Air mata akhirnya mengalir di pipinya, bukan karena kesedihan, tetapi karena cinta yang begitu besar dan rasa takut yang begitu melumpuhkan. Ia harus bertahan hidup. Demi mereka.Ia turun kembali dan menunggu. Ia hanya duduk di sofa, menatap kosong ke dinding, mendengarkan detak jam yang menggema di rumah yang sunyi. Ia mempersiapkan dirinya, membangun kembali topengnya.Satu jam kemudian, ia mendengar suara pintu garasi terbuka. Jantungnya berhenti berdetak sejenak, lalu mulai berdebar dengan irama yang menyakitkan. Arka pulang.Sinta tidak bergerak. Ia menunggu. Pria itu muncul di ambang pintu, tampak lelah, seperti suami normal mana pun setelah pertemuan "bisnis" yang panjang. "Kau sudah pulang," kata Arka, suaranya terdengar lega. "Aku baru saja mau meneleponmu."Sinta menatapnya. Ia melihat pria yang sama yang berdiri di dermaga beberapa jam yang lalu. Pria yang sama yang melemparkan amplop berisi uang darah. Tapi kini, pria itu tersenyum padanya dengan penuh kehangatan."Bagaimana Rina?" tanya Arka, berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. Ia meraih tangan Sinta; sentuhannya terasa seperti sengatan es.Ini adalah ujiannya. Ia harus menatap mata monster ini dan berbohong. "Dia... dia baik-baik saja sekarang," jawab Sinta, suaranya serak. Ia membiarkan kepalanya menunduk. "Doni tidak kembali. Sepertinya hanya panggilan iseng. Tapi Rina sangat terguncang. Aku menemaninya sampai ia tenang.""Bagus," kata Arka, mengusap punggung tangan Sinta. "Kau teman yang baik." Pujian itu terasa seperti tamparan."Kau pasti lelah," lanjut Arka. "Ayo, kita tidur."Ia berdiri dan menarik Sinta untuk bangkit. Saat mereka berjalan menaiki tangga, lengan Arka melingkari pinggangnya. Di kamar tidur mereka, Sinta berbaring di samping Arka, merasakan kehangatan tubuh pria itu, mendengar napasnya yang teratur saat ia tertidur. Tapi Sinta tidak bisa tidur. Matanya terbuka lebar dalam kegelapan. Ia telah menelan kebenaran yang paling pahit. Ia telah menghadapi monster itu dan selamat—untuk malam ini. Keheningan setelah badai telah tiba. Dan di dalam keheningan itu, Sinta tahu bahwa ini bukan lagi tentang melarikan diri. Ini tentang bertahan hidup, hari demi hari. Dan menunggu kesempatan untuk memastikan monster itu tidak akan pernah bisa menyakiti siapa pun lagi.
Bab 25: Berburu HantuKeheningan di rumah pada hari Minggu pagi itu terasa tajam dan penuh potensi. Arka pergi dengan alasan ada urusan mendadak di kantor—sebuah kebohongan yang begitu transparan hingga nyaris menggelikan. Sinta tahu ini adalah kesempatan yang ia tunggu. Keputusasaan telah dibakar habis dari dalam dirinya, digantikan oleh ketenangan yang dingin. Ia bukan lagi korban. Ia adalah seorang ahli forensik yang memeriksa TKP-nya sendiri.Anak-anaknya masih akan berada di rumah Dita sampai sore. Jendela kesempatannya terbuka lebar. Ia tidak memulai dengan gegabah. Ia menyeduh teh dan duduk di meja dapur, memetakan rumah itu dalam benaknya, bukan sebagai tempat tinggal, tetapi sebagai sebuah arsip yang harus digeledah. Ia akan menggunakan pengetahuan domestiknya sebagai senjatanya.Perburuannya dimulai di walk-in closet. Ia menarik kursi kecil, sama seperti yang ia lakukan beberapa minggu yang lalu, tetapi wanita yang menaiki kursi itu sekarang adalah orang yang sama sekali berbeda. Tangannya tidak gemetar. Ia menurunkan kotak-kotak dari rak paling atas, memeriksa setiap jahitan, setiap saku, mencari tonjolan aneh atau kunci tersembunyi. Tidak ada.Ia mengembalikan semuanya persis seperti semula. Tidak boleh ada jejak.Target berikutnya adalah ruang kerja Arka. Ia masuk, menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Laptop Arka ada di atas meja, tertutup. Sebuah jebakan yang jelas. Ia tidak akan menyentuhnya. Perburuannya harus tetap offline.Ia mulai dengan rak buku. Arka bangga dengan koleksi buku bisnisnya. Sinta mengeluarkan setiap buku satu per satu, menggoyangkannya, merasakan beratnya, mencari kemungkinan adanya lubang di tengah halaman. Setelah memeriksa dua rak tanpa hasil, ia berhenti. Ia berpikir. Arka adalah pria yang praktis. Ia akan menyembunyikan sesuatu di tempat yang ia anggap cerdas, tersembunyi di depan mata.Ia beralih ke meja kerja Arka. Ia mengabaikan foto keluarga mereka yang tersenyum padanya seperti sebuah kebohongan dan mulai membuka laci. Laci pertama berisi alat tulis. Laci kedua berisi dokumen kerja. Laci ketiga, yang paling bawah, terkunci.Jantung Sinta berdebar sedikit lebih cepat. Ia teringat pada satu set kunci duplikat rumah yang Arka simpan di laci dapur. Di dalam gantungan kunci itu, ada beberapa kunci kecil tak berlabel. Ia bergegas ke dapur, mengambil set kunci itu, dan kembali. Kunci ketiga, sebuah kunci perak kecil, masuk dengan mulus. Terdengar bunyi klik yang memuaskan.Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka laci itu. Isinya tampak antiklimaks. Hanya ada beberapa kotak gawai lama—ponsel Nokia, sebuah iPod. Tapi kemudian ia melihatnya. Di bagian paling belakang laci, ada sebuah dompet kulit pria, model lama, warnanya sudah pudar. Ini bukan dompet yang Arka gunakan sekarang.Tangannya sedikit gemetar saat ia mengambil dompet itu. Ia membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya, hanya ada beberapa lembar uang kertas lama dan sebuah tiket bioskop yang sudah pudar. Lalu ia melihat slot utama untuk kartu identitas, yang dilindungi oleh lapisan plastik buram. Di dalamnya, ada sebuah kartu. Kartu Tanda Penduduk.Dengan jantung yang berdebar di tulang rusuknya, ia menarik kartu itu keluar. Waktu seakan berhenti. Di tangannya, ia memegang bukti yang tak terbantahkan. Sebuah KTP yang sudah usang. Fotonya adalah wajah Arka, tetapi versi yang lebih muda, lebih liar, dengan senyum tipis yang nyaris seperti seringai. Itu adalah wajah seorang pria yang belum belajar cara memakai topengnya dengan sempurna.Dan di bawah foto itu, tercetak nama yang membuat darahnya terasa dingin.RAMA ADITYA.Ini dia. Hantu itu kini memiliki nama resmi, wajah, dan nomor identitas. Ini bukan lagi hanya sebuah cerita dari masa lalu. Ini adalah fakta. Ini adalah senjata yang ia cari.Ia tidak membuang waktu. Ia menyalakan ponsel sekali pakai baru yang telah ia beli untuk keadaan darurat, dan dengan cepat mengambil beberapa foto KTP itu, memastikan setiap detail terlihat jelas. Lalu ia mematikan ponsel itu dan menyimpannya kembali.Dengan ketelitian seorang ahli bedah, ia mengembalikan KTP itu ke dalam dompet, meletakkan dompet itu kembali di bawah kotak iPod, dan mengunci laci itu. Ia mengembalikan set kunci duplikat ke dapur. Tidak ada jejak.Ia berdiri di tengah ruangan yang sunyi, merasakan beratnya penemuannya. Rasa takutnya telah menguap, digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih berbahaya: kepastian. Ia tidak lagi berburu hantu. Ia kini memegang identitas asli monster itu. Dan ia tahu, dengan kejelasan yang mengerikan, bahwa ia harus menggunakan senjata ini sebelum senjata ini digunakan untuk melawannya.
Bab 26: Umpan BeracunMalam itu, keheningan di kamar tidur mereka terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang menakutkan, tetapi keheningan yang penuh antisipasi, seperti udara yang berat dan diam sesaat sebelum petir menyambar. Sinta berbaring di sisinya, membelakangi Arka, napasnya diatur menjadi lambat dan dalam, meniru pola tidur yang nyenyak. Tapi ia sama sekali tidak tidur. Setiap saraf di tubuhnya hidup, setiap indranya waspada.Di dalam laci meja riasnya, tersembunyi di bawah tumpukan pakaian dalam sutra, ponsel sekali pakai itu menyimpan senjatanya: foto KTP Rama Aditya. Bukti itu memberinya kekuatan, sebuah jangkar di tengah lautan ketakutannya. Tapi bukti saja tidak cukup. Ia harus memprovokasi monsternya, membuatnya menunjukkan taringnya.Ia menunggu hingga jam digital di meja menunjukkan pukul dua pagi. Waktu di mana tidur paling lelap. Dengan gerakan yang telah ia latih dalam benaknya, ia mulai gelisah, seolah-olah sedang bermimpi buruk. Ia bergumam pelan. Di sampingnya, ia bisa merasakan Arka bergerak sedikit, tidurnya terganggu. Ini adalah momennya.Sinta bergumam lagi, kali ini lebih jelas, suaranya serak karena "tidur". "Jangan... jangan pergi..."Arka tidak merespons. Sinta menunggu beberapa detik, lalu ia menjatuhkan umpannya."Rama..." bisiknya, suaranya adalah campuran antara permohonan dan ketakutan. "Jangan tinggalkan aku, Rama..."Keheningan yang mengikuti kata itu begitu total hingga Sinta bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdebar kencang. Ia merasakan perubahan di ranjang. Bukan gerakan yang besar, tetapi sebuah keheningan total dari tubuh di belakangnya. Arka berhenti bernapas.Lalu, Sinta merasakan kasur sedikit bergeser saat Arka menopang dirinya dengan sikunya. Ia bisa merasakan tatapan suaminya membakar punggungnya dalam kegelapan."Sinta," suara Arka rendah, nyaris tak terdengar, tetapi tajam seperti ujung pisau. "Kau mimpi apa?"Sinta berbalik perlahan, mengerjap-ngerjapkan matanya seolah-olah baru terbangun. Dalam cahaya remang-remang, ia bisa melihat siluet wajah Arka di atasnya. Matanya terbuka lebar, berkilauan dalam kegelapan seperti mata seekor binatang buas."Nama apa?" tanya Sinta, suaranya serak dan bingung. "Kepalaku pusing. Mimpinya aneh sekali.""Kau bilang, 'Rama'," ulang Arka, setiap suku katanya diucapkan dengan penekanan yang tajam. "Dari mana kau dengar nama itu?"Sinta menatap Arka dengan ekspresi bingung yang tulus. "Rama? Aku tidak kenal orang bernama Rama," katanya. "Mungkin aku salah dengar di televisi atau sesuatu. Aku tidak tahu, Arka. Hanya mimpi."Ia mencoba untuk berbalik, tetapi tangan Arka mencengkeram bahunya, menahannya di tempat. Cengkeramannya tidak kasar, tetapi begitu kuat hingga Sinta bisa merasakan dinginnya merambati tulangnya."Jangan bohong padaku, Sinta," bisik Arka, dan kini tidak ada lagi kepura-puraan dalam suaranya. Yang ada hanyalah ancaman yang tak terselubung. "Aku tahu kau tidak hanya bermimpi. Beberapa hari ini kau aneh. Sejak kau pergi ke taman itu.""Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," jawab Sinta, membiarkan getaran ketakutan yang nyata masuk ke dalam suaranya. "Kau yang aneh. Kau mengawasiku... Kau membuatku takut."Arka membungkuk lebih dekat, wajah mereka kini hanya berjarak beberapa sentimeter. "Aku melakukannya untuk melindungimu," kata Arka, suaranya adalah desisan yang berbahaya. "Melindungimu dari hal-hal yang tidak perlu kau ketahui. Melindungimu dari masa lalu.""Masa lalu siapa?" tantang Sinta, keberanian yang putus asa memberinya kekuatan. "Masa lalumu? Atau masa lalu Rama?"Saat nama itu diucapkan untuk kedua kalinya, kali ini dengan kesadaran penuh, Sinta melihatnya. Sebuah kedutan kecil di sudut mata Arka. Sebuah penegangan otot di rahangnya. Topengnya yang sempurna retak selama sepersekian detik, memperlihatkan monster yang bersembunyi di baliknya. Monster yang marah dan terkejut.Arka tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Sinta, matanya yang gelap mencoba membaca setiap pikiran di kepala Sinta. Akhirnya, ia melepaskan cengkeramannya. Ia menarik diri dan berbaring kembali di sisinya, membelakangi Sinta.Sinta berbaring kaku, tidak berani bergerak. Ia telah melakukannya. Ia telah mengkonfirmasi bahwa Rama Aditya adalah saraf yang terbuka bagi Arka. Ia telah menunjukkan pada suaminya bahwa ia tahu sesuatu, tetapi tidak mengungkapkan seberapa banyak yang ia tahu. Ia telah menanam benih keraguan di benak sang manipulator.Tapi saat ia berbaring di sana, dalam kegelapan, mendengarkan keheningan yang berat dari pria di sampingnya, ia menyadari sesuatu yang lain dengan kengerian yang menusuk. Ia telah membangunkan monster yang sedang tidur. Dan ia tidak tahu apa yang akan dilakukan monster itu saat fajar tiba.
Bab 27: Perang DinginFajar menyingsing bukan sebagai janji hari yang baru, tetapi sebagai lampu sorot yang dinyalakan di atas panggung interogasi. Sinta tidak tidur sama sekali. Ia berbaring kaku, merasakan setiap tarikan napas Arka di belakangnya sebagai sebuah ancaman.Saat alarm berbunyi, suaranya yang melengking terasa seperti sirene serangan udara. Arka bergerak lebih dulu. Tidak ada sapaan "pagi, Sayang". Tidak ada ciuman. Ia hanya bangkit dari tempat tidur dengan gerakan yang efisien dan dingin, seolah-olah Sinta hanyalah perabot lain di dalam ruangan.Sinta mengikuti Arka menuruni tangga, menjaga jarak yang aman. Dapur adalah medan perang mereka pagi itu. Keheningan di antara mereka begitu pekat hingga setiap suara terasa diperkuat. Desis teko air yang mendidih terdengar seperti ular yang marah. Denting sendok yang tidak sengaja menyentuh tepi cangkir terdengar seperti pecahan kaca.Sinta bergerak di sekitar dapur, memainkan perannya sebagai istri yang ketakutan. Bahunya membungkuk, tatapannya selalu tertuju ke bawah. Ia bisa merasakan tatapan Arka di setiap jengkal kulitnya.Arka duduk di kursi utama di meja makan, tidak membaca tabletnya seperti biasa. Ia hanya duduk di sana, kedua tangannya terlipat di atas meja, mengamati Sinta. Keheningannya adalah sebuah senjata, sebuah tekanan yang terus-menerus ia berikan. Ia sedang menunggu Sinta retak.Sinta mengambil dua cangkir dari lemari. Saat ia berbalik, ia tidak sengaja bertemu pandang dengan Arka. Hanya sesaat, tetapi itu sudah cukup. Topeng suami yang penuh perhatian itu telah hilang sepenuhnya. Yang menatapnya adalah mata seorang orang asing, dingin, tajam, dan tanpa emosi. Itu adalah tatapan seorang interogator.Sinta segera membuang muka, jantungnya berdebar kencang. Ia meletakkan cangkir di atas meja dengan tangan yang sedikit gemetar."Kopi?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.Arka tidak menjawab. Ia hanya mengangguk sedikit, matanya tidak pernah meninggalkan wajah Sinta.Saat Sinta menuangkan air panas, tangannya gemetar lebih hebat, menyebabkan sedikit air tumpah ke piring cangkir dengan suara desis. Ia menarik tangannya kembali. "Maaf," bisiknya lagi.Arka masih tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengambil cangkir itu dan menyesap kopinya. Ia meletakkan cangkir itu kembali ke atas meja dengan bunyi klik yang keras dan disengaja, sebuah suara kecil yang penuh dengan agresi yang tertahan. Sinta tersentak.Ia melihat kilatan kepuasan di mata Arka. Ia sedang mengujinya. Setiap tindakan, setiap suara, adalah sebuah gertakan yang dirancang untuk membuatnya pecah.Sinta duduk di seberangnya, tidak berani menyentuh sarapannya. Ia bisa mendengar detak jam di dinding, setiap detiknya adalah sebuah pukulan palu.Tiba-tiba, Arka mendorong kursinya ke belakang. Ia berdiri dan berjalan mengitari meja, ke arah Sinta. Ia berhenti tepat di belakang kursi Sinta. Sinta membeku. Ia merasakan tangan Arka di bahunya, sentuhannya terasa berat dan mengancam. Ibu jarinya menekan sedikit tulang selangka Sinta, sebuah penegasan kekuasaan yang sunyi."Aku ada rapat penting hari ini," kata Arka, suaranya rendah dan tenang, tepat di dekat telinga Sinta. "Aku akan pulang terlambat."Sinta hanya bisa mengangguk."Aku ingin kau tetap di rumah," lanjut Arka. "Kau terlihat tidak sehat. Kau butuh istirahat." Itu bukan sebuah saran. Itu adalah sebuah perintah.Tangan Arka meninggalkan bahunya. Sinta mendengar langkah kakinya menjauh, lalu suara pintu depan yang terbuka dan tertutup dengan bunyi klik yang tegas. Ia mendengar deru mobil Arka yang menjauh hingga suaranya lenyap.Sinta tetap duduk di meja makan selama hampir satu jam setelah Arka pergi. Perang dingin telah dimulai. Tidak ada teriakan, tidak ada pukulan. Hanya ada keheningan yang mematikan dan tekanan psikologis yang tak henti-hentinya. Monster itu telah terbangun. Dan sekarang, ia akan menghabiskan setiap detiknya untuk mencoba menyeret Sinta kembali ke dalam kegelapan bersamanya.
Bab 28: Langkah dalam SangkarSetelah pintu depan tertutup dan deru mobil Arka menghilang, Sinta tidak langsung bergerak. Ia tetap berdiri di tengah dapur, mendengarkan suara-suara kecil rumah itu: dengung kulkas, detak jam di dinding. Dulu, suara-suara ini adalah musik latar dari kehidupannya yang damai. Sekarang, itu adalah suara-suara dari sangkarnya.Tapi hari ini, sesuatu telah berubah. Perintah Arka untuk tetap di rumah, yang dimaksudkan sebagai hukuman, justru telah memberinya sesuatu yang tidak terduga: kejelasan. Ia tidak lagi membuang-buang energi untuk merencanakan pelarian yang mustahil. Ia tidak lagi berharap pada bantuan dari dunia luar yang melihatnya sebagai penjahat. Ia menerima takdirnya. Ia adalah seorang tahanan. Dan seperti tahanan yang cerdas, ia tahu bahwa langkah pertama untuk bebas adalah dengan memahami setiap jengkal penjaranya.Ia duduk di meja makan, pikirannya bekerja dengan ketenangan yang analitis, memetakan medan perangnya. Di satu sisi papan catur, ada Arka, atau Rama Aditya. Sang Raja. Di sisi lain, ada Rima Handayani, sang Ratu. Dan di tengah-tengah, terjebak di antara keduanya, ada dirinya. Sang Pion. Dianggap lemah dan bisa dikorbankan. Tapi pion, jika berhasil mencapai ujung papan, bisa berubah menjadi apa pun.Ia meninjau kembali intelijen yang telah ia kumpulkan: Cincin "R & L", Laras Puspita, artikel berita, pertemuan di Dermaga Tua, dan nama kode "Kutilang"—saksi yang harus dibungkam. Ia tahu ia tidak bisa mendekati Rima dengan tangan kosong. Ia harus memberikan Rima "Kutilang".Tapi bagaimana? Setiap alat komunikasinya disita atau diawasi. Ia tidak bisa keluar. Jadi, ia harus menemukan cara untuk membawa dunia luar ke dalam. Ia harus menemukan celah, sebuah titik buta dalam sistem pengawasan Arka yang sempurna. Arka adalah seorang pria modern yang terobsesi dengan teknologi. Pengawasannya pasti berbasis digital. Ia tidak akan membuang waktu untuk mengawasi tempat-tempat yang tidak penting, tempat-tempat yang terlupakan.Ia naik ke lantai dua, berjalan ke ujung lorong yang remang-remang, ke sebuah pintu kayu sederhana yang menuju ke loteng. Ia menarik tali yang tergantung di langit-langit, dan sebuah tangga lipat turun dengan derit yang memprotes. Udara panas dan pengap langsung menyambutnya, membawa serta bau debu dan kayu tua.Ia menyalakan saklar lampu. Sebuah bohlam telanjang menerangi lautan benda-benda yang tertutup kain sprei putih, seperti kuburan para hantu. Sambil menahan napas karena debu, ia mulai menjelajah. Ia tidak mencari kotak perhiasan. Ia mencari anomali. Sesuatu dari zaman yang berbeda, sebelum Arka datang dan melapisi rumah ini dengan teknologinya.Ia melihat ke atas, ke rangka atap yang penuh dengan jaring laba-laba, matanya mengikuti setiap kabel. Ada kabel listrik. Ada kabel antena televisi. Dan kemudian, ia melihatnya. Sebuah kabel tipis berwarna abu-abu, jenis yang sudah tidak lagi digunakan. Itu bukan kabel listrik. Itu adalah kabel telepon.Jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Ia mengikuti jalur kabel itu dengan matanya. Kabel itu menjalar ke sudut terjauh loteng, sebuah area yang paling gelap. Ia berjalan ke sana, menyingkirkan sebuah kursi goyang tua. Dan di sanalah ia menemukannya, tersembunyi di balik tumpukan majalah mode dari tahun sembilan puluhan. Sebuah kotak soket telepon tua yang sudah menguning, terpasang di dinding. Sebuah titik akses yang terlupakan.Harapan yang berbahaya mulai tumbuh di dalam dirinya. Ia mulai mencari, membuka kotak-kotak di sekitarnya. Kotak pertama berisi hiasan Natal. Kotak kedua berisi mainan. Tapi di kotak ketiga, di bawah tumpukan kabel pengisi daya ponsel model lama, ia menemukannya. Sebuah telepon rumah sederhana, terbuat dari plastik putih yang kini sudah berubah warna menjadi krem. Model putar. Sebuah relik dari zaman yang berbeda.Dengan tangan gemetar, ia membawa telepon itu ke soket. Ia mencolokkan kabelnya. Lalu, dengan napas tertahan, ia mengangkat gagangnya ke telinganya. Ia mendengar suara itu. Suara bip yang stabil dan monoton. Nada sambung.Air mata mengalir di pipinya, air mata kelegaan yang luar biasa. Ia telah menemukannya. Titik butanya. Sebuah telepon paralel, dipasang puluhan tahun yang lalu, yang kemungkinan besar terhubung langsung ke saluran utama sebelum melewati sistem penyadap digital apa pun yang mungkin telah Arka pasang.Ia tidak langsung menelepon. Itu terlalu berisiko. Arka mungkin masih bisa melacak panggilan keluar. Tapi ia punya rencana. Ia tidak perlu menelepon keluar. Ia hanya perlu bisa menerima panggilan masuk.Ia meletakkan kembali telepon itu, menyembunyikannya persis seperti semula. Ia turun dari loteng, menarik tangga lipat itu kembali ke atas hingga tertutup dengan bunyi klik yang memuaskan. Ia kembali ke dunianya yang cerah dan steril di lantai bawah.Ia punya cara untuk dihubungi. Sekarang ia hanya perlu mengirim pesan. Ia tidak bisa menelepon Rima. Tapi ia tahu seseorang yang bisa. Seseorang yang ia tahu akan membantunya tanpa bertanya, seseorang yang Arka tidak akan pernah curigai. Sahabatnya, Rina. Rencananya mulai terbentuk, berbahaya dan rumit. Ia akan menggunakan alibi anak-anak, sebuah kunjungan ke mal. Di sana, ia akan meminjam telepon lagi. Ia tidak akan menelepon Rima. Ia akan menelepon Rina. Ia akan memberikan Rina sebuah pesan singkat dan penuh teka-teki, sebuah pesan yang harus Rina sampaikan ke nomor di kartu nama yang telah ia hafal.Pesan itu sederhana: "Kutilang akan bernyanyi di Dermaga Tua. Rama Aditya akan ada di sana. Datanglah sendiri."Itu adalah sebuah pertaruhan. Sebuah umpan yang dilemparkan ke dua predator sekaligus. Ia tidak tahu siapa yang akan menelannya lebih dulu. Tapi itu tidak masalah. Karena dengan melakukan ini, ia tidak lagi hanya menjadi pion di papan catur mereka. Ia telah menjadi pemainnya.
Bab 29: Gema dalam MesinAlibi Sinta, seperti semua kebohongannya yang lain, berakar pada kebenaran yang parsial. Anak-anaknya memang membutuhkan perlengkapan baru untuk tugas seni mereka. Kertas karton, cat air, lem—sebuah daftar yang begitu normal, begitu domestik, hingga terasa seperti perisai yang sempurna.Ia menunjukkannya pada Arka pada hari Rabu pagi. "Aku harus pergi ke mal hari ini," katanya, suaranya dijaga tetap datar dan lesu. "Anak-anak butuh ini untuk tugas mereka."Arka mengambil daftar itu, matanya yang tajam memindai tulisan tangan putrinya. Ini adalah sebuah tes. "Kau yakin bisa pergi sendiri?" tanyanya, nadanya adalah campuran antara kepedulian palsu dan ancaman. "Kau terlihat masih sangat pucat.""Aku akan baik-baik saja," jawab Sinta pelan. "Hanya sebentar.""Baiklah," kata Arka akhirnya. Ia mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu. "Pakai ini. Naik taksi. Aku tidak mau kau kelelahan." Itu adalah tali kekang yang lain. Dengan uang tunai yang terbatas dan taksi, pergerakannya tercatat dan terbatas. Sinta hanya mengangguk. "Terima kasih," bisiknya.Satu jam kemudian, ia melangkah masuk ke dalam pusat perbelanjaan. Kekacauan yang terorganisir langsung menyambutnya. Dulu, tempat ini adalah pelariannya dari kebosanan. Sekarang, ini adalah medan operasinya. Ia bergerak seperti seorang operator intelijen, matanya secara otomatis memetakan tata letak mal, mencatat lokasi pintu keluar, posisi petugas keamanan, dan kamera CCTV.Ia berjalan menuju food court. Kebisingan dan anonimitas adalah sekutunya. Ia berdiri di tepi keramaian, memindai lautan wajah. Dan kemudian ia melihatnya. Seorang ibu muda, sedang berjuang sendirian dengan dua anak kecil dan sebuah kereta dorong. Ibu itu tampak lelah, perhatiannya terpecah menjadi seribu arah. Sempurna.Sinta mendekat, memasang ekspresi paling cemas yang bisa ia kumpulkan. "Permisi, Mbak, maaf sekali mengganggu," katanya, suaranya terdengar panik. Ibu muda itu menoleh."Saya... saya dalam masalah besar," lanjut Sinta. "Ponsel saya mati total dan saya tidak hafal nomor suami saya. Boleh saya pinjam ponsel Mbak sebentar saja untuk menelepon sahabat saya? Mungkin dia tahu suami saya di mana." Kisah itu rumit, dirancang untuk membuat pendengarnya bingung dan bersimpati.Ibu muda itu mengangguk tanpa ragu. "Tentu saja," katanya, menyerahkan ponselnya."Terima kasih banyak," kata Sinta. Ia mengambil ponsel itu dan berjalan beberapa langkah menjauh, memunggungi wanita itu. Jantungnya berdebar kencang. Ia menekan nomor Rina."Halo?" Suara Rina yang ceria terdengar."Rin, ini aku, Sinta," bisik Sinta cepat."Sin? Kenapa pakai nomor aneh? Suaramu kenapa?" tanya Rina, nadanya langsung berubah menjadi khawatir."Jangan tanya apa-apa. Aku tidak punya banyak waktu," kata Sinta. "Aku butuh bantuanmu. Ini sangat, sangat penting. Ini menyangkut hidup dan mati."Ada jeda sesaat. "Sinta, kau membuatku takut. Ada apa?""Aku tidak bisa jelaskan sekarang. Kumohon, percaya padaku," desak Sinta. "Aku akan mengirimimu sebuah pesan. Kau harus meneruskannya ke nomor lain yang akan kuberikan. Jangan ubah satu kata pun. Lakukan sekarang juga, lalu hapus semuanya. Mengerti?""Tapi, Sin...""Demi anak-anakku, Rin," potong Sinta, menggunakan kartu truf terakhirnya. "Kumohon."Keheningan di seberang sana terasa berat. Akhirnya, Rina menghela napas. "Baiklah," katanya pelan. "Aku akan lakukan."Sinta memejamkan matanya sejenak, merasakan gelombang kelegaan. "Terima kasih," bisiknya. "Siap? Nomornya..." Ia mendiktekan nomor Rima Handayani, lalu pesannya. "Pesan ini untuknya: Kutilang akan bernyanyi di Dermaga Tua. Rama Aditya akan ada di sana. Datanglah sendiri.""Apa?" Suara Rina terdengar bingung dan ngeri. "Sinta, ini gila. Siapa Rama Aditya?""Jangan tanya, Rin. Kumohon. Ulangi pesannya." Dengan suara gemetar, Rina mengulangi pesan itu."Bagus," kata Sinta. "Kirim sekarang. Lalu hapus semuanya. Lupakan kita pernah bicara. Aku akan menghubungimu kalau sudah aman. Aku sayang padamu."Ia menutup telepon sebelum Rina sempat menjawab. Dengan jari-jari yang bergerak cepat, ia menghapus riwayat panggilan. Ia menarik napas dalam-dalam, memasang kembali topengnya, dan berjalan kembali ke ibu muda itu. "Sudah," katanya sambil tersenyum. "Terima kasih banyak, Mbak. Anda menyelamatkan saya."Ia mengembalikan ponsel itu. Ibu muda tersebut, yang kini sibuk menenangkan anaknya, hanya mengangguk.Sinta berbalik dan berjalan cepat, melebur ke dalam kerumunan. Ia telah melakukannya. Ia telah melemparkan batu ke sarang dua predator sekaligus. Gema dari tindakannya kini sedang melesat melalui mesin-mesin tak terlihat—menuju Rina, lalu menuju Rima. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Saat ia berdiri di tepi jalan yang ramai, menunggu taksi, ia merasa benar-benar sendirian. Ia telah menjadi pemain dalam permainannya sendiri. Dan kini, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu untuk melihat siapa yang akan dimakan lebih dulu.
Bab 30: Menunggu GemaPerjalanan pulang dari mal adalah sebuah kabut paranoia. Sinta duduk kaku di kursi belakang taksi, matanya terus-menerus melesat ke kaca spion, mencari mobil yang sama, wajah yang mengintai. Ia membeli semua perlengkapan seni dalam daftarnya, bahkan menambahkan beberapa barang yang tidak perlu, kantong plastik di kakinya menjadi alibi fisiknya yang paling kuat. Saat ia tiba di rumah, ia meletakkan kantong belanjaan itu di meja dapur dengan sedikit dentuman, sebuah pertunjukan normalitas untuk siapa pun yang mungkin mendengarkan.Malam itu adalah siksaan terpanjang dalam hidupnya. Ia berbaring di samping Arka, tubuhnya kaku, mendengarkan napas suaminya yang dalam dan teratur. Setiap tarikan napas itu terdengar seperti sebuah tuduhan. Pikirannya berpacu tanpa henti. Ia melihat wajah Rina yang khawatir di telepon, dan gelombang rasa bersalah yang dingin menyapu dirinya. Ia telah melemparkan sahabatnya ke dalam api, menggunakannya sebagai pion dalam permainannya yang mematikan. Apa yang akan terjadi pada Rina jika Arka mengetahuinya?Lalu ia melihat wajah Rima Handayani yang dingin dan tanpa emosi. Apakah pesannya sampai? Apakah detektif itu memercayainya, atau apakah ia menganggapnya sebagai jebakan lain? Mungkin Rima hanya mengabaikannya. Ketakutan bahwa rencananya gagal sama besarnya dengan ketakutan bahwa rencananya berhasil.Keesokan paginya, perang dingin mereka berlanjut dengan intensitas baru. Arka tidak pergi ke kantor. Ia "bekerja dari rumah", kehadirannya adalah sebuah awan gelap yang memenuhi seluruh rumah. Ia mengamati setiap gerakan Sinta. Saat Sinta menyapu, ia merasakan tatapan Arka di punggungnya. Saat Sinta mencuci piring, ia bisa melihat pantulan wajah suaminya yang mengamati di jendela di atas wastafel.Di tengah hari, Arka menjatuhkan umpannya. "Sudah ada kabar dari Rina?" tanyanya, nadanya terdengar santai, tetapi matanya yang tajam tidak pernah meninggalkan wajah Sinta.Sinta berhenti melipat, tangannya memegang kemeja anak-anak. Jantungnya berdebar kencang. Ini adalah sebuah tes. "Belum," jawabnya pelan, suaranya dibuat serak karena khawatir. "Aku sudah mencoba meneleponnya tadi pagi dari telepon rumah, tapi tidak diangkat. Aku harap dia baik-baik saja.""Aneh," kata Arka, mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. "Biasanya dia tidak bisa lepas dari telepon.""Mungkin dia sedang istirahat," balas Sinta, kembali fokus pada lipatannya, tangannya sedikit gemetar. "Semalam sangat berat baginya."Arka tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi Sinta tahu ia tidak puas. Ia sedang menguji ceritanya, mencari celah, sekecil apa pun. Sinta merasa seperti sedang berjalan di atas tali di atas jurang yang tak berdasar.Sore harinya, saat ketegangan terasa begitu pekat, telepon rumah berdering. Suaranya yang melengking memecah keheningan, membuat Sinta terlonjak. Ia membeku. Matanya bertemu dengan mata Arka di seberang ruangan. Wajah Arka tidak menunjukkan ekspresi apa pun, tetapi ada kilatan penuh kemenangan di matanya. Jawab, tatapannya seakan berkata. Mari kita lihat bagaimana kau menangani ini."Kau tidak mau menjawabnya?" tanya Arka pelan, suaranya terdengar geli.Dengan kaki yang terasa seperti jeli, Sinta berjalan ke telepon. Ia mengangkat gagangnya. "Halo?""SELAMAT SORE! APAKAH SAYA BERBICARA DENGAN IBU SINTA?" sebuah suara yang terlalu ceria dan terlalu keras meledak dari gagang telepon. Seorang telemarketer.Sinta memejamkan matanya, merasakan gelombang kelegaan yang begitu kuat hingga membuatnya pusing. "Maaf, Anda salah sambung," katanya, suaranya bergetar. Ia menutup telepon.Ia berbalik menghadap Arka. "Hanya... hanya telemarketer," katanya lemah. Arka mengangguk pelan, tetapi Sinta bisa melihat kekecewaan di matanya.Sinta butuh udara. "Aku... aku mau merapikan beberapa barang di loteng," katanya. Tanpa menunggu jawaban Arka, ia berjalan ke lantai atas. Ia naik ke dalam kegelapan yang berdebu, mengurung dirinya dalam keheningan. Di sinilah ruang amannya. Ia berjalan ke sudut terjauh dan menatap telepon krem yang teronggok di sana. Benda itu diam, sunyi.Ia duduk di lantai yang dingin di sebelahnya, memeluk lututnya. Penantian ini adalah sebuah siksaan. Setiap detik yang berlalu tanpa kabar adalah bukti bahwa ia telah gagal. Ia sendirian. Terjebak selamanya. Berderinglah, mohonnya dalam hati. Kumohon, berderinglah.Tapi telepon itu tetap diam. Jam demi jam berlalu. Harapannya mulai memudar, digantikan oleh keputusasaan yang dingin dan berat. Ia telah salah perhitungan. Ia telah kalah. Ia baru saja akan menyerah ketika itu terjadi.RRRRIIINGGG!Suara itu begitu keras, begitu tajam, begitu tidak pada tempatnya hingga Sinta benar-benar berteriak. Itu adalah dering mekanis yang kuno dan memekakkan telinga. Suara gema dari dalam mesin. Telepon tua itu bergetar di atas lantai kayu, deringnya yang panik memantul di dinding-dinding loteng.RRRRIIINGGG!Pesan itu telah sampai. Gema itu telah kembali. Dan sekarang, ia harus menjawabnya.
Bab 31: Suara di Ujung TeleponRRRRIIINGGG!Dering mekanis yang keras dan parau itu merobek keheningan loteng. Itu bukan suara dari dunianya yang modern dan senyap; itu adalah suara hantu, gema dari masa lalu yang berteriak di dalam kuburnya yang berdebu. Untuk sesaat, Sinta hanya bisa menatap telepon krem itu, membeku karena teror. Di bawahnya, di lantai dasar, ada Arka. Apakah ia mendengarnya? Suara itu terdengar begitu memekakkan telinga di dalam ruang tertutup ini.RRRRIIINGGG!Dering kedua memecah kelumpuhannya. Ia harus menjawabnya. Ini adalah satu-satunya kesempatannya. Dengan gerakan merangkak, ia melintasi lantai kayu yang berderit. Ia meraih gagang telepon yang terbuat dari plastik bakelit yang dingin dan berat.RRRRIIINGGG!Pada dering ketiga, ia mengangkat gagangnya. Suara dering yang memekakkan telinga itu langsung berhenti, digantikan oleh suara desis statis yang pelan. Ia menempelkan gagang telepon itu ke telinganya. "Halo?" bisiknya, suaranya serak.Ada jeda sesaat, hanya suara desis. Lalu, sebuah suara yang dingin dan familier membalas, tajam dan tidak sabar. "Siapa ini?"Itu Rima. Detektif swasta itu."Ini Sinta," bisik Sinta lagi. "Saya yang...""Saya tahu siapa Anda," potong Rima. "Saya mendapat pesan yang sangat aneh dari teman Anda. Pesan yang menyebutkan nama yang sangat saya kenal. Jelaskan. Sekarang. Anda punya tiga puluh detik sebelum saya menutup telepon ini dan menganggapnya sebagai jebakan."Adrenalin membanjiri sistem Sinta. "Ini bukan jebakan," desak Sinta. "Bukan jebakan dari saya. Ini adalah jebakan untuknya. Untuk Rama Aditya."Ada keheningan lagi di ujung telepon. "Bagaimana saya tahu Anda tidak sedang bekerja sama dengannya untuk memancing saya keluar?" tanya Rima."Karena saya mendengar semuanya!" bisik Sinta dengan putus asa. "Saya ada di sana, di Dermaga Tua. Saya bersembunyi. Saya mendengar dia berbicara dengan seorang pria lain. Mereka menyebut 'Kutilang'. Arka—Rama—ingin pria itu membungkam Kutilang untuk selamanya.""Kutilang," ulang Rima, dan untuk pertama kalinya, Sinta mendengar sedikit perubahan dalam nada suara detektif itu. Bukan simpati, tetapi minat yang tajam. "Dari mana Anda mendengar nama itu?""Dari Rama," jawab Sinta. "Dia mengatakan 'pastikan Kutilang tidak bernyanyi'. Dia membayar pria itu. Ini bukan hanya tentang Laras lagi. Ada orang lain yang dalam bahaya.""Dan Anda berharap saya percaya begitu saja?" balas Rima, skeptisismenya kembali. "Anda, istri yang setia, tiba-tiba memutuskan untuk mengkhianati suami Anda setelah sepuluh tahun diam?""Saya tidak punya pilihan lain!" desis Sinta. "Dia tahu saya tahu sesuatu. Dia mengawasi saya. Dia mengambil ponsel saya, kunci mobil saya. Saya terperangkap di sini. Telepon ini... telepon tua di loteng ini adalah satu-satunya kesempatan saya. Anda adalah satu-satunya kesempatan saya." Ia berhenti sejenak. "Dengar," lanjutnya, nadanya kini lebih memohon. "Saya tidak meminta Anda untuk menyelamatkan saya. Saya memberikan Anda apa yang Anda inginkan: Rama Aditya. Dan saya memberikan Anda kesempatan untuk menyelamatkan nyawa orang lain."Keheningan di seberang sana terasa lebih lama kali ini. "Apa yang Anda inginkan dari saya, Sinta?" tanya Rima akhirnya, suaranya masih dingin, tetapi kini penuh perhitungan."Saya tidak tahu," jawab Sinta jujur. "Saya hanya tahu bahwa jika tidak ada yang menghentikannya, seseorang akan mati. Dan setelah itu... mungkin giliran saya.""Anda ingin saya datang ke Dermaga Tua?""Ya," bisik Sinta. "Tapi tidak sekarang. Dia akan tahu. Dia akan punya pertemuan lain di sana. Saya tidak tahu kapan, tapi saya akan mencari tahu. Saya akan memberikan Anda waktu dan tanggal. Anda bisa datang. Anda bisa menangkapnya saat sedang beraksi.""Dan bagaimana jika itu adalah jebakan untuk saya?""Kalau begitu jangan datang sendiri!" kata Sinta. "Bawa polisi! Bawa siapa pun! Tapi jangan biarkan dia melihat Anda. Amati dari jauh. Anda akan melihat sendiri. Anda akan melihat bahwa saya mengatakan yang sebenarnya."Ia telah memberikan segalanya. Ia menunggu jawaban Rima."Saya akan mempertimbangkannya," kata Rima akhirnya. Kata-kata itu begitu dingin, begitu tidak memuaskan. "Jangan hubungi saya lagi. Jika ada sesuatu, saya yang akan menghubungi Anda. Di nomor ini. Mengerti?""Ya," bisik Sinta."Bagus."Telepon itu mati. Suara klik yang tiba-tiba meninggalkan Sinta dalam keheningan total. Ia tidak langsung meletakkan gagang telepon itu. Ia terus menempelkannya di telinganya, berharap akan mendengar sesuatu yang lain. Tapi yang ada hanyalah nada sambung yang monoton.Perlahan, ia meletakkan gagang telepon itu kembali ke tempatnya. Ia telah melakukannya. Ia telah membuat kontak. Ia telah melemparkan umpannya ke dalam air yang keruh. Ia duduk di sana, dalam kegelapan yang berdebu, untuk waktu yang lama. Ia tidak merasa lega. Ia hanya merasa kosong. Ia telah menyalakan sebuah sumbu, dan ia tidak tahu seberapa panjang sumbu itu, atau seberapa besar ledakan yang akan terjadi di ujungnya.
Bab 32: Garis Putus-PutusSinta duduk dalam kegelapan yang berdebu untuk waktu yang lama setelah suara Rima lenyap, gagang telepon yang dingin masih menempel di telinganya. Yang tersisa hanyalah nada sambung yang monoton, sebuah garis putus-putus yang menandakan koneksi yang rapuh dan tidak pasti. Saya akan mempertimbangkannya. Kata-kata itu bukan sebuah janji; itu adalah sebuah kemungkinan, sekecil dan setipis benang laba-laba. Dan kini, ia harus menggantungkan seluruh hidupnya pada benang itu.Dengan gerakan yang terasa berat, ia meletakkan kembali gagang telepon itu. Ia menyembunyikan telepon tua itu kembali ke dalam kotaknya, menutupi jejaknya dengan tumpukan majalah, dan turun dari loteng, menutup pintu di belakangnya seolah-olah sedang menyegel sebuah makam. Loteng itu, yang beberapa jam lalu adalah satu-satunya sumber harapannya, kini telah berubah menjadi sumber kecemasan yang baru.Hari-hari berikutnya adalah sebuah studi tentang penantian yang menyiksa. Sinta terjebak dalam limbo, sebuah ruang hampa di antara tindakan beraninya dan konsekuensi yang belum datang. Ia melanjutkan perannya sebagai istri yang patah, bergerak di sekitar rumah seperti bayangan, suaranya pelan, matanya selalu menunduk. Fasad ini adalah satu-satunya perisainya, dan ia harus menjaganya tetap utuh di bawah pengawasan Arka yang semakin ketat.Arka, di sisi lain, tampak menikmati ketenangan baru ini. Ia telah memenangkan perang dingin, setidaknya begitulah yang ia pikirkan. Istrinya telah berhasil diintimidasi hingga tunduk. Namun, kewaspadaannya tidak pernah benar-benar menurun. Ia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tampak tidak bersalah, tetapi Sinta tahu itu adalah jebakan."Kau terlihat lebih tenang hari ini," katanya pada suatu sore. "Syukurlah. Aku khawatir sekali padamu"."Aku hanya... lelah," jawab Sinta, tidak menatapnya."Tentu saja," kata Arka. "Kau sudah melewati banyak hal. Terutama temanmu, Rina itu. Sudah ada kabar darinya?".Pertanyaan itu datang begitu saja, tajam dan tak terduga. "Belum," jawabnya, suaranya dijaga tetap datar. "Mungkin dia butuh waktu sendiri".Puncak dari perang penantian ini datang pada hari Jumat malam, hampir seminggu setelah panggilan telepon Sinta ke Rina. Arka pulang kerja dengan senyum di wajahnya, sebuah senyum tulus yang sudah lama tidak Sinta lihat. Senyum itu membuatnya lebih takut daripada semua tatapan dinginnya."Aku punya sesuatu untukmu," katanya, suaranya terdengar ceria. Ia meletakkan tas kerjanya dan mengeluarkan sebuah benda kecil yang terbungkus kain beludru. "Aku tahu kau merasa terputus dari dunia luar akhir-akhir ini," lanjut Arka. "Dan itu salahku".Ia membuka bungkusan itu. Di dalamnya, tergeletak ponsel Sinta. Layarnya yang tadinya retak kini mulus dan berkilauan. Sempurna. Terlalu sempurna. "Sudah kuperbaiki," kata Arka bangga.Sinta menatap ponsel itu, lalu menatap wajah suaminya. Ia melihat kilatan kemenangan di mata Arka, sebuah kepuasan yang kejam. Ini bukan sebuah hadiah. Ini adalah penyerahan kembali borgolnya, yang kini telah dipoles hingga berkilau."Ayo, ambillah," desak Arka. Dengan tangan yang terasa berat, Sinta mengambil ponsel itu. Saat jarinya menyentuh layar, ponsel itu langsung menyala, menampilkan foto anak-anak mereka yang tersenyum sebagai latar belakang."Terima kasih," bisik Sinta."Tentu saja, Sayang," kata Arka, senyumnya semakin lebar. "Sekarang kita bisa selalu terhubung. Aku bahkan sudah memasang beberapa aplikasi keamanan baru untuk melindungimu. Jadi, jika ada apa-apa, aku akan langsung tahu".Ancaman itu begitu jelas hingga membuat Sinta nyaris tidak bisa bernapas. "Kau... kau perhatian sekali"."Aku selalu begitu," kata Arka. "Sekarang kau bisa menelepon Rina, menanyakan kabarnya".Itu adalah sebuah perintah. Sebuah ujian. Sinta berdiri membeku, ponsel di tangannya terasa seperti bom yang siap meledak. Ia tahu ponsel ini adalah mata dan telinga Arka. Setiap panggilan akan didengarkan. Setiap pesan akan dibaca. Setiap lokasi akan dilacak. Ia telah mendapatkan kembali "kebebasannya", tetapi dengan harga yang sangat mahal.Malam itu, saat ia berbaring di tempat tidur, sebuah pemikiran baru yang berbahaya mulai terbentuk. Rantai ini tidak hanya terikat padanya. Rantai ini juga terikat pada Arka—pada paranoia-nya, pada kebutuhannya untuk mengontrol. Dan rantai, jika ditarik dengan cara yang benar, bisa digunakan untuk mencekik.
Bab 33: Umpan BalikMalam itu, Sinta berbaring kaku di tempat tidur, matanya terbuka lebar menatap langit-langit yang gelap. Di meja samping, ponselnya yang baru diperbaiki tergeletak, layarnya yang hitam dan berkilauan memantulkan seberkas cahaya remang-remang dari luar. Borgol digitalnya. Arka telah memberikannya kembali dengan senyum kemenangan, yakin bahwa ia telah merebut kembali kendali penuh.Sinta menatap ponsel itu. Menunggu Rima adalah sebuah kesalahan. Ia menggantungkan nasibnya pada orang asing yang tidak memercayainya. Ia tidak bisa menunggu. Ia harus membuat Arka bergerak. Dan satu-satunya cara untuk membuatnya bergerak adalah dengan menekan tombol paniknya. Dan Arka baru saja memberinya tombol itu. Ponsel ini adalah mata dan telinga Arka, sebuah saluran langsung ke paranoia-nya. Ia tidak akan lagi menunggu gema. Ia yang akan menciptakan gema itu sendiri.Ia menunggu hingga Sabtu sore, saat Arka sedang berada di ruang kerjanya, pintunya sengaja dibiarkan sedikit terbuka. Sinta duduk di ruang keluarga, dengan tumpukan cucian bersih di sampingnya, sebuah pemandangan domestik yang sempurna. Ia mengambil ponselnya, jantungnya berdebar dengan irama yang terkendali. Ia menekan nomor Rina."Halo?" Suara Rina terdengar, kali ini Sinta bisa mendengar nada khawatir yang tulus di dalamnya."Rin, ini aku," kata Sinta, suaranya dijaga tetap rendah dan sedikit bergetar, seolah-olah ia takut didengar."Sinta! Ya Tuhan, kau baik-baik saja? Aku khawatir sekali setelah pesan anehmu itu..." "Aku baik-baik saja," potong Sinta, melirik sekilas ke arah ruang kerja. "Dengar, aku tidak bisa bicara lama. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu." Ia berhenti sejenak, membangun ketegangan. "Kau ingat saat kita membereskan album-album foto lama di rumah orang tuaku beberapa bulan lalu?" "Iya, tentu saja," jawab Rina, terdengar bingung."Aku menemukan sesuatu yang aneh tadi malam saat merapikan lemari," lanjut Sinta, suaranya nyaris berbisik. "Ada sebuah foto lama, terselip di dalam buku. Foto Arka, tapi dari zaman dulu sekali, sebelum aku mengenalnya. Dia bersama seorang wanita... wanita yang tidak kukenal." Di dalam ruang kerja, Sinta mendengar suara kursi yang berderit pelan. Arka sedang mendengarkan. Umpan telah dilempar."Wanita siapa?" tanya Rina."Aku tidak tahu," jawab Sinta. "Yang aneh adalah, di belakang foto itu ada tulisan. 'R & L Selamanya'." "L?" tanya Rina. "Siapa L?" "Itulah masalahnya," kata Sinta. "Dan ada lagi yang lebih aneh. Di foto itu... tulisan di belakangnya memanggilnya 'Rama'." Ia menjatuhkan umpan beracunnya yang terakhir. "Aku bingung sekali, Rin. Aku tidak berani bertanya langsung pada Arka. Tapi orang tuanya akan datang berkunjung akhir pekan depan... Aku berpikir, mungkin aku akan menunjukkan foto ini pada ibunya. Mungkin beliau tahu siapa wanita ini." Keheningan di seberang sana terasa berat. Di ruang kerja, Sinta mendengar suara sesuatu yang jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk pelan."Sinta, apa kau yakin itu ide yang bagus?" tanya Rina hati-hati."Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa," isak Sinta, membiarkan keputusasaan palsu memenuhi suaranya. "Aku harus tahu siapa wanita ini. Aku merasa seperti orang gila." "Baiklah, hati-hati ya, Sin," kata Rina."Pasti," jawab Sinta. "Aku harus pergi sekarang. Nanti kuhubungi lagi." Ia menutup telepon. Ia meletakkan ponsel itu di sampingnya, lalu menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, bahunya bergetar seolah-olah ia sedang menangis. Setelah beberapa menit, ia bangkit dan berjalan ke dapur. Saat ia melewati ruang kerja, ia tidak melirik ke dalam. Ia tidak perlu. Ia tahu ia telah berhasil. Ia telah memberikan Arka sebuah ancaman—bahwa rahasianya akan terbongkar oleh keluarganya sendiri—dan sebuah tenggat waktu: akhir pekan depan.Penantian itu tidak lama. Malam itu, setelah makan malam yang sunyi, Sinta menyelinap ke loteng dengan alasan mencari selimut tambahan. Ia duduk dalam kegelapan yang berdebu, di samping telepon tua yang sunyi, jantungnya berdebar kencang. Ia hampir menyerah ketika telepon itu akhirnya berdering. Suara mekanisnya yang keras membuatnya terlonjak. Ia menyambar gagang telepon itu."Halo?" bisiknya."Informasi Anda terbukti berguna," kata suara Rima yang dingin. "Target baru saja melakukan panggilan. Ia panik. Ia ingin mempercepat jadwalnya." Sinta memejamkan matanya, merasakan gelombang kelegaan. Umpan itu telah ditelan. "Kapan?" tanya Sinta."Besok malam," jawab Rima. "Pukul sebelas. Lokasi yang sama. Dermaga Tua. Dia ingin menyelesaikan semuanya untuk selamanya." "Apakah Anda akan ada di sana?" tanya Sinta.Ada jeda sesaat. "Kami akan ada di sana," kata Rima. "Pastikan Anda tidak ada di dekat tempat itu, Sinta. Ini bukan lagi permainanmu." Telepon itu mati.Sinta duduk dalam kegelapan. Ini bukan lagi permainanmu. Tapi Rima salah. Ini selalu menjadi permainannya. Ia yang memulainya dengan menemukan cincin itu. Dan ia yang akan mengakhirinya. Ia tahu ia tidak bisa hanya duduk diam di rumah besok malam. Ia harus ada di sana. Ia harus melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
Bab 34: Gemetar di JaringPanggilan telepon itu berakhir, tetapi keheningan yang ditinggalkannya tetap bergetar di udara, sarat dengan kata-kata yang tidak terucapkan. Sinta meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya dengan tangan yang terasa berat dan asing. Ia berbalik dan mendapati Arka masih berdiri di sana, di ambang pintu ruang kerja, mengamatinya. Wajahnya adalah topeng yang tak terbaca, tetapi matanya yang gelap berkilat dengan intensitas yang membuat kulit Sinta meremang."Sudah selesai?" tanya Arka, suaranya terdengar tenang, terlalu tenang."Sudah," bisik Sinta, menundukkan kepalanya. "Rina... dia baik-baik saja. Hanya sedikit panik.""Baguslah," kata Arka. Ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia tidak perlu. Umpan telah dilemparkan, dan Sinta tahu, dengan kepastian yang mengerikan, bahwa Arka telah melihatnya menembus air yang keruh.Malam itu, rumah mereka berubah menjadi sebuah pressure cooker. Setiap jam yang berlalu mengencangkan katupnya, meningkatkan tekanan hingga ke tingkat yang nyaris tak tertahankan. Monster itu telah diprovokasi. Dan sekarang, ia gelisah. Topeng Arka yang tenang dan penuh kendali mulai retak di tepiannya. Ia tidak lagi duduk diam mengamati. Ia mondar-mandir di ruang keluarga, dari jendela ke rak buku, lalu kembali lagi, seperti seekor binatang buas yang terkurung.Ponsel pribadinya yang ramping dan gelap nyaris tidak pernah lepas dari genggamannya. Ia akan membukanya, menatap layar dengan tajam, mengetik beberapa huruf, lalu menghapusnya lagi. Rahangnya terkatup rapat, otot kecil di pipinya berkedut tanpa henti.Sinta berpura-pura tidak memperhatikan. Ia duduk di sofa, sebuah buku terbuka di pangkuannya, matanya menatap halaman yang sama selama dua puluh menit. Tapi penglihatan periferalnya terfokus sepenuhnya pada Arka. Ia bisa merasakan kepanikan yang terpancar dari suaminya, sebuah energi gelap yang memenuhi ruangan. Rencananya berhasil.Saat makan malam, Arka nyaris tidak menyentuh makanannya. Ia hanya mengaduk-aduk nasi di piringnya dengan garpu. "Kau tidak lapar?" tanya Sinta pelan.Arka mengangkat pandangannya. "Kehilangan selera makan," jawabnya singkat. Lalu, setelah jeda, ia menambahkan, "Banyak yang harus dipikirkan di kantor." Sebuah kebohongan yang begitu lemah.Setelah makan malam, saat Sinta sedang mencuci piring, Arka menerima panggilan telepon. Ia menyambarnya dengan kecepatan seekor ular. Ia melirik layar, lalu menatap Sinta dengan tajam sebelum menjawab. "Ya," katanya, suaranya rendah. Ia memunggungi Sinta dan berjalan menuju teras.Sinta mematikan keran air, mendengarkan dengan saksama. "Tidak," kata Arka, suaranya tertahan dan penuh amarah. "Tidak, aku bilang tidak sekarang... Dengar, situasinya sudah berubah... Aku tidak peduli! Lakukan saja apa yang kusuruh!"Sinta mendengar suara pintu geser yang ditutup dengan kasar. Saat Arka kembali masuk beberapa menit kemudian, wajahnya pucat dan tegang. Ia berjalan melewati Sinta seolah-olah istrinya tidak ada, langsung menuju bar kecil dan menuangkan segelas wiski penuh, lalu meneguknya dalam sekali tegukan. Jaring yang Sinta tebar kini mulai bergetar, menangkap lebih dari yang ia perkirakan.Puncaknya datang keesokan paginya. Arka bangun jauh sebelum fajar. Sinta, yang memang tidak tidur, hanya berbaring diam, mendengarkan saat suaminya bergerak di dalam kegelapan. Ia mendengar Arka mondar-mandir, lalu masuk ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara yang paling ia tunggu dan paling ia takuti: suara Arka yang berbisik panik.Ia pasti mengira Sinta masih tertidur lelap. Sinta menyelinap keluar dari tempat tidur, menempelkan telinganya di pintu kayu kamar mandi."Aku tahu ini mendadak," bisik Arka ke teleponnya, suaranya serak karena tegang. "Aku tidak punya pilihan. Rencananya harus dipercepat." Ada jeda. "Tidak ada waktu untuk berdebat," desis Arka. "Dia mulai curiga. Dia tahu sesuatu. Aku tidak tahu seberapa banyak, tapi ini terlalu berisiko untuk menunggu."Jantung Sinta berdebar begitu kencang hingga ia takut Arka bisa mendengarnya melalui pintu."Malam ini," kata Arka, suaranya tegas dan final. "Jam sebelas. Dermaga Tua. Bawa semuanya. Kita selesaikan ini untuk selamanya. Dan pastikan Kutilang ada di sana. Aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri."Panggilan itu berakhir. Sinta mundur dari pintu, tangannya menutup mulutnya untuk menahan pekikan kemenangan dan teror. Ia telah berhasil. Ia telah memaksanya. Ia telah mendapatkan tanggal dan waktunya.Ia bergegas kembali ke tempat tidur beberapa detik sebelum pintu kamar mandi terbuka. Arka keluar, wajahnya tampak lebih tenang, seolah-olah telah membuat keputusan yang sulit. Ia menatap Sinta yang "tertidur" untuk waktu yang lama. Sinta tahu bahwa ia baru saja mendengar suaminya menjadwalkan sebuah eksekusi. Dan ia tahu, dengan kepastian yang mengerikan, bahwa jika rencananya dengan Rima gagal malam ini, akan ada dua orang yang harus dibungkam di Dermaga Tua. Kutilang. Dan dirinya.
Bab 35: Sumbu Telah DinyalakanHari itu dimulai dengan keheningan yang sarat dengan kekerasan yang tak terucapkan. Fajar yang menyingsing tidak membawa kehangatan, melainkan cahaya abu-abu yang dingin yang menerangi medan perang sunyi di antara mereka. Panggilan telepon panik yang Sinta dengar dari balik pintu kamar mandi adalah suara sumbu yang dinyalakan. Dan hari ini, ia harus memastikan api itu mencapai bubuk mesiu.Saat Arka akhirnya bangkit, gerakannya kaku dan terkendali. Tidak ada kata-kata. Ia hanya berjalan ke lemari, memilih setelan gelap yang rapi—seolah-olah ia akan menghadiri pemakaman—dan masuk ke kamar mandi. Sinta memaksa dirinya untuk bergerak. Ia harus memainkan perannya hari ini, pertunjukan terpenting dalam hidupnya.Ia turun ke dapur, pikirannya sudah bekerja, menyusun langkah-langkahnya. Anak-anak akan pulang dari rumah Dita siang ini. Kehadiran mereka akan menjadi perisai sekaligus pengingat yang menyakitkan akan apa yang dipertaruhkan. Saat Arka turun untuk sarapan, Sinta sudah menyiapkan kopinya."Aku harus menjemput anak-anak jam dua belas," kata Sinta pelan."Aku yang akan menjemput mereka," jawab Arka, nadanya tidak menerima bantahan. "Kau tetap di rumah. Istirahat."Tentu saja. Ia tidak akan membiarkannya keluar. Tidak hari ini. "Baiklah," bisik Sinta, memainkan peran sebagai istri yang patuh.Ia membutuhkan alasan untuk naik ke loteng. Alasan yang tidak bisa Arka bantah. Saat ia sedang mencuci piring, ia memanggil putrinya, Maya, yang baru saja diantar pulang oleh Arka. "Sayang," katanya lembut, "ingat rumah boneka tua milik Nenek yang dulu sering kamu mainkan? Yang kita simpan di loteng?" Maya mengangguk antusias. "Iya, Bu! Yang ada ayunan kecilnya!" "Ibu pikir, mungkin sudah saatnya kita turunkan lagi," kata Sinta, melirik sekilas ke arah Arka yang sedang membaca di ruang keluarga. "Kau bisa memainkannya lagi sore ini.""Kau mau ke mana?" tanya Arka dari ruang keluarga, suaranya tajam."Ke loteng," jawab Sinta, menoleh. "Mengambil rumah boneka tua untuk Maya." Arka menatapnya sejenak. Alasan itu begitu normal. Melarangnya akan membuatnya terlihat seperti monster di depan putrinya sendiri. "Biar aku saja," katanya, bangkit berdiri. "Itu berat." "Tidak apa-apa," balas Sinta cepat. "Hanya kotaknya saja. Aku bisa." Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan menarik tali tangga loteng.Di dalam kegelapan yang berdebu, jantung Sinta berdebar kencang. Ia tidak punya banyak waktu. Ia mengabaikan kotak rumah boneka itu dan langsung menuju ke sudut terjauh, ke tempat telepon tua itu tersembunyi. Ia mencolokkan kabelnya, mengangkat gagang telepon, dan dengan jari gemetar, menekan nomor Rima Handayani. Telepon itu bahkan tidak berdering satu kali penuh sebelum dijawab. "Ya." Suara Rima yang dingin."Malam ini," bisik Sinta cepat. "Jam sebelas. Dermaga Tua. Dia mempercepat rencananya. Dia akan ada di sana. Dan Kutilang juga." "Bagaimana Anda tahu ini?" tanya Rima."Saya mendengarnya sendiri," desis Sinta. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Anda harus ada di sana. Ini satu-satunya kesempatan Anda. Dan satu-satunya kesempatanku." "Ini terdengar seperti jebakan, Sinta." "Kalau begitu anggap saja ini jebakan!" balas Sinta, keputusasaan membuat suaranya menjadi lebih kuat. "Tapi datanglah. Bawa polisi. Sembunyi. Lihat sendiri. Jika saya salah, Anda tidak akan kehilangan apa-apa. Tapi jika saya benar, Anda akan mendapatkan Rama Aditya.""Baik," kata Rima akhirnya. "Informasi diterima." Telepon itu mati. Sumbu telah dinyalakan. Pesan terakhir telah terkirim.Sekarang, untuk alibi pamungkasnya. Ia turun dari loteng, membawa sebuah kotak kardus kosong. Sisa sore itu, ia mulai membangun panggungnya. Ia mengeluh sakit kepala pada Arka. Saat makan malam, sakit kepalanya "memburuk". Ia nyaris tidak menyentuh makanannya. "Kepalaku sakit sekali, Arka," keluhnya."Minum obat," kata Arka acuh tak acuh.Sekitar pukul sembilan malam, Sinta terhuyung-huyung keluar dari kamar tidur, wajahnya pucat pasi. "Aku... aku tidak tahu," rintih Sinta. "Sakitnya... semakin parah. Aku merasa mual." Arka bangkit, kini tampak benar-benar khawatir. "Kau mau kuantar ke dokter?" "Tidak," kata Sinta cepat. "Ini... ini migrain. Hanya ada satu obat yang mempan. Mereknya... Sumirex. Kita tidak punya di rumah." "Kalau begitu aku akan pergi membelinya," kata Arka."Jangan!" seru Sinta. "Apotek di dekat sini tidak menjualnya. Hanya ada di Apotek Sentral 24 jam di pusat kota. Aku... aku harus pergi sendiri." "Kau tidak bisa menyetir dalam keadaan seperti ini," kata Arka, matanya menyipit."Kalau begitu aku akan mati kesakitan di sini!" pekik Sinta, membiarkan histeria yang dibuat-buat mengambil alih. "Kau harus di sini kalau anak-anak bangun. Kumohon, biarkan aku pergi."Perang batin berkecamuk di wajah Arka. Kecurigaannya berperang dengan kebutuhannya untuk mempertahankan fasadnya. "Baiklah!" bentaknya, menyerah. "Pergi! Tapi bawa ponselmu. Dan jangan matikan pelacaknya. Aku akan mengawasimu setiap meter." Arka melemparkan kunci mobil ke arahnya. Sinta menangkapnya. Pukul sepuluh tiga puluh malam, Sinta berjalan terhuyung-huyung keluar dari pintu depan. Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan melaju perlahan. Di kaca spion, ia bisa melihat siluet Arka yang berdiri di jendela, mengawasinya pergi. Sumbu telah dinyalakan. Api sedang merambat. Dan Sinta kini sedang mengemudi lurus menuju ledakan.
Bab 36: Pertunjukan TerakhirSinta tidak mengemudi ke apotek. Begitu keluar dari komplek perumahan, ia mematikan pelacak di ponselnya—sebuah risiko, tetapi risiko yang harus ia ambil—dan melaju lurus menuju kawasan industri utara, menuju jantung kegelapan. Lampu-lampu kota yang terang perlahan-lahan menipis, digantikan oleh kegelapan yang pekat dan menekan. Ia menyembunyikan mobilnya beberapa blok dari dermaga, di belakang sebuah pabrik tekstil yang sudah lama ditinggalkan, lalu berjalan kaki menembus bayang-bayang.Dermaga Tua pada pukul sebelas malam adalah sebuah pemandangan dari neraka. Angin dingin melolong di antara gudang-gudang yang terbengkalai, membawa serta bau air laut yang asin, bau busuk dari lumpur, dan derit kayu dermaga yang lapuk setiap kali diterpa ombak. Suara-suara itu terdengar seperti rintihan arwah yang gelisah. Ia menyelinap ke dalam gudang persembunyiannya, berjongkok di balik tumpukan palet yang sama, matanya terpaku pada panel jendela yang pecah. Adrenalin memompa begitu deras di dalam nadinya hingga ia tidak lagi merasakan dingin atau takut.Tepat pukul sebelas, sepasang lampu depan membelah kegelapan. Sedan gelap Arka melaju perlahan ke pangkal dermaga dan berhenti. Arka keluar, siluetnya tegang dan waspada. Beberapa menit kemudian, mobil jip tua yang sama menderu dari kejauhan dan berhenti di belakang mobil Arka. Pria berjaket kulit—yang Sinta tahu adalah "Kutilang"—keluar, tetapi kali ini ia tidak sendirian. Seorang pria lain yang lebih kurus dan tampak gugup mengikutinya."Kau bawa barangnya?" tanya Arka tanpa basa-basi.Pria kurus itu membuka bagasi jip dan mengeluarkan dua sekop dan sebuah terpal besar. Jantung Sinta terasa seperti berhenti. Mereka di sini untuk menggali."Di mana dia?" tanya pria berjaket kulit itu."Dia tidak di sini," jawab Arka dingin. "Aku sudah mengurusnya. Ini hanya untuk memastikan tidak ada lagi yang tersisa untuk ditemukan." "Apa yang ada di bawah sana, Rama?" tanya "Kutilang".Arka menatap ke ujung dermaga yang gelap. "Sesuatu yang seharusnya tetap terkubur," katanya pelan. "Laras... dia tidak mau mendengarkan. Dia mengancam akan pergi ke polisi... Terjadi kecelakaan.""Kecelakaan?" "Kutilang" tertawa serak. "Kau menyebut mendorongnya dari ujung dermaga itu sebuah kecelakaan?"Sinta menutup mulutnya, menahan pekikan ngeri. Jadi begitu. Dibunuh. Di sini."Aku tidak mendorongnya!" bentak Arka. "Dia terpeleset saat kami berebut bukti. Dia jatuh. Kepalanya terbentur tiang pancang... Aku panik. Aku meneleponmu. Kau yang bilang kita harus menenggelamkannya, memberatinya dengan rantai jangkar tua dari gudang ini." "Dan sekarang kau mau menggali lagi tulang-belulangnya?" tanya "Kutilang"."Aku tidak punya pilihan!" desis Arka. "Istriku... dia tahu sesuatu. Dan ada detektif swasta... Aku harus menghilangkan semua jejak. Selamanya." Mereka bertiga mulai berjalan menyusuri dermaga yang berderit, menuju ke ujung. Sinta gemetar tak terkendali. Di mana Rima? Di mana polisi? Waktu terasa merayap. Ia melihat mereka berhenti di ujung dermaga, menyalakan senter, menyorot ke bawah ke lumpur. Ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.Dengan keputusasaan, ia memindai sekelilingnya di dalam gudang. Matanya tertuju pada sebuah rantai logam besar yang tergantung di derek tua. Itu akan menimbulkan suara yang sangat keras. Saat pria kurus itu mengangkat sekopnya, Sinta bertindak. Ia meraih ujung rantai yang berat itu dan dengan sekuat tenaga menariknya. Rantai itu bergeser, menyeret di atas beton lalu membentur sebuah drum logam kosong dengan bunyiDANG! yang luar biasa keras, menggema di seluruh kawasan industri.Di luar, ketiga pria itu langsung membeku. "Suara apa itu?" desis "Kutilang"."Tetap di sini!" perintah Arka, matanya yang liar menatap lurus ke arah gudang tempat Sinta bersembunyi. Ia tahu.Sinta berlari, menyelinap keluar melalui celah pintu di sisi lain gudang. Tapi ia tidak cukup cepat. Saat ia berlari melintasi area terbuka, Arka melompat keluar dari kegelapan, menerkamnya seperti binatang buas. Sinta menjerit saat tubuh mereka menghantam tanah."Kau!" geram Arka, wajahnya adalah topeng kemarahan murni. "Kau seharusnya di rumah! Kau mengikutiku!" Sinta meronta, tetapi Arka jauh lebih kuat. Ia menyeret Sinta berdiri dan mendorongnya dengan kasar ke arah dermaga."Kau ingin tahu apa yang ada di bawah sana, hah?!" teriaknya. "Akan kutunjukkan padamu!" Ia menyeret Sinta yang meronta-ronta menyusuri dermaga kayu yang lapuk."Arka, hentikan!" pekik Sinta."Namaku bukan Arka!" raung pria itu, matanya berkilat gila. "Namaku Rama!" Ia mendorong Sinta hingga ke ujung dermaga. Di sinilah Laras menemui ajalnya. Dan sekarang gilirannya.Arka mencengkeram leher Sinta. "Kau telah menghancurkan segalanya!" desisnya. Cengkeramannya mengencang. Bintik-bintik hitam mulai menari di depan mata Sinta. Tepat saat kesadarannya mulai memudar, sebuah suara membelah malam.WUUU... WUUU... WUUU...Suara sirene polisi, meraung dari kejauhan, semakin dekat dengan cepat. Kepala Arka tersentak, ekspresinya berubah menjadi kepanikan murni. Cengkeramannya di leher Sinta sedikit melonggar. Itu adalah kesempatan yang Sinta butuhkan. Dengan sisa tenaga terakhirnya, ia mengangkat lututnya dan menghantamkannya sekuat tenaga ke selangkangan Arka.Arka meraung kesakitan, cengkeramannya terlepas sepenuhnya. Sinta jatuh terbatuk-batuk di atas papan kayu, menghirup udara malam dengan rakus. Di kejauhan, lampu sorot biru dan merah mulai menyapu kegelapan. "Polisi!" teriak "Kutilang". Ia dan rekannya berlari ke jip mereka dan melaju pergi.Arka menatap Sinta, lalu ke arah lampu polisi yang mendekat. Wajahnya adalah gambaran kekalahan total. Ia tidak mencoba lari. Ia hanya berdiri di sana, di ujung Dermaga Tua, di atas kuburan tak bertanda kekasih pertamanya, saat lampu sorot dari mobil polisi menyapunya, membekukannya dalam cahaya putih yang menyilaukan. Pertunjukan terakhir Rama Aditya telah mencapai babak finalnya.
Bab 37: Gema yang TersisaEnam bulan terasa seperti seumur hidup yang lain. Sinta kini tinggal di sebuah apartemen kecil di sisi lain kota, sebuah tempat yang tidak memiliki kemiripan sama sekali dengan sangkar emasnya yang dulu. Dindingnya berwarna krem yang hangat, dan di beberapa tempat, ada bekas krayon dari tangan-tangan mungil yang tidak langsung ia hapus. Ada tumpukan buku di sudut, beberapa mainan yang tergeletak di karpet, dan aroma masakan rumahan yang samar-samar selalu menguar di udara. Tempat ini tidak sempurna. Tempat ini sedikit berantakan. Dan Sinta belum pernah merasa lebih aman sepanjang hidupnya.Ketakutan yang konstan, yang dulu menjadi teman setianya, telah pergi. Ia tidak lagi terlonjak setiap kali mendengar suara mobil berhenti di luar. Tapi kepergian rasa takut itu meninggalkan sebuah kekosongan, sebuah ruang yang kini diisi oleh gema-gema dari masa lalu. Ada malam-malam di mana ia terbangun dengan jantung berdebar kencang, bayangan dermaga yang gelap masih menari-nari di benaknya. Ada hari-hari di mana ia menatap pantulan dirinya di cermin dan melihat wanita asing yang kelelahan.Tapi kemudian ia akan mendengar suara tawa anak-anaknya dari kamar sebelah, dan gema itu akan memudar. Anak-anaknya adalah jangkarnya, pusat gravitasinya yang baru. Mereka merindukan rumah mereka yang besar, tetapi mereka lebih menyukai ibu mereka yang baru—ibu yang lebih sering tertawa, yang tidak lagi terobsesi dengan remah roti di atas meja, yang bisa duduk di lantai dan bermain bersama mereka tanpa melirik jam. Dalam kehancuran hidupnya yang lama, Sinta menemukan kembali bagian dari dirinya yang telah lama hilang.Suatu sore di musim hujan, ia duduk di sebuah kafe kecil yang netral. Di seberang meja, Rima Handayani duduk dengan punggung tegak dan setelan profesional yang sama. Tapi ada sesuatu yang berbeda di mata detektif itu hari ini. Dinding es kecurigaan telah mencair, digantikan oleh sesuatu yang nyaris menyerupai rasa hormat."Sudah selesai," kata Rima tanpa basa-basi. "Sidangnya berakhir kemarin." Sinta menahan napas. "Dan?" "Rama Aditya divonis penjara seumur hidup," kata Rima, nadanya datar. "Pembunuhan tingkat pertama terhadap Laras Puspita, berdasarkan pengakuan yang ia teriakkan di dermaga malam itu—yang untungnya terekam jelas oleh mikrofon jarak jauh kami. Ditambah percobaan pembunuhan terhadap Anda, dan berbagai tuduhan konspirasi lainnya. Dia tidak akan pernah keluar."Sinta memejamkan matanya, merasakan beban yang telah ia pikul selama berbulan-bulan akhirnya terangkat dari pundaknya. Seumur hidup."Bagaimana dengan... yang lain?" tanya Sinta pelan."Pria yang Anda kenal sebagai 'Kutilang' dan rekannya juga sudah ditangkap," lanjut Rima. "Kesaksian Anda membantu polisi membongkar jaringan yang jauh lebih besar. Anda melakukan hal yang benar, Sinta."Itu adalah pujian tertinggi yang mungkin akan pernah Sinta dapatkan dari wanita ini. "Terima kasih," bisik Sinta.Rima terdiam sejenak. "Ada satu hal lagi," katanya, suaranya sedikit lebih pelan. "Tentang cincin itu. Cincin yang Anda temukan.""Kenapa dengan cincin itu?" "Saat kami menggeledah rumah Anda, kami menemukannya," kata Rima. "Keluarga Puspita mengatakan itu bukan cincin asli milik Laras. Desainnya sedikit berbeda, dan ukirannya terlalu rapi, terlalu modern.""Kami melacak catatan pembeliannya," lanjut Rima. "Rama memesan duplikat cincin itu lima tahun yang lalu. Bertahun-tahun setelah Laras meninggal." Kenyataan dari kata-kata itu menghantam Sinta. "Jadi... dia membuatnya lagi?" "Tepat," kata Rima, matanya yang tajam bertemu dengan mata Sinta. "Itu bukan kenang-kenangan. Itu adalah piala. Sebuah pengingat bengkok dari cinta yang telah ia hancurkan, yang ia simpan di dalam rumah yang ia bangun di atas kebohongan itu. Dia bukan hanya seorang pembunuh, Sinta. Dia adalah monster sejati."Setelah Rima pergi, Sinta tetap duduk di sana untuk waktu yang lama. Twist terakhir itu adalah potongan puzzle yang paling mengganggu, sebuah jendela ke dalam kegelapan jiwa Arka yang tak terduga. Ia tidak akan pernah benar-benar mengerti pria yang pernah ia cintai itu.Ia akhirnya bangkit dan berjalan keluar dari kafe, kembali ke hujan gerimis. Tapi kali ini, hujan itu terasa seperti membersihkan. Ia berjalan pulang ke apartemennya, setiap langkah terasa lebih ringan.Malam itu, setelah anak-anaknya tertidur lelap, Sinta berdiri di balkonnya yang sempit, menatap lampu-lampu kota. Ia memikirkan sepuluh tahun hidupnya yang hilang, sebuah dekade yang dibangun di atas kebohongan. Ada kesedihan di sana, tentu saja. Tapi tidak ada penyesalan. Karena tanpa kegelapan itu, ia tidak akan pernah menemukan kekuatannya sendiri.Ia tidak lagi Sinta yang sempurna, istri dari sangkar emas. Ia adalah Sinta yang lain sekarang. Seseorang yang terluka, ya, tetapi juga seseorang yang utuh. Seseorang yang telah berjalan menembus api dan keluar di sisi lain, mungkin sedikit hangus, tetapi tidak hancur.Ia masuk kembali ke dalam, menutup pintu balkon. Ia berjalan ke kamar anak-anaknya, membetulkan selimut mereka. Ia mengecup kening mereka satu per satu, menghirup aroma tidur mereka yang damai. Ini adalah dunianya sekarang. Kecil, tidak sempurna, dan miliknya seutuhnya.Gema dari masa lalu mungkin akan selalu ada, berbisik di sudut-sudut hidupnya yang paling sunyi. Tapi ia tidak lagi takut pada gema. Karena ia tahu, di dalam keheningan setelah badai, ia akhirnya bisa mendengar suaranya sendiri. Dan suara itu berbisik tentang masa depan.
CINCIN BERUKIRAN NAMA LAIN, Novel Thriller Rumah Tangga
September 04, 2025
0

.png)